Anda di halaman 1dari 17

1

RELASI MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN:


PROSES EVOLUSI DAN PERKEMBANGAN
KELEMBAGAAN

Relasi Manusia dengan Lingkungan dan Terbentuknya


Institusi Publik
Pada esensinya ilmu yang mempelajari relasi makluk dengan tempat hidup
secara klasik dikenal sebagai Ekologi (Ecology). Kebutuhan untuk hidup
dengan mengambil materi dan energi dari alam sekitarnya merupakan
instinct pertama untuk hidup dan berkembang biak bagi setiap makluk
hidup. Sebagai anugerah instinct tidak pernah diajarkan, merupakan
karakter dasar yang diwariskan dari tetuanya, dimiliki sejak lahir, dan
dibawa sampai mati. Dalam ekologi, kedudukan manusia terhadap makluk
lain dipandang sama pentingnya dalam keberlanjutan kesetimbangan
dinamik di alam semesta.

Sebagaimana makluk hidup lainnya, manusia dalam rangka untuk


memenuhi kebutuhan dasar bagi hidupnya maupun aspirasinya selalu
berinterksi dengan lingkungannya. Namun karena selain instinct, manusia
juga dibekali akal budi, kehendak (impulse) dan juga aspirasi maka menjadi
sangat berbeda interaksi manusia terhadap lingkungannya. Dengan keempat
variabel ini maka interaksi manusia terhadap alam dan lingkungan
sekitarnya kini menjadi lebih condong pada antroposentris, dimana manusia
menjadi pengatur dan penguasa alam. Kedudukan manusia dalam ekosistem
diposisikan lebih tinggi, tidak setara lagi dengan makluk hidup lainnya.
Dengan instinct yang dimilikinya manusia dapat memenuhi kebutuhan
biologis sebagai kebutuhan yang paling mendasar. Dengan akal budinya
manusia dapat menciptakan atau melakukan rekayasa terhadap alam sekitar
maupun lingkungannya. Dengan aspirasinya manusia bisa mengembangkan
2

berbagai imajinasi dan merencanakan masa depannya mulai dari skala yang
paling kecil di sekitarnya sampai pada skala dunia.

Di sisi lain, pada dasarnya individu manusia tidak bisa hidup sendirian
melainkan memerlukan kehadiran individu lainnya. Agar dapat diterima
oleh lainnya, setiap individu harus bisa menyesuaikan dan membatasi setiap
keinginannya sampai pada batas-batas tertentu agar tidak bertentangan
dengan keinginan ataupun preferensi individu lain. Dengan begitu manusia
menjadi makhluk sosial, hidup berdampingan dan membentuk kelompok
yang relatif homogen dalam hal kepentingannya. Artinya manusia perlu
membangun hubungan dengan tata aturan atau membangun institusi sebagai
pegangan hidup bersama. Dengan terciptanya institusi yang terus dipelihara,
dikembangkan dan diwariskan, maka relasi manusia dengan sesamanya
menjadi lebih efisien dan saling menguntungkan dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan hidup maupun aspirasinya melalui upaya-upaya
eksploitasi terhadap apa yang ada di alam sekitarnya. Ketika salah satu
individu kahat (deficiency) suatu sumberdaya sementara ada individu lain
yang berlebih (surplus) maka mulai terbentuk institusi baru yang awalnya
dikenal dengan sistem barter. Kemudian institusi ini disebut institusi pasar
(market institution) seperti yang telah dibahas dalam Bab 1.

Karena adanya pegangan terhadap tata aturan yang sama-sama telah diakui
(accepted), maka dalam memenuhi aspirasi hidupnya dengan cara berelasi
dengan lingkungan biofisiknya, setiap individu juga membangun kerja sama
bahu membahu untuk melakukan ekstraksi terhadap sumberdaya di
lingkungan sekitarnya. Lebih lanjut juga membangun kelompok dan jejaring
membentuk hubungan sosial. Bersamaan dengan adanya ramifikasi
hubungan sosial tersebut juga dapat terbangun norma-norma dan tertanam
nilai-nilai maupun praktek-praktek kultural. Dengan begitu timbul
preferensi dan aspirasi yang beragam beragam pula. Berbagai riset
3

membuktikan bahwa keragaman genetik hanya mempunyai kontribusi


sekitar 30% dalam membentuk karakter, kepribadian, maupun preferensi
dalam diri manusia, selebihnya 70% ditentukan oleh lingkungan, baik
lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial-budayanya. Atas dasar fakta
inilah kaum behavioristik umumnya percaya bahwa karakter dan
kepribadian manusia bisa dibentuk melalui pembelajaran (social learning
process).

Dalam membangun hubungan, baik berbasiskan institusi sosial maupun


institusi pasar awalnya bersifat normal, netral, sinergistik, dan mutualistik.
Tetapi karena adanya keragaman dalam hal prferensi dan aspirasinya ke
masa depan ditambah pula basic instinct-nya manusia yang egois (selfish),
maka hubungan antarindividu bisa berubah dari mutualistik ke hubungan
yang bersifat antagonistik, yang bisa mengarah pada rusaknya semua jenis
hubungan dalam institusi, terutama sekali ketika sumberdaya mulai sangat
langka. Pada saat itu hubungan sosial antarindividu memerlukan suatu jasa
penengah yang bersifat netral, tidak memihak pada kepentingan individu
manapun, tidak pula terlibat interest apapun. Singkat penyedia jasa
penengah ini tersebut haruslah amanah terhadap kepentingan publik.
Hanyami dan Godo (2006) menyebut saat itulah peradaban manusia mulai
mengenal sistem bernegara (government institution).

Jasa layanan publik awalnya terbatas pada jasa layanan minimum


khususnya dalam pertahanan, keamanan, peradilan, pendidikan, dan layanan
administrasi. Atas jasa layanan publik tersebut maka pemerintah diberi hak
secara paksa (coersive) untuk memungut pajak, iuran (dues), mengenakan
bandrol atau cukai (levi), bea materai, bea leges dan bentuk-bentuk
pungutan-pungutan lainnya. Untuk dapat memberikan layanan publik
tersebut pemerintah mempunyai hak eksklusif untuk membentuk institusi
militer untuk layanan pertahanan, institusi kepolisian untuk layanan
4

keamanan, institusi peradilan untuk layanan penegakan disiplin, membentuk


institusi keuangan dan meneter (bank sentral), serta membentuk birokrasi
untuk layanan administrasi publik. Artinya pemerintah sering disebut
sebagai otoritas publik (public authority) berkaitan dengan amanah yang
diembannya yaitu memberikan berbagai layanan minimum kepada publik
dengan imbalan jasa berupa kewenangan mengambil berbagai pungutan
tersebut.

Pada khususnya dalam sistem ketatanegaraan demokrasi, proses


pembentukan institusi publik tersebut dikenal sebagai kontrak sosial (social
contract) yang dicetuskan pertama kali oleh ahli politik Abad ke 19
berkebangsaan Perancis bernama Jean-Jacques Rousseau (Randall, 1994).
Kontrak sosial dalam esensinya adalah penyerahan segala urusan yang
menyangkut hubungan antar pribadi setiap warganegara kepada sekelompok
yang berkontestasi tentang program-program layanan publik ketika
Pemilihan Umum (pemilu). Dalam frase “hubungan antar-pribadi” tersebut
juga mempunyai makna sebagai urusan atau hubungan yang sifatnya non
private alias urusan publik. Karena itu sekelompok orang yang menang
dalam pemilu tadi disebut sebagai pemerintah atau public authority.

Pada perkembangannya, kemudian pemerintah juga memberikan layanan


yang sifatnya lebih luas termasuk layanan penyediaan fasilitas infrastruktur
publik (seperti pengadaan jalan, jembatan, pelabuhan udara, pelabuhan
udara, sekolah dll), penanganan warga penyandang masalah sosial,
kebencanaan, dan lingkungan hidup. Urusan masalah lingkungan sebagai
barang yang sifatnya non private seperti dilukiskan dalam Gambar 1.1.
bahwa lingkungan adalah sebagai other. Dengan demikian urusan
lingkungan juga berada di bawah social contract yang berarti pula berada di
bawah penguasaan publik (public authority).
5

Namun dalam perkembangannya terminologi otoritas publik menjadi tidak


tepat lagi, terutama pada awal dekade 1970an eskalasi masalah lingkungan
begitu cepat dan dahsyat akibat eksternalitas dari upaya-upaya peningkatan
produktivitas berbagai sektor perekonomian untuk mencukupi kebutuhan
pangan dalam rangka mengatasi kecemasan Malthusian yaitu
overpopulation. Sejak itu otoritas publik sebenarnya lebih tepat disebut
Common Pool Resource Authority. Terminologi ini dalam kehidupan
sehari-hari belum populer dibandingkan dengan istilah public authority
yang salah kaprah tersebut. Tetapi dalam kajian akademik, kesalahan
tersebut harus dikoreksi. Uraian rinci mengenai hal ini akan dibahas secara
rinci pada Bab 3.

Sebelum membahas persoalan itu maka untuk membuat pembahasan


evolusi dan perkembangan kelembagaan lingkungan, maka perlu terlebih
dahulu membahas tentang tentang teori-teori yang menjelaskan tentang
kepribadian, karakteristik, preferensi dan perilaku manusia yang menjadi
pemegang amanah tentang keberlanjutan lingkungan sebagai sistem
penopang kehidupan (life support system).
6

Teori tentang Diri dan Perilaku Manusia terhadap


Lingkungan
Perilaku adalah ekspresi dari sifat yang ajek atau kosisten termasuk
perilaku manusia dalam melakukan kepedulian (caring attitude) terhadap
lingkungan. Dalam konteks ini, ada 3 teori besar yang dapat
dipergunakan untuk menjelaskan perilaku manusia yaitu: Trait theory, (ii)
Social Learning Process, dan (iii) Pshyco-analysis Theory.

Trait Theory

Menurut teori ini sifat manusia (yang menurunkan perilaku) itu


utamanya dibentuk melalui pewarisan dari tetuanya atau proses
hereditas (naturing process). Artinya apakah seseorang akan baik
ataukah jahat, selfish ataukah altruistik, pelit-filantropia merupakan
sifat-sifat yang diwariskan. Demikian juga dalam perilaku
kepeduliannya pada lingkungan apakah dia menjadi individu yang
penuh pemelihara alam ataukah perusak alam.

Pelopor pengembangan teori ini adalah Reymond Cattell (Gerow,


1992). Penjelasan tentang perilaku individu terhadap lingkungan
dengan menggunakan teori ini khususnya dalam kepeduliannya
terhadap pihak lain (other) akan lebih banyak distribusi berasal dari
teori pewarisan dari leluhurnya. Penelitian Prentice dkk (2019)
membuktikan bahwa trait theory dapat menjelaskan tentang perilaku
manusia yang banyak bertalian dengan perilaku individu ketika dirinya
masih dihadapkan pada persoalan untuk memenuhi kebutuhan
kebutuhan psikologis atau sering disebut kebutuhan dasar.

Temuan Prentice dkk (2019) menjadi sangat relevan misalnya dalam


penerapannya untuk merancang kebijakan publik dalam rangka untuk
pengembangan kelembagaan pada kelompok masyarakat yang masih
7

dibelit oleh berbagai persoalan akan kebutuhan dasar termasuk dalam


hal ini kebutuhan akan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan
biologis lainnya yang seperti yang dilukiskan oleh Maslow (Gerow,
1992). Aplikasi yang mungkin relevan dari teori ini di Indonesia
adalah pada skema pengentasan kemiskinan dalam komunitas
perambah hutan yang diluncurkan oleh Kementerian LHK yang
dikenal dengan Program Hutan Kemasyarakatan (Hkm). Program
HKm ini dirancang untuk pemberdayaan masyarakat berdasarkan pada
pengembangan kelembagaan kelompok.

Dalam Program Hkm, para perambah hutan diberi konsesi untuk


melakukan budidaya selama 30 tahun di lahan rambahannya dengan
kultur teknis yang dikontrol oleh otoritas Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) setempat. Mengingat pembinaannya dilaksanakan melalui
kelompok selama kurun waktu konsesi tersebut, jika pemegang konsesi
meninggal dunia sebelum konsesi habis, maka secara aspek legal tidak
dapat diwariskan kepada anaknya. Walaupun begitu, dalam prakteknya
lahan garapan yang ditinggalkan tersebut tadi dapat dilalokasikan
kepada anaknya sebagai peserta baru. Oleh karena itu, menurut Teori
Trait ini sifat dan watak ayahnya merupakan acuan yang penting dalam
pembinaan kepatuhan Si Anak tadi terhadap setiap pengaturan dalam
kelompok maupun dalam pembinaan selama siklus HKm. Masih
banyak lagi penerapannya di bidang-bidang lain yang berkaitan dengan
pengembangan kelembagaan lingkungan yang berkaitan dengan
kelanjutan tentang suatu tata aturan ataupun perjanjian yang
menyangkut tanggung jawab yang bisa dialihkan kepada anak atau
keturannya.

Social Learning Process Theory


Berbeda dengan Trait Theory, menurut Social Learning Process Theory,
8

esensi dari sifat manusia secara umum dibentuk dari hasil belajar
(nurturing) atau pengasuhan. Seseorang menjadi baik ataukah jahat itu
sangat tergantung pada pengasuhan lingkungan yang diperolehnya.
Pelopor teori ini adalah Ivan Petrovich Pavlov dari Rusia yang terkenal
dengan dua percobaan Classical Conditioning yaitu: Percobaan salivasi
anjing, dan Percobaan interaksi Albert dengan Tikus Putih (East, 1997).

Dalam percobaan yang pertama bahwa Pavlov ingin membuktikan


hipotesisnya bahwa stimulus dan rangsangan dari luar dapat memengaruhi
proses salivasi anjing, bahwa ada hubungan timbal balik antara air liur
(saliva) dan kerja sistem pencernaan anjing, yang keduanya berkaitan
dengan refleks yang bekerja melalui sistem saraf otonom. Tanpa air liur,
perut tidak membawa pesan untuk memulai pencernaan. Dalam
percobaannya, Pavlov selalu membunyikan alarm yang khas ketika
membawa pakan untuk anjing. Hasilnya muncul kemudian kebiasaan
anjing selalu berliur ketika ketika alarm dibunyikan sekalipun Pavlov
tidak membawa pakan.

Pada percobaan ke dua, Pavlov ingin membuktikan bahwa perilaku dapat


diajarkan atau dikondisikan, dibentuk, dan didikan. Albert adalah
seorang balita yang semula menyukai tikus berbulu putih. Pavlov selalu
membunyikan alarm dengan suara yang sangat keras di belakang Albert
ketika Albert diberikan mainan berupa tikus putih. Akhirnya Albert
menjadi takut setiap tikus putih disandingkan kepadanya walaupun tanpa
ada alarm yang dibunyikan. Bahkan kemudian Albert dapat melakukan
generalisasi yaitu, dia selalu takut kepada semua barang berbulu putih.

Fenomena kemampuan dalam melakukan generalisasi pada suatu obyek


atau pengetahuan seperti yang dilakukan Albert tadi oleh para ahli
pemasaran misalnya dimanfaatkan untuk menggugah kesadaran merek
9

(brand awareness) melalui promosi atau iklan suatu produk sehingga para
khalayak sasaran menjadi sadar dan mampu mengidentifikasikan bahwa
itu terkait dengan produk yang diiklankan. Seperti misalnya yang
diungkapkan oleh East (1997) bahwa dengan mendedahkan (exposuring)
huruf “M” kepada khalayak sasaran, maka muncul imajinasi dalam benak
khalayak sasaran tadi bahwa itu sebagai identitas dari makanan cepat saji
“McDonald”.

Teori Pavlov sejak itu sangat berkembang pesat baik di Rusia, USA
maupun di Eropa Barat (Clark, 2018). Teori proses pembelajaran sosial
(social learning process) ini tentu saja punya makna penting bagi dunia
pendidikan, tidak terkecuali aplikasinya dalam pengembangan nilai-nilai,
norma ataupun tata aturan dalam setiap komunitas atau pun kelompok.
Bahwa untuk membentuk karakter atau kepribadian individu, bukan hanya
karakter warisan yang didapat dari tetuanya (naturing), tetapi juga
pengkondisian dalam proses pengasuhan (nurturing). Pentingnya proses
pengasuhan dalam pendidikan sudah tidak diragukan lagi baik memalui
pendidikan formal dan pendidikan nonformal dalam kelompok, yang
kedua-duanya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pendidikan dalam
institusi keluarga.

Psycho-analysis Theory
Teori ini pertrama kali dikembangkan oleh Sigmund Freud. Menurut Teori
Psiko-analisis bahwa karakter diri individu atau kepribadian manusia
tersusun atas 3 subsistem atau komponen yaitu: Id, Ego, dan Superego.
Ketiganya terpisah tetapi tetap berinteraksi dalam jiwa manusia. Kenny
(2016) secara ringkas mendeskripsikan teori ini dengan menggunakan
Gambar 2.1
10

Gambar 2.1. Model struktur kepribadian menurut Sigmund Freud (Kenny,


2016)

Dengan abstraksi seperti dalam Gambar 2.1 tersebut, maka teori tentang diri
(self theory) manusia menurut Teori Psycho-Analysis dari Sigmud Freud
dapat disarikan berikut ini. Bahwa sub sistem Id merupakan sifat yang
paling primitif (basic instinct). Sifat ini diwariskan dan sudah terbentuk
sejak lahir. Dorongan (inpuls) biologis yang mendasar tersimpan dalam
subsistem ini. Termasuk dalam hal kebutuhan dasar seperti: kebutuhan
makan, minum, sekresi, kenikmatan seksual, kebutuhan menghindari rasa
sakit dan sebagainya. Demikian pula instinct untuk menyerang (agresi) juga
tersimpan dalam subsistem ini.

Secara ringkas menurut teori ini bahwa subsistem Id, bekerja atas dasar : (i)
kesenangan atau pleasure, (ii) menuntut pemuasan secara segera tanpa
11

peduli dengan keadaan lingkungan eksternal, (iii) merupakan sub sistem


pengendalian kehidupan-kematian (eros versus tanatos) yang merupakan
instinct untuk survival dengan menghancurkan cara membunuh, dan (iv)
selalu menghindari risiko. Semua sifat-sifat ini oleh Freud distribusi
sebagai karakter atau sifat-sifat manusia yang berkarakter hewani (animal
instinct).

Selanjutnya sub sistem Id dalam diri manusia menurunkan sub sistem Ego
dan Superego sebagai unsur yang dibangun melalui proses pengasuhan
sepanjang kehidupan. Unsur sub sistem Ego arti sejatinya adalah akal-
budi. Ego merupakan karakter manusia yang bersifat rasional, atau aktivitas
mental dalam otak manusia yang terpusat di otak kanan. Secara akademik
harus dipahami bahwa penggunaan terminologi ego (yang sering menjadi
kata jadian egois) di masyarakat awam adalah salah kaprah, salah yang
dianggap benar. Sebagai gantinya, jika yang dimaksudkan adalah untuk
mendeskripsikan sifat yang mementingkan diri sendiri yang tepat adalah
selfish.

Secara ringkas deskripsi dari subsistem Ego: (i) merupakan bagian jiwa
manusia yang bertugas pengekangan terhadap sifat-sifat hewani yang
dibawa oleh subsistem Id, (ii) berkembang ketika balita mulai belajar
menimbang antara tuntutan hasrat (impuls) terhadap realitas, bahwa
pemenuhan dari tuntutan inplus harus ditunda sampai lingkungan atau
situasinya tepat. Contohnya mau makan harus menunggu ada makanan, mau
defekasi atau pun buang air kecil harus ada tempat yang sesuai seperti WC
dll. Artinya Ego berkembang ketika seorang anak mulai belajar antara
tuntutan terhadap realitas, dan (iii) Subsistem Ego menjadi penengah
antara tututan Id, realitas lingkungan, dan tuntutan oleh sub sistem
Superego. Adapun secara deskripsi dari subsistem Superego: (i) merupakan
12

akumulasi dari hasil pembelajaran tentang nilai-nilai atau norma-norma


yang baik telah terseleksi oleh subsistem dari lingkungan riil ataupun
conditioning oleh rasionalitas Ego,(ii) merupakan hati nurani atau kalbu
(conscience), dan (iii) Superego bertugas untuk menilai apakah tiap
tindakan itu benar ataukah salah menurut ukuran nilai-nilai yang telah
tertanam. Dengan demikian Id mencari kesenangan sebagai unsur survival
untuk hidup, Ego menguji tuntutan Id apakah realistis, sedangak Superego
sebagai “hakim”.

Internalisasi Superego di masa anak-anak berdasarkan ganjaran-vs hukuman


benar dapat ganjaran dan kalau salah dapat hukuman. Fase ini yang disebut
perilaku dalam kendali diri. Jika nilai-nilai sudah tertanam, maka tak perlu
pemberitahuan orang lain bahwa mencuri itu salah. Artinya pada fase ini
subsistem Superego sudah bisa bekerja. Melanggar Superego, sekalipun Id
menghendaki maka akan timbul kecemasan. Misalnya waktu kecil takut
tidak disayang orang tua atau kena sanksi. Menurut Freud, kecemasan itu
tidak disadari, emosi yang disadari itu adalah wujud dari perasaan bersalah.
Bila standar orang tua (lingkungan sosial) kuat, individu akan terhindar dari
berbagai perbuatan tercela ataupun melawan nilai-nilai dan norma-norma.
Sebaliknya bila standar lemah, kejahatan bisa merajalela.

Pemahaman terhadap ketiga teori tentang diri manusia tersebut sangat


penting untuk dipergunakan dalam pengembangan kepribadian, watak, dan
karakter yang menjadi dasar bagi perilakunya, termasuk perilaku atau
sikapnya terhadap lingkungan. Ketiga teori tersebut saling melengkapi jika
ingin digunakan untuk strategi pengembangan kelembagaan. Penanaman
Superego mulai dari anak-anak hingga dewasa.
13

Proses dan Perkembangan Kelembagaan


Sebagai artefak bentukan manusia sebagai hasil budaya, maka bentuk atau
bangun dari setiap institusi tidak statis, melainkan senantiasa dari waktu ke
waktu berkaitan dengan berbagai determinan. Determinan yang sangat besar
pengaruhnya pada perubahan bentuk institusi dapat berasal dari perubahan
Ipteks maupun perubahan lingkungan itu sendiri. Dalam sejarah penemuan
sains tentang gelombang elektromagnetik yang diikuti oleh penemuan
transistor, diode, dan kawat lilit toroida telah membawa perubahan
peradaban dan kesejahteraan manusia yang jauh di atas peradaban mesin uap
(Revolusi Industri 1.0 atau RI 1.0) apalagi dibandingkan era sebelumnya.
Selanjutnya disusul dengan penemuan berbagai produk elektronik terutama
pada penemuan komputer telah banyak mengubah tata cara dan pola hidup
termasuk dalam menaruh trust kepada pihak lain, apalagi dewasa ini dunia
telah memasuki RI 4.0 pada hampir di negara-negara berkembang dan
beberapa maju telah mulai RI 5.0.

Dalam institusi formal misalnya, semula tata aturan harus menggunakan


dengan tanda tangan basah, kini telah diganti dengan tanda tangan
elektronik. Begitu pula dengan institusi nonformal, para remaja yang dulu
dengan menggunakan surat untuk menyampaikan tanda cintanya, kini cukup
mengirimkan ikon berbentuk hati dalam chat WA-nya. Dalam institusi
bisnis dulu menggunakan barter, uang kartal dan check, yang kini dengan e-
money. Demikian dengan bentuk layanan, yang dulu semua serta secara
manual dengan menggunakan banyak tenaga manusia kini sebagian besar
mulai digantikan dengan fasilitas robotik. Ringkasnya dengan determinan
inovasi telah mengubah trust dan mengubah tata cara individu berperilaku
dalam mengadakan relasi dengan pihak lain. Didalam perubahan kedua
aspek itu maka norma-norma dan tata nilai juga berubah, yang berarti setiap
institusi juga berubah atas “tekanan” inovasi Ipteks.
14

Selain Ipteks, tatanan kelembagaan juga berubah akibat lingkungan baik


lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial terutama sekali dari politik.
Dua contoh berikut merupakan perubahan tatanan kelembagaan disebabkan
oleh perubahan lingkungan biofisik. Pertama adalah terjadinya perubahan
iklim global, telah banyak tatanan diplomasi internasional dari hampir
semua negara di dunia, dimana kelembagaan iklim global PBB (World
Commission on Environment) begitu jauh berubah. Dimulai dari deklarasi
UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) di
Rio de Janeiro tahun 1992, dilanjutkan Kyoto Protocol tahun 1997, dan
terakhir Paris Agreement tahun 2015. Ketiga tatanan kelembagaan global
dalam bentuk aturan-aturan formal ini semuanya telah diratifikasi menjadi
norma hukum formal di Indonesia, yang berarti pula mengikat perilaku
setiap individu warga negara maupun orang asing yang ada negara kita.
Perubahan tatanan norma hukum formal ini selain akibat perubahan variabel
biofisik juga dapat dipandang sebagai perubahan tatanan politik global atau
geopolitik. Perubahan tersebut sifatnya juga bisa mengandung tekanan
(coersive) dari sebagian negara ke negara-negara lainnya, umunya dari
negara-negara maju kepada negara berkembang dengan berbagai bentuk
reward dan sanksi.

Contoh yang misalnya akibat adanya wabah penyakit seperti Covid 19


belakangan ini telah mengubah begitu banyak tatanan kelembagaan secara
dramatis, seperti penghindaran untuk bersalaman, berkumpul, keharusan
mengenakan masker dll. Bersalaman semula merupakan suatu bentuk
keramahan kini menjadikan banyak individu atau berbagai pihak sepakat
untuk menghindari. Begitu dengan berkumpul dan berkerumun menjadi
harus dihindari. Dahulu bekerja semula harus hadir setiap hari kini di-
accepted oleh tata aturan untuk bekerja dari rumah (WFH: work from home).
Sebagaimana perubahan tatanan kelembagaan global, perubahan
15

kelembagaan akibat wabah Covid 19 ini juga dirancang melalui komunikasi


edukasi kepada individu dalam keluarga atau pun kelompok, tetapi juga
telah disertai dengan tekanan (coersive) dari otoritas publik seperti PSBB
dan aturan New Normal sebagai hukum formal.

Ringkasnya bahwa tatanan kelembagaan akan selalu berubah dan


berkembang yang secara umum menurut Scott (1995) dapat dikelompokkan
ke dalam dua mekanisme yaitu isomorphism dan decoupeling.

Isomorfisme

Isomorfisme merupakan suatu proses perubahan institusi untuk menyerupai


institusi lainnya ketika sedang menghadapi perubahan kondisi lingkungan
yang serupa. Proses isomorfisme ini sendiri berdasarkan variabel
penentunya dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: secara coersive, mimetic,
dan normative. Dalam proses coersive isomorphism, perubahan institusi
terjadi disebabkan oleh tekanan dari para stakeholder yang dominan yang
bisa berupa tekanan peraturan dari pemerintah termasuk dari kantor pajak,
kantor lingkungan hidup dll.
Adapun mimetic isomorphism, perubahan institusi dengan mengadopsi tata
cara yang telah berhasil dilakukan oleh institusi lain. Proses imitasi atau
meniru ini akhirnya akan membuat suatu institusi menjadi serupa terutama
jika memang proses ini dapat mengarahkannya pada akses yang lebih besar
terhadap berbagai sumberdaya, apalagi dapat membawanya ke suatu
keunggulan yang strategis. Sedangkan normative isomorphism adalah suatu
perubahan institusi yang disebabkan oleh adanya norma pressure group
yang menstimulasi institusi untuk secara sukarela (complay) mengadopsi
tata cara baru yang dipandang sebagai perilaku yang normal terhadap suatu
institusi. Misalkan saja adanya sejumlah bank dan institusi sosial yang
16

menarik kembali investasinya di suatu perusahaan akibat tekanan dari


kelompok aktivis lingkungan.

Decoupling

Proses decoupling adalah proses perubahan institusi melalui praktek


pelonggaran terhadap tata aturan yang bersifat agak separatif dari aturan
aslinya formal tetapi praktek ini yang mencerminkan kehendak atau harapan
para anggotanya. Dalam konteks ini, seringkali suatu institusi mencari
semua manfaat melalui penampakan (seperti camouflage) untuk tujuan
seolah mematuhi harapan masyarakat, walaupun dalam kenyataannya
institusi tersebut melakukan dengan caranya tersendiri. Contoh dari
fenomena decoupling adalah kasus kebangkrutan suatu perusahaan investasi
Enron Ltd. tahun 2001 akibat penipuan sekuritas, penipuan via kawat, dan
membuat pernyataan palsu dan menyesatkan oleh COE-nya. Peristiwa
kebangkrutan ini merupakan kebangkrutan terbesar dalam sejarah AS.
Secara total lebih dari 20.000 karyawan kehilangan pekerjaan. Investor juga
kehilangan miliaran USD. Semboyan (selling premis) sebagai suatu
perusahaan inovatif itu hanya camouflage. Dalam kenyataannya COE dari
Enron Ltd melakukan praktek predatory, jelas ini merupakan perilaku yang
sangat tidak etis.
17

Anda mungkin juga menyukai