Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN BUKU FIKSI

AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG

OLEH : TERE-LIYE

Disusun Oleh:
Nadlif Zeidan Bashirah
XII MIPA 5
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Kelas XII pada
Semester Genap Tahun Ajaran 2018 – 2019
Identitas Novel

1. Judul : Ayahku (Bukan) Pembohong


2. No. ISBN : 978-979-22-6905-5
3. Penulis : Tere-Liye
4. Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
5. Cetakan ke : November 2012
6. Jumlah Halaman : 304
7. Ukuran : 20 cm x 13,5 cm
8. Harga : Rp. xx.000,-
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan buku fiksi ini dalam rangka memenuhi
salah satu tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas XII semester genap tahun ajaran 2018-
2019.
Selama penyusunan laporan ini, banyak pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat-Nya, saya
dapat menyelesaikan laporan buku fiksi ini. Selain itu, saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
1. Bapak Gumgum Gumilang, S. Pd., selaku pengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia
yang telah sabar membimbing dan membantu saya dalam menyelesaikan laporan buku
fiksi ini.
2. Rekan-rekan kelas XII IPA 5, yang telah bersedia membantu dan memberikan kritik,
saran, dan motivasi sehingga tersusunnya laporan buku fiksi ini.
3. Semua pihak yang dengan tulus ikhlas membantu yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka penyusunan laporan
buku fiksi.
Saya menyadari dalam penyusunan laporan buku fiksi ini masih jauh dari kata sempurna.
Kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Kuningan, 24 Februari 2019

Penyusun
Ringkasan
Ringkasan ini merupakan 20% dari jumlah halaman novel.
BAB I : Zas dan Qon
Aku berhenti memercayai cerita-cerita Ayah ketika umurku dua puluh tahun. Maka
malam ini, ketika Ayah dengan riang menemani anak-anaku, Zas dan Qon, menceritakan
kisah-kisah hebatnya pada masa mudanya, aku hanya bisa menghela napas tidak suka.
“Sstt, jangan bilang siapa-siapa, Kakek akan menceritakan rahasia besar pada kalian.”
“Rahasia apa?” Zas dan Qon tertarik—tidak ada anak-anak di atas dunia yang tidak
tertarik dengan rahasia.
Ayah lantas berbisik, “Dua hari lalu si Nomor Sepuluh menelepon Kakek langsung.”
“Kakek bahkan bilang padanya kalau di rumah kita ada dua monster kecil yang suka
bermain bola, yang mengidolakakn klub terhebat, juga pemain terhebat di dunia.”
Aku semakin tersengal memperhatikan dari ujung ruangan. Kepalaku mendadak
kosong, laptop di hadapanku mendengung pelan, tidak tersentuh satu jam terakhir. Apa yang
Ayah bilang? Si Nomor Sepuluh meneleponnya? Ini terlalu.
Hari ini umurku empat puluh. Sudah dua puluh tahun aku berhenti memercayai cerita
Ayah. Bukan karena kehilangan semangat untuk mendengarkan kisah-kisah itu, bukan
karena tidak bisa menghargai seorang ayah, tetapi karena aku tahu persis, ayahku seorang
pembohong. Dan di rumah ini, aku tidak akan membesarkan Zas dan Qon dengan dusta yang
dilakukan Ayah dulu kepadaku.
Tiba-tiba aku menutup laptop dengan kasar. Suara berkeletak membuat istriku
menoleh, menghentikan tawa Ayah, Zas, dan Qon. Menahan rasa jengkel, aku akhirnya
memilih meninggalkan ruang keluarga kami.

BAB II: Cedera


Tiga puluh tahun lalu.
“Kau sudah mengantuk, Dam?”Ayah tertawa menatapku.
Aku menggeleng kuat-kuat. Tidak. Aku pasti bisa bertahan menunggu siaran langsung
ini. “Percuma saja kau tunggu. Malam ini klub kesayangan kau sepertinya bakal kalah
tipis.” Ayah duduk di sebelahku meletakkan segelas cokelat panas.
Aku kembali menggeleng kuat-kuat. Tidak mungkin. “Sang Kapten bermain, Yah. Tidak
ada yang bisa mengalahkan mereka jika sang Kapten bermain,” aku berkata teramat yakin.
Televisi mungil kami mulai menampilkan siaran pembuka pertandingan. Malam itu
pertandingan putaran pertama semifinal Liga Champions Eropa dimulai. Pembawa acara dan
rekannya sibuk mengoceh tentang betapa akbarnya pertandingan ini. Dua klub terbesar dari
dua negara saling bertemu. Sang juara bertahan melawan klub underdog, yang mendadak
tidak terkalahkan sepanjang musim.
Angka statistik ditampilkan. Analisis lengkap disajikan. Aku mendengus. Aku tahu itu
semua tidak perlu. Aku tidak sabar menunggu pertandingan dimulai. Aku bersorak senang
saat akhirnya layar kaca menayangkan sang Kapten yang berlari-lari kecil bersama rekannya
keluar dari ruang ganti menuju lapangan hijau. Terdengar gemuruh suara pemimpin
pertandingan lewat loud speaker. Aku hafal sekali ritual ini, hafal kalimat-kalimatnya,
“Inilah dia pemain terhebat milik kita! Pujaan hati seluruh penggemar! Inilah dia pencetak
gol terbanyak! Inilah dia…” Dan aku sudah berdiri bersama puluhan ribu penonton di
stadion sana, ikut berteriak kencang-kencang, “EL CAPITANO! EL PRINCE!”
Ayah tertawa dan menyuruhku duduk, “Dam jangan-jangan malam ini jika sang Kapten
kalah, kaulah orang yang paling sedih sedunia.”
Dan Ayah benar.
Aku tidak kuasa menahan tangis saat di menit ke-89—satu menit lagi sebelum
pertandingan usai—ketika sang kapten semakin gigih menerjang untuk menyamakan
kedudukan, salah satu bek lawan menebas kakinya.
“Tidak mengapa, Dam, tidak mengapa.” Ayah mengelus rambutku, menghibur. “Kau
tahu, kekalahan seperti ini justru baik bagi mereka. Agar mereka bisa menilai kembali
kelebihan dan kekurangan tim. Sang Kapten tahu persis, cepat atau lambat mereka pasti
kalah, hanya soal waktu.”
Aku tetap menangis sedih, mengabaikan kalimat Ayah.
“Percayalah, Dam. Sang Kapten akan bermain minggu depan walau dengan kaki dibebat.
Sang Kapten akan membalas kekalahan ini. Dia tidak akan menyerah, tidak akan pernah.
Ayah berani bertaruh.” Aku menoleh, terdiam oleh suara Ayah yang begitu meyakinkan.
Aku menatapnya, menelan ludah. Bagaimana Ayah tahu?
“Karena malam ini, jika kau orang yang paling sedih di seluruh dunia atas kekalahan ini,
Ayah-lah orang yang paling mengenal sang Kapten di seluruh dunia. Inilah rahasia terbesar
Ayah.”
Mataku langsung membulat. Bagaimana mungkin?
“Sewaktu kecil, sang Kapten pernah dipanggil si Keriting Pengecut.” Dini hari itu, Ayah
memulai cerita hebatnya. “Seperti yang kau tahu, Dam, Ayah pernah mendapat beasiswa
untuk sekolah di luar negeri. Nah, apartemen ayah tidak jauh letaknya dari flat sempit milik
keluarga sang Kapten.
“Ayah mengenal baik anak itu. Siapa pun yang bertemu dengannya akan segera terkesan.
Bagaimana tidak, tampilannya menarik, sudah keriting, hitam, pendek pula. Siapa sangka,
sekarang dia menjadi idola jutaan orang, termasuk kau, Dam.
“Ayah mengenalnya pertamakali saat umurnya baru berbilang delapan, lebih muda
dibanding kau sekarang. Keluarga mereka miskin, imigran dari negeri jauh. Papa sang
Kapten mati dalam perang saudara di negeri asal mereka. Setelah berbulan-bulan berjuang
melintasi perbatasan, mamanya berhasil membawanya pergi.
“Ayah mengenal sang kapten pertama kali saat memesan sup hangat lewat telepon di
salah satu restoran terkenal kota itu. Malam-malam yang dingin, tugas kuliah yang
menumpuk, perut ayah lapar. Satu jam setelah meletakkan gagang telepon, pintu apartemen
Ayah baru diketuk.
“Ayah beranjak dari kursi dengan perasaan jengkel. Pelayan restoran yang menerima
pesanan Ayah tadi menjanjikan maksimal tiga puluh menit sup hangat itu sudah sampai, tapi
ini sudah satu jam. Saat Ayah diap menyemprot, di depan bingkai pintu, dengan terbata-bata
bocah petugas pengantar makanan itu menjelaskan. Dia bilang ban sepedanya bocor,
terbenam di tumpukan salju enam blok dari situ. Dia sudah berusaha lari secepat mungkin
membawa kantong makanan itu. Sialnya pula, lift apartemen macet. Bocah itu terpaksa
menaiki seratus sepuluh anak tangga agar tiba di lantai delapan. Dia meminta maaf karena
sudah membuat Ayah menunggu begitu lama. Dia sudah berusaha sebaik mungkin.
“Ayah termangu, menatap lamat-lamat bocah itu, dari ujung rambut ikalnya hingga ujung
sepatu bututnya yang basah karena salju. Napas anak itu masih tersengal. Dia menyeka
keringat yang mengalir deras. Seragam restorannya lembap. Terlihat sekali dia tidak
berdusta. Ceritannya bisa dibuktikan dengan melihat tampilannya. Rasa marah Ayah
mancair, berganti gumpal iba. Kau tahu, Dam, anak itulah sang Kapten. Dialah El Capitano
pada masa lalu. Dialah El Prince, pemain sepak bola terbaik saat ini, berdiri kedinginan di
depan pintu apartemen Ayah.”
Mulutku membuka separuh, ternganga. Sungguh? Ayah tidak bergurau, bukan? Baru tadi
siang teman-temanku sibuk pamer poster keren sang Kapten, kaus sang Kapten, syal klub,
dan topi klub. Bahkan Jarjit, yang orangtuanya kaya raya, memperlihatkan bola yang
ditandatangani sendiri sang Kapten waktu ia sekeluarga pelesir ke luar negeri menonton
langsung.
Sekarang, apa aku tidak salah dengar? Ayah bilang dia mengenal langsung sang Kapten?
Ini jelas beribu kali lebih keren dibanding bola Jarjit.
“Kalian belum tidur?” Ibu muncul dari balik pintu kamar.
“Sebentar lagi, Bu.” Aku jelas-jelas tidak mau tidur sebelum mendengar seluruh cerita
Ayah. Ini cerita terhebat yang pernah kudengar dari Ayah.
“Tidur, Dam. Ini sudah pukul tiga dini hari.” Ibu mendelik. “Empat jam lagi kau harus
sekolah. Bukankah sore-sore pula kau harus ikut seleksi renang?”
Aku merengut, itu bisa diurus nanti-nanti. Aku menoleh ke arah Ayah, meminta
dukungan. Tetapi setelah berpikir sejenak, Ayah ikut menyetujui kalimat Ibu. “Ibu kau
benar, kita bisa lanjutkan besok lusa.” Dan Ayah beranjak membereskan meja. Aku berkata
“ya” pelan, kecewa. Aku harus bilang apa? Jika Ayah sudah bilang begitu, sekuat apa pun
aku membujuk, tidak akan berhasil.
Malam itu, hingga dua tahun ke depan, kisah tentang sang Kapten menyingkirkan cerita-
cerita lain. Aku tidak tahu apakah Ayah berbohong atau berkata benar. Aku masih terlalu
kecil untuk menyimpulkan. Aku tersuruk-suruk masuk ke dalam kamar, menatap selintas
poster raksasa sang Kapten di dinding. Tentu saja aku punya benda koleksi El Capitano,
banyak, tapi aku tak akan seperti Jarjit.
Aku mengempaskan tubuh di atas kasur. Menguap lebar. Tidak mengapa sang Kapten
kalah, minggu depan ia pasti bisa membalasnya.
BAB III: Klub Renang
Empat jam kemudian, esok harinya.
“Bergegas, Dam. Kau sudah terlambat!” Sambil mengomel, Ibu bergegas memasukkan
celana dan kacamata renang ke dalam kantong plastik, mencari sepatu, sekaligus
meneriakiku yang masih berkutat memasang seragam sekolah.
“Bukannya sudah Ibu bilang, kau tidak usah menonton pertandingan semalam. Nanti-
nanti bukankah ada siaran ulangnya?” Kepala Ibu menyembul dari balik pintu kamar,
melotot, tidak sabar melihatku.
Aku tidak menjawab, bergegas memasukkan kancing terakhir, menyambar topi dan dasi,
mengambil tas dari Ibu, memakai sepatu seadanya tanpa kaus kaki (bisa kupakai lengkap
kalau sudah di sekolah), mengeluarkan sepeda, lantas berteriak pamit.
“Kau belum menyisir rambut, Dam!” Ibu berteriak.
Sepedaku sudah meluncur.
Ayah yang sedang menyiram halaman tertawa kecil melihatku.
Tiupan angin pagi membuat rambutku mengering, dengan cepat helai ikalnya berebut
mengembang―apalagi tanpa disisir. Aku menyeringai sekali lagi, aku juga tidak akan
mengeluh soal panggilan si Keriting (Pengecut). Itu tidak penting. Bukankah sang Kapten
waktu kecil juga dipanggil seperti itu? Itu justru panggilan hebat. Aku mengayuh sepeda
lebih kencang. Matahari sudah tinggi.
Aku terlambat setengah jam. Ibu guru menyuruhku berdiri di pojok kelas. Teman-
temanku tertawa, mengolok-olok. Aku hanya mnyeringai. Aku punya energi bahagia tidak
terbilang pagi ini, tidak akan habis walau sepanjang hari diolok-olok atau dihukum.
“Kaki kau pegal, Dam?” Taani, satu-satunya anak perempuan di kelas memanggil
namaku, mendekati mejaku saat bel istirahat berbunyi.
“Payah, seharusnya dia bisa mencetak tiga gol kalau tidak dicurangi.” Sebelum aku
menjawab pertanyaan Taani, suara serak Jarjit sudah terdengar di dekat kami. “Tim lawan
jahat, menebas kaki sembarangan. Dasar pecundang.”
“Benar itu. Benar.” Kamerad-kamerad Jarjit mengiyakan tidak mau kalah.
“Kau semalam menonton tidak, Pengecut?” Jarjit menoleh kepadaku. “Atau jangan-
jangan di rumah kau tidak ada televisi?” Kerumunan itu tertawa. Aku hendak membalas
kalimat Jarjit, tetapi Taani sudah menarik tanganku, mengajak menjauh.
Pulang sekolah, dengan menumpangi angkutan umum, Ayah menjemputku. Ia langsung
mengantarku ke klub renang kota kami.
Dua hari yang lalu, catatan waktuku sudah di bawah satu menit lima belas detik. Itu
syarat utama lolos menjadi anggota klub renang. Aku jauh lebih dari siap dibandingkan tes
minggu lalu atau dua minggu lalu. Setelah dua kali gagal berturut-turut, ini tes ketiga bagiku
dan menjadi kesempatan terakhir sebelum seleksi tahun ini ditutup. Sialnya aku malah
menguap. Kurang tidur semalam mulai terlihat akibatnya.
Pelatih memberikan instruksi dengan pengeras suara. Aku tidak terlalu mendengarkan.
Mataku sudah menyipit saat menyadari salah satu anak yang membantu pelatih adalah Jarjit.
Bergaya sekali ia memeriksa barisan, dengan tongkat pendek di tangan, sudah seperti
perenang paling top.
“Sepertinya kau tidak akan lolos lagi, Pengecut.” Jarjit menyengir lebar saat melihatku,
akhirnya.
Aku diam tidak menjawab.
“Kenapa kau pendiam sekali, Pengecut? Takut nama kau kucoret, hah? Dan celana
renang kau ini? Tidak bisakah ibu kau mencari model dan warna yang lebih baik? Norak.”
Jarjit menyeringai buruk. Wajahku kali ini memerah, bukan karena dadaku sakit ditusuk
tongkatnya, tapi marah karena ia membawa-bawa Ibu dalam olok-oloknya.
Untunglah pelatih renang memanggil Jarjit sebelum tanganku terangkat. Gangguannya
terhenti. Lihatlah, Jarjit bukan jengkel karena dipanggil pelatih, ia jelas-jelas jengkel karena
gagal membuatku jengkel―padahal ia yang menzalimi.
Pelatih memulai tes seleksi.
Namaku di urutan kedua puluh. Itu berarti bersama tujuh anak lain aku berada di
gelombang ketiga tes renang jarak seratus meter. Pelatih menyuruh kami bersiap,
mengambil ancang-ancang. Pelatih meniup peluit kencang. Aku gesit meluncur ke dalam air.
Aku tersengal, berusaha melihat ke jalur kiri-kanan, tertawa lebar, dan menepuk permukaan
air. Aku berhasil menyelesaikan tes lebih cepat dibanding tujuh anak lain.
Setengah jam berlalu, pelatih menyuruh kami berbaris lagi di pinggir kolam. Aku
menelan ludah tidak mengerti. Bukankah sudauh selesai? Tinggal ditempel saja catatan
waktu kami? Delapan peserta dengan hasil terbaik lolos. Kenapa kami disuruh berbaris
kembali?
“Sebulan terakhir, dua kali seleksi, kami mendapatkan enam belas anak berbakat.”
Pelatih meraih pengeras suara, berusaha mengalahkan berisik hujan. “Tetapi lihat, hari ini
hanya tersisa separuhnya. Mulai hari ini, klub memutuskan untuk menambah satu kriteria tes
seleksi. Maka kita akan memulai seleksi kedua, daya tahan.”
Apapun bentuk tes kedua ini, sepertinya menjadi kabar buruk. Aku tidak sempat
menyiapkan diri. Pelatih meniup peluit. Aku bergegas meloncat ke dalam dinginnya air.
Tidak ada alat penghitung waktu, stopwatch. Tes ini sederhana. Kami hanya diminta
berenang selama mungkin. “Hanya empat peserta terakhir yang berhasil bertahan di kolam
yang berhak menjadi anggota klub!” pelatih berseru galak, bergeming dari pinggir kolam.
Tangan dan kakiku terus mengayuh. Setengah jam berlalu, satu anak sudah berhenti.
Lima belas menit kemudian, dua anak menyusul menyerah. Ayolah, aku membujuk seluruh
tubuhku, tinggal satu pesaing lagi, berhatahan sebentar saja dan semua akan berakhir.
Pengaruh kurang tidur semalam memengaruhi staminaku. Tubuhku lemas. Kakiku tidak
kuasa lagi mengayuh. Tanganku mendadak seperti kaku, tidak bisa diperintah. Gerakanku
terhenti persis di tengah kolam. Tubuhku mengapung, tersedak, berusaha menggapai-gapai
udara sebelum tenggelam. Pelatih tanpa menunggu sedetik pun sudah meloncat ke dalam
kolam. Ayah melemparkan payungnya berlari menuruni tribun.
Pelatih berhasil menangkapku sebelum aku meminum air lebih banyak, memberikan
pertolongan pertama. Ayah bergegas memanggil petugan kesehatan. Aku dibawa pulang.
Tergolek lemah di ranjang tidak sadarkan diri, aku ditunggui Ibu sejak enam jam lalu.
Sepertinya sudah malam. Aku melihat jam dinding, sudah pukul sembilan.
“Tes renangnya bagaimana?” aku bertanya lemah.
“Kau masih bisa ikut seleksi tahun depan.”
“Astaga, tidak bisakah kita lupakan sebentar tes itu?” Ibu yang menyeka pipinya
menyela kalimat Ayah.
Ayah menyeringai di belakang punggung Ibu, memasang wajah aneh dan tanda tanduk di
kepala dengan tangan.
Ibu meraih gelas di meja, menyuruhku minum. “Kau harus banyak istirahat, Dam, agar
lekas pulih.” Ibu menoleh ke arah Ayah yang masih memasang tanda, lalu melotot. “Dan
kau, malam ini, tidak ada cerita-cerita itu. Libur, Dam harus tidur lebih cepat.”
Ayah menyeringai, buru-buru mengangguk.
Bab IV: Kesempatan Kedua
Gerimis di luar mulai menderas. Ruang keluarga kami.
“Yang itu Zas sudah tahu, Kakek,” sulungku dengan cepat menjawab.
“Qon juga tahu, si Nomor Sepuluh mencetak tiga gol di final, hatrick ke… ya, hatrick
keenamnya musim lalu. Eh, benar tidak, Kak?” Qon menggaruk-garuk kepalanya, lupa-lupa
ingat, memastikan pada kakaknya. Zas mengangguk, mengiyakan.
Ayah terkekeh, meletakkan gelas cokelat panas, menunjukku yang sedang mengambil
beberapa kertas di atas meja. “Kalian mirip sekali dengan papa kalian dulu, hafal di luar
kepala seluruh angka. Malah lebih hafal dibandingkan pelajaran sekolah.”
“Memangnya waktu kecil Papa suka bola, Kek?” Zas bertanya.
“Lebih dari siapa pun yang Kakek kenal. Dia penggemar sepak bola nomor satu.” Ayah
menyeringai lebar, terdiam sebentar melihat wajah anak-anakku. “Papa kalian tidak pernah
cerita?”
Zas dan Qon serempak menggeleng.

Bab V: Celana Renang


Masih pagi, sekolah belum ramai saat Taani tergopoh-gopoh datang.
“Hoi, kamu tidak boleh masuk ke WC anak laki-laki!” Jarjit langsung mencegahnya.
Taani melotot. “Siapa pula yang mau masuk ke toilet kalian? Jorok, bau. Di mana Dam?”
Jarjit tidak menjawab, balas melotot marah.
“DAM! Kau di mana?” Taani mengabaikan.
Kepalaku keluar dari balik pintu. Ini hari pertama hukuman kami.
Sejak tadi aku bungkam, menganggap Jarjit tidak ada di tempat. Bagusnya ia juga
memperlakukanku begitu. Kami tanpa berbicara langsung membagi tugas. Jarjit
membersihkan toilet laki-laki, bagianku toilet perempuan. Sebelum membersihkan toilet, di
kelas aku sempat mendengar Jarjit memakiku pada teman-temannya, berkata bahwa gara-
gara aku, ibunya di rumah memaksa mengirimkan kuelah, peraturan itulah, peraturan inilah.

BAB VI: Surat-Surat Itu


Hujan di luar semakin deras. Kami berada di ruang keluarga.
“Bagaimana Kakek tahu kalau sang Kapten adalah paman si Nomor Sepuluh?” Zas
menyela cerita, menghentikan sejenak pijatan di bahu Ayah.
“Sang Kapten sendiri yang memberitahu Kakek,” Ayah menjawab ringan, seringan kepul
uap cokelat panas dari gelas besar.
“Kakek juga mengenal sang Kapten?” Mata Zas membulat.
Hebat benar obrolan mereka malam ini. Belum habis kejutan Kakek tentang si Nomor
Sepuluh yang meneleponnya, disusul rahasia tentang si Nomor Sepuluh yang masih kerabat
dekat dengan sang Kapten, sekarang Kakek akan cerita apa lagi?
“Benar, Kakek mengenalnya langsung waktu dia masih seumuran kalian. Masih belajar
menendang dengan bola kasti.” Ayah santai menatap wajah cucu-cucunya, menunjuk bahu
dan tangan sulungku yang menggantung berhenti.
Zas dan Qon bergegas kembali memijat kakeknya.
Ayah tertawa. “Papa kalian dulu amat sangat mengidolakan sang Kapten. Menjadikan
sang Kapten sumber inspirasi. Kalian lihat piala besar di lemari?”
Zas dan Qon menoleh serempak.
BAB VII: Berdamai
Hujan membungkus kota. Runag keluarga kami.
Penilaian Buku:
 Kelebihan buku
1. Pesan moral yang disampaikan di dalam novel sangat kuat.
2. Banyak kearifan yang bisa dicontoh dari cerita tersebut.
3. Isinya membuat kita merasa perlu memperbanyak kecintaan kita pada keluarga, terutama
ayah.
4. Isinya sangat menggugah dan membuat haru, penikmat novel akan merasa terharu setelah
membaca novel ini.
5. Di dalam novel ini banyak terdapat kata-kata motivasi dan inspirasi yang akan membuat
pembacanya termotivasi dan terinspirasi.
6. Menyajikan tentang arti hakikat kebahagiaan sejati dalam kehidupan yang selama ini
disalah artikan oleh kebanyakan orang.
7. Kata-kata yang digunakan di dalam novel mudah dipahami dan dicerna oleh semua
golongan penikmat novel, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua
sekalipun.
8. Saat pembaca membaca novel ini, seakan-akan dia merasa menyatu dengan cerita dan
merasa menjadi bagian dari cerita tersebut.

 Kekurangan buku
1. Menceritakan hal-hal yang menurut logika manusia tidak masuk akal, misalnya layang-
layang raksasa yang terbang dan di kendarai oleh manusia.

Penilaian saya
Novel ini sangat layak untuk dibaca oleh semua orang, baik dalam kalangan
penikmat novel atau bukan. Karena di dalam novel ini memaparkan bagaimana seharusnya
kita menuntut ilmu, bersikap baik kepada kedua orang tua dan kepada semua orang yang
kita kenal maupun tidak kita kenal serta menghargai semua orang. Pada awalnya cerita di
novel ini biasa-biasa saja, namun, seiring dengan berjalannya cerita, novel ini semakin
menarik untuk dibaca. Novel yang begitu mengharukan.

Anda mungkin juga menyukai