Hasil Dan Pembahasan Baru
Hasil Dan Pembahasan Baru
Berdasarkan Tabel 4.1, dapat diketahui bahwa sebanyak 358 atau sebesar
71,6 persen responden dengan jenis kelamin perempuan, lebih mendominasi
dalam pembelian impulsif secara online di situs e-commerce saat pandemic
COVID 19 berlangung. Sedangkan responden laki-laki hanya sebanyak 142 orang
atau sebesar 28,4 persen yang melakukan pembelian impulsif saat pandemic
COVID 19 berlangsung dalam 2 tahun terakhir. Hal tersebut sesuai dengan teori
perilaku konsumen yang menyatakan bahwa wanita secara umum lebih
menggunakan perasaan dalam melakukan pembelian dibandingkan pria yang
menggunakan logika saat berbelanja, memberi kesan bahwa mereka (wanita) lebih
retan atau lebih mudah dalam melakukan pembelian. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian (Kacen & Lee, 2002) sisi kognitif pada pria akan cenderung sangat
berperan saat melakukan kegiatan belanja, sehingga lebih melakukan petimbangan
sebelum mengambil keputusan pembelian dapat meminimalisir terjadinya perilaku
impulsive buying. Selain itu, telah terbukti bahwa wanita, karena kecenderungan
mereka gemar berbelanja lebih dari pada pria pada umumnya, menjadikan lebih
banyak pembelian implusif (Coley & Burgess, 2003).
4.1.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Karakteristik responden berdasarkan usia ditunjukkan pada Tabel 4.2
berikut:
Tabel 4.2 Data Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Usia Total Persentase (%)
14-19 tahun 138 27.6
oleh 25 responden. Terakhir, hasil yang lebih rendah ditunjukkan oleh responden yang
memilih Tampilan Website yang menarik yang hanya berjumlah 3 orang atau sebesar 0,6
persen.
Melihat kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden menganggap adanya promo sebagai alasan yang kuat untuk memilih
belanja online secara impulsif di E-commerce saat Pandemi. Promosi penjualan
dimaksudkan untuk merangsang kebutuhan konsumen dan mendorong pelanggan
untuk membeli produk langsung dari merek tertentu. (Blattberg & Neslin, 1993)
menekankan hal berikut, bahwa empat tujuan promosi yang signifikan antara lain
dengan: (1) meningkatkan citra toko; (2) menghasilkan lalu lintas toko; (3)
menciptakan citra harga; dan (4) memindahkan kelebihan persediaan. Sehingga,
hal tersebut berpotensi dapat mempengaruhi perilaku konsumen untuk berbelanja
secara lebih impulsif.
AP1
0.861
AP2
0.854
AP3
0.903
AP4
0.838
GENDER 1,000
IB1
0.884
IB2
0.898
IB3
0.876
KKB1
0.872
KKB2
0.857
KKB3
0.828
KKB4
0.821
KMP1
0.852
KMP2
0.853
KMP3
0.875
KPI1 0.779
KPI2
0.804
KPI3
0.849
KPI4
0.813
KPI5
0.838
KW1
0.889
KW2
0.908
KW3
0.905
KW4
0.854
M1
0.867
M2
0.789
M3
0.863
M4
0.838
SS1
0.866
SS2
0.739
SS3
0.826
Sumber: Output Smart PLS 3, Diolah
Nilai AVE yang disarankan adalah di atas 0,5 (Mahfud dan Ratmono,
2013). Sehingga berdasarkan Tabel 4.12 dapat diketahui bahwa seluruh nilai AVE
> 0,5, yang berarti telah memenuhi syarat validitas berdasarkan AVE. Selanjutnya
dilakukan pengujian validitas diskriminan dengan pendekatan Fornell-Larcker.
Tabel 4.13 menyajikan hasil pengujian validitas diskriminan, sebagai berikut:
AP 0,887 Reliabel
Nilai Cronbach's Alpha yang disarankan adalah di atas 0,7 (Mahfud dan
Ratmono, 2013). Sehingga, berdasarkan Tabel 4.15, dapat diketahui bahwa
seluruh nilai CA > 0,7, yang berarti telah memenuhi syarat reliabilitas
berdasarkan cronbach’s alpha.
STS TS N S SS
No PERNYATAAN
(%) (%) (%) (%) (%)
Saya sering melakukan pembelian produk
1 di E-Commerce tertentu secara spontan 2.6 9.6 22.6 37 28.2
selama Pandemi COVID 19
Pembelian online yang saya lakukan di E-
2 commerce, biasanya tidak direncanakan 2.8 12.4 22.2 36 26.6
sebelumnya
3 Saya tidak memiliki niat sebelumnya 5.8 13 23.6 36.4 21.2
untuk membeli produk tertentu
Sumber: Data primer, diolah 2022
GoF =
GoF =
Nilai batas yang diusulkan oleh (Wetzels et al., 2009) untuk menilai hasil
analisis GoF adalah: GoF 0.10 (kecil); GoF 0,25 (sedang); dan GoF 0,36 (besar).
Sehingga, berdasarkan perhitungan GoF tersebut dapat diketahui bahwa nilai
sebesar 0,6=73 termasuk kategori besar, yang menunjukkan bahwa model dalam
penelitian ini sangat baik dan fit secara keseluruhan.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan statistika sebelumnya, berikut akan dijelaskan
lebih lanjut mengenai pembahasan masing-masing hipotesis :
Hasil pengujian hipotesis pertama yang memuat tentang kecenderungan
pembelian impulsif (impulse buying tendency), diterima. Itu artinya bahwa
terdapat pengaruh antara kecenderungan pembelian impulsif (impulse buying
tendency) terhadap pembelian impulsive, hal tersebut mengindikasikan bahwa
konsumen yang cenderung tidak dapat mengendalikan dirinya untuk melakukan
pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya, kemungkinan besar akan
mendorong sifat konsumtif dan membeli secara impulsif, karena mereka memiliki
perasaan yang kuat dan senang jika dapat membeli suatu produk atau layanan
yang mereka inginkan di E-commerce. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Altukar & Kesari, 2018, Mohan et al (2013), Febrilia &
Warokka (2021), Newman dan Patel (2004), Parsad et al (2017), serta Dawson
dan Kim (2009). Kecenderungan pembelian impulsif ini dianggap sebagai sifat
konsumen umum, yang mungkin lebih sesuai untuk kategori produk tertentu di
pasar (Altukar & Kesari, 2018).
Hasil pengujian hipotesis kedua yang memuat tentang kecenderungan
kenikmatan berbelanja (shopping enjoyment tendency), diterima. Itu artinya
bahwa kecenderungan kenikmatan berbelanja (shopping enjoyment tendency)
memiliki pengaruh terhadap pembelian impulsif, hal tersebut mengindikasi bahwa
semakin baik konsumen menikmati suasana saat sedang berbelanja, maka hal
tersebut mempengaruhi mereka dalam hal membangun sikap terhadap proses
pembelian. konsumen cenderung merasakan kenikmatan saat berbelanja
dikarenakan faktor tertentu yang mendukung. Saat ini, pembeli mengakui belanja
sebagai pengalaman ritel yang menyenangkan, di mana kecenderungan
kenikmatan berbelanja dianggap sebagai kecenderungan internal yang bertahan
lama, menciptakan perasaan senang dan bergairah (Chavosh dkk., 2011) yang
dirasakan konsumen. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Atulkar dan Kesari (2018), namun tidak didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Febrilia dan Warokka (2021).
Hasil pengujian hipotesis ketiga yang memuat tentang materialisme,
diterima. Itu artinya terdapat pengaruh sifat matrealisme terhadap pembelian
impulsive, semakin tinggi materialime, maka kecenderungan impulsive buying
akan semakin tinggi. Sebaliknya semakin rendah materialisme maka
kecenderungan impulsive buying akan semakin rendah. Sifat materialisme
didefinisikan sebagai suatu sifat yang menganggap penting adanya kepemilikan
barang, di mana kepemilikan tersebut dirasa menunjukkan statusnya dan akan
membuat ia merasa senang. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Richins dan
Dawson dalam Schiffman dan Kanuk (2008:119), Sifat materialisme yaitu suatu
barang sebagai penentu keberhasilan, jumlah barang menentukan kesuksesan,
kepemilikan suatu barang akan membuat orang lain terkesan, penggunaan uang
untuk barang yang tidak diperlukan, peran barang dalam menunjukan identitas
diri, keberadaan suatu barang yang dirasa mampu menimbulkan kepuasan
tersendiri, membeli barang membuat lebih bahagia, membutuhkan banyak barang
untuk membuat senang, serta merasa resah jika belum memiliki semua barang
yang diinginkan. Ketika konsumen memiliki sifat tersebut dan akhirnya
menimbulkan keinginan untuk mencapai sesuatu produk maka konsumen tersebut
akan menjadi impulsif dalam pembelian produk tersebut. Pemahaman yang
matang mengenai perilaku konsumen yang terkadang memiliki sifat materialisme
itulah yang digunakan oleh para pemasar dalam memasarkan produknya dan
menaikkan volume penjualan mereka. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Atulkar dan Kesari (2018), Sen dan Nayak (2019), serta
Podoshen dan Andrzejewski (2012).
Hasil pengujian hipotesis keempat yang memuat tentang variabel consumer
traits yang ditunjukkan oleh sub variabel kecenderungan pembelian impulsif dan
materialisme memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap impulse buying,
namun yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pembelian impulsif ialah
dipengaruhi oleh faktor kecenderungan pembelian impulsif dengan nilai P-Value
sebesar 0,014, yang artinya bahwa pengguna E-commerce dapat terpengaruh
untuk melakukan pembelian impulsif apabila konsumen memiliki keinginan yang
kuat untuk membeli suatu produk atau layanan di E-Commerce sehingga dapat
mendorong seseorang untuk membeli produk yang tidak direncakan untuk dibeli.
Hipotesis kelima situasi seseorang (person’s situation), diterima. artinya
ada pengaruh antara situasi seseorang (person’s situation) terhadap pembelian
impulsif, hal tersebut mengindikasikan bahwa seorang konsumen memiliki situasi
yang berbeda-beda, mungkin dalam segi waktu, uang, tempat, dan faktor lainnya
untuk dapat mengakses aplikasi belanja online disaat pandemi dengan harapan
dapat terangsang untuk melakukan pembelian secara impulsif. Situasi seseorang
yang berkaitan dengan uang, waktu, keluarga, penggunaan kartu kredit, situasi di
dalam toko seperti promosi penjualan, lingkungan toko, karyawan toko yang
ramah dan musik di dalam toko dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan situasi seseorang saat melakukan pembelian,
sebagai contohnya adalah waktu yang dihabiskan saat berbelanja juga
berpengaruh pada impulsif perilaku membeli. semakin lama konsumen tinggal di
toko, semakin besar peluangnya untuk melakukan pembelian impulsif. Hasil
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Luo (2005), Nor et al
(2014), Khan, Hui dkk. (2015), (Awan & Abbas, 2015; Bashar, Ahmad, & Wasi,
2012; Husnain et al, 2019), (Foroughi et al., 2012; Underhill, 2009).
Hasil pengujian hipotesis keenam yang memuat tentang kualitas website
(wesite quality) diterima. Itu artinya kualitas website memiliki pengaruh yang
signifikan dalam melakukan pembelian secara impulsif, kualitas website yang
semakin baik akan mengundang banyak konsumen untuk berbelanja di website
tersebut. Koufaris (2002) berpendapat bahwa penelitian pembelian impulsif online
telah mengalami keberhasilan dalam menganalisis perilaku pembelian impulsif
yang sebenarnya. Selain itu ketersediaan dan keterbatasan yang dimiliki
konsumen mengenai uang dan waktu tidak akan mempengaruhi aktivitas belanja
impulsif. Alternatifnya, meskipun responden memiliki kelebihan uang dan waktu
yang cukup untuk berbelanja, hal ini tetap mengindikasikan untuk tidak
melakukan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya. Sebagai contoh
lainnnya, sekitar 15% dari responden dalam penelitian ini berada pada kategori
usia di atas 40 tahun, yang dapat berakibat pada rendahnya perilaku pembelian
impulsif. Hal ini didukung oleh Bellenger et al. (1978), sebagaimana dikutip
dalam Bashar et al. (2013) yang mengamati bahwa konsumen yang berusia di
bawah 35 tahun lebih rentan terhadap pembelian impulsif dibandingkan
konsumen yang berusia di atas 35 tahun. Kedua, penelitian ini dilakukan selama
pandemi global Covid-19 yang mempengaruhi kondisi ekonomi sebagian besar
negara, termasuk Indonesia. Dengan berkurangnya waktu dan uang, walaupun
konsumen memiliki niat pembelian yang besar, keputusan pembelian mereka
dapat terhambat oleh sumber daya yang terbatas (Rana & Tirthani, 2012; Ekeng,
Lifu & Asinya, 2012). Karena itu, temuan penelitian ini mungkin menunjukkan
kecenderungan yang lebih rendah untuk perilaku pembelian impulsif meskipun
kualitas website bagus dan konsumen memiliki niat beli yang kuat. Hasil tersebut
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Febrilia dan Warokka (2021), namun
tidak didukung oleh penelitian yang dilakukan Wells et al (2011), Akram et al
(2017), serta Turskyilmaz et al (2015).
Hasil pengujian hipotesis ketujuh yang memuat tentang motivasi oleh
pengecer (motivational activities by retailers), diterima. Itu artinya ada pengaruh
antara motivasi oleh pengecer terhadap pembelian impulsive (impulse buying).
Hal tersebut mengindikasikan bahwa perilaku ramah tenaga penjualan dan
dukungan mereka dalam proses pembelian dapat mengurangi emosi negatif
konsumen dan mendorong mereka untuk melakukan pembelian secara teratur.
Kegiatan motivasi, seperti acara, penawaran untuk konsumen reguler, skema
promosi, dan dukungan dari staf penjualan, meningkatkan kepercayaan diri
konsumen untuk pengeluaran mereka (Richins, 2011). Hasil tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Miao et al (2020), Febrilia dan Warokka
(2021), serta Atulkar dan Kesari (2018).
Pengujian hipotesis kedelapan yang memuat tentang atribut produk,
diterima. Itu artinya ada pengaruh signifikan antara atribut produk terhadap
impulse buying. Hal tersebut mengindikasikan bahwa atribut produk, seperti harga
produk, fitur produk, dan kualitas produk itu sendiri, merupakan pendorong utama
pembelian impulsif, yang dapat digunakan pengecer saat menawarkan produk
kepada konsumen (Nsairi, 2012). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Atulkar dan Kesari (2018) dan Park et al (2012).
Sedangkan Hipotesis kesembilan pada variabel faktor situasional yang dapat
mempengaruhi pembelian impulsif yaitu situasi seseorang, aktivitas motivasi oleh
pengecer, serta atribut produk, dan yang memiliki pengaruh terbesar terhadap
impulse buying ialah dipengaruhi oleh faktor motivasi pengecer yaitu sebesar
0,001, artinya pengguna E-commerce dapat sangat mudah terpengaruh untuk
membeli secara impulsif karena hampir setiap hari dan hampir 24 jam konsumen
terhubung dengan internet. Mereka akan mencari berbagai informasi melalui
internet dan akan selalu update terhadap tren terbaru. Kebutuhan mereka dapat
ditemukan melalui internet, sehingga berbelanja produk secara online adalah hal
yang tidak asing bagi mereka. Kemudahan-kemudahan itulah yang membuat
kebutuhan konsumen semakin terpenuhi dan konsumen akan cenderung
melakukan pembelian secara tidak terencana. Terakhir, pada variabel moderasi,
dapat disimpulkan bahwa gender (Z) secara keseluruhan tidak dapat berperan
dalam memoderasi hubungan variabel x terhadap variabel y, namun hanya satu
yang dapat dimoderasi, yaitu aktivitas motivasional oleh retailer, sedangkan
empat sub varibel moderasi lainnya tidak berpengaruh. Itu artinya baik laki-laki
maupun perempuan, ketika mereka merasakan kecenderungan kenikmatan
berbelanja dalam suatu E-commerce, mereka akan lebih mudah terangsang
pembelian impulsif. Arah hubungan positif menunjukan bahwa semakin
meningkatnya variabel, maka akan diikuti pada peningkatan impulse buying (Y).
Hubungan signifikan menunjukan bahwa hubungan variabel X dan Z terhadap
impulse buying (Y) dapat berlaku pada keseluruhan populasi dimana sampel pada
penelitian ini diambil.
Sehingga, dapat diketahui bahwa gender yang berfungsi sebagai variabel
moderasi ternyata memperlemah hubungan antara consumer traits (sifat
konsumen) dan faktor situasional terhadap impulse buying, hanya faktor
kecenderungan pembelian impulsif dan kecenderungan kenikmatan belanja yang
dimoderasi gender yang memiliki pengaruh terkuat terhadap impulse buying. Hal
tersebut dikarenakan faktor gender baik laki-laki maupun perempuan tidak terlalu
signifikan dalam pembelian impulsif selama pandemic COVID 19, mungkin
dikarenakan mereka lebih mengatur keuangan dan waktunya semaksimal mungkin
untuk kebutuhan utama dan mendesak dibandingkan keinginan spontan.
V.SIMPULAN DAN SARAN
V.2 Simpulan
Penelitian ini mengkaji aspek internal (consumer traits) dan eksternal (faktor
situasional), yang dianggap dapat mempengaruhi pembelian impulsif oleh
pengguna E-commerce pada masa pandemi COVID-19. Setelah menguji hipotesis
yang diajukan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) berbasis
varians, temuan dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak semua hipotesis
menghasilkan angka statistik yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan,
diantaranya yaitu ditunjukkan dalam hipotesis pada variabel kecenderungan
kenikmatan belanja dan kualitas website, serta semua variabel yang dimoderasi
oleh gender, kecuali variabel kecenderungan motivasi oleh pengecer.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sifat konsumen (consumer traits) yang
memuat faktor-faktor tertentu seperti kecenderungan pembelian impulsif dan sifat
materialisme dianggap dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan
pembelian di e-commerce tertentu secara impulsif. Sedangkan faktor situasional
yang memuat situasi seseorang, aktivitas motivasi oleh pengecer, serta atribut
produk merupakan faktor-faktor eksternal yang berhasil mempengaruhi konsumen
dalam memutuskan untuk membeli suatu produk/jasa di e-commerce secara
impulsif/tiba-tiba/tidak direncanakan. Terakhir, gender yang memoderasi
hubungan kecenderungan pembelian impulsif dan kecenderungan kenikmatan
berbelanja dianggap dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan pembelian
impulif.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi pandemic Covid-19 saat ini telah
memunculkan kebiasaan baru dalam hal berbelanja online, khususnya di e-
commerce yang dapat dibuktikan dengan perilaku konsumen yang berubah lebih
impulsif dikarenakan faktor-faktor tertentu seperti kecenderungan pembelian
impulsif, sifat materialisme, situasi seseorang, aktivitas motivasi oleh pengecer,
serta atribut produk, yang disebabkan oleh kondisi yang tiba-tiba muncul sebagai
wabah dunia, sehingga dapat mengubah, baik cara masyarakat dalam
mendapatkan suatu produk atau layanan, maupun cara penjual menyiapkan
strategi promosi di e-commerce tertentu.
V.3 Saran
Untuk penelitian lebih lanjut, beberapa keterbatasan harus ditangani dalam
jalur penelitian tertentu. Pertama, disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk
menambah sampel penelitian, agar lebih memperluas segmen sampel responden
ke dalam rentang demografis yang lebih luas untuk memiliki analisis sampel
silang dan generalisasi yang ketat. Kedua, disarankan agar peneliti selanjutnya
memperketat dalam pengujian statistik. Saran terakhir, dari sisi E-commerce, agar
dapat lebih berusaha mendorong calon konsumennya untuk lebih banyak
melakukan pembelian impulsif, dengan cara lebih giat mengadakan promo gratis
ongkir, meningkatkan kualitas website, meningkatkan kenyamanan berbelanja
online, dan lain lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, M. (2021). Bagaimana Peluang Pengguna E-commerce, E-banking dan
Internet di Indonesia? Kajian Ekonomi Dan Keuangan, 4(3), 245–262.
https://doi.org/10.31685/kek.v4i3.755
Bellini, S., & Aiolfi, S. (2020). Impulse buying behavior: the mobile revolution.
International Journal of Retail and Distribution Management, 48(1), 1–17.
https://doi.org/10.1108/IJRDM-12-2018-0280
Blattberg, R. C., & Neslin, S. A. (1993). Sales Promotion Models. Handbooks in
Operations Research and Management Science, 5(C), 553–609.
https://doi.org/10.1016/S0927-0507(05)80035-0
Coley, A., & Burgess, B. (2003). Gender differences in cognitive and affective
impulse buying. Journal of Fashion Marketing and Management, 7(3), 282–
295. https://doi.org/10.1108/13612020310484834
Ghozali, I., & Latan, H. (2015). Partial Least Squares : Konsep, Teknik dan
Aplikasi Menggunakan Program SmartPLS 3.0. Badan Penerbit UNDIP.
Hair, J. F., Ringle, C. M., & Sarstedt, M. (2011). PLS-SEM: Indeed a silver bullet.
Journal of Marketing Theory and Practice, 19(2), 139–152.
https://doi.org/10.2753/MTP1069-6679190202
Henseler, J., & Sarstedt, M. (2013). Goodness-of-fit indices for partial least
squares path modeling. Computational Statistics, 28(2), 565–580.
https://doi.org/10.1007/s00180-012-0317-1
Kacen, J. J., & Lee, J. A. (2002). The Influence of Culture on Consumer
Impulsive Buying Behavior. Journal of Consumer Psychology, 12(2), 163–
176. https://doi.org/10.1207/S15327663JCP1202_08
Tenenhaus, M., Vinzi, V. E., Chatelin, Y. M., & Lauro, C. (2005). PLS path
modeling. Computational Statistics and Data Analysis, 48(1), 159–205.
https://doi.org/10.1016/j.csda.2004.03.005
Wetzels, M., Odekerken-Schröder, G., & Oppen, C. Van. (2009). Assessing Using
PLS Path Modeling Hierarchical and Empirical Construct Models :
Guidelines. MIS Quarterly, 33(1), 177–195.
Wijaya, A. (2019). Metode Penelitian Menggunakan SMART PLS 3. Innosain.