Anda di halaman 1dari 29

Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.

com/

Negeri 5 Menara
Oleh : Ahmad Fuadi

Ebook : Dewi KZ http://kangzusi.com/


http://dewi- kz.info/ http://kang-zusi.info
http://cerita-silat.co.cc/

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

Pesan dari Masa Silam


W ashingt on DC, Desember 2003, jam 16.00
Iseng saja aku mendekat ke jendela kaca dan menyent uh
pe rmukaannya dengan ujung telunjuk kananku. Haw a dingin
segera menjalari w ajah dan lengan kananku. Dari ba lik kerai
t ipis di lant ai empat ini, salju t ampak t urun menggumpal-
gumpal sepert i kapas yang dituang dari langit. Ketukan-
ketukan halus terdengar set iap gumpal salju menye nt uh kaca
di de panku. Mat ahari sore menggant ung condong ke barat
be rbent uk piring put ih susu.
T idak jauh, t ampak T he Capitol, gedung parlemen Amerika
Se rikat yang anggun putih gading, be rgaya klasik de ngan
t onggak-t onggak besar. Kubah raksasanya yang be rundak-
undak semakin memut ih dit aburi salju, bagai mengenakan
kopiah haji. Di de pan gedung ini, hamparan pohon american
elm yang biasanya rimbun kini t inggal dahan-dahan t anpa
daun yang dibalut serbuk es. Sudah 3 jam salju t urun. T anah
bagai dilingkupi pe rmadani put ih. Jalan raya yang lebar-lebar
mulai dipadati mobil karyawan yang be ringsut -ingsut pulang.
Berbaris sepert i semut. Lampu rem yang hidup-mat i-hidup-
mati memantul merah di salju. Sirine polisi—atau ambulans—
sekali-sekali mengge rt ak diselingi bunyi klakson.
Udara hangat yang berbau agak hangus dan kering
menderu-deru keluar dari alat pemanas di ujung ruangan.
Mesin ini mengge ram-geram karena bekerja maksimal. W alau
be git u, badan setelan melayuku t etap menggigil melaw an
suhu yang anjlok sejak be berapa jam lalu. T elevisi di ujung
ruang kant or menayangkan Weather Channe l yang mencat at
suhu di luar minus 2 de rajat celcius. Lebih dingin dari secaw an
es t ebak di Pasar Ateh, Bukitt inggi.

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

Aku suka dan benci de ngan musim dingin. Benci karena


harus membebat diri dengan baju tebal yang berat . Yang lebih
menyebalkan, kulit t ropisku be rubah kering dan gat al di sana-
sin i. T api aku selalu t erpesona melihat bangunan, pohon,
t aman dan kota diselimut i salju put ih be rkilat-kilat. Rasanya
tenteram, ajaib dan aneh. Mungkin karena sangat berbeda
de ngan alam kampungku di Danau Man injau yang serba biru
dan hijau. Se telah dipik ir-p ikir, aku siap gat al daripada
melewatkan pesona w int er t ime seperti hari ini.
Kant orku berada di Inde pendence Avenue, jalan yang selalu
riuh de ngan pe jalan kaki dan lalu lint as mobil. Diapit dua
tempat t ujuan w isat a t erkenal di ibukot a Amerika Se rikat, T he
Capitol and T he Mall, t empat be rpusatnya aneka museum
Smit hsonian yang t idak bakal hab is d ijalani sebulan. Posisi
kantorku hanya sepelemparan bat u dari di T he Capitol,
be berapa be las menit naik mobil ke kant or George Bush di
Gedung Put ih, kant or Colin Powell di Department of St ate,
markas FBI, dan Pent agon. Lokasi imp ian banyak w art aw an.
W alau dingin mencucuk tulang, hari ini aku lebih
be rsemangat dari biasa. Ini hari t erakhirku masuk kant or
sebelum te rbang ke Eropa, unt uk tugas dan sekaligus urusan
pribadi. T ugas liput an ke London untuk w aw ancara dengan
T ony Blair, pe rdana ment eri Inggris, dan misi pr ibadiku
menghadiri undangan T he W orld Inter-Fait h Forum. Bukan
sebagai pe liput , t api sebagai salah satu panelis. Se bagai
w art aw an asal Indone sia yang berkantor di AS, kenyang
meliput isu muslim A merika, t ermasuk serangan 11 September
2001.
Kamera, digital reco rder, dan t iket aku be namkan ke ransel
National Geographic hijau pupus. Semua lengkap. Aku jangkau
gantungan baju di dinding cubicie-ku. Jaket hitam selut ut aku
kenakan dan syal cashmer cokelat tua, aku be bat kan di lehe r.
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

Oke, semua be res. T anganku sege ra be rgerak melipat layar


Apple Pow erBook-ku yang berw arna perak.
Ping… bunyi halus dari messenge r menghent ikan t anganku.
Layar be rbahan t it anium kembali aku kuakkan. Se buah pesan
pe nde k muncul be rkedip-kedip di ujung kanan monitor. Dari
seorang be rnama “Bat ut ah”. T api aku t idak kenal seorang
“Batut ah” pun.
“maaf, ini alif dari pm?” Jariku ce pat menekan t ut s. “bet ul,
ini siapa, ya?”
Diam sejenak. Sebuah pesan baru muncul lagi. “alif anggota
pasukan Sahibul Menara?” Jant ungku mulai be rdegup lebih
cepat. Jariku menari ligat di ke yboard.
“benar, ini siapa sih!!” ba lasku mulai t idak sabar. “menara
keempat, ingat gak?”
Se kali lag i aku eja lambat-lambat… me-na-ra ke-em-
pat ….T idak salah baca. Jant ungku seperti ditabuh cepat .
Pe rut ku t erasa dingin. Sudah lama sekali.
Aku bergegas menghent ak-he nt akkan jari:
“masya Allah, ini ente, at ang bandung? sut radara Batut ah?”
“alhamdulillah, akhirnya ket emu juga saudara
seperjuanganku….
“atang, di mana ent e sekarang?”
“kairo.”
Belum sempat aku menget ik lagi, bunyi ping terdengar
be rkali-kali. Pe san de mi pesan masuk bertubi-t ubi.
“ana lihat nama e nt e jadi panelis di london minggu depan.”

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

“ana juga datang mewakili a l azhar unt uk ngomongin pe ran


muslim melayu di negara arah”
“kit a bisa reuni euy. raja kan juga di london.”
“kit a suruh dia jad i guide ke t rafalgar square seperti yang
ada di buku reading di ke las t iga dulu.”
Aku tersenyum. Pikiranku langsung t erbang jauh ke masa
lalu. Masa yang sangat kuat terpatri dalam hatiku.

Keputusan Set engah Hat i


Aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri set ingkat
SMP. Sambil mengguncang-guncang telapak t anganku, Pak
Sikumbang, Kepala Se kolahku membe ri selamat karena nilai
ujianku t ermasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam.
Tepuk t angan murid, orang t ua dan guru riuh mengepung
aula. Muka dan kupingku bersemu merah t api jant ungku
melonjak-lonjak g irang. Aku tersenyum malu-malu ket ika Pak
Sikumbang menyorongkan mik ke mukaku. Dia menunggu.
Sambil menunduk aku paksakan bicara. Y ang keluar dari
kerongkonganku cuma bisikan lirih y ang be rgetar karena
gugup, “Emmm… terima kasih banyak Pak… It u saja…”
Suaraku layu t erce kat . T anganku dingin.
Nila iku adalah t iket untuk mendaft ar ke SMA terbaik di
Bukitt inggi. T iga t ahun aku ikut i perint ah Amak1 belajar d i
madrasah t sanaw iyah2, sekarang w akt unya aku menjadi
sepert i orang umumnya, masuk jalur non agama—SMA . Aku
bahkan sudah berjanji de ngan Randai, kaw an de kat ku di
madrasah, unt uk sama-sama pe rgi mendaftar ke SMA.
Alangkah bangganya kalau bisa b ilang, saya anak SMA
Bukitt inggi.

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

Beberapa hari sete lah eforia kelulusan mulai kisut , Amak


mengajakku duduk di langkan rumah. Amakku seorang
pe rempuan berbadan kurus dan mungil. W ajahnya sekurus
badannya, dengan sepasang mata yang be rsih yang dinaungi
alis t ebal. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa saja.
Kalau keluar rumah selalu menggunakan baju kurung yang
dipadu dengan kain at au rok panjang. T idak pernah celana
panjang. Kepalanya selalu ditutup songkok dan di lehe rnya
tergant ung selendang.
Dia menamatkan SPG bertepat an dengan pemberont akan
G30S, sehingga negara yang sedang kacau t idak mampu
segera mengangkatnya jadi guru. Amak t erpaksa menjadi guru
sukarela yang hanya dibayar de ngan be ras selama 7 t ahun,
sebelum diangkat menjadi pegawai negeri.
T idak biasanya, malam ini Amak t idak mengibarkan
senyum. Dia melepaskan kacamata dan menyeka lensa double
focus dengan ujung lengan baju. Amak memandangku lurus-
lurus. T atapan beliau serasa melew at i kacamata minusku dan
langsung menembus sampai jiw aku. Di ruang tengah, Ayah
duduk di depan televisi hitam put ih 14 inchi. T erdengar suara
Sazli Rais yang be rat membuka acara Dunia Dalam Berit a
TVRI. “T ent ang sekolah w aang, Lif…”
“Iya, Mak, be sok ambo mendaft ar tes ke SMA. Insya Allah,
de ngan doa Amak dan Ayah, bisa lulus…”
“Bukan it u maksud A mak…” beliau be rhent i sebent ar. “A ku
curiga, ini past i soa l biaya pe ndaftaran masuk SMA . Amak dan
Ayah mungkin sedang tidak punya uang. Baru bebe rapa bulan
lalu mereka mulai menyicil rumah. Sampa i sekarang kami
masih t inggal di rumah kont rakan be rat ap seng dengan
dinding dan lant ai kayu.”
Amak mene ruskan dengan hati-hati.
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

“A mak mau bercerit a dulu, coba dengarkan…”


Lalu diam sejenak de ngan muka rusuh. Aku menjadi ikut
kalut melihat nya.
“Beberapa orang tua menyekolahkan anak ke sekolah
agama karena t idak punya cukup uang. Ongkos masuk
madrasah lebih murah….”
Kecurigaanku benar, ini masalah biaya. Aku meremas jariku
dan menunduk melihat ujung kaki.
“…T api lebih banyak lagi yang mengirim anak ke sekolah
agama karena nilai anak-anak mereka t idak cukup untuk
masuk SMP atau SMA…”
“A kibatnya, madrasah menjadi t empat murid w arga kelas
dua, sisa-sisa… Coba w aang bayangkan bagaimana kualitas
para buya, ust ad dan dai t amat an madrasah kit a nant i.
Bagaimana mereka akan bisa memimpin umat yang semakin
pandai dan krit is? Bagaimana nasib umat Islam nant i?”
W ajah beliau meradang. Keningnya berkerut -kerut masygul.
Hatiku mulai t idak enak karena t idak mengert i arah
pe mbicaraan ini.
Amak memang dibesarkan de ngan latar agama yang kuat .
Ayahnya at au kakekku yang aku panggil Buya Sutan Mansur
adalah orang alim yang be rguru langsung kepada Inyiak
Canduang at au Syekh Sulaiman A r-Rasuly. D i aw al abad kedua
puluh, Inyiak Canduang ini be rguru ke Mekkah di baw ah
asuhan ulama t erkenal sepert i Sye ikh Ahmad Khat ib Al-
Minangkabawy dan Syeikh Sayid Babas El-Yamani.
Mat a Amak meneraw ang sebentar.
“Buyuang, sejak w aang masih di kandungan, Amak selalu
punya cit a-cita,” mat a Amak kembali menat apku.

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

“A mak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin


agama yang hebat dengan penget ahuan yang luas. Seperti
Buya Hamka yang sekampung dengan kit a it u. Melakukan
amar ma -ruf nabi munkar, mengajak orang kepada kebaikan
dan meninggalkan ke mungkaran,” kat a Amak pe lan-pelan.
Beliau be rhent i sebentar untuk menarik napas. Aku cuma
mendengarkan. Kepalaku kini t erasa melayang.
Setelah menenangkan diri sejenak dan menghela napas
panjang, Amak mene ruskan dengan suara bergetar.
“Jadi Amak mint a de ngat sangat w aang t idak masuk SMA.
Bukan karena uang t api supaya ada bibit unggul yang masuk
madrasah aliyah.”
Aku menge jap-ngejap te rkejut . Leherku rasanya layu. Kursi
rot an tempat dudukku berderit ketika aku menekurkan kepala
dalam-da lam. SMA—dunia impian yang sudah aku bangun
lama d i kepalaku pe lan-pelan gemeretak, dan runt uh jadi abu
dalam sekejap mata.
Bagiku, t iga t ahun di madrasah t sanaw iyah rasanya sudah
cukup unt uk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saat nya
aku mendalami ilmu non agama. T idak madrasah lagi. Aku
ingin kuliah di UI, 1T B dan t erus ke Jerman sepe rt i Pak
Habibie. Kala it u aku menganggap Habibie adalah seperti
profesi tersendiri. Aku ingin menjadi orang yang mengerti
teori-teori ilmu modern, bukan hanya ilmu fiqh dan ilmu
hadist . Aku ingin suaraku di-dengar di de pan civit as
akade mika, atau dew an gubernur atau rapat manajer, bukan
hanya berceramah di mimbar surau di kampungku. Bagaimana
mungkin aku bisa menggapai be rbagai cita-cita be sarku ini
kalau aku masuk madrasah lag i?

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

“T api Amak, ambo1 t idak be rbakat dengan ilmu agama.


Am-bo ingin menjadi ins inyur dan ahli ekonomi,” t angkisku
sengit. Mukaku merah dan mat a terasa panas.
“Menjadi pe mimpin agama lebih mu lia daripada jad i
ins inyur, Nak.”
“T api aku tidak ingin…”
“W aang anak pandai dan berbakat. W aang akan jadi
pe mimpin umat yang besar. Apalagi w aang punya darah
ulama dari dua kakekmu.”
“T api aku tidak mau.”
“A mak ingin memberikan anak yang terbaik untuk
kepent ingan agama. Ini t ugas mulia unt uk akhirat.”
“T api bukan salah amboy orang tua lain mengirim anak
yang kurang cadiak8 masuk madrasah….”
“Pokoknya Amak t idak rela w aang masuk SMA!”
“T api…”
“T api…”
“T api…”
Setelah lama be rbant ah-bant ahan, aku t ahu diskusi in i t idak
be rujung. Pikiran kami jelas sangat berseberangan. Dan aku di
pihak yang kalah.
T api aku masih punya harapan. Aku yakin Ayah dalam
posisi 51 pe rsen di pihakku. Ayah berpe raw akan kecil t api liat
de ngan bahu kokoh. Rambut hitamnya senant iasa mengkilat
diminyak i dan disisir ke samp ing lalu ujungnya dibelokkan ke
be lakang. Bent uk rahangnya tegas dan dahi melebar karena
rambut bagian de pannya terus menipis. Mat anya t enang dan
pe nyayang.
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

W alau be rprofesi sebagai guru madrasah—beliau pe ngajar


matemat ika—seringkah pendapat nya lain de ngan Amak.
Misalnya, Ayah pe rcaya untuk be rjuang bagi agama, orang
t idak harus masuk madrasah. Dia lebih ser ing menyebut-
nye but keteladanan Bung Hatt a, Bung Sjahrir, Pak Natsir, at au
Haji Agus Salim, dibanding Buya Hamka. Padahal latar
be lakang religius ayahku t idak kalah kuat . Ayah dari ayahku
adalah ulama yang te rkenal di Minangkabau.
T api e nt ah kenapa beliau memilih menonton televisi hari in i
dan t idak ikut duduk be rsama A mak membicarakan sekolahku.
Aku buru-buru bangkit dari duduk dan be rt anya pada Ayah
yang sedang duduk menonton. Kacamat anya memant ulkan
be rit a olahraga dari layar t elevisi. Samb il mene ngadah ke
arahku dan mengangkat lensanya sedikit , Ayah menjawab
singkat, “Sudahlah, ikut i saja kata Amak, itu yang terbaik.”
Aku tanpa pembe la. Dengan muka me nekur, aku mint a izin
masuk kamar. Se be lum mereka menyahut , aku t elah
membant ing pint u dan menguncinya. Badan kulempar
telent ang di atas kasur t ipis. Mat aku menat ap langit-langit.
Y ang kulihat hanya ge lap, segulit a pikiranku. Di luar terdengar
Sazli Rais t elah menutup Dunia Dalam Berit a.
Kekesalan karena cita-citaku ditentang Amak ini
be rbent uran dengan rasa t idak t ega melaw an kehendak
be liau. Kasih say ang Amak tak terperikan kepadaku dan adik-
adik. W alau sibuk mengoreksi t ugas kelasnya, be liau selalu
menyediakan w akt u; membacakan buku, mendengar celot eh
kami dan mene mani belajar.
Belum pe rnah sebe lumnya aku berbant ah-bant ahan
melawan keinginan Amak sehebat ini. Selama in i aku anak
pe nurut . Surga di baw ah telapak kaki ibu, be git u kata guru

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

madrasah mengingatkan keut amaan Ibu. T api ide masuk


madrasah meremas hatiku.
Di t engah ge lap, aku t erus bert anya-t anya kenapa orangtua
harus mengatur-atur anak. Di mana kemerdekaan anak yang
baru belajar punya cit a-cita? Kenapa masa depan harus diatur
orangtua? Aku bert ekad melawan keinginan Amak dengan
gaya diam dan mogok di da lam kamar ge lap. Keluar hanya
untuk buang air dan mengambil sepiring nasi unt uk dimakan
di kamar lagi.
Sudah t iga hari aku mogok bicara dan memeram d iri.
Se mua ketukan pint u aku balas de ngan kalimat pe ndek,
“sedang t idur”. Dalam hati aku be rharap A mak be rubah pikiran
melihat kondisi anak bujangnya yang t erus mengurung diri in i.
Amak memang be rusaha menjinakkan pe rasaanku dengan
mengajak bicara dari ba lik pintu. Suaranya ce mas dan sedih.
T api t iga hari be rlalu, t idak ada t anda-t anda keinginan keras
Amak goyah. T idak ada t aw aran yang be rbeda tent ang
sekolah, yang ada hanya himbuan unt uk tidak mengunci diri.
Sore it u pint u kayu kamar d iket uk dua kali. “Nak, ada surat
dari Pak Et ek Gindo,” kat a Amak sambil mengangsurkan
sebuah amplop di baw ah daun pint u. Pak Et ek sedang belajar
di Mesir dan kami saling be rkirim surat . Dua bulan lalu aku
menulis surat, mengabarkan akan menghadapi ujian akhir dan
ingin melanjutkan ke SMA.
Aku baca surat Pak Et ek Gindo dengan penerangan sinar
matahari yang menye linap dari sela-sela d inding kayu. Dia
mendoakan aku lulus dengan baik dan memberi sebuah usul.
“…Pak Etek punya banyak teman di Mesir yang lulusan
Pondok Madani di Jawa T imur. Mereka pintar-pint ar, bahasa
Inggris dan bahasa Arabnya fasih. Di Madani it u mereka
t inggal di asrama dan diajar d isiplin unt uk bisa bahasa asing
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

set iap hari. Kalau t ert arik, mungkin sekolah ke sana bisa jad i
pe rt imbangan…”
Aku termenung sejenak membaca surat ini. Aku ulang-ulang
membaca usul ini de ngan suara berbisik. Usul ini sama saja
de ngan masuk sekolah agama juga. Bedanya, merant au jauh
ke Jaw a dan mempe lajari bahasa dunia cukup menarik hatiku.
Aku be rpikir-pikir, kalau akhirnya aku t etap harus masuk
sekolah agama, aku t idak mau madrasah di Sumatera Barat.
Se kalian saja masuk pondok di Jawa yang jauh dari keluarga.
Y a betul, Pondok Madani bisa jadi jalan keluar ket idakjelasan
ini.
T idak jelas benar dalam pikiranku, sepert i apa Pondok
Madani it u. W alau be gitu, akhirnya aku put uskan nasibku
de ngan set engah hat i. T epat di hari keempat , aku putar
gagang pintu. Engselnya yang kurang minyak be rderik. Aku
keluar dari kamar ge lapku. Mat aku mengerjap-nge rjap
melawan silau.
“A mak, kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin
masuk pondok saja di Jawa. T idak mau di Bukittinggi atau
Padang,” kataku di mulut pint u. Suara cempreng pubert asku
memecah keheningan Minggu pagi it u.
Amak yang sedang menyiram pot bunga suplir d i ruang
t amu t ernganga kaget. Ceret airnya miring dan menye rakkan
air di lant ai kayu. Ayah yang biasa hanya melirik sekilas dari
balik koran Haluan, kali in i menurunkan koran dan melipat nya
cepat-cepat . Dia mengangkat t elunjuk ke at as t anpa suara,
menyuruhku menunggu. Mereka be rdua duduk berbisik-bisik
sambil ekor mata mereka melihat ku yang masih memat ung di
de pan pint u kamar. Hanya sos-ses-sis-su s yang bisa kudengar.

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

“Sudah w aang pikir masak-masak?” t anya ayahku de ngan


mata gurunya yang menyelidik. Ayahku jarang bicara, t api
sekali berbicara ada lah sabda dan perint ah.
“Sudah Y ah,” suara aku coba tegas-tegaskan.
“Pikirkan lah lagi baik -baik,” kata Amak de ngan t idak
be rkedip.
“Sudah Mak,” kat aku mengulangi jawaban yang sama.
Ayah dan Amak mengangguk dan mereka kembali
be rdiskusi de ngan suara rendah. Setelah beberapa saat, Ayah
akhirnya angkat bicara.
“Kalau it u memang maumu, kami lepas w aang de ngan
be rat hat i.”
Bukannya gembira, t api ada rasa nye ri yang aneh bersekutu
di dadaku mendengar pe rsetujuan mereka. Ini jelas bukan
pilihan ut amaku. Bahkan sesungguhnya aku sendiri be lum
yakin bet ul dengan keput usan ini. Ini ke putusan setengah hati.

Rapat Tikus
T idak ada w akt u lagi. Menurut info rmasi dari surat Pak Etek
Gindo, w aktu pendaft aran Pondok Madani ditut up empat hari
lagi, padaha l but uh t iga hari jalan darat unt uk sampai d i Jaw a
T imur. T iket pesaw at t idak terjangkau oleh kant ung
keluargaku.
“Kit a naik bus saja ke Jawa be sok pagi,” kat a Ayah yang
akan mengant arku.
Bekalku, sebuah t as kain abu-abu kusam berisi baju, sarung
dan kopiah sert a sebuah kardus mie berisi buku, kacang t ojin
dan sebungkus rendang kapau yang sudah kering kehitam-

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/
hitaman. Ini rendang spesial karena dimasak Amak yang lahir
di Kapau, sebuah desa kecil di pinggir Bukitt inggi. Kapau
terkenal de ngan masakan lezat yang be rlinang-linang kuah
sant an.
Se belum meninggalkan rumah, aku cium t angan Amak
sambil m int a doa dan mint a ampun at as ke salahanku. T angan
kurus Amak mengusap kepalaku. Dari ba lik kacamatanya aku
lihat cairan be ning menggelayut di ujung mat anya.
“Baik-baik di rant au urang, Nak. Amak percaya ini
pe rjalanan untuk membela agama. Belajar ilmu agama sama
de ngan berjihad di jalan Allah,” kat a be liau. W ajahnya t ampak
ditegar-te-garkan. Kat anya, cint a ibu sepanjang hayat dan
mungkin berpisah de ngan anak bujangnya untuk bertahun-
t ahun bukan pe rkara gampang. Se ment ara bagi aku sendiri,
bukan perpisahan yang aku risaukan. Aku gelisah sendiri
de ngan keputusanku merant au muda ke Jaw a.
Setelah merangkul Laili dan Safya, dua adikku y ang masih
di SD, aku be rjalan t idak menoleh lagi. Kut inggalkan rumah
kayu kont rakan kami d i t engah hamparan saw ah yang baru
ditanami it u. Selamat t inggal Bayur, kampung kecil yang
pe rmai. Ha-laman de pan kami Danau Maninjau yang berkilau -
kilau, ke bun belakang kami bukit hijau berbaris.
Bersama Ayah, aku menumpang bus kecil Harmonis yang
terkentut -kentut merayapi Kelok Ampe k Puluah Ampe k. Jalan
mendaki dengan 44 kelok pat ah. Kaw asan Danau Maninjau
menyerupai kuali raksasa, dan kami sekarang memanjat
pinggir kuali unt uk keluar. Makin lama k ami makin t inggi di
atas Danau Manin jau. Dalam satu jam permukaan danau yang
biru t enang it u menghilang dari pandangan mata. Bergant i
de ngan horison yang didominasi dua puncak gunung yang
gagah, Merapi yang kepundan aktifnya menge luarkan asap

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/
dan Singgalang yang puncaknya dipeluk aw an. Tujuan kami ke
kaki Merapi, Kot a Bukitt inggi. Di kot a sejuk ini kami be rhent i di
loket bus antar pulau, P.O. ANS. Dari A yah aku t ahu kalau PO
it u kependekan dari perusahaan oto bus.
Kami na ik bus ANS Full AC dan Video. Kami duduk di kursi
be rbahan be ludru merah yang empuk di baris ket iga dari
de pan. Aku memint a duduk di de kat jendela yang berkaca
be sar. Bus ini adalah kendaraan terbesar yang pe rnah aku
naiki seumur hidup. Udara dipenuhi aroma pe ngharum
ruangan yang disemprot kan dengan royal oleh st okar ke
langit-langit dan kolong kursi. Berhadapan dengan pint u paling
be lakang ada W C kecil. Di be lakang barisan kursi t erakhir,
langsung berbatasan dengan kaca belakang, ada sebidang
tempat berukuran satu badan manusia dew asa, lengkap
de ngan sebuah bant al bluw ak dan selimut bat ang padi
be rgaris hitam put ih. Kenek bilang in i kamar t idur p ilot . Kata
Ayah, set iap de lapan jam, dua supir k ami be rgiliran unt uk
t idur.
T ampak duduk dengan penuh ot orit as di be lakang set ir,
laki-laki legam, be rperut t ambun dan berkumis subur
melint ang. Kacamat a hit am besarnya yang berpigura
keemasan terpasang gagah, menut upi sebagian w ajah yang
be rlubang-lubang sepert i ke na cacar. Dia mengenakan kemeja
seragam hitam dan merah dipadu dengan celana jins. Di atas
saku bajunya ada bordiran be rtuliskan namanya, “Muncak”.
Aku memanggilnya Pak Et ek Muncak. Kebetulan dia adalah
adik sepupu jauh Ayah.
Begitu mesin bus berderum, t angan kirinya yang dililit akar
bahar menjangkau laci di atas kepalanya. Dia merogoh
t umpukan kaset video beta berw arna merah. Hap, asal
pe gang, dia menarik sebuah kaset dan membenamkannya ke
pe mut ar video. Sejenak t erlihat pit a-pita w arna-warni berpijar-
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

pijar di layar televisi, sebelum kemudian muncul judul film:


Rambo: T he First Bloo d Part II.
Aku bersorak dalam hat i. T elevisi be rw arna adalah
kemewahan di kampungku, apalagi pe mut ar vide o. Mungkin
t ont onan ini bisa sejenak menghibur hat iku yang ge lisah
merant au jauh. Bus melaju makin kencang. Sement ara Rambo
sibuk berkejar-kejaran dengan pasukan Vietnam.
“Selamat Jalan, Anda t elah Meninggalkan Sumatera Barat”
sebuah gapura berkelebat cepat . Bus kami menderum
memasuki Jambi.
T api semakin jauh bus be rlari, semak in ge lisah hat iku.
Jant ungku berdetak aneh, menyadari aku sekarang be nar-
be nar meninggalkan kampung halamanku. Bimbang dan ragu
hilang t imbul. Apakah pe rjalanan ini keputusan yang paling
tepat ? Bagaimana kalau aku t idak bet ah di t empat asing?
Bagaimana kalau pondok it u seperti penjara? Bagaimana kalau
gambaran Pondok Madani dari Pak Et ek Gindo itu salah?
Pe rt anyaan demi pe rt anyaan bergumpal-gumpal menyumbat
kepalaku.
Aku t idak kuat menahan malu kalau harus pulang lag i.
Sudah aku umumkan keput usan ini ke segenap kaw an dan
handai t olan. Bujukan mereka agar t etap t inggal di kampung
telah kukalahkan de ngan argumen berbahasa Arab yang
terdengar gagah, “ut hlubul ilma w alau bisshin”, art inya
“t unt ut lah ilmu, bahkan w alau ke negeri sejauh Cina”.
“Ke Cina saja disuruh, apalag i hanya seke dar ke Jawa
T imur,” bant ahku pe rcaya diri kepada para pe mbujuk ini. Ke
mana mukaku akan disurukkan, kalau aku pulang lagi?
Hari kedua pe rjalanan, stok film habis. Rambo sudah dua
kali “disuruh” Pak Et ek Muncak be rt empur di hut an Vietnam.

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/
Se ment ara, pe lan t api pasti suasana bus be rubah. Akumulasi
bau keringat , sampah, bau pesing W C, bau kentut , bau
sendaw a, dan tent u saja bau penumpang yang mabuk darat
menggant ung pekat di udara.
T api Pak Et ek Muncak t ampaknya punya dedikasi t inggi
dalam menghibur penumpang. Beberapa kali dia menurunkan
kacamata hitamnya sedikit dan mengintip para penumpang
dari kaca spion. Begit u dia melihat banyak penumpang yang
lesu dan t eler, dia memut ar kaset . Bunyi t alempong segera
membahana, disusul de ngan sebuah suara be rat
memperkenalkan judul kaset…. “Inilah pe rsembahan Grup
Balerong pimpinan Y us Datuak Parpatiah: Rape k Mancik.
Rapat T ikus….” Para pe numpang bertepuk t angan, sebagian
be rsuit-suit.
Kaset ini be risi komedi lokal yang sangat terkenal d i
masyarakat Minang. Y us Datuak Parpatiah, si pe ndongeng,
melalu i logat Minang yang sangat kent al, be rkisah t ent ang
bagaimana lucunya rapat ant ar w arga t ikus yang ingin
menyelamat kan diri da ri serangan see kor kucing. Di sana-sini
narat or dengan cerdik menghubungkan kehidupan t ikus dan
kehidupan masyarakat Minang. Banyak d iskusi, banyak
pe ndapat, banyak debat , hasilnya nol be sar. Karena t idak
see kor t ikus pun yang mau melakukan rencana yang t elah
be rt ahun-t ahun dibicarakan unt uk melawan kucing. Y ait u
mengalungkan giring-giring di lehe r kucing, sehingga ke mana
pun kucing pe rgi, masyarakat t ikus past i mendengar.
Kontan, bus yang melint as rimba Sumatera yang hening it u
menjadi riuh rendah. Bangku-bangku sampai be rdecit -decit
karena penumpang terbahak-bahak sampai badan mereka
be rgoyang-goyang. Pak Sut an yang terserang mabuk darat
dan lesu pun bisa bangkit dari keterpurukannya setelah
be rhasil munt ah sambil ket awa. Mukanya merah padam, t api
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/
bahagia. Umi Piah, ne nek t ua berselendang kuning yang
duduk di be lakangku t idak kalah he boh. Beberapa kali dia
tergelak kencang sambil kent ut . Mungkin otot pe rutnya agak
los karena menahan tekanan ketaw a.
Pak Sut an adalah sosok kurus beraliran put ih. Rambut, alis,
jenggot , bahkan bajunya semua put ih. Dia saudagar ka in yang
selalu bolak-balik Pasar T anah Abang dan Pasar Ateh
Bukitt ingi. Dia membaw a hasil t enunan Pandai Sikek ke
Jakarta dan pulang kembali de ngan memborong baju murah
untuk dijual d i Bukit t inggi. Dia t ipe orang yang senang maot a,
ngobrol ngalor-ngidul. Sambil t idur-t idur ayam, aku
mendengar A yah be rbicara dengannya.
“Bapak mau menuju ke mana?” t anya Pak Sut an
mencondongkan badannya ke kursi A yah.
“Saya mau mengant ar anak. Mau masuk sekolah di Pondok
Madani di Jaw a T imur.”
“Maksudnya, pondok tempat orang belajar agama it u, kan?”
dia be rtanya sambil matanya melirik be rgant i-gant i ke arah
aku dan Ayah dengan sorot simpat i.
“Iya betul, Pak.”
“W ah, bagus lah it u,” jaw abnya sepert i menguat kan kami.
Ayah tersenyum t anpa suara sambil mengangguk-angguk.
Setelah diam sejenak dan t ampaknya berpikir-p ikir, Pak
Sutan mendekatkan kepalanya ke Ayah. Dia merendahkan suara
seakan-akan t idak mau didengar orang lain. Mukanya serius.
“Semoga berhasil Pak. Saya dengar, pondok di Jaw a it u
memang bagus-bagus mut u pendidikannya. A nak teman saya,
cuma set ahun di pondok langsung berubah menjadi anak baik.
Padahal dulunya, sangat mantiko. Nakal. T idak diterima d i

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

sekolah mana pun karena kerjanya ngobat , minum dan suka


be rkelahi. Anak begitu saja bisa berubah baik.”
Dengan setengah terpicing aku bisa melihat muka Ayah
meringis. Kepalanya menggeleng-geleng. “Pak… anak ambo
kelakuannya baik dan NEM-nya termasuk paling t inggi di
Agam. Kami kirim ke pondok untuk mendalami agama”.
Suaranya agak d it ekan. Mungkin nalur i kebapakannya
tersengat untuk membe la anak dan sekaligus membe la dirinya
sendiri. T idak mau dicap orang t ua yang gagal. Dalam hati aku
be rt epuk tangan unt uk pukulan t elak Ayah.
Pak Sutan t erdiam dan sejenak raut muka berubah-ubah.
“W ah lebih bagus lagi it u,” jawabnya malu-malu de ngan suara
rendah. Dia be rusaha memint a maaf t anpa harus mengucap
maaf.
Amak mungkin benar. Banyak orang melihat bahw a pondok
adalah buat anak yang cacat produksi. Baik karena t idak
mampu menembus sekolah umum yang baik, atau karena
salah gaul dan salah urus. Pondok dijadikan be ngkel untuk
memperbaiki y ang rusak. Bukan dijad ikan t empat untuk
menyemai bibit unggul.
T api bagaimana kalau Pak Sut an ini be nar? Kalau t ernyat a
Pondok Madani memang tempat kumpulan para anak mantiko.
Anak bermasalah? W ajahku rusuh dan hat iku mengkerut . Aku
lebih banyak diam selama perjalanan.
W alau mengant uk, aku t idak bisa t idur nyenyak selama
pe rjalanan. Se bent ar-sebent ar terbangun oleh guncangan bus
yang menghant am jalan be rlubang. Di lain w aktu, aku
terbangun dengan kekhaw at iran tent ang sekolah. Di ant ara
buaian lubang di jalan, dua kali aku d ikunjungi mimp i yang
sama. Mengikut i ujian akhir matemat ika yang sulit t anpa
sempat belajar sama sekali.
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

Mungkin karena pikirannya juga t idak mene nt u, A yah juga


t idak banyak bicara tent ang t ujuan perjalanan kami. Dia lebih
banyak membicarakan kehebat an sepupunya yang t amat an
ST M, merant au ke Jakart a dan sukses mempunyai kios
reklame di Aldiron, Blok M dengan nama T akana )o
Kampuang. Kangen Kampung. Atau tent ang teman masa kecil
yang kemudian punya armada empat angkot di Bekasi,
de ngan tulisan be sar di kaca be lakang be rtuliskan Cint o
Badarai. Cint a Berderai.
Pe rjalanan di malam kedua semakin be rat . Bus kami sampai
di bagian jalan lintas Sumat era yang mengular, memilin pe rut
dan membuat mat a nanar. Sudah 3 butir pil ant imo aku
tenggak dan kulit limau manis aku jajalkan di de pan hidung.
T api perut ku terus bergolak ganas. A ir liur t erasa encer kecut
dan ot ot rahang mengejang. Krit is. Aku be rdiri d i de pan dam
raksasa yang siap runt uh. Plastik aso i, be gitu orang Minang
menyebut t as kresekt aku buka lebar-lebar unt uk menampung
isi pe rut ku yang bertekad keluar. Hanya t inggal menunggu
w akt u saja…
BLAAR! Bus t iba-tiba be rgetar dan oleng. Semua
pe numpang berteriak kaget . Amukan di pe rut ku t iba-tiba
surut, pudur sepe rt i lilin dihembus angin. Pak Etek Muncak
dan kenek bersamaan be rseru, “Alah kanai lo baliak. K it a kena
lagi!”. Roda be lakang pe cah. Di t engah rimba gulita, hanya
ditemani sent er dan nyanyian jangkrik hut an, kenek dan supir
bahu membahu menggant i ban. Aku w as-was. Bulan lalu ada
be rit a be sar di Haluan t ent ang bus yang dirampok oleh bajing
loncat, komplot an begundal yang menghadang bus dan t ruk di
tempat sepi. Mereka t idak segan membunuh de mi
mendapat kan rampokan.
“Semoga t idak lama gant i bannya,” gumam Ayah yang
mulai kuat ir. Menurut Pak Ete k Gindo, Pondok Madani t idak
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

punya t awar menaw ar dengan bat as w akt u pendaft aran murid


baru. Kalau terlambat, mohon maaf, coba lagi t ahun depan.
Untunglah Pak Etek Muncak dengan raut muka me yakinkan
menjamin bahw a kami akan sampa i di pe nyebe rangan ferry
Ba-kauhe uni sebelum t engah malam. Badanku pe gal dan
telapak kakiku be ngkak karena t erlalu lama duduk. Aku sudah
t idak sabar menunggu kapan bisa t urun dari bus dan naik
ferry. Ini akan menjadi pe ngalaman pe rt amaku menyerangi
laut an.
“Pegangan yang kuat,” teriak laki-laki be rcambang lebat
de ngan seragam kelasi kepada penumpang ferry raksasa yang
aku t umpangi. Dari laut yang gulit a, deburan de mi deburan
terus dat ang menampar badan kapal, bagai t idak setuju
de ngan perjalananku. Lampu ruang penumpang mengeridip
set iap goyangan keras dat ang. Angin bersiut -siut an
melontarkan tempias air laut yang terasa asin di mulut . Muka
dan bajuku basah.
Aku segera mencekal e rat pagar be si dengan tangan kanan.
T api aku t etap t erhuyung ke kanan, ketika ombak be sar
menampar lambung ferry. Mukaku t erasa pias karena ce mas
dan mual. Berkali-kali aku be rkomat-kamit memasang doa,
agar laut kembali t enang. Ayah memeluk t iang besi di
sebelahnya.
“Ndak ba’a do, sebentar lagi k it a sampai!” seru ayah
mencoba menenangkan sambil menggamit bahuku. Padahal
sete ngah jam yang lalu pe layaran kami mulus, ge mericik air
yang dibelah haluan terasa menent ramkan hat i.
Untunglah beberapa menit kemudian angin be rubah lindap
dan ge lombang susut. Kapal kembali t enang membelah Se lat
Sunda. Laut boleh tenang, t api perut ku masih terus
be rgulung-gulung sepe rt i ombak badai. Mulut ku pahit dan
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

meregang. Begit u terasa ada yang mendesak kerongkongan,


aku hadapkan muka ke laut lepas dan aku relakan isi pe rut
ditelan laut .
Aku baru benar-be nar merasa lega ket ika melihat ujung
mer-cusuar yang t erang dan kerlap-kerlip sampan ne layan
yang mencari ikan di malam hari. Artinya Pulau Jawa sudah
de kat . T idak lama kemudian, kapten kapal mengumumkan
kami ak an sege ra sampai dan menyarankan penumpang untuk
t urun ke ruang parkir di perut kapal dan segera naik bus.
Bagai paus raksasa kekenyangan, begitu sampai de rmaga
Merak, ferry in i memunt ahkan isi pe rutnya be rupa bus be sar
ant ar kot a, t ruk, mobil pribadi, mot or dan sebuah t raktor ke cil
dan galedor’. T idak lama kemudian bus t umpanganku
melarikan kami ke arah Jakart a. Jari-jariku masih be rgetar dan
bajuku lembab berbau asin air laut .
**dw**
Supremasi orang Minang soal makanan sangat t ampak
dalam pe rjalanan in i. Hampir semua t empat makan di pinggir
jalan lintas Sumat era dan Padang memakai t anduk dan
be rt uliskan “RM Padang”. Di dalam ruangannya yang lapang
tersusun meja dan kursi yang jumlahnya rat usan. Speaker
yang be rbent uk kotak-kotak kayu ada di set iap sudut ruangan
dan tidak hent i-hent i memperdengarkan lagu pop Minang.
Kendaraan berat yang berfungsi merat akan jalan. Biasany a
be rw arna kuning dan rodanya berbent uk silinder be si.
Se ment ara it u di be lakang ruang makan, be rderet puluhan
kamar mandi dan W C sert a mushala untuk melayani
pe numpang ant ar kot a yang mungkin sudah t iga hari t iga
malam menjadi musafir. Menurut pengamat anku, perbedaan
ant ara RM yang ada di lint as Sumatera dan Lintas Jaw a adalah

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

de rajat pedasnya rendang. Se makin menjauh dari Padang


semakin t idak pedas.
Di set iap RM, ada sudut yang t ampak disiapkan untuk
kalangan VIP. T idak jarang, sudut ini ditut up pemisah
ruangan, dan t empat duduknya dibuat sangat sant ai sepert i
bale-bale. Makanan yang t erhidang sangat lengkap. Pelayan
selalu siaga di sebelah meja ini. T empat paling t erpuji di RM
ini t ernyata disiapkan hanya bag i “pelanggan teladan”: para
supir dan kene k bus ant ar kota ini. Rupanya para saudagar
Minang ini sada r bahw a supir bus adalah klien pent ing yang
selalu membaw a puluhan pelanggan. Hebat nya lagi, servis
kelas satu ini d isediakan gr atis. Berunt unglah kami, sebagai
kroni sang supir, bisa menikmati fasilit as unt uk Pak Et ek
Muncak ini.
Bus kami t idak hanya menderu melint as bat asan geografis
t api sekaligus menembus bat as budaya, dan bahasa. Duduk di
sebelah jendela kaca bus yang besar, rimba muncul dalam
w ajah beragam, mulai dari hut an ilalang akibat pe mbabat an
pohon, hutan kelapa, hutan jat i, hut an karet, hut an gelap,
hutan terang, hutan botak, hutan rimbun, hutan berkabut,
hutan berasap dan hut an t erbakar.
Aku menyaksikan mulai dari rumah gadang, rumah
panggung Palembang, rumah at ap rumbia, rumah bata, rumah
joglo, sampai rumah kardus. At apnya pun berbagai rupa dari
ijuk, seng, genteng, plastik sampai t idak be rat ap. Berbagai
kulinari unik y ang dijajakan para t ukang asong juga sebuah
kemeriahan tersendiri, ada b ika padang, sat e padang, sat e
udang, pisang goreng, kacang rebus, rujak buah, sampa i
tempe mendoan. Para pe dagang ini bahkan memakai bahasa
lain unt uk hanya menyebut “be rapa”: bara, be rapo, berape ,
sabaraha, sampa i piro.

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

Di hari ket iga, aku menggeliat terbangun ketika silau


matahari pagi mulai mene mbus jendela bus yang berembun.
Langit sudah terang dan biru, sement ara kabut t ipis masih
mengapung di t anah dan menutupi saw ah dan pohon-pohon.
Se buah t anda lalu lintas muncul dari ba lik kabut t ipis,
be rt uliskan “Selamat Datang di Jawa T imur.” Provins i t empat
Pondok Madani berada.
Pagi mulai be ranjak dhuha. Bus ANS menurunkan aku dan
Ayah di t erminal Ponorogo. Sambil mene nteng t as, kami
memut ar mata ke seke liling stasiun, mencari info rmasi
bagaimana mencapai Pondok Madani. Masih di dalam t erminal,
t idak jauh di de pan kami ada t enda parasut biru yang
kembang kempis ditiup angin. Sebuah papan menggantung di
de pannya: Jurusan Pondok Madani. Di de pan tenda ada meja
panjang yang dijaga anak-anak muda be rbaju kaos put ih
panjang lengan. Rambut mereka cepak gaya Akabri. Se orang
di ant aranya be rgegas mendekat i kami. Se pat u bot ala
tent aranya berdekak-dekak di aspal. Di dada sebelah kiri
kaosnya tert ulis nama; Ismail Hamzah-Maluku. Di lehe rnya
menggant ung kartu pengenal merah bert uliskan “Kelas 6,
Panitia Pe nerimaan Sisw a Baru”.
Dengan senyum lebar yang mempe rlihat kan sebaris gig i
putih, dia menyapa Ayah, “Assalamualaikum Pak. Saya Ismail
siswa kelas enam PM atau Pondok Madani. Bapak mau mengant
ar
“W akt u ketika matahari mula i naik d i pagi ha ri, t api be lum
siang. Se bagian umat Islam melakukan shalat sunat di w akt u
dhuha ini anak sekolah ke Madani?” A yah mengangguk.
“Baik Pak, t olong ikut i saya…” Dengan sigap dia
mengangkat t as dan kardus kami lalu mengikatkannya di atap
bus biru PM T ransport. Se jenak kemudian kami t elah

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

menembus perkampungan dan persawahan yang menghijau,


disupiri oleh Ismail.
Lembar petualangan hidupku baru saja dibuka.

Kampung di Atas Kabut


Bus L300 be rkursi keras ini t idak pe nuh. Ayah duduk di
de pan di sebelah Ismail, aku di bangku barisan kedua. Di
sebelahku duduk anak laki-laki be rkulit legam dan
be rkacamata tebal. Dia memakai sepatu hitam dari kulit yang
sudah ret ak-ret ak. Sol bagian be lakangnya t idak rat a lagi.
Se bent ar-sebent ar matanya melihat keluar jendela. Dia
menyebut namanya Dulmajid, dari Madura. “T ent u saja saya
dat ang sendiri,” jaw abnya sambil ket aw a berderai
memamerkan giginya yang gingsul, ket ika aku t anya siapa
yang mengant arnya.
Se ment ara di bangku be lakang, duduk seorang anak kurus,
be rkulit be rsih, be rmat a dalam dan be rmuka pe t ak. Sebuah
kopiah be ludru hit am melekat miring di ke palanya. Sepat u kets
dari bahan jeans hitam be rt abrakan dengan kaos kaki
putihnya. “Raja Lubis,” katanya menyebut kan nama. Di
t angannya tergenggam sebuah buku, yang sekali-sekali dia
buka. Mulut nya t erus komat -kamit sepe rt i merapal sesuat u.
Raja melihat ke arahku dan menjelaskan sebelum aku
be rt anya, “Aku sedang meng-hapalkan kut ipan pidato Bung
Karno.” Aku t idak mengerti maksudnya. Y ang jelas, kedua
anak ini juga akan masuk PM.
Di bangku paling be lakang ada dua kanak-kanak sedang
ce kikikan sambil memakan kuaci. Mereka diapit oleh dua ibu
be rkerudung. Di t erminal aku mendengar kalau dua ibu ini
mendaft arkan anak mereka yang baru lulus SD masuk PM.

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

Diam-diam aku kagum de ngan keberanian anak-anak in i.


Masih semuda it u, masih sepolos itu, sudah harus berpisah
de ngan orang tua mereka.
Setengah jam berlalu, bus kami melambat setelah melewati
hamparan saw ah hijau yang sangat luas. Angin segar dari
jendela yang t erbuka meniup-niup muka dan rambutku.
Se kali-sekali tampak rumah kayu berat ap genteng kecokelatan
dan berlant ai t anah. Berbeda dengan at ap rumah gadang yang
menyerupai t anduk dan lancip di kiri dan kanan, atap di sini
lancip di t engah. Beberapa rumah sudah be rdinding bat a
merah yang dibiarkan polos t erbuka t anpa acian. Kami juga
melewati serombongan laki-laki de ngan ikat kepala hitam
memanggul pacul di bahu. Beberapa orang di ant aranya
menarik gerombo lan sapi yang berjalan m alas-malasan. Se t iap
melangkah, gent a di leher sapi ini be rbunyi t ung… tung…
t ung…
“Bapak, Ibu dan calon murid. Sebent ar lagi kit a akan
sampai d i Pondok Madani. Kami akan membaw a Anda semua
untuk langsung mendaft ar ke bagian pene rimaan t amu. Bagi
yang akan mendaft ar jadi murid baru, bat as w akt u
pe ndaft aran jam lima t epat sore hari ini. Jangan lupa de ngan
t as dan semua baw aan Anda,” Ismail membe ri pe ngumuman,
kembali dengan senyum lebarnya.
Aku dan Ayah menarik napas lega. Kami masih punya w aktu
untuk mendaft ar sesuai w aktu, w alau pe rjalanan bus sempat
tertahan. Degup jant ungku berlomba. Rasanya semua darahku
be rkumpul di dada dan membeku beberapa saat. Dua anak-
anak yang baru t amat SD t adi t ampak agak pucat dan t idak
tertaw a-t aw a lagi. T angan mereka meremas-remas kot ak
kuaci sampa i hancur. Raja dan Dul mencondongkan badannya
ke depan dengan muka serius Bus lalu be rbelok ke jalan t anah
yang kecil.
ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/
“Sedikit lagi, di ujung jalan yang ada gapura it ulah Pondok
Madani,” kata Ismail sambil menunjuk jauh ke depan. Bagai
terbuat dari karet, semua lehe r kami memanjang melihat ke
de pan dengan panasaran.
Jalan de sa kecil yang be rdebu t iba-tiba melebar dan
membent angkan pemandangan lapangan rumput hijau yang
luas. Di sekitarnya t ampak pohon-pohon hijau rindang dan
pucuk-pucuk kelapa yang mencuat dan menari-nari d ihe mbus
angin. Di sebelah lapangan t ampak sebuah kompleks gedung
be rt ingkat yang megah. Sebuah kubah besar be rw arna gading
mendominasi langit, didampingi sebuah menara yang t inggi
menjulang. Di t engah kabut pagi, kompleks ini sepert i
mengapung di udara.
Se buah spanduk besar be rkibar-k ibar melintang di atas
jalan, “Ke Madani, Apa yang Kau Cari?” Jant ungku kembali
be rdenyut serabut an.
Y a, apa sebet ulnya yang aku cari? Hanya karena
memberont ak t idak boleh masuk SMA ? Dan lebih pent ing lagi,
apakah aku bisa bertahan?
Ismail meloncat turun dari bus. Kerikil yang diinjak ha k
sepatunya berderik-derik. Dia menye rahkan selembar daft ar
pe numpang ke seorang anak muda be rw ajah riang yang t elah
menunggu di luar mobil. Sebuah dasi be rkelir biru laut
menggant ung rapi di kerah lehe r baju putihnya. “Shabahal
khair ya akh i Burhan. Ini rombo ngan t amu pert ama hari in i.
Se mua de lapan orang,” kat a Ismail.
“Syukran ya akhi. T erima kasih. Kami akan be ri pe layanan
terbaik.”
Burhan.mempersilakan kami mengikut inya menuju rumah
tembok put ih be rkusen hijau t erang. Lima keret a angin be rcat

ht tp ://dewi-kz .info/
Tiraikasih Website ht t p ://kangz usi.com/

kuning parkir be rjejer di depan. Kismul Dhiyafah, Gue st


Recept ion. Bagian Pene rimaan T amu, tertulis d i papan nama.
Di langkan yang dinaungi rimbunan lima pohon kelapa ini tidak
ada pe rabot selain dua meja kayu. Masing-masing meja dijaga
seorang anak muda yang be rpakaian seperti Burhan.
Burhan menyuguhi kami de ngan limun be rcampur serpihan
es bat u yang diambilnya dari salah satu meja. Di meja sat u
lagi, set iap calon murid mengisi formulir kedat angan
pe ndaft aran, mendapat kamar sement ara, menerima kupon,
piring dan ge las plastik untuk makan di dapur umum. Setelah
it u kami dipersilakan istirahat , be rselonjor di lant ai yang
dilap isi karpet biru.
Lalu de ngan suara ke ras Burhan me mbuat pengumuman:
“Bapak, Ibu dan t amu pondok yang be rbahagia. Selamat
dat ang di Pondok Madani. Hari ini saya akan mene mani Anda
semua untuk keliling melihat berbagai sudut pondok seluas
lima be las hekt ar ini. Jangan t akut , kit a t idak akan mengeliling i
semua, hanya yang pent ing-pent ing saja. Kira-k ira but uh
w akt u sat u jam. Siapa yang tertarik ikut t ur, silakan berkumpul
lagi d i sini sete ngah jam lagi. Kamar menginap Anda sudah
kami atur sesuai de ngan nomor urut kedat angan. Semoga
Anda menikmat i kunjungan ini dan kami bisa melay ani dengan
sebaik-baiknya.”
“Pondok Madani memiliki sistem pendidikan 24 jam. T ujuan
pe ndidikannya unt uk menghasilk an manusia mandiri yang
t angguh. Kiai kami bilang, agar menjadi rahmat bagi dunia
de ngan be kal ilmu umum dan ilmu agama. Saat ini ada t iga
ribu mur id yang t inggal di delapan a srama,” Burhan membuka
t ur pagi it u dengan fasih.

ht tp ://dewi-kz .info

Anda mungkin juga menyukai