Anda di halaman 1dari 2

27.740 Hari, Kawan.

Oleh: Awaluddin (HMI Cabang Malang)

Sudah 63 menit 3600 detik aku mendekap di Warung Kopi.


Merenung di depan layar, memikirkan dari mana sajak ini akan dimulai.
Entah karena panjangnya perjalanan Rumah Hijau Hitam itu
atau jangan-jangan perjalanannya ternyata sudah usai.

Seperti puisi ini, HMI bak kertas yang dicoret bukan dengan sekelap mata
Beragam warna tinta sudah merayap usia tuanya.

Dua Puluh Tujuh Ribu tujuh Ratus Empat Puluh Hari, kapal itu sudah berkelana.
Senyum, tawa, tangis, dari berguling, duduk, merangkak, hingga lari, jatuh dan bangun
Ia rasakan.

Khidmahnya amat berlimpah.


Sekitar Tujuh Ratus Lima Puluh Bulan yang lalu
Seorang lelaki mengayuh sepeda tuanya, marah tak terima tambahan syarat masuk ke rumah hijau
hitam harus pandai membaca Al-Qur’an.
Hapuslah peraturan itu, biarkan rumah ini tetap menjadi tempat belajar bagi siapa pun, tugas kitalah
mengajarkan yang tak pandai itu, katanya.
Cita-citanya membumi. Semata tak ingin rumah ini menjadi milik kelas tertentu.
Lafran Pane namanya, pemrakarsa berdirinya Himpunan itu.

Dua Puluh Tujuh Ribu Tujuh Ratus Empat Puluh Hari lamanya mengembara
Meski hujan dan badai mendera, darinya tetap tumbuh jutaan mutiara

Sebentar lagi ia akan berlabuh pada senjakala satu abad


Seperti Puisi ini, Khidmah itu akan terus berlanjut, walaupun besok kiamat tiba.
Terus mencetak insan cita; Pengabdi, Pencipta, Bernafaskan Islam, dan Bertanggung Jawab.
Kawan,
Kita...
Tak boleh terlalu romantik menyoret papan tulis
Bertapa di sudut-sudut training
Kita...
Tak boleh terlalu bersenggama dengan teori
Berlindung di bawah ketiak sejarah

Kawan...
Saatnya serempak, merapatkan shaff, seirama melangkah,
Mewujudkan Keadilan, Melindungi Mustad’afiin.
Nyalakan lagi cahaya dari desa di ujung Sabang hingga garis perbatasan di Merauke.

Oh, Dua Puluh Tujuh Ribu Tujuh Ratus Empat Puluh Hari.
Kami datang, rengkuhlah Kami dalam Khidmat untuk Masa Depan.

Anda mungkin juga menyukai