Anda di halaman 1dari 3

Apakah ada manusia waras yang tidak ingin bahagia?

Sepertinya pertanyaan itu


kurang masuk akal. Toh siapa yang mendambakan derita dalam kehidupan yang fana ini.
Namun adakah yang menyadari bahwa bahagia itu justru bisa menjadi masalah.
Sekitar dua ribu lima ratus tahun yang lalu, di kaki bukit Himalaya, yang sekarang
dikenal dengan sebutan Nepal, tinggallah di sebuah istana megah, seorang raja yang
menunggu kelahiran anaknya.
Dia sangat menantikan sang buah hati yang nanti akan meneruskan takhtanya. Namun
sebelum anak itu lahir, seorang pertapa meramalkan bahwa kelak ia akan menjadi seorang
Buddha. Sebab itu, sang raja memiliki satu tekad: ia akan membuat hidup anaknya sempurna.
Semua kebutuhan dan keinginan sang anak dipenuhi oleh raja. Semuanya tanpa
terkecuali. Sesuai dengan keinginan ayahnya, anak itu sungguh tidak pernah merasa
kekurangan, apalagi penderitaan. Ada banyak pembantu dan dayang-dayang yang
dipekerjakan khusus untuk melayani sang putra mahkota. Raja melakukan ini agar anaknya
merasa sangat betah tinggal di istana sehingga nanti bersedia untuk meneruskan takhta.
Dengan menjauhkan segala penderitaan darinya, Raja berharap dia tidak pernah
kepikiran untuk menjadi Buddha.
Anak itu bagai hidup di surga hingga dia dewasa. Raja membangun tembok tinggi
yang mengelilingi istana. Agar anaknya tidak bisa melihat kehidupan luar yang penuh
penderitaan. Bahkan setelah menikah, sang putra mahkota tidak pernah mendengar apalagi
merasakan suatu hal yang dinamai dengan penderitaan.
Masalahnya kemudian, lama kelamaan sang pangeran merasa bosan. Mulai
merasakan kalau hidupnya payah dan tidak berarti apa-apa. Semua uang dan fasilitas yang
diberikan, tampak tidak pernah terasa cukup, tidak pernah berarti apa pun.
Di suatu malam yang gelap, putra mahkota menyelinap keluar istana. Penasaran,
sebenarnya apa yang ada di balik tembok tinggi itu.
Untuk kali pertama dalam hidupnya, putra mahkota menyaksikan penderitaan. Dia
melihat banyak orang sakit, lanjut usia, kelaparan, gelandangan, dan orang-orang yang
sekarat.
Sang putra mahkota kembali ke istana dan merasakan semacam krisis eksstensial. Dia
merasa galau dan tidak berdaya karena tidak mampu mencerna apa yang baru saja ia
saksikan. Kemudian, dia menyalahkan ayahnya. Selama ini dia menanggung perasaan gundah
akan hidup yang tak berarti. Dan pikirnya, itu semua karena kekayaan.
Malam berikutnya, putra mahkota kembali menyelinap keluar istana. Akan tetapi kali
ini, dia tidak pernah kembali. Dia keluar untuk ikut merasakan penderitaan. Harapannya
adalah dia bisa menemukan makna kehidupan. Pergilah dia berkelana untuk mencari tahu
tentang tujuan akhir dunia yang sebenarnya, bagaimana kehidupan yang sempurna, dan
berbagai pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Seperti yang direncanakan, sang putra mahkota berubah menjadi gelandangan miskin
yang tidak punya apa-apa. Setiap hari kelaparan dan tidak punya rumah untuk istirahat. Tidak
jarang dia hanya memakan sebutir kacang dalam satu sampai tiga hari. Tubuhnya mulai
didatangi penyakit. Sedangkan keadaannya masih sendiri, sepi, dan memburuk.
Beberapa tahun berlalu. Kemudian berlalu beberapa tahun lagi. Namun ternyata, tidak
ada yang terjadi. Omong kosong dengan pencerahan yang ia cari melalui derita.
Kesengsaraan ini tidak mengajarkan apa-apa. Bahkan sekarang ia sadar: kalau penderitaan
sangatlah menyebalkan.
Dalam kondisi benar-benar bingung, dia menghentikan langkah dan duduk di bawah
sebuah pohon di pinggir sungai. Ia akan memikirkan rencana ke depannya.
Seperti dikisahkan dalam legenda, si putra mahkota yang bingung itu bertapa di
bawah pohon selama 49 hari. Tentu kita tidak perlu terlalu memikirkan apakah ada orang
yang bisa hanya duduk selama 49 hari tanpa melakukan apa-apa. Akan tetapi, yang menjadi
perhatian kita adalah hasil dari pertapaannya itu.
Bahwa sang putra mahkota akhirnya menyadari: hidup itu adalah sebuah bentuk
penderitaan. Orang kaya menderita karena kekayaannya. Orang miskin menderita karena
kekurangannya. Orang cerdas menderita karena kecerdasannya. Orang yang gendut
menderita karena berat badannya. Dan begitu seterusnya.
Terlepas dari beban masing-masing penderitaan itu yang jelas berbeda, tapi intinya
kita akan tetap merasakan penderitaan, bagaimanapun kondisinya.
Tahun demi tahun berlalu, sang putra berkeliling menyebarkan bangunan filosofinya
sendiri dan menyebarkan ke seluruh dunia. Prinsip pertama dan utamanya: rasa sakit dan
penderitaan tidak dapat dielakkan dan kita harus belajar untuk menghadapinya, bukan
menolaknya. Sang putra mahkota itu kemudian dikenal sebagai Buddha.
Dari sisi lain, Islam memaknai kebahagiaan di dunia sebagai akumulasi dari rasa
syukur.
Kita menyadari dan mengakui kalau bahagia dan sengsara akan datang silih berganti.
Rasa-rasanya kita tidak akan lepas dari kedua hal itu sepanjang umur. Bagaimanapun
keadaan kita. Bergelimang harta, tertekuk kelaparan, dikenal semua orang, atau tidak punya
impian, kita tetap akan dihampiri oleh bahagia dan derita. Masalah dan solusi. Kelebihan dan
kekurangan. Bahkan jika super hero itu benar-benar ada, apa pun jenis kekuatan yang dia
punya, tetap saja masalah akan menghampiri kehidupannya.
Tidak ada yang bisa mengendalikan bahagia dan derita kecuali Dia Yang Maha
Kuasa. Akan tetapi, kita bisa mengendalikan perasaan dan mempersiapkan diri untuk
menghadapi semuanya dengan cara yang paling baik. Jalan yang paling menyenangkan.
Menghadapi lika-liku kehidupan dengan ringan. Dengan rasa syukur yang senantiasa
melapangkan dada kita.
Percaya bahwa semua bahagia dan derita itu datang dari Allah Yang Maha
Penyayang. Yakin bahwa selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Selalu berusaha dengan
sekuat tenaga menghadapi masalah lalu hanya kepada-Nya diri kita berserah.
Tanpa rasa syukur, maka semua yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa. Tahukah
kamu kenapa ada banyak orang kaya yang mencuri uang, ada banyak pejabatan yang enggan
turun takhta, dan berbagai perilaku rakus yang merusak lainnya? Tentu karena tabiat manusia
yang tidak pernah merasa cukup.
Tentu perasaan tidak pernah merasa cukup itu adalah penyakit. Untung saja bahwa
setiap penyakit ada obatnya. Dan obat dari penyakit itu adalah bersyukur.

Wallahu A’lam

Anda mungkin juga menyukai