Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL PENELITIAN

KUALITATIF
Hiperrealitas Onlineshop Pada Instagram
(Studi Fenomenologi Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswi
Fakultas Fisipol Universitas Sebelas Maret

Di Susun Oleh :

Nazhifah
S221508008

PROGRAM STUDI MAGISTER KOMUNIKASI


TEORI DAN PENGEMBANGAN RISET
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
DAFTAR ISI
1

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................5
1.1. Latar Belakang Masalah......................................................5
1.2. Rumusan Masalah.............................................................11
1.3. Tujuan Penelitian...............................................................12
1.4. Manfaat Penelitian.............................................................12
1.4.1. Manfaat Akademis........................................................12
1.4.2. Manfaat Praktis...............................................................12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................13
2.1. Online shop.......................................................................13
2.1.1. Konsep Online shop......................................................13
2.2. Instagram..........................................................................14
2.2.1. Konsep Instagram.........................................................15
2.3. Perilaku Konsumtif.............................................................16
2.3.1. Faktor perilaku konsumtif.............................................17
2.3.2. Motif Perilaku Konsumtif...............................................17
2.3.3. Aspek-aspek Perilaku Konsumtif...................................18
2.4. Fenomenologi....................................................................21
2.4.1. Teori Fenomenologi Alfred Schutz.................................21
2.4.2. Konsep dunia-kehidupan (Lebenswelt)......................23
2.5. Teori Hiperrealitas..............................................................24
2.6. Teori Masyarakat Konsumsi...............................................27
2.7. Kerangka Pemikiran...........................................................28
2

BAB III
METODE PENELITIAN.....................................................31
3.1 Jenis Penelitian..................................................................31
3.2 Lokasi dan Jadwal Penelitian..............................................34
3.2.1 Lokasi Penelitian...........................................................34
3.2.2 Jadwal Penelitian..........................................................34
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian........................................34
3.4 Teknik Pengumpulan Data....................................................35
3.5 Teknik Analisis Data...........................................................37
3.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data................................38
Daftar Pustaka.........................................................................40

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Salah satu bentuk teknologi yang berkembang pesat saat ini
adalah internet yang memiliki kegunaan yang beragam dan
menciptakan karakter yang terbuka dimana dan siapapun dapat
mengaksesnya. Internet disebut juga new media atau bisa juga
disebut sebagai media baru dikarenakan berbentuk digital yang
memiliki karakteristik interaktif (McQuail, 2011).
Dengan adanya media elektronik, media online atau internet
dan

media

massa

lainnya

yang

dibawa

oleh

pengaruh

modernisasi maupun globalisasi telah menciptakan kesadaran


palsu dalam kehidupan masyarakat. Dimana kesadaran palsu
tersebut sifatnya berlebihan, khayalan ataupun tidak kenyataan.
Ketika individu merasa kebutuhan hidupnya telah sepenuhnya
terpuaskan padahal sesungguhnya masih kekurangan, individu
juga merasa hidupnya sudah makmur padahal masih miskin, dan
lain sebagainya.
Penggunaan

Internet

meningkat

dan

terus

berkembang

sebagai media belanja (Burns, 2005), mahasiswa yang menjadi


pengguna internet sangat aktif dalam menggunakan internet
daripada kebanyakan segmen populasi lainnya (US Departemen
Luar Negeri, 2002; Kim dan LaRose, 2004). Sebagai tambahan,
teknologi dan media ini telah menjadi bagian penting dari gaya
hidup kelompok konsumen muda (Harris Interactive, 2004).
Menurut sebuah laporan oleh O'Donell dan Associates, LLC (2004)
(dalam jurnal Na Li and Ping Zhang. 2002).
4

Berkembangnya internet membuat munculnya media sosial.


Media sosial tersebut antara lain

Facebook, Twitter, Path,

Instagram dan lain-lain. Keberadaan situs media sosial ini


memudahkan penggunanya untuk berinteraksi dengan orangorang dari seluruh dunia dengan biaya yang lebih murah
dibandingkan menggunakan telepon. Dengan internet seakan
jarak tidak terlihat lagi, informasi dan pesan bisa secara cepat
tersampaikan

pada

dunia.

Seiring

dengan

meningkatnya

penggunaan media sosial, hal ini telah mengakibatkan perubahan


sosial

di

masyarakat

Indonesia.

Hal

ini

terlihat

dari

segi

pemenuhan kebutuhan sehari-hari.


Kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini sebenarnya
masyarakat

membeli

barang

bukan

hanya

karena

nilai

kegunaaannya bagi kehidupan mereka, tetapi lebih kepada gaya


hidup dan trend yang muncul akibat adanya rasa gengsi dan
pamer dalam diri individu ataupun masyarakat. Dalam hal ini
munculnya

gaya

hidup

yang

konsumtif

pada

masyarakat

diakibatkan oleh adanya media-media yang mempengaruhi,


mengajak dan mengubah pola pikir maupun perilaku masyarakat.
Adapun media yang dimaksudkan seperti media elektronik, media
online, dan media massa lainnya.
Pada zaman sekarang ini, apapun bisa didapatkan di dalam
internet termasuk urusan berbelanja. Tak heran sekarang ini
banyak sekali dijumpai online shop yang ada di berbagai media
sosial, website khusus dari suatu brand, ataupun katalog online
dari sebuah produk atau brand.
5

Di zaman modern ini, siapa

mahasiswa atau mahasiswi yang tidak mengenal facebook,


twitter, instagram, dan path serta jenis media sosial lainnya. Oleh
karena itu, baik mahasiswa atau pun mahasiswi tidak dapat
dipisahkan dari media sosial.
Menurut survei global yang dilakukan oleh Nielsen Online,
pada tahun 2009 telah lebih dari 85% populasi online dunia telah
menggunakan internet untuk pembelian. Di Indonesia, setengah
dari pembeli online menggunakan Facebook (sebesar 50%) dan
jejaring sosial Kaskus (sebesar 49,2%). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kompas 5 Oktober 2012, menunjukkan bahwa
pada tahun 2012 sebanyak 53,2% responden yang berbelanja
secara online adalah mereka yang pengeluarannya lebih dari Rp
2.000.000,00 per bulan. Rata-rata pekerjaan mereka adalah
karyawan swasta (sebanyak 33,9%) dan wiraswasta (sebanyak
19,4%). Selain itu, para pelajar dan mahasiswa juga memiliki
minat

untuk

berbelanja

online

dengan

angka

19,9%

(Kompasiana.com, 2012). Peningkatan belanja secara online ini


menunjukkan semakin eksisnya online shop pada masyarakat
terutama kaum muda-mudi Indonesia. Hal ini juga diimbangi
dengan semakin banyaknya online shop bermunculan di media
sosial yang ada di internet.
Online shop merupakan sarana atau toko untuk menawarkan
barang dan jasa lewat internet sehingga pengunjung online shop
dapat melihat barang-barang di toko online (Loekamto, 2012).
Konsumen bisa melihat barang-barang berupa gambar atau fotofoto atau bahkan juga video. Toko online atau online shop bisa
6

dikatakan

sebagai

tempat

berjualan

yang

sebagian

besar

aktivitasnya berlangsung secara online di internet.


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kompas menunjukkan
pada tahun 2012 mahasiswa memiliki minat untuk berbelanja
online dengan angka sebesar 19,9%. Umumnya mahasiswa
melakukan belanja online bukan didasarkan pada kebutuhan
semata, melainkan demi kesenangan dan gaya hidup sehingga
menyebabkan seseorang menjadi boros atau yang yang lebih
dikenal

dengan

istilah

perilaku

konsumtif

atau

perilaku

konsumerisme (Sumartono, 2002).


Berbagai produk barang pun bervariasi, mulai dari kategori
untuk barang-barang fashion hingga gadget yang mudah diakses
dan dibeli hanya dengan duduk santai di rumah. Berbagai produk
menarik yang ditampilkan tidak urung membuat kita selalu
tergiur

untuk

bisa

membeli

dan

memilikinya

tanpa

mempertimbangkan kegunaannya. Hal itu karena, kebahagiaan


memiliki barang tersebut didapatnya hanya saat bermandikan
materi saja serta hanya mementingkan efek kesenangan dalam
membeli

barang

yang

kita

inginkan

sehingga

perilaku

ini

memunculkan sifat hedonis.


Mahasiswi sebagai sasaran utama atau yang dijadikan
sebagai objek karena sebagian pembeli online di Indonesia adalah
wanita. Hal tersebut didukung dengan adanya data terbaru yang
dirilis oleh Tokopedia pada tahun 2014. Dari total 5,3 juta barang
yang terjual di Tokopedia selama bulan Januari hingga Maret
7

2014, wanita mendominasi jumlah pembelian, jumlah penjualan,


jumlah pengeluaran uang belanja, serta jumlah pemasukan di
Tokopedia. 66,28% jumlah produk di atas dibeli oleh wanita
(StartupBisnis.com).
Fenomena

perilaku

konsumtif

dikalangan

mahasiswi

disebabkan sebagai bentuk aktualisasi diri dan eksistensinya di


dalam lingkungannya. Tak jarang banyak mahasiswi yang pergi ke
kampus diantaranya berdandan menggunakan kosmetik dan
bergaya modis. Bahkan

untuk menjaga gengsi agar tidak

ketinggalan jaman.
Menurut Kasus dan Raja (2003), pakaian adalah salah satu
yang paling populer kategori belanja Internet untuk mahasiswi,
sekitar 25% telah membeli pakaian secara online. Statistik ini
sesuai dengan penelitian yang menunjukkan pakaian di antara
kategori produk atas yang konsumen muda membeli secara
online (Ossorio, 1995; Gunter dan Furnham, 1998; Stoneman,
1998). Karena konsumen muda sangat mementingkan pakaian,
tidak mengherankan bahwa mereka menghabiskan lebih banyak
uang online untuk pakaian daripada kebanyakan barang-barang
lainnya (dalam jurnal Yoo-Kyoung Seock and Lauren R. Bailey.
2007).
Permasalahannya sekarang adalah kecanggihan teknologi
juga turut membantu semakin menjamurnya perilaku konsumtif
ini. Salah satunya adalah media sosial yang memberikan ruang
bagi pembisnis untuk memasarkan produknya melalui online
8

shop. Yang sekarang lagi maraknya yaitu berjualan di media


sosial

instagram. Semakin memudahkan masyarakat dalam

memenuhi keinginannya tanpa harus repot-repot datang ke


tempat barang tersebut dijual karena kita bisa mendapatkannya
hanya dengan mengakses lewat internet.
Konsep dari instagram sendiri merupakan sebuah aplikasi
gratis untuk berbagi foto yang mengutamakan visual alias
gambar dalam membangun interaksi dengan orang lain. CEO
instagram, mengatakan bahwa instagram kini sudah mempunyai
400 juta pengguna aktif dan jumlah ini pun membuat instagram
kalahkan twitter dari segi jumlah pengguna afktif sebanyak 315
juta. Sehingga hal ini yang membuat diminatinya media sosial
instagram sebagai lahan bisnis. Tentunya hal ini juga didukung
dengan fitur-fitur yang tersedia oleh instagram yang menjadikan
promosi online shop lebih mudah (Kompas, 24 September 2015).
Semakin banyaknya para pembisnis memasarkan produknya
melalui instagram, tak jarang hal ini cenderung membuat
mahasiswa tergiur untuk ingin membeli produk-produk tersebut.
ini

disebabkan

foto

yang

ditampilkan

di

dalam

instagram

khususnya produk yang di jual di online shop instagram tersebut


telah menciptakan gambaran visual yang dapat berbeda dengan
objek sebenarnya dan bisa lebih bagus dibandingkan objek
sebenarnya hal inilah yang disebut dengan hiperrealitas.
Gambar atau foto produk yang dijual di Online shop yang
ditampilkan selalu terlihat menarik. Para penjual online dari segi
9

kerapian penataan barang, maupun pencahayaan mengatur


sedemikian rupa. Berbagai macam penataan barang, pengaturan
cahaya, bahkan berbagai macam pengubahan bertujuan untuk
menghasilkan

foto

atau

image

yang

bagus.

Berdasarkan

pengamatan toko online dalam tampilan foto juga kadang


menggunakan model baik pria atau wanita berbagai gaya,
dimana para model mensimulasikan barang dagangan.
Terkadang meskipun tidak menggunakan manusia sebagai
modelnya, biasanya online shop juga hanya menampilkan barang
saja, akan tetapi menggunakan berbagai aksesoris tambahan
agar menghasilkan foto yang menarik. Proses pengubahan
dilakukan agar menghasilkan tampilan yang bagus, sehingga
dapat siapapun yang melihat tertarik untuk membeli, hal inilah
yang disebut dengan hiperrealitas. Oleh karena itu, hal ini yang
melatarbelakangi munculnya perilaku konsumtif.
Sehingga dari fenomena diatas, maka penulis mencoba
melakukan penelitian tentang Hiperrealitas Online shop Pada
Instagram

(Studi

Fenomenologi

Perilaku

Konsumtif

Pada

Mahasiswa Di Fakultas Fisipol Universitas Sebelas Maret).


1.2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari hal tersebut maka pokok persoalan yang
menjadi fokus pembahasan dalam penelitian tersebut adalah :
1. Bagaimana motif mahasiswi memilih melakukan belanja
online shop di Instagram ?
10

2. Bagaimana

simulacra

pada

foto

di

online

shop

menimbulkan hiperrealitas pada mahasiswi?


3. Bagaimana hiperrealitas online shop pada instagram dapat
menimbulkan perilaku konsumtif pada mahasiswi?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan
utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahu bagaimana motif mahasiswi memilih
melakukan belanja online shop di Instagram
2. Untuk mengetahui bagaimana simulacra pada foto di online
shop menimbulkan hiperrealitas pada mahasiswi
3. Untuk mengetahui bagaimana hiperrealitas online shop
pada instagram dapat menimbulkan perilaku konsumtif
pada mahasiswi
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1.

Manfaat Akademis

1. Dapat menjadi panduan bagi peneliti lain di masa yang


akan datang khususnya yang membahas suatu fenomena di
instagram atau media sosial lain serta bagi penelitian
sejenis.

11

2. Untuk mengembangkan wawasan dan pengetahuan yang


relevan

dengan

ilmu

komunikasi

khususnya

dalam

mengetahui suatu fenomena di instagram.


1.4.2.

Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini akan berguna bagi masyarakat dalam


mengetahui latar belakang dan tujuan dari realitas dan
fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan
referensi

bagi

pihak

terkait

dalam

memahami

suatu

fenomena yang ada di masyarakat dan di suatu media


sosial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Online shop

2.1.1.

Konsep Online shop

Online
menawarkan

shop

merupakan

barang

dan

sarana

jasa

lewat

atau

toko

internet

untuk

sehingga

pengunjung online shop dapat melihat barang-barang di toko


online (Loekamto, 2012). Online shop menurut Wicaksono
(2010:93) adalah website yang digunakan untuk menjual
produk melalui internet dimana perkembangan toko online di
Indonesia saat ini cukup pesat.
12

Online

shop

atau

belanja

online

via

internet,

juga

merupakan suatu proses pembelian barang atau jasa dari


mereka yang menjual melalui internet, atau layanan jual-beli
secara online tanpa harus bertatap muka dengan penjual atau
pihak pembeli secara langsung. Online shop bukan hanya
sekedar

dianggap

sebagai

pemilihan

dalam

berbelanja,

melainkan telah menjadi bagian dari adanya perubahan sosial


budaya dalam masyarakat. Online shop/ E-Shop (toko online)
memiliki

definisi

sebuah

tempat

untuk

menggelar,

memamerkan, menampilkan barang dagangan yang terhubung


dengan jaringan internet.
Online shop menampilkan produk dalam bentuk katalog.
Untuk menjadi pembeli, online shop umumnya memberi syarat
pada calon konsumen untuk registrasi sebagai member.
Konsumen yang sudah menjadi member, selanjutnya dapat
memesan produk. Setelah itu, konsumen membayar produk
yang dibeli menggunakan kartu kredit atau melalui transfer
bank. Pemilik online shop selanjutnya mengirimkan produk
tersebut ke konsumen (Wicaksono, 2010:94). Online shop juga
memberikan

beragam

kemudahan

bagi

konsumennya

diantaranya adalah adanya penghematan biaya, barang bisa


langsung diantar ke rumah, pembayaran dilakukan secara
transfer, dan harga lebih bersaing (sumartono, 2002).
2.2.

Instagram

2.2.1.

Konsep Instagram
13

Media sosial merupakan sebuah media online, dengan para


penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan
menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan
dunia

virtual.

Salah

satu

jenis

dari

jejaring

sosial

yang

memungkinkan penggunanya untuk dapat terhubung dengan


orang lin melalui informasi pribadi dan sedang booming sekarang
ini yaitu instagram. Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto
yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan
filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring
sosial, termasuk milik instagram sendiri.
Nama instagram berasal dari pengertian dari keseluruhan
fungsi aplikasi ini. Kata insta berasal dari kata instan, seperti
kamera polaroid yang pada masanya lebih dikenal dengan
sebutan foto instan. Instagram juga dapat menampilkan fotofoto secara instan, seperti polaroid di dalam tampilannya.
Sedangkan untuk kata gram berasal dari kata telegram,
dimana cara kerja telegram sendiri adalah untuk mengirimkan
informasi kepada orang lain dengan cepat. Sama halnya dengan
Instagram yang dapat mengunggah foto dengan menggunakan
jaringan internet, sehingga informasi yang ingin disampaikan
dapat diterima dengan cepat. Oleh karena itulah Instagram
berasal dari instan-telegram.
Instagram dirilis pada tanggal 6 Oktober 2010 oleh Kevin
Systrom dan Mike Krieger dibawah perusahaan Burbn. Inc. yang
awalnya lebih banyak berfokus pada HTML5 mobile. Pada versi
pertama instagram, masih banyak Filter yang belum sempurna,
14

mereka mengurangi Filter yang ada dan fokus pada bagian foto,
komentar dan juga kemampuan untuk menyukai sebuah foto.
Itulah yang akhirnya menjadi instagram.
Pada penelitian ini, instagram dipilih dikarenakan instagram
sendiri

merupakan

aplikasi

yang

berfokus

pada

foto

atau

pengeditan foto. Dimana, instagram memiliki berbagai Filter


dengan efek foto yang beragam jika dibanding dengan media
sosial lain. Sehingga, foto produk yang akan dijual dapat di-edit
atau

dimanipulasi

menjadi

lebih

menarik,

seolah-olah

si

pengambil foto seperti seorang fotografer yang profesional.


2.3.

Perilaku Konsumtif

Perilaku konsumtif merupakan perbuatan secara sadar tanpa


diikuti

adanya

pertimbangan

perencanaan
tingkat

pembelian

urgensinya

atau

dan

tidak

mendasar

adanya
tidaknya

pembelian tersebut sebagai pemenuhan keinginan semata yang


didorong oleh interaksi sosial individu tersebut (Sutisna, 2001).
Pendapat lain juga dikemukakan oleh sumartono (2002),
bahwa

perilaku

konsumtif adalah perilaku

yang tidak lagi

berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena


adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang sudah tidak
rasional lagi.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Liang dan Lai (dalam
jurnal Na Li and Ping Zhang, 2002. Consumer Online Shopping
Attitudes & Behavior) bahwa perilaku konsumtif atau Perilaku
belanja online mengacu pada proses membeli produk atau jasa
15

melalui internet. Dalam proses belanja online yang khas, ketika


konsumen

potensial

menyadari

kebutuhan

untuk

beberapa

barang atau jasa, mereka pergi ke internet dan mencari informasikebutuhan terkait. Namun, daripada mencari secara aktif, di kali
konsumen potensial yang tertarik dengan informasi tentang
produk atau jasa yang terkait dengan kebutuhan yang dirasakan.
Mereka kemudian mengevaluasi alternatif dan memilih salah satu
yang paling sesuai dengan kriteria mereka untuk memenuhi
kebutuhan yang dirasakan. Akhirnya, transaksi dilakukan dan
layanan pasca-penjualan disediakan.
Berdasarkan defenisi diatas maka dalam penelitian ini bahwa
perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku membeli dan
menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan
yang rasional dan memiliki kecenderungan untuk mengkonsumsi
sesuatu tanpa batas dimana individu lebih mementingkan faktor
keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai oleh adanya
kehidupan mewah dan berlebihan.

2.3.1.

Faktor perilaku konsumtif

Faktor perilaku konsumtif disebabkan oleh dua hal, yaitu sebagai


berikut :
1. Faktor internal, faktor internal yang berpengaruh pada
perilaku konmsumtif individu adalah motivasi, harga diri,
observasi, proses belajar, kepribadian, dan konsep diri
16

2. Faktor eksternal, faktor eksternal yang berpengaruh pada


perilaku konsumtif individu adalah kebudayaan, kelas sosial,
kelompok-kelompok sosial, dan referensi serta keluarga
(Sumartono, 2002)
2.3.2.

Motif Perilaku Konsumtif

Pendapat yang berbeda dikemukakan Harsono (Lestari, 2006)


yang menyatakan bahwa motif pembelian konsumen merupakan
faktor-faktor yang menyebabkan seorang konsumen membeli
suatu produk untuk digunakan secara pribadi. Motif pembelian
konsumen dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
1. Motif emosional
Motif emosional adalah alasan konsumen membeli produk
yang berasal dari kebutuhan impulsif dan kebutuhan psikologis
seseorang tanpa
mempertimbangkan kualitas produk yang mahal dan alasanalasan rasional
lainnya. Pembelian produk itu disebabkan oleh alasan-alasan
emosional

seperti

untuk

kebanggaan,

gengsi,

ikut-ikutan,

kesenangan, dan lain-lain. Motif pembelian emosional ini sering


dimanfaatkan oleh para pemasur (marketer) untuk meningkatkan
pembelian produk mereka.

2. Motif rasional
Motif rasional adalah alasan pembelian yang direncanakan
secara hati-hati dan dianalisis semua informasi tentang produk
yang dibeli. Produk yang akan dibeli tersebut dipertimbangkan
17

memang sangat dibutuhkan, kualitas produknya baik, harganya


tidak mahal, dan pertimbangan-pertimbangan rasional lainnya
tentang kondisi tersebut.
3. Motif patronage
Motif patronage adalah alasan pembelian yang didasarkan
karakteristik khusus toko atau tempat pembelian, juga dapat
karena alasan merk suatu produk. Konsumen membeli suatu
produk

karena

tempat

penjualannya

nyaman,

karena

pelayanannya baik, karena pelayannya cantik, atau karena


merknya terkenal.
2.3.3.

Aspek-aspek Perilaku Konsumtif

Menurut Rasimin (dalam Lestari, 2006) bahwa perilaku


konsumtif merupakan kecenderungan untuk bertindak dengan
keinginan untuk membeli dan menggunakan atau menghabiskan
barang atau jasa yang sebenarnya kurang atau tidak diperlukan.
Aspek-aspek yang terdapat dalam perilaku konsumtif antara lain:
1. Aspek motif
Meliputi dorongan-dorongan yang bersifat rasional maupun
yang irasional, ikut-ikutan atau uji coba. Pada awalnya dorongan
konsumen untuk melakukan tindakan pemilihan diantara berbagai
jenis dan macam produk dipengaruhi oleh kualitas produk itu
sendiri

yang

terjangkau.

dianggap

Namun

paling

baik

kenyataannya

atau

sering

harganya
kali

cukup

pertimbangan

tersebut bukan hanya sekedar kualitas dan faktor marketingnya,


tetapi ada dorongan lain yang akan menimbulkan keputusan
dalam membeli yang lebih bersifat psikologis, sehingga akan
18

menimbulkan dasar pertimbangan yang irasional dan lebih


bersifat emosional dalam pengertiannya, karena hasil produk
tersebut dapat meningkatkan harga diri atau self estem serta
dikagumi.
2. Aspek Kemutakhiran Mode
Mencakup macam-macam barang atau jasa yang sedang
popular dan digemari oleh orang banyak, sehingga orang
cenderung

beranggapan

bahwa

dirinya

prestissius

bila

mengkonsumsi produk-produk dengan merek tertentu, produk


tersebut dianggap fasionable.
3. Aspek Inferiority Complex
Berkaitan dengan masalah harga diri yang rendah, kurang
percaya diri, gengsi. Konsumen yang tidak yakin pada dirinya
sendiri, maka ia akan membeli produk dengan tujuan agar
mendapatkan simbol status pribadi.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Tim Redaksi Majalah
Servian
(dalam Zebua, 2001) bahwa aspek-aspek pembentuk perilaku
konsumtif meliputi:
a. Naiknya pendapatan
Sebagai wujud berhasilnya pembangunan ekonomi Indonesia
adalah peningkatan pendapatan perkapita. Dampak dari naiknya
pendapatan adalah perubahan pola konsumsi masyarakat yang
terlihat dari perkembangan pusat-pusat perbelanjaan, berbagai
kemudahan

system

belanja

seperti

pengguna

kredit

Card,

multilevel marketing dan home shopping. Konsumsi atau belanja


19

bukan lagi dianggap sebagai tindakan yang mengeluarkan


sejumlah uang untuk mendapatkan barang tetapi juga untuk
memasukkan unsur rekreasi sebagai pemenuhan kebutuhan
psikologis.
b. Prestise
Gaya hidup konsumtif dewasa ini melibatkan prestise yang
diungkapkan melalui konsumsi jenis produk, merk dagang dan
kemutakhiran mode tersebut, dalam banyak hal sebenarnya juga
dimaksudkan untuk menimbulkan kesegaran penghargaan dan
penghormatan.

Namun

demikian,

prestise

tersebut

dimaterialisasikan dalam bentuk yang paling kasat mata dan


diakselerasikan atau dipercepat sedemikian rupa sehingga tidak
lagi diperlukan proses yang panjang dan latihan secara terusmenerus, dapat dikatakan bahwa orang lebih berorientasi pada
produk daripada proses. Kualitas produk yang sesungguhnya lebih
banyak

berkaitan

dengan

dimensi

batin

tersebut,

dieksternalisasikan melalui parameter material.


2.4.

Fenomenologi

2.4.1.

Teori Fenomenologi Alfred Schutz

Fenomenologi

berasal

dari

bahasa

Yunani,

phainomenon yaitu yang menampak. Fenomenologi


pertama

kali

dicetuskan

oleh

Edmund

Husserl.

Fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus


metode berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi
20

tanpa

mempertanyakan

penyebab

dari

fenomena

tersebut serta realitas objektif dan penampakannya.


Tujuan

utama

fenomenologi

ialah

mempelajari

bagaimana fenomena dialami alam kesadaran, pikiran


dan

dalam

tersebut

tindakan,

bernilai

seperti

atau

bagaimana

diterima

fenomena

secara

estetis.

Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana


manusia

mengkonstruksi

makna

dan

konsep-konsep

penting, dalam kerangka intersubjektivitas (Kuswarno,


2009:2).
Pendekatan

fenomenologi

merupakan

tradisi

penelitian

kualitatif yang berakar pada filosi dan psikologi, dan berfokus


pada internal dan pengalaman sadar seseorang. Pendekatan
fenomenologis untuk mempelajari kepribadian dipusatkan pada
pengalaman individual pandangannya pribadi terhadap dunia
(Atkinson,
menggunakan

dkk,
pola

2011:57).
pikir

Pendekatan

subjektivisme

yang

fenomenologi
tidak

hanya

memandang masalah dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi


berusaha menggali makna di balik setiap gejala itu (Kuswarno,
2009:7).
Alfred Schutz adalah ahli teori fenomenologi yang paling
menonjol sekaligus yang membuat fenomenologi menjadi ciri
khas bagi ilmu sosial hingga saat ini. Bagi Schutz, tugas utama
fenomenologi ialah mengkosntruksi dunia kehidupan manusia
21

sebenarnya dalam bentuk yang mereka sendiri alami. Realitas


dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa anggota
masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka
internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka
melakukan interaksi atau komunikasi (Kuswarno, 2009:110).
Dalam pandangan Schutz, manusia adalah makhluk sosial,
sehingga kesadaran akan dunia kehidupan sehari-hari adalah
kesadaran sosial. Manusia dituntut untuk saling memahami satu
sama lain, dan bertindak dalam kenyataan yang sama. Sehingga,
ada

penerimaan

timbal

balik,

pemahaman

atas

dasar

pengalaman bersama, dan tipikasi atas dunia bersama. Melalui


tipikasi inilah manusia belajar menyesuaikan diri ke dalam dunia
yang lebih luas, dengan juga melihat diri kita sendiri sebagai
orang yang memainkan peran dalam situasi tipikal (Kuswarno,
2009:18). Jadi, dalam kehidupan totalitas masyarakat, setiap
individu menggunakan

simbol-simbol yang telah diwariskan

padanya, untuk memberi makna pada tingkah lakunya sendiri


(Kuswarno, 2009:18). Dengan kata lain, ia menyebut manusia
sebagai aktor. Ketika seseorang melihat atau mendengar apa
yang dikatakan atau diperbuat aktor, maka dia akan memahami
makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial ini disebut
sebagai

sebuah

realitas

interpretif

(interpretive

reality).

Dimana, makna subjektif yang terbentuk dalam dunia sosial para


aktor berupa sebuah kesamaan dan kebersamaan (Kuswarno,
2009:110).

Sehingga,

sebuah

intersubjektif.
22

makna

disebut

sebagai

Inti pemikiran Schutz adalah bagaimana memahami tindakan


sosial melalui penafsiran. Dimana, tindakan sosial merupakan
tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau orang lain
pada masa lalu, sekarang dan akan datang. Proses penafsiran
dapat digunakan untuk memperjelas atau memeriksa makna
yang

sesungguhnya,

sehingga

dapat

memberikan

konsep

kepekaan yang implisit. Dengan kata lain, mendasarkan tindakan


sosial

pada

pengalaman,

makna,

dan

kesadaran.

Manusia

mengkonstruksi makna di luar arus utama pengalaman melalui


proses tipikasi. Hubungan antara makna pun diorganisasi
melalui proses ini, atau biasa disebut stock of knowledge.
(Kuswarno, 2009:18).
Untuk menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang,
Schutz mengelompokkannya dalam dua fase, yaitu:
a) In-order-to-motive (Um-zu-Motiv), yaitu motif yang merujuk
pada tindakan di masa yang akan datang. Dimana, tindakan
yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki tujuan yang
telah ditetapkan.
b) Because motives (Weil Motiv), yaitu tindakan yang merujuk
pada masa lalu. Dimana, tindakan yang dilakukan oleh
seseorang pasti memiliki alasan dari masa lalu ketika ia
melakukannya.
2.4.2.
Dalam

Konsep dunia-kehidupan (Lebenswelt)


kaitannya

dengan

ilmu

sosial,

membicarakan

fenomenologi, tidak lepas dari pembicaraan mengenai konsep


23

lebenswelt (yang biasanya diterjemahkan dunia-kehidupan).


Konsep ini penting sebagai usaha memperluas konteks ilmu
pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu
sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan (Muslih,
2004: 148)
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah
deskripsi atas sejarah lebenswelt tersebut dengan menemukan
endapan makna yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.
Maka, meskipun pemahaman terhadap makna dilihat dari sudut
intesionalitas (kesadaran) individu, namun akurasi kebenarannya
sangat

ditentukan

(atau

mungkin

dijamin)

oleh

aspek

intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana endapan makna yang


ditemukan itu benar-benar direkonstruksi dari dunia-kehidupan
sosial,

dimana

menghayati.

banyak

Sehingga,

subjek

sama-sama

dunia-kehidupan

melibati

sosial

dan

merupakan

sumbangan berharga dari fenomenologi, yang menempatkan


fenomena sosial sebagai sistem simbol, yang harus dipahami
dalam rangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini
artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari
proses

terciptanya

suatu

ilmu

pengetahuan

sekaligus

mendapatkan dukungan metodologisnya (Muslih, 2004: 151).

2.5.

Teori Hiperrealitas

Menurut

Jean

Baudrillard,

hiperrealitas

menjelaskan

ketidakmampuan kesadaran untuk membedakan kenyataan


dan

fantasi,

khususnya

di
24

dalam

budaya

pascamodern

berteknologi tinggi. Sementara itu dalam bukunya Symbolic


Exchange and Death (1993) Baudrillard menyatakan bahwa
sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi, telah
terjadi pergeseran nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer
dewasa ini yakni dari nilai-guna dan nilai-tukar ke nilai-tanda
dan nilai-simbol.
Jean Baudrilard menggunakan juga istilah hiperialitas untuk
menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di
dalam

media.

Hiperealitas

komunikasi,

media

dan

makna

menciptakan satu kondisi, di mana kesemuanya dianggap lebih


nyata daripada kenyataan, dan kepalsuan dianggap lebih benar
daripada kebenaran. Isu lebih dipercaya ketimbang informasi,
rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak
dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara
isu dan realitas. Berkembangnya hiperealitas komunikasi dan
media tidak terlepas dari perkembangan teknologi yang telah
berkembang mencapai teknologi simulasi (Piliang, 2004:150).
Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang
penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu
yang berhubungan dengan mitos yang tidak dapat dilihat
kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor
penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat
menarik minat manusia seperti seni, rumah, kebutuhan
rumah tangga dan lain sebagainya ditayangkan melalui
berbagai media dengan model-model yang ideal, di sinilah
25

batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk


sehingga menciptakan hyperreality di mana yang nyata dan
yang tidak nyata menjadi tidak jelas.
Menurut Baudrillard, didominasi oleh simulacrum. Ini adalah
konsep yang diperkenalkan Jean Baudrillard yang mewakili
tiadanya lagi batas antara yang nyata dengan yang semu. Dunia
telah menjadi dunia imajiner. Lalu dalam bukunya Baudrillard
ketika melihat komoditi sebagai suatu fenomena hiperrealitas,
Baudrillard

melihat

bahwa

yang

terjadi

saat

ini

adalah

berkembangnya wacana sosial-kebudayaan menuju ke arah


kondisi hyper. Kecenderungan hyper sendiri semakin terlihat pada
perkembangan media (contoh: televisi, komputer, multimedia dan
internet). Perkembangan media mampu menciptaan rekayasa
realitas yang tampak seperti nyata tetapi hanya sebuah hasil dari
image penciptaan dari teknologi elektronik. Hasil dari rekayasa
realitas yang menyebabkan kondisi dimana realitas dan rekayasa
yang dibuat bercampur dalam suatu media dan tidak dapat
dibedakan lagi mana realitas dan mana yang bukan (Piliang,
2004).
a. Simulacra
Sebelum menghasilkan hiperealitas terlebih dahulu online
shop membuat sebuah simulacra. Arti dari simulacra sendiri
adalah suatu penggambaran ulang atau penggambaran kembali
suatu objek melalui sebuah simulasi. Pengertian simulacra adalah
suatu ruang dimana hasil simulasi-simulasi atau reduplikasi suatu
objek seperti produk barang dibuat, sehingga antara yang buatan
26

dan asli tidak dapat dibedakan dan hasil simulasi tersebut


menghasilkan

realitas

tersendiri

(Suyanto,

2013).

Tetapi

penggambaran ulang yang dibuat dan menghasilkan sesuatu baru


dan berbeda dengan objek yang sebenarnya. Perkembangan
teknologi virtual saat ini bagi Baudrillard membuat masyarakat
sering terjebak dalam ruang yang dianggapnya realitas. Dalam
dunia seperti sekarang ini banyak dilakukan simulasi dan dibuat
bukan lagi menggambarkan realitas atau kenyataan sebenarnya
yang menjadi patokan utamanya tetapi patokannya adalah
model-model yang didambakan banyak orang (Baudrillard, 1987).

2.6.

Teori Masyarakat Konsumsi

Thorstein Veblen (1857-1929) yang terkenal dengan teorinya


tentang

konsumsi.

Veblen

menyatakan

dengan

fenomena

konsumsi ini akan tercipta suatu kebutuhan dan ketergantungan


terhadap alat-alat teknologi, karena dengan semakin banyaknya
kebutuhan manusia maka semakin meningkatnya kesadaran
dalam berproduksi yang diperlihatkan dengan alat - alat teknologi
yang semakin maju. Dengan kemajuan teknologi ini maka akan
berdampak terhadap perubahan sosial yang ada di dalam
masyarakat itu sendiri.
Konsep Jean Baudrillard mengenai konsumsi adalah salah satu
struktur yang bersifat eksternal dan bersifat memaksa individu
dalam kehidupan masyarakat. Artinya media-media informasi
maupun media elektronik seperti iklan-iklan di radio maupun
27

media online secara tidak langsung telah mempengaruhi pikiran


masyarakat untuk mengkonsumsi benda-benda yang ditawarkan.
Sehingga dalam hal ini masyarakat mau tidak mau memiliki
keinginan untuk memiliki barang-barang yang ditawarkan oleh
media tersebut. Hal ini terlihat, bahwa ada kalanya konsumsi
tersebut memaksa individu untuk segera memiliki barang-barang
yang diinginkan.
Selain itu Jean Baudrillard mengatakan bahwa masyarakat
konsumsi berkaitan dengan apa yang mereka miliki sebagai tanda
objek konsumsi dan masyarakat konsumsi di kontrol oleh tanda
karena objek yang di pergunakan yakni sebagai tanda bukan
sebagai bagian yang di konsumsi. Gaya hidup masyarakat
konsumerisme yang diperkenalkan kepada mereka melalui media
elektronik, media online dan media massa lainnya yang telah
memaksa mereka menyesuaikan diri dengan trend yang sedang
berlangsung di dalam masyarakat (Jean Baudrillard, 1987).
Tenyata

teknologi

informasi

sangat

mendukung

hilangnya

identitas dan kekhasan budaya-budaya lokal. Paul du Gay


mengungkapkan fakta bahwa kebanyakan konsumen dimanapun
melakukan kegiatan konsumsinya terutama demi penentuan
identitas diri mereka. Mereka mengejar trend yang sedang
berlangsung. Status diri hanya ditemukan dengan banyaknya
mengkonsumsi produk-produk yang citra luarnya dianggap bisa
mengangkat derajat identitas dirinya.
2.7.

Kerangka Pemikiran
28

Penelitian terkait dengan judul Hiperrealitas Onlineshop Pada


Instagram

(Studi

Fenomenologi

Perilaku

Konsumtif

Pada

Mahasiswi Fakultas Fisipol Universitas Sebelas Maret) menuntut


penulis

untuk

membuat

sebuah

kerangka

pemikiran

guna

memperjelas jalannya penelitian yang dilaksanakan. Sehingga,


penulis merasa perlu untuk menyusun kerangka pemikiran
mengenai konsep dari tahapan-tahapan penelitian secara teoritis.
Penelitian ini didasarkan pada sebuah kerangka berfikir yang
terdiri

dari

teori-teori

yang

menjadi

pokok

pikiran

dalam

mendeskripsikan masalah yang diteliti dan dapat menjadi acuan


untuk menemukan dan memecahkan masalah.
Penelitian ini mengacu pada teori fenomenologi Alfred Schutz.
Inti pemikiran Schutz adalah bagaimana memahami tindakan
sosial melalui penafsiran. Dimana, tindakan sosial merupakan
tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau orang lain
pada masa lalu, sekarang dan akan datang. Proses penafsiran
dapat digunakan untuk memperjelas atau memeriksa makna
yang

sesungguhnya,

sehingga

dapat

memberikan

konsep

kepekaan yang implisit. Dengan kata lain, mendasarkan tindakan


sosial pada pengalaman, makna, dan kesadaran.
Untuk mendasari penelitian ini agar lebih terarah dalam
penulisannya, maka penulis merasa perlu untuk mengemukakan
pokok persoalan yang menjadi fokus penelitian penulis. Penulis
merancang sebuah kerangka pemikiran yang nantinya akan
menjadi panutan dan penunjuk dalam melaksanakan penelitian

29

ini dengan menghubungkan permasalahan diatas dengan konsepkonsep yang terkait.


Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.7. Kerangka Pemikiran
Mahasiswi

Instagram
Hiperrealit
as
Online Shop

Perilaku Konsumtif
Teori
Hiprrealita
s
(Jean
Baudrilar
Teori
Mayarak
at
Konsums
i

Hiperrealita
s
menimbulk
an perilaku
konsumtif

Simulacra
pada foto
menimbulk
an
hiperrealita

Motif
Mahasis
wi
belanja
di Online
shop

Hiperrealitas Online shop Pada


Instagram (Studi Fenomenologi
Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswi
Fakultas Fisipol UNS
Sumber : Olahan Peneliti, 2016

BAB III
30

Pendekatan
Fenomenolo
gi
(Alfred
Schutz)

METODE PENELITIAN

3.1

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif


dengan pendekatan fenomenologi yang mencari pemahaman
mendalam, serta berusaha memahami arti peristiwa dan kaitankaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasisituasi tertentu. Inkuiri fenomenologi memulai dengan diam yang
merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang
sedang diteliti. Sehingga, studi dengan pendekatan fenomenologi
berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah
orang tentang suatu konsep atau gejala, yang dalam hal perilaku
konsumtif mahasiswi dalam ini termasuk di dalamnya tentang
faktor dan motif.
Dalam

penelitian

ini,

peneliti

menggunakan

metode

interpretasi yang sama dengan orang yang diamati, sehingga


peneliti bisa masuk ke dalam dunia interpretasi mahasiswi
sebagai pelaku konsumtif di Fakultas Fisipol Universitas Sebelas
Maret. Dimana, pada praktiknya peneliti mengasumsikan dirinya
sebagai orang yang tidak tertarik atau bukan bagian dari dunia
mahasiswi pelaku konsumtif. Peneliti hanya terlibat secara kognitif
dengan orang yang diamati.
Berikut akan diuraikan sifat-sifat dasar penelitian kualitatif
yang relevan menggambarkan posisi metodologis fenomenologi
31

dan membedakannya dengan penelitian kuantitatif (Kuswarno,


2009:36-38), yaitu:
1. Menggali

nilai-nilai

dalam

pengalaman

dan

kehidupan

manusia.
2. Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada
per bagian yang membentuk keseluruhan itu.
3. Tujuan penelitian adalah menemukan makna dan hakikat
dari pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau
mencari ukuran-ukuran realitas.
4. Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang
pertama melalui wawancara formal dan informal.
5. Data yang diperoleh adalah dasar bagi penegetahuan orang
pertama melalui wawancara formal dan informal.
6. Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan,
keterlibatan dan komitmen pribadi dari peneliti.
Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut di atas, akan sejalan
dengan ciri-ciri penelitian fenomenologi (Kuswarno, 2009:37-38)
berikut ini:
1) Fokus pada sesuatu yang nampak, kembali kepada yang
sebenarnya (esensi), keluar dari rutinitas,dan keluar dari apa
yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari.
2) Fenomenologi
tertarik
mengamati

entitas

dari

dengan
berbagai

keseluruhan,
sudut

dengan

pandang

dan

perspektif, sampai diperoleh pandangan dari esensi dari


pengalaman atau fenomena yang akan diamati.
3) Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan,
dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui
32

pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa


kepada ide, konsep, penilaian, dan pemahaman hakiki.
4) Fenomenologi
mendeskripsikan
pengalaman,
bukan
menjelaskan

atau

menganalisisnya.

fenomenologi

akan

sangat

dekat

Sebuah

dengan

deskripsi

kealamiahan

(tekstur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang) dari sesuatu.


Sehingga, deskripsi akan mempertahankan fenomena itu
sepeti apa adanya, dan menonjolkan sifat alamiah dan
makna dibaliknya. Selain itu, deskripsi juga membuat
fenomena hidup dalam term yang akurat dan lengkap.
Dengan kata lain, sama hidup-nya antara yang tampak
dalam kesadaran dengan yang terlihat oleh panca indera.
5) Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang
langsung berhubungan dengan makna dari fenomena yang
diamati. Dengan demikian, penelitian fenomenologi akan
sangat dekat dengan fenomena yang diamati. Analoginya
peneliti itu manjadi salah satu bagian puzzle dari sebuah
kisah atau biografi.
6) Intergrasi dari subjek dan objek. Persepsi peneliti akan
sebanding

atau

sama

dengan

apa

yang

dilihatnya/didengarnya. Pengalaman akan suatu tindakan


akan membuat objek menjadi subjek, dan subjek menjadi
objek

investigasi

yang

dilakukan

dalam

kerangka

intersubjektif, realitas adalah salah satu bagian dari proses


secara keseluruhan.
7) Data yang diperoleh (melalui berpikir, intuisi, refleksi, dan
penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan
ilmiah.
33

3.2

Lokasi dan Jadwal Penelitian

3.2.1

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Jl. Ir. Sutami No. 36A, Jawa


Tengah 57126. Adapun alasan peneliti memilih lokasi penelitian
tersebut

berdasarkan

dari

fenomena

yang

ada

berada

di

lingkungan kampus Fakultas Fisipol UNS.


3.2.2 Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian yang dilaksanakan peneliti, mulai dari
proses pengumpulan data, pengolahan dan tahap penyuntingan
data pada penelitian ini, dilaksanakan selama 3 bulan yang
berlangsung mulai bulan Maret 2016 hingga bulan Mei 2016.

3.3

Jenis dan Sumber Data Penelitian

Ada dua jenis data penelitian yang digunakan, yaitu:


1. Data primer merupakan sumber data pertama dimana sebuah
data akan dihasilkan (Bungin, 2001: 129). Ada dua metode yang
digunakan dalam pengumpulan data primer, yaitu melalui survey
dan

observasi

(Ruslan,

2010:

138).

Perolehan

data

dapat

dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan informan.


Adapun yang menjadi informan pada penelitian ini adalah orangorang yang menjadi subjek penelitian ini yaitu Mahasiswi Fakultas
Fisipol UNS yang melakukan belanja Online shop di Instagram.

34

2. Data sekunder merupakan data kedua setelah sumber data


primer. Data sekunder yaitu data yang tersusun dalam bentuk
dokumen dan referensi yang peneliti peroleh studi kepustakaan
dalam bentuk dokumen dan referensi yang peneliti peroleh dari
dokumentasi pelaku perilaku konsumtif online shop di Fakultas
Fisipol Universitas Sebelas Maret.
3.4

Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan teknikteknik sebagai berikut:


1) Observasi Partisipan (Participant Observatrion)
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan
sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penulis. Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi partisipan,
dimana

pengamatan

bagaimana

manusia

ini

dianggap

berperilaku

cocok

dan

untuk

memandang

meneliti
realitas

kehidupan mereka dalam lingkungan mereka yang biasa, rutin


dan alamiah. Peneliti berusaha memahami makna yang dianut
subjek penelitian terhadap perilakunya dan perilaku orang lain,
terhadap objek-objek dan lingkungannya (Mulyana, 2010:167).
Dalam penelitian ini, penulis melakukan observasi partisipan
(Participant

Observatrion)

dengan

terlibat

dalam

kegiatan

konsumtif online shop serta menjalin hubungan baik dengan


subjek penelitian. Sehingga, data yang diperoleh akan lebih
lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dan
setiap perilaku yang nampak.

35

2) Wawancara Mendalam (In-Depth Interview)


Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin mendapatkan informasi dari
seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan

tujuan

tertentu

(Mulyana,

2010:180).

Dalam

penelitian ini, wawancara yang dilakukan adalah wawancara


mendalam

(in-depth

interview),

yaitu

proses

memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab


sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau
orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman

(guide)

wawancara,

di

mana

pewawancara

dan

informan terlibat dalam kehidupan social yang relatif lama


(Bungin, 2007: 111).
Pada penelitian ini, proses in-depth interview (wawancara
mendalam) dilakukan secara tidak berstruktur

dengna tujuan

untuk mendapatkan data dari informan dengan mengajukan


pertanyaan, terkait dengan penelitian yang dilakukan. Sedangkan
informan bertugas untuk menjawab pertanyaan yang diajukan
oleh pewawancara. Meskipun demikian, informan berhak untuk
tidak menjawab pertanyaan yang menurutnya privasi.
3) Dokumentasi
Selain wawancara dan observasi, pengumpulan data yang
dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan

teknik

dokumentasi

atau

studi

pustaka.

Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data penelitian dilakukan


dengan cara mengumpulkan data-data yang relevan, yang

36

diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah/surat kabar yang ada


kaitannya dengan penelitian.

3.5

Teknik Analisis Data

Teknik analisa data dalam penelitian ini mengacu pada


model interaktif Huberman dan Miles (dalam Bungin, 2011).
Teknik analisis data model interaktif Huberman dan Miles
menyatakan adanya sifat interaktif antara kolektif data atau
pengumpulan data dengan analisis data. Analisis data yang
dimaksud yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data
atau

Pengumplan Data

Pengorganisasian Data

penarikan

Reduksi Data

Pemaparan dan Kesimpulan

kesimpulan.
Gambar 1.1 Komponen-Komponen analisis Data Model
Interaktif

37

Sumber: Bungin, 20011


Reduksi adalah mengelompokan data dengan bentuk analisis
yangmenajamkan,

menggolongkan,

mengarahkan

dan

membuang data yang tidak diperlukan serta mengorganisir data


tersebut. Dengan mengorganisir data maka dapat dengan mudah
menyajikan atau memaparkan data-data yang diperlukan untuk
disimpulkan
demikian

dengan

dapat

cara

ditarik

induktif

pada

kesimpulan

penelitian,

atau

verifikasi

dengan
dalam

menganalisis data penelitian (dalam Bungin, 2011).


3.6

Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

a) Ketekunan Pengamatan
Dalam mencapai keabsahan data dalam penelitian ini,
peneliti

menggunakan

ketekunan

pengamatan.

Ketekunan

pengamatan merupakan teknik yang mengharuskan peneliti


mencaritemukan kedalaman. Karena itu prinsip sempit dan dalam
mesti diterapkan. Sehingga, peneliti harus lebih fokus, melakukan
pengamatan lebih rinci, terus-menerus atau berkesinabungan
sampai menemukan penjelasan yang mendalam terhadap gejala
atau fenomena yang sangat menarik dan menonjol (Kartono,
1990:50).
b) Perpanjangan Keikutsertaan
Perpanjangan Keikutsertaan (PK) mengharuskan peneliti
lebih lama di lapangan dan bertemu serta berkomunikasi dengan
38

lebih banyak orang. Ini dilakukan bukan saja untuk meningkatkan


keakraban, juga untuk meningkatkan kualitas kepercayaan. Jika
orang-orang yang diteliti semakin akrab dan percaya pada
peneliti, maka apa pun yang hendak digali lebih dalam akan
didapatkan oleh peneliti (Putera, 2012: 168).
Peneliti

dilapangan

lebih

lama,

berarti

pula

ia

dapat

menghindari distorsi yang mungkin terjadi selama pengumpulan


data bahkan dapat melakukan cek ulang setiap informasi yang
didapatnya,

sehingga

kesalahan

mendapat

informasi

dapat

dihindari (Bungin, 2011:262-263).


c) Kecukupan Referensi
Keabsahan data hasil penelitian
dengan

memperbanyak

referensi

yang

juga dapat dilakukan


dapat

menguji

dan

mengoreksi hasil penelitian yang telah dilakukan, baik referensi


yang berasal dari orang lain maupun referensi yang diperoleh
selama penelitian seperti gambar, video dilapangan, rekaman
wawancara, maupun catatan-catatan harian di lapangan dengan
menggunakan perekam suara, perekam gambar (handycam) dan
kamera foto (Bungin, 2011: 267). Alat pendukung atau alat bantu
ini penting artinya untuk pengecekan anggota, membantu peneliti
membuat laporan yang lengkap dan bukti kepada pihak lain
bahwa penelitian memang telah dilakukan (Putera, 2012: 201).

39

Daftar Pustaka

Atkinson, Rita . L., Richard C. Atkinson, Edward E. Smith, Daryl J,


Bem, 2010. Pengantar Psikologi. Tangerang: Interaksara
Baudrillard, J. (1987). Forget Foucault and forget Baudrillard.
Pequin Book
_________, 1993. Symbolic Exchange and Death, Sage, London
Berger, peter, & Thomas Luckmann. 1975. The Social
Construction Of Reality, A Treatise In The Sociology Of
Knowledge. Australia : penguin Books
Bungin, Burhan, 2011. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
40

Burns, E. (2005) Online retail growth robust. [WWW


document].URL
http://www.clickz.com/stats/sectors/retailing/print.php/350754
1(accessed on 17 January 2006)
Gunter, B. & Furnham, A. (1998) Children as Consumers.
Routledge, New York
Interactive, H. (2004) College students tote $122 billion in
spending power back to campus this year. [WWW
document].URL
http://www/harrisinteractive.com/news/index.asp?
NewsID=835(accessed on 17 February 2007)
Kuswarno, Engkus,2009. Metodologi Penelitian Komunikasi
Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian
Fenomena Pengemis Kota Bandung. Bandung: Widya
Padjadjaran. McQuail, D. (2011). Teori komunikasi massa.
Jakarta: Salemba Humanika
Mulyana, Deddy, 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Muslih, Mohammad, 2004. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi
Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Belukar
ODonell and Associates, LLC (2004) College student spending
behavior.
[WWW
document].
URL
http://www.odassoc.com/resources/docs (accessed on 25 May
2005)
Ossorio, S. (1995) Teen spending soars to $96 billion in 1994.
Tucson Citizen, 12 April, 3

41

Piliang, Yasraf Amir. (2004). Dunia yang dilipat.Yogyakarta : Jalan


SutraBaudrillard, 1987
Putera, Nusa, 2012, Penelitian Kualitatif: Proses dan Aplikasi.
Jakarta: Permata Puri Media
Sumartono. (2002). Terperangkap dalam Iklan (Meneropong
Imbas Pesan Iklan Televisi). Bandung: Alfabeta
Sutisna. 2001. Pemasaran, Perilaku Konsumen, Komunikasi
Pemasaran. Bandung : Remaja Rosadakarya
Suyanto, Bagong. (2013). Sosiologi ekonomi: kapitalisme dan
konsumsi di era masyarakat post-modernisme. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Ruslan, Rosady, 2010. Metode Penelitian: Public Relations Dan
Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Wicaksono, Y. (2008). Panduan Praktis Buka Usaha dengan Modal
Laptop. Jakarta: Elex Media Komputindo
Jurnal
Lestari, S. 2006. Hubungan Antara Harga Diri dan Konformitas
dengan Perilaku Konsumtif terhadap Produk Fashion pada
Remaja Putri. Skripsi (Tidak diterbitkan). Surakarta. : Fakultas
Psikologi UMS
Zebua, A. S., & Nurdjayadi, R. D. (2001). Hubungan antara
Konformitas dan Konsep Diri dengan Perilaku dengan Perilaku
Konsumtif pada Remaja Putri. Phronesis. Vol. 3, No. 6, 72-82
Loekamto, A. (2012). Implementasi Technology Acceptance Model
(TAM) Dalam Online Shopping. Kajian Ilmiah Mahasiswa
Manajemen Vol 1 No 3
42

Liang, T., and Lai, H.Electronic store design and consumer choice:
an empirical study,Proceedings of the 33rd Hawaii
International Conference on System Sciences, 2000
Kim, J. & LaRose, R. (2004) Interactive e-commerce: promoting
consumer
efficiency or impulsivity? Journal of Computer-Mediated
Communication,10.
[WWW
document].
URL
http://jcmc.indiana.edu/
vol10/issue1/kim_larose.html (accessed on 2 September
2005)
Na Li and Ping Zhang. 2002. Consumer Online Shopping Attitudes
And Behavior: An Assessment Of Research. Syracuse
University
Roemer, K. (2003) Online shopping big for students this year.
2004
Indiana
DailyStudent.
[WWWdocument].URLhttp://www.idsnews.com/news/index.ph
p (accessed on 6 February 2006)
Yoo-Kyoung Seock and Lauren R. Bailey. 2007.The influence of
college students shopping orientations and gender
differences on online information searches and purchase
behaviours. Department of Textiles, Merchandising and
Interiors, University of Georgia, Athens, GA, USA
Sumber Web
http://startupbisnis.com/ecommerceindonesia-data-dari-tokopedia
menunjukkan-dominasiwanita-dalamhal-berbelanja-onlinebaik sebagai pembeli- maupun-penjual-online/ (diakses pada
18 Desember 2015)

43

http://tekno.kompas.com/read/2015/09/24/09160067/Instagram.D
iserbu.400.Juta.Pengguna.Termasuk.Indonesia (Diakses pada
13/12/2015)

44

45

Anda mungkin juga menyukai