OLEH :
ARBAIYAH
NIM: P2B222004
Teori Hukum Murni Kelsen kerapkali dinisbatkan kepada tradisi positivistis dan tradisi
pemikiran neo-Kantian. Perkembangan Teori Hukum Murni tidak dapat dilepaskan dari
[mengabaikan] pengaruh tradisi positivistis dan tradisi neo-Kantian. Kecenderungan tradisi
filosofis yang berbeda dalam pemikiran Kelsen ini tidak hanya sulit didamaikan, tetapi juga
sangat bertolak belakang [bertentangan] secara radikal satu sama lain. Karena itu, sejumlah
ide Kelsen yang berasal dari salah satu tradisi ini hams dihilangkan [diabaikan] dalam rangka
menjadikan Teori Hukum Murni yang utuh.
Kelsen melakukan refleksi dengan menggunakan teori pengetahuan Kant [epistemologi Kant]
dalam membekikan pendasaran transendental dari teori Murni. Namun, argumen Kelsen
mengenai "Grundnorm" ("Norma dasar"), atas nama kategori hukum fundamental, berfungsi
sebagai pengandaian ilmu hukum yang perlu bersifat hipotetis dan dipahami sebagai "dasar"
terakhir bagi keabsahan seluruh sistem; bagaimanapun tetap saja problematis, ketika
dirumuskan dan ditafsirkan dalam memberikan satu landasan neo-Kantian bagi Teori Hukum
Murni. Konsepsi norma dasar ini diajukan, sebagai mendasari keabsahan obyektif dari hukum
sebagai satu kesatuan sistem norma-norma hukum yang mengikat. Namun, solusi Kelsen
mengenai masalah menetapkan keabsahan hukum ini masih tidak memuaskan dan doktrin
norma dasar sebagai kategori transendental selalu memperoleh kecaman dan penolakan dari
para filsuf hukum. Upaya Kelsen menjelaskan konsep keabsahan sebagai kekuatan mengikat
sesuai dengan konsepsi positives dan ilmu hukum berdasarkan doktrin norma dasar dapat
disimpulkan telah berakhir dengan kegagalan.
Kelsen tidak mampu menjelaskan status norma dasar dalam memberi landasan kepada
keabsahan hukum. Apakah "norma dasar" hanya merupakan asumsi konseptual atau sebagai
norma yang sejati dan mengikat? Ketidakmampuan Kelsen menjelaskan status norma dasar
yang dinilai oleh ilmuwan hukum sebagai membingungkan dan mengacaukan bagi suatu
sistem hukum. Penolakan terhadap argumen Kelsen ini karena kita menemukan
ketidakkonsistenan radikal dalam teori Murni, Ketidakkonsistenan radikal antara doktrin
pengandaian dan positivisme hukum dalam Teori Hukum Murni secara prinsip timbul ketika
Kelsen mengusulkan pemecahan persoalan keabsahan hukum melalui doktrin pengandaian,
di satu pihak, dan cara di mana ia mengusulkan kesesuaiannya dengan positivisme hukum, di
pihak lain. Dalam menutup persoalan ini, Kelsen tidak mampu mempertahankan konsistensi
dari pemikirannya yang dikonstruksi sendiri dalam perkembangan keseluruhan [struktur]
Teori Hukum Murni?
Kelsen tetap memakai peranan norma dasar tampil dalam perkembangan terakhir dari Teori
Hukum Murni. Dalam General Theory of Norms, 1991 Kelsen menggambarkan keabsahan
dipengaruhi norma dasar dalam silogism teoritis (meliputi pernyataan ilmu hukum, bukan
norma-norma itu sendiri). Di sini, Kelsen mengklaim norma dasar qua fiksi [khayalan]. Tetapi
ini sepenuhnya tidak konsisten, norma fiksi tidak dapat mensahkan norma positif dan
pernyataan-pernyataan ilmu hukum tidak dapat mensahkan atau menciptakan norma-
norma. Kelsen telah menggambarkan penggantian keabsahan proposisi-proposisi dengan
proposisi juridis-deontik mewakili, inter alia, pembebasan karakter ilmu hukum normatif, dan
peranan logika dalam hukum ditampilkan [di mana Kelsen mengklaim bahwa tidak ada logika
norma-norma]. Teori Hukum Murni dikuruskan oleh Kelsen dari landasan neo-Kantian yang
telah dijadikan teori, dalam bentuk klasiknya, dikenal sebagai hampir khas [spesifrk].
Perkembangan konsepsi Kelsen mengenai peranan logika norma-norma benar-benar
menggambarkan konsekuensi-konsekuensi terakhir dari pemikiran Kelsen sebelumnya,
dengan mengeluarkan rasio seluruhnya dari dunia normatif Karena itu, dapat disebutkan di
sini, "normative irrationalism" merupakan bentuk akhir teori Kelsen. Karya Kelsen sebagai
versi final dari Teori Hukum Murni ini telah meninggalkan ciriciri yang paling berbeda dari
teori ini. Apakah Kelsen mengalami kesulitan dengan teorinya sehingga irrasionalisme
normatif perlu dikonstruksi untuk memecahkan? Dalam karya Kelsen yang terakhir ini kita
melihat kekuatan Teori Hukum Murni, yaitu norma dasar qua kategori transendental telah
digantikan dengan fiksi. Kajian ini ditutup dengan meminjam kata-kata Michael Hurtney,
bahwa karya terakhir ini merupakan benih-benih kontradiksi dan Kelsen di sini dipengaruhi
"dekonstruksi"-[nya] sendiri.
TOKOH RADBRUCH
Dalam perkembangan studi teori hukum, pendekatan hukum zaman dahulu (kl asik)
dilakukan dengan hanya menggunakan satu sudut pandang, misalnya hukum normatif
yang menggunakan pendekatan positivik, hukum empiris yang menggunakan
pendekatan sosiologis dan antropologis misalnya, dan hukum etis yang hanya
menggunakan pendekatan nilai dan moral. Hal inilah yang cenderung membuatnya
bersifat ekstrim dan sempit.
Secara konkret teori yang dikemukakan Gustav Radbruch disebut dengan teori tujuan
hukum yang secara sederhana ingin menjelaskan bahwa hukum dalam tujuannya perlu
berorientasi pada tiga hal, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan (Kurt:1950:73).
Teori tujuan hukum apabila ditarik kebelakang tidak akan lepas dari suatu pandangan
teologis bahwa segala sesuatu yang bereksistensi pasti memiliki tujuan tertentu. Hal
ini juga berlaku terhadap hukum yang tentunya memiliki sesuatu yang hendak dicapai
dan bersifat ideal. Teori tujuan hukum oleh Gustav Radbruch lebih lanjut dijabarkan
sebagai berikut.
Pertama, kepastian yang berarti bahwa kepastian merupakan tuntutan hukum, ialah
supaya hukum menjadi positif dalam artian berlaku dengan pasti. Hukum harus ditaati,
dengan demikian hukum sungguh- sungguh positif (Notohamidjojo:2012:33). Hal ini
berarti kepastian hukum ditujukan untuk melindungi kepentingan setiap individu agar
mereka mengetahui perbuatan apa saja yang dibolehkan dan sebaliknya perbuatan
mana yang dilarang sehingga mereka dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan
pemerintah.
Kedua, kemanfaatan yang diartikan sebagai tujuan hukum yang harus ditujukan pada
sesuatu yang berfaedah atau memiliki manfaat. Hukum pada hakikatnya bertujuan
untuk menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan bagi orang banyak
(Sudikno:2008:80). Bahwa negara dan hukum diciptakan untuk manfaat sejati yaitu
kebahagiaan mayoritas rakyat.
Ketiga, keadilan yaitu suatu kondisi dimana kasus yang sama diperlakukan secara
sama. Adapun keadilan sangat berhubungan dengan hati nurani. Keadilan bukan
tentang suatu definisi yang formal karena ia berhubungan erat dengan kehidupan
manusia sehari- hari. Hati nurani ini memiliki posisi yang sangat tinggi karena
berhubungan dengan rasa dan batin yang paling dalam. Terhadap keadilan, Radbruch
menyatakan: ”Summum ius summa inuiria” yang berarti keadilan tertinggi adalah hati
nurani. Radbruch punya penekanan dan mengoreksi pandangannya sendiri, bahwa cita
hukum tidak lain daripada keadilan (Titon:2016:16).
ALIRAN NEOMAXISME
TOKOH LENIN
Dalam filosofi Marxis, Leninisme merupakan bagian dari teori politik organisasi demokratis
suatu partai politik revolusioner dan pencapaian demokrasi langsung kediktatoran
proletariat sebagai awal dari sosialisme. Paham yang dikembangkan dan dinamai
berdasarkan nama pemimpin Revolusi Rusia, Vladimir Lenin (1870–1924), ini terdiri atas
teori politik dan ekonomi sosialis yang dikembangkan dari Marxisme dan penafsiran pribadi
Lenin terhadap teori Marxis yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat agraris
di Kekaisaran Rusia (1721–1917). Dalam praktik revolusi, Leninisme membalik urutan filosofi
Marxis mengenai ekonomi di atas politik sehingga memungkinkan terjadinya revolusi politik
yang dipimpin oleh partai pelopor revolusioner daripada harus menunggu terjadinya
revolusi kelas buruh di perkotaan secara spontan sebagaimana yang dinyatakan
dalam Marxisme.[1]
Pasca-Revolusi Oktober 1917, Leninisme merupakan varian yang dominan dari Marxisme
yang selanjutnya menjadi ideologi resmi demokrasi Soviet (melalui dewan pekerja)
di Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia sebelum melebur ke dalam Uni Soviet pada
tahun 1922.[2] Sebagai istilah ilmu politik, Leninisme mulai digunakan secara umum pada
tahun 1922, hanya beberapa saat setelah Lenin terserang stroke yang membuatnya tidak lagi
aktif berpartisipasi dalam Partai Komunis Rusia. Dua tahun kemudian, tepatnya pada Kongres
V Komintern, Juli 1924, Grigory Zinoviev mempopulerkan penggunaan istilah Leninisme.
TOKOH BERSTEIN
1 – Metode Oportunis
2 – Adaptasi Kapitalisme
Apa akibat yang segera akan terjadi jika partai kita harus
mengubah prosedur umumnya untuk disesuaikan dengan
sudut pandang yang ingin menekankan perhatian pada
hasil-hasil praktis dari perjuangan kita? Segera setelah
“hasil-hasil jangka pendek” menjadi tujuan utama
aktivitas kita, maka hal nyata yang tak terdamaikan
dengan sudut pandang yang baru akan memiliki makna
jikalau ia mengajukan konsep untuk memenangkan
kekuasaan, akan didapati makin dan makin sulit.
Konsekuensi langsung dari hal ini akan berupa adopsi oleh
partai terhadap “kebijakan kompensasi”, yakni suatu
kebijakan perdagangan politis, dan sebuah sikap yang
kurang percaya diri, perdamaian diplomatis. Tetapi sikap
ini tidak bisa berlanjut untuk waktu yang lama, karena
reformasi sosial hanya bisa menawarkan janji kosong.
Konsekuensi logis dari program seperti itu pastilah berupa
kekecewaan.
TOKOH HORKHEIMER
Dimulai dari tahun 1931 ketika Horkheimer menjabat sebagai Direktur Sekolah Frankfurt
menggantikan Carl Grunberg, dia berpidato tentang filsafat sosial sebagai "interpretasi
filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, tetap
sebagai anggota masyarakat. Jadi, objek filsafat sosial sekarang adalah semua kelembagaan
yang bersifat material dan spiritual dari kemanusiaan secara menyeluruh", bukan filsafat yang
memaksa nilai filosofis manusia dalam pengangguran, keterasingan dan penindasan yang
dilakukan oleh kelas penguasa. Dia memakai pandangan Karl Marx dalam anggapan bahwa
kejiwaan manusia, kepribadian juga hukum, kesenian, filsafat sebagai semata-
mata cermin dari bidang ekonomi, dan bukan dengan vulgar memakai
sumbangan Hegel tentang kendali Roh, tetapi pada dialektika
antara realitas material dan mental. Dalam pikiran yang bergerak di bidang ideologi inilah,
ideologi dipandang sangat berperan dalam ikut mengacaukan kenyataan sosial. Dua hal yang
menjadi perhatian teori kemasayarakatan Horkheimer adalah bidang sosiolgi politik dan
kebudayaan.
Ini adalah salah satu kutipan karya Horkheimer dalam buku Eclipse of Reason pada tahun
1933 ketika dia di Amerika dalam puncaknya menentang kapitalisme.
TOKOH MARCUSE
Objek paper kali ini mengambil objek studi pemikir politik kontemporer yang terkenal dengan
bukunya yang berjudul One-Dimentional Man (Manusia Satu Dimensi), yaitu Herbert
Marcuse. Lahir di Berlin pada tahun 1898, Marcuse mengikuti pendidikan di Universitas Berlin
dan Freiburg.Marcuse bersama Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno di Frankfurt School
mendirikan sebuah aliran yang bernama Mahzab Frankfurt. Mahzab Frankfurt ini menjadikan
terkenal karena mengembangkan sebuah teori bernama ‘Teori Kritis’.
Sebagai “teori krtitis” Teori Kritis merupakan teori yang reflektif. Artinya, teori itu tidak
langsung saja mengenai salah satu masalah, melainkan dalam menangani sebuah masalah, ia
menyadari dirinya sendiri, ia merefleksikan perannya sendiri sebagai teori. Teori Kritis
dibangun atas dasar kritik terhadap pandangan tradisional mengenai teori : teori membatasi
dirinya diri pada kontemplatif. Teori yang kontemplatif memiliki arti bahwa teori hanya
melihat, tetapi tidak menjadi praksis dan mengubah apa yang dilihat tersebut. Dengan
pendekatan kontemplatif itu, teori tradisional menjadi afirmatif. Artinya, dengan
memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, kita justru menjadi puas
dengan realitas; jadi, realitas itu diafirmasi atau dibenarkan. Dengan demikian, teori
tradisional menjadi pendukung keadaan yang ada. Ia menjadi konservatif dan bahkan
reaksioner.
Teori Tradisional ini didasarkan pada pola pikir postivisme logis yang membatasi ilmu
pengetahuan pada fakta-fakta dan mengesampingkan pernyataan-pernyataan yang bersifat
irasional. Secara rasio-instrumental teori tradisional juga dianggap menerima begiu saja
kepentinga-kepentingan fundamental sebagai dasar-dasar ilmu. Teori tradisional berusaha
menciptakan teori yang bebas nilai dengan menginduksi atau menggenerelasikan sebuah
fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dan menjadikannya sebuah kesimpulan
(teori). Hal tersebut yang dikritik oleh Mahzab Frankfurt yang menyatakan bahwa dengan
proses induksi tersebut, teori tidak menggambarkan proses yang sebenarnya terjadi dengan
mengabaikan faktor-faktor lain yang mungkin memengaruhi. Maka rasionalitas dibutuh demi
menalar dan memaknai suatu kejadian.
Cara kerja Teori Kritis adalah menjelaskan realitas sedemikian rupa sehingga kepalsuan dan
kebohonga tersingkap, jadi secara langsung Teori Kritis terpengaruh ajaran Hegel dan Marx
mengenai Dialektika yang bersifat negatif. Teori Kritis meneliti realitas sedemikian rupa
sehingga realitas itu sendiri berbicara dan menunjukkan bahwa ia dibentuk oleh sebuah
penindasan.Jadi, teori kritis selalu mengikuti realitas secara ketat dan menunjukkan di mana
realitas itu menumpas kebenaran dan menindas manusia. Selain itu, perbedaan Teori Kritis
dengan Teori Tradisional adalah fokus perhatian tertuju pada refleksinya tentang status dan
fungsinya sebagai teori. Karena keyakinan Mahzab Frankfurt adalah bahwa teori sebagai teori
memainkan peranan sosial. Jadi, teori bukan hanya refleksi terhadap realitas, tetapi teori juga
harus memiliki praksis : mempunyai dampak pada perubahan realitas sebagai teori.
Walaupun begitu, sebenarnya aliran pragmatism dari William James dan John Dewey
itu sendiri sangat berpengaruh terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh juga
terhadap ajaran dari Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat pengaruhnya terhadap
ajaran dari Roscoe Pound.
Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran realisme
hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu (awal abad ke-20), dalam dunia filsafat sangat
berkembang ajaran pragmatisme ini, antara lain yang dikembangkan dan dianut oleh William
James dan John Dewey. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pragmatisme sebenarnya
merupakan landasan filsafat terhadap aliran realisme hukum. Dalam tulisan – tulisan dari para
penganut dan inspirator aliran realisme hukum, seperti tulisan d.ari Benjamin Cardozo atau
Oliver Wendell Holmes, sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatisme hukum ini.
Hubungan antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini sangat unik. Di
satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai kemiripan atau
overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua aliran tersebut justru saling
berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan penganut aliran sociological jurisprudence,
merupakan, salah satu pengritik terhadap aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas,
sesuai dengan namanya, aliran realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program
yang lebih nyata dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence.
Para penganut aliran critical legal studies telah pula bergerak lebih jauh dari aliran
realisme hukurn dengan mencoba menganalisisnya dari segi teoretikal-sosial terhadap politik
hukum. Dalarn hal ini yang dilakukannya adalah dengan menganalisis peranan dari mitos
“hukurn yang netral” yang melegitimasi setiap konsep hukum, dan dengan menganalisis
bagaimana sistern hukurn mentransformasi fenomena sosial yang sarat dengan unsur politik
ke dalam simbol-simbol operasional yang sudah dipolitisasi tersebut. Yang jelas, aliran critical
legal studies dengan tegas menolak upaya-upaya dari ajaran realisme hukum dalam hal upaya
aliran realisme hukum untvk memformulasi kembali unsur “netralitas” dari sistern hukum.
Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para pelopornya sendiri
lebih suka dianggap sebagai hanya. sebuah gerakan sehingga mereka. menyebutnya sebagai
“gerakan” realisme hukum (legal realism movement). Nama populer untuk aliran tersebut
memang “realisme hukum” (legal realism) meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan
nama lain seperti: Functional Jurisprudence. Experimental Jurisprudence. Legal Pragmatism.
Legal Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal Discriptionism. Scientific
Jurisprudence. Constructive Scepticism.
Kaum realist hukum tidak percaya terhadap pendekatan pada hukum yang dilakukan
oleh kaurn positivist dan naturalist, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa hakirn hanya
menerapkan hukurn yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Bahkan, sebagaimana
yang dikemukakan oleh aliran formalisme hukurn bahwa penalaran hukum (legal reasoning)
merupakan penalaran yang bersifat syllogism, di mana premis mayor berupa aturan hukurn
dan premis minor berupa fakta-fakta yang relevan, sedangkan hasilnya berupa putusan
hakim. Menurut ajaran realisme hukum, aliran positivisme maupun allran formalisme sama-
sama meremehkan penerapan hukum oleh hakim, di mana menurut golongan ini, peranan
hakirn hanya sebatas menerapkan hukum atau paling jauh hanya menafsirkan hukum seperti
yang terdapat dalarn aturan perundangundangan. Sebaliknya, menurut aliran realisme
hukum, hakim tidak hanya menerapkan atau menafsirkan hukum. Dalarn banyak hal, ketika
hakirn memutuskan perkara, hakirn justru membuat hukum. Hukurn yAng dibuat oleh hakirn
ini umumnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang politik dan perasaan dari hakirn yang
memutuskan perkara tersebut.
ALIRAN FENOMENOLOGI
TOKOH HUSSERL
Fenomena, berarti segala sesuatu yang menyingkapkan-diri atau sesuatu yang memberikan-
dirinya dalam ketersingkapannya yang khusus. Maka, fenomenologi, adalah metode untuk
menangkap fenomena, atau metode untuk melihat segala sesuatu yang memberikan-
dirinya (self-given) menurut cara keterberiannya masing-masing yang khas dan singular/
perspectival (its manner of givenness). Kuncinya, terletak pada: cara-bagaimana sesuatu itu
memberikan-dirinya/ menyingkapkan-dirinya; atau dengan kata lain: cara-berada dari
sesuatu . Lantas, bagaimana “sesuatu” itu dapat memberikan-dirinya menurut cara
keterberiannya masing-masing, atau secara “apa adanya”, sehingga “sesuatu” itu “mewujud”
atau “meng-ada” (being)? Supaya “sesuatu” (fenomena) itu dapat memberikan-dirinya apa
adanya tanpa ada prasangka, pra-konsepsi yang mencemari “wujud keasliannya”, maka
fenomenologi Husserlian memberikan cara yakni menangguhkan atau “menempatkan di
dalam kurung” segala konstruksi pengetahuan yang melekat dalam cara berpikir kita dan
selalu kita andaikan tentang sesuatu itu, untuk kemudian dari titik tanpa
pengandaian (presuppositionless) itu kita dapat melihat sesuatu itu sebagai sesuatu itu
sendiri, bukan konstruksi pengetahuan kita tentang sesuatu itu. Metode ini oleh Husserl
disebut “epoche”. Di sini, fenomenologi hendak memprovokasi kesadaran kita dengan
memalingkan pengamatan dari dunia-keseharian yang artifisial, kembali kepada dunia-
kehidupan yang mendasar, fundamental dan transendental.
Prinsip fenomenologi Husserl adalah pada kemampuan manusia untuk memaknai hidupnya
dengan bersikap tepat di hadapan realitas. Dan, realitas itu bersifat transenden, artinya
melampaui daya jangkau persepsi dan pemahaman manusia, atau bersifat tidak terbatas.
Sifat transenden realitas ini membuat dunia-kehidupan (lebenswelt) selalu memberikan
kemungkinan pemaknaan yang tidak terbatas. Inter-relasi sosial dalam fenomenologi
dimaknai sebagai perjumpaan antar subjektivitas yang masing-masing aktor membawa
subjektivitasnya masing-masing atau kesadarannya masing-masing, dalam intensional yang
sama. Bentuk cara-berada (meng-ada) atau relasi intensional di antara subjek yang sama
sekaligus berbeda, relasi timbal balik yang melaluinya tidak lagi terdapat perbedaan antara
subjek-objek, yang oleh Husserl dinamakan “intersubjektivitas”. Relasi intersubjektivitas ini
merupakan dasar pemahaman terhadap dunia. Ia mengkonstitusikan pemahaman kita dalam
horizon pra-refleksivitas yang tidak terbatas. Intersubjektivitas yang terjadi dalam
temporalitas tertentu ini memicu kesadaran dan melampaui kesadaran diri sendiri secara
intensif yang tidak memiliki cukup akses sehingga memunculkan “kesadaran lain”, dan orang
lain (The Others) dan “subjektivitas yang asing” yang kemudian mewujud menjadi “sumber
dari segala jenis realitas transenden lainnya”. Hal ini mentransformasi seluruh kategori
pemahaman dan pengalaman kita akan realitas. Intersubjektivitas ini melahirkan penegasan
diri, yang oleh Husserl disebut “ego-transendental”, yang merupakan momen refleksi diri
personal. Inilah rasionalitas kesadaran. Ia sebenarnya tidak benar-benar rasional objektif,
tetapi mengandaikan berbagai hal yang tidak disadari. Kekuatan kesadaran manusia terletak
pada daya kapasitas / daya aktif-agresif yang dimilikinya.
Kesadaran inilah yang menjadi proyek besar fenomenologi. Kesadaran muncul dari relasi
intensional yang memberi makna pada “lebenswelt” (life-world) tempat manusia hidup
dengan segala pengalaman hidup dan perasaannya, merupakan momen-afeksi atau
kepedulian yang memperlihatkan keterlibatan atau cara-berada (meng-ada) kita yang
mendasar dengan realitas atau yang dalam bahasa fenomenologi disebut sebagai “ada-di-
dalam-dunia” (being-in-the-world). Momen-afeksi atau kepedulian atau kesadaran ini adalah
penghayatan hidup (vivacity), yakni menghayati bahwa sesuatu itu dipahami sebagai sesuatu
itu sendiri; atau membiarkan peristiwa itu bercerita kepada kita apa adanya dan memberikan
kesadaran kepada kita tentangnya hingga mencapai “ego-transendental” dan bahkan
“kesadaran yang lain”. Inilah sebabnya analisis fenomenologi selalu mengambil posisi atau
“perspektif orang pertama” (first person perspective), karena seluruh pengalaman dan
pemahaman akan realitas dimungkinkan dari diri sendiri dan refleksi diri.
Momen-afeksi dan penegasan diri yang muncul dalam “first person perspective” ini bagi
fenomenologi
menjadi awal dari seluruh aktivitas budaya dan kebudayaan. Dengan menegaskan-diri
manusia menjadi dirinya sendiri, dan dengan menjadi dirinya sendiri manusia “merawat
jiwanya”, merawat dunianya, sesamanya (otentisitas). Rumusan “merawat jiwa” ini
mendapat tempat tersendiri dalam kajian fenomenologi Patocka, seorang penganut
fenomenologi Husserlian, yang menganggap problem “penyingkapan-diri” atau “pemberian-
diri” sebagai sesuatu yang bermakna (showing in itself). Bagi Patocka, penegasan-diri,
penyingkapan-diri selalu memuat dimensinya yang mendua/ ganda (double meanings), yang
mana kemenduaan atau kegandaan cara-berada manusia ini karena digerakkan oleh suatu
gerak di dalam dirinya. Gerak yang menggerakkan itu (auto-kineton) tidak lain adalah
jiwa (soul). Bagi Patocka kekhasan jiwa telah menetapkan dasar bagi seluruh peradaban
manusia berikutnya. Gerak mendua jiwa ini dalam pembacaan Patocka berasal dari sifat
alamiah jiwa itu sendiri, dan dalam jawaban untuk bertanggungjawab atas jiwanya, atas
sesamanya dan atas dunianya, dan dalam jawaban itulah terletak inti kebebasan manusia.
Politik (polis), dalam pembacaan Patocka, adalah sebuah wilayah yang di dalamnya jiwa
manusia memberikan-diri melalui berbagai caranya yang beragam (self-given in its varieties
of manner of givenness).
Sedangkan para fenomenolog lain seperti Mead dan Schutz berasumsi bahwa dunia
kehidupan adalah dunia kehidupan sehari-hari, lingkungan total pengalaman individu, yang
mau tidak mau adalah ditentukan secara biografis. Dunia telah ditentukan apa adanya yang
di dalamnya para individu berupaya merealisasikan sasaran sasaran obyektif. Husserl dan
Merleau Ponty menekankan adanya hubungan kesadaran antara subyek dan dunianya yang
bersifat prarefleksi. Artinya mendahului segala refleksi dan kesadaran pada taraf eksistensi.
Dalam bahasa Husserl yang lain disebut sebagai reduksi yakni kembali pada dunia
pengalaman.
Pengalaman adalah tanah dimana dapat bertumbuh segala macam kebenaran, se-individual
apapun dalam fenomenologi. Begitu pula dalam ilmu pengetahuan. Pengalaman pra
ilmiah dan ilmu pengetahuan dapat lebih jelas kita lihat jika kita memahami paham-paham
seperti ruang dan waktu. Ilmu pengetahuan hanya mengenal ruang obyektif atau geometris
yang homogen dan bukannya ruang antropologis dimana kita sungguh-sungguh berada.
Dimensi-dimensi ruang obyektif dapat diukur satu dengan lainnya secara eksakta namun
bukan ruang yang sesungguhnya kita tempati. Ruang obyektif ini tidak lain adalah suatu
obyektifikasi dari ruang yang kita hayati yakni ruang sesungguhnya (atau ruang antropologis),
sehingga bagi ilmu pengetahuan, ruang yang abstrak adalah adalah ruang antropologis
dimana kita berada sesungguhnya. Demikian pula waktu. Waktu geometris adalah waktu yang
diukur dengan titik-titik dalam jam yang diputari jaum-jarumnya. Sedangkan waktu
antropologis adalah waktu kehadiran sebagai subyek yang pada saat bersamaan masih
menahan waktu lampau (retention) dan mendahului masa depan (protention). Karenanya,
fenomenologi melihat ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari pengalaman pra ilmiah,
meskipun seorang ilmuan melakukan obyektifikasi sebab realitas obyektif yang diandaikan
dan diolah ilmu pengetahuan berdasar pada realitas alami sehari-hari.
Fenomenologi Husserl membawa agenda pertama, interaksi intersubjektif sebagai hal sentral
pada konstitusi realitas sosial; kedua, menekankan resiprositas sebagai bangunan konstitusi
dari intersubjektivitas. Dalam konteks ini individual dapat dilihat sebagai agen yang
“mengonstitusi” atau terkonstitusi oleh” partisipasi mereka dalam komunitas di bawah
batasan-batasan rekognisi timbal balik. Pandangan ini tidak bermakna atomistik, yang
membiarkan identitas individual terkonstitusi secara intersubjektif, ia tetap individualistik
hingga ia memasuki entitas kolektif. Pada level epistemologi, hal ini memunculkan dasar-
dasar metodologi individualisme pada level normatif hal ini melahirkan tata sosial deliberatif
dan legitimasi politik yang bersandar pada prinsip-prinsip moral resiprositas dan
tanggungjawab yang setara.
Sebagai metode, fenomenologi telah dapat dikatakan sebagai alat untuk memperoleh
pengetahuan mengenai sifat-sifat alami kesadaran dan jenis-jenis khusus pengetahuan orang
pertama, melalui bentuk-bentuk intuisi. Untuk ini Husserl menjelaskan bahwa fenomena
adalah realitas yang esensi, dan pengamatan adalah aktivitas spiritual, sedangkan substansi
adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur realitas dan bisa dijangkau. Metode
fenomenologi dapat dirunut dari ajaran Husserl tentang epoche, intersubjektivitas,
intensionalitas dan reduksi, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Schutz.
Walaupun Husserl adalah orang pertama yang mengajarkan dan meletakkan dasar pemikiran
fenomenologi secara filsafati dan teori, namun Schutz-lah sebagai penjembatan pemikiran
Husserl secara metodik untuk mengoperasionalkan fenomenologi dalam penelitian ilmu
sosial. Itulah sebabnya dalam pembahasan metodologi fenomenologi, Schutz mendapat
prioritas yang utama. Selain itu, melalui Schutz-lah pemikiran-pemikiran Husserl yang
dirasakan abstrak pada masa itu dimengerti. Schutz mengawali pemikirannya dengan
mengatakan bahwa obyek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan dengan
interpretasi terhadap realitas. Jadi sebagai peneliti sosial, kitapun harus membuat
interpretasi terhadap realitas yang diamati. Orang-orang saling terikat satu sama lain ketika
membuat interpretasi ini. Tugas peneliti sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses
ini.***
ALIRAN EKSISTENSIALISME
TOKOH HEIDEGGER JASPERS
Teitis beranggapan bahwa manusia memiliki bereksistensi namun atas pengaruh kehendak
tuhan. Sedangkan ateitis berkebalikan yang dimana manusia mempunyai kebebasan dalam
bereksistensi terlepas dari kehendak tuhan. Perbedaan pemikiran dalam eksistensialisme
berawal dari anggapan esensi mendahului eksistensi atau eksistensi mendahului esensi.
Maksudnya meskipun manusia bebas melakukan apapun pada akhirnya manusia akan
dihadapkan dengan dua pilihan yang bercabang. Untuk memilih antara dua pilihan itu
manusia akan memikirkan penderitaan, perjuangan itu sulit atau tidak, menyakiti orang lain
sehingga memiliki kesalahan atau tidak, dan kematian, kalau kematian pasti semua orang
akan mati dan merupakan batas akhir manusia.
Kesesuaian dan ketidak-sesuaian belumlah dianggap memiliki nilai-nilai moral, oleh karena
dorongan batin sama sekali diabaikan. Nilai moral baru diperoleh dalam moralitas.
Moralitas dalam pandangan Kant selanjutnya dipahami sebagai kesesuaian sikap dan
perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang itu pandang sebagai
kewajiban kita ”the agreement of an action with Ethical Laws, is its Morality”. Moralitas
barulah dapat diukur ketika seseorang mentaati hukum secara lahiriah karena kesadaran
bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi
hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.
Menurut Kant, manusia harus bertindak baik, karena manusia wajib untuk itu. Tindakan moral
harus datang dari dalam diri manusia sendiri dan tidak datang dari luar manusia. Etika yang
semacam ini adalah etika yang syarat yang menjamin bahwa kehendak seorang pribadi
disesuaikan dengan kehendak pribadi lain menurut norma umum kebebasan. Dalam ruang
lingkup filsafat etika, Kant termasuk pada filsafat etika aliran deontologi, yaitu suatu aliran
filsafat yang menilai setiap perbuatan orang dan memandang bahwa kewajiban moral dapat
diketahui dengan intuitif dengan tidak memperhatikan konsep yang baik. Karena faham
deontologi yang dianutnya, maka Kant berpendapat bahwa perbuatan moral itu dapat
diketahui dengan kata hati, bagi Kant melakukan kewajiban merupakan norma perbuatan
baik. Dia mengambil contoh, perbudakan merupakan perbuatan buruk karena memakai
manusia sebagai alat. Mempekerjakan pembantu rumah tangga dengan kasar merupakan
perbuatan buruk pula, karena menjadikan manusia sebagai hewan.
Menurut Immanuel Kant, hukum moral ini hanya berjalan sesuai dengan kata hati, dalam arti
kata hati menjadi syarat bagi kehidupan moral. Supaya moral ini baik, seseorang harus
berbuat dengan rasa wajib. Kant melihat bahwa, sebagaimana alam bisa berjalan dengan
tertib, maka seperti itu pula dengan moral. Hukum moral harus berjalan secara tertib
pula. Figur fenomenal lain yang juga membahas masalah hukum dan moral adalah Herman
Dooyeweerd yang terkenal dengan filsafat ide ‘kosmonomis’. Untuk memulai filsafatnya,
Dooyeweerd berangkat dari perkataan dalam Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala
kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Kehidupan yang terpancar dari hati
yang telah menyimpang dari penyembahan kepada Tuhan kepada suatu penyembahan
kepada ciptaan (Roma 1:23-25) bukanlah kehidupan yang mulia. Kehidupan yang dijalani
manusia di dalam dosa bahkan dapat disebut sebagai suatu kematian (Efesus 2:1-2). Dari hati
manusia terpancar arah dari tiap-tiap aspek realitas ciptaan Tuhan. Dooyeweerd membagi
realitas ke dalam 15 aspek (kuantitatif, spasial, kinematis, fisik, biotik, sensori, logis, historis,
linguistik, sosial, ekonomis, estetis, yustisi, etis, fidusiari) yang saling terkait secara enkaptik.
Perlu digaris-bawahi di sini, pembagian ke dalam 15 aspek ini bukan dikenalkan kepada sisi
entitas dari ciptaan, tetapi pada sisi hukumnya. Menurut filsafat ide kosmonomis
Dooyeweerd, ada 15 aspek dari pengalaman hidup manusia yang semuanya perlu
diperhatikan oleh pendidikan agar manusia dapat memaknai pengalaman hidupnya secara
utuh. Secara keseluruhan semua aspek tersebut saling berelasi.
Dooyeweerd membedakan antara wilayah normatif dan anormatif.[7] Hal ini berarti bahwa
aspek-aspek lima yang pertama yaitu kuantitatif, spasial, kinematis, fisik, biotik, sensori
adalah aspek yang anormatif, lingkup hukumnya tak terhindarkan. Manusia dengan
kecerdasannya bisa berupaya untuk memanipulasi aspek-aspek ini, tetapi tidak bisa memilih
untuk tidak menaatinya, artinya harus mematuhi hukum korelatif mereka. Aspek-aspek 7
hingga 15 yaitu logis, historis, linguistik, sosial, ekonomis, estetis, yustisi, etis, fidusiari adalah
aspek-aspek yang manusia bisa pilih untuk abaikan dan bahkan nafikan dalam kehidupannya.
Inilah aspek-aspek yang Dooyeweerd klasifikasikan sebagai normatif. Selanjutnya, hukum
menjadi norma. Meskipun norma-norma telah ditetapkan oleh Allah pada prinsipnya dalam
struktur dari lingkup masing-masing, mereka harus ditemukan dan diterapkan. Dengan
demikian, hukum keadilan atau cinta, misalnya, tidak mengandung rumusan yang tepat atas
mereka makna dalam setiap contoh konkret. Oleh karena itu, dalam hal ini yurisprudensi
adalah ilmu normatif.
Norma, menurut Herman Dooyeweerd, adalah sesuatu yang berbeda dengan hukum alam.
Hukum alam, seperti gravitasi tidaklah bisa dilanggar; manusia pasti akan jatuh apabila ia
melompat dari tempat yang tinggi. Norma tidaklah demikian, manusia mempunyai kebebasan
untuk mentaati atau melanggar norma tersebut. Tetapi, pelanggaran norma tidaklah bisa
lepas dari sanksi; seperti kelalaian sebuah negara di dalam bidang pertahanan akan
mendatangkan hukuman bagi dirinya di saat perang, demikian juga pelanggaran norma akan
mendatangkan dampak negatif terhadap pelanggarnya pada suatu saat tertentu
Dengan demikian hukum dapat didefinisikan sebagai norma-norma yang kompleks yang
mengatur hubungan antara manusia dengan institusinya dengan cara menyeimbangkan
secara seksama kepentingan mereka yang selaras dengan struktur sosial sebagaimana
diberikan dalam penciptaan. Hukum adalah garis batas pemisah Allah dari kosmos. Allah
berada di atas hukum, segalanya tunduk pada hukum. Oleh karena itu, gagasan hukum tidak
dapat pernah lepas dari gagasan sumber hukum dalam kehendak kedaulatan Allah dan ide
dari subjek hukum. Hukum dan subjek adalah istilah yang saling berhubungan:
“Law is the boundary line dividing God from the cosmos. God is above law; everything else is
subject to law. The idea of law can thus never be separated from the idea of the source of law
in God’s sovereign will and the idea of the subject of law. Law and subject are correlative
terms”.
Relasi Hukum dan Moral
Sebagaimana kita ketahui, para pemikir sependapat bahwa hukum dan moral memiliki
hubungan yang erat, yaitu hukum seharusnya adalah hukum yang bermoral dan moral adalah
sumber nilai untuk mencapai kebaikan yang secara alamaiah dirindukan oleh manusia.
Manusia yang dianggap patut mendapat pujian dan penghormatan, adalah manusia yang
memiliki sifat-sifat yang terpuji, dengan kata lain manusia yang bermoral dan beretika. Kata
‘bermoral’ mengacu bagaimana suatu masyarakat yang berbudaya berperilaku. Sedangkan
‘beretika’ mengacu pada bagaimana seharusnya ia berperilaku. Orang-orang yang lurus, jujur,
terus terang, dan dapat dipercaya, kata-katanya sesuai dengan perbuatannya, merasa puas
dengan apa yang mereka miliki secara sah, cepat melaksanakan tanggung jawab terhadap
orang lain, hidup dengan damai dan membiarkan orang lain hidup dengan damai, orang yang
seperti ini selalu merupakan inti dari setiap masyarakat manusia yang baik Setiap manusia
mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan
perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan.
Yang dimaksud dengan hati nurani dalam hal ini adalah penghayatan tentang baik atau buruk
berhubungan dengan tingkah laku konkrit kita. Hati nurani ini memerintahkan atau melarang
kita untuk melakukan sesuatu kini dan disini. Ia tidak berbicara tentang yang umum,
melainkan tentang situasi yang sangat konkrit. Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan
bahwa manusia mempunyai kesadaran untuk mengikuti hal itu. Sifat moral bukanlah sesuatu
yang bersifat lahiriah belaka tetapi merupakan unsur dalam kesadaran kita yang menyertai
kesadaran tentang norma-norma. Sifat moral suatu norma merupakan sifat yang kita sadari
apabila kita masuk ke dalam suatu keadaan dimana norma itu perlu dipergunakan. Oleh
karena itu etika harus bertolak dari fenomena kesadaran moral.
Sedangkan menurut Dooyeweerd, adalah tidak benar ketika kita berfikir bahwa norma moral
sebagai sesuatu yang autonomous dan norma hukum sebagai sesuatu
yang heteronomous yang dikendalikan otoritas eksternal, sementara itu moralitas hanya
terikat pada kesadaran individu. Norma etika tidak hanya ditentukan oleh dan untuk manusia
sendiri dalam bingkai kedaulatan yang independen, tapi seharusnya, sebagaimana norma
hukum ditemukan dan berasal dari petunjuk yang diberikan oleh Tuhan.
Walaupun demikian, menurut Kant, ada perbedaan antara hukum dan moral. Sah menurut
hukum, belum tentu sah menurut hukum moral. Sah menurut hukum, yang menurut Kant
dinamakan Legalitaet atau Gesetzmaegkeit, adalah suatu tindakan yang mempunyai
kesesuaian atau tidak kesesuaian dengan hukum lahiriah. Akan tetapi tindakan tersebut
belum dapat dikatakan mempunyai nilai moral, karena tindakan itu dapat dipengaruhi oleh
keinginan, meskipun merupakan dorongan batin, misalnya rasa belas kasihan, rasa takut atau
ingin mendapatkan keuntungan. Meskipun tindakan itu baik, namun masih ada motivasi
tertentu, masih ada “pamrih”, maka tindakan ini belum dapat dikatan bernilai moral. Perlu
dicatat bahwa tindakan yang belum mempunyai nilai moral, tidak berarti amoral atau
bertentangan dengan moral. Tindakan semacam ini menurut argument Kant dinamakan
legalitas, yaitu sesuai dengan hukum. Suatu tindakan bemilai moral apabila tindakan tersebut
dilaksanakan karena orang merasa wajib dan karena adanya kesadaran untuk melaksanakan
kewajiban. Juga tidak karena adanya tekanan dari luar ataupun karena adanya keinginan
tertentu. Inilah yang dinamakan Kant moralitas.
Akhirnya, hal yang terpenting dari pemikiran Immanuel Kant dan Dooyeewerd adalah
perlunya mengaplikasikan pemikiran-pemikiran mereka terutama berkaitan dengan hukum
dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di Indonesia. Apabila hal ini
terwujud, tentunya kita akan menjumpai manusia-manusia, terutama para pejabat dan
birokrat yang pada hakikatnya sebagai pembuat hukum (legislator) yang bermoral, beretika
dan taat pada hukum, bukan sebaliknya legislator yang justru tidak bermoral dan melanggar
hukum seperti yang sering kita jumpai saat ini.