Anda di halaman 1dari 171

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era revolusi industri 4.0 perubahan terjadi begitu cepat, transformasi dalam sistem
pendidikan harus dilakukan untuk memastikan bahwa pendidikan dalam suatu bangsa
berupaya memberikan pendidikan terbaik kepada generasi mendatang. Sejalan
dengan perkembangan tersebut, perbaikan dan evaluasi terhadap pendidikan terus
dilakukan. Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan yang efektif membutuhkan
seorang pemimpin yang handal dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam
mengatur sebuah lembaga pendidikan.

Peran kepemimpinan kepala sekolah telah diteliti secara mendalam dan membuktikan
bahwa kepemimpinan kepala sekolah menentukan keefektifan sekolah (Blase, 1987;
Day, Harris, & Hadfield, 2001a; Mayer & Caruso, 2002). Sekolah yang efektif,
adalah keberhasilan seorang pemimpin yang tidak hanya menetapkan arah, mengatur
dan memantau, membangun hubungan dengan komunitas sekolah dan berpusat pada
orang, tetapi mereka juga memodelkan nilai dan praktik konsisten dengan yang ada di
sekolah (Day, Harris, & Hadfield, 2001b). Dari penelitian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa sekolah yang efektif selalu dipimpin oleh kepala sekolah yang
efektif. Hal serupa pula disampaikan oleh beberapa pendapat bahwa, jarang kita
menemukan suatu sekolah efektif tanpa kepala sekolah yang efektif (Sergiovani,
2005; Teddlie, Kirby, & Stringfield, 1989). Demikian pula Rossow (1990)
mengatakan, bahwa kepala sekolah dapat menjadi unsur kunci dalam mencapai
sekolah yang efektif.

Pernyataan pendapat di atas menyiratkan pesan bahwa untuk menduduki posisi


kepala sekolah dituntut dipenuhinya persyaratan baik unjuk kerja, administratif,
2

akademik maupun kepribadian. Terpenuhinya persyaratan itu mengandung arti bahwa


kepala sekolah memiliki kelebihan sehingga mampu berperan sebagai pemimpin
sekolah. Kemampuan yang dimiliki telah terseleksi baik seleksi diri, karier maupun
seleksi organisasi (Harris, 2002). Wiles dan Bondi (1983) mengatakan, seseorang
terseleksi untuk menjadi kepala sekolah antara lain mengacu kepada tanggung jawab,
kualifikasi dan pengalaman bukan berdasarkan atas gender.

Di Indonesia, pengangakatan kepala sekolah berdasarkan pada Permendikbud Nomor


6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah. Secara garis besar,
Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018 terdiri dari 12 bab dan 25 pasal (Yusuf, 2020).
Dalam permendikbud tersebut terdapat pasal 2 yang berisikan syarat bakal calon
kepala sekolah yang terdiri dari: (1) pendidikan minimal S1/DIV dan memiliki
sertifikat pendidik, (3) golongan III/C dengan masa kerja minimal 6 tahun, (4)
prestasi kerja 2 tahun terakhir minimal baik, (5) pernah mendapat tugas manajerial
minimal 2 tahun, (6) sehat jasmani dan rohani serta bebas napza, (7) tidak sedang
mengalami hukuman disiplin atau menjadi tersangka, dan (8) berusia setinggi-
tingginya 56 tahun. Dari syarat yang tertera pada Permendikbud Nomor 6 Tahun
2018 tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi kepala sekolah, siapa saja
yang memenuhi persyaratan tersebut dapat dipromosikan menjadi kepala sekolah,
terlepas dari faktor gender (jenis kelamin), yakni terbuka peluang bagi siapa saja,
apakah perempuan atau kah laki-laki, asalkan mampu dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh unit yang bertanggung jawab terhadap pengangkatan kepala
sekolah.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan
formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan
menengah sebagai lanjutan dari SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat atau
lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama/setara SMP/MTs (UU Nomor 20 Tahun
2013, Pasal 18 ayat [3]). Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. (UU
3

Nomor 20 Tahun 2013, Penjelasan Pasal 15). Berdasarkan data statistik, jumlah
kepala SMK negeri menurut jenis kelamin dan golongan, yang dikeluarkan oleh
Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2019/2020 disampaikan bahwa jumlah
SMK Negeri di seluruh Provinsi di Indonesia sebanyak 3622 sekolah, jumlah kepala
sekolah dan guru laki-laki sebanyak 15,067 orang sementara jumlah kepala sekolah
dan guru perempuan sebanyak 12,144 orang (referensi.data.kemdikbud.go.id, data
statistik mengenai jumlah kepala sekolah dan guru Menengah Kejuruan Negeri
menurut jenis kelamin dan golongan).

Sedangkan Jumlah SMK Negeri di Provinsi Lampung tahun 2020/2021 sebanyak 110
sekolah, dari jumlah sekolah negeri tersebut 87 sekolah dipimpin oleh kepala sekolah
laki-laki, sementara 23 sekolah dipimpin oleh kepala sekolah perempuan (Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung). Sementara di Bandar Lampung
yang merupakan ibukota provinsi memiliki 9 SMK negeri, yang tersebar di Kota
Bandar Lampung. Dari 9 SMK negeri yang ada, 3 SMK negeri dipimpin oleh kepala
sekolah perempuan, sementara 6 sekolah lainnya dipimpin oleh kepala sekolah laki-
laki (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, 2020).

Berdasarkan pemaparan di atas, secara kuantitas jumlah kepala sekolah perempuan


menunjukkan persentase yang cukup tinggi, keterlibatan perempuan dalam hal
memimpin sekolah sudah sangat diperhitungkan. Namun terlepas dari hal tersebut,
tak dapat dipungkiri bahwasanya perempuan secara kodrati berbeda dari laki-laki,
dimana perempuan mengalami masa mentruasi, melahirkan dan menyusui. Tak hanya
itu perempuan yang menjadi seorang pemimpin, dalam hal ini menjadi kepala sekolah
akhirnya memiliki peran ganda, dimana satu posisi sebagai kepala sekolah dan sisi
lainnya sebagai ibu dan istri di rumah tangga (Harsiwi, 2004; Martins, Eddleston, &
Veiga, 2002). Selain itu, kepala sekolah perempuan tidak jarang menghadapi banyak
hambatan yang berasal dari sikap budaya masyarakat yang masih kental dengan
sistem patriarkinya, yang menganggap perempuan sebagai jenis gender ke-dua.
Seperti hal nya pendapat para sosiolog antara lain Willem dan Besi dalam Griffith
4

dan Thompson, (1998) “man are stronger, more robust, and more ra tional than
women. Women on the other hand are gentle, kind, patient, and understanding and as
a consequence work-ing with children is more suited to what women are like.”
Pandangan citra baku gender disosialisasikan secara turun temurun sejak kanak-kanak
sehingga melanggengkan suatu konstruksi sosial tentang bagaimana seharusnya
perempuan dan laki-laki berperan, bersikap dan berbuat (Riley, 1998). Pandangan
tentang norma hubungan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat berlaku pula
dalam pendidikan. Bentukan budaya gender menyebabkan persepsi laki-laki terhadap
ketidakberdayaan (helplessness) perempuan begitu mendalam. Hal ini sejalan dengan
pendapat Alfonso, Firth, dan Neville (1981) bahwa laki-laki masih tetap menjadi a
major impedement bagi perempuan dalam kepemimpinannya. Menurut Beason
(1992) sekalipun perempuan telah menduduki jabatan kepala sekolah, mereka tetap
menghadapi kendala dominasi seks. Dampaknya, meskipun perempuan telah
menduduki posisi kepala sekolah, ternyata persepsi gender yang tradisional masih
tetap digunakan baik oleh perempuan maupun laki-laki. Masyarakat masih
menggunakan perspektif gender yang tradisional, menganggap bahwa tugas “publik”
adalah tugas laki-laki. Perspektif gender para guru ataupun kepala sekolah itu sendiri
mempengaruhi kepemimpinan perempuan sebagai kepala sekolah.

Penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2013) kesuksesan seorang perempuan


dalam bekerja harus ada komunikasi antara suami dan istri, dan menyeimbangkan
peran nya antara peran di dalam keluarga dan peran nya di dunia kerja. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Valcour (2007) bahwa keseimbangan kerja
keluarga akan mengefektifkan peran serta perempuan dalam ranah publik dan ranah
domestik.

Mengacu pada pemaparan di atas, bahwasanya seorang pemimpin perempuan dalam


menjalankan kepemimpinannya mengalami banyak kendala maupun keunggulan
yang melekat pada dirinya sebagai seorang pemimpin perempuan. Hal tersebutlah
menarik peneliti untuk melihat lebih jauh, kendala apa saja yang dihadapi oleh
5

seorang pemimpin perempuan dalam menjalankan roda organisasi agar tetap berjalan
secara efektif serta tindakan apa yang dilakukan untuk mengantisipasi kelemahan
yang ada serta menguatkan keunggulan yang ada.

Sampai saat ini, penelitian tentang kepemimpinan perempuan sudah banyak


dilakukan. Namun dari data yang peneliti dapatkan, penelitian tentang kepemimpinan
perempuan hanya sebatas tentang bagaimana gaya kepemimpinan perempuan dalam
memimpin sebuah organisasi, dan cara komunikasi kepemimpinan perempuan.
Sementara penelitian ini difokuskan untuk melihat kendala-kendala yang dihadapi
oleh kepemimpinan kepala sekolah yang ditinjau dari perspektif gender serta melihat
bagaimana kebijakan yang diterapkan untuk mengatasi kendala atau hambatan yang
terjadi.

Penelitian ini dilakukan di SMK Negeri 8 Bandar Lampung, yang merupakan salah
satu sekolah menengah kejuruan yang ada di Bandar Lampung. SMK Negeri 8
Bandar Lampung, termasuk SMK termuda kedua, didirikan tanggal 11 April 2014 di
Bandar Lampung. Lembaga ini dipimpin oleh kepala sekolah perempuan untuk
pertama kalinya.

Menjadi kepala sekolah bukanlah hal yang mudah, karena berbagai tantangan,
hambatan dan permasalahan yang kompleks selalu ada. Apalagi kepala sekolah di
SMK Negeri 8 Bandar Lampung adalah seorang perempuan, dimana tugas utama
perempuan harus mengurusi suami dan anaknya, dari memasak dan mengurusi semua
kebutuhan keluarga. Selanjutnya harus memfokuskan pada jabatannya yaitu menjadi
kepala sekolah yang menjadi panutan bagi guru-guru, staf dan seluruh siswa. Peran
ganda yang di mainkan oleh beliau, bukanlah hal yang mudah. Beliau harus mampu
menyeimbangkan antara peran sebagai kepala sekolah dan juga peran sebagai istri.
Meskipun begitu, beliau melaksanakan tugas sekolah dengan baik. Ini terbukti
kehadiran beliau disekolah selalu mendahului guru-guru nya. Disisi lain sosok kepala
sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung yang masih muda, energik, mampu
6

membaca kondisi sekolah yang dipimpinnya menjadikan faktor untuk menjadi kepala
sekolah yang efektif. Berdasarkan wawancara peneliti dengan kepala sekolah SMK
Negeri 8 Bandar Lampung, bahwasanya beliau untuk menjadi kepala sekolah telah
mendapatkan izin dari suami dan mendapatkan dukungan serta support dari keluarga
baik suami dan anak-anaknya.

SMK Negeri 8 Bandar Lampung merupakan salah satu SMK yang memiliki produk
unggulan produksi sekolah, dari hasil pengamatan yang dilakukan peneliti bahwa
SMK Negeri 8 Bandar lampung, memiliki produk yang dihasilkan dari setiap jurusan
dimana produk tersebut diproduksi dan dipasarkan tidak hanya di lingkungan sekolah
namun juga di lingkungan luar sekolah, melalui offline maupun melalui market place
seperti Shoope, dan Lazada. Tak hanya itu, prestasi di bidang akademik pun
mengalami signifikan, ini terlihat dari prestasi yang didapat siswa SMK Negeri 8
Bandar Lampung melalui ajang perlombaan baik tingkat daerah, maupun tingkat
Nasional.

Berdasarkan pemaparan di atas bahwasanya untuk menjadi kepala sekolah baik laki-
laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama, tidak ada pembedaan gender,
yang membedakanya adalah kemampuan, skill dan kompetensinya. Selama
persyaratan menjadi kepala sekolah terpenuhi, baik laki-laki maupun perempuan bisa
dan dapat menjadi kepala sekolah. Namun kenyataannya, secara kodrati perempuan
berbeda dari laki-laki, perempuan mengalami masa menstruasi, melahirkan, bahkan
menyusui, dan stigma kultur budaya yang telah melekat pada diri perempuan tersebut,
menjadi sesuatu yang tak mudah bagi perempuan memainkan perannya sebagai
seorang pemimpin. Sebagai seorang pemimpin perempuan yang mengalami masa-
masa tersebut, dimana harus menyeimbangkan antara kepentingan sekolah dan
kepentingan keluarga. Hal tersebutlah kemudian menarik peneliti untuk menelaah
lebih jauh bagaimana kepemimpinan kepala sekolah ditinjau dari perspektif gender,
faktor-faktor kekuatan dan kelemahan apa saja yang dialami kepemimpinan kepala
sekolah perempuan, serta bagaimana model kebijakan yang tepat dalam mengatasi
7

kelemahan tersebut serta mendorong kekuatan yang ada demi terwujudnya sekolah
yang efektif.

1.2 Fokus Penelitian

Beberapa literatur menjelaskan bahwa fokus penelitian merupakan batasan masalah


yang berisi pokok masalah sebagai parameter penelitian. Fokus penelitian ini adalah
“Kepemimpinan kepala sekolah perempuan studi di SMK Negeri 8 Bandar
Lampung?”. Fokus penelitian tersebut kemudian dijabarkan menjadi dua sub fokus
sebagai berikut:

1.2.1 Faktor- faktor pendukung dan penghambat kepemimpinan kepala sekolah


perempuan dengan studi di SMK Negeri 8 Bandar Lampung.
1.2.2 Model Kebijakan yang tepat untuk mengatasi kelemahan dan memperkuat
keunggulan kepemimpinan kepala sekolah perempuan studi di SMK Negeri 8
Bandar Lampung.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan konsep dan alur pikir di atas, muncul beberapa pertanyaan penelitian
untuk menggali lebih dalam yang terkait dengan efektifitas kepemimpinan kepala
sekolah perempuan. Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1.3.1 Apa saja faktor- faktor pendukung dan faktor – faktor penghambat
kepemimpinan kepala sekolah perempuan di SMK Negeri 8 Bandar
Lampung?
1.3.2 Bagaimana model kebijakan yang tepat untuk mengatasi kelemahan dan
memperkuat keunggulan kepemimpinan kepala sekolah perempuan di SMK
Negeri 8 Bandar Lampung?
8

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data empirik, menemukan data tentang
kepemimpinan kepala sekolah perempuan di SMK Negeri 8 Bandar Lampung.
Adapun tujuan khususnya pada penelitian ini untuk menganalisis dan
mendeskripsikan:
1.4.1 Faktor- faktor pendukung dan penghambat kepemimpinan kepala sekolah
perempuan di SMK Negeri 8 Bandar Lampung.
1.4.2 Model kebijakan yang tepat untuk mengatasi kelemahan dan memperkuat
keunggulan kepemimpinan kepala sekolah perempuan di SMK Negeri 8
Bandar Lampung.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian berisi tentang konstribusi apa yang akan diberikan setelah
melakukan penelitian. Manfaat dapat berupa kegunaan secara teoritis dan kegunaan
praktis. Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.5.1 Secara Teoretis
Secara teoritis penelitian ini akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
manajemen pendidikan, utamanya dalam pengembangan ilmu manajemen
kepemimpinan. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan mampu memberi
kontribusi pada ilmu pengetahuan dan memberikan masukan bagi pembaca
serta peneliti lainnya. Penelitian ini diharapkan juga mampu menjadi referensi
dasar bagi pengembangan penelitian dan juga berkontribusi sebagai literatur.
1.5.2 Manfaat Praktis
1.5.2.1 Kepala Sekolah
Penelitian ini diharapakan mampu memberikan gambaran tentang
faktor kelemahan kepemimpinan kepala sekolah perempuan, hingga
9

dapat melakukan antisipasi dalam melaksanakn kepemimpinannya


serta dapat memotivasi kepada pemimpin perempuan agar tetap
semangat memimpin dan memberikan pelayanan terbaik kepada para
bawahannya.
1.5.2.2 Pendidik
Penelitian ini diharapakan dapat memotivasi para perempuan bahwa
perempuan tidak hanya bisa menjadi seorang pendidik tetapi juga bisa
menjadi seorang pemimpin
1.5.2.3 Tenaga Kependidikan
Penelitian ini diharapakan dapat memotivasi para perempuan
terutama bagi perempuan yang berada di posisi kepemimpinan
menengah dan bawah, bahwa perempuan juga mampu menjadi
pemimpin puncak.

1.6 Defenisi Istilah

Defenisi istilah biasa disebut defenisi operasional merupakan penegasan untuk


menjabarkan fokus penelitian terkait batasan masalah yang akan diteliti. Adapun
deskripsi fokusnya sebagai berikut:
1.6.1 Efektifitas Kepemimpinan
Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukan keberhasilan (atau
kegagalan) kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
terlebih dahulu. Efekivitas tugas seorang manajer adalah seberapa jauh kepala
sekolah mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari tugasnya menjadi seorang
pemimpin, sebagai pendidik, motivator dan sebagai supervisor.
1.6.2 Kepala Sekolah
Kepala sekolah adalah guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin
suatu sekolah yang diselenggarakan proses belajar-mengajar atau tempat
terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang
menerima pelajaran.
10

1.6.3 Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Dalam
Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang
tampak antara pria dan wanita dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Gender
merupakan pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat. Dengan kata lain gender dapat diartikan sebagai harapan-
harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for
women and men).
1.6.4 Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan merupakan kegiatan mempengaruhi banyak orang melalui
komunikasi untuk mencapai tujuan. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan laki-
laki dan perempuan serta mempunyai kedudukan, derajat, hak serta kewajiban
yang sama. “laki-laki berbeda dengan perempuan” namun hanya terbatas pada
perbedaan biologis. Perempuan identik sebagai sosok yang lembut, cenderung
mengalah, lebih lemah, kurang aktif dan berkeinginan untuk mengasuh.
Sebaliknya, laki-laki sering ditampilkan sebagai seseorang yang besar,
dominan, lebih kuat, lebih aktif, otonomi serta agresif.
1.6.5 Kesetaraan gender
Kesetaraan gender merupakan suatu keadaan dimana antara laki-laki dan
perempuan setara dalam pemenuhan hak dan kewajiban
1.6.6 SMK Negeri 8 Bandar Lampung
SMK Negeri 8 Bandar Lampung merupakan salah satu SMK negeri yang ada
di kota Bandar Lampung. SMK Negeri 8 Bandar Lampung berdiri tanggal 11
April 2014.
11

II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA FIKIR

2.1 Kepemimpinan Kepala Sekolah

2.1.1. Pengertian Kepemimpinan

Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulai nya sejarah


manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk
mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa
orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas dalam
bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri
karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan
tertentu. Kepemimpinan dapat didefenisikan hal yang penting karena
menyangkut tentang bagaimana memanajemen sumber daya manusia yang ada
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kepemimpinan
didefinisikan sebagai kemampuan mempengaruhi bawahan agar menjadi taat,
hormat, setia, dan mudah bekerja sama (Gill, 2011). Sedangkan menurut
Stogdill (1974), mendefinisikan kepemimpinan sebagai: (1) titik fokus proses
kelompok; (2) kepribadian dan pengaruhnya; (3) seni agar bujukan dipenuhi;
(4) latihan mempengaruhi; (5) tindakan atau perilaku; (6) bentuk membujuk;
(7) kekuatan hubungan; (8) instrumen mencapai tujuan; (9) suatu pengaruh
interaksi; (10) suatu perbedaan peran; dan (11) inisiasi struktur.

Dubrin (2005), mengemukakan kepemimpinan itu adalah upaya mempengaruhi


banyak orang melalui komunikasi untuk mencapai tujuan, cara mempengaruhi
orang dengan petunjuk atau perintah, tindakan yang menyebabkan orang lain
bertindak atau merespons dan menimbulkan perubahan positif, kekuatan
dinamis penting yang memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam
12

rangka mencapai tujuan, kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan
dukungan di antara bawahan agar tujuan organisasional dapat tercapai.

Definisi kepemimpinan menurut Bush (2008), adalah tindakan mempengaruhi


orang lain untuk mencapai tujuan akhir yang diharapkan. Pendapat Bush
mendapat dukungan Yukl (2011), yang menyatakan bahwa kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi orang lain untuk memahami dan menyetujui
kebutuhan yang harus dipenuhi dan cara melakukannya, serta proses
memfasilitasi individu dan kelompok dalam mencapai tujuan bersama. Jika
Yukl menyatakan kepemimpinan memfasilitasi individu dan sosial, Northouse
(2019), menyatakan kepemimpinan adalah proses sosial yang terjadi dalam
kelompok yang terlibat dalam mencapai tujuan bersama dan kepemimpinan
adalah sifat-sifat, kemampuan, keterampilan, perilaku, dan hubungan manusia.

Hoy dan Miskel (1987), menyatakan, “We define leadership broadly as a


social process in which an individual or a group influences behavior toward a
shared goal.” Yakni kepemimpinan didefenisikan secara luas sebagai proses
sosial di mana seseorang atau kelompok mempengaruhi perilaku menuju
tujuan bersama. Sementara Kepemimpinan sekolah menurut Smith & Piele
(2012) “The activity of mobilizing and empowering others to serve the
academic and related needs of students with utmost skill and integrity.”
Kepemimpinan sekolah adalah kegiatan menggerakkan dan memberdayakan
orang lain untuk memberikan pelayanan akademik sesuai dengan kebutuhan
siswa, termasuk keterampilan dan integritas siswa.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas dengan


demikian dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan kepemimpinan adalah
proses mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok serta memiliki
kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau anggota untuk mencapai
tujuan organisasi atau kelompok secara efektif dan efisien. Oleh karena itu
13

diperlukan kemampuan yang baik dari seorang pemimpin untuk mempengaruhi


bawahan tanpa harus memaksa mereka. Dengan sifat kepemimpinannya,
seorang pemimpin bisa mempengaruhi dan mengarahkan bawahan untuk
bekerja dengan sukarela tanpa harus dipaksa.

2.1.2 Kepemimpinan Kepala sekolah yang Efektif

Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya


(his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja
yang memuaskan. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk
kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan
dalam berbagai situasi. Seorang pemimpin yang efektif akan berusaha
memberdayakan seluruh karyawan dalam organisasi/perusahaan agar mereka
bersedia bekerja dengan sukarela, ikut merasa memiliki organisasi, dan mau
melakukan aktivitas –aktivitas menuju tercapainya tujuan organisasi.

Yukl (2011) menyebutkan sepuluh fungsi kepemimpinan yang paling penting


untuk mempertinggi kerja kolektif dalam tim dan organisaisi, sebagai esensi
dari kepemimpinan efektif, antara lain: 1) membantu interpretasi atas maksud
kejadian; 2) menciptakan penjajaran (alignment) antara sasaran dan strategi; 3)
membangun komitmen tugas dan optimisme; 4) membangun kepercayaan dan
kerjasama; 5) penguatan identitas kolektif; 6) mengorganisir dan
mengkoordinasi kegiatan; 7) mendorong dan memfasilitasi pembelajaran
kolektif; 8) memperoleh sumberdaya yang diperlukan dan dukungan; 9)
Mengembangkan dan memberdayakan orang-orang; dan 10) menggalakkan
keadilan sosial dan moralitas.

Menurut Locke (1999), kepemimpinan dianggap efektif apabila seorang


pemimpin mempunyai 4 kunci yaitu: kunci pertama motif dan sifat (motives
and traits), kunci kedua pengetahuan, keahlian dan kemampuan (knowledge,
skills and ability), kunci ketiga visi (vision), dan kunci terakhir adalah
14

implementasi visi (implementing of the vision). seperti yang terlihat pada


gambar 2.1.

Motif Pengetahuan
Pendorong (prestasi, ambisi, kekuatan, kegigihan, inisiatif) Keahlian tehnologi
Motivasi kepemimpinan (sosialis vs. individu) Pengetahuan ttg organisasi & industri, pencapaian melalui
Sifat pengalaman
Kejujuran/integritas
Keahlian
Kepercayaan diri }bukti
kuat
yg Keahlian orang-orang (mendengarkan, komunikasi lisan,
(termsk. Stabilitas emosi) membangun jaringan, manajemen konflik, penilaian)
Keahlian Manajemen (pemecahan masalah, pengambilan
Keaslian/Kreativitas }bukti yg. keputusan, penentuan tujuan, perencanaan)
Fleksibilitas/kemampuan lebih lemah
beradaptasi Kharisma Kemampuan
Kemampuan kognitif/kecerdasan

Pernyataan Visi Memformulasikan visi Memajukan


komitmen Mengembangkan visi strategis

Mengembangkan Agenda Membuat Struktur


Penyeleksian, Penyesuaian diri, dan Pelatihan
Memotivasi (kewenangan, pemodelan peran, membangun kepercayaan diri,
pendelegasian, penetapan tujuan, penghargaan & hukuman)
Mengelola informasi (mengumpulkan, menyebarkan) Membangun Kelompok
Memajukan perubahan, inovasi, dan pengambilan resiko.

Sumber: Locke, 1999


Gambar 2.1 Model Kepemimpinan

Unsur pertama sebagai kunci sukses dalam memimpin organisasi adalah


Motive & Traits (Locke et al, 1991). Motif merupakan suatu keinginan yang
menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan, dalam hal ini motif
dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai pendorong (drive) dan sebagai motivasi
kepemimpinan (leadership motivation). Locke memasukkan unsur trait yang
meliputi kejujuran/ integritas (termasuk stabilitas emosi), keaslian/kreativitas,
fleksibilitas/kemampuan untuk beradaptasi, dan kharisma.

Locke et al (1991) Memasukkan skill sebagai salah satu komponen dalam


kunci yang kedua. Locke melihat keahlian dari sisi people skill
(mendengarkan, komunikasi lisan, membangun jaringan, manajemen konflik,
penilaian) dan management skill (pemecahan masalah, pengambilan keputusan,
15

penentuan tujuan, perencanaan). Menurut Locke et al (1991), membangun


jaringan atau hubungan baik dengan bawahan adalah merupakan bagian dari
skill yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Skill menurut Locke meliputi
keahlian untuk berhubungan dengan orang lain dan keahlian manajemen.

Kunci ketiga menurut Locke et al (1991) yang dapat mempengaruhi efektifitas


kepemimpianan adalah visi. Dalam pembuatan visi organisasi perlunya
keterlibatan banyak pihak. Bahwasanya suatu pernyataan yang baik tidak
dibuat oleh usaha satu orang, namun dari sekelompok orang.

Menurut Yukl (2011), terdapat 3 kunci variabel yang relevan untuk memahami
efektivitas kepemimpinan, yaitu karakteristik pemimpin, karakteristik
pengikut, dan karakteristik situasi. Karakteristik pimpinan meliputi: bakat
(motif, kepribadian, nilai), kepercayaan & optimisme, keahlian dan
pengalaman, perilaku, integritas dan etika, pengaruh taktik dan atribusi tentang
bawahan. Sementara karakteristik pengikut meliputi: bakat (kebutuhan, nilai,
konsep diri), kepercayaan dan optimisme, keahlian dan pengalaman, atribusi
tentang pimpinan, kepercayaan pada pimpinan, komitmen pada tugas dan
usaha, kepuasan dengan pekerjaan dan pimpinan. Terakhir komponen
karakteristik situasi mencakup: tipe unit organisasi, ukuran unit, kekuatan
posisi dan kewenangan pimpinan, struktur tugasan kompleksitas,
interdependensi tugas, ketidakpastian lingkungan, dan ketergantungan
eksternal.

Menurut Davis dan Newstrom (1981) ciri-ciri kepemimpinan yang efektif


adalah kepemimpinan yang memiliki empat (4) hal sebagai berikut :
1. Intelegensi tinggi (intellegence); seorang pemimpin harus memiliki
tingkat intelegensi yang lebih tinggi dari bawahannya.
2. Kematangan jiwa sosial (social maturity and breadth); pemimpin
biasanya memiliki perasaan/jiwa yang cukup matang dan mempunyai
kepentingan serta perhatian yang cukup besar terhadap bawahannya.
16

3. Motivasi terhadap diri dan hasil (inner motivation and achievment


drives); para pemimpin senantiasa ingin membereskan segala sesuatu
yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
4. Menjalin hubungan kerja manusiawi (human relation attitudes);
pemimpin harus dapat bekerja secara efektif dengan orang lain atau
dengan bawahannya

Menurut Bass dan Riggio (2006), Sifat dan keterampilan yang terkait dengan
kepemimpinan yang efektif adalah sebagai berikut:

1. Pemimpin yang percaya diri lebih cenderung menetapkan tujuan yang


tinggi untuk diri mereka sendiri dan pengikut mereka, untuk mencoba
tugas-tugas yang sulit, dan untuk bertahan dalam menghadapi masalah
dan kekalahan
2. Pemimpin yang toleran terhadap stres cenderung membuat keputusan
yang baik, tetap tenang dan memberikan arahan yang tegas kepada
bawahan dalam situasi sulit. Seperti yang ditunjukkan oleh studi
observasi terstruktur, kecepatan, jam kerja yang panjang, fragmentasi,
dan tuntutan untuk keputusan menempatkan pemimpin di bawah tekanan
intens yang dapat ditangani dengan baik oleh individu yang toleran
terhadap stres.
3. Pemimpin yang matang secara emosional cenderung memiliki kesadaran
yang akurat tentang kekuatan dan kelemahan mereka dan berorientasi
pada perbaikan diri; mereka benar-benar menyangkal kekurangan mereka
atau berfantasi tentang kesuksesan. Akibatnya, administrator yang
matang secara emosional dapat menjaga hubungan kerja sama dengan
bawahan, rekan kerja, dan supervisor
4. Integritas berarti bahwa perilaku pemimpin konsisten dengan nilai-nilai
yang mereka nyatakan dan jujur, etis, bertanggung jawab, dan dapat
dipercaya. Yulk percaya bahwa integritas merupakan elemen penting
dalam membangun dan mempertahankan loyalitas serta mendapatkan
kerja sama dan dukungan dari orang lain.
17

5. Ekstroversi atau bersikap ramah, mudah bergaul, tanpa hambatan, dan


nyaman dalam kelompok terkait dengan kemungkinan bahwa seseorang
akan muncul sebagai pemimpin kelompok

Sementara menurut Creemers dan Reezigt (1997); G. A. Davis dan Thomas


(1989); Seyfarth, (1996) mengemukakan beberapa karakteristik keefektifan
kepemimpinan kepala sekolah yaitu: mempunyai visi tentang masa depan
sekolah; mengembangkan perencanaan jangka panjang dan jangka pendek
sekolah; memelihara iklim sekolah yang positif; mempunyai keinginan untuk
memimpin dan kesediaan untuk bertindak dengan berani dan penuh
pertimbangan di dalam situasi sulit; mengamati guru dalam kelas dan memberi
masukan yang positif dan konstruktif dalam menyelesaikan masalah
pengajaran; memonitor prestasi individu siswa dan kelompok siswa dalam
memanfaatkan informasi untuk perencanaan pengajaran; melibatkan orang tua
dalam kegiatan-kegiatan sekolah; dan merespon harapan masyarakat.

Menurut Mulyasa (2012) Kepala sekolah yang efektif sedikitnya harus


mengetahui, menyadari, dan memahami tiga hal: 1) mengapa pendidikan yang
berkualitas diperlukan di sekolah, 2) apa yang harus dilakukan untuk
meningkatkan mutu dan produktifitas sekolah, dan 3) bagaimana mengelola
sekolah secara efektif untuk mencapai prestasi yang tinggi. Kemampuan
menjawab ketiga pertanyaan tersebut dapat dijadikan tolak ukur sebagai
standar kelayakan apakah seseorang dapat menjadi kepala sekolah yang efektif
atau tidak.

Indikator kepala sekolah efektif secara umum dapat diamati dari tiga hal pokok
sebagai berikut: pertama, komitmen terhadap visi sekolah dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, kedua, menjadikan visi sekolah sebagai pedoman dalam
mengelola dan memimpin sekolah, dan ketiga, senantiasa memfokuskan
kegiatannya terhadap pembelajaran dan kinerja guru di kelas.
18

Selain itu juga Mulyasa (2012) mengungkapkan terdapat indikator-indikator


kepemimpinan kepala sekolah efektif sebagai berikut:
a. Menerapkan pendekatan kepemimpinan partisipatif terutama dalam
proses pengambilan keputusan.
b. Memiliki gaya kepemimpinan yang demokratis, lugas, dan terbuka.
c. Menyiapkan waktu untuk berkomunikasi secara terbuka dengan para
guru, peserta didik, dan warga sekolah.
d. Memantau kemajuan belajar peserta didik melalui guru sesering
mungkin berdasarkan prestasi belajar.
e. Memberikan ruang pemberdayaan sekolah kepada seluruh warga
sekolah.
Sementara kepemimpinan kepala sekolah yang efektif Mulyasa (2014), dapat
dilihat berdasarkan kriteria berikut:
a. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses
pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif.
b. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan.
c. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat
sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka
mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
d. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan
tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah.
e. Bekerja dengan tim manajemen.
f. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.

Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa kepemimpinan kepala


sekolah yang efektif yaitu memerlukan prayarat yang tidak ringan. Seorang
kepala sekolah yang merupakan pemimpin di lembaganya harus memiliki
kecerdasan, keteladanan, kepercayaan diri, kemampuan untuk memotivasi,
19

ketekunan, integritas, dan kemampuan bersosialita. Seorang pemimpin yang


dalam dirinya telah melekat sifat-sifat kepemimpinan yang efektif sebagaimana
disebutkan di atas diharapkan akan terwujud suasana kerja yang kondusif dan
professional; para guru memiliki motivasi kerja tinggi; produktivitas atau
kinerja menjadi lebih baik; dan tentu saja hal tersebut akan memberikan
kontribusi signifikan terhadap peningkatan kemampuan dan prestasi siswa.

2.2 Kepemimpinan Berbasis Gender

2.2.1 Konsep Dasar Kepemimpinan Dari Perspektif Gender

Gender adalah elemen dasar dari konsep diri kita. Mengetahui bahwa “aku
adalah wanita” atau “aku adalah pria” adalah bagian inti dari identitas personal
kita. Orang sering memandang dirinya punya minat dan kepribadian yang sesuai
dengan gendernya. Kebanyakan teori-teori kepemimpinan tidak hanya menolak
peran perempuan, tetapi juga mengalami bias gender dan terbentuk asumsi yang
tidak benar tentang peran gender dalam organisasi.

Gender menurut Doyle (1985) adalah konsep yang digunakan untuk


menggambarkan perbedaaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial
budaya. Perbedaan ini mengacu kepada unsur emosional dan kejiwaan, sebagai
karakteristik sosial dimana hubungan laki-laki dan perempuan dikonstruksikan
sehingga berbeda antara tempat dan waktu, misalnya perempuan dikenal
sebagai mahkluk lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan sedangkan laki-
laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri tersebut merupakan
sifat yang dapat dipertukarkan karena ada juga laki-laki yang mempunyai sifat
emosional, lemah lembut, keibuan dan perempuan memiliki sifat kuat, rasional
serta perkasa (Fakih, 1996). Akibatnya perbedaan ini menimbulkan
ketidakadilan baik kaum laki-laki dan kaum perempuan. Ketidakadilan yang
dialami kaum perempuan yang bersumber pada penandaan (stereotype) yang
dilekatkan kepada mereka banyak sekali. Diantaranya anggapan bahwa
20

perempuan memiliki pembawaan “emosional”. Hal ini mengakibatkan masih


adanya diskriminasi dalam masyarakat terhadap perempuan walaupun menurut
undang-undang, perempuan telah memperoleh hak yang sama dengan laki-laki
dalam segala hal.

Menurut Bush (2008) perempuan di banyak negara hanya berperan sebagai


pengajar saja, dan relatif hanya sedikit yang memiliki posisi penting pemegang
otoritas dalam sejumlah sekolah menengah maupun di perguruan tinggi. Gender
Stereotype menurut Cabrera, Sauer, dan Thomas-Hunt (2009) adalah keyakinan
tentang atribut personal pria dan wanita. Penekanannya di sini adalah pada
gender sebagai karakteristik dari target pembentukan kesan. Riset menunjukkan
bahwa keyakinan tentang ciri khas pria dan wanita dapat mempengaruhi
persepsi kita terhadap seseorang dan menyebabkan bias dalam evaluasi kita
terhadap kinerja orang tersebut.

Manifestasi ketidakadilan gender dalam kepemimpinan yang paling mencolok


adalah pandangan stereotype gender yang dikaitkan dengan kepemimpinan.
Kebanyakan kaum laki-laki dalam paham manajemen senior menciptakan
sebuah image yang menjurus pada pengabdian kepada dirinya sendiri (self
pertuating). Stereotype tersebut dipertegas dengan asumsi yang tidak benar
bahwa kepemimpinan adalah sebuah karakteristik laki-laki yang memerlukan
kekerasan fisik dan mental serta kemampuan untuk mendekati kesulitan-
kesulitan tanpa emosional.

Dalam pandangan tradisional, perempuan diidentikkan dengan sosok yang


lemah lembut, halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai
sosok yang gagah, berani dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan
perempuan sebagai makhluk yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa
bergantung pada kaum laki-laki.
21

Sejalan dengan gerakan emansipasi dan gerakan kesetaraan gender yang


digaung-gaungkan hampir diseluruh belahan dunia, membuat perempuan
memiliki hak dan peran yang sama di berbagai bidang. Perempuan mulai tampil
di ranah publik bahkan tampil di garis terdepan sebagai pemimpin yang sukses,
hingga mereka tak lagi dipandang sebagai sosok yang lemah yang hanya
mampu berkutat di ranah domestik.

Fenomena kepemimpinan perempuan dalam sektor pendidikan telah menjadi


daya tarik tersendiri untuk diteliti lebih jauh. Studi yang dilakukan Coleman
(2003) menunjukkan kepala-kepala sekolah dan para manajer senior perempuan
lainnya di Inggris dan Wales mengindikasikan mereka cenderung berperilaku
model kepemimpinan transformatif dan partisipatif. Hasil lain dari studi yang
dilakukan Jirasinghe dan Lyons (1996) mendeskripsikan tentang kepribadian
pemimpin perempuan sebagai sosok yang lebih supel, demokratis, perhatian,
artistik, bersikap baik, cermat dan teliti, berperasaan dan berhati-hati. Selain itu,
mereka cenderung menjadi sosok pekerja tim, lengkap dan sempurna. Mereka
juga mengidentifikasi diri dan mempersepsi dirinya sebagai sosok yang lebih
rasional, keras hati, aktif dan kompetitif.

Akmat Sudrajat (2008) di harian Wordpress tanggal 25/05/2008 memaparkan


bahwasanya dalam hal-hal tertentu terdapat perbedaan penting antara laki-laki
dan perempuan dalam manajemen dan kepemimpinan, sebagaimana
disampaikan oleh Shakeshaft (1989) berdasarkan hasil peninjauan ulang
penelitian di Amerika Serikat, bahwa:
a. Perempuan cenderung memiliki lebih banyak melakukan kontak dengan
atasan dan bawahan, guru dan murid.
b. Perempuan menghabiskan banyak waktu dengan para anggota komunitas
dan dengan koleganya, walaupun mereka bukanlah perempuan.
c. Mereka lebih informal.
d. Mereka peduli terhadap perbedaan-perbedaan individual murid.
22

e. Mereka lebih memandang posisinya sebagai seorang pemimpin pendidikan


daripada seorang manajer, dan melihat kerja sebagai suatu pelayanan
terhadap komunitas
f. Terdapat suatu sikap kurang menerima terhadap para pemimpin perempuan
daripada laki-laki. Oleh karenanya, para pemimpin perempuan hidup dalam
dunia yang terpendam dan gelisah
g. Mereka bisa mendapatkan kepuasan yang banyak dari instruksi supervisi
sementara laki-laki dari adminsitrasi.
h. Dalam komunikasi, mereka dapat tampil lebih sopan dan tentatif daripada
laki-laki, yang cenderung sederhana dalam memberikan statemen. Bahasa
tubuh juga berbeda, yang menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah
daripada laki-laki.
i. Perempuan cenderung lebih menggunakan model manajemen
partisipatoris, dan menggunakan strategi-strategi kolaboratif dalam
menyelesaikan konflik

Sementara Indyastuti, Handoko, Purwanto, dan Wibowo (2016) menguraikan


bahwa berbagai penelitian dalam kepemimpinan mengungkapkan bahwa
perempuan pemimpin umumnya menggunakan prinsip kepemimpinan
transformasional. Pemimpin yang transformasional antara lain adalah pemimpin
yang berorientasi pada pendukung, prinsip, dan perubahan. Tampak di sini
perempuan pemimpin umumnya lebih berorientasi pada pendukung. Penelitian
mengungkapkan bahwa perempuan pemimpin memberdayakan para pendukung
dengan memberi kesempatan kepada orang-orang yang mereka pimpin untuk
menyatakan pendapat dan memberi masukan. Rosener menemukan di antara
sampel manajer perempuan yang efektif memiliki kecenderungan lebih besar
mengunakan gaya atau model transformasional daripada pria. Saat manajer
perempuan memotivasi para bawahan untuk mentransformasi minat mereka
sendiri ke dalam tujuan organisasi.
23

Eagly dan Johannesen‐Schmidt (2001) menemukan bahwa konteks membentuk


gaya kepemimpinan terhadap pria dan wanita, dan peran wanita yang
didominasi oleh pria kurang berorientasi interpersonal. Adapun perbedaan
antara kepemimpinan pria dan wanita menurut Avolio dan Bass (2001) adalah
sebagai berikut:
a. Interpersonally Concern. Wanita lebih mungkin untuk mendapatkan
kesuksesan secara interpersonal dalam sebuah kelompok, sedangkan pria
lebih fokus untuk memperoleh kesuksesan dalam menyelesaikan tugas-
tugasnya.
b. Differences in Idealized Leadership. Wanita yang demokratis
menekankan pentingnya untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain,
penuh kasih sayang, terbukaan, dan menerima kesalahan. Sedangkan
pria lebih condong kepada sifat yang lebih matang, bersifat memaksa,
dan kompeten.
c. Differences in Leadership Behaviour. Pemimpin wanita dideskripsikan
oleh bawahan pria dan wanita, secara signifikan lebih tinggi pada
penilaian menggunakan Leader Description Questionnaire For 12
(LBDQ-XII) daripada pemimpin pria dalam hal representasi, persuasif,
dan emphasis.
d. Differences in Involvement. Wanita yang muncul sebagai pemimpin dari
tiga orang kelompok laboratorium menunjukan lebih intensif
keterlibatannya dengan tugas daripada pria yang muncul sebagai
pemimpin.

Kemampuan manajemen dan kepemimpinan perempuan dapat dibuktikan dari


keberhasilan perempuan dalam menunaikan perannya dalam masyarakat, dan
peran manajemen tersebut merupakan indikator keberhasilan peran perempuan.
24

2.2.2 Faktor-faktor Kekuatan dan Kelemahan Kepemimpinan Kepala Sekolah


Perempuan
2.2.2.1 Faktor-faktor Kekuatan Kepemimpinan Kepala Sekolah
Perempuan

Saat ini perempuan sudah memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki
untuk menjadi seorang pemimpin. Untuk menjadi seorang pemimpin
perbedaan jenis kelamin tidak lagi dipermasalahkan. Hal tersebut dibuktikan
dengan perempuan memiliki modal berupa ciri khas untuk menjadi seorang
pemimpin seperti yang ditunjukkan R.A Kartini sebagai panutan kaum
perempuan di Indonesia. Tokoh dunia perempuan pun telah banyak seperti
Margareth Teacher di Inggris, Indira Gandhi di India, Cory Aquino di Filipina
yang memiliki kekuatan serta kecerdasan pada dirinya untuk mampu
menempatkan diri sebagai pemimpin di tempat kerja, sebagai istri di rumah,
tempat ibadah dan di lingkungan masyarakat.

Peran perempuan saat ini sudah tak dapat dipungkiri, sudah banyak nya
perempuan diposisi kepemimpinan membuat perempuan saat ini mulai
diperhitungkan keberadaannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Fitriani, (2015) ada lima ciri –ciri yang dimiliki oleh seorang pemimpin
perempuan, yaitu:
1. Kemampuan untuk membujuk, wanita pemimpin umumnya lebih
persuasif bila dibandingkan dengan pria, la cenderung lebih berambisi
dibandingkan pria – keberhasilannya dalam membujuk orang lain untuk
berkata “ya” akan meningkatkan egonya dan memberinya kepuasan.
Meskipun demikian, saat memaksakan kehendaknya, sisi sosial, feminin,
dan sifat empatinya tidak akan hilang,
2. Membuktikan kritikan yang salah, mereka “belum bermuka tebal”,
wanita pemimpin memiliki tingkat kekuatan ego yang lebih rendah
dibandingkan pria, artinya mereka masih bisa merasakan rasa sakit akibat
penolakan dan kritik. Namun, tingkat keberanian, empati, keluwesan, dan
keramahan yang tinggi membuat mereka cepat pulih, belajar dari
kesalahan, dan bergerak maju dengan sikap positif “akan saya buktikan”.
25

3. Semangat kerja tim, wanita pemimpin yang hebat cenderung menerapkan


gaya kepemimpinan secara komprehensif saat harus menyelesaikan
masalah dan membuat keputusan. Mereka juga lebih fleksibel, penuh
pertimbangan, dan membantu stafnya. Bagaimanapun, wanita masih
harus banyak belajar dari pria dalam hal ketelitian saat memecahkan
masalah dan membuat keputusan.
4. Sang pemimpin, wanita pemimpin yang hebat umumnya memiliki
karisma yang kuat, begitu juga pria. Mereka persuasif, percaya diri, serta
berkemauan kuat untuk menyelesaikan tugas dan energik.
5. Berani mengambil risiko, tidak lagi berada di wilayah yang aman, wanita
pemimpin pada dasarnya berani melanggar aturan dan mengambil risiko,
sama seperti pria sekaligus memberi perhatian yang sama dan detail.
Mereka berspekulasi di luar batas-batas perusahaan, dan tidak
sepenuhnya menerima aturan struktural yang ada (peraturan perusahaan).

Selain itu, perempuan memiliki sifat-sifat dasar untuk sukses sebagai


pemimpin. Mereka cenderung lebih sabar, memiliki empati, dan multitasking
(Fitriani, 2015). Perempuan juga memiliki bakat untuk menjalin networking
dan melakukan negosiasi. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Parker
(1996) bahwa kemampuan networking dan negoisasi tersebut tidak hanya ada
pada diri perempuan saja. Namun dibandingkan oleh laki-laki, perempuan
lebih cenderung sering menunjukkan sifat-sifat tersebut. Perempuan juga
bertanggung jawab dan suka mengatasi tantangan-tantangan dalam
pekerjaannya. Salah satu yang utama adalah faktor budaya, dimana budaya
sendiri berarti sebagai hasil tindakan dari manusia. Sejak dahulu, perempuan
dan laki-laki telah melakukan pekerjaan yang berbeda. Tugas-tugas yang
mereka kerjakan membutuhkan keahlian yang berbeda. Faktor budaya ini juga
mempengaruhi bagaimana cara perempuan dan laki-laki bertindak dan
berpikir. Faktor budaya ini juga terlihat dalam organisasi. Laki-laki dituntut
untuk bersikap tegas dalam memimpin. Tetapi ketika perempuan bersikap
tegas, dia kerap disebut agresif (Faturahman, 2018). Itulah mengapa faktor
budaya merupakan salah satu faktor utama dalam kemajuan perempuan.

Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Beutell (2007)
faktor-faktor yang mendukung keberhasilan perempuan dalam memimpin,
26

yaitu: Stabilitas sosial, banyak upaya untuk mengakses kemauan, keluarga


yang mendukung, suami yang suportif, memiliki hubungan persahabatan
dengan kelompok dan kolega, memiliki kerjasama, dan mampu memanajemen
diri. Perempuan yang mampu menemukan keseimbangan antara pekerjaan
dengan kehidupan keluarga cenderung akan lebih berhasil di dalam karir dan
keluarga. Tidak hanya itu, perempuan yang berhasil memimpin merupakan
perempuan yang memiliki ketepatan, ketekunan dan kepekaan dalam
melakukan pekerjaannya. Seorang pemimpin perempuan harus mampu
mengintegrasikan ranah domestik maupun ranah publik secara bersamaan.

2.2.2.2 Faktor-faktor Penghambat Kepemimpinan Kepala Sekolah


Perempuan
Seorang pemimpin perempuan akan lebih mengalami kompleksitas masalah
yang lebih dibanding laki-laki, karena perempuan mempunyai peran yang
berbeda dalam keluarga (Harsiwi, 2004; Martins et al., 2002). Adanya
perbedaan tersebut karena pekerjaan laki-laki dalam keluarga lebih fleksibel,
sedangkan pekerjaan perempuan lebih bersifat rutinitas, seperti tanggung
jawab terhadap anak terutama untuk anak berusia di bawah 12 tahun (Ahmad,
2005; Ford, Heinen, & Langkamer, 2007). Dengan demikian, perempuan
masih akan melakukan banyak hal setelah melakukan aktivitas di tempat kerja
karena tanggungjawab tersebut.

Sampai saat ini kaum perempuan masih menghadapi banyak tantangan dan
hambatan dalam menjalankan kepemimpinannya dalam sebuah organisasi.
Menurut Tan (1991) beberapa hambatan yang muncul dari kepemimpinan
perempuan sebagai berikut: Pertama, hambatan fisik. Perempuan, dibebani
tugas-tugas “kontrak” untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Keharusan ini mengurangi keleluasaan mereka untuk aktif terus-menerus
dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, hambatan teologis bahwa untuk
waktu yang lama perempuan dipandang sebagai makhluk yang dicipta untuk
27

lelaki, temasuk mendampingi mereka, menghiburnya, dan mengurus


keperluannya. Perempuan, menurut cerita teologis diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki. Cerita ini telah jauh merasuk dalam benak banyak orang dan
secara psikologis menjadi salah satu faktor penghambat perempuan untuk
mengambil peran yang berarti. Ketiga, hambatan sosial budaya terutama
dalam bentuk stereotipikal. Pandangan ini melihat perempuan sebagai
makhluk pasif, lemah, perasa, tergantung, dan menerima keadaan. Sebaliknya,
lelaki dinilai sebagai makhluk yang aktif, kuat, cerdas, mandiri, dan
sebagainya. Pandangan ini menempatkan laki-laki secara sosio-kultural lebih
tinggi derajatnya dibanding perempuan. Keempat, hambatan sikap pandang
yang antara lain dimunculkan oleh pandangan dikotomis antara tugas
perempuan dan laki-laki. Perempuan dinilai sebagai makhluk rumah,
sedangkan laki-laki dilihat sebagai makhluk luar rumah. Pandangan dikotomis
tersebut membuat gerak dan langkah perempuan menjadi terbatas.

Sementara menurut Coleman (2003) ada beberapa faktor-faktor yang


menghambat kepemimpinan perempuan, yaitu sebagai berikut:

2.2.2.3 Hambatan Kultur

2.2.2.3.1 Budaya Patriarki

Perempuan masih mengalami hambatan dalam menjadi pemimpin yang


salah satunya dari faktor budaya yang berkembang di masyarakat yang
kemudian berpengaruh ke budaya yang ada di birokrasi. Budaya yang
melekat pada tata aturan hubungan di masyarakat Indonesia secara umum
bersifat patriarki walaupun ada di beberapa daerah yang tidak bersifat
patriarki. Patriarki ini merupakan sebuah pandangan di mana laki- laki
biasanya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan.
28

Budaya patriarki ini juga berpengaruh pada pemahaman masyarakat


bahwa ranah publik adalah wilayah kerja laki-laki. Lestari (2004)
mengemukakan bahwa faktor budaya adalah penyebab utama kiprah
perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat
dari laki-laki. Faktor budaya memang menjadi sangat berpengaruh karena
budaya yang telah tertanam sejak lama biasanya menjadi salah satu acuan
dalam melakukan interaksi atau hubungan. Dengan demikian cara
pandang tertentu tentang gender laki-laki dan perempuan dalam hal
kepemimpinan juga dipengaruhi oleh pola interaksi itu. Hal tersebut
kemudian menjadi dasar pola hubungan yang membuat perempuan tidak
banyak memainkan perannya sebagai pemimpin.

2.2.2.3.2 Peran Domestik Perempuan

Budaya patriarki yang telah dijelaskan di atas membawa banyak implikasi


pada tataran kehidupan perempuan. Salah satunya adalah masih ada
anggapan bahwa perempuan mempunyai kewajiban mengurusi rumah
tangga. Peran domestik perempuan yang telah tertanam dalam pola pikir
masyarakat cenderung membuat perempuan tidak memiliki ruang bebas di
ranah publik. Lebih lanjut lagi, ketika perempuan masih diidentikkan
dengan peran domestiknya dan juga berkarir di ranah publik maka terjadi
beban ganda yang dapat menghambat perkembangan karir perempuan.
Beban ganda di sini merujuk pada kondisi di mana perempuan harus
menjalankan peran sebagai istri dan ibu serta melakukan pekerjaan lain di
bidang kerjanya. Hal itulah yang kemudian dapat menghambat
kepemimpinan perempuan.

2.2.2.3.3 Stereotype Gender

Dalam kehidupan sosial, ada dampak yang bisa terjadi akibat adanya
perbedaan jenis gender yaitu posisi yang timpang. Ketimpangan gender ini
29

adalah sebuah kondisi di mana ada salah satu jenis gender yang
kedudukannya lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan jenis
gender yang lain. Riant Nugroho (2008) berpendapat bahwa gender
merupakan sebuah konstruksi sosial tentang relasi laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksikan oleh sistem di mana keduanya berada.
Jadi hubungan yang diciptakan dari kedua jenis gender itu dipengaruhi
oleh konstruksi masyarakat. Maka dari itu kondisi yang tidak seimbang
antara laki-laki dan perempuan adalah hasil dari konstruksi pemikiran
masyarakat itu sendiri.

Konstruksi pemikiran masyarakat pada dasarnya dipicu oleh adanya


stereotype gender yang berisikan kesan atau keyakinan tentang perilaku
apa yang tepat untuk dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Hal
tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Faikh dalam Mahmud
(2011), menyatakan bahwa perbedaan gender yang telah melahirkan
ketidakadilan gender mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotype yang
oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan
ketentuan Tuhan. Begitu juga pada dunia kerja, ada relasi yang timpang
antara laki-laki dan perempuan akibat “cap” yang terlajur diidentikan
dengan salah satu jenis gender. Misalnya, perempuan cenderung dianggap
tidak memiliki kompetensi yang mumpuni dalam memimpin
dibandingkan dengan laki- laki. Selain itu sering kali pemimpin
perempuan diidentikan dengan sikap moody, tidak bisa mengontrol emosi,
membawa urusan perasaan pada pekerjaan, dan lain- lain. Contoh lain
sebagai bentuk stereotype adalah pada jenis pekerjaan yang dianggap
“normal” untuk perempuan yaitu yang berkaitan dengan bidang
administrasi. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa perempuan
tidak memiliki kualitas fisik dan kompetensi seperti laki-laki sehingga
tidak dianggap pantas untuk jenis pekerjaan di lapangan.
30

Adanya stereotype negatif pada gender perempuan merupakan salah satu


faktor penghambat kepemimpinan. Adriardi (2014) mengemukakan hal
yang sama bahwa stereotype gender menempatkan perempuan seolah
tidak memiliki karakter yang kuat dan mumpuni sebagai pemimpin. Ia
juga menambahkan bahwa dengan adanya stereotype negatif maka hanya
ada sedikit perempuan yang mampu menjadi kandidat kepala sekolah.

2.3 Kebijakan Pendidikan


2.3.1 Pengertian Kebijakan

Kebijakan merupakan pedoman untuk bertindak. Pedoman itu bisa saja sederhana
atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur dan jelas, longgar
atau terperinci, bersifat kualitatif dan kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam
maknanya seperti ini mungkin berupa deklarasi mengenai suatu dasar pedoman
bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktiviats-aktivitas
tertentu, atau suatu rencana (United Nation, 1975)

Kata kebijakan Hasbullah (2015) adalah terjemahan dari kata “policy” dalam bahasa
Inggris yang berarti mengurus masalah atau kepentingan umum, sehingga
penekanannya tertuju kepada tindakan (produk). Solichin (2015) menyebutkan bahwa
kebijakan dapat diartikan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program,
keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal dan grand design.
Dalam pengertian operatifnya, kebijakan dapat diartikan sebagai:

1. Suatu penggarisan ketentuan-ketentuan.


2. Bersifat sebagai pedoman, pegangan, atau bimbingan untuk mencapai
kesepahaman dalam maksud, cara atau sarana.
3. Usaha dan kegiatan sekelompok manusia yang berorganisasi.
4. Dinamisasi gerak tindak yang terpadu, sehaluan, dan seirama mencapai
tujuan
31

Secara konseptual, ada beragam pengertian yang diberikan para ahli tentang
kebijakan. Namun, secara umum “kebijakan” dapat dikatakan suatu rumusan
keputusan pemerintah yang menjadi pedoman tingkah laku guna mengatasi masalah
atau persoalan yang di dalamnya terdapat tujuan, rencana dan program yang akan
dilaksanakan. Menurut Charles O. Jones dalam Bakry (2010) kebijakan adalah
sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten yang
berulang, baik oleh yang membuatnya maupun oleh mereka yang mentaatinya.

Menurut Hogwood dan Gunn (1990) menyatakan bahwa kebijakan merupakan


seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu.
Ini tidak berarti bahwa makna kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja.
Organisasi non pemerintah seperti lembaga pendidikan memiliki kebijakan-kebijakan
pula. Namun kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena
tidak dapat memakai sumberdaya publik atau memiliki legalitas hukum sebagaimana
lembaga pemerintah.

Definisi yang sama juga diungkapkan oleh Robert Eyestone (1971), bahwa kebijakan
memiliki makna yang sangat luas yaitu sebagai hubungan suatu unit pemerintah
dengan lingkungannya. Mengacu pada definisi yang diungkapkan oleh Hogwood dan
Gunn, Bridgman dan Davis (2004), menyatakan bahwa kebijakan publik setidaknya
mencakup (1) bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-
pernyataan yang ingin dicapai; (2) proposal tertentu yang mencerminkan keputusan-
keputusan pemerintah yang telah dipilih; (3) kewenangan seperti undang- undang
atau peraturan pemerintah; (4) program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup
rencana penggunaan sumberdaya lembaga.

Definisi yang hampir serupa diungkapkan oleh James P. Lester dan Joseph Stewart
dalam Dwidjowijoto (2003), mengatakan:

“...Thomas R Dye.defines public policy as “what government do, whey they do it,
and what differences it makes”. Harold Laswell...defines public policy as “a
32

projected program of goals, values and practices”. David Eston see it as “the impact
of government activity”. Austin Ranney sees public policy as “a selected line of
action or a declaration of intent”. Finally, James Anderson defines the terms as “ a
purposeive course of action followed by an actor ao set of actors in dealing with a
problem or matter of concern...”

Kebijakan setidaknya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan, yakni sebagai
pilihan tindakan yang legal atau sah secara hukum (authitative choice), sebagai
hipotesis (hypothesis), dan sebagai tujuan (objective).

Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa kebijakan merupakan petunjuk dan


batasan secara umum yang menjadi arah dari tindakan yang dilakukan dan aturan
yang harus diikuti oleh para pelaku dan pelaksana kebijakan karena sangat penting
bagi pengolahan dalam sebuah organisasi serta mengambil keputusan atas
perencanaan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Dengan demikian kebijakan
menjadi sarana pemecahan masalah atas tindakan yang terjadi.

Sementara menurut Koontz, Donnell dan Weihrich mengatakan bahwa kebijakan


adalah sebagai tuntunan dalam berfikir untuk mengambil keputusan, keputusan
tersebut diambil dalam batas-batas. Keputusan memerlukan tindakan tetapi
dimaksudkan untuk menuntut manager dalam memutuskan komitmen (Koontz,
O'Donnell, & Weihrich, 1986)

Pendapat Duke dan Canady dikutip oleh Mudjia Rahardjo (2010), yang
mengelaborasi konsep kebijakan dengan delapan arah pemaknaan kebijakan, yaitu 1)
kebijakan sebagai penegasan maksud dan tujuan, 2) kebijakan sebagai sekumpulan
keputusan lembaga yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan,
mempromosikan, melayani, dan lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya, 3)
kebijakan sebagai suatu panduan tindakan diskresional, 4) kebijakan sebagai sutau
strategi yang diambil untuk memecahkan masalah, 5) kebijakan sebagai perilaku yang
bersanksi, 6) kebijakan sebagai norma perilaku dengan ciri konsistensi, dan
keteraturan dalam beberapa bidang tindakan substansif, 7) kebijakan sebagai keluaran
33

sistem pembuatan kebijakan, 8) kebijakan sebagai pengaruh pembuatan kebijakan,


yang menunjuk pada pemahaman khalayak sasaran terhadap implementasi sistem.

Lebih lanjut Muhadjir mengatakan bahwa kebijakan dapat dibedakan menjadi dua
yaitu kebijakan subtantif dan kebijakan implementatif. Kebijakan subtantif adalah
keputusan yang dapat diambil berupa memilih alternatif yang dianggap benar untuk
mengatasi masalah. Tindak lanjut dari kebijakan subtantif adalah kebijakan
implementatif yaitu keputusan-keputusan yang berupa untuk dilakukan dalam
melaksanakan kebijakan subtantif (Muhadjir, 2003).

Secara empiris kebijakan berupa undang-undang, petunjuk, dan program, dalam


sebuah negara kebijakan dianggap sebagai rangkaian tindakan yang dikembangkan
oleh badan atau pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu diikuti dan dilaksanakan
oleh seseorang atau sekelompok pelaku untuk memecahkan masalah tertentu.

Dengan demikian berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat disimpukan


bahwa kebijakan adalah sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar
dari dasar pada masalah yang menjadi rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak, pernyataan cita- cita, prinsip, atau maksud dalam
memecahkan masalah sebagai garis pedoman untuk manajeman dalam usaha
mencapai sasaran atau tujuan. Dengan kata lain sebagai pedoman untuk bertindak
bagi pengambilan keputusan.

2.3.2. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang


bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci
maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan,
program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan.
34

Istilah kebijakan pendidikan biasa disebut dengan istilah perencanaan pendidikan


(educational planning), rencana induk tentang pendidikan (master plan of education),
pengaturan pendidikan (educational regulation), atau biasa disebut dengan kebijakan
tentang pendidikan (policy of education) namun istilah- istilah tersebut itu sebenarnya
memiliki perbedaan isi dan cakupan makna dari masing-masing yang ditunjukkan
oleh istilah tersebut (Rohman & Lamsuri, 2009).

Arif Rohman berpendapat bahwa kebijakan pendidikan merupakan bagian dari


kebijakan negara atau kebijakan publik pada umumnya. Kebijakan pendidikan
merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus regulasi berkaitan dengan
penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta pengaturan perilaku dalam
pendidikan. Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan keputusan berupa
pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum
maupun khusus, baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses
politik untuk suatu arah tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam
menyelenggarakan pendidikan (Rohman & Lamsuri, 2009)

Berdasarkan pada beberapa pan34dapat mengenai kebijakan pendidikan di atas maka


dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan merupakan suatu sikap dan tindakan
yang diambil seseorang atau dengan kesepakatan kelompok pembuat kebijakan
sebagai upaya untuk mengatasi masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan

2.3.2.1 Objek Studi Analisis Kebijakan Pendidikan

Analisis kebijakan pendidikan dilakukan secara komprehensif, yang


mencakup rumusan, implementasi, dan dampak kebijakan, tetapi fokusnya
pada implementasi kebijakan. Proses analisis sebetulnya harus beranjak dari
kajian terhadap rumusan kebijakan.

Menurut Bahtiar Irinato (2012) Analisis terhadap kondisi implementasi dari


setiap rumusan kebijakan merujuk gambaran ideal pelaksanaan kebijakan
35

pada semua tingkatan pelaku kebijakan sebagaimana tertuang dalam rumusan


kebijakannya. Kemudian, permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
pelaksanaan kebijakan pendidikan tersebut, dikaji sampai pada ditemukannya
faktor-faktor yang menyebabkan hambatan, halangan, gangguan dalam
mengimplementasikan kebijakan yang dimaksud. Analisis selanjutnya
diarahkan pada kajian implikasi-implikasi keilmuan untuk membangun
paradigma baru dalam konsep dan teori kebijakan pendidikan. Pada tahapan
ini, kebijakan dimaksudkan untuk menemukan konsep-konsep dalam rangka
profesionalisasi manajemen pendidikan.

Implikasi-implikasi terhadap substansi manajemen pendidikan, perlu


ditelusuri dari komponen- komponen yang melekat pada sistem pendidikan
nasional, yang saat ini memikul beban berat dalam menanggulangi krisis
multidimensional. Jika berangkat dari filosofi demokratisasi, pelayanan, dan
meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
yang diwujudkan dalam misi dan tugas lembaga pendidikan, diperlukan suatu
kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Kebijakan tersebut merupakan standar, spesifikasi dan model normatif ini,
dipakai untuk menseleksi bahan masukan untuk diproses sehingga
menghasilkan keluaran sebagaimana keinginan, kebutuhan dan harapan
masyarakat dan bangsa (Yoyon Bahtiar Irianto, 2012).

2.3.2.2 Proses Pembuatan Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan merupakan suatu yang sifatnya esensif dan


komprehensif. Kebijakan yang dibuat ditujukan untuk mengatasi suatu
permasalahan yang sifatnya pelik. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang
dibuat berdasarkan aspirasi dan berpihak kepada masyarakat dan realitas yang
ada, menyahuti berbagai kepentingan dan meminimalkan adanya kerugian
pihak- pihak tertentu. Demikian pula halnya dengan kebijakan pendidikan,
36

hendaknya harus mempertimbangkan banyak hal, karena menyangkut


kepentingan publik yang dampaknya sangat besar.dan bangsa. (H.M
Hasubullah, 2012)

Kebijakan pendidikan yang dibuat haruslah bersifat bijaksana, dalam arti tidak
menimbulkan problematika pendidikan baru yang lebih besar dan rumit jika
dibandingkan dengan problema yang hendak dipecahkan. Kebijakan
pendidikan yang dibuat haruslah mendorong produktivitas, kualitas, dan
perikehidupan bersama dalam bidang pendidikan secara efektif dan efisien.
Syaiful Syagala mengemukakan dalam bukunya yang berjudul “Administrasi
Pendidikan Kontemporer” bahwa secara umum terdapat pendekatan yang
digunakan dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan Empirik (Empirical Approach)

Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan


akibat dari suatu kebijakan tertentu dalam bidang pendidikan yang bersifat
faktual dan macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif dan prediktif.
Analisa kebijakan secara empirik diharapkan akan menghasilkan dan
memindahkan informasi penting mengenai nilai-nilai, fakta-fakta, dan
tindakan pendidikan:

2) Pendekatan Evaluatif (Evaluatif Approach)

Evaluasi menurut Imron adalah “salah satu aktivitas yang bermaksud


mengetahui seberapa jauh suatu kegiatan itu dapat dilaksanakan ataukah tidak,
berhasil sesuai yang diharapkan atau tidak”. Penekanan pendekatan evaluatif
ini terutama pada penentuan bobot atau manfaatnya (nilai) beberapa kebijakan
menghasilkan informasi yang bersifat evaluatif. Evaluasi terhadap kebijakan
membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan evaluatif yaitu bagaimana nilai
suatu kebijakan dan menurut nilai yang mana kebijakan itu ditentukan.
37

Evaluasi kebijakan organisasi merupakan aktivitas untuk mengetahui seberapa


jauh kebijakan benar-benar dapat diterapkan dan dilaksanakan serta seberapa
besar dapat memberikan dampak nyata memenuhi harapan terhadap khalayak
sesuai yang direncanakan.

2.3.3. Langkah-langkah Membuat Kebijakan

Menurut Lester dan Stewart (2000), studi kebijakan publik kini telah meliputi
berbagai tahap seperti terangkum dalam lingkaran kebijakan publik (public cycle)
yang meliputi tahapan yaitu 1) agenda setting, 2) policy formulation, 3) policy
implementation, 4) policy evaluation, 5) policy change, dan 6) policy termination

Gambar 2.2 Policy Cycle

Tahap penyusunan agenda pembuat kebijakan mengumpulkan masalah-masalah


publik. Dari masalah publik kemudian dianalisis dan diikuti penyusunan pembuatan
kebijakan. Siklus berikutnya adalah menerapkan kebijakan tersebut ke dalam
masyarakat, dan diikuti dengan mengevaluasi. Dengan menganalisis hasil evaluasi,
maka dibuatlah penyesuaian atau perubahan bagi penyempurnaan policy. Langkah
38

terakhir adalah dari siklus pembuatan kebijakan ialah mengakhiri kebijakan karena
tujuan sudah tercapai. Sementara menurut Dunn tahap dalam melakukan policy
melalui lima langkah yaitu 1) penyusunan agenda, 2) melalui formulasi kebijakan, 3)
adopsi kebijakan, 4) implementasi kebijakan, 5) penilaian/ evaluasi kebijakan.
Kelima tahapan ini menjadi berurutan secara hirarkhi, kesemuanya tahapan perlu
dikelola dan dikontrol oleh pembuat yang sekaligus pelaksana kebijakan publik.

Peyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Evaluasi Kebijakan

Gambar 2.3 Siklus Pembuatan Kebijakan

Tahapan pertama: yaitu melakukan penyusunan agenda kebijakan yang akan


diberlakukan dengan melihat pada kebutuhan. Para pembuat kebijakan dipilih dan
diangkat menempatkan masalah pada agenda politik. Pada tahap ini setidaknya ada
tiga langkah yang harus dilakukan: (1) menyepakati kriteria alternatif, (2)
penentuan alternatif terbaik dengan tujuan agar semua manfaat dan kerugian,
kesulitan dan kemudahan, dampak negatif dan positif hasil berupa dapat
terungkap, (3) pengusulan alternatif terbaik.

Tahap kedua: formulasi kebijakan yaitu masalah yang telah masuk ke agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
39

didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah publik. Pemecahan


masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy
alternatives) yang ada.

Tahap ketiga: adopsi kebijakan yaitu dari sekian banyak alternatif kebijakan yang
ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif
kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan mayorotas legislatif, konsensus
antara direktur lembaga dan keputusan peradilan.

Tahap keempat: implementasi kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh


unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan
manusia. Tahap kelima: evaluasi kebijakan yaitu kebijakan yang telah
dilaksanakan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat keberhasilan dari
kebijakan yang telah dibuat.

Langkah-langkah membuat kebijakan di atas memberikan makna bahwa sebuah


kebijakan harus dilakukan secara bertahap dan melalui sebuah proses yang
perencanaa, implementasi dan evaluasi.

Selain model kebijakan Dunn dan Sterwart yaitu teori yang dikembangkan oleh
Weimar-Vining (1999), dimana langkah-langkah kebijakan yang perlu
diperhatikan adalah framing. Dimana metode framing yang fokus kepada dua
kemungkinan akar masalah, apakah government failure atau market failure seperti
terlihat pada gambar 2.4.
40

Gambar. 2.4 Model Kebijakan Weimar-Vining

Ada juga model policy making process yang diungkapkan oleh Shafritz dan Russel
yang terdiri dari (1) agenda setting dimana isu-isu kebijakan diidentifikasi, (2)
keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, (3) implementasi, (4)
evaluasi program dan analisis dampak, (5) feedback yaitu memutuskan untuk
merevisi atau menghentikan.

Bagi Patton & Sawicki proses kebijakan setidaknya harus melakukan yaitu diawali
dengan (1) mendefinisikan masalah yang muncul, (2) menentukan kreteria, (3)
melakukan identifikasi kebijakan alternatif, (4) melakukan evaluasi kebijakan
alternatif, (5) melakukan pemilihan kebijakan, (6) melaksanakan kebijakan.
41

Gambar 2.5 Proses Kebijakan Patton & Sawicki

Proses pembuatan keputusan yang dipilih oleh para pembuat keputusan menganut
model rasional, inkrimental, sistem, mixed scanning, mereka harus memiliki
landasan untuk melakukan pilihan-pilihan tersebut. Artinya para pembuat
keputusan harus mempunyai kriteria-kriteria tertentu untuk menetapkan
pendekatan yang dipakai. Beberapa keputusan yang diambil mungkin merupakan
hasil kesempatan yang memang ada.

Menurut Suchman mendefinisikan masalah merupakan tahapan yang paling


penting dalam evaluasi kebijakan. Kegagalan dalam mendefinsikan masalah akan
berakibat pada kegagalan dalam memutuskan tujuan-tujuan.

Pada sisi yang lain, dampak dari sebuah kebijakan mempunyai beberapa dimensi
dan semua harus diperhitungkan dalam evaluasi. Pertama, dampak kebijakan pada
masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang yang terlibat. Dengan
demikian, mereka atau individu-individu yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh
kebijakan harus dibatasi. Kedua, kebijakan mungkin mempunyai dampak pada
keadaan- keadaan atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan.
42

Ketiga, kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan


sekarang dan keadaan masa yang akan datang. Keempat, evaluasi juga
menyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk
membiayai program-program kebijakan publik

2.3.4. Model Kebijakan Pendidikan

Model kebijakan (policy models) adalah representasi sederhana mengenai aspek-


aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan
tertentu. Model kebijakan merupakan rekonstruksi artifisial dari realitas dalam
wilayah yang merentang dari energi dan lingkungan sampai kesejahteraan dan
kejahatan. Model kebijakan dinyatakan sebagai konsep, diagram, grafik, atau
persamaan matematika yang digunakan untuk menerangkan, menjelaskan dan
memprediksikan elemen-elemen suatu kondisi masalah melainkan juga untuk
memperbaikinya dengan merekomendasikan serangkaian tindakan untuk
memecahkan masalah-masalah tertentu.

Model-model kebijakan dapat membantu membedakan hal-hal yang esensial dan


yang tidak esensial dari situasi masalah, mempertegas hubungan diantara faktor-
faktor atau variabel-variabel penting dan membantu menjelaskan dan
memprediksikan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model-
model kebijakan juga dapat memainkan peran kreatif dan kritis di dalam analisis
kebijakan dengan mendorong para analis untuk membuat asumsi-asumsi eksplisit dan
untuk menantang iede-ide konvensional maupun metode-metode analisis. Pembuatan
kebijakan merupakan langkah pertama dari siklus perencanaan apapun dan perencana
harus dapat mengapresiasi dinamika perumusan kebijakan sebelum mereka
merancang implementasi dan mengevaluasi prosedur dengan efektif (Haddad &
Demsky, 1995). Hal ini karena proses pembentukan kebijakan tidak hanya dapat
dilakukan dengan satu model saja. Menurut Suryadi dan Tillar (1994) terdapat model-
model kebijakan dalam pendidikan yang diantaranya adalah sebagai berikut:
43

2.3.4.1 Model Deskriptif

Model deskriptif menurut Suryadi dan Tillar (1994) adalah suatu prosedur
atau cara yang digunakan untuk penelitian dalam ilmu pengetahuan baik
murni maupun terapan untuk menerangkan suatu gejala yang terjadi dalam
masyarakat. Sedangkan menurut Cohn model deskriptif adalah pendekatan
positif yang diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan menyajikan
suatu “state of the art” atau keadaan apa adanya dari suatu gejala yang sedang
diteliti dan perlu diketahui para pemakai. Tujuan model deskriptif oleh Dunn
memprediksikan atau menjelaskan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi
dari pilihan-pilihan kebijakan. Model kebijakan deskriptif digunakan untuk
memantau hasil-hasil dari aksi-aksi kebijakan

Penafsiran secara ilmiah mengenai gejala kemasyarakatan dalam model


deskriptif agar diperoleh kesepakatan umum mengenai suatu permasalahan
yang sedang disoroti untuk menerangkan suatu gejala, adalah menerangkan
apa adanya tentang hasil dari suatu upaya yang dilakukan oleh suatu kegiatan
atau program, dan menyajikan informasi yang diperlukan sebagai bahan
masukan bagi pengambilan keputusan. Misalnya, untuk meramalkan kinerja
pendidikan dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, bersama
konsorsium pendidikan pada tataran makro nasional mempersiapkan ramalan
yang berkaitan dengan kualitas lulusan dan eliminasi angka drop out sebagai
laporan bidang pendidikan oleh Presiden.

Model deskriptif adalah model yang menerangkan secara lebih jelas dari
pilihan yang ada, dan apa dampak dari setiap aksi kebijakan. Model deskriptif
ini memberikan pilihan terbuka kepada pembuat keputusan dan
memprediksikan tiap-tiap dampak (outcome). Jadi model deskripsi ini
menjelaskan secara detail tentang pilihan-pilihan yang ada dan dampak-
dampak yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan. Contoh tentang model
44

kebijakan deskriptif yaitu dapat menerangkan apakah fasilitas pembelajaran


sudah memadai, kualifikasi pendidikan guru memenuhi persyaratan, anggaran
untuk pembelajaran, dan sebagainya. Tujuan model deskriptif menjelaskan
atau memprediksikan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-
pilihan kebijakan.

William Dunn (2004) menyebutkan kelebihan model kebijakan deskriptif


yaitu bahwa model ini mampu memprediksikan hasil-hasil serta dampak-
dampak yang terjadi dari aksi kebijakan. Sementara itu, kelemahan model
kebijakan deskriptif ini karena hanya memperkirakan sebab dan akibat dari
sebuah aksi kebijakan maka model kebijakan ini hanya merupakan gambaran
umum tentang hubungan sebab akibat dari sebuah tindakan kebijakan, dan
menyajikan informasi apa adanya kepada para pengambil keputusan.

2.3.3.2 Model Normatif

Pendekatan normatif disebut juga pendekatan preskriptif yang merupakan


upaya ilmu pengetahuan menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep yang
dapat digunakan oleh pemakai untuk memecahkan suatu masalah. Tujuan
model normatif bukan hanya menjelaskan atau memprediksikan, tetapi juga
memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian
beberapa utilitas (nilai), dan juga membantu memudahkan para pemakai hasil
penelitian.

Model normatif digunakan untuk membantu cara atau prosedur yang paling
efisien dalam memecahkan suatu masalah kebijakan publik. Model normatif
dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam memberikan
gagasan hasil pemikiran agar para pengambil keputusan dapat memecahkan
suatu masalah kebijakan. Informasi yang normatif atau preskriptif ini biasanya
berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil dari analisis data. Informasi jenis
ini dihasilkan dari metodologi yang sepenuhnya bersifat rasional yang sesuai,
45

baik dengan argumentasi teoritis maupun data dan informasi. Informasi yang
bersifat normatif ini oleh analis sektor pendidikan disebut informasi teknis,
karena merupakan hasil analisis data berdasarkan informasi yang berkaitan
dengan suatu isu kebijakan yang sedang atau ingin disoroti (Ace suryadi dan
H.A.R Tilaar, 1997)

Selanjutnya Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar (1997) menyatakan model


normatif merupakan sebagian dari proses analisis kebijakan dalam dimensi
rasional. Model normatif tidak hanya memungkinkan analis atau pengambil
kebijakan memperkirakan masa lalu, masa kini, dan masa datang. Pendekatan
normatif dalam analisis kebijakan dimaksudkan untuk membantu para
pengambil keputusan (Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala
Sekolah) memberikan gagasan hasil pemikiran agar para pengambil keputusan
dapat memecahkan suatu masalah kebijakan. Pendekatan normatif
menekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang (aksi)
yang dapat menyelesaikan masalah-masalah pendidikan yang dibutuhkan oleh
masyarakat pada semua jenjang dan jenis pendidikan.

Kelebihan kebijakan model normatif yaitu data yang dihasilkan merupakan


hasil dari analisis data yang berdasarkan dari informasi atau fakta yang terjadi
yang berkaitan dengan isu kebijakan yang kemudian melahirkan berbagai
alternatif-alternatif atau dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan
pencapaian suatu nilai dan mampu memecahkan suatu masalah kebijakan.
Kelemahan model normatif ini membutuhkan waktu dan biaya yang relatif
cukup banyak untuk mencari data, informasi dan kemudian membuat
kesimpulan serta rekomendasi dalam memecahkan masalah yang ada disoroti
(Ace suryadi dan H.A.R Tilaar, 1997)
46

2.3.3.3 Model Verbal

Model verbal (verbal models) dalam kebijakan diekspresikan dalam bahasa


sehari-hari, bukannya bahasa logika simbolis dan matematika sebagai masalah
substantif. Dalam menggunakan model verbal, analisis berdasarkan pada
penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi.
Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan, bukan berbentuk nilai-nilai
angka pasti. Model verbal secara relatif mudah dikomunikasikan diantara para
ahli dan orang awam, dan biayanya murah.

Kelebihan model verbal yaitu model ini diekspresikan atau dipaparkan


melalui bahasa sehari-hari, sehingga lebih mudah dipahami dan biaya nya
relative murah, selain itu model verbal bersandar pada penilaian nalar untuk
membuat sebuah prediksi atau sebuah rekomendasi kebijakan. Keterbatasan
model verbal adalah masalah-masalah yang dipakai untuk memberikan
prediksi dan rekomendasi bersifat implisit atau tersembunyi, sehingga sulit
untuk memahami dan memeriksa secara kritis argumen-argumen tersebut
sebagai keseluruhan, karena tidak didukung informasi atau fakta yang
mendasari.

2.3.3.4 Model Simbolis

Model simbolis menggunakan simbol-simbol matematis untuk menerangkan


hubungan antara variabel-variabel kunci yang dipercaya menciri suatu
masalah. Prediksi atau solusi yang optimal dari suatu masalah kebijkan
diperoleh dari model-model simbolis dengan meminjam dan menggunakan
metode-metode matematika, statistika, dan logika. Model-model simbolis
dapat memperbaiki keputusan kebijakan, tetapi hanya jika premis-premis
sebagai pijakan penyusun model dibuat eksplisit dan jelas. Tanpa verifikasi
empiris hanya ada sedikit jaminan bahwa hasil praktik semacam itu dapat
diandalkan untuk tujuan kebijakan normative. Karena itu penentuan kebijakan
47

atas dasar angka-angka kuantitatif tidak cukup memadai untuk melakukan


prediksi, masih perlu data kualitatif atau fakta-fakta yang riel sebagai
pertimbangan prediksi dan juga penentuan kebijakan.

Kelebihan model simbolis yaitu model ini dapat memperbaiki keputusan-


keputusan kebijakan, tetapi hanya jika premis-premis sebagai pijakan
menyusun model dibuat eksplisit. Kelemahan praktis model simbolis adalah
hasilnya tidak mudah diinterpretasikan, bahkan diantara para spesialis, karena
asumsinya tidak dinyatakan secara memadai. (William Dunn, 2004)

2.3.3.5 Model Prosedural

Model prosedural menampilkan hubungan yang dinamis antara variabel-


variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi-prediksi
dan solusi-solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan meneliti
seperangkat hubungan yang mungkin. Prosedur simulasi dan penelitian pada
umumnya (meskipun tidak harus) diperoleh dengan bantuan komputer, yang
diprogram untuk menghasilkan prediksi-prediksi alternatif di bawah
serangkaian asumsi yang berbeda-beda. Model prosedural dicatat dengan
memanfaatkan model ekspresi yang simbolis dalam penentuan kebijakan.
Perbedaannya, simbolis menggunakan data aktual untuk memperkirakan
hubungan antara variabel-variabel kebijakan dan hasil, sedangkan model
prosedural adalah mensimulasikan hubungan antara variabel tersebut. Model
prosedural dalam ditulis dalam bahasa nonteknis yang terfahami. Kelebihannya
memungkinkan simulasi dan penelitian yang kreatif, kelemahannya sering
mengalami kesulitan mencari data atau argument yang dapat memperkuat
asumsi-asumsinya, dan biaya model procedural ini relative tinggi disbanding
model verbal simbolis.
48

2.3.3.6 Model Sebagai Pengganti dan Perspektif

Pendekatan preskriptif menurut Suyadi dan Tilaar (1994), merupakan upaya


ilmu pengetahuan menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep yang dapat
digunakan oleh pemakai memecahkan suatu masalah khususnya masalah
kebijakan. Preskripsi atau rekomendasi diidentikkan dengan advokasi
kebijakan, yang acapkali dipandang sebagai cara membuat keputusan idiologis
atau untuk menghasilkan informasi kebijakan yang relevan dan argument-
argumen yang masuk akal mengenai solusi-solusi yang memungkinkan bagi
masalah publik. Jadi pengambilan kebijakan bukan atas kemauan atau
kehendak para penentu kebijakan, tetapi memiliki alasan-alasan yang kuat dan
kebijakan tersebut memang menjadi kebutuhan publik. Bentuk ekspressi dari
model kebijakan lepas dari tujuan, menurut Dunn dapat dipandang sebagai
pengganti (surrogates) atau sebagai perspektif (perspective).

Model pengganti (surrogate model) diamsusikan sebagai pengganti masalah-


masalah substantif. Model pengganti mulai disadari atau tidak dari asumsi
bahwa masalah formal adalah representasi yang sah dari masalah yang
substantif. Model perspektif didasarkan pada asumsi bahwa masalah formal
tidak pernah sepenuhnya mewakili secara sah masalah substantif, sebaliknya
model perspektif dipandang sebagai satu dari banyak cara lain yang dapat
digunakan untuk merumuskan masalah substantif. Perbedaan antara model
pengganti dan perspektif adalah penting dalam analisis kebijakan publik

2.4 Kerangka Pikir

Kerangka pikir merupakan alur konseptual akan teori yang saling berhubungan satu
sama lain terhadap berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang
penting. Dalam penelitian ini yang merupakan input adalah kepala sekolah sebagai
pimpinan di sekolah, sebagai pemimpin perempuan yang memiliki peran ganda, yaitu
peran sebagai ibu dan istri dikeluarga dan peran nya sebagai seorang pemimpin di
49

sekolah merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologis, dengan
teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Kemudian
data yang diperoleh akan dianalisis melalui teknik pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Proses ini dipengaruhi Instrumen
fundamental yang terdiri dari kebijakan tentang pendidikan dan kebijakan gender,
sementara instrument environmental terdiri dari pemerintah, stake holder, keluarga
dan masyarakat. Setelah data dianalisis maka akan diperoleh hasil berupa kebijakan
yang tepat untuk kepemimpinan kepala sekolah perempuan dan strategi untuk
meminimalisir kekurangan kepemimpinan kepala sekolah perempuan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat digambarkan kerangka penelitian ini adalah
seperti pada gambar 2.2.

Instrumen Fundamental
Kebijakan pendidikan
Kebijakan gender

Observasi
Gender/ peran Wawancara
sosial Studi dokumen

Faktor-faktor Model Kebijakan


kelemahan dan Normatif
kekuatan
kepemimpinan Strategi
SDM kepala sekolah memimalisir
Kepala perempuan kelemahan
Sekolah Pengumpulan kepemimpinan
data kepala sekolah
Model-model kebijakan
Model Deskriptif
Reduksi Data perempuan
Model Normatif Penyajian data
Model Verbal Penarikan
Model Simbolis Kesimpulan
Model Prosedural
Model pengganti

Instrumen Envimental
Pemerintah
Stake Holder
Keluarga
Masyarakat

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian


50

III. METODE PENELITIAN

3.1 Setting Penelitian

3.1.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di salah satu SMK Negeri di Bandar Lampung


yaitu SMK Negeri 8 Bandar Lampung yang beralamat di Jl. Imam Bonjol
No.52 Kemiling. SMK Negeri 8 Bandar Lampung merupakan SMK Negeri
termuda kedua di Bandar Lampung yang didirikan pada tanggal 11 April
2014 dan memiliki 9 Program keahlian yaitu rekayasa perangkat lunak,
multimedia, akuntansi dan keuangan lembaga, administrasi perkantoran,
perbankan syariah, kimia industri, analisis pengujian laboratorium,
kecantikan kulit dan rambut, dan tata busana.
3.1.2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari 2021 sampai dengan bulan

Juni 2021.

3.2 Pendekatan dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan penelitian


fenomenologi. Fenomenologi merupakan salah satu rancangan yang digunakan
dalam penelitian kualitatif, dimana fenomenologi merupakan pandangan berfikir
yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia
dan interpretasi-interpretasi manusia (Moleong,2013). Pendekatan kualitatif
dengan rancangan fenomenologi berupaya untuk menangkap berbagai persoalan
yang ada di masyarakat dan mengungkap makna yang terkandung di dalamnya.
Penelitian ini menggambarkan atau mendeskripsikan fenomena tentang efektifitas
kepemimpinan kepala sekolah yang ditinjau dari perspektif gender. Penelitian ini
51

dilaksanakan pada situasi alami, bisa dikatakan apa adanya dan tidak dimanipulasi
peneliti.

Menurut Moleong tahapan penelitian kualitatif terdiri atas empat tahap yaitu:
tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap analisis data, dan pelaporan
hasil penelitian (Moleong, 2013). Adapun langkah-langkah yang ditempuh
peneliti sebagai berikut:
1) Tahap Pra lapangan
Tahap ini peneliti melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1)
menyusun rancangan penelitian yang bertujuan untuk mengobservasi
keadaan sekolah untuk mencari isu-isu yang aktual dan dapat dirumuskan
dan dikembangkan dalam penelitian, 2) memilih lapangan penelitian, 3)
memilih dan memanfaatkan informan, dan 4) menyiapkan perlengkapan
penelitian.
2) Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian, yaitu: 1) memahami latar
penelitian dan persiapan diri, 2) memasuki lapangan, dan 3) berperan serta
sambil mengumpulkan data. Peneliti melakukan eksplorasi terhadap subjek
penelitian dengan cara observasi, wawancara dan studi dokumentasi
sehingga triangulasi dapat dilakukan unutk memperoleh data yang lengkap.
3) Analisis data
Analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data yang dipilih
terkait dengan fokus penelitian. Kegiatan yang dilakukan adalah memahami
konsep dasar analisis data, menentukan tema, dan menganalisis data untuk
membuat kesimpulan sementara dan mereduksi data.
4) Pelaporan Hasil Penelitian
Tahap pelaporan hasil penelitian adalah tahap terakhir yang didahului
dengan penulisan draft penelitian dan dijabarkan secara sistematis dan
naratif. Peneliti melakukan pemeriksaan paparan data dan temuan
penelitian. Sebelum membuat laporan akhir. Setelah semua kegiatan
52

dilaksanakan, maka peneliti berhak melangkah ke tahap selanjutnya yaitu


seminar hasil yang bertujuan untuk memaparkan hasil penelitian, kemudian
peneliti melakukan perbaikan kembali sampai memenuhi syarat yang
ditetapkan, selanjutnya tahap terakhir kegiatan penelitian yaitu ujian tesis.

3.3 Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti di lapangan merupakan instrumen kunci penelitian mutlak


diperlukan, karena terkait dengan penelitian yang telah dipilih yaitu penelitian
dengan pendekatan kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (2007), pada
penelitian kualitatif peneliti wajib hadir di lapangan, karena peneliti bertindak
sebagai instrumen sekaligus sebagai pengumpul data. Dalam hal instrumen
penelitian kualitatif Nasution (2003) menyatakan:
“Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia
sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segala sesuatunya
belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur
penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya
tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih
perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan serba tidak pasti
dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat
satu-satunya yang dapat mencapainya”

Menurut P.D. Sugiyono (2010) instrument selain manusia dapat pula digunakan,
tetapi fungsinya terbatas sebagai pendukung tugas peneliti sebagai instrument.
Keuntungan dari peneliti sebagai instrumen adalah (1) subjek lebih tanggap akan
kedatangan peneliti, (2) peneliti dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan atau
setting penelitian, (3) keputusan yang berhubungan dengan dapat diambil cepat
dan terarah, dan (4) informasi dapat diperoleh melalui sikap dan cara responden
atau informan dalam memberikan informasi.

Hari Rabu, tanggal 21 April 2021 peneliti melakukan observasi awal untuk
mengetahui kondisi lingkungan di SMK Negeri 8 Bandar Lampung yang
didampingi oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan administrator
sekolah sebagai langkah untuk memulai penelitian. Tanggal 9 Juni 2021, peneliti
53

mengajukan surat penelitian ke SMK Negeri 8 Bandar Lampung dan


melaksanakan wawancara dengan wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan
wakil kepala sekolah bidang sarana dan prasarana, hasil yang diperoleh bahwa
dalam kepemimpinan Hj. Dewi Ningsih M. Pd dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai kepala sekolah, beliau selalu melibatkan tim
manajemen dalam setiap keputusan, namun beliau akan mempercayakan
pekerjaan atau tugas kepada orang yang yang secara emosional dekat dengan
beliau.

Pada hari selasa, tanggal 15 Juni 2021 peneliti melakukan wawancara langsung
dengan kepala sekolah, ibu Hj. Dewi Ningsih, M.Pd. dalam wawancara peneliti
lebih banyak mempertanyakan tentang bagaimana perjalanan dan kendala-kendala
yang beliau hadapi selama menjadi kepala sekolah. Beliau memaparkan
bahwasanya sebelum menjadi kepala sekolah, beliau terlebih dahulu meminta izin
dari suami dan anak-anak nya untuk mendaftarkan diri menjadi calon kepala
sekolah. Selama menjadi kepala sekolah, ibu Hj, Dewi Ningsih, M.Pd selalu
mendiskusiskan kondisi atau masalah sekolah kepada suami nya, untuk saling
bertukar pendapat dan mendapatkan masukan dari suami.

Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan guru pada tanggal 16 Juni


2021, diperoleh data bahwa peran perempuan di wilayah domestik dapat
mempengaruhi karir dan pekerjaan diluar. Karena waktu yang tersita dirumah
biasanya lebih banyak, dan tenaga sudah terkuras untuk urusan domestik karena
fikiran dan tenaga sudah terbagi, hingga untuk menjalankan peran diluar rumah
tidak akan maksimal. Biasanya jika jam pulang kerja sudah lebih dari jam 4 sore,
fikiran perempuan akan mulai tidak tenang, mereka akan lebih memikirkan
kondisi rumah dan tidak fokus pada pekerjaan mereka.

Kemudian pada tanggal 21/06/21 peneliti kembali mewawancarai ketua program


keahlian, diperoleh data bahwa sampai saat ini belum ada kebijakan dari dinas
54

pendidikan terkait tentang cuti kepala sekolah. Berikut daftar hadir peneliti dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel.3.1 Daftar Hadir Penelitian

No Hari Tanggal Waktu Tempat Informan Objek


Penelitian
1 Rabu 20/01/2021 09.00 – Lingkungan Waka Observasi
12.00 Sekolah Kurikulum dan Lingkungan
Administrator Sekolah
sekolah
2 Rabu 09/06/2021 09.00 – Ruang kantor Waka Wawancara
10.00 Kurikulum
3 Rabu 09/06/2021 10.00 – Ruang kantor Waka Sarpras Wawancara
11.00
4 Selasa 15/06/2021 09.00 – Ruang kepala Kepala Sekolah Wawancara
11.00 Sekolah
5 Rabu 16/06/2021 06.45 – Lingkungan Kepala Sekolah Observasi,
09.00 sekolah dan dokumentasi
Administrator
Sekolah
6 Rabu 16/06/2021 09.00 – Ruang kantor Guru Wawancara
10.00
7 Rabu 16/06/2021 10.00 – Ruang kantor Guru Wawancara
11.00
8 Senin 21/06/2021 09.00 – Ruang Kantor Ketua Program Wawancara
10.00 keahlian
Multimedia

9 Rabu 21/06/2021 10.00 – Ruang kantor Ketua Program Wawancara


11.00 keahlian
Perbankan
Syariah
10 Kamis 22/06/2021 08.00- Ruang Osis Peserta Didik Wawancara
10.00

11 Kamis 22/06/2021 10.00 – Aula Kepala sekolah Observasi,


14.00 dan dokumentasi
Adminitrator
sekolah
55

3.4 Sumber Data Penelitian


Data merupakan hal sangat esensial untuk mengungkap suatu permasalahan, dan
data juga diperlukan untuk menjawab masalah penelitian atau mengisi hipotesis
yang dirumuskan. Menurut cara memperolehnya, data dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh peneliti dari sumber pertama
(Hadari Nawawi dan Mini Martini, 1994)

Dalam hal ini, data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan secara
langsung dari informan melalui pengamatan, catatan lapangan dan interview.
Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan
oleh pihak lain yang biasanya disajikan dalam bentuk publikasi dan jurnal. Dalam
hal ini, data sekunder adalah data yang sudah diolah dalam bentuk naskah tertulis
atau dokumen (Hadari Nawawi dan Mini Martini, 1994).

Sumber data adalah tempat, orang atau benda di mana penulis dapat mengamati,
bertanya, atau membaca tentang hal-hal yang berkenaan dengan variabel yang
diteliti. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi tetapi oleh
Spradley dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri dari tiga
elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors), aktivitas (activity) yang berinteraksi
secara sinergis. Oleh (P. D. Sugiyono, 2010) untuk mempermudah
mengidentifikasi sumber data maka diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan yaitu:
3.3.1 Person, yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban
lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket.
3.3.2 Place, yaitu sumber data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam
dan bergerak.
a. Diam, misalnya ruangan, kelengkapan alat, wujud benda dan lain-lain.
b. Bergerak, misalnya aktivitas, kinerja, kegiatan belajar-mengajar, dan
lain sebagainya.
56

3.3.3 Paper, yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf,
angka, gambar, atau simbol-simbol lain.
Guna menentukan informan maka peneliti menggunakan sampel secara
purposive sampling, dimana pemilihan dilakukan secara sengaja berdasarkan
kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.
Teknik sampel secara purposive akan memberikan keluasan bagi peneliti untuk
menentukan kapan penggalian informasi dihentikan dan diteruskan. Serta
menggunakan teknik snowball sampling, yaitu teknik penentuan sampel yang
mula-mula jumlahnya kecil kemudian membesar. Ibarat bola salju yang
menggelinding yang lama-lama menjadi besar (P. D. Sugiyono, 2010).

Adapun yang menjadi pertimbangan dalam penentuan sumber data di sini ialah
bahwa orang tersebut yang dianggap paling tahu apa yang peneliti harapkan,
sehingga yang menjadi sumber untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan ketua kompetensi keahlian,
guru dan peserta didik di SMK Negeri 8 Bandar Lampung.

Jumlah informan penelitian ini dapat diihat dalam tabel 3.2.

Tabel 3.2 Jumlah Informan Penelitian


No Sumber Data Kode Jumlah
1 Kepala Sekolah KY 1
2 Wakil Kepala Sekolah WK 2
3 Ketua program Keahlian KK 2
4 Guru G 3
5 Peserta didik PS 3
JUMLAH 11

Penentuan kategori koding, setiap kategori diberi kode yang menggambarkan


cakupan makna, pengkodean dibuat berdasarkan teknik pengumpulan data dan
57

sumber data. Berikut pengkodean informan penelitian dapat dilihat pada tabel
3.3.

Tabel 3.3 Pengkodean Informan Penelitian


Teknik Kode Sumber Data Kode
Pengumpulan Data
Wawancara W Kepala Sekolah KS
Wakil Kepala Sekolah WK
Ketua Kompetensi KK
Keahlian
Guru GR
Peserta Didik PS

Observasi O Kepala Sekolah KS


Wakil Kepala Sekolah WK
Ketua Kompetensi KK
Keahlian
Guru GR
Peserta Didik PS

Studi Dokumen SD Kepala Sekolah KS


Wakil Kepala Sekolah WK
Ketua Kompetensi KK
Keahlian
Guru GR
Peserta Didik PS

Contoh penerapan kode dan cara membacanya: (W KS 18.03.21)

Teknik Pengumpulan Data

Kepala Sekolah

Tanggal, bulan dan tahun

Menurut Nasution (2003) tindakan, kata-kata dan orang-orang yang diamati atau
di wawancarai merupakan sumber data utama dan dicatat melalui catatan tertulis,
pengambilan foto atau film serta peneliti memberikan koding pada informan agar
tidak menyinggung siapapun yang ada dalam penelitian ini. Pemberian kode
sangat diperlukan untuk memudahkan pelacakan data secara bolak-balik. Secara
rinci pengkodean dibuat berdasarkan pada teknik pengumpulan data dan
informan (Huberman, 2014). Pada sumber data kepala sekolah diberi kode KS,
58

wakil kepala sekolah diberi kode WK, ketua program keahlian diberi kode KK,
guru diberi kode GR, peserta didik diberi kode PS. Teknik pengumpulan data
untuk observasi diberi kode O, wawancara diberi kode W, dan studi dokumen
diberi kode SD.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan sangat penting dalam


penelitian. Teknik pengumpulan data yang benar akan menghasilkan data yang
memiliki kredibilitas tinggi, dan sebaliknya. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) wawancara; 2) observasi; dan 3) studi
dokumentasi. Menurut P. D. Sugiyono (2010) teknik pengumpulan data
merupakan langkah yang paling tepat dalam penelitian, karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan
data dilakukan pada kondisi alamiah (kondisi alamiah), sumber data primer, dan
teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta
(participant observation), wawancara mendalam dan studi dokumentasi (P.
Sugiyono, 2010).
3.6.1 Pengamatan (observation)
Mengamati adalah menatap kejadian, gerak, atau proses. Observasi adalah
kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil
kerja panca indra mata serta dibantu dengan panca indra lainnya.

Observasi sebagai metode pengumpulan data memiliki ciri yang spesifik


bila dibandingkan dengan metode lain, seperti wawancara dan kuesioner.
Wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka
observasi tidak terbatas dengan orang, tetapi juga dengan objek-objek
alam yang lain.

Observasi merupakan metode pengumpulan dalam penelitian kualitatif,


data yang paling alamiah dan paling banyak digunakan tidak hanya di
59

dunia keilmuan, tetapi juga dalam berbagai aktivitas kehidupan. Secara


umum observasi berarti pengamatan, penglihatan. Sedangkan secara
khusus dalam dunia pendidikan observasi adalah mengamati dan
mendengar dalam rangka memahami, mencari jawaban, mencari bukti
terhadap fenomena sosial keagamaan (Suprayogo, Imam dan Tobroni,
2003).

Dari pemahaman observasi atau pengamatan di atas, sesungguhnya yang


di maksud dengan metode observasi adalah metode pengumpulan data
yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan
dan pengindraan. Observasi yang dilakukan peneliti disajikan dalam
bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 3.4 Pengamatan

No Ragam yang diamati Keterangan

1. Jadwal Kehadiran Kepala sekolah


2. Sikap/karakter Kepala Sekolah
3. Pengambilan keputusan Kepala Sekolah
4. Lingkungan dan kondisi sekolah

3.6.2 Wawancara (interview)

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara


mendalam. Wawancara mendalam adalah suatu kegiatan yang dilakukan
untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengajukan
pertanyaan kepada nara sumber (informan atau key informan) untuk
mendapatkan informasi yang mendalam Indrawan &Yaniawati (2017:
136). Komunikasi antara pewawancara dengan yang diwawancarai
bersifat intensif dan detail dengan tujuan untuk memperoleh informasi
secara rinci. Berikut pedoman wawancara dapat dilihat pada Tabel 3.5
60

Tabel 3.5. Pedoman Wawancara


No Sub Fokus Indiktor Informan
Faktor Pendukung dan  Kepemimpinan
penghambat dalam kepala sekolah
kepemimpinan kepala  Pencapaian visi
sekolah perempuan misi
KS,WK
 Efektifitas
1 KK,GR,PS
pembelajaran
 Pandangan warga
sekolah terhadap
kepala sekolah
perempuan

Model kebijakan yang Adanya Aturan atau


diimplementasikan kebijakan yang
2 KS,
dalam mengatasi diterapkan
WK,KK,GR
hambatan dan
memperkuat kekuatan

3.6.3 Studi Dokumen

Selain menggunakan observasi dan wawancara, pengumpulan data


dilakukan dengan menggunakan studi dokumen sebagai cara
mengumpulkan data dengan catatan, transkip, buku-buku surat kabar,
majalah, prasasti dan bagian-bagian yang dianggap penting dari berbagai
risalah resmi yang terdapat di lokasi penelitian yang dijadikan sebagai
objek penelitian sehingga diperoleh data yang lengkap dan sah, bukan
berdasarkan perkiraan peneliti. Data yang diperoleh dari studi
dokumentasi dijadikan sebagai narasumber bagi peneliti selain wawancara
dan observasi, karena studi dokumentasi dalam penelitian kualitatif
merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara.
Menurut Nasution, studi dokumentasi merupakan pengambilan data yang
diperoleh melalui dokumen-dokumen (Nasution, 2003). Menurut
Nasution, (2003) mengemukakan bahwa studi dokumentasi, yaitu
61

pengumpulan sejumlah dokumen yang diperlukan sebagai bahan data


informasi sesuai dengan masalah penelitian, biasanya dikatakan data
sekunder yaitu data yang telah dibuat dan dikumpulkan oleh
orang/lembaga lain. Berikut daftar studi dokumen yang digunakan dalam
penelitian ini terdapat pada tabel 3.6.
Tabel 3.6 Studi Dokumen

Dokumen Indikator Sumber Data


Profil 1. Visi dan misi sekolah Visi misi, tujuan dari sekolah
sekolah 2. Data peserta didik dan kegiatan peserta didik
yang diperoleh di sekolah.

Manajemen 1. Program Kerja Kepala Agenda Sekolah, profil


Sekolah Sekolah sekolah, dan data
2. Struktur Organisasi kependidikan
Sekolah
3. Kalender Kegiatan
Sekolah
4. Data Pendidik dan
kependidikan
Kegiatan 1. Undangan rapat Arsip surat menyurat dan
sekolah 2. Daftar hadir rapat data kepegawaian
3. Absensi Pegawai
Sumber: Dokumen Penelitian

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian Kepemimpinan Kepala Sekolah ditinjau Dari


perspektif Gender dilakukan sebelum peneliti memasuki lapangan, pada saat
pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data pada
periode tertentu. Analisis data penelitian ini dilakukan untuk menjawab
pertanyaan penelitian mengenai Kepemimpinan Kepala Sekolah yang ditinjau
dari perspektif gender di SMK Negeri 8 Bandar Lampung.

Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
62

penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain (Moleong, 2013).. Spradley menyatakan, analisis data
dilakukan selama dan setelah pengumpulan data dengan teknik-teknik, analisis
domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema (Spradley,
2016)

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data menurut Milles dan Huberman.
Milles & Huberman (2014) menyatakan bahwa pada penelitian kualitatif,
analisis data dapat dilakukan secara interaktif melalui 4 tahapan, yaitu
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari
model interaksi menurut Milles dan Huberman (2014) seperti dapat dilihat pada
gambar 3.1.

Pengumpulan Data Penyajian Data

Kesimpulan dan
Reduksi Data Verifikasi Data

Gambar 3.1 Model Interaksi Analisis Data Modifikasi


Sumber : (Milles & Huberman, 2014)

3.4.1 Pengumpulan Data (Data Collection)


Pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan untuk
mengumpulkan data dengan menggunakan wawancara, pengamatan
dan studi dokumen. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu
transkip wawancara, catatan lapangan dan studi dokumen kemudian
ditarik kesimpulan.
3.4.2 Reduksi Data (Data Reduction)
63

Kondensasi data merujuk pada proses memilih, menyederhanakan,


mengabstrakkan, dan mentransformasikan data yang mendekati
keseluruhan bagian dari catatan-catatan lapangan secara tertulis,
transkip wawancara, dokumen-dokumen, dan materi-materi empiris
lainnya.

3.4.3 Penyajian Data (Display Data)


Penyajian data adalah sebuah pengorganisasian, penyatuan dari
informasi yang memungkinkan penyimpulan dan aksi. Penyajian data
membantu dalam memahami apa yang terjadi dan untuk melakukan
sesuatu, termasuk analisis yang lebih mendalam atau mengambil aksi
berdasarkan pemahaman.

3.4.4 Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing)


Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan
verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis
kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan
penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat,
dan proposisi. Kesimpulan-kesimpulan “final” mungkin tidak muncul
sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya
kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan,
dan metode pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti.

Setelah seluruh data terkumpul, peneliti meninggalkan lapangan dan mulai


membaca, memahami dan menganalisis lebih lanjut secara intensif. Langkah-
langkah dalam melakukan analisis data sebagai berikut:

Pertama, pengorganisasian data. Semua data observasi, dokumen-dokumen


yang berkaitan dengan fokus penelitian ditata sesuai dengan kronologis
kegiatannya, diberi nomor urut halaman serta berkesinambungan.
64

Kedua, penentuan kategori koding. Semua data yang terekam dalam catatan
lapangan kembali dibaca dan diteliti, untuk kemudian diidentifikasi topik-
topik liputannya, lalu dikelompokkan dalam kategori-kategori. Setiap ketegori
diberi kode yang menggambarkan cakupan makna topik. Kode tersebut
nantinya dijadikan alat untuk mengorganisasikan satuan-satuan data. Adapun
yang dimaksud dengan satuan data adalah potongan-potongan catatan
lapangan berupa kalimat, satuan alenia, atau urutan alenia. Secara rinci
pengkodean dibuat berdasarkan pada teknik pengumpulan data dari kelompk
informan.

Ketiga, menyotir data. Setiap topik yang teroganisir dalam satuan data diberi
kode kesesuaian pada bagian pinggir lembar catatan lapangan, selanjutnya
semua catatan lapangan difotokopy dan catatan lapangan asli disimpan
sebagai arsip, sedangkan hasil fotokopy tersebut dipotong-potong berdasarkan
data satuanya. Cara ini disebut pendekatan potong-simpan dan map (the cup-
up-and-put-in-folders approach. Selanjutnya memberi label pada map-map
tersebut dengan nomor kode serta ungkapan yang sesuai. Keempat, untuk
memudahkan penarikan kesimpulan sebagai temuan-temuan tentatif dibuat
beberapa matriks dan bagian konteks (Sowiyah, 2005).

3.5 Pengecekan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data dalam penelitian kualitatif merupakan bagian yang


penting dan tidak terpisahkan. Pengecekan keabsahan data bertujuan untuk
mengetahui dan mengecek kebenaran data yang diperoleh melalui teknik
pemeriksaan derajat kepercayaan (kredibilitas), teknik pemeriksaan keteralihan
(transferabilitas), teknik pemeriksaan ketergantungan (dependabilitas) dan
teknik kepastian (confirmabilitas) (Moleong, 2017). Namun yang utama adalah
uji kredibilitas data yaitu dengan melakukan perpanjangan pengamatan,
meningkatkan ketekunan, triangulasi sumber data, dan member check.
65

Pengecekan kredibilitas data menggunakan teknik triangulasi yang berarti


peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui
wawancara, data yang diperoleh melalui observasi dan studi dokumen untuk
sumber data yang sama. Secara teknis dalam triangulasi lebih diutamakan
efektifitas proses dan hasilnya, sehingga dalam triangulasi dilakukan pengujian
apakah proses dan hasil dari metode yang digunakan telah berjalan dengan baik
dan benar. Bentuk pengujian tersebut antara lain:

1. Ketika peneliti menggunakan wawancara dan observasi untuk mengumpulkan


data, pastikan bahwa telah terhimpun catatan observasi.
2. Lakukan uji silang terhadap materi catatan observasi, untuk memastikan tidak
ada informasi yang bertentangan antara catatan wawancara dengan catatan
observasi. Jika catatan dari kedua metode tersebut ada yang tidak relevan,
maka peneliti dapat mengkonfirmasi perbedaan tersebut kepada informan.
3. Hasil konfirmasi yang telah dilakukan, diuji kembali dengan informasi-
informasi terdahulu yang diperoleh dari informan atau sumber lain. Jika
terdapat perbedaan, peneliti perlu menelusuri perbedaan-perbedaan tersebut
sampai ditemukan sumber perbedaannya, kemudian dilakukan konfirmasi
kembali dengan informan atau sumber-sumber lainnya.

Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif dilakukan melalui triangulasi


karena keabsahan data dalam penelitian ini tidak dapat dilakukan dengan uji
statistik. Peneliti menggunakan teknik tersebut agar mendapatkan informasi dan
data yang akurat dari informan serta dapat menghasilkan penelitian yang lebih
baik. Akurasi data pada setiap komponen juga dilihat secara kritis dari berbagai
sudut pandang pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sekolah, dan dalam
kepemimpinan kepala sekolah yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, ketua
program keahlian, guru dan peserta didik.
66

3.6 Tahap-tahap Penelitian


Tahapan penelitian kualitatif terdiri atas empat tahap yaitu: tahap pra lapangan,
tahap pekerjaan lapangan, tahap analisis data, dan tahap pelaporan hasil penelitian
(Moleong, 2013:127). Adapun langkah-langkah yang ditempuh peneliti sebagai
berikut:
3.6.1 Tahap Pra Lapangan
Tahap pra penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2021. Pada tahap pra
lapangan ada tujuh kegiatan yang dilakukan oelh peneliti, yaitu:
a. Menyusun rancangan penelitian tentang kepemimpinan kepala sekolah
yang ditinjau dari perspektif gender di SMK Negeri 8 Bandar Lampung
b. Memilih lapangan penelitian dengan cara mempelajari serta mendalami
fokus dan rumusan masalah penelitian
c. Mengurus perizinan secara formal dalam hal ini peneliti meminta izin
kepada Kepala Sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung
d. Menjajaki dan menilai keadaan lingkungan dimana peneliti melakukan
orientasi lapangan. Penjajakan dan penilaian lapangan akan terlaksana
dengan baik apa bila peneliti sudah mengetahui melalui orang dalam
tentang situasi dan kondisi daerah tempat penelitian dilakukan.
e. Memilih dan memanfaatkan informan yang berguna bagi pemberi
informasi situasi dan kondisi latar penelitian.
f. Menyiapkan perlengkapan penelitian yang diperlukan meliputi alat tulis
dan kamera.
g. Tahap pra penelitian terakhir adalah seminar proposal tesis yang
dilaksanakan pada tanggal 7 April 2021
3.6.2 Tahap pekerjaan lapangan
Tahap pekerjaan lapangan dilaksanakan pada bulan April – Juni 2021 pada
tahap ini di bagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Memahami latar penelitian dan persiapan diri
67

Peneliti menggunakan latar penelitian SMK Negeri 8 Bandar Lampung


untuk memperoleh data yang dibutuhkan tentang kepemimpinan kepala
sekolah yang ditinjau dari perspektif gender.

2. Memasuki lapangan
Peneliti mengawali dengan membuat permohonan ijin untuk melakukan
pengumpulan data atau melengkapi informasi umum yang diperoleh pada
awal observasi untuk melakukan pengumpulan data dan menggali
informasi yang peneliti butuhkan sesuai sub fokus penelitian.
3. Mengumpulkan data
Peneliti mengumpulkan data-data yang meliputi: mencatat data,
mengobservasi dan mendokumentasikan apa yang ada yang diperoleh
dilapangan.

3.6.3 Tahap Analisa Data


Tahap analisis data dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan
September 2021 meliputi kegiatan mengumpulkan data dan pencatatan data,
analisis data, penafsiran data, pengecekan keabsahan data, dengan
mengumpulkan data atau melengkapi informasi umum yang telah diperoleh
pada observasi awal. Data yang terkumpul dikelompokkan dan dianalisis
sesuai dengan fokus penelitian dan dimasukkan kedalam matrik cek data. Data
dipaparkan dalam bentuk naratif, matriks dan diagram konteks. Pembahasan
berikutnya adalah kesimpulan dan saran.

3.6.4 Tahap Pelaporan Hasil Penelitian


Pembuatan laporan hasil penelitian yang terdiri atas latar belakang penelitian,
kajian pustaka, metode penelitian yang digunakan, penyajian data penelitian,
pengkajian temuan penelitian dan kesimpulan akhir dari hasil penelitian
semuanya ditulis secara naratif. Penulis menggunakan pedoman penulisan
karya ilmiah yang berlaku di Universitas Lampung. Tahap akhir peneliti
68

melakukan seminar hasil penelitian dan melakukan perbaikan yang


dilanjutkan dengan menyusun laporan hasil penelitian dan diakhiri dengan
ujian tesis.

IV. PAPARAN DATA, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum SMK Negeri 8 Bandar Lampung

SMK Negeri 8 Bandar Lampung merupakan salah satu SMK Negeri termuda
kedua di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. SMK Negeri 8 Bandar
Lampung didirikan pada tanggal 11 April 2014. Pada saat itu SMK Negeri 8
Bandar Lampung dipimpin oleh Drs. Edi Harjito sebagai kepala sekolah
pertama. Setelah tiga tahun kepemimpinan beliau, pada Mei 2017 akhirnya
beliau digantikan oleh ibu Hj. Dewi Ningsih, M.Pd yang merupakan salah satu
guru di SMK Negeri 7 Bandar Lampung.

Semenjak kepemimpinan Hj. Dewi Ningsih, M.Pd, SMK Negeri 8 Bandar


Lampung mengalami peningkatan secara signifikan, baik secara fisik berupa
peningkatan jumlah sarana prasarana yaitu ruang belajar, ruang praktek siswa,
dan peningkatan alat praktek siswa, maupun peningkatan secara kualitas
pembelajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari prestasi yang diperoleh siswa dalam
setiap ajang kompetisi yang ikuti oleh siswa SMK Negeri 8 Bandar Lampung.

SMK Negeri 8 Bandar Lampung memiliki 9 Kompetensi Keahlian, yang terdiri


dari: 1) Rekayasa Perangkat Lunak (RPL), 2) Multimedia, 3) Akuntansi dan
Keuangan Lembaga, 4) Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran, 5) Perbankan
Syariah, 6) Kecantikan Kulit dan Rambut (KKR), 7) Tata Busana, 8) Kimia
69

Industri, 9) Analisis Pengujian Laboratorium (APL). (Sumber: Profil SMK


Negeri 8 Bandar Lampung).

4.1.1 Visi SMKN 8 B. Lampung


Visi merupakan serangkaian kata yang menunjukkan impian, cita-cita atau
nilai inti sebuah organisasi atau lembaga. Visi juga adalah pikiran-pikiran
yang ada di dalam benak para pendiri. Pikiran-pikiran tersebut adalah
gambaran tentang masa depan yang ingin dicapai. Adapun Visi SMK
Negeri 8 Bandar Lampung yaitu : “ Menjadi lembaga diklat yang
mampu menghasilkan lulusan yang kompeten dengan landasan
penguasaan teknologi informasi serta berakhlak mulia ”
(Sumber: Profil SMK Negeri 8 Bandar Lampung).

4.1.2 Misi SMKN 8 B. Lampung


Visi yang idealis harus dijabarkan dalam langkah-langkah nyata agar visi
dapat diwujudkan. Untuk mewujudkan visi tersebut, SMK Negeri 8
Bandar Lampung telah menetapkan misi yang merupakan upaya
memenuhi kepentingan-kepentingan sebagaimana dituangkan dalam visi
sekolah. Adapun Misi SMK Negeri 8 Bandar Lampung adalah sebagai
berikut:

1. Mengembangkan nilai dan budaya sekolah yang seluruh warganya


menjunjung nilai-nilai disiplin, etika dan moral
2. Mengembangkan lingkungan sekolah yang berwawasan lingkungan
hidup dan sekolah sehat untuk memberikan rasa aman, nyaman dan
menyenangkan
3. Menyelenggarakan pendidikan berstandar untuk menghasilkan
lulusan yang kompeten dan professional di bidangnya dengan
memanfaatkan perkembangan teknologi informasi secara optimal
(Sumber: Profil SMK Negeri 8 Bandar Lampung).
4.1.3 Tujuan Sekolah
70

4.1.3.1 Tujuan Sekolah Secara Umum


Untuk mencapai visi dan misi sekolah, tujuan sekolah harus
ditetapkan sebagai arahan dalam mewujudkan visi dan misi tersebut.
Adapun Tujuan SMK Negeri 8 adalah sebagai berrikuti:

1. Mewujudkan sekolah yang seluruh warganya menerapkan nilai


dan budaya disiplin, bertika dan bermoral
2. Mewujudkan sekolah yang berwawasan lingkungan hidup dan
sekolah sehat dengan lingkungan yang aman, nyaman dan
menyenangkan
3. Mewujudkan sekolah dengan pengelolaan yang berpedoman
kepada 8 standar nasional pendidikan dengan memanfaatkan
teknologi informasi untuk mendukung terciptanya lulusan
tingkat menengah yang kompeten, mampu berkarir, mandiri dan
mampu beradaptasi di lingkungan kerja sesuai bidangnya serta
mampu menghadapi perubahan yang terjadi
4. Mengembangkan hubungan kerja yang harmonis baik di dalam
lingkungan sekolah maupun dengan pihak di luar sekolah.
(Sumber: Profil SMK Negeri 8 Bandar Lampung).

4.1.4 Struktur Organisasi


Berikut ini susuan struktur organisasi di SMK Negeri 8 Bandar
Lampung
71

Gambar 4.1. Struktur Organisasi SMK Negeri 8 Bandar Lampung


(Sumber: Profil SMK Negeri 8 Bandar Lampung).
72

4.2. Data Penelitian


Data penelitian tentang Kepemimpinan kepala sekolah ditinjau dari perspektif gender
yang dilakukan di SMK Negeri 8 Bandar Lampung diperoleh menggunakan
pengumpulan data dengan wawancara dan didukung dengan observasi serta studi
dokumen. Penelitian ini bertujuan menggali informasi mengenai faktor- faktor
pendukung dan penghambat kepemimpinan kepala sekolah ditinjau dari
perspektif gender; dan model kebijakan yang tepat untuk mengatasi kelemahan
dan memperkuat keunggulan kepemimpinan kepala sekolah ditinjau dari
perspektif gender. Berikut ini penyajian data penelitian:

4.2.1 Faktor-faktor Kelemahan kepemimpinan perempuan

4.2.1.1 Budaya Patriarki

Kepemimpinan perempuan tidak lepas dari berbagai kendala yang dialaminya,


salah satunya budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. Tidak hanya itu,
budaya patriarki yang berkembang merambah ke dunia birokrasi. Budaya
patriarki sendiri merupakan sebuah pandangan di mana laki-laki memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, serta pemahaman
di mana ranah publik merupakan ranah laki-laki sementara perempuan berada di
ranah domestik

Berikut ini hasil wawancara peneliti dengan informan tentang bagaimana budaya
patriarki mempengaruhi kepemimpinan kepala sekolah di SMK Negeri 8 Bandar
Lampung.
Hasil wawancara peneliti dengan Kepala Sekolah sebagai berikut:

“...baik perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama


untuk menjadi kepala sekolah, pemilihan kepala sekolah saat ini
berdasarkan atas kompetensi yang dimiliki. Untuk menjadi kepala
sekolah, harus terlebih dahulu mengikuti pelatihan calon kepala sekolah,
jika ia dinyatakan lulus dalam diklat tersebut maka ia akan memiliki
NUKS serta sertifikat “CAKEP” atau calon kepala sekolah. Kemudian
mengikuti rangkaian tes yang dilaksanakan dinas terkait. Maka
kesempatan untuk menjadi kepala sekolah terbuka lebar untuk semua,
73

baik perempuan maupun laki-laki, selama ia memenuhi persyaratan untuk


menjadi kepala sekolah.” (W KS 15.06.21)

Hasil wawancara peneliti dengan Waka kurikulum sebagai berikut:

“Secara hukum dan undang-undang kesempatan perempuan dengan laki-


laki untuk menjadi kepala sekolah adalah sama besar, namun secara
prakteknya sampai saat ini kepemimpinan perempuan meski diberi
peluang namun jumlah masih terbatas. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-
faktor kultural yang sudah melekat pada masyarakat kita, yang
memandang bahwa perempuan kurang kompeten dalam hal
kepemimpinan. Selain itu faktor domestik sangat mempengaruhi, ketika
perempuan harus berbagi peran sebagai pemimpin disekolah, dan
perannya sebagai ibu dan istri di rumah dan itu harus melalui kesepakatan
dengan anggota keluarga, terutama suami” (W WK 09.06.21)

Wawancara selanjutnya dengan Ketua Kompetensi keahlian:

“Kesempatan perempuan dengan laki-laki untuk menjadi kepala sekolah


sama besarnya, itu terlihat dari undang-undang dan aturan yang mengatur
syarat menjadi kepala sekolah tidak dibedakan berdasarkan jenis
gendernya. Meskipun begitu perempuan memiliki keterbatasan yaitu
harus berbagi perannya di luar dan di ranah domestik. Dirumah
perempuan dituntut untuk menjadi ibu yang baik, istri yang patuh begitu
juga di ranah publik perempuan juga dituntut keaktifannya dan sebagai
kepala sekolah jauh dituntut waktu yang cukup besar untuk mencurahkan
tenaga dan fikirannya untuk kemajuan sekolah. Hal tersebutlah yang
membuat jumlah perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki,
untuk menjadi pemimpin diruang-ruang publik, khususnya kepala
sekolah”. (W KK 23.06.21)

Wawancara selanjutnya dengan Guru Mata Pelajaran:

“Perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk


menjadi kepala sekolah, hanya saja perempuan terkendala oleh keadaan
yang terkadang membuat dirinya tidak bisa berbuat lebih, waktu yang
tersita lebih banyak di rumah untuk mengerjakan aktivitas domestik
membuat perempuan harus berfikir seribu kali sebelum mendaftarkan
dirinya menjadi kepala sekolah, kecuali suami mendukungnya untuk
mengembangkan karirnya untuk menjadi kepala sekolah. Namun
kebanyakan, suami hanya memberikan izin kepadanya hanya untuk
mengajar saja tidak untuk mengembangkan karirnya lebih tinggi lagi,
74

karena dianggap untuk mencari nafkah adalah tugas suami, sementara


istri jika pun bekerja sifatnya hanya membantu saja bukan hal utama”
(W G 16.06.21)

Wawancara selanjutnya dengan peserta didik:


“Kepala sekolah perempuan itu ramah, supel, tapi ya cerewet. Beliau kalau ada
siswa yang melakukan kesalahan pasti beliau akan memberikan pengarahan
dan arahan agar siswa tidak melakukan kesalahan yang sama”. (W PS
22.06.21)

Hasil studi dokumen yang diperoleh sebagai berikut:


“Berupa profil sekolah yang terdiri dari visi misi sekolah dan data
peserta didik, yang menunjukkan bahwa kepala sekolah dalam bertindak
selalu mengacu kepada visi misi yang ingin dicapai.”. (D.16.06.21)

Berdasarkan hasil dari wawancara peneliti dengan beberapa informan dan studi
dokumen dapat disimpulkan bahwa kesempatan perempuan untuk menjadi kepala
sekolah sama besarnya dengan kesempatan laki-laki. Secara yuridis dan
persyaratan, perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama
untuk menjadi kepala sekolah. Namun dalam realita yang terjadi dilapangan,
kesempatan perempuan untuk menjadi kepala sekolah terhambat oleh faktor
lingkungan, terutama lingkungan keluarga. Suami menjadi salah satu faktor
penting dalam kesempatan perempuan untuk mengembangkan karirnya menjadi
kepala sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa budaya patriarki yang masih begitu
kental dalam masyarakat kita, merupakan salah satu faktor penghambat
keberhasilan seorang perempuan di ranah publik, khususnya kepala sekolah.

4.2.1.2 Peran Domestik Perempuan

Budaya patriarki yang berkembang di masyarakat membawa implikasi pada


tataran kehidupan perempuan. Di masyarakat sendiri berkembang anggapan
bahwasanya perempuan memiliki kewajiban untuk mengurusi rumah tangga,
dengan dilimpahkannya tugas dan tanggung jawab wilayah domestik kepada
perempuan membuat ruang gerak perempuan menjadi terbatas, Perempuan akan
75

sangat sulit untuk mengembangkan karirnya di luar, karena selain bekerja ia juga
terbebani oleh urusan domestik/rumah tangga.

Berikut hasil wawancara peneliti dengan informan tentang peran domestik


perempuan dalam mempengaruhi kepemimpinan kepala sekolah perempuan.

Hasil wawancara peneliti dengan kepala sekolah sebagai berikut:

“Peran domestik perempuan memang tidak dapat dipungkiri, hingga ada


stigma bahwa ketika perempuan bekerja maka ia akan memiliki peran
ganda, yaitu peran di rumah dan peran di luar. Namun saat ini, peremuan
sudah lebih dimudahkan, banyak fasilitas-fasilitas yang memudahkan
pekerjaan perempuan dirumah, baik dengan memperkerjakan asisten
rumah tangga dan fasilitas di luar yang lebih praktis. Hingga waktu
perempuan tidak habis hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
namun bisa lebih produktif. Yang pasti komunikasi harus terjalin
dengan baik dengan pasangan atau suami agar lebih memudahkan
perempuan untuk mengerjakan peran-peran tersebut sekaligus. Saya
menjalan kan peran sebagai istri dan ibu di rumah, sekaligus menjadi
pemimpin di sekolah. Saya rasa kedua peran tersebut dapat saya
jalankan sekaligus tanpa ada yang harus dikesampingkan. Keduanya
dapat berjalan beriringan dengan adanya komunikasi yang baik dengan
keluarga terutama dengan suami, dengan begitu saya mampu
menyeimbangkan kedua peran tersebut dengan baik. Jika kita mampu
mengkomunikasikan dengan baik kepada keluarga, baik suami maupun
anak, keluarga dapat menjadi sumber kekuatan untuk kita bekerja lebih
giat di luar. Dengan mengkomunikasikannya dengan pasangan ketika
ada masalah di sekolah kita mendapatkan kekuatan baru, tingkat stress
menurun bahkan kita mendapatkan ide-ide baru untuk memecahkan
masalah yang ada. Namun jika tidak ada dukungan dari suami kepada
pekerjaan kita, dan tidak terjalinnya komunikasi yang baik dengan suami
dan anak. Maka keluarga bisa menambah masalah yang ada dan tingkat
stress pun lebih tinggi”. (W KS. 15.06.21)
Berikutnya wawancara peneliti dengan Wakil Kepala Sekolah bidang kurikulum:

“faktor domestik sangat mempengaruhi keberhasilan karir seorang


perempuan. Ketika perempuan di usia produktif, yang harus melahirkan
dan menyusui akan sangat sulit bagi dirinya untuk mengembangkan
karirnya. Tetapi bukan hal yang tidak mungkin untuk perempuan
tersebut mengembangkan karirnya, jika dia mendapat support dan
76

dukungan dari keluarga terutama suami. Karena ketika mendapatkan


support dari suami, dia akan lebih mudah menjalankan peran gandanya.
Baik perannya di rumah dan perannya sebagai kepala sekolah. Jadi
suami dapat menjadi faktor kekuatan, ketika dia memberikan support
dan dukungan penuh kepada istrinya, namun suami dapat menjadi faktor
kelemahan jika dia berfikiran sempit, dan tidak mendukung penuh
aktivitas istrinya di luar”. (W WK 09.06.21)
Hasil wawancara peneliti dengan Ketua Program keahlian sebagai berikut:
“Perempuan meski dia bekerja, bukan berarti perannya di rumah dapat ia
tinggalkan. Peran tersebut tetap melekat pada dirinya, meskipun dia
bekerja. Jadi ketika perempuan bekerja, dia memiliki peran ganda yang
sekaligus dia kerjakan dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan laki-
laki yang waktu nya di rumah lebih fleksibel. Perempuan harus mampu
membagi waktu untuk keduanya. Hingga ketika perempuan
mengembangkan karirnya, ini akan sangat tergantung kepada pasangan
dari perempuan tersebut, apakah pasangannya dapat berbagi peran
mereka di rumah. Walau sebenarnya, tugas rumah merupakan tugas
semua anggota keluarga, termasuk suami. tidak hanya tugas istri. Maka
dari itu, suami atau pasangan dapat menjadi faktor kekuatan jika
pasangannya mampu mendukung kerja dan karir perempuan di luar,
saling memahami tugas dan berbagi tugas rumah. Seperti pepatah lama
yang mengatakan berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Dengan
begitu peran istri di rumah tidak terlalu membebaninya, hingga ia dapat
mengembangkan karirnya di tempat dia bekerja. (W KK 21.06.21)
Hasil wawancara peneliti dengan Guru Mata Pelajaran sebagai berikut:

“Peran istri dan ibu dapat menghambat peran perempuan yang bekerja
diluar. Hal ini dikarenakan waktu dan tenaga banyak tersita untuk
urusan rumah tangga. Apalagi jika perempuan tersebut masih dalam usia
produktif, atau memiliki anak usia balita. Maka fokus dan
konsentrasinya akan lebih ke rumah dan anaknya. Sementara
sesampainya di sekolah, fokus dan tenaga perempuan sudah tidak full
untuk menjalani aktivitasnya. Jikapun ia tetap bekerja, maka hasilnya
pun akan kurang maksimal. Itulah mengapa perempuan di usia produktif
akan sangat jarang mengembangkan karirnya. Jikapun dia bekerja, maka
biasanya hanya sebatas rutinitas jarang ada lompatan-lompatan untuk
mengembangkan karirnya. (W G 16.06.21)
Hasil wawancara peneliti dengan peserta didik sebagai berikut:
“Ibu kepala sekolah hadir pagi-pagi sekali, ketika saya hadir disekolah beliau
sudah ada dipagar untuk menyambut kehadiran siswa-siswi yang dating. Saya
merasa disambut dengan begitu dan setiap kegiatan sekolah beliau selalu ada,
77

dan membuka acara. Kalau upacara saja, meski beliau bukan Pembina upacara
beliau selalu ada dibarisan guru untuk mengikuti upacara bendera” (W PS
22.06.21)

Hasil observasi yang diperoleh sebagai berikut:

“Kepala sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung selalu hadir


mendahului para guru dan stafnya, sebelum jam tujuh pagi beliau sudah
tiba di sekolah, juga ketika beliau mengadakan rapat, beliau selalu tepat
waktu bahkan dating mendahului para peserta rapat”. (O. 16.06.21)

Hasil studi dokumen yang diperoleh sebagai berikut:

“Berupa daftar hadir pegawai, undangan rapat dan daftar hadir rapat.
Dokumen tersebut menunjukkan kehadiran kepala sekolah yang intens
dan aktif ke sekolah meskipun di masa pandemi. Beliau selalu
memantau kinerja guru dan perkembangan sekolah secara rutin.”.
(D.16.06.21)
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan studi dokumen yang peneliti lakukan
tentang pengaruh peran domestik perempuan terhadap kepemimpinan perempuan,
maka dapat disimpulkan bahwasanya stigma peran domestik masih melekat pada
diri perempuan dalam masyarakat kebanyakan. Budaya yang sudah melekat dan
mendarah daging tersebut seakan sulit untuk dihilangkan, hal tersebutlah yang
membuat perempuan yang memiliki aktifitas di luar akhirnya memiliki peran
ganda. Peran sebagai ibu dan istri di rumah, sekaligus peran-peran rumah tangga
dan perannya sebagai anggota masyarakat di tempat dia bekerja. Bagi perempuan
kedua peran tersebut dapat diseimbangkan jika anggota keluarga dapat memahami
kondisi fisik dan psikologis perempuan dan dapat berbagi peran rumah tangga
secara bersama-sama.

4.2.1.3 Stereotype Gender

Streotypype merupakan pemberian sifat tertentu terhadap seseorang atau


sekelompok orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia
berasal dari suatu kelompok tertentu (in group atau out group) yang bisa bersifat
positif maupun negatif. Stereotype gender merupakan salah satu faktor kultural
78

yang mempengaruhi kepemimpinan perempuan, di mana perempuan cenderung


dianggap tidak mumpuni dalam hal kepemimpinan karena memiliki sikap moody,
tidak bisa mengontrol emosi, dan membawa urusan perasaan dalam pekerjaan.
Berikut hasil wawancara peneliti dengan informan tentang Stereotype gender
dalam mempengaruhi kepemimpinan kepala sekolah perempuan.

Hasil wawancara peneliti dengan kepala sekolah sebagai berikut:

“Pada prinsipnya perempuan merupakan sosok yang lemah lembut,


perhatian,dan supel. Meskipun seorang perempuan lebih perasa
dibanding laki-laki, namun itu yang membuat perempuan menjadi lebih
peka atas situasi yang ada. Dan hal terebut malah membuat perempuan
memiliki kelebihan dibanding laki-laki dalam memahami situasi dan
kondisi sekitarnya. Dia mampu memimpin bawahannya dengan lemah
lembut namun tegas, peka atas situasi yang ada, dan lebih perhatian
kepada bawahannya. Saya merasakan selama kepemimpinan saya
beberapa tahun ini, saya lebih dekat dengan guru dan staf dengan
kedekatan secara emosional saya lebih mudah mengarahkan mereka
untuk mencapai tujuan sekolah. Saat ini meski SMK Negeri 8 baru
berdiri selama 7 tahun, tapi secara kuantitas dan kualitas kami mampu
bersaing dengan sekolah yang telah berdiri selama puluhan tahun. (W
KS 15.06.21)

Selanjutnya wawancara dengan waka kurikulum:

“saya kira perempuan juga pantas untuk memimpin, seperti layaknya


laki-laki. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan bagi
perempuan maupun laki –laki dalam hal kepemimpinan. Perempuan
juga cukup handal dalam hal kepemimpinan, hanya saja peran
perempuan di ranah publik akan sangat tergantung kepada pasangannya,
karena keterbatasan perempuan, merupakan sesuatu image, atau stigma
yang sengaja diperuntukkan oleh masyarakat kepadanya. Bukan hal
yang bersifat kodrati yang datangnya dari Tuhan, tapi bentukan dari
masyarakat. Dan pada diri setiap orang memiliki karakter yang kuat,
tinggal bagaimana individu tersebut mengembangkan karakternya.
Apalagi seorang kepala sekolah, beliau merupakan sosok pemimpin
yang menjadi panutan, dan menjadi leader dalam sekolah tersebut.
Kepala sekolah perempuan merupakan sosok pemimpin yang lemah
lembut namun mampu bersikap tegas dan bu Dewi Ningsih
membuktikannya”. (W WK 09.06.21)
79

Selanjutnya wawancara dengan Ketua Program keahlian

“Untuk menjadi kepala sekolah tidak menutup kemungkinan bagi


seorang perempuan, selama ia memenuhi syarat dan memiliki
kompetensi sebagai kepala sekolah. Karakter perempuan memang sudah
khas, yaitu lemah lembut dan detail dalam setiap hal. Saya merasakan
saat dipimpin oleh kepala sekolah perempuan seperti saat ini dan saat
dipimpin oleh kepala sekolah laki-laki. Kepala sekolah perempuan lebih
detail dalam setiap hal, hingga ketika mengadakan kegiatan, beliau akan
mencoba menyajikan segala sesuatu secara perfeksionis” (W KK
21.06.21)

Hasil wawancara dengan guru Mata Pelajaran:


“Untuk menjadi kepala sekolah saya kira, siapa saja bisa tidak harus
laki-laki. Saat ini sudah banyak perempuan menjadi kepala sekolah,
meskipun secara kuantitas belum sebanding jumlahnya dengan laki-laki.
Namun keberadaan perempuan sudah diakui dan mumpuni menjadi
kepala sekolah. Karakter merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan
pada diri seseoarang. Karena pembiasaan dari masyarakat kita yang
membentuk stereotype pada perempuan sejak kecil, hingga itu menjadi
pembiasaan dan akhirnya menjadi sesuatu karakter pada diri perempuan.
Hingga perempuan lebih cenderung dikatakan lebih perasa, cerewet, dan
lebih emosional. Jika dipandang secara utuh, sebenarnya karakter
tersebut menjadi ciri khas perempuan yang mampu membuat nya lebih
bisa memahami lingkungannya secara seksama, hingga dalam hal
kepemimpinan beliau jadi mampu menegur dengan cara elegan, lembut
namun mengena”. (W G 16.06.21)

Hasil wawancara dengan peserta didik:


“cocok saja. Kepala sekolah perempuan memang cerewet tapi beliau perhatian.
Kepala sekolah perempuan itu nggak jauh beda sama kepala sekolah laki-laki,
mereka sama-sama mampu memimpin, sama seperti ketua osis, kami kadang
lebih nyaman dipimpin oleh ketua osis perempuan, karena mereka
melaksanakan kegiatan selalu detail” (W PS 22.06.21)

Hasil observasi yang di peroleh sebagai berkut:


“Kepala Sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung, dalam menyiapkan
agenda kegiatan sekolah selalu memantau dan melihat secara detail
persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para guru dan staf. Beliau
selalu mendampingi proses pelaksanaan kegiatan dari perencanaan,
persiapan dan pelaksanaan” (O. 21.06.21)
80

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti maka dapat
disimpulkan bahwasanya stereotype gender merupakan stigma yang melekat pada
diri perempuan. Stereoptype tersebut sudah terbentuk sejak lama, dan terbentuk
secara terus menerus dan mendarah daging dalam kultur masyarakat. Perempuan
dikategorikan termasuk makhluk yang perasa, memiliki sifat moody. Namun
meskipun perempuan memiliki karakter tersebut, ternyata dalam hal
kepemimpinan sifat tersebut dapat menjadi daya tarik yang membuat perempuan
lebih mampu memahami lingkungan tempat dia bekerja, dan mampu membuatnya
lebih dekat secara emosional dengan rekan, guru dan staf di sekolah. Hingga lebih
memudahkannya untuk mengorganisir warga sekolah untuk mencapai tujuan
sekolah.

4.2.2 Model Kebijakan Untuk Mengatasi Kelemahan Kepemimpinan


Perempuan
4.2.2.1. Budaya Patriarki

Budaya patriarki yang sudah mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat,


yang menganggap bahwa laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi daripada
wanita, yang akhirnya membuat gerak perempuan dalam ranah publik menjadi
lebih terbatas. Sebagai kepala sekolah yang memiliki peran penting dalam
pengembangan dan kemajuan sekolah, diharapkan kepala sekolah perempuan
terus dapat mengembangkan dirinya dan mengembangkan sekolahnya tanpa harus
terkendala oleh budaya tersebut.

Berikut wawancara peneliti kepada informan tentang bagaimana tanggapan


tentang kebijakan yang tepat untuk mengatasi kelemahan kepemimpinan kepala
sekolah perempuan dari faktor budaya patriarki.

Berikut wawancara peneliti kepada kepala sekolah:


“Saat ini meski secara kuantitas kepala sekolah perempuan belum
sebanyak kepala sekolah laki-laki, tapi peran perempuan sudah mulai
81

diperhitungkan, meski secara kuantitas jumlah guru perempuan lebih


banyak dari laki-laki. Hal ini terkendala bahwa tidak banyak guru
perempuan yang tahu informasi tentang seleksi pemilihan calon kepala
sekolah. Hingga saat seleksi calon kepala sekolah, hanya sedikit guru
perempuan yang mendaftar. Melihat fenomena tersebut, dinas
pendidikan harusnya lebih tanggap dalam mensosialisasikan kepada
seluruh guru saat mengadakan seleksi calon kepala sekolah, agar
informasi dapat sampai kepada seluruh lapisan guru, tidak terkesan
menutup-nutupi. Kemudian seleksi juga harus fair, adil dan merata.
Hingga hanya yang memiliki kompetensi yang layaklah yang dapat
dijadikan calon kepala sekolah”. (W KS. 15.06.21)

Selanjutnya wawancara dengan Wakil Kepala sekolah Bidang Kurikulum:


“salah satu syarat untuk menjadi kepala sekolah yaitu harus memiliki
sertifikat calon kepala sekolah (CAKEP) dan NUKS. Keduanya didapat
dari pelatihan calon kepala sekolah. Saya kira untuk menaikkan jumlah
kepala sekolah perempuan, dinas pendidikan harus melakukan sosialiasi
kepada guru-guru, ketika akan mengadakan pelatihan calon kepala
sekolah. Hingga informasi tersebut sampai ke mereka, hingga yang
berminat bisa mengikuti pelatihan tersebut. Terkadang informasi
tersebut tidak sampai kepada semua guru, hanya beberapa orang saja
yang mengetahuinya. Atau bisa dengan mewajibkan guru-guru yang
memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan calon kepala sekolah untuk
mengikuti pelatihan tersebut”. (W WK 09.06.21)

Wawancara dengan ketua program keahlian


“kebijakan yang dapat diambil oleh dinas pendidikan terkait dengan hal
tersebut yaitu dengan meningkatkan jumlah kuota untuk kepala sekolah
perempuan sama besarnya dengan kepala sekolah laki-laki. Namun
dalam hal ini biasanya kami sering kesulitan mendapatkan informasi
tentang adanya pelatihan Calon Kepala sekolah, atau ketika perekrutan
calon kepala sekolah oleh dinas pendidikan. Oleh karena itu, hendaknya
dinas pendidikan lebih meningkatkan proses penyebaran informasi
terkait penerimaan seleksi calon kepala sekolah kepada guru-guru
disatuan pendidikan”. (W KK 21.06.21)

Wawancara dengan Guru Mata Pelajaran:


“Secara kuantitas jumlah guru perempuan lebih banyak dari pada guru
laki-laki, namun memang ketika untuk menjadi kepala sekolah hanya
sedikit perempuan yang ingin dan mau menjadi kepala sekolah. Hal
tersebut dikarenakan perempuan merasa tidak perlu mengembangkan
karirnya sampai kesana, karena terkadang ada suami yang hanya
82

mengizinkan istrinya hanya untuk mengajar saja, selebihnya ia harus


mengurus keluarga. Anggapan bahwa istri peran nya membantu
ekonomi keluarga, bukan sebagai tulang punggung. Hingga perempuan
tidak harus bekerja terlalu lama diluar rumah. Dengan paradigm berfikir
begitu, dinas pendidikan harusnya lebih membuka cara berfikir guru-
guru perempuan, dengan mengadakan pelatihan kepemimpinan khusus
guru perempuan, selain itu informasi yang berkaitan dengan seleksi
calon kepala sekolah juga harus sampai ke seluruh kalangan guru, tidak
hanya segelitintir orang saja. (W G 16.6.21)

Wawancara peneliti dengan peserta didik:

“Kepala sekolah selalu hadir dalam setiap moment, selalu mampu memotivasi
kami siswa-siswinya untuk berprestasi dalam setiap kesempatan ketika beliau
menyampaikan pendapat beliau, bahkan beliau selalu mendukung kegiatan
yang akan kami lakukan. Beliau juga pendengar yang baik, jika kami mengeluh
tentang guru dan keadaan sekolah, bahkan kami punya group khusus
berkomunikasi dengan kepala sekolah” (W PS 22.06.21)

Dari hasil wawancara dengan informan maka dapat disimpulkan bahwasanya


untuk mengatasi kelemahan kepala sekolah perempuan yang dilihat dari sektor
budaya patriarki yang berkembang dimasyarakat maka dirasa perlu untuk
mengadakan pelatihan kepemimpinan khusus untuk guru perempuan, untuk
membuka pola pikir yang masih berkembang dimasyarakat kita sampai saat ini.
Tidak hanya itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan Pelatihan Calon Kepala
Sekolah, dan seleksi Calon Kepala sekolah yang merupakan jalan yang harus
ditempuh untuk menjadi kepala sekolah harus dilaksanakan secara transparan,
adil dan akuntabel. Penyebaran informasi harus dilakukan secara terbuka, agar
dapat diterima oleh semua kalangan guru.

4.2.2.2. Peran Domestik Perempuan

Sampai saat ini di lingkungan masyarakat kita masih menganggap bahwasanya


peran domestik merupakan kewajiban seorang perempuan untuk melakukannya.
Maka ketika seorang perempuan bekerja, maka ia akan melaksanakan peran
ganda yaitu perannya di rumah sebagai istri dan ibu sekaligus perannya sebagai
pekerja di tempat dia bekerja. Dengan peran ganda tersebut, perempuan akan
83

sangat sulit untuk mengembangkan karirnya di luar, terutama untuk seorang


kepala sekolah yang memiliki peran yang penting untuk pengembangan dan
pencapaian visi misi sekolah. Maka dianggap perlu bagi dinas pendidikan
melakukan kebijakan, yang akan mengatasi salah satu kelemahan kepemimpinan
kepala sekolah perempuan.

Berikut ini hasil wawancara peneliti dengan informan tentang kebijakan yang
tepat untuk mengatasi kelemahan kepemimpinan kepala sekolah perempuan yang
berkaitan dengan peran domestik perempuan.
Hasil wawancara peneliti dengan Kepala Sekolah sebagai berikut:

“Sampai saat ini belum ada kebijakan khusus dari dinas pendidikan
tentang cuti melahirkan kepala sekolah. Karena selama ini jarang
ditemui kepala sekolah yang mengalami proses melahirkan. Ketika
kepala sekolah adalah seorang perempuan, memang waktu nya akan
lebih banyak tersita di luar rumah dibandingkan dia di rumah. Saya
sendiri merasakannya, waktu saya untuk mengurus suami dan anak jadi
lebih sedikit dibandingkan ketika saya belum menjadi kepala sekolah.
Untuk hal tersebut, saya sebelum menjadi kepala sekolah sudah
mencoba menyampaikannya kepala suami saya dan meminta izinnya.
Agar nanti ketika saya melakukan peran saya sebagai kepala sekolah,
beliau akan lebih faham dan memakluminya. Hingga saya kira penting
untuk dinas pendidikan pada saat seleksi calon kepala sekolah, bagi
calon kepala sekolah perempuan untuk membawa suami dan diminta
kesediaannya agar memberikan keleluasaan waktu bagi istrinya untuk
melakukan perannya jika dia terpilih menjadi kepala sekolah. Walaupun
begitu bukan berarti peran di rumah tangga harus dideskriditkan.
Dengan adanya komunikasi dua arah atara suami dan istri, serta izin
suami, peran domestik dan peran di sekolah semua dapat berjalan secara
beriringan, tanpa harus ada yang dikesampingkan.” (W KS 15.6.21)

Selanjutnya hasil wawancara peneliti dengan waka kurikulum:

“Terkait dengan pembagian peran domestik, memang sampai saat ini


masyarakat kita masih memahami bahwasanya wilayah domestik
merupakan bagian tugas perempuan. Namun dengan demikian, jika
seorang perempuan menjadi kepala sekolah biasanya dia akan mencari
asisten rumah tangga untuk membantunya mengerjakan tugas-tugas
wilayah domestik. Hingga dia tidak terlalu terbebani oleh tugas rumah
84

tangga, meskipun begitu izin suami adalah hal yang paling penting
apakah dia mau jika memakan masakan asisten rumah tangga, bukan
masakan istrinya, ataupun hal-hal lainnya. Oleh karena itu, salah satu
kebijakan dinas pendidikan mengenai hal ini, pada saat seleksi calon
kepala sekolah hendaknya untuk kepala sekolah perempuan ikut
melibatkan suami, sang suami harus ikut diwawancarai terkait
kesediaannya memberikan izin kepada istrinya untuk menjadi kepala
sekolah. Karena ketika suami ridho akan tugas yang diemban oleh
istrinya, maka sang istri akan lebih mudah menjalani perannya sebagai
kepala sekolah maupun sebagai ibu dan istri di rumah. (W WK
09.06.21)
Hasil wawancara peneliti dengan Ketua Program keahlian

“ Untuk mendapatkan cuti melahirkan merupakan hak PNS, jadi kepala


sekolah juga berhak untuk mendapatkan cuti nya. Untuk pelaksanaan
tugas kepala sekolah, bisa melakukan pendelegasian tugas dan
wewenang kepala sekolah kepada wakil kepala sekolah sesuai bidang
masing-masing. Namun jika berkaitan dengan kebijakan, tanda tangan
kepala sekolah masih bisa terkadang hadir ke sekolah. Terkait kebijakan
dinas tentang cuti melahirkan kepala sekolah sampai sekarang saya
belum pernah denger, karena fenomena yang terjadi sampai saat ini
belum pernah ada kepala sekolah cuti melahirkan, karena biasanya
perempuan yang menjadi kepala sekolah bukan lagi diusia produktif.
Kebijakan yang dapat dibuat oleh dinas pendidikan bisa dengan
pembuatan surat pernyataan kesediaan suami kepala sekolah dalam
memberikan izin kepada istri nya untuk melakasanakan tugas nya
sebagai kepala sekolah. karena dengan izin dari suami, kepala sekolah
perempuan akan lebih fleksibel” (W KK 21.06.21)
Berikutnya wawancara peneliti dengan Guru Mata Pelajaran.

“Saat ini kondisi zaman sudah semakin praktis, komunikasi bisa


dilakukan di mana pun, dan kapan pun. Jadi ketika kepala sekolah cuti,
maka dia dapat memberikan wewenangnya kepada wakil kepala
sekolah. dan komunikasi harus tetap berjalan meski jarak jauh. Sampai
saat ini belum ada kebijakan yang dibuat oleh dinas pendidikan terkait
dengan kepala sekolah cuti melahirkan. Kalau tentang peran domestik
perempuan, kepala sekolah perempuan bisa mencari asisten rumah
tangga yang dapat membantu kerjanya dirumah. Namun tentang
kebijakan yang dapat diambil oleh dinas pendidikan mungkin bisa
dengan melibatkan suami kepala sekolah, karena biasanya jika suami
memberi izin maka kepala sekolah perempuan juga lebih mampu
memanajemen waktunya antara rumah dan sekolah. (W G 21.06.21)
85

Berikutnya wawancara peneliti dengan peserta didik:


“Saya kira kegiatan di rumah tidak akan mengganggu aktifitas beliau
disekolah, hal tersebut terbukti kehadiran beliau yang selalu mendahului kami,
saya saja terkadang malu ketika kepala sekolah hadir lebih dulu dibanding
kami dan menyambut kedatangan kami kesekolah, rasa nya luar biasa. Beliau
sosok yang mampu menjadi panutan”. (W PS 22.06.21)
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan dengan para informan, maka dapat
disimpulkan untuk mengatasi kelemahan kepala sekolah perempuan dalam peran
domestik perempuan, maka perlu adanya komunikasi antara kepala sekolah
perempuan dengan pasangannya, hal tersebut dapat dengan dibuatnya komitmen
atau surat pernyataan yang menyatakan kesediaan suami untuk mengizinkan
istrinya untuk melaksanakan tugas dan perannya sebagai kepala sekolah. Dengan
demikian, kepala sekolah perempuan akan lebih fleksibel mengerjakan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai kepala sekolah.

4.2.2.3 Stereotype gender

Kepemimpinan perempuan saat ini tidak lepas dari stereotype gender, yaitu
sebuah kondisi di mana ada satu jenis gender yang kedudukannya lebih tinggi
atau lebih rendah dibandingkan dengan jenis gender yang lain. Kemudian stigma
yang melekat pada kepala sekolah perempuan yang mengatakan kepala sekolah
perempuan lebih perasa, moody dan dianggap tidak memiliki kemampuan yang
mumpuni sebagai kepala sekolah. Untuk mengatasi kelemahan tersebut,
hendaknya adanya kebijakan untuk menetralisir kelemahan tersebut.
Berikut hasil wawancara peneliti dengan informan kepala sekolah

“Kepala sekolah perempuan memang identik dengan hal tersebut, meski


pun begitu perempuan dapat membuat kelemahan tersebut menjadi
kelebihannya. Dengan jiwa perasa nya, dia jadi lebih peka terhadap
lingkungannya, dengan kepekaan tersebut dia dapat menganalisis
kebutuhan dan keinginan orang-orang disekitarnya dan menjadikannya
kekuatan untuk mewujudkan visi sekolah. Stigma tersebut sudah ada
sejak zaman nenek moyang kita, hingga sudah mendarah daging ke
struktur kehidupan masyarakat kita. Oleh karena itu bukanlah hal yang
mudah untuk menghilangkan stigma tersebut. Tapi selaku dinas
pendidikan, mereka dapat mengorganisir agar stigma tersebut dapat
86

berkurang, meskipun tak hilang. Dinas pendidikan dapat memberikan


kesempatan lebih banyak kepada perempuan untuk menjadi kepala
sekolah dengan menetapkan jumlah kuota kepala sekolah perempuan
sama besar dengan kepala sekolah laki-laki. Untuk Sifat moody dalam
diri perempuan memang kadang sulit untuk dikendalikan, karena
terkadang itu hadir tanpa disadari. Jika memang sifat moody ini masih
dibatas wajar, saya kira dinas pendidikan tidak perlu langsung turun
tangan. Namun jika sifat moody nya sudah melewati batas, dan
mengganggu dalam kepemimpinannya, dinas pendidikan dapat
melakukan pengarahan dan pembinaan”. (W KS 15.06.21)
Selanjutnya hasil wawancara peneliti dengan wakil kepala sekolah bidang
kurikulum.
“Bicara tentang kebijakan oleh dinas pendidikan, terkait dengan kepala
sekolah perempuan saya kira sampai saat ini belum ada tentang
kebijakan yang dibuat khusus untuk kepala sekolah perempuan. Saya
kira bagus jika dinas pendidikan membuat pelatihan khusus untuk
kepala sekolah perempuan, yang tujuan nya melatih mental kepala
sekolah perempuan, dan kepemimpinan perempuan agar kepala sekolah
perempuan mampu tampil lebih percaya diri dan mampu
mengedepankan kepentingan umum dibandingkan persaaannya. Untuk
keluar terlalu malam, saya kira tidak semua perempuan dapat
melakukannya. Semua tergantung individu –individunya. Jika memang
menyangkut hal kedinasan, dan selama suami mengizinkan, saya kira
tidak akan jadi masalah. Namun jika, suami tidak mengizinkannya maka
yang terjadi adalah masalah keluarga. Dinas pendidikan seharusnya
mampu melihat hal tersbut. Hingga dari awal pemilihan kepala sekolah,
maka suami kepala sekolah harus terlibat dari awal, terkait dengan izin
suami dalam hal kedinasan sang istri. (W WK 09.06.21)
Hasil wawancara peneliti dengan Ketua Program Keahlian.

“Saya belum pernah mendengar kebijakan tentang hal tersebut. Sebagai


masukan mungkin kepala sekolah perempuan dapat diberi pelatihan
khusus untuk meningkatkan kapabilitasnya untuk menghilangkan stigma
yang memang sudah melekat di masyarakat. Dengan kemimpinan
perempuan yang handal, maka dengan sendirinya stigma yang sudah
berkembang sejak lama, akan menghilang perlahan demi perlahan. (W
KK 21.06.21)
87

Kemudian wawancara peneliti dengan Guru Mata Pelajaran.

“Kemampuan kepemimpinan perempuan harus terus ditingkatkan, salah


satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan melalui pelatihan
kepemimpinan kepala sekolah khusus perempuan. Dengan begitu,
diharapakan kepemimpinan kepala sekolah perempuan dapat mengatasi
kendala-kendala kepemimpinannya, dan dapat memajukan sekolah yang
mereka pimpin. Maka secara otomatis stigma yang mengatakan
kepemimpinan perempuan itu lebih pasif, perasa dan moody akan hilang
dengan sendirinya dibuktikan oleh fakta. (W G 16.06.21)

Berikutnya wawancara peneliti dengan peserta didik:


“Tidak ada, beliau sama aktifkanya dengan kepala sekolah laki-laki. Setiap ada
moment beliau akan selalu hadir dan memberikan motivasi untuk kami”
(W PS 22.06.21)

Dari hasil wawancara peneliti dengan informan, maka dapat disimpulkan bahwa
untuk meminimalisir kelemahan kepala sekolah perempuan dari sudut pandang
strereotype gender maka perlu diadakan pelatihan khusus untuk kepala sekolah
perempuan dengan tujuan meningkatkan kemampuan kepemimpinan kepala
sekolah perempuan. Dengan meningkatnya kemampuan kepemimpian kepala
sekolah perempuan, maka secara perlahan pandangan miring tentang
kepemimpinan kepala sekolah perempuan akan menghilang, karena secara fakta
pandangan tersebut dapat terbantahkan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dan didukung dengan dokumen dan
hasil observasi, peneliti memperoleh data bahwa kelemahan kepemimpinan
perempuan dari hambatan kultur maka dapat diminimalisir dengan adanya
komitmen pasangan sejak awal kepemimpinan kepala sekolah. Hasil wawancara
yang diperoleh dapat disimpulkan melalui matriks yang terlihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Matriks Hasil Wawancara, Observasi dan Studi Dokumen

Fokus Studi
No Wawancara Observasi
Penelitian Dokumen
1 Faktor – Kepala sekolah SMK Negeri 8 Bandar Kepala sekolah Berupa
faktor Lampung sebelum menjabat sebagai SMK Negeri 8 daftar hadir
kepemimpinan kepala sekolah, beliau terlebih dahulu Bandar pegawai,
88

Kepala meminta izin dengan suami untuk Lampung, profil


Sekolah mencalonkan dirinya sebagai kepala selalu hadir sekolah,
perempuan sekolah. selain itu, beliau selalu tepat waktu agenda
mendiskusikan permasalahan sekolah dan sekolah
dengan pasangannya, untuk mencari mendahului dan
solusi dari permasalahan. para guru dan Undangan
staf di sekolah. Rapat team
Pasangannya selalu memotivasi, dan
beliau selalu manajemen
memberikan dukungan. Tidak hanya
memberikan
itu, kegiatan rumah tangga bagi contoh, agar
beliau, merupakan tanggung jawab para guru dan
yang tidak dapat dilepaskan. Namun staf bisa
kewajiban tersebut, diselesaikan datang tepat
dengan kerjasama semua anggota waktu.
keluarga. Hingga kepala sekolah Kepala SMK
SMK Negeri 8 Bandar Lampung, Negeri 8
mampu menjalankan perannya Bandar
sebagai kepala sekolah sekaligus Lampung,
sebagai istri dan ibu dirumah. setiap kali
mengadakan
kegiatan beliau
selalu
memperhatika
n kebutuhan
kegiatan secara
detail, dan
memperhatika
n kondisi para
guru dan staf
yang terlibat
dalam kegiatan
tersebut,
sehingga
secara
emosional
kepala sekolah
lebih dekat
dengan guru
dan stafnya.
2 Model Kebijakan yang tepat untuk mengatasi - -
kebijakan kelemahan kepemimpinan
untuk perempuan yaitu dengan tidak Ada
mengatasi diskriminasi dalam Seleksi
kelemahan Penerimaan Calon Kepala Sekolah
kepemimpinan dilihat dari perspektif gender,
kepala sekolah kemudian strategi yang tepat untuk
perempuan
meminimalisir kelemahan
89

kepemimpinan kepala sekolah


perempuan yaitu dengan 1)Pelatihan
Khusus Untuk Kepala sekolah
perempuan, 2)Pembuatan Surat
Pernyataan Izin Suami saat Seleksi
Calon Kepala Sekolah khusus untuk
calon kepala sekolah Perempuan

4.3. Temuan Penelitian

4.3.1. Faktor-faktor kepemimpinan Kepala Sekolah Perempuan

Berdasarkan paparan data hasil penelitian, temuan penelitian tergambar


dalam diagram konteks pada gambar 4.2.

Faktor-Faktor kepemimpinan Kepala


Sekolah Perempuan

Faktor Pendukung Faktor Penghambat

Peran domestik perempuan


Dukungan suami Strereotype gender
Motivasi diri Hambatan fisik
Komunikasi yang baik dengan
Budaya patriarki
suami

Gambar 4.2. Diagram Konteks Keunggulan dan Kelemahan Kepemimpinan


Kepala Sekolah Perempuan

Seorang kepala sekolah perempuan mengalami kompleksitas masalah yang


lebih dibandingkan dengan kepala sekolah laki-laki, karena perempuan
mempunyai peran yang berbeda dalam keluarga. Ketika perempuan bekerja
dan menjadi pemimpin di sebuah lembaga, khususnya sekolah setelah itu ia
harus tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu dalam rumah
90

tangga. Peran tersebut membuat kepala sekolah perempuan membagi


waktunya, membagi konsentrasinya, dan membagi tenaga nya hingga
membuat kepala sekolah perempuan tidak secara maksimal menjalankan
kepemimpinannya.

Temuan yang diperoleh peneliti yaitu kepala sekolah SMK Negeri 8


Bandar Lampung mampu menjalankan perannya sebagai kepala sekolah
karena motivasi dalam dirinya untuk menjadi seorang pemimpin, kemudian
dukungan yang kuat dari suami merupakan hal yang sangat penting ketika
ia menjalankan perannya. Sejak awal ketika beliau hendak mencalonkan
diri menjadi kepala sekolah, beliau sudah mendiskusinya dengan keluarga,
meminta izinnya dan memaparkan konsekuensinya ketika beliau diamanahi
sebagai kepala sekolah. Maka ketika keluarga memberikan izinnya, beliau
baru mengikuti seleksi calon kepala sekolah. Kemudian komunikasi yang
baik dengan suami dan keluarga merupakan salah satu kunci keberhasilan
seorang kepala sekolah perempuan, dengan komunikasi yang baik dengan
suami maka segala aktivitas baik di rumah maupun di sekolah dapat
dijalankan secara bersamaan, adanya kerja sama untuk kegiatan domestik
memudahkan bagi seorang kepala sekolah perempuan untuk berbagi peran
di rumah dan di sekolah. Komunikasi yang baik ini juga menimbulkan
dampak positif bagi kepala sekolah perempuan, karena ketika ada masalah
di sekolah, pasangan bisa menjadi patner untuk bertukar fikiran dan
mencari solusi permasalahan.

Sementara itu faktor budaya yang telah mengakar dalam kultur masyarakat
yaitu berupa peran domestik perempuan, strereotype gender, budaya
patriarki dan hambatan fisik merupakan faktor-faktor kelemahan dalam
kepemimpinan kepala sekolah perempuan dalam menjalankan
kepemimpinannya. Dalam kultur masyarkat masih menganggap bahwa
urusan domestik adalah wilayah perempuan. Jadi meskipun perempuan
bekerja di luar, dan menjadi kepala sekolah tanggung jawab nya di dalam
91

rumah tangga seperti memasak, mencuci dan sebagai ibu serta istri tetap
harus perempuan lakukan. Hal tersebut lah yang akhirnya membuat
perempuan yang bekerja, akhirnya memiliki peran ganda yang lebih berat
dibanding tanggung jawab laki-laki.

4.3.2. Model Kebijakan Untuk Mengatasi Kelemahan Kepemimpinan


Perempuan
Ketika seorang perempuan menjabat sebagai kepala sekolah, bukanlah hal
yang mudah. Hambatan yang dihadapi perempuan jauh lebih kompleks
dibandingkan laki-laki. Kepala sekolah perempuan tidak hanya bekerja di
sektor publik yaitu sebagai pemimpin di sekolah namun juga bekerja di
sektor domestik. Peran mereka di bidang domestik antara lain mencuci,
memasak menyiapkan makan menyiapkan keperluan suami dan anak serta
mengantarkan anak ke sekolah. Sedangkan peran di bidang publik yaitu
sebagai kepala sekolah dan sebagai anggota masyarakat. Semua pekerjaan
tersebut dilakukan dalam satu waktu dan perempuan yang mempunyai
peran ganda harus bisa membagi waktunya antar pekerjaan di dalam rumah
maupun pekerjaan di luar rumah. Hal tersebut menjadi perhatian peneliti
untuk melihat kebijakan yang dapat diambil untuk meminimalisir
kelemahan kepemimpinan kepala sekolah perempuan agar kinerja nya
dalam memimpin sekolah dapat lebih optimal
Berdasarkan paparan data hasil penelitian, temuan penelitian tergambar
dalam diagram konteks pada gambar 4.3.

Norma budaya

Faktor Kekuatan
Dukungan suami
Motivasi diri
Komunikasi yang baik dengan suami
Tidak Adanya
DIskriminasi dalam
Faktor-faktor seleksi penerimaan
kepemimpinan kepala calon Kepala Sekolah
sekolah di tinjau dari Norma sosial dilihat dari perspektif
perpektif gender gender
Faktor Kelemahan Mengeliminer
Peran domestik perempuan hambatan normatif
Strereotype gender (hambatan soaial,
Hambatan fisik budaya dan agama)
Budaya patriarki

Norma agama
92

Gambar 4.3 Diagram Konteks Model Kebijakan Normatif

Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis


pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Untuk
meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah kepemimpinan kepala
sekolah, perlu adanya kebijakan yang memihak dan tidak bias gender untuk
kaum perempuan. Berdasarkan faktor-faktor kelemahan kepemimpinan
kepala sekolah yang ditinjau dari perspektif gender, diketahui bahwa faktor
budaya dan faktor sosial sangat perpengaruh signifikan terhadap
kepemimpinan kepala sekolah perempuan. Sampai saat ini, perempuan
masih ditempatkan sebagai gender kedua dan peran domestik masih
menjadi tanggung jawab perempuan dalam pelaksanaannya. Kemudian
faktor agama yang mewajibkan perempuan untuk patuh dan taat pada
suami, membuat gerak perempuan kian terbatas, hingga izin suami menjadi
suatu yang penting dan mutlak untuk perempuan dapatkan ketika ia
menjadi kepala sekolah. Oleh karena itu dibutuhkannya sebuah kebijakan
yang memihak pada hak-hak perempuan. Salah satu kebijakan yang dapat
diambil yaitu dengan tidak adanya diskriminasi pada saat seleksi
penerimaan calon kepala sekolah. Seleksi calon kepala sekolah harus
dilaksanakan secara jujur, adil, obyektif, transparan dan tidak bias gender.
Dengan diterapkannya prinsip tersebut, maka penerimaan calon kepala
sekolah akan memperoleh calon kepala sekolah yang qualified dan
kompeten yang akan menjabat serta mengerjakan tugas kepala sekolah
dengan sebaik mungkin.
93

Kemudian untuk meminimalisir hambatan sosial, budaya dan agama yang


menjadi kelemahan kepemimpinan kepala sekolah perempuan yaitu
diperlukannya komitmen dan dukungan yang kuat dari suami, dan
keluarga. Hingga pada saat seleksi penerimaan calon kepala sekolah
hendaknya khusus calon kepala sekolah perempuan dapat melibatkan
suami saat wawancara, atau secara tertulis membuat surat pernyataan
bahwasanya suami mengizinkan istrinya untuk menjadi kepala sekolah dan
mendukung kepemimpinan beliau jika terpilih menjadi kepala sekolah.
Kemudian memberikan pelatihan khusus untuk kepala sekolah perempuan
tentang kepemimpinan, dan kekhasanan perempuan dalam sebuah
kepemimpinan. Dengan dilaksanakannya pelatihan khusus kepala sekolah
perempuan, diharapkan dapat meningkatkan kapabilitas kepemimpinan
khusus untuk kepala sekolah perempuan.

4.4. Pembahasan

Pembahasan ini akan dipaparkan sesuai dengan sub-fokus penelitian, meliputi: 1)


faktor-faktor pendukung dan penghambat kepemimpinan kepala sekolah perempuan;
2) model kebijakan yang tepat untuk mengatasi kelemahan kepemimpinan kepala
sekolah perempuan dan memperkuat keunggulan kepemimpinan kepala sekolah
perempuan

4.4.1. Faktor-faktor kepemimpinan Kepala Sekolah Perempuan

Faktor-faktor kepemimpinan kepala sekolah perempuan merupakan hal-hal


yang dihadapi oleh kepemimpinan perempuan dalam menjalankan
kepemimpinannya. Faktor-faktor ini dibagi menjadi faktor kekuatan dan faktor
kelemahan yang menjadi penghambat dalam kepemimpinan kepala sekolah
perempuan. Hal ini dikarenakan kepala sekolah perempuan mengalami
kompleksitas masalah yang lebih dibandingkan kepala sekolah laki-laki,
94

diakibatkan oleh faktor budaya yang salah satunya menganggap bahwa


perempuan mempunyai peran yang berbeda dalam keluarga.

Faktor-faktor yang menjadi pendukung atau kekuatan kepemimpinan kepala


sekolah perempuan di SMK Negeri 8 Bandar Lampung yaitu dukungan yang
kuat dari pasangan atau suami, motivasi diri, serta komunikasi yang baik
dengan suami dan keluarga. Dengan adanya dukungan dan komunikasi yang
baik dengan suami, kepala sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung dapat
menjalankan tugas dan kewajibannya secara maksimal. Hal tersebut dapat
dilihat dari kehadiran kepala sekolah yang intens dan selalu mendahului para
guru dan staf. Beliau juga sering menghadiri undangan-undangan baik dari
dinas pendidikan maupun undangan dari kementrian pendidikan yang
mengharuskan beliau menginap keluar kota selama beberapa hari. Kepala
sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung, juga memiliki motivasi yang kuat
dalam dirinya untuk menjadi sosok pemimpin, hal ini ditanamkannya ketika
masih menjadi guru hingga sampai saat ini. Beliau sebelum menjadi kepala
sekolah, beliau menjabat sebagai ketua MGMP Matematika di Kabupaten
Lampung Selatan, kemudian beliau juga menjabat sebagai Wakil Kepala
Sekolah bidang Kurikulum di SMK Negeri 7 Bandar Lampung pada periode
2013-2016.

Sementara faktor-faktor penghambat atau kelemahan kepemimpinan kepala


sekolah perempuan di SMK Negeri 8 Bandar Lampung yaitu peran domestik
perempuan, stereotype gender, hambatan fisik dan budaya patriarki. Faktor-
faktor ini merupakan faktor budaya yang sudah melekat dan mendarah daging
dalam masyarkat kita. Kepala sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung,
meskipun telah menjabat sebagai kepala sekolah ketika sampai dirumah, beliau
tetap menjalankan perannya sebagai istri yaitu dengan mengurus suami,
memasak untuk suami dan anak, mencuci dan membereskan rumah. Tak hanya
itu dalam kepemimpinannya, kepala sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung,
juga lebih banyak melibatkan emosi. Hal tersebut terlihat dari setiap pekerjaan
95

yang melibatkan hanya beberapa orang saja yang secara emosional dekat
dengan beliau. Hal ini sejalan dengan penelitian yang lakukan oleh Rahmadani
(2016) bahwasanya perempuan yang sudah menikah memiliki peran lebih dari
satu yaitu peran di keluarga sebagai ibu rumah tangga dengan menjadi ibu
yang baik bagi anak-anaknya dan isteri yang baik bagi suaminya serta
mengurus segala urusan rumah tangga dengan menjalankan tugasnya seperti
memasak, mencuci dan menyiapkan keperluan suami serta anak-anaknya.
Peran yang kedua yaitu peran sebagai pekerja dengan menjalankan perannya
sesuai profesi yang dimilikinya. Peran yang ketiga yaitu peran sebagai anggota
masyarakat, dalam menjalankan peran tersebut, para perempuan menjadi
anggota majelis ta’lim dengan mengikuti kegiatan-kegiatan dalam organisasi
tersebut. Karena hal tersebut perempuan yang bekerja akhirnya yang memiliki
peran ganda akan merasakan beberapa kendala dalam menjalankan semua
perannya, salah satunya kendala dari dalam diri perempuan itu sendiri yaitu
keterbatasan tenaga yang menyebabkan lelah fisik dan mental, serta adanya
kejenuhan dalam melakukan semua perannya sehingga membuat mereka malas
dalam menjalankan semua peran.

Hal sejalan juga disampaikan oleh Coleman (2003) bahwa faktor-faktor


penghambat dalam kepemimpinan perempuan merupakan hambatan kultur
yaitu: 1) budaya patriarki yang merupakan sebuah pandangan di mana laki-laki
biasanya memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan perempuan. 2) Peran
domestik perempuan yang merupakan pandangan bahwa urusan domestik atau
wilayah rumah tangga merupakan tugas dan tanggung jawab perempuan. 3)
Stereotype gender yang merupakan pandangan di mana perempuan dianggap
sebagai makhluk lemah, tidak memiliki kompetensi, perasa dan tidak bisa
mengontrol emosi, serta cenderung membawa perasaan dalam pekerjaannya.
Kemudian hal serupa juga disampaikan oleh Tan (1991) di mana beberapa
hambatan yang muncul dari kepemimpinan perempuan yaitu: pertama,
hambatan fisik. Perempuan, dibebani tugas-tugas “kontrak” untuk
96

mengandung, melahirkan, dan menyusui. Keharusan ini mengurangi


keleluasaan mereka untuk aktif terus-menerus dalam berbagai bidang
kehidupan. Kedua, hambatan teologis bahwa untuk waktu yang lama
perempuan dipandang sebagai makhluk yang dicipta untuk lelaki, temasuk
mendampingi mereka, menghiburnya, dan mengurus keperluannya. Ketiga,
hambatan sosial budaya terutama dalam bentuk stereotipikal. Pandangan ini
melihat perempuan sebagai makhluk pasif, lemah, perasa, tergantung, dan
menerima keadaan. Sebaliknya, lelaki dinilai sebagai makhluk yang aktif, kuat,
cerdas, mandiri, dan sebagainya. Pandangan ini menempatkan laki-laki secara
sosio-kultural lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan. Keempat,
hambatan sikap pandang yang antara lain dimunculkan oleh pandangan
dikotomis antara tugas perempuan dan laki-laki. perempuan dinilai sebagai
makhluk rumah, sedangkan laki-laki dilihat sebagai makhluk luar rumah.
Pandangan dikotomis tersebut membuat gerak dan langkah perempuan menjadi
terbatas.

Berdasarkan penjelasan tersebut sudah sesuai dengan teori yang telah


dijabarkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor pendukung atau
kekuatan kepemimpinan kepala sekolah perempuan yaitu 1). Motivasi diri, 2)
Dukungan yang kuat dari suami dan keluarga, 3) komunikasi yang baik dengan
suami. Sementara faktor-faktor penghambat atau kelemahan kepemimpinan
kepala sekolah perempuan yaitu 1) budaya patriariki, 2) peran domestik
perempuan, 3) stereotype gender dan 4) hambatan fisik

4.3.2. Model Kebijakan Untuk Mengatasi Kelemahan Kepemimpinan


Perempuan

Kebijakan merupakan petunjuk dan batasan secara umum yang menjadi arah
dari tindakan yang dilakukan dan aturan yang harus diikuti oleh para pelaku
dan pelaksana kebijakan serta landasan dalam mengambil keputusan atas
perencanaan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Kebijakan pendidikan
97

merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana


maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun
longgar yang dirumuskan untuk suatu arah tindakan, program, serta rencana-
rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan.

Model kebijakan merupakan suatu konsepsualisasi artifisial tentang isu


kebijakan, seperti energi, lingkungan, kemiskinan, kesenjangan, kesejahteraan,
kriminalitas dan lain-lain. Model kebijakan untuk mengatasi kelemahan dan
memperkuat keunggulan kepemimpinan perempuan berdasarkan hasil/ data
penelitian ini, yaitu model kebijakan normatif dimana model ini menerangkan
dan memprediksi sebab akibat suatu tindakan kebijakan, juga mengandung
aturan atau acuan tentang bagaimana cara mengoptimalkan pencapaian suatu
manfaat tertentu. Faktor-faktor kelemahan dan kekuatan kepemimpinan kepala
sekolah, menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan dengan memperhatikan
norma-norma yang berlaku dan berkembang dimasyarakat, seperti norma
budaya, norma sosial, dan norma agama. Kebijakan untuk mengatasi masalah
tersebut yaitu dibutuhkan sebuah komitmen yang kuat untuk mengatasi
kelemahan kepemimpinan kepala sekolah perempuan, yaitu dengan tidak
adanya diskriminasi dalam seleksi penerimaan calon kepala sekolah yang
dilihat dari perspektif gender. Dimana semua alur penerimaan calon kepala
sekolah dilakukan secara transparan, adil, jujur dan tidak bias gender. Dengan
demikian hal tersebut akan membuka peluang yang lebih besar kepada
perempuan yang memiliki kapabilitas dan kompetensi untuk menjadi seorang
kepala sekolah.

Hal ini sesuai yang disampaikan oleh Suryadi dan Tillar (1994) dimana model
kebijakan normatif merupakan model kebijakan yang menawarkan suatu
norma, kaidah, atau resep yang dapat digunakan oleh pemakai untuk
memecahkan suatu masalah. Tujuan model normatif selain menjelaskan atau
memprediksikan, juga memberikan rekomendasi untuk mengoptimalkan
pencapaian beberapa utilitas (nilai). Dengan Pendekatan normatif menekankan
98

pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang (aksi) yang dapat
menyelesaikan masalah-masalah pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat
pada semua jenjang dan jenis pendidikan.

Selanjutnya untuk mencegah terjadinya kelemahan kepemimpinan kepala


sekolah sejak dini, maka penyelenggara seleksi penerimaan calon kepala
sekolah hendaknya membuat kebijakan khusus untuk kepala sekolah
perempuan. Yaitu untuk melibatkan suami dalam wawancara atau
dibuatkannya sebuah surat pernyataaan kesediaan dan dukungam suami kepada
istrinya untuk calon kepala sekolah. Dengan dukungan yang kuat dari keluarga
akan membuat perempuan akan lebih fleksibel dalam menjalani
kepemimpinannnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Endarwati, Komariah, & Wulandari) yang mengatakan bahwa secara umum
para perempuan pemimpin ini mempunyai dukungan yang kuat dari
keluarganya, arahan orang tua, dukungan suami dan anak-anak yang responsif
gender. Dukungan tersebut menyebabkan para perempuan dapat melakukan
perannya sebagai istri dan ibu dengan nyaman, tanpa tuntutan yang berlebihan
dari keluarga, dengan demikian maka keluarga akan menjadi pendukung
keberhasilan karier para perempuan menjadi pemimpin di bidang pendidikan
(Endarwati, komariah & Wulandari, 2017)

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa model kebijakan


yang tepat untuk mengatasi kelemahan dan memperkuat keunggulan
kepemimpinan kepala sekolah yang ditinjau dari perspektif gender yaitu model
kebijakan normatif, di mana model kebijakan ini mencoba mengoptimalkan
pencapaian suatu manfaat dan menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep
yang dapat digunakan oleh pemakai untuk memecahkan suatu masalah.
Dengan pendekatan normatif maka dapat merekomendasikan serangkaian
tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah tentang
kepemimpinan kepala sekolah perempuan. Berdasarkan pemaparan di atas
99

diagram model hipotetik implementasi kebijakan normatif berdasarkan hasil


penelitian dapat dilihat pada lampiran 7.
100

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:

5.1.1. Faktor-faktor kepemimpinan Kepala Sekolah Perempuan

Seorang kepala sekolah perempuan mengalami kompleksitas masalah yang


lebih dibandingkan dengan kepala sekolah laki-laki, karena perempuan
mempunyai peran yang berbeda dalam keluarga. Ketika perempuan bekerja
dan menjadi kepala sekolah, setelah itu ia harus tetap menjalankan perannya
sebagai istri dan ibu dalam rumah tangga. Peran tersebut membuat kepala
sekolah perempuan membagi waktunya, konsentrasinya, dan tenaganya hingga
membuat kepala sekolah perempuan tidak secara maksimal menjalankan
kepemimpinannya.

Temuan yang diperoleh dari penelitian ini bahwasanya, faktor- faktor


pendukung dari kepemimpinan kepala sekolah perempuan yaitu: 1) motivasi
dalam dirinya untuk menjadi seorang pemimpin, 2) dukungan yang kuat dari
keluarga merupakan hal yang sangat penting ketika ia menjalankan perannya,
3) komunikasi yang baik dengan keluarga merupakan salah satu kunci
keberhasilan seorang kepala sekolah perempuan, dengan komunikasi yang baik
dengan keluarga maka segala aktivitas baik di rumah maupun di sekolah dapat
dijalankan secara bersamaan, dengan begitu maka akan ada kerja sama yang
baik untuk kegiatan wilayah domestik

Sementara faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi kepemimpinan


kepala sekolah yaitu: 1) peran domestik perempuan, 2) stereotype gender, 3)
hambatan fisik, dan 4) budaya patriarki, merupakan faktor budaya yang telah
101

mengakar dan mendarah daging dalam kultur masyarakat kita. Dalam kultur
masyarkat masih menganggap bahwa urusan domestik adalah wilayah
perempuan. Jadi meskipun perempuan bekerja di luar, dan menjadi kepala
sekolah tanggung jawab nya di dalam rumah tangga seperti memasak, mencuci
dan sebagai ibu serta istri tetap harus perempuan lakukan. Hal tersebutlah yang
akhirnya membuat perempuan yang bekerja, akhirnya memiliki peran ganda
yang lebih berat dibanding tanggung jawab laki-laki.

5.1.2. Model Kebijakan Untuk Mengatasi Kelemahan Kepemimpinan

Perempuan

Model kebijakan yang tepat untuk mengatasi kelemahan dan memperkuat


keunggulan kepemimpinan kepala sekolah perempuan berdasarkan hasil
penelitian ini yaitu model kebijkan normatif, di mana model kebijakan ini
mencoba mengoptimalkan pencapaian suatu manfaat dan menawarkan suatu
norma, kaidah, atau resep yang dapat digunakan oleh pemakai untuk
memecahkan suatu masalah. Dengan pendekatan normatif maka dapat
merekomendasikan serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat
menyelesaikan masalah-masalah tentang kepemimpinan kepala sekolah
perempuan.

5.2. Saran

5.2.1. Kepala Sekolah

Kepala Sekolah sebagai pemimpin di sekolah, yang mempunyai wewenanag


dan kekuasaan top leader perlu melaksanakan tanggung jawabnya dengan penuh
percaya diri dan mampu mengedepankan kepentingan umum dibandingkan
kepentingan pribadi, dan mampu bersinergi dengan berbagai pihak untuk
mewujudkan visi misi sekolah.
102

5.2.2. Pendidik

Pendidik diharapkan mampu memahami akan karakter pemimpin, karena untuk


menjadi seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar dengan
membawa sebuah organisasi dipundaknya.

5.2.3 Tenaga Kependidikan

Tenaga Kependidikan sebagai bagian tak terpisah dari kesatuan sebuah


organisasi diharapkan mampu memahami karakteristik kepemimpinan. Agar
mampu bersinergi untuk mewujudkan tujuan dari sekolah

5.2.4 Dinas Pendidikan

Dinas Pendidikan sebagai lembaga perumasan kebijakan teknis di bidang


pendidikan di daerah, diharapkan mampu membuat kebijakan-kebijakan khusus
yang berkaitan dengan kepala sekolah perempuan, dalam rangka peningkatan
kualitas kepemimpinan perempuan di sekolah dan meminimalisir kelemahan-
kelemahan kepemimpinan kepala sekolah perempuan.
103

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A. (2005). Work-family conflict among dual-earner couples: Comparisons


by gender and profession. Jurnal Psikologi Malaysia, 19, 1-12.
Alfonso, R. J., Firth, G. R., & Neville, R. F. (1981). Instructional supervision: A
behavior system: Allyn & Bacon.
Avolio, B. J., & Bass, B. M. (2001). Developing potential across a full range of
Leadership Tm: Cases on transactional and transformational leadership:
Psychology Press.
Bakry, A. (2010). Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Jurnal Medtek,
2(1), 1-13.
Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational leadership.
Beason, J. H. (1992). Identification of career barriers faced and professional
strategies used by female secondary school principals. Arizona State
University.
Beutell, N. J. (2007). Self-employment, work-family conflict and work-family
synergy: Antecedents and consequences. Journal of Small Business &
Entrepreneurship, 20(4), 325-334.
Biklen, S. K., & Bogdan, R. (2007). Qualitative research for education: An
introduction to theories and methods: Boston, MA: Pearson A & B.
Blase, J. J. (1987). Dimensions of effective school leadership: The teacher’s
perspective. American Educational Research Journal, 24(4), 589-610.
doi:10.3102/00028312024004589
Bush, T. (2008). Leadership and management development in education: Sage.
Cabrera, S. F., Sauer, S. J., & Thomas-Hunt, M. C. (2009). The evolving manager
stereotype: The effects of industry gender typing on performance expectations
for leaders and their teams. Psychology of Women Quarterly, 33(4), 419-428.
Coleman, M. (2003). Gender and the orthodoxies of leadership. School leadership &
management, 23(3), 325-339.
Creemers, B. P., & Reezigt, G. J. (1997). School effectiveness and school
improvement: Sustaining links. School effectiveness and school improvement,
8(4), 396-429. doi:10.1080/0924345970080402
Davis, G. A., & Thomas, M. A. (1989). Effective schools and effective teachers:
Allyn & Bacon.
Davis, K., & Newstrom, J. W. (1981). Human behavior at work: Organizational
behavior: McGraw-Hill New York, NY, USA:.
Day, C., Harris, A., & Hadfield, M. (2001a). Challenging the orthodoxy of effective
school leadership. International journal of Leadership in education, 4(1), 39-
56. doi:10.1080/13603120117505
Day, C., Harris, A., & Hadfield, M. (2001b). Grounding knowledge of schools in
stakeholder realities: A multi-perspective study of effective school leaders.
104

School leadership & management, 21(1), 19-42.


doi:10.1080/13632430120033027
Doyle, J. (1985). Sex and gender: the human experiment. Dubuque, IA: WC Brown,
9.
Dubrin, A. J. (2005). The Complete Ideal's Guides Leadership. Jakarta: Prenada
Media.
Eagly, A. H., & Johannesen‐Schmidt, M. C. (2001). The leadership styles of women
and men. Journal of social issues, 57(4), 781-797.
Endarwati, M. L., Komariah, K., & Wulandari, P. Kekuatan Perempuan Pemimpin
dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Paper presented at the Prosiding
Seminar Nasional AIMI.
Fakih, M. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet. I Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Faturahman, B. M. (2018). Kepemimpinan dalam budaya organisasi. MADANI
Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, 10(1), 1-11.
Fitriani, A. (2015). Gaya kepemimpinan perempuan. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong
Aspirasi Politik Islam, 11(2), 1-22.
Ford, M. T., Heinen, B. A., & Langkamer, K. L. (2007). Work and family satisfaction
and conflict: a meta-analysis of cross-domain relations. Journal of applied
psychology, 92(1), 57. doi:10.1037/0021-9010.92.1.57
Gill, R. (2011). Theory and practice of leadership: Sage.
Griffith, K., & Thompson, J. (1998). Highly Successful Women Administrators: The
Inside Story of How They Got There Sandra Lee Gupton & Gloria Appelt
Slick: A Book Review. Advancing Women in Leadership Journal(2).
Grindle, M. S. (2017). Politics and policy implementation in the Third World:
Princeton University Press.
Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. (1994). Competing paradigms in qualitative research.
Handbook of qualitative research, 2(163-194), 105.
Haddad, W. D., & Demsky, T. (1995). Education Policy-Planning Process: An
Applied Framework. Fundamentals of Educational Planning 51: ERIC.
Handayani, A. (2013). Keseimbangan kerja keluarga pada perempuan bekerja:
Tinjauan teori border. Buletin Psikologi, 21(2), 90.
Harris, A. (2002). Effective leadership in schools facing challenging contexts. School
leadership & management, 22(1), 15-26. doi:10.1080/13632430220143024a
Harsiwi, A. (2004). Konflik Kerja Keluarga dan Kepuasan Kerja Akademisi Wanita.
Jurnal EKOBIS, 5(2), 217-229.
Hasbullah, M. (2015). Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif teori, aplikasi dan
kondisi objektif di Indonesia. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Hoy, W. K., & Miskel, C. G. (1987). Theory research and practice. Educational
administration.
Indyastuti, D. L., Handoko, T. H., Purwanto, B., & Wibowo, A. (2016).
Competitiveness As A Moderator In The Relationship Between The
Competitive Psychological Climate And The Basic Psychological Need
105

Satisfaction Asia Pacific Journal of Advance Business and Social Studies,


2(3), 19-33.
Jirasinghe, D., & Lyons, G. (1996). The competent head: A job analysis of heads'
tasks and personality factors: Psychology Press.
James P Lester and J Stewart, Public Policy: An Evaluation Approach (The
University of California: Wadsworth Thomson Learning, 2000), 46.
Khilmiyah Akif. 2015. Kepemimpinan Transformasional Berkeadilan Gender:
Konsep dan Implementasi di Madrasah. Penerbit Samudra Biru (Anggota
IKAPI), Yogyakarta
Koontz, H., O'Donnell, C., & Weihrich, H. (1986). Essentials of management (Vol.
18): McGraw-Hill New York.
Locke, E. A. (1999). The essence of leadership: The four keys to leading successfully:
Lexington Books.
Martins, L. L., Eddleston, K. A., & Veiga, J. F. (2002). Moderators of the relationship
between work-family conflict and career satisfaction. Academy of
management journal, 45(2), 399-409.
Mayer, J. D., & Caruso, D. (2002). The effective leader: Understanding and applying
emotional intelligence. Ivey Business Journal, 67(2), 1-5.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative data analysis: An expanded
sourcebook: sage.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (2007). Qualitative Data Analysis (terjemahan):
Jakarta: UI Press.
Milles, M. B., & Huberman, A. J. A. D. K. Michael, 2007.
Moleong, L. J. (2013). Metode penelitian kualitatif, bandung: Remaja Rosdakarya:
Mosal.
Muhadjir, N. (2003). Metodologi penelitian kebijakan dan evaluation research.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mulyasa, E. (2012). Manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah. Jakarta: Bumi
Aksara.
Mudjia Rahardjo. (2010). Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer. Malang:
UIN Maliki Press
Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung). Tarsito.
library. fis. uny. ac. id/opac/index. php.
Northouse, P. G. (2019). Introduction to leadership: Concepts and practice: SAGE
Publications, Incorporated.
Parker, P. S. (1996). Gender, culture, and leadership: Toward a culturally distinct
model of African-American women executives' leadership strategies. The
Leadership Quarterly, 7(2), 189-214. doi:1048984396900405
Riley, K. A. (1998). Creating the leadership climate. International Journal of
Leadership in Education Theory and Practice, 1(2), 137-153.
Robert Eyestone,(1971) The Thread of Policy: A Study in Policy Leadership
(Indianapolis: Bobs Merril, )
106

Rohman, A., & Lamsuri, M. (2009). Politik ideologi pendidikan: LaksBang


Mediatama bekerja sama dengan Kantor Advokat" Hufron & Hans
Simaela ….
Rossow, L. F. (1990). The principalship: Dimensions in instructional leadership:
Prentice Hall.
Safritz, J.M and E.W. Russel,Introduction Public Administration (New York:
Addison Education Publisher Inc
Sagala, S. (2020). Administrasi pendidikan kontemporer.
Sergiovani, T. J. (2005). Perspectives on school leadership: taking another look.
Seyfarth, J. T. (1996). Personnel management for effective schools: ERIC.
Smith, C., & Piele, P. (2012). School Leadership: Handbook for Excellent in Student
Learning. Thousand Oak: California: Corwin Press.
Solichin, M. (2015). Implementasi Kebijakan Pendidikan Dan Peran Birokrasi.
Religi: Jurnal Studi Islam, 6(2), 148-178.
Sowiyah. 2005. Manajemen Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru. Malang,
Universitas Negeri Malang
Spradley, J. (2016). Participant Observation, Long Grove, Illinois: Waveland Press.
Stogdill, R. M. (1974). Handbook of leadership: A survey of theory and research:
Free Press.
Sugiyono, P. (2010). Dr. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D Cet.
Sugiyono, P. D. (2010). Metode penelitian pendidikan. Pendekatan Kuantitatif.
Suryadi, A., & Tilaar, H. A. R. (1994). Analisis Kebijakan Pendidikan Sebuah
Pengantar. Bandung: Rosdakarya.
Taylor, Shelley E., Et al, 2009, Psikologi Sosial, Edisi Kedua Belas, Penerbit
Kencana, Jakarta
Tan, M. G. (1991). Perempuan Indonesia: pemimpin masa depan? : Pustaka Sinar
Harapan.
Tarigan, A. (2000). Implementasi kebijakan jaring pengaman sosial:: Studi kasus
program pengembangan kecamatan di Kabupaten II Lebak, Propinsi Jawa
Barat. Universitas Gadjah Mada.
Teddlie, C., Kirby, P. C., & Stringfield, S. (1989). Effective versus ineffective
schools: Observable differences in the classroom. American journal of
education, 97(3), 221-236. doi:10.1086/443925
Valcour, M. (2007). Work-based resources as moderators of the relationship between
work hours and satisfaction with work-family balance. Journal of applied
psychology, 92(6), 1512. doi:10.1037%2F0021-9010.92.6.1512
Wiles, J., & Bondi, J. (1983). Principles of school administration: The real world of
leadership in schools: Merrill Publishing Company.
William Dunn,( 1 9 9 9 ) Pengantar Analisis Kebijakan Publik Gajahmada
University Press. Yogyakarta.
107

Bahtiar, I. Y. (2012). Kebijakan Pembaruan Pendidikan: Konsep, Teori, dan Model.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yukl, G. (2011). Contingency theories of effective leadership. The SAGE handbook
of leadership, 24(1), 286-298.
Yusuf, A. J. a. (2020). Implementasi Kebijakan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018
Tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah Menengah Pertama
(SMP) di Kabupaten Paser Kalimantan Timur. Universitas Muhammadiyah
Malang.

.
108

Lampiran 1 . Daftar Hadir Penelitian


No Hari Tanggal Waktu Tempat Informan Objek
Penelitian
1 Rabu 20/01/2021 09.00 – Lingkungan Waka Observasi
12.00 Sekolah Kurikulum dan Lingkungan
Administrator Sekolah
sekolah
2 Rabu 09/06/2021 09.00 – Ruang kantor Waka Wawancara
10.00 Kurikulum
3 Rabu 09/06/2021 10.00 – Ruang kantor Waka Sarpras Wawancara
11.00
4 Selasa 15/06/2021 09.00 – Ruang kepala Kepala Sekolah Wawancara
11.00 Sekolah
5 Rabu 16/06/2021 06.45 – Lingkungan Kepala Sekolah Observasi,
09.00 sekolah dan dokumentasi
Administrator
Sekolah
6 Rabu 16/06/2021 09.00 – Ruang kantor Guru Wawancara
10.00
7 Rabu 16/06/2021 10.00 – Ruang kantor Guru Wawancara
11.00
8 Senin 21/06/2021 09.00 – Ruang Kantor Ketua Program Wawancara
10.00 keahlian
Multimedia

9 Rabu 21/06/2021 10.00 – Ruang kantor Ketua Program Wawancara


11.00 keahlian
Perbankan
Syariah
10 Kamis 22/06/2021 08.00- Ruang Osis Peserta Didik Wawancara
10.00

11 Kamis 22/06/2021 10.00 – Aula Kepala sekolah Observasi,


14.00 dan dokumentasi
Adminitrator
sekolah
109

Lampiran 2. Pedoman Observasi

No Ragam yang diamati Keterangan

1 Jadwal Kehadiran Kepala sekolah

2 Sikap/karakter Kepala Sekolah

Pengambilan keputusan Kepala


3
Sekolah

4 Lingkungan dan kondisi sekolah


110

Lampiran 3. Pedoman Studi Dokumen


No Data Dokumen Ya Tidak Keterangan

1 Profil Sekolah

2 Struktur Organisasi SMK


Negeri 8 Bandar Lampung

3 Visi Misi SMK Negeri 8


Bandar Lampung
4 Data pendidik dan tenaga
Kependidikan
5 Surat Tugas
6 Undangan Rapat Kordinasi
7 Dokumen kegiatan pendukung
lainnya
111

Lampiran 4. Pedoman Wawancara

Identitas informan :
Nama :
Jabatan :
Hari, tanggal wawancara :
Tempat wawancara :

Fokus Konten Sub Konten Pertanyaan Sumber


Data
Faktor 1. Keunggulan 1. Budaya 1. Bagaimana
Keunggulan dan Patriarki pandangan ibu
dan kelemahan kelemahan terhadap
kepemimpinan kesempatan
perempuan
kepala sekolah
untuk menjadi
perempuan seorang
pemimpin?
2. Sebagai
perempuan,apa
kah ada beban
mental yang
ibu rasakan
selama KS, WK,
menjadi GR,
seorang kepala
sekolah?
3. Menurut anda
dengan adanya
perbedaan
gender dalam
hal
kepemimpinan
apakah itu
berpengaruh
terhadap
kepemimpinan
anda?
4. Menurut ibu,
sebagai kepala
sekolah
perempuan,
apakah guru-
guru laki-laki
menanggap ibu
masih seperti
zaman dulu,
112

dimana
perempuan
lebih rendah
kedudukannya
dibanding laki-
laki?
5. Menurut ibu
masih adakah
pandangan
lelaki yang
menganggap
perempuan
lemah,
perempuan
memiliki gerak
terbatas
sehingga
memiliki ruang
gerak yang
sempit?
6. Selain faktor-
faktor
keterbatasan
perempuan
tersebut,
adakah faktor-
faktor lain
yang
menguatkan
ibu sebagai
kepala sekolah
2. Peran 1. Apakah
domestic kewajiban ibu
sebagai istri
dan ibu rumah
tangga,
menghambat
tugas ibu
sebagai kepala
sekolah?
2. Bagaimana ibu
menyeimbangk
an tugas
dirumah dan
tugas disekolah
agar berjalan
seimbang ?
3. Apakah
menurut ibu,
keluarga
merupakan
faktor
113

penghambat
keberhasilan
perempuan ?
4. Apakah
menurut ibu,
suami dan anak
dapat menjadi
faktor kekuatan
kepemimpinan
ibu sebagai
kepala
sekolah?

3. Stereotype 1. Apa yang


Gender mendorong ibu
untuk menjadi
kepala
sekolah?
2. Bagaimana
proses/ tahapan
ibu menjadi
kepala
sekolah?
3. Adakah yang
mendukung
dan
mendorong ibu
untuk menjadi
kepala
sekolah?
4. Menurut ibu
apakah kepala
sekolah
perempuan
tidak memiliki
karakter kuat
dan mumpuni
sebagai kepala
sekolah?

Kebijakan Model Kebijakan 1. Budaya 1. Menurut ibu


Patriarki kebijakan apa
yang harus di
keluarkan oleh
dinas
pendidikan
untuk
menghilangkan
anggapan
bahwa
perempuan itu
114

lemah, pasif,
perasa,dan
mudah
menyerah?
2. Sampai saat ini
KS, WK,
masih banyak
pandangan
KK, GR,
negatif tentang AS
kepemimpinan
perempuan,
menurut ibu
kebijakan apa
yang harus
diambil oleh
dinas
pendidikan
untuk
menghilangkan
stigma negatif
tersebut?

2. Peran 1. Menurut ibu,


Domestik ketika kepala
sekolah
perempuan
melahirkan,
apakah
kebijakan yang
diambil oleh
dinas
pendididkan?
2. Menurut ibu,
kebijakan apa
yang tepat yang
harus dibuat oleh
dinas pendidikan
ketika ada
kepala sekolah
melahirkan?
3. Menurut ibu,
kebijakan apa
yang harus
diambil oleh
dinas pendidikan
agar kepala
sekolah
perempuan dapat
menyeimbangka
n peran domestic
dan perannya
sebagai kepala
115

sekolah?
3. Stereotype 1. Menurut ibu
Gender sebagai kepala
sekolah, dengan
keterbatasan
ruang gerak
perempuan
yang tidak bisa
keluar terlalu
malam,
kebijakan apa
yang harus di
buat oleh dinas
pendidikan agar
kelemahan ini
dapat di
antisipasi?
2. Menurut ibu,
apa yang harus
dilakukan oleh
dinas
pendidikan jika
menghadapi
kepala sekolah
perempuan
yang memiliki
sifat moody,
dan membawa
perasaan pada
kepemimpinan
nya.
116

Lampiran 5. Matriks Wawancara

No Pertanyaan Jawaban Informan


1. Bagaimana pandangan Kesempatan perempuan untuk menjadi KY, WK,
bapak/ibu terhadap kepala sekolah sama besarnya dengan KK,G
kesempatan perempuan laki-laki, dan itu sudah diatur oleh aturan
untuk menjadi kepala yang tertuang dalam permendikbud
sekolah? nomor 6 tahun 2018 tentang penugasan
guru sebagai kepala sekolah. Dari syarat-
syarat untuk menjadi kepala sekolah yang
ada didalam permendikbud tersebut tidak
membedakan jenis kelamin atau gender
tertentu. Selama dia memenuhi syarat
untuk menjadi kepala sekolah, maka dia
berhak mendaftarkan diri untuk menjadi
calon kepala sekolah. Namun dalam
prakteknya, perempuan mengalami
permasalahan yang sedikit berbeda
dengan laki-laki, kultur budaya yang
melekat pada adat istiadat di negara kita,
yang menganggap bahwa perempuan
memiliki peran dalam ruamh tangga,
yaitu menjadi ibu sekaligus istri dirumah,
membuat dirinya memiliki kesempatan
lebih sedikit dibanding laki-laki untuk
mengembangkan karirnya sebagai kepala
sekolah. Karena selain tugasnya di
sekolah, dia harus pula melaksanakan
tugas nya dirumah, menjadi istri dan ibu
sekaligus, peran ganda yang ada pada diri
perempuan membuat gerak nya menjadi
lebih terbatas, berbeda dengan laki-laki
yang memiliki waktu yang lebih
fleksibel.
Menurut ibu, apakah Perbedaan gender dalam hal
perbedaan gender kepemimpinan tidak berpengaruh secara
mempengaruhi dalam signifikan. Baik perempuan maupun laki-
sebuah kepemimpinan? laki sama-sama memiliki kemampuan
untuk memimpin. Hanya saja kepala
sekolah laki-laki dalam mengambil
keputusan lebih tegas, sementara kepala
sekolah perempuan lebih hati-hati, atau
lebih banyak pertimbangan dalam
mengambil keputusan.

Apakah ruang gerak Ruang gerak kepala sekolah perempuan


kepala sekolah terbatas tergantung terhadap keluarga. Jika
117

keluarga terutama suami mendukung


karirnya, maka ruang gerak kepala
sekolah perempuan akan lebih fleksibel,
dia dapat menyesuaikan waktu yang ada,
selama masih dalam kegiatan kedinasan,
maka geraknya tidak dibatasi. Namun
jika suami tidak memberikan izin
kepadanya, maka ruang gerak kepala
sekolah perempuan akan lebih sempit.

Adakah faktor-faktor lain Ketika saya ingin menyalonkan diri


yang menguatkan ibu sebagai kepala sekolah. Hal pertama yang
sebagai kepala sekolah saya lakukan adalah konsultasi dengan
suami dan anak-anak. Karena ketika saya
menjadi kepala sekolah ini akan berimbas
kepada peran saya di dalam keluarga.
Hingga saya mendiskusikannya dengan
suami, jikalau dia memberikan izin, maka
saya pun setuju untuk menyalonkan diri
sebagai kepala sekolah.
2. Apakah Kewajiban ibu Ketika perempuan menjabat sebagai KY, WK,
sebagai istri dan ibu kepala sekolah maka ia menjalankan KK,G
rumah tangga ganda sekaligus yaitu menjalan kan peran
menghambat tugas ibu sebagai istri dan ibu dirumah, sekaligus
sebagai kepala sekolah menjadi pemimpin di sekolah. Kedua
peran tersebut dapat saya jalankan
sekaligus tanpa ada yang harus
dikesampingkan. Keduanya dapat
berjalan beriringan dengan adanya
komunikasi yang baik dengan keluarga
terutama dengan suami, dengan begitu
kepala sekolah perempuan mampu
menyeimbangkan kedua peran tersebut
dengan baik

Apakah faktor domestik Peran domestic bagi perempuan


dapat menghambat merupakan hal yang mutlak, mau tidak
keberhasilan perempuan? mau peran tersebut harus dilaksanakan.
Namun saat ini, peremuan sudah lebih
dimudahkan, banyak fasilitas-fasilitas
yang memudahkan pekerjaan perempuan
dirumah, baik dengan memperkerjakan
asisten rumah tangga dan fasilitas diluar
yang lebih praktis. Hingga waktu
perempuan tidak habis hanya
mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
namun bisa lebih produktif. Yang pasti
komunikasi harus terjalin dengan baik
118

dengan pasangan atau suami agar lebih


memudahkan perempuan untuk
mengerjakan peran-peran tersebut
sekaligus.

Apakah suami dan anak Jika kita mampu mengkomunikasikan


dapat menjadi faktor dengan baik kepada keluarga, baik suami
kelemahan atau malah maupun anak, keluarga dapat menjadi
menjadi faktor kekuatan sumber kekuatan untuk kita bekerja lebih
untuk pemimpin giat diluar. malah dengan
perempuan? mengkomunikasikannya dengan
pasangan ketika ada masalah disekolah
kita mendapatkan kekuatan baru, tingkat
stress menurun bahkan kita mendapatkan
ide-ide baru untuk memecahkan masalah
yang ada.
Namun jika tidak ada dukungan dari
suami kepada pekerjaan kita, dan tidak
terjalinnya komunikasi yang baik dengan
suami dan anak. Maka keluarga bisa
menambah masalah yang ada dan tingkat
stress pun lebih tinggi.
3. Menurut bapak/ibu Perempuan juga bisa untuk memimpin, KY, WK,
apakah perempuan cocok seperti layaknya laki-laki. kepepimpinan KK,G
dengan menjadi kepala perempuan maupun laki –lakitidak ada
sekolah? perbedaan secara signifikan. Perempuan
juga cukup handal dalam hal
kepemimpinan, hanya saja peran
perempuan di ranah public akan sangat
tergantung kepada pasangannya, karena
keterbatasan perempuan, merupakan
sesuatu image, atau stigma yang sengaja
diperuntukkan oleh masyarakat
kepadanya. Bukan hal yang bersifat
kodrati yang datangnya dari Tuhan, tapi
bentukan dari masyarakat.

Menurut ibu apakah Setiap orang memiliki karakter yang


kepala sekolah kuat, tinggal bagaimana individu tersebut
perempuan memiliki mengembangkan karakternya. Apalagi
karakterk yang kuat dan seorang kepala sekolah, beliau
mumpuni sebagai kepala merupakan sosok pemimpin yang
sekolah? menjadi panutan, dan menjadi leader
dalam sekolah tersebut. Kepala sekolah
perempuan merupakan sosok pemimpin
yang lemah lembut namun mampu
bersikap tegas.
119

4 Sampai saat ini di Secara kuantitas kepala sekolah KY, WK,


Provinsi Lampung perempuan belum sebanyak kepala KK,G
kepemimpinan kepala sekolah laki-laki, tapi peran perempuan
sekolah perempuan belum sudah mulai diperhitungkan, meskipun
sampai menyentuh angka secara kuantitas jumlah guru perempuan
30% dari total seluruh lebih banyak dari laki-laki. Hal ini
kepala sekolah yang ada. terkendala bahwa tidak banyak guru
Menurut pandangan ibu, perempuan yang tahu informasi tentang
kebijakan apa yang harus seleksi pemilihan calon kepala sekolah.
dilakukan oleh dinas Hingga saat seleksi calon kepala sekolah,
pendidikan untuk dapat hanya sedikit guru perempuan yang
memaksimalkan peran mendaftar. Melihat fenomena tersebut,
perempuan sebagai dinas pendidikan harusnya lebih tanggap
pemimpin di sekolah? dalam mensosialisasikan kepada seluruh
guru saat mengadakan seleksi calon
kepala sekolah, agar informasi dapat
sampai kepada seluruh lapisan guru, tidak
terkesan menutup-nutupi. Kemudian
seleksi juga harus fair, adil dan merata.
Hingga hanya yang memiliki kompetensi
yang layaklah yang dapat dijadikan calon
kepala sekolah.
5. Ketika seorang kepala ketika kepala sekolah mengalami proses KY, WK,
sekolah perempuan melahirkan, maka dia berhak untuk KK,G
melahirkan, seyogyanya mendapatkan cuti minimal 40 hari.
beliau akan mendapatkan Maka ketika kepala sekolah
cuti melahirkan. melaksanakan cuti maka dibuatkan Plt
Bagaimana seorang kepala sekolah dari salah satu wakil
kepala sekolah kepala sekolah yang ada, untuk
melakukan perannya menangani tugas beliau selama cuti.
sebagai kepala sekolah Namun komunikasi tetap dilaksanakan
pada saat cuti tersebut? jika ada hal-hal yang urgent maka kepala
sekolah tetap terlibat dalam pengambilan
keputusan, terutama yang berkaitan
dengan masalah keuangan.

Adakah kebijakan dinas Sampai saat ini, belum ada kebijakan


pendidikan terkait tentang dinas terkait cuti melahirkan kepala
persoalan tersebut? sekolah, karena fenomena yang terjadi
saat ini, jarang sekali kepala sekolah di
usia produktif. Meskipun begitu
seharusnya memang dinas sudah mulai
memikirkan solusi atas tersebut. Mungkin
dengan penunjukkan Plt sementara saat
beliau mengambil cuti yang ditunjuk
langsung oleh dinas.
120

Menurut bapak/ibu, Ketika kepala sekolah adalah seorang


kebijakan apa yang harus perempuan, memang waktu nya akan
diambil oleh dinas lebih banyak tersita di luar rumah
pendidikan agar kepala dibandingkan dia dirumah. kepala
sekolah perempuan dapat sekolah perempuan akan membagi
menyeimbangkan peran proporsi waktu antara peran sebagai istri
domestik nya sekaligus dan sebagai kepala sekolah, dengan
perannya sebagai kepala tanggung jawab yang dipikul nya maka
sekolah? perannya untuk mengurus suami dan
anak akan menjadi lebih sedikit
dibandingkan waktu untuk mengurus
sekolah. Untuk hal tersebut, seoarang
perempuan sebelum menjadi kepala
sekolah sudah mencoba
menyampaikannya kepala suami serta
meminta izinnya. Agar ketika dia
menjadi kepala sekolah dan
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai
kepala sekolah, suami akan lebih faham
dan memakluminya.
Hingga sangatlah penting untuk dinas
pendidikan pada saat seleksi calon kepala
sekolah, bagi calon kepala sekolah
perempuan untuk membawa suami dan
diminta kesediaannya agar memberikan
keleluasaan waktu bagi istrinya untuk
melakukan perannya jika dia terpilih
menjadi kepala sekolah. Walaupun begitu
bukan berarti peran dirumah tangga harus
dideskriditkan. Dengan adanya
komunikasi dua arah atara suami dan
istri, serta izin suami, peran domestic dan
peran disekolah semua dapat berjalan
secara beriringan, tanpa harus ada yang di
kesampingkan.

6. Selama ini adakah Stigma kepala sekolah perempuan lemah, KY, WK,
anggapan bahwa kepala pasif dan perasa belum dapat dipastikan. KK,G
sekolah perempuan itu Meskipun perempuan identic dengan hal
lemah, pasif, dan perasa? tersebut, namun sifat perasa pada diri
perempuan jika dikembangkan mampu
menjadi kekuatan untuk kepala sekolah
perempuan dimana dia akan lebih peka
terhadap lingkungan dan mampu
memahami kebutuhan sekelilingnya serta
dengan kepekaan tersebut dia dapat
menganalisis kebutuhan dan keinginan
121

orang-orang disekitarnya dan


menjadikannya kekuatan untuk
mewujudkan visi sekolah
Menurut ibu kebijakan Stigma yang melekat dalam diri
apa yang harus di buat perempuan sudah ada sejak lama bahkan
oleh dinas pendidikan sudah mendarah daging ke struktur
untuk menghilangkan kehidupan masyarakat. Dinas
sigma tersebut? pendidikan, dapat mengorganisir agar
stigma tersebut dapat berkurang,
meskipun tak hilang. Dinas pendidikan
dapat memberikan kesempatan lebih
banyak kepada perempuan untuk menjadi
kepala sekolah dengan menetapkan
jumlah kuota kepala sekolah perempuan
sama besar dengan kepala sekolah laki-
laki. Dan dinas pendidikan dapat
membuat pelatihan khusus untuk kepala
sekolah perempuan, yang tujuan nya
melatih mental kepala sekolah
perempuan, dan kepemimpinan
perempuan agar kepala sekolah
perempuan mampu tampil lebih percaya
diri dan mampu mengedepankan
kepentingan umum dibandingkan
persaaannya.

Menurut bapak/ibu kepala Untuk keluar terlalu malam, tidak semua


sekolah perempuan perempuan dapat melakukannya. Semua
pastinya memiliki tergantung individu –individunya. Jika
keterbatasan untuk keluar memang menyangkut hal kedinasan, dan
terlalu malam. Kebijakan selama suami mengizinkan, hal tersebut
apa yang dapat dibuat tidak akan jadi masalah. Namun jika,
oleh dinas pendidikan suami tidak mengizinkannya maka yang
agar hal tersebut dapat terjadi adalah masalah keluarga. Dinas
diminimalisir? pendidikan seharusnya mampu melihat
hal tersbut. Hingga dari awal pemilihan
kepala sekolah, maka suami kepala
sekolah harus terlibat dari awal, terkait
dengan izin suami dalam hal kedinasan
sang istri
Perempuan terkenal Sifat moody dalam diri perempuan
dengan sifat “moody” memang kadang sulit untuk dikendalikan,
nya. Menurut ibu apa karena terkadang itu hadir tanpa disadari.
yang dapat dilakukan oleh Jika memang sifat moody ini masih
dinas pendidikan jika dibatas wajar, saya kira dinas pendidikan
menghadapi kepala tidak perlu langsung turun tangan.
sekolah perempuan yang Namun jika sifat moody nya sudah
memiliki sifat tersebut melewati batas, dan mengganggu dalam
122

dan membawa perasaan kepemimpinannya, dinas pendidikan


dalam kepemimpinannya? dapat melakukan pengarahan dan
pembinaan.
123

Lampiran 6. Transkip Wawancara


1. Transkip wawancara Kepala Sekolah
Hari, Tanggal : Senin, 15 Juni 2021
Waktu : 09.00-11.00
Informan : Kepala Sekolah
Tempat : Ruang Kantor

Fokus Pertanyaan Wawancara Jawaban


Faktor 1. Bagaimana pandangan “ baik perempuan maupun laki-
Keunggulan dan ibu terhadap laki memiliki kesempatan yang
kelemahan kesempatan sama untuk menjadi kepala
kepemimpinan sekolah, pemilihan kepala
perempuan untuk
kepala sekolah sekolah saat ini berdasarkan atas
perempuan menjadi kepala kompetensi yang dimiliki.
sekolah? Untuk menjadi kepala sekolah,
2. Sebagai perempuan, harus terlebih dahulu mengikuti
apakah ada beban pelatihan calon kepala sekolah,
mental yang ibu jika ia dinyatakan lulus dalam
rasakan selama diklat tersebut maka ia akan
memiliki NUKS serta sertifikat
menjadi kepala
“CAKEP” atau calon kepala
sekolah? sekolah. Kemudian mengikuti
3. Menurut ibu, apakah rangkaian tes yang dilaksanakan
perbedaan gender dinas terkait. Maka kesempatan
mempengaruhi dalam untuk menjadi kepala sekolah
sebuah terbuka lebar untuk semua, baik
kepemimpinan? perempuan maupun laki-laki,
selama ia memenuhi persyaratan
4. Selama menjabat
untuk menjadi kepala sekolah.
sebagai kepala
sekolah, bagaimana Selama menjadi kepala
ruang gerak ibu sekolah,tidak ada tekanan
selama ini? apapun. Sebaliknya saya merasa
5. Adakah faktor-faktor tertantng untuk lebih baik lagi
lain yang menguatkan dalam memajukan sekolah yang
saya pimpin untuk menjadi lebih
ibu sebagai kepala
baik.
sekolah
Perbedaaan jenis kelamin
merupakan kodrat yang tidak
dapat dipungkiri, namun dalam
hal kepemimpinan dan
manajemen baik laki-laki
124

maupun perempuan tidak


memiliki perbedaan secara
signifikan.
Ketika saya ingin menyalonkan
diri sebagai kepala sekolah. Hal
pertama yang saya lakukan
adalah konsultasi dengan suami
dan anak-anak. Karena ketika
saya menjadi kepala sekolah ini
akan berimbas kepada peran
saya di dalam keluarga. Hingga
saya mendiskusikannya dengan
suami, jikalau dia memberikan
izin, maka saya pun setuju untuk
menyalonkan diri sebagai kepala
sekolah. Contoh ketika saya
mengharuskan guru-guru untuk
tidak terlambat hadir disekolah.
Maka saya harus memberikan
contoh atau teladan bagi guru-
guru saya. Hingga saya
berangkat lebih pagi dari
biasanya dan hal tersebut
berimbas saya tidak dapat
menemani suami saya untuk
sarapan.
Peran domestik 1. Apakah Kewajiban ibu “Saya menjalan kan peran
sebagai istri dan ibu sebagai istri dan ibu dirumah,
rumah tangga sekaligus menjadi pemimpin di
menghambat tugas ibu sekolah. Saya rasa kedua peran
sebagai kepala sekolah tersebut dapat saya jalankan
2. Apakah faktor sekaligus tanpa ada yang harus
domestik dapat dikesampingkan. Keduanya
menghambat dapat berjalan beriringan dengan
keberhasilan adanya komunikasi yang baik
perempuan? dengan keluarga terutama
3. Apakah suami dan dengan suami, dengan begitu
anak dapat menjadi saya mampu menyeimbangkan
faktor kelemahan atau kedua peran tersebut dengan
malah menjadi faktor baik
kekuatan untuk
pemimpin perempuan? Peran domestic perempuan
memang tidak dapat dipungkiri,
hingga ada stigma bahwa ketika
perempuan bekerja maka ia akan
memiliki peran ganda, yaitu
peran di rumah dan peran diluar.
Namun saat ini, peremuan sudah
125

lebih dimudahkan, banyak


fasilitas-fasilitas yang
memudahkan pekerjaan
perempuan dirumah, baik
dengan memperkerjakan asisten
rumah tangga dan fasilitas diluar
yang lebih praktis. Hingga
waktu perempuan tidak habis
hanya mengerjakan pekerjaan
rumah tangga, namun bisa lebih
produktif. Yang pasti
komunikasi harus terjalin
dengan baik dengan pasangan
atau suami agar lebih
memudahkan perempuan untuk
mengerjakan peran-peran
tersebut sekaligus.

Jika kita mampu


mengkomunikasikan dengan
baik kepada keluarga, baik
suami maupun anak, keluarga
dapat menjadi sumber kekuatan
untuk kita bekerja lebih giat
diluar. malah dengan
mengkomunikasikannya dengan
pasangan ketika ada masalah
disekolah kita mendapatkan
kekuatan baru, tingkat stress
menurun bahkan kita
mendapatkan ide-ide baru untuk
memecahkan masalah yang ada.
Namun jika tidak ada dukungan
dari suami kepada pekerjaan
kita, dan tidak terjalinnya
komunikasi yang baik dengan
suami dan anak. Maka keluarga
bisa menambah masalah yang
ada dan tingkat stress pun lebih
tinggi.
Strereotype 1. Apakah yang “ saya ingin menjadi kepala
gender mendorong ibu untuk sekolah karena ingin
menjadi kepala mengembangkan kompetensi
sekolah? yang saya miliki, membangun
2. Bagaimana tahapan jaringan dan membentuk
ibu menjadi kepala karakter kepemimpinan pada
sekolah? diri saya.
3. Adakah yang
126

mendorong ibu untuk Saya sebelumnya mengajar di


menjadi kepala salah satu SMA di Kalianda,
sekolah? Lampung Selatan. Kemudian
4. Menurut ibu apakah tahun 2013 saya mengurus
kepala sekolah mutasi ke Bandar Lampung, dan
perempuan memiliki saat itu saya di tempatkan di
karakterk yang kuat SMK Negeri 7 Bandar
dan mumpuni sebagai Lampung, Alhamdulillah ketika
kepala sekolah? saya di SMK Negeri 7 Bandar
Lampung saya diamanahi
sebagai wakil kepala sekolah
bidang kurikulum. Disana
memupuk kompetensi
kepemimpinan saya, mencoba
menjadi leader di bidang
kurikulum. Kepala sekolah saya
sangat memotivasi saya saat
itu,dan memberikan semangat
untuk saya mengikuti Pelatihan
Calon Kepala sekolah. Saat
perpindahan wewenang
SMA/SMK dari Kabupaten ke
Provinsi, kemudian Provinsi
membuka kesempatan untuk
seleksi Calon Kepala Sekolah
SMA/SMK, dan saya pun
mengikuti nya, atas izin dan
ridho suami.
Pada prinsipnya perempuan
merupakan sosok yang lemah
lembut, perhatian,dan supel.
Meskipun seorang perempuan
lebih perasa dibanding laki-laki,
namun itu yang membuat
perempuan menjadi lebih peka
atas situasi yang ada. Dan hal
terebut malah membuat
perempuan memiliki kelebihan
dibanding laki-laki dalam
memahami situasi dan kondisi
sekitarnya.. Dia mampu
memimpin bawahannya dengan
lemah lembut namun tegas, peka
atas situasi yang ada, dan lebih
perhatian kepada bawahannya.
Saya merasakan selama
kepemimpinan saya beberapa
tahun ini, saya lebih dekat
127

dengan guru dan staf dengan


kedekatan secara emosional saya
lebih mudah mengarahkan
mereka untuk mencapai tujuan
sekolah. saat ini meski SMK
Negeri 8 baru berdiri selama 7
tahun, tapi secara kuantitas dan
kualitas kami mampu bersaing
dengan sekolah yang telah
berdiri selama puluhan tahun.

Kebijakan/ 1. Sampai saat ini di Saat ini meski secara kuantitas


Model kebijakan/ Provinsi Lampung kepala sekolah perempuan
Budaya patriarki kepemimpinan kepala belum sebanyak kepala sekolah
sekolah perempuan laki-laki, tapi peran perempuan
belum sampai sudah mulai diperhitungkan,
menyentuh angka 30% meski secara kuantitas jumlah
dari total seluruh guru perempuan lebih banyak
kepala sekolah yang dari laki-laki. Hal ini terkendala
ada. Menurut bahwa tidak banyak guru
pandangan ibu, perempuan yang tahu informasi
kebijakan apa yang tentang seleksi pemilihan calon
harus dilakukan oleh kepala sekolah. Hingga saat
dinas pendidikan seleksi calon kepala sekolah,
untuk dapat hanya sedikit guru perempuan
memaksimalkan peran yang mendaftar. Melihat
perempuan sebagai fenomena tersebut, dinas
pemimpin di sekolah? pendidikan harusnya lebih
tanggap dalam
mensosialisasikan kepada
seluruh guru saat mengadakan
seleksi calon kepala sekolah,
agar informasi dapat sampai
kepada seluruh lapisan guru,
tidak terkesan menutup-nutupi.
Kemudian seleksi juga harus
fair, adil dan merata. Hingga
hanya yang memiliki
kompetensi yang layaklah yang
dapat dijadikan calon kepala
sekolah.
Peran Domestik 1. Ketika seorang kepala “ cuti melahirkan adalah setiap
sekolah perempuan wanita pekerja. Tidak terkecuali
melahirkan, meski dia seorang kepala
seyogyanya beliau sekolah. Saat ini di zaman era
akan mendapatkan cuti digital, komunikasi sudah sangat
melahirkan. mudah untuk dilakukan tidak
Bagaimana seorang terhalang oleh jarak dan waktu.
128

kepala sekolah Hingga ketika seorang kepala


melakukan perannya sekolah yang sedang cuti, dia
sebagai kepala sekolah dapat memainkan perannya
pada saat cuti meski dari rumah. Selain itu,
tersebut? kepala sekolah memiliki staf
2. Adakah kebijakan manajemen, yang terdiri dari 4
dinas pendidikan orang wakil kepala sekolah dan
terkait tentang ketua kompetensi keahlian
persoalan tersebut? setiap jurusan, hingga secara
3. Menurut ibu, teknis tanggung jawab setiap
kebijakan apa yang bidang ada di wakil kepala
harus diambil oleh sekolah bidang masing-masing,
dinas pendidikan agar sementara untuk jurusan di
kepala sekolah handle oleh masing-masing
perempuan dapat ketua kompetensi keahlian. Tapi
menyeimbangkan jika ada keputusan yang harus
peran domestik nya dihandle oleh kepala sekolah,
sekaligus perannya maka dapat dilakukan rapat
sebagai kepala secara daring melalui media
sekolah? zoom ataupun yang lainnya.
Hingga tidak menjadi kendala
yang signifikan jika seorang
kepala sekolah harus menjalani
cuti melahirkan.

Sampai saat ini belum ada


kebijakan khusus dari dinas
pendidikan tentang cuti
melahirkan kepala sekolah.
Karena selama ini jarang
ditemui kepala sekolah yang
mengalami proses melahirkan.

Ketika kepala sekolah adalah


seorang perempuan, memang
waktu nya akan lebih banyak
tersita di luar rumah
dibandingkan dia dirumah. Saya
sendiri merasakannya, waktu
saya untuk mengurus suami dan
anak jadi lebih sedikit
dibandingkan ketika saya belum
menjadi kepala sekolah. Untuk
hal tersebut, saya sebelum
menjadi kepala sekolah sudah
mencoba menyampaikannya
kepala suami saya dan meminta
izinnya. Agar nanti ketika saya
129

melakukan peran saya sebagai


kepala sekolah, beliau akan
lebih faham dan memakluminya.
Hingga saya kira penting untuk
dinas pendidikan pada saat
seleksi calon kepala sekolah,
bagi calon kepala sekolah
perempuan untuk membawa
suami dan diminta kesediaannya
agar memberikan keleluasaan
waktu bagi istrinya untuk
melakukan perannya jika dia
terpilih menjadi kepala sekolah.
Walaupun begitu bukan berarti
peran dirumah tangga harus
dideskriditkan. Dengan adanya
komunikasi dua arah atara suami
dan istri, serta izin suami, peran
domestic dan peran disekolah
semua dapat berjalan secara
beriringan, tanpa harus ada yang
di kesampingkan.

Stereotipe gender 1. Selama ini adakah “.. kepala sekolah perempuan


anggapan bahwa memang identik dengan hal
kepala sekolah tersebut, meski pun begitu
perempuan itu lemah, perempuan dapat membuat
pasif, dan perasa? kelemahan tersebut menjadi
2. Menurut ibu kebijakan kelebihannya. Dengan jiwa
apa yang harus di buat perasa nya, dia jadi lebih peka
oleh dinas pendidikan terhadap lingkungannya, dengan
untuk menghilangkan kepekaan tersebut dia dapat
sigma tersebut? menganalisis kebutuhan dan
3. Menurut ibu, sebagai keinginan orang-orang
kepala sekolah disekitarnya dan menjadikannya
perempuan pastinya kekuatan untuk mewujudkan
memiliki keterbatasan visi sekolah.
untuk keluar terlalu
malam. Kebijakan apa Stigma tersebut sudah ada sejak
yang dapat dibuat oleh zaman nenek moyang kita,
dinas pendidikan agar hingga sudah mendarah daging
hal tersebut dapat ke struktur kehidupan
diminimalisir? masyarakat kita. Oleh karena itu
4. Perempuan terkenal bukanlah hal yang mudah untuk
dengan sifat “moody” menghilangkan stigma tersebut.
nya. Menurut ibu apa Tapi selaku dinas pendidikan,
yang dapat dilakukan mereka dapat mengorganisir
oleh dinas pendidikan agar stigma tersebut dapat
130

jika menghadapi berkurang, meskipun tak hilang.


kepala sekolah Dinas pendidikan dapat
perempuan yang memberikan kesempatan lebih
memiliki sifat tersebut banyak kepada perempuan untuk
dan membawa menjadi kepala sekolah dengan
perasaan dalam menetapkan jumlah kuota kepala
kepemimpinannya? sekolah perempuan sama besar
dengan kepala sekolah laki-laki.

Sifat moody dalam diri


perempuan memang kadang
sulit untuk dikendalikan, karena
terkadang itu hadir tanpa
disadari. Jika memang sifat
moody ini masih dibatas wajar,
saya kira dinas pendidikan tidak
perlu langsung turun tangan.
Namun jika sifat moody nya
sudah melewati batas, dan
mengganggu dalam
kepemimpinannya, dinas
pendidikan dapat melakukan
pengarahan dan pembinaan.
131

2. Transkip wawancara Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum


Hari, Tanggal : Rabu, 09/06/2021
Waktu : 09.00-11.00
Informan : Guru
Tempat : Ruang Kantor

Fokus Pertanyaan Wawancara Jawaban


Faktor Keunggulan 1. Bagaimana ‘” secara hukum dan undang-
dan kelemahan pandangan undang kesempatan perempuan
kepemimpinan bapak/ibu terhadap dengan laki-laki untuk menjadi
kepala sekolah kesempatan kepala sekolah adalah sama
perempuan perempuan untuk besar, namun secara prakteknya
menjadi kepala sampai saat ini kepemimpinan
sekolah? perempuan meski diberi
2. Menurut anda peluang namun jumlah masih
sebagai guru apakah terbatas. Hal ini dipengaruhi
perbedaan gender oleh faktor-faktor kultural yang
mempengaruhi sudah melekat pada masyarakat
dalam sebuah kita, yang memandang bahwa
kepemimpinan? perempuan kurang kompeten
3. Selama kepala dalam hal kepemimpinan.
sekolah perempuan Selain itu faktor domestik
menjabat sebagai sangat mempengaruhi, ketika
kepala sekolah di perempuan harus berbagi peran
SMK ini , apakah sebagai pemimpin disekolah,
ruang gerak ibu dan perannya sebagai ibu dan
selama ini terbatas istri dirumah dan itu harus
nggak? melalui kesepakatan dengan
anggota keluarga, terutama
suami.

“sedikit banyak nya antara


kepemimpinan perempuan dan
kepemimpinan laki-laki
mempengaruhi dalam
pengambilan keputusan. Kalau
kepala sekolah laki-laki dalam
mengambil keputusan lebih
tegas, sementara kepala sekolah
perempuan lebih hati-hati, atau
banyak pertimbangan dalam
mengambil keputusan.

“ selama kepemimpinan beliau


dapat dilihat bahwa ruang gerak
beliau tidak terbatas, beliau
132

meski perempuan namun lebih


fleksibel dalam kinerjanya.
Peran domestik 1. Apakah Kewajiban “ terkadang peran istri dan ibu
sebagai istri dan ibu cukup menghambat peran saya
rumah tangga sebagai tenaga pengajar, hal ini
menghambat tugas dikarenakan kurang nya
ibu sebagai guru. komunikasi dan berbagi peran
2. Apakah faktor dengan suami dirumah,
domestik dapat dikarenakan lebih banyak waktu
menghambat yang harus saya habiskan
keberhasilan disekolah, sementara anak-anak
perempuan? masih usia balita yang juga
3. Apakah suami dan membutuhkan banyak
anak dapat menjadi perhatian. Hingga terkadang
faktor kelemahan membuat saya sedikit
atau malah menjadi kewalahan dalam melaksanakan
faktor kekuatan tugas secara bersamaan.
untuk pemimpin
perempuan? ….faktor domestik sangat
mempengaruhi keberhasilan
karir seorang perempuan.
Ketika perempuan diusia
produktif, yang harus
melahirkan dan menyusui akan
sangat sulit bagi dirinya untuk
mengembangkan karirnya.
Tetapi bukan hal yang tidak
mungkin untuk perempuan
tersebut mengembangkan
karirnya, jika dia mendapat
support dan dukungan dari
keluarga terutama suami.
Karena ketika mendapatkan
support dari suami, dia akan
lebih mudah menjalankan peran
gandanya. Baik perannya
dirumah dan perannya sebagai
kepala sekolah. Jadi suami
dapat menjadi faktor kekuatan,
ketika dia memberikan support
dan dukungan penuh kepada
istrinya, namun suami dapat
menjadi faktor kelemahan jika
dia berfikiran sempit, dan tidak
mendukung penuh aktivitas
istrinya diluar.
Strereotype gender 1. Menurut bapak/ibu “…saya kira perempuan juga
apakah perempuan pantas untuk memimpin, seperti
133

cocok dengan layaknya laki-laki. Sebenarnya


menjadi kepala tidak ada perbedaan yang
sekolah? signifikan bagi perempuan
2. Menurut bapak/ibu maupun laki –laki dalam hal
apakah kepala kempimimpinan. Perempuan
sekolah perempuan juga cukup handal dalam hal
memiliki karakter kepemimpinan, hanya saja
yang kuat atau kah peran perempuan di ranah
sebaliknya? public akan sangat tergantung
kepada pasangannya, karena
keterbatasan perempuan,
merupakan sesuatu image, atau
stigma yang sengaja
diperuntukkan oleh masyarakat
kepadanya. Bukan hal yang
bersifat kodrati yang datangnya
dari Tuhan, tapi bentukan dari
masyarakat.

..sebenarnya setiap orang


memiliki karakter yang kuat,
tinggal bagaimana individu
tersebut mengembangkan
karakternya. Apalagi seorang
kepala sekolah, beliau
merupakan sosok pemimpin
yang menjadi panutan, dan
menjadi leader dalam sekolah
tersebut. Kepala sekolah
perempuan merupakan sosok
pemimpin yang lemah lembut
namun mampu bersikap tegas.

Kebijakan/ 1. Sampai saat ini di “ salah satu syarat untuk


Model kebijakan/ Provinsi Lampung menjadi kepala sekolah yaitu
Budaya patriarki kepemimpinan harus memiliki sertifikat calon
kepala sekolah kepala sekolah (CAKEP) dan
perempuan belum NUKS. Keduanya didapat dari
sampai menyentuh pelatihan calon kepala sekolah.
angka 30% dari total Saya kira untuk menaikkan
seluruh kepala jumlah kepala sekolah
sekolah yang ada. perempuan, dinas pendidikan
Menurut pandangan harus melakukan sosialiasi
ibu, kebijakan apa kepada guru-guru, ketika akan
yang harus mengadakan pelatihan calon
dilakukan oleh dinas kepala sekolah. Hingga
pendidikan untuk informasi tersebut sampai ke
dapat mereka, hingga yang berminat
134

memaksimalkan bisa mengikuti pelatihan


peran perempuan tersebut. Terkadang informasi
sebagai pemimpin di tersebut tidak sampai kepada
sekolah? semua guru, hanya beberapa
orang saja yang mengetahuinya.
Atau bisa dengan mewajibkan
guru-guru yang memenuhi
syarat untuk mengikuti
pelatihan calon kepala sekolah
untuk mengikuti pelatihan
tersebut.
Peran Domestik 1. Ketika seorang “ ketika kepala sekolah
kepala sekolah mengalami proses melahirkan,
perempuan maka dia berhak untuk
melahirkan, mendapatkan cuti minimal 40
seyogyanya beliau hari. Saya kira ketika beliau cuti
akan mendapatkan dan tidak ada ditempat maka
cuti melahirkan. bisa dibuatkan Plt kepala
Bagaimana seorang sekolah dari salah satu wakil
kepala sekolah kepala sekolah yang ada, untuk
melakukan perannya menangani tugas beliau selama
sebagai kepala cuti.
sekolah pada saat Sampai saat ini, saya belum
cuti tersebut? pernah mendengar kebijakan
2. Adakah kebijakan dinas terkait cuti melahirkan
dinas pendidikan kepala sekolah.seharusnya
terkait tentang memang dinas sudah mulai
persoalan tersebut? memikirkan solusi atas tersebut.
3. Menurut ibu, Mungkin dengan penunjukkan
kebijakan apa yang Plt sementara saat beliau
harus diambil oleh mengambil cuti yang ditunjuk
dinas pendidikan langsung oleh dinas.
agar kepala sekolah
perempuan dapat Terkait dengan pembagian
menyeimbangkan peran domestik, memang
peran domestik nya sampai saat ini masyarakat kita
sekaligus perannya masih memahami bahwasanya
sebagai kepala wilayah domestik merupakan
sekolah? bagian tugas perempuan.
Namun dengan demikian, jika
seorang perempuan menjadi
kepala sekolah biasanya dia
akan mencari asisten rumah
tangga untuk membantunya
mengerjakan tugas-tugas
wilayah domestik. Hingga dia
tidak terlalu terbebani oleh
tugas rumah tangga, meskipun
135

begitu izin suami adalah hal


yang paling penting apakah dia
mau jika memakan masakan
asisten rumah tangga, bukan
masakan istrinya, ataupun hal-
hal lainnya. Oleh karena itu,
salah satu kebijakan dinas
pendidikan mengenai hal ini,
pada saat seleksi calon kepala
sekolah hendaknya untuk
kepala sekolah perempuan ikut
melibatkan suami, sang suami
harus ikut diwawancarai terkait
kesediaannya memberikan izin
kepada istrinya untuk menjadi
kepala sekolah. karena ketika
suami ridho akan tugas yang
diemban oleh istrinya, maka
sang istri akan lebih mudah
menjalani perannya sebagai
kepala sekolah maupun sebagai
ibu dan istri dirumah.
Stereotipe gender 1. Selama ini adakah “ kepala sekolah perempuan
anggapan bahwa memang perasa, karena
kepala sekolah memang perempuan identik
perempuan itu dengan perasaannya. Namun itu
lemah, pasif, dan yang membuat perempuan lebih
perasa? memahami kondisi
2. Menurut ibu disekelilingnya. Tapi jika
kebijakan apa yang dikatakan kepala sekolah
harus di buat oleh perempuan pasif dan lemah,
dinas pendidikan saya kira itu belum tentu. Bu
untuk Dewi Ningsih membuktikan
menghilangkan bahwa meski dia seorang
sigma tersebut? perempuan, namun beliau
3. Menurut bapak/ibu merupakan wanita yang cukup
kepala sekolah kuat dalam hal kepemimpinan.
perempuan pastinya
memiliki Bicara tentang kebijakan oleh
keterbatasan untuk dinas pendidikan, terkait dengan
keluar terlalu kepala sekolah perempuan saya
malam. Kebijakan kira sampai saat ini belum ada
apa yang dapat tentang kebijakan yang dibuat
dibuat oleh dinas khusus untuk kepala sekolah
pendidikan agar hal perempuan. Saya kira bagus
tersebut dapat jika dinas pendidikan membuat
diminimalisir? pelatihan khusus untuk kepala
5. Perempuan terkenal sekolah perempuan, yang tujuan
136

dengan sifat nya melatih mental kepala


“moody” nya. sekolah perempuan, dan
Menurut ibu apa kepemimpinan perempuan agar
yang dapat kepala sekolah perempuan
dilakukan oleh dinas mampu tampil lebih percaya
pendidikan jika diri dan mampu
menghadapi kepala mengedepankan kepentingan
sekolah perempuan umum dibandingkan
yang memiliki sifat persaaannya.
tersebut dan
membawa perasaan Untuk keluar terlalu malam,
dalam saya kira tidak semua
kepemimpinannya? perempuan dapat
melakukannya. Semua
tergantung individu –
individunya. Jika memang
menyangkut hal kedinasan, dan
selama suami mengizinkan,
saya kira tidak akan jadi
masalah. Namun jika, suami
tidak mengizinkannya maka
yang terjadi adalah masalah
keluarga. Dinas pendidikan
seharusnya mampu melihat hal
tersbut. Hingga dari awal
pemilihan kepala sekolah, maka
suami kepala sekolah harus
terlibat dari awal, terkait dengan
izin suami dalam hal kedinasan
sang istri.
137

3. Transkip wawancara Ketua Program Keahlian


Hari, Tanggal : Rabu, 09/06/2021
Waktu : 09.00-11.00
Informan : Guru
Tempat : Ruang Kantor

Fokus Pertanyaan Wawancara Jawaban


Faktor Keunggulan 1. Bagaimana ‘”kesempatan perempuan
dan kelemahan pandangan ibu dengan laki-laki untuk menjadi
kepemimpinan terhadap kepala sekolah sama besarnya,
kepala sekolah kesempatan itu terlihat dari Undang-undang
perempuan perempuan untuk dan aturan yang mengatur
menjadi kepala syarat menjadi kepala sekolah
sekolah? tidak dibedakan berdasrakan
2. Menurut anda jenis gendernya. Meskipun
sebagai guru apakah begitu perempuan memiliki
perbedaan gender keterbatasan yaitu harus
mempengaruhi berbagi perannya diluar dan
dalam sebuah diranah tempat dia bekerja.
kepemimpinan? Dirumah perempuan dituntut
3. Selama kepala untuk menjadi ibu yang baik,
sekolah perempuan istri yang patuh begitu juga di
menjabat sebagai ranah public perempuan juga
kepala sekolah di dituntuk keaktifannya dan
SMK ini , apakah sebagai kepala sekolah jauh
ruang gerak ibu dituntut waktu yang cukup
selama ini terbatas besar untuk mencurahkan
nggak? tenaga dan fikirannya untuk
kemajuan sekolah. Hal
tersebutlah yang membuat
jumlah perempuan lebih sedikit
dibandingkan dengan laki-laki,
untuk menjadi pemimpin
diruang-ruang public,
khususnya kepala sekolah.

“ gender dalam hal


kepemimpinan saya kira tidak
terlalu berpengaruh banyak,
hanya saja memang perempuan
dalam mengambil keputusan
terlalu banyak hal yang menjdi
bahan pertimbangan, beliau
akan lebih hati-hati dalam
memutuskan sesuatu, dan
138

mencoba mendengarkan
pendapat pihak lain sebelum
keputusan diambil.

“ bicara ruang gerak, ibu Hj.


Dewi sangat fleksibel. hal
tersebut juga dikarenakan
suaminya cukup mendukung
kepemimpinannya. ini saya
lihat, bapak/ atau suami ibu
kadang hadir dalam moment-
moment tertentu disekolah,
bahkan kami bawahannya pun
merasa dekat dengan suami
beliau. Beliau begitu
mendukung karir istrinya.
Peran domestik 1. Apakah Kewajiban “ terkadang peran istri dan ibu
sebagai istri dan ibu cukup menghambat peran saya
rumah tangga sebagai tenaga pengajar, hal ini
menghambat tugas dikarenakan kurang nya
ibu disekolah? komunikasi dan berbagi peran
2. Apakah faktor dengan suami dirumah,
domestik dapat dikarenakan lebih banyak waktu
menghambat yang harus saya habiskan
keberhasilan disekolah, sementara anak-anak
perempuan? masih usia balita yang juga
3. Apakah suami dan membutuhkan banyak
anak dapat menjadi perhatian. Hingga terkadang
faktor kelemahan membuat saya sedikit
atau malah menjadi kewalahan dalam melaksanakan
faktor kekuatan tugas secara bersamaan.
untuk pemimpin
perempuan? Perempuan meski dia bekerja,
bukan berarti perannya dirumah
dapat ia tinggalkan. Peran
tersebut tetap melekat pada
dirinya, meskipun dia bekerja.
Jadi ketika perempuan bekerja,
dia memiliki peran ganda yang
sekaligus dia kerjakan dalam
waktu bersamaan. Berbeda
dengan laki-laki yang waktu
nya dirumah lebih fleksibel.
Perempuan harus mampu
membagi waktu untuk
keduanya. Hingga ketika
perempuan mengembangkan
karirnya, ini akan sangat
139

tergantung kepada pasangan


dari perempuan tersebut, apakah
pasangannya dapat berbagi
peran mereka dirumah. Walau
sebenarnya, tugas rumah
merupakan tugas semua
anggota keluarga, termasuk
suami. tidak hanya tugas istri.
Maka dari itu, suami atau
pasangan dapat menjadi faktor
kekuatan jika pasangannya
mampu mendukung kerja dan
karir perempuan diluar, saling
memahami tugas dan berbagi
tugas rumah. Seperti pepatah
lama yang mengatakan berat
sama dipikul ringan sama
dijinjing. Dengan begitu peran
istri dirumah tidak terlalu
membebaninya, hingga ia dapat
mengembangkan karirnya
ditempat dia bekerja.

Strereotype gender 1. Menurut bapak/ibu “untuk menjadi kepala sekolah


apakah perempuan tidak menutup kemungkinan
cocok dengan menjadi bagi seorang perempuan,
kepala sekolah? selama ia memenuhi syarat dan
2. Menurut bapak/ibu memiliki kompetensi sebagai
apakah kepala sekolah kepala sekolah.
perempuan memiliki
karakter yang kuat atau Karakter perempuan memang
kah sebaliknya? sudah khas, yaitu lemah lembut
dan detail dalam setiap hal.
Saya merasakan saat dipimpin
oleh kepala sekolah perempuan
dan saat dipimpin oleh kepala
sekolah laki-laki. Kepala
sekolah perempuan lebih detail
dalam setiap hal, hingga ketika
mengadakan kegiatan, beliau
akan mencoba menyajikan
segala sesuatu secara
perfeksionis.
Kebijakan/ 1. Sampai saat ini di “kebijakan yang dapat diambil
Model kebijakan/ Provinsi Lampung oleh dinas pendidikan terkait
Budaya patriarki kepemimpinan kepala dengan hal tersebut yaitu
sekolah perempuan belum dengan meningkatkan jumlah
sampai menyentuh angka kuota untuk kepala sekolah
140

30% dari total seluruh perempuan sama besarnya


kepala sekolah yang ada. dengan kepala sekolah laki-laki.
Menurut pandangan ibu, Namun dalam hal ini biasanya
kebijakan apa yang harus kami sering kesulitan
dilakukan oleh dinas mendapatkan informasi tentang
pendidikan untuk dapat adanya pelatihan Calon Kepala
memaksimalkan peran sekolah, atau ketika perekrutan
perempuan sebagai calon kepala sekolah oleh dinas
pemimpin di sekolah? pendidikan. Oleh karena itu,
hendaknya dinas pendidikan
lebih meningkatkan proses
penyebaran informasi terkait
penerimaan seleksi calon kepala
sekolah kepada guru-guru
disatuan pendidikan”.
.
Peran Domestik 1. Ketika seorang “ untuk mendapatkan cuti
kepala sekolah melahirkan merupakan hak
perempuan PNS, jadi kepala sekolah juga
melahirkan, berhak untuk mendapatkan cuti
seyogyanya beliau nya.untuk pelaksanaan tugas
akan mendapatkan kepala sekolah, bisa melakukan
cuti melahirkan. pendelegasian tugas dan
Bagaimana seorang wewenang kepala sekolah
kepala sekolah kepada wakil kepala sekolah
melakukan perannya sesuai bidang masing-masing.
sebagai kepala Namun jika berkaitan dengan
sekolah pada saat kebijakan, tanda tangan kepala
cuti tersebut? sekolah masih bisa terkadang
2. Adakah kebijakan hadir kesekolah. Terkait
dinas pendidikan kebijakan dinas tentang cuti
terkait tentang melahirkan kepala sekolah
persoalan tersebut? sampai sekarang saya belum
3. Menurut ibu, pernah denger, karena
kebijakan apa yang fenomena yang terjadi sampai
harus diambil oleh saat ini belum pernah ada
dinas pendidikan kepala sekolah cuti melahirkan,
agar kepala sekolah karena biasanya perempuan
perempuan dapat yang menjadi kepala sekolah
menyeimbangkan bukan lagi diusia produktif.
peran domestik nya
sekaligus perannya Kebijakan yang dapat dibuat
sebagai kepala oleh dinas pendidikan bisa
sekolah? dengan pembuatan surat
pernyataan kesediaan suami
kepala sekolah dalam
memberikan izin kepada istri
nya untuk melakasanakan tugas
141

nya sebagai kepala sekolah.


karena dengan izin dari suami,
kepala sekolah perempuan akan
lebih fleksibel.

Stereotipe gender 1. Selama ini adakah “ kepala sekolah perempuan


anggapan bahwa memang perasa, karena
kepala sekolah memang perempuan identik
perempuan itu dengan perasaannya. Namun itu
lemah, pasif, dan yang membuat perempuan lebih
perasa? memahami kondisi
2. Menurut ibu disekelilingnya. Tapi jika
kebijakan apa yang dikatakan kepala sekolah
harus di buat oleh perempuan pasif dan lemah,
dinas pendidikan saya kira itu belum tentu. Bu
untuk Dewi Ningsih membuktikan
menghilangkan bahwa meski dia seorang
sigma tersebut? perempuan, namun beliau
3. Menurut bapak/ibu merupakan wanita yang cukup
kepala sekolah kuat dalam hal kepemimpinan.
perempuan pastinya
memiliki Saya belum pernah mendengar
keterbatasan untuk kebijakan tentang hal tersebut.
keluar terlalu Sebagai masukan mungkin
malam. Kebijakan kepala sekolah perempuan
apa yang dapat dapat diberi pelatihan khusus
dibuat oleh dinas untuk meningkatkan
pendidikan agar hal kapabilitasnya untuk
tersebut dapat menghilangkan stigmayang
diminimalisir? memang sudah melekat
4. Perempuan terkenal dimasyarakat. Dengan
dengan sifat kemimpinan perempuan yang
“moody” nya. handal, maka dengan sendirinya
Menurut ibu apa stigma yang sudah berkembang
yang dapat sejak lama, akan menghilang
dilakukan oleh dinas perlahan demi perlahan.
pendidikan jika
menghadapi kepala Untuk keluar terlalu malam,
sekolah perempuan saya kira tidak semua
yang memiliki sifat perempuan dapat
tersebut dan melakukannya. Semua
membawa perasaan tergantung individu –
dalam individunya. Jika memang
kepemimpinannya? menyangkut hal kedinasan, dan
selama suami mengizinkan,
saya kira tidak akan jadi
masalah. Namun jika, suami
tidak mengizinkannya maka
142

yang terjadi adalah masalah


keluarga. Dinas pendidikan
seharusnya mampu melihat hal
tersbut. Hingga dari awal
pemilihan kepala sekolah, maka
suami kepala sekolah harus
terlibat dari awal, terkait dengan
izin suami dalam hal kedinasan
sang istri.
143

4. Transkip Wawancara Guru


Hari, Tanggal : Rabu, 16/06/2021
Waktu : 09.00-11.00
Informan : Guru
Tempat : Ruang Kantor

Fokus Pertanyaan Wawancara Jawaban


Faktor Keunggulan 1. Bagaimana “perempuan dan laki-laki
dan kelemahan pandangan ibu memiliki kesempatan yang
kepemimpinan terhadap sama untuk menjadi kepala
kepala sekolah kesempatan sekolah, hanya saja perempuan
perempuan/ perempuan untuk terkendala oleh keadaan yang
Budaya Patriarki menjadi kepala terkadang membuat dirinya
sekolah? tidak bisa berbuat lebih, waktu
2. Menurut anda yang tersita lebih banyak
sebagai guru apakah dirumah untuk mengerjakan
perbedaan gender aktivitas domestic membuat
mempengaruhi perempuan harus berfikir seribu
dalam sebuah kali sebelum mendaftarkan
kepemimpinan? dirinya menjadi kepala sekolah,
3. Selama kepala kecuali suami mendukungnya
sekolah perempuan untuk mengembangkan karirnya
menjabat sebagai untuk menjadi kepala sekolah.
kepala sekolah di Namun kebanyakan, suami
SMK ini , apakah hanya memberikan izin
ruang gerak ibu kepadanya hanya untuk
selama ini terbatas mengajar saja tidak untuk
nggak? mengembangkan karirnya lebih
tinggi lagi, karena dianggap
untuk mencari nafkah adalah
tugas suami, sementara istri jika
pun bekerja sifatnya hanya
membantu saja bukan hal
utama.

“ gender dalam hal


kepemimpinan saya kira tidak
terlalu berpengaruh banyak,
hanya saja memang perempuan
dalam mengambil keputusan
terlalu banyak hal yang menjdi
bahan pertimbangan, beliau
akan lebih hati-hati dalam
memutuskan sesuatu, dan
mencoba mendengarkan
pendapat pihak lain sebelum
144

keputusan diambil.

“ bicara ruang gerak, ibu Hj.


Dewi sangat fleksibel. hal
tersebut juga dikarenakan
suaminya cukup mendukung
kepemimpinannya. ini saya
lihat, bapak/ atau suami ibu
kadang hadir dalam moment-
moment tertentu disekolah,
bahkan kami bawahannya pun
merasa dekat dengan suami
beliau. Beliau begitu
mendukung karir istrinya.
Peran domestik 1. Apakah Kewajiban Peran istri dan ibu dapat
sebagai istri dan ibu menghambat peran perempuan
rumah tangga yang bekerja diluar. Hal ini
menghambat tugas dikarenakan waktu dan tenaga
ibu disekolah? banyak tersita untuk urusan
2. Apakah faktor rumah tangga. Apalagi jika
domestik dapat perempuan tersebut masih
menghambat dalam usia produktif, atau
keberhasilan memiliki anak usia balita. Maka
perempuan? fokus dan konsentrasinya akan
3. Apakah suami dan lebih ke rumah dan anaknya.
anak dapat menjadi Sementara sesampainya
faktor kelemahan disekolah, fokus dan tenaga
atau malah menjadi perempuan sudah tidak full
faktor kekuatan untuk menjalani aktivitasnya.
untuk pemimpin Jikapun ia tetap bekerja, maka
perempuan? hasilnya pun akan kurang
maksimal. Itulah mengapa
perempuan diusia produktif
akan sangat jarang
mengembangkan karirnya.
Jikapun dia bekerja, maka
biasanya hanya sebatas rutinitas
jarang ada lompatan-lompatan
untuk megembangkan karirnya.
Biasanya jika jam pulang kerja
sudah lebih dari jam 4 sore,
fikiran perempuan akan mulai
tidak tenang, mereka akan lebih
memikirkan kondisi rumah,dan
tidak fokus pada pekerjaan
mereka

Perempuan meski dia bekerja,


145

bukan berarti perannya dirumah


dapat ia tinggalkan. Peran
tersebut tetap melekat pada
dirinya, meskipun dia bekerja.
jadi ketika perempuan bekerja,
dia memiliki peran ganda yang
sekaligus dia kerjakan dalam
waktu bersamaan. Berbeda
dengan laki-laki yang waktu
nya dirumah lebih fleksibel.
perempuan harus mampu
mmbagi waktu untuk keduanya.
Hingga ketika perempuan
mengembangkan karirnya, ini
akan sangat tergantung kepada
pasangan dari perempuan
tersebut, apakah pasangannya
dapat berbagi peran mereka
dirumah. Bagaimanapun , tugas
rumah merupakan tugas semua
anggota keluarga, termasuk
suami. tidak hanya tugas istri.
Maka dari itu, suami pasangan
dapat menjadi faktor kekuatan
jika pansangannya mampu
mendukung kerja dan karir
perempuan diluar, saling
memahami tugas. Namun jika
sang suami berfikiran sempit,
hal tersebut akan menjadi faktor
kelemahan untuk perempuan
mengembangkan karirnya
diluar.
Strereotype gender 1. Menurut bapak/ibu Untuk menjadi kepala sekolah
apakah perempuan saya kira, siapa saja bisa tidak
cocok dengan harus laki-laki. Saat ini sudah
menjadi kepala banyak perempuan menjadi
sekolah? kepala sekolah, meskipun
2. Menurut bapak/ibu secara kuantitas belum
apakah kepala sebanding jumlahnya dengan
sekolah perempuan laki-laki. Namun keberadaan
memiliki karakter perempuan sudah diakui dan
yang kuat atau kah mumpuni menjadi kepala
sebaliknya? sekolah.Karakter merupakan
sesuatu yang menjadi kebiasaan
pada diri seseoarang. Karena
pembiasaan dari masyarakat
kita yang membentuk
146

stereotype pada perempuan


sejak kecil, hingga itu menjadi
pembiasaan dan akhirnya
menjadi sesuatu karakter pada
diri perempuan. Hingga
perempuan lebih cenderung
dikatakan lebih perasa, cerewet,
dan lebih emosional. Jika
dipandang secara utuh,
sebenarnya karakter tersebut
menjadi ciri khas perempuan
yang mampu membuat nya
lebih bisa memahami
lingkungannya secara seksama,
hingga dalam hal
kepemimpinan beliau jadi
mampu menegur dengan cara
elegan, lembut namun mengena
Kebijakan/ 1. Sampai saat ini di “secara kuantitas jumlah guru
Model kebijakan/ Provinsi Lampung perempuan lebih banyak dari
Budaya patriarki kepemimpinan pada guru laki-laki, namun
kepala sekolah memang ketika untuk menjadi
perempuan belum kepala sekolah hanya sedikit
sampai menyentuh perempuan yang ingin dan mau
angka 30% dari total menjadi kepala sekolah. Hal
seluruh kepala tersebut dikarenakan perempuan
sekolah yang ada. merasa tidak perlu
Menurut pandangan mengembangkan karirnya
ibu, kebijakan apa sampai kesana, karena
yang harus terkadang ada suami yang
dilakukan oleh dinas hanya mengizinkan istrinya
pendidikan untuk hanya untuk mengajar saja,
dapat selebihnya ia harus mengurus
memaksimalkan keluarga. Anggapan bahwa istri
peran perempuan peran nya membantu ekonomi
sebagai pemimpin di keluarga, bukan sebagai tulang
sekolah? punggung. Hingga perempuan
tidak harus bekerja terlalu lama
diluar rumah.
Dengan paradigm berfikir
begitu, dinas pendidikan
harusnya lebih membuka cara
berfikir guru-guru perempuan,
dengan mengadakan pelatihan
kepemimpinan khusus guru
perempuan, selain itu informasi
yang berkaitan dengan seleksi
calon kepala sekolah juga harus
147

sampai ke seluruh kalangan


guru, tidak hanya segelitintir
orang saja.
Peran Domestik 1. Ketika seorang “ Saat ini kondisi zaman sudah
kepala sekolah semakin praktis, komunikasi
perempuan bisa dilakukan dimana pun, dan
melahirkan, kapan pun. Jadi ketika kepala
seyogyanya beliau sekolah cuti, maka dia dapat
akan mendapatkan memberikan wewenangnya
cuti melahirkan. kepada wakil kepala sekolah.
Bagaimana seorang dan komunikasi harus tetap
kepala sekolah berjalan meski jarak jauh.
melakukan perannya Sampai saat ini belum ada
sebagai kepala kebijakan yang dibuat oleh
sekolah pada saat dinas pendidikan terkait dengan
cuti tersebut? kepala sekolah cuti melahirkan.
2. Adakah kebijakan
dinas pendidikan Kalau tentang peran domestik
terkait tentang perempuan, kepala sekolah
persoalan tersebut? perempuan bisa mencari asisten
3. Menurut ibu, rumah tangga yang dapat
kebijakan apa yang membantu kerjanya dirumah.
harus diambil oleh Namun tentang kebijakan yang
dinas pendidikan dapat diambil oleh dinas
agar kepala sekolah pendidikan mungkin bisa
perempuan dapat dengan melibatkan suami
menyeimbangkan kepala sekolah, karena biasanya
peran domestik nya jika suami memberi izin maka
sekaligus perannya kepala sekolah perempuan juga
sebagai kepala lebih mampu memanajemen
sekolah? waktunya antara rumah dan
sekolah.

Stereotipe gender 1. Selama ini adakah “ kepala sekolah perempuan


anggapan bahwa memang perasa, karena
kepala sekolah memang perempuan identik
perempuan itu dengan perasaannya. Namun itu
lemah, pasif, dan yang membuat perempuan lebih
perasa? memahami kondisi
2. Menurut ibu disekelilingnya. Tapi jika
kebijakan apa yang dikatakan kepala sekolah
harus di buat oleh perempuan pasif dan lemah,
dinas pendidikan saya kira itu belum tentu. Bu
untuk Dewi Ningsih membuktikan
menghilangkan bahwa meski dia seorang
sigma tersebut? perempuan, namun beliau
3. Menurut bapak/ibu merupakan wanita yang cukup
kepala sekolah kuat dalam hal kepemimpinan.
148

perempuan pastinya
memiliki Kemampuan kepemimpinan
keterbatasan untuk perempuan harus terus
keluar terlalu ditingkatkan, salah satu cara
malam. Kebijakan yang dapat ditempuh yaitu
apa yang dapat dengan melalui pelatihan
dibuat oleh dinas kepemimpinan kepala sekolah
pendidikan agar hal khusus perempuan. Dengan
tersebut dapat begitu, diharapakan
diminimalisir? kepemimpinan kepala sekolah
4. Perempuan terkenal perempuan dapat mengatasi
dengan sifat kendala-kendala
“moody” nya. kepemimpinannya, dan dapat
Menurut ibu apa memajukan sekolah yang
yang dapat mereka pimpin. Maka secara
dilakukan oleh dinas otomatis stigma yang
pendidikan jika mengatakan kepemimpinan
menghadapi kepala perempuan itu lebih pasif,
sekolah perempuan perasa dan moody akan hilang
yang memiliki sifat dengan sendirinya dibuktikan
tersebut dan oleh fakta.
membawa perasaan
dalam
kepemimpinannya?
149

5. Transkip Wawancara Peserta Didik


Hari, Tanggal : Kamis, 22/06/2021
Waktu : 08.00-10.00
Informan : Peserta Didik
Tempat : Ruang Osis

Fokus Pertanyaan Wawancara Jawaban


Faktor Keunggulan 4. Bagaimana “Kepala sekolah perempuan itu
dan kelemahan pandangan kamu ramah, supel, tapi ya cerewet.
kepemimpinan sebagai siswa Beliau kalau ada siswa yang
kepala sekolah tentang kepala melakukan kesalahan pasti
perempuan sekolah perempuan? beliau akan memberikan
pengarahan dan arahan agar
5. Bagaimana siswa tidak melakukan
menurutmu kepala kesalahan yang sama.
sekolah perempuan
dalam memimpin? “kepala sekolah perempuan
lebih cerewet, tapi beliau selalu
memperhatikan kami siswanya
agar belajar lebih nyaman.
Kepala sekolah perempuan
lebih perhatian dan penataan
sekolah sekarang lebih baik
ketika beliau menjadi kepala
sekolah

.
Peran domestik 4. Bagaimana kehadiran “ ibu kepala sekolah hadir pagi-
kepala sekolah pagi sekali, ketika saya hadir
disekolah? disekolah beliau sudah ada
5. Apakah beliau aktif dipagar untuk menyambut
dalam kegiatan yang di kehadiran siswa-siswi yang
adakan disekolah? dating. Saya merasa disambut
dengan begitu.

“setiap kegiatan sekolah beliau


selalu ada, dan membuka acara.
Kalau upacara saja, meski
beliau bukan Pembina upacara
beliau selalu ada dibarisan guru
untuk mengikuti upacara
bendera.
Strereotype gender 3. Menurut kamu apakah “cocok saja. Kepala sekolah
perempuan cocok perempuan memang cerewet
dengan menjadi kepala tapi beliau perhatian”
150

sekolah?
4. Menurut kamu apakah “kepala sekolah perempuan itu
kepala sekolah nggak jauh beda sama kepala
perempuan memiliki sekolah laki-laki, mereka sama-
karakter yang kuat atau sama mampu memimpin, sama
kah sebaliknya? seperti ketua osis, kami kadang
lebih nyaman dipimpin oleh
ketua osis perempuan, karena
mereka melaksanakan kegiatan
selalu detail”
Kebijakan/ 2. Bagaimana kepimpinan “kepala sekolah selalu hadir
Model kebijakan/ kepala sekolah selama ini dalam setiap moment, selalu
Budaya patriarki kamu lihat? mampu memotivasi kami siswa-
siswinya untuk berprestasi
dalam setiap kesempatan ketika
beliau menyampaikan pendapat
beliau, bahkan beliau selalu
mendukung kegiatan yang akan
kami lakukan. Beliau juga
pendengar yang baik, jika kami
mengeluh tentang guru dan
keadaan sekolah, bahkan kami
punya group khusus
berkomunikasi dengan kepala
sekolah”
Peran Domestik 1. Apakah menurut kamu “saya kira kegiatan di rumah
peran beliau di rumah tidak akan mengganggu
akan mengganggu aktifitas beliau disekolah, hal
kegiatan beliau tersebut terbukti kehadiran
disekolah? beliau yang selalu mendahului
kami, saya saja terkadang malu
ketika kepala sekolah hadir
lebih dulu dibanding kami dan
menyambut kedatangan kami
kesekolah, rasa nya luar biasa.
Beliau sosok yang mampu
menjadi panutan”
Stereotipe gender 5. Selama ini adakah “ tidak ada, beliau sama
anggapan bahwa kepala aktifkanya dengan kepala
sekolah perempuan itu sekolah laki-laki. Setiap ada
lemah, pasif, dan moment beliau akan selalu hadir
perasa? dan memberikan motivasi untuk
kami”
151

Lampiran 7. Diagram Hipotetik Implementasi Kebijakan Normatif


Mengatasi Kelemahan Kepemimpinan Kepala Sekolah Perempuan

Prinsip- Pemilihan
Masalah Identifikasi
prinsip model
Model Kebijakan
Kebijakan Kebijakan

Akuntabilitas
Tidak adanya penerimaan calon
diskriminasi dalam kepala sekolah
Kelemahan seleksi penerimaan Pembuatan surat
dan calon kepala pernyataan dukungan
kekuatan sekolah dari keluarga Model
Kepemimpin Mengeliminer Peningkatan Kebijakan
an kepala hambatan normatif kapabilitas kepala Normatif
sekola (hambatan sosial, sekolah perempuan
perempuan budaya dan agama) melalui pelatihan
khusus kepala sekolah
perempuan

Norma Budaya
Norma sosial
Norma Agama

Model Implementasi Kebijakan Normatif Mengatasi kelemahan


kepemimpinan kepala sekolah perempuan
152

Lampiran 8. Surat Izin Penelitian


153

Lampiran 9. Surat Balasan Penelitian


154

Lampiran 10. Profil SMK Negeri 8 Bandar Lampung


155

Lampiran 11. Surat Undangan Rapat Team Manajemen


156

,Lampiran 12. Daftar Hadir Rapat Team Manajemen


157
158

Lampiran 13. Program Kerja Kepala sekolah 2020/2021


159
160

Lampiran 14. Daftar DUK Kepegawaian SMK N.8 Bandar Lampung


161
162

Lampiran 15. Daftar Hadir Pegawai


163
164

Lampiran 16. Denah Gedung SMK Negeri 8 Bandar Lampung


165

Lampiran 17. Struktur Organisasi SMK Negeri 8 Bandar Lampung


166

Lampiran 18. Foto-foto Penelitian

Foto saat rapat koordinasi yang dihadiri oleh kepala sekolah, wakil kepala sekolah,
dan guru SMK Negeri 8 Bandar Lampung

Foto saat wawancara dengan Kepala Sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung
167

Foto saat wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah SMK Negeri 8 Bandar Lampung

Foto saat wawancara dengan Guru SMK Negeri 8 Bandar Lampung


168

Foto saat SMK Negeri 8 Bandar Lampung menerima team PT. Micro Madani
Institute sebagai Juara 1 tingkat nasional pada event lomba MEA (Madani
Entereprenur Akademi)

Foto Kegiatan Full Assesment Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) SMK Negeri 8 Bandar
Lampung oleh BNSP
169

Foto Kegiatan Penyerahan Sertifikat LSP SMK Negeri 8 Bandar Lampung oleh Team BNSP
170

Foto Kegiatan Kampanye ayo menabung yang di selenggarakan oleh Bank Indonesia di SMK
Negeri 8 Bandar Lampung

Foto Kegiatan Witness Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) SMK Negeri 8 Bandar Lampung
171

Foto Kepala sekolah dengan staff tata usaha SMK Negeri 8 Bandar Lampung

Foto kebersamaan Kepala Sekolah dengan staff tata Usaha SMK Negeri 8 Bandar Lampung

Anda mungkin juga menyukai