Anda di halaman 1dari 96

TUGAS TEORI HUKUM

DOSEN : DR. HARTAI, SH, MH

OLEH :
ARBAIYAH
NIM: P2B222004

PROGRAM STUDI MAGISTER


KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2022
ALIRAN NEOKALTIANISME MASHAB MARGHBURG, MASHAB BADEN
TOKOH STAMLER KELSEN

Teori Hukum Murni Kelsen kerapkali dinisbatkan kepada tradisi positivistis dan tradisi
pemikiran neo-Kantian. Perkembangan Teori Hukum Murni tidak dapat dilepaskan dari
[mengabaikan] pengaruh tradisi positivistis dan tradisi neo-Kantian. Kecenderungan tradisi
filosofis yang berbeda dalam pemikiran Kelsen ini tidak hanya sulit didamaikan, tetapi juga
sangat bertolak belakang [bertentangan] secara radikal satu sama lain. Karena itu, sejumlah
ide Kelsen yang berasal dari salah satu tradisi ini hams dihilangkan [diabaikan] dalam rangka
menjadikan Teori Hukum Murni yang utuh.

Kelsen melakukan refleksi dengan menggunakan teori pengetahuan Kant [epistemologi Kant]
dalam membekikan pendasaran transendental dari teori Murni. Namun, argumen Kelsen
mengenai "Grundnorm" ("Norma dasar"), atas nama kategori hukum fundamental, berfungsi
sebagai pengandaian ilmu hukum yang perlu bersifat hipotetis dan dipahami sebagai "dasar"
terakhir bagi keabsahan seluruh sistem; bagaimanapun tetap saja problematis, ketika
dirumuskan dan ditafsirkan dalam memberikan satu landasan neo-Kantian bagi Teori Hukum
Murni. Konsepsi norma dasar ini diajukan, sebagai mendasari keabsahan obyektif dari hukum
sebagai satu kesatuan sistem norma-norma hukum yang mengikat. Namun, solusi Kelsen
mengenai masalah menetapkan keabsahan hukum ini masih tidak memuaskan dan doktrin
norma dasar sebagai kategori transendental selalu memperoleh kecaman dan penolakan dari
para filsuf hukum. Upaya Kelsen menjelaskan konsep keabsahan sebagai kekuatan mengikat
sesuai dengan konsepsi positives dan ilmu hukum berdasarkan doktrin norma dasar dapat
disimpulkan telah berakhir dengan kegagalan.

Kelsen tidak mampu menjelaskan status norma dasar dalam memberi landasan kepada
keabsahan hukum. Apakah "norma dasar" hanya merupakan asumsi konseptual atau sebagai
norma yang sejati dan mengikat? Ketidakmampuan Kelsen menjelaskan status norma dasar
yang dinilai oleh ilmuwan hukum sebagai membingungkan dan mengacaukan bagi suatu
sistem hukum. Penolakan terhadap argumen Kelsen ini karena kita menemukan
ketidakkonsistenan radikal dalam teori Murni, Ketidakkonsistenan radikal antara doktrin
pengandaian dan positivisme hukum dalam Teori Hukum Murni secara prinsip timbul ketika
Kelsen mengusulkan pemecahan persoalan keabsahan hukum melalui doktrin pengandaian,
di satu pihak, dan cara di mana ia mengusulkan kesesuaiannya dengan positivisme hukum, di
pihak lain. Dalam menutup persoalan ini, Kelsen tidak mampu mempertahankan konsistensi
dari pemikirannya yang dikonstruksi sendiri dalam perkembangan keseluruhan [struktur]
Teori Hukum Murni?

Kelsen tetap memakai peranan norma dasar tampil dalam perkembangan terakhir dari Teori
Hukum Murni. Dalam General Theory of Norms, 1991 Kelsen menggambarkan keabsahan
dipengaruhi norma dasar dalam silogism teoritis (meliputi pernyataan ilmu hukum, bukan
norma-norma itu sendiri). Di sini, Kelsen mengklaim norma dasar qua fiksi [khayalan]. Tetapi
ini sepenuhnya tidak konsisten, norma fiksi tidak dapat mensahkan norma positif dan
pernyataan-pernyataan ilmu hukum tidak dapat mensahkan atau menciptakan norma-
norma. Kelsen telah menggambarkan penggantian keabsahan proposisi-proposisi dengan
proposisi juridis-deontik mewakili, inter alia, pembebasan karakter ilmu hukum normatif, dan
peranan logika dalam hukum ditampilkan [di mana Kelsen mengklaim bahwa tidak ada logika
norma-norma]. Teori Hukum Murni dikuruskan oleh Kelsen dari landasan neo-Kantian yang
telah dijadikan teori, dalam bentuk klasiknya, dikenal sebagai hampir khas [spesifrk].
Perkembangan konsepsi Kelsen mengenai peranan logika norma-norma benar-benar
menggambarkan konsekuensi-konsekuensi terakhir dari pemikiran Kelsen sebelumnya,
dengan mengeluarkan rasio seluruhnya dari dunia normatif Karena itu, dapat disebutkan di
sini, "normative irrationalism" merupakan bentuk akhir teori Kelsen. Karya Kelsen sebagai
versi final dari Teori Hukum Murni ini telah meninggalkan ciriciri yang paling berbeda dari
teori ini. Apakah Kelsen mengalami kesulitan dengan teorinya sehingga irrasionalisme
normatif perlu dikonstruksi untuk memecahkan? Dalam karya Kelsen yang terakhir ini kita
melihat kekuatan Teori Hukum Murni, yaitu norma dasar qua kategori transendental telah
digantikan dengan fiksi. Kajian ini ditutup dengan meminjam kata-kata Michael Hurtney,
bahwa karya terakhir ini merupakan benih-benih kontradiksi dan Kelsen di sini dipengaruhi
"dekonstruksi"-[nya] sendiri.

TOKOH RADBRUCH
Dalam perkembangan studi teori hukum, pendekatan hukum zaman dahulu (kl asik)
dilakukan dengan hanya menggunakan satu sudut pandang, misalnya hukum normatif
yang menggunakan pendekatan positivik, hukum empiris yang menggunakan
pendekatan sosiologis dan antropologis misalnya, dan hukum etis yang hanya
menggunakan pendekatan nilai dan moral. Hal inilah yang cenderung membuatnya
bersifat ekstrim dan sempit.

Teori Tujuan Hukum Gustav Radbruch


Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya pemikiran hukum modern yang berusaha
mengkombinasikan ketiga pandangan klasik (etis/ filsufis, norma tif, dan empiris)
menjadi satu pendekatan yang selanjutnya oleh Gustav Radbruch dijadikan tiga nilai
dasar hukum yang meliputi, keadilan (filosofis), kepastian hukum (yuridis), dan
kemanfaatan bagi masyarakat (sosiologis) (Satjipto:2012:20). Intisari perke mbangan
teori ini memunculkan nilai keadilan (idealisme) dan kepentingannya yang dilayani
oleh hukum (sosiologis) yang tentunya membutuhkan peraturan-peraturan untuk
menjamin kepastian (yuridis) dalam hubungan satu sama lain.

Secara konkret teori yang dikemukakan Gustav Radbruch disebut dengan teori tujuan
hukum yang secara sederhana ingin menjelaskan bahwa hukum dalam tujuannya perlu
berorientasi pada tiga hal, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan (Kurt:1950:73).
Teori tujuan hukum apabila ditarik kebelakang tidak akan lepas dari suatu pandangan
teologis bahwa segala sesuatu yang bereksistensi pasti memiliki tujuan tertentu. Hal
ini juga berlaku terhadap hukum yang tentunya memiliki sesuatu yang hendak dicapai
dan bersifat ideal. Teori tujuan hukum oleh Gustav Radbruch lebih lanjut dijabarkan
sebagai berikut.
Pertama, kepastian yang berarti bahwa kepastian merupakan tuntutan hukum, ialah
supaya hukum menjadi positif dalam artian berlaku dengan pasti. Hukum harus ditaati,
dengan demikian hukum sungguh- sungguh positif (Notohamidjojo:2012:33). Hal ini
berarti kepastian hukum ditujukan untuk melindungi kepentingan setiap individu agar
mereka mengetahui perbuatan apa saja yang dibolehkan dan sebaliknya perbuatan
mana yang dilarang sehingga mereka dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan
pemerintah.

Kedua, kemanfaatan yang diartikan sebagai tujuan hukum yang harus ditujukan pada
sesuatu yang berfaedah atau memiliki manfaat. Hukum pada hakikatnya bertujuan
untuk menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan bagi orang banyak
(Sudikno:2008:80). Bahwa negara dan hukum diciptakan untuk manfaat sejati yaitu
kebahagiaan mayoritas rakyat.

Ketiga, keadilan yaitu suatu kondisi dimana kasus yang sama diperlakukan secara
sama. Adapun keadilan sangat berhubungan dengan hati nurani. Keadilan bukan
tentang suatu definisi yang formal karena ia berhubungan erat dengan kehidupan
manusia sehari- hari. Hati nurani ini memiliki posisi yang sangat tinggi karena
berhubungan dengan rasa dan batin yang paling dalam. Terhadap keadilan, Radbruch
menyatakan: ”Summum ius summa inuiria” yang berarti keadilan tertinggi adalah hati
nurani. Radbruch punya penekanan dan mengoreksi pandangannya sendiri, bahwa cita
hukum tidak lain daripada keadilan (Titon:2016:16).

ALIRAN NEOMAXISME
TOKOH LENIN
Dalam filosofi Marxis, Leninisme merupakan bagian dari teori politik organisasi demokratis
suatu partai politik revolusioner dan pencapaian demokrasi langsung kediktatoran
proletariat sebagai awal dari sosialisme. Paham yang dikembangkan dan dinamai
berdasarkan nama pemimpin Revolusi Rusia, Vladimir Lenin (1870–1924), ini terdiri atas
teori politik dan ekonomi sosialis yang dikembangkan dari Marxisme dan penafsiran pribadi
Lenin terhadap teori Marxis yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat agraris
di Kekaisaran Rusia (1721–1917). Dalam praktik revolusi, Leninisme membalik urutan filosofi
Marxis mengenai ekonomi di atas politik sehingga memungkinkan terjadinya revolusi politik
yang dipimpin oleh partai pelopor revolusioner daripada harus menunggu terjadinya
revolusi kelas buruh di perkotaan secara spontan sebagaimana yang dinyatakan
dalam Marxisme.[1]
Pasca-Revolusi Oktober 1917, Leninisme merupakan varian yang dominan dari Marxisme
yang selanjutnya menjadi ideologi resmi demokrasi Soviet (melalui dewan pekerja)
di Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia sebelum melebur ke dalam Uni Soviet pada
tahun 1922.[2] Sebagai istilah ilmu politik, Leninisme mulai digunakan secara umum pada
tahun 1922, hanya beberapa saat setelah Lenin terserang stroke yang membuatnya tidak lagi
aktif berpartisipasi dalam Partai Komunis Rusia. Dua tahun kemudian, tepatnya pada Kongres
V Komintern, Juli 1924, Grigory Zinoviev mempopulerkan penggunaan istilah Leninisme.
TOKOH BERSTEIN

1 – Metode Oportunis

Jika benar bahwa teori hanyalah gambaran dari


fenomena-fenomena dunia luar dalam kesadaran
manusia, maka harus ditambahkan -berkaitan dengan
sistem Eduard Bernstein- bahwa teori terkadang
merupakan gambaran-gambaran yang diputar-balikkan.
Pikirkanlah tentang sebuah teori yang berusaha
mewujudkan sosialisme dengan cara reformasi sosial di
tengah kemandegan total gerakan reformasi di Jerman.
Pikirkanlah sebuah teori tentang kontrol serikat buruh
terhadap produksi di tengah kenyataan kekalahan buruh
logam di Inggris. Bahaslah teori untuk memenangkan
mayoritas di Parlemen, setelah revisi konstitusi Saxony,
dan dalam pandangan upaya-upaya terbaru yang
menentang hak universal untuk memilih. Bagaimanapun
juga, poin sangat penting dari sistem Bernstein bukan
terletak pada konsepsinya tentang tugas-tugas praktis
sosial-demokrasi. Poin itu terletak pada sikap Bernstein
tentang kurun perkembangan obyektif masyarakat
kapitalis, yang pada gilirannya terkait erat dengan
konsepsinya tentang tugas-tugas praktis sosial-demokrasi.

Menurut Bernstein, kemunduran umum kapitalisme


nampaknya menjadi kian mustahil karena, di satu sisi,
kapitalisme menunjukkan suatu kapasitas adaptasi yang
makin tinggi dan, di sisi lain, produksi kapitalis menjadi
makin dan makin bervariasi.

Kapasitas kapitalisme untuk beradaptasi itu, kata


Bernstein, termanifestasi pertama-tama dalam sirnanya
krisis-krisis umum yang disebabkan oleh berkembangnya
sistem kredit, organisasi-organisasi majikan, sarana
komunikasi yang lebih luas, dan jasa informasi. Kedua,
kapasitas kapitalisme untuk beradaptasi terbukti dalam
keuletan kelas menengah yang berasal dari diferensiasi
yang meningkat dalam cabang-cabang produksi, dan
naiknya lapisan luas proletariat ke level kelas menengah.
Dan hal ini lebih lanjut dibuktikan, menurut argumen
Bernstein, dengan adanya perbaikan situasi ekonomi dan
politik sebagai hasil dari aktivitas serikat buruh proletariat.

Dari sikap teoritis ini, kemudian ditarik kesimpulan


umum tentang kerja praktis sosial-demokrasi seperti
berikut. Gerakan Sosial-demokrasi hendaknya jangan
mengarahkan aktivitasnya sehari-hari pada penaklukan
kekuasaan politik, melainkan menuju perbaikan kondisi
kelas pekerja di dalam tatanan yang kini ada. Gerakan
Sosial-demokrasi jangan berharap untuk membangun
sosialisme sebagai hasil dari krisis sosial dan politik, tetapi
hendaknya membangun sosialisme melalui perluasan
kontrol sosial secara progresif dan penerapan prinsip
kerjasama secara bertahap.

Bernstein sendiri tidak melihat adanya hal baru dalam


teori-teorinya. Sebaliknya, dia yakin bahwa teori-teorinya
itu sesuai dengan pernyataan-pernyataan tertentu dari
Marx dan Engels. Namun demikian, sulit bagi kita untuk
menyangkal bahwa teori-teori Bernstein itu bertentangan
secara formal dengan konsepsi-konsepsi sosialisme
ilmiah.

Jika revisionisme Bernstein sekedar hendak


menegaskan bahwa perjalanan perkembangan kapitalis
lebih lambat daripada yang diperkirakan sebelumnya,
maka ia hanya akan menyajikan sebuah argumen untuk
menangguhkan penaklukan kekuasaan oleh proletariat,
hal mana setiap orang sampai saat ini telah sepakat.
Konsekuensinya hanyalah perlambatan langkah
perjuangan.

Namun, bukan itu yang terjadi. Yang dipersoalkan


Bernstein bukanlah tingkat kecepatan perkembangan
masyarakat kapitalis, melainkan perjalanan
perkembangan itu sendiri, yang konsekuensinya berarti
kemungkinan hakiki untuk sebuah perubahan menuju
sosialisme.

Teori sosialis sampai saat ini menyatakan bahwa titik


berangkat bagi suatu transformasi menuju sosialisme
akan berupa sebuah krisis umum dan katastropis
(merupakan bencana besar). Dalam pandangan ini, kita
harus membedakan dua hal: ide fundamental dan bentuk
luarnya.

Ide fundamentalnya mengandung penegasan bahwa


kapitalisme, sebagai akibat dari kontradiksi-kontradiksi di
dalam dirinya, bergerak ke arah satu titik ketika ia tidak
akan seimbang, ketika kapitalisme akan menjadi sungguh-
sungguh tak mungkin. Ada alasan-alasan tepat untuk
memahami titik waktu dalam bentuk sebuah krisis
komersial umum yang katastropis. Akan tetapi, itu bersifat
sekunder ketika ide fundamentalnya dibahas.

Basis sosialisme ilmiah bertumpu pada -sebagaimana


yang lazim dikenal- tiga hasil utama dari perkembangan
kapitalis. Pertama, pada tumbuhnya anarki dalam
ekonomi kapitalis, yang tak terelakkan lagi menuju pada
kehancurannya. Kedua, pada sosialisasi proses produksi
secara progresif yang menciptakan benih-benih tatanan
sosial masa depan. Dan ketiga, pada organisasi dan
kesadaran kelas proletar yang meningkat, yang
menimbulkan faktor aktif dalam revolusi yang akan
datang.

Bernstein meninggalkan poin pertama dari tiga faktor


pendukung fundamental sosialisme ilmiah. Dia
mengatakan bahwa perkembangan kapitalis tidak menuju
pada sebuah keruntuhan ekonomi secara umum.

Bernstein bukan hanya menolak suatu bentuk tertentu


dari keruntuhan itu. Dia menolak kemungkinan hakiki dari
keruntuhan tersebut. Dalam tulisannya dia mengatakan:
“Seseorang bisa saja mengklaim bahwa keruntuhan
masyarakat yang sekarang berarti sesuatu yang lain dari
sekedar krisis komersial umum, lebih buruk dari semua
krisis lainnya, yakni keruntuhan total sistem kapitalis yang
terjadi sebagai akibat kontradiksi-kontradiksinya sendiri.”
Dan terhadap pernyataan ini, Bernstein menjawab:
“Dengan semakin berkembangnya masyarakat, sebuah
keruntuhan total dan nyaris umum sistem produksi yang
kini ada menjadi makin dan makin mustahil, karena
perkembangan kapitalis meningkatkan, di satu sisi,
kapasitas adaptasinya, dan -di sisi lain- diferensiasi
industri.” (Neue Zeit, 1897-1898, edisi 18, hal. 555).

Tetapi kemudian muncul pertanyaan: kalau begitu,


mengapa dan bagaimana kita bisa mencapai tujuan akhir
kita? Menurut sosialisme ilmiah, kebutuhan sejarah
terutama termanifestasi dalam tumbuhnya anarki
kapitalisme yang menggerakkan sistem ini menuju sebuah
jalan buntu. Namun, apabila seseorang sepakat dengan
Bernstein bahwa perkembangan kapitalis tidak bergerak
dalam arah yang menuju pada kehancurannya sendiri,
maka sosialisme pun secara obyektif tak lagi diperlukan.
Disinilah tetap berlaku dua arus utama lain dari penjelasan
ilmiah tentang sosialisme, yang juga dikatakan sebagai
konsekuensi dari kapitalisme itu sendiri: sosialisasi proses
produksi dan bangkitnya kesadaran proletariat. Dua hal
inilah yang ada di pikiran Bernstein ketika ia mengatakan:
“Peniadaan teori tentang keruntuhan sama sekali tidak
menghalangi doktrin sosialis tentang persuasi. Karena, jika
diteliti secara mendalam, apa faktor-faktor yang kita
perhitungkan, yang menyebabkan peniadaan atau
modifikasi krisis-krisis terdahulu? Tak lain, pada
kenyataannya, adalah syarat-syarat -atau bahkan
sebagian merupakan benih-benih dari- sosialisasi produksi
dan pertukaran.” (Ibid, hal. 554).

Sedikit sekali refleksi yang diperlukan untuk memahami


bahwa disinipun kita menghadapi sebuah kesimpulan
yang keliru. Dimana letak arti penting dari semua
fenomena yang oleh Bernstein dikatakan sebagai sarana
adaptasi kapitalis - kartel, sistem kredit, perkembangan
alat komunikasi, perbaikan kondisi kelas pekerja, dan lain-
lain? Jelas, pada asumsi bahwa kartel, sistem kredit, dan
lain-lain itu meniadakan atau setidaknya mengurangi
kontradiksi-kontradiksi dalam ekonomi kapitalis, dan
menghentikan perkembangan atau penajaman
kontradiksi-kontradiksi itu. Dengan demikian, peniadaan
krisis hanya bisa berarti peniadaan pertentangan antara
produksi dan pertukaran pada basis kapitalis. Perbaikan
kondisi kelas pekerja, atau penetrasi fraksi-fraksi kelas
tertentu ke dalam lapisan-lapisan menengah, hanya bisa
berarti pengurangan pertentangan antara modal dan
kerja. Tetapi, bila faktor-faktor yang disebutkan itu
meniadakan kontradiksi-kontradiksi kapitalis, sehingga
menjaga sistem ini dari kehancuran; apabila faktor-faktor
tersebut memungkinkan kapitalisme untuk
mempertahankan diri -dan itulah yang disebut Bernstein
sebagai “sarana adaptasi”- bagaimana mungkin kartel,
sistem kredit, serikat buruh, dan lain-lain itu sekaligus juga
merupakan “syarat-syarat -dan bahkan, sebagian
merupakan benih-benih”- sosialisme? Jelaslah hanya
dalam hal bahwa faktor-faktor itu mengekspresikan
secara paling jelas watak sosial dari produksi.

Akan tetapi, kalau disajikan dalam bentuk kapitalisnya,


maka faktor-faktor tadii menganggap sebagai sesuatu
yang berlebihan -dan berkebalikan dalam ukuran yang
sama- transformasi dari produksi yang telah
tersosialisasikan ini menjadi produksi sosialis. Itulah
sebabnya mengapa faktor-faktor yang disebutkan
Bernstein itu hanya bisa menjadi benih atau syarat bagi
suatu tatanan sosialis dalam makna teoritis, bukan dalam
makna historis. Faktor-faktor tersebut adalah fenomena
yang -dari sudut pandang konsepsi kita tentang
sosialisme- kita pahami sebagai berkaitan dengan
sosialisme, namun pada kenyataannya bukan hanya tidak
mengarah pada sebuah revolusi sosialis, melainkan
sebaliknya, menganggapnya berlebihan.
Tetap ada satu kekuatan yang memungkinkan realisasi
sosialisme, yakni kesadaran-kelas proletariat. Namun
inipun, dalam hal tertentu, bukanlah semata-mata refleksi
intelektual tentang kontradiksi-kontradiksi yang
berkembang dalam kapitalisme serta keruntuhannya yang
mendekat. Kesadaran-kelas proletariat itu kini tak lebih
sekedar sebuah konsep ideal yang kekuatan persuasinya
terletak hanya pada kesempurnaan yang dianggap berasal
darinya.

Dalam konsep Bernstein itu, kita mendapati penjelasan


singkat tentang program sosialis dengan cara “logika
murni”. Yakni, kita dipaksa menggunakan bahasa yang
sederhana, sebuah penjelasan idealis tentang sosialisme.
Kebutuhan obyektif akan sosialisme, penjelasan tentang
sosialisme sebagai hasil dari perkembangan material
masyarakat, kemudian gugur ke tanah.

Dengan demikian, teori revisionis menempatkan dirinya


sendiri dalam sebuah dilema. Apakah transformasi sosialis
merupakan -sebagaimana yang diakui sampai sekarang-
konsekuensi dari kontradiksi-kontradiksi internal
kapitalisme, yang pada suatu titik tertentu tak terelakkan
lagi akan mengakibatkan kehancurannya, (yang dengan
begitu berarti “sarana adaptasi” menjadi tidak efektif, dan
teori keruntuhan itulah yang benar); ataukah “sarana
adaptasi” akan betul-betul menghentikan keruntuhan
sistem kapitalis, dan dengan demikian berarti
memungkinkan kapitalisme untuk mempertahankan diri
dengan meniadakan kontradiksi-kontradiksinya sendiri.
Kalau seperti itu halnya, maka sosialisme bukan lagi
sebuah kebutuhan sejarah. Sosialisme kemudian menjadi
apapun yang ingin anda sebut sebagai sosialisme, tetapi
bukan lagi hasil dari perkembangan material masyarakat.

Dilema itu menyebabkan munculnya dilema lain.


Apakah revisionisme itu benar dalam posisinya mengenai
kurun perkembangan kapitalis, dan karenanya
transformasi sosialis masyarakat hanyalah sebuah utopia;
ataukah sosialisme itu bukan sebuah utopia, dan teori
tentang “sarana adaptasi” itu keliru. Itu adalah persoalan
dalam sebuah kulit kacang.

2 – Adaptasi Kapitalisme

Menurut Bernstein, sistem kredit, sarana komunikasi


yang disempurnakan dan persekutuan-persekutuan baru
kapitalis, adalah faktor-faktor penting yang memajukan
adaptasi ekonomi kapitalis.

Kredit memiliki beragam aplikasi dalam kapitalisme.


Dua fungsinya yang paling penting adalah untuk
memperluas produksi, dan untuk memfasilitasi
pertukaran. Ketika kecenderungan-dalam (inner tendency)
produksi kapitalis untuk meluas secara tak terhingga
membentur dimensi-dimensi terbatas dari kepemilikan
pribadi, maka kredit muncul sebagai suatu sarana untuk
mengatasi batas-batas ini dengan cara kapitalis yang
luarbiasa. Melalui kepemilikan saham, kredit
menggabungkan besarnya modal dari sejumlah besar
modal-modal individu. Hal ini memungkinkan masing-
masing kapitalis untuk menggunakan uang para kapitalis
lainnya – dalam bentuk kredit industri. Sebagai kredit
komersial, ia mempercepat pertukaran komoditas,
sehingga juga mempercepat kembalinya modal ke dalam
produksi, dan dengan begitu berarti membantu
keseluruhan siklus produksi. Cara bagaimana kedua fungsi
utama kredit ini mempengaruhi terbentuknya krisis juga
cukup jelas. Jika benar bahwa krisis timbul sebagai akibat
dari kontradiksi yang ada di antara kapasitas perluasan,
kecenderungan produksi untuk meningkat serta kapasitas
konsumsi pasar yang terbatas, maka kredit tepatnya justru
merupakan -dalam pandangan seperti dinyatakan di atas-
sarana spesifik yang menyebabkan kontradiksi ini meledak
sesering mungkin. Sebagai permulaannya, kredit secara
tidak sebanding meningkatkan kapasitas perluasan
produksi, sehingga menimbulkan suatu kekuatan motif-
dalam (inner motive) yang secara konstan mendesak
produksi untuk melampaui batas-batas pasar. Akan tetapi,
kredit menggempur dari dua sisi. Setelah (sebagai faktor
dalam proses produksi) memprovokasi terjadinya
produksi berlebihan, kredit (sebagai faktor dalam
pertukaran) juga menghancurkan -selama masa krisis-
kekuatan-kekuatan sangat produktif yang ia ciptakan
sendiri.

Pada gejala pertama krisis, kredit memudar. Kredit


meninggalkan pertukaran ketika sesungguhnya ia masih
sangat dibutuhkan, sehingga kemudian kredit nampak
menjadi tidak efektif dan tak berguna. Dan ketika
pertukaran masih berlanjut, kredit mengurangi kapasitas
konsumsi pasar sampai ke batas minimal.

Selain menyebabkan dua akibat utama itu, kredit juga


mempengaruhi terbentuknya krisis dengan cara-cara
berikut. Kredit memunculkan sarana teknis yang
memungkinkan tersedianya modal bagi seorang
pengusaha, padahal modal itu adalah kepunyaan pemilik
lain. Kredit sekaligus merangsang penggunaan
kepemilikan orang lain secara berani dan tanpa peduli
benar atau salah. Ini berarti bahwa kredit memicu
terjadinya spekulasi. Kredit tidak hanya memperparah
krisis dalam kapasitasnya sebagai sarana pertukaran yang
tersembunyi, melainkan juga membantu membawa dan
memperluas krisis dengan mentransformasikan semua
pertukaran ke dalam suatu mekanisme yang sangat rumit
dan artifisial, yang -karena hanya memiliki tingkat minimal
uang logam sebagai basis riil-nya- mudah sekali diobrak-
abrik pada peluang paling kecil sekalipun.

Kini kita melihat bahwa kredit bukannya menjadi


instrumen untuk meniadakan atau mengurangi krisis,
melainkan sebaliknya, adalah suatu instrumen yang luar
biasa kuat bagi terbentuknya krisis. Ia tak bisa menjadi
sesuatu selain itu. Kredit menghapuskan kakunya
hubungan-hubungan kapitalis yang masih ada. Ke mana-
mana ia mengintrodusir elastisitas sebesar mungkin.
Kredit menyebabkan semua kekuatan kapitalis menjadi
bisa diperluas, relatif dan sensitif secara mutual sampai ke
tingkat yang paling tinggi. Dengan cara ini, kredit
memfasilitasi dan memperparah krisis yang -tak lebih, tak
kurang- adalah tabrakan periodik dari kekuatan-kekuatan
yang saling bertentangan dalam ekonomi kapitalis.

Hal ini mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan lain.


Mengapa kredit umumnya memiliki penampilan sebagai
“sarana adaptasi” kapitalisme? Tak menjadi persoalan,
apapun bentuk atau relasi di mana “adaptasi“ ini
direpresentasikan oleh orang-orang tertentu, namun jelas
ia hanya bisa berisikan kekuasaan untuk meniadakan satu
dari beberapa relasi yang bertentangan dalam ekonomi
kapitalis, yakni kekuasaan untuk menekan atau
melemahkan salah satu dari kontradiksi-kontradiksi ini,
dan memungkinkan adanya kebebasan bergerak -pada
satu titik atau lainnya- bagi kekuatan-kekuatan produktif
yang, jika tidak dibebaskan, akan terbelenggu.
Kenyataannya, memang kreditlah yang mempertajam
kontradiksi-kontradiksi ini sampai ke tingkat yang paling
tinggi. Kredit mempertajam pertentangan antara corak
produksi dan corak pertukaran dengan merentangkan
produksi sampai pada batasnya, dan sekaligus
melumpuhkan pertukaran pada dalih yang paling kecil.
Kredit mempertajam pertentangan antara corak produksi
dan corak apropriasi (pemakaian tanpa ijin) dengan
memisahkan produksi dari kepemilikan, yakni dengan
mentransformasikan modal yang dipakai dalam produksi
menjadi modal “sosial”, dan sekaligus
mentransformasikan sebagian keuntungan -dalam bentuk
bunga atas modal- menjadi suatu hak kepemilikan yang
sederhana. Kredit mempertajam pertentangan yang ada
antara relasi-relasi kepemilikan dan relasi-relasi produksi
dengan memasukkan tenaga-tenaga produktif yang
sangat besar ke dalam sejumlah kecil tangan, dan
mengambil alih sejumlah besar dari para kapitalis kecil.
Akhirnya, kredit mempertajam pertentangan yang ada
antara watak sosial produksi dan kepemilikan kapitalis
swasta dengan menganggap perlu intervensi negara ke
dalam produksi.

Singkatnya, kredit mereproduksi semua pertentangan


fundamental dalam dunia kapitalis. Ia memperkuat
pertentangan-pertentangan tersebut. Kredit
mempercepat berkembangnya pertentangan itu, sehingga
mendesak dunia kapitalis untuk bergerak maju menuju
kehancurannya sendiri. Tindakan utama adaptasi kapitalis,
sejauh berkaitan dengan kredit, seharusnya betul-betul
terwujud dalam penghancuran dan peniadaan kredit.
Kenyataannya, kredit jauh dari bisa menjadi sarana
adaptasi kapitalis. Sebaliknya, kredit merupakan sarana
kehancuran dari signifikansi revolusioner yang paling
ekstrem. Apakah watak revolusioner dari kredit ini
sebetulnya belum memberi inspirasi bagi rancangan-
rancangan reformasi “sosialis”? Demikianlah, kredit telah
memiliki beberapa tokoh pendukung yang termahsyur,
yang beberapa di antaranya (seperti, Isaac Pereira di
Perancis) adalah -sebagaimana disebut oleh Marx-
separoh nabi, separoh bajingan.

Yang sama rapuhnya adalah “sarana adaptasi” yang


kedua, yakni: organisasi-organisasi para majikan. Menurut
Bernstein, organisasi-organisasi seperti itu akan
mengakhiri anarki produksi dan menghapuskan krisis
melalui pengaturan produksinya. Pengaruh berlipat-
ganda dari perkembangan kartel dan trust (gabungan
perusahaan) belum dipertimbangkan dengan sangat teliti
sampai sekarang. Namun keduanya memprediksikan
sebuah permasalahan yang hanya bisa dipecahkan dengan
bantuan teori marxis.

Satu hal yang pasti. Kita bisa berbicara tentang


pembendungan anarki kapitalis melalui biro persekutuan-
persekutuan kapitalis hanya dengan patokan bahwa
kartel, trust dan lain-lain lebih-kurang telah menjadi
bentuk dominan dari produksi. Tetapi kemungkinan
seperti itu menjadi terabaikan dengan adanya sifat hakiki
dari kartel-kartel. Tujuan ekonomi dan hasil akhir dari
persekutuan-persekutuan itu adalah sebagai berikut.
Melalui peniadaan persaingan dalam suatu cabang
produksi tertentu, distribusi sebagian besar keuntungan
yang direalisasikan di pasar dipengaruhi sedemikian rupa,
sehingga terdapat peningkatan saham yang masuk ke
cabang industri ini. Organisasi dalam bidang seperti itu
dapat menaikkan tingkat keuntungan pada satu cabang
industri dengan mengorbankan cabang industri lainnya.
Itulah tepatnya mengapa hal tersebut tidak bisa
digeneralisir, karena ketika ia diperluas ke semua cabang
industri yang penting, maka kecenderungan ini akan
meniadakan pengaruhnya sendiri.

Lebih jauh lagi, dalam batas-batas penerapan


praktisnya, hasil dari persekutuan-persekutuan tersebut
justru adalah kebalikan dari peniadaan anarki industri.
Kartel-kartel biasanya berhasil dalam mendapatkan suatu
peningkatan keuntungan di pasar dalam negeri, dengan
cara memproduksi untuk pasar luar negeri dengan tingkat
keuntungan yang lebih rendah, yang dengan begitu berarti
menggunakan porsi tambahan dari modal yang tidak bisa
mereka gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan dalam
negeri. Maksudnya ialah bahwa mereka menjual ke luar
negeri dengan harga yang lebih murah daripada harga
dalam negeri. Akibatnya adalah menajamnya persaingan
di luar negeri – justru sangat berlawanan dengan apa yang
ingin didapati oleh orang-orang tertentu. Hal ini
ditunjukkan secara sangat jelas oleh sejarah industri gula
dunia.

Secara umum, persekutuan-persekutuan yang


diperlakukan sebagai suatu manifestasi dari corak
produksi kapitalis hanya bisa dipandang sebagai suatu fase
tertentu dari perkembangan kapitalis. Kartel secara
fundamental tak lain adalah suatu cara yang digunakan
oleh corak produksi kapitalis untuk tujuan menahan
kejatuhan fatal tingkat keuntungan dalam cabang-cabang
produksi tertentu. Metode apa yang digunakan oleh kartel
untuk tujuan ini? Yaitu dengan mempertahankan agar
sebagian dari modal yang terakumulasi tidak aktif.
Maksudnya ialah bahwa mereka menggunakan metode
yang sama, yang dalam bentuk lainnya digunakan di saat
krisis. Obat dan sakitnya menyerupai satu sama lain
laksana dua tetes air. Sesungguhnya, obat itu bisa
dianggap tak begitu buruk hanya sampai suatu titik
tertentu. Apabila saluran-saluran pembuangan itu mulai
menutup, dan pasar dunia telah diperluas sampai pada
batasnya, serta menjadi kelelahan dengan adanya
persaingan di antara negeri-negeri kapitalis -dan cepat
atau lambat pasti tiba- maka sebagian dari modal yang
terpaksa menganggur (menjadi tak berguna) itu akan
mencapai dimensi-dimensi sedemikian rupa, sehingga
obat tersebut akan bertransformasi menjadi suatu
penyakit. Dan modal, yang telah cukup banyak
“tersosialisasi” melalui regulasi, akan cenderung berbalik
kembali kepada bentuk modal individu. Berhadapan
dengan kesulitan-kesulitan yang meningkat untuk mencari
pasar, maka masing-masing porsi individu dari modal akan
memilih untuk mengambil peluang ini sendirian. Ketika
itu, organisasi-organisasi pengatur yang besar akan
meletus seperti gelembung-gelembung busa sabun, dan
membuka jalan bagi persaingan yang menajam.

Oleh karena itu, dalam cara yang umum, kartel, seperti


juga kredit, muncul sebagai suatu fase yang pasti dari
perkembangan kapitalis, yang dalam analisis terakhirnya
memperparah anarki dunia kapitalis dan mengekspresikan
serta mematangkan kontradiksi-kontradiksi internalnya.
Kartel-kartel mempertajam pertentangan yang ada antara
corak produksi dan pertukaran dengan mempertajam
perjuangan antara produsen dan konsumen, seperti
khususnya kasus Amerika Serikat. Lebih jauh lagi, kartel-
kartel mempertajam pertentangan yang ada antara corak
produksi dan corak apropriasi dengan mempertentangkan
-melalui model yang paling brutal- kepada kelas pekerja,
kekuatan superior modal yang terorganisir, yang dengan
begitu berarti meningkatkan antagonime antara modal
dan kerja.

Akhirnya, kombinasi-kombinasi kapitalis mempertajam


kontradiksi yang ada antara watak internasional dari
ekonomi dunia kapitalis dengan watak nasional negara –
sejauh kombinasi-kombinasi itu selalu disertai dengan
perang tarif secara umum, yang mematangkan
perbedaan-perbedaan di antara negara-negara kapitalis.
Untuk hal ini, kita harus menambahkan adanya pengaruh
revolusioner secara tegas oleh kartel-kartel dalam hal
konsentrasi produksi, kemajuan teknis, dan lain-lain.

Dengan kata lain, jika dievaluasi dari sudut dampak


akhir terhadap ekonomi kapitalis, maka kartel dan kredit
gagal sebagai “sarana adaptasi”. Kartel dan trust gagal
mengurangi kontradiksi-kontradiksi kapitalisme.
Sebaliknya, kartel dan kredit itu muncul menjadi suatu
instrumen anarki yang lebih besar. Mereka justru
mendorong terjadinya perkembangan lebih lanjut dari
kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme. Kartel
dan trust mempercepat datangnya kejatuhan umum
kapitalisme.

Namun apabila sistem kredit, kartel dan semacamnya


tidak meniadakan anarki kapitalisme, maka mengapa kita
belum mengalami krisis perdagangan yang besar selama
dua dekade, sejak 1873? Apakah ini bukan suatu tanda
bahwa -bertentangan dengan analisis Marx – ternyata
corak produksi kapitalis telah mengadaptasikan diri,
setidaknya dengan suatu cara yang umum, terhadap
kebutuhan-kebutuhan masyarakat? Begitulah pada tahun
1898 Bernstein menolak keras teori Marx tentang krisis,
padahal sebuah krisis besar pecah pada tahun 1900. Dan
tujuh tahun kemudian, sebuah krisis baru yang mulai
muncul di Amerika Serikat pun memukul pasar dunia.
Fakta membuktikan bahwa teori “adaptasi” itu keliru.
Fakta itu juga sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang
yang mengabaikan teori Marx tentang krisis -hanya karena
tidak ada krisis yang terjadi dalam suatu kurun waktu
tertentu- kebingungan antara esensi dari teori ini dengan
salah satu aspek eksteriornya, yakni siklus sepuluh
tahunan. Uraian tentang siklus industri kapitalis moderen
sebagai suatu periode sepuluh tahunan bagi Marx dan
Engels di tahun 1860 dan 1870 hanyalah suatu pernyataan
sederhana tentang fakta-fakta. Pernyataan tersebut tidak
didasarkan pada suatu hukum alam, melainkan pada
serangkaian situasi historis tertentu yang berhubungan
dengan pesatnya persebaran aktivitas kapitalisme muda.

Dahulu pernah terjadi krisis pada tahun 1825 akibat


penanaman modal yang luas dalam pembangunan jalan
raya, kanal, dan kilang gas yang terjadi selama dekade
terdahulu, khususnya di Inggris di mana krisis itu pecah.
Krisis berikutnya pada 1836-1839 secara serupa adalah
akibat investasi yang sangat besar dalam pembangunan
sarana transportasi. Krisis tahun 1847 diprovokasi oleh
demam pembangunan jalan kereta api di Inggris (sejak
1844 sampai 1847, selama tiga tahun Parlemen Inggris
konsesi untuk jalan kereta api sampai senilai 15 milyar
dollar AS). Pada masing-masing dari tiga kasus yang
disebutkan tadi, sebuah krisis muncul setelah basis-basis
baru bagi perkembangan kapitalis terbangun. Pada tahun
1857, akibat yang sama ditimbulkan oleh pembukaan
secara tiba-tiba pasar-pasar baru bagi industri Eropa di
Amerika dan Australia setelah ditemukannya tambang
emas dan perluasan pembangunan jalan kereta api,
terutama di Perancis, di mana contoh Inggris ketika itu
sangat ditiru. (Di Perancis sendiri, jalan-jalan kereta api
baru sampai senilai 1,25 juta franc dibangun dari 1852
sampai 1856). Dan akhirnya, kita mengalami krisis besar
pada tahun 1873 – sebuah konsekuensi langsung
dari booming dahsyat industri besar di Jerman dan
Austria, yang diikuti dengan kejadian-kejadian politik
tahun 1866 dan 1871.
Jadi, sampai sekarang, perluasan tiba-tiba ranah
ekonomi kapitalis -dan bukan penciutannya- setiap kali
merupakan penyebab terjadinya krisis perdagangan.
Bahwa krisis internasional berulang sendiri setiap sepuluh
tahun adalah murni suatu fakta eksterior, sebuah
persoalan peluang. Rumusan marxis untuk krisis seperti
yang disajikan oleh Engels dalam Anti-Duehring, dan oleh
Marx dalam jilid pertama serta jilid ketiga Kapital, berlaku
bagi semua krisis hanya dalam hal bahwa rumusan
tersebut menyingkap mekanisme internasionalnya serta
sebab-sebab pokoknya yang umum.

Krisis bisa berulang sendiri setiap lima atau sepuluh


tahun, ataupun bahkan setiap delapan atau duapuluh
tahun. Tetapi apa yang paling membuktikan kekeliruan
teori Bernstein ialah bahwa justru di negeri-negeri yang
mengalami perkembangan terbesar dalam “sarana
adaptasi” yang terkenal -kredit, sarana komunikasi yang
disempurnakan, dan trust- itulah, krisis terbaru (1907-
1908) terjadi secara paling ganas.

Keyakinan bahwa produksi kapitalis mampu


“mengadaptasikan diri” terhadap pertukaran
mengasumsikan satu dari dua hal: apakah pasar dunia bisa
menyebar secara tak terbatas, atau sebaliknya,
perkembangan tenaga produktif begitu terbelenggu,
sehingga tidak bisa melewati batas-batas pasar. Hipotesis
pertama menimbulkan suatu kemustahilan material.
Sedangkan hipotesis kedua dianggap tidak mungkin
dengan adanya kemajuan teknis yang konstan, yang setiap
hari menciptakan tenaga-tenaga produktif baru di semua
cabang.

Masih ada satu fenomena lain yang, menurut Bernstein,


bertentangan dengan perjalanan perkembangan kapitalis
sebagaimana ditunjukkan di atas. Dalam barisan mantap
perusahaan-perusahaan berskala menengah, Bernstein
melihat adanya tanda perkembangan industri besar yang
tidak bergerak dalam arah revolusioner, dan tidaklah
seefektif -dilihat dari sudut konsentrasi industri- seperti
yang diperkirakan oleh “teori” keruntuhan. Namun
demikian, di sini Bernstein adalah korban dari kekurang-
pahamannya sendiri; karena memandang lenyapnya
perusahaan berskala menengah sebagai akibat pasti dari
perkembangan industri besar, berarti -sangat
menyedihkan- salah memahami sifat dari proses ini.

Menurut teori marxis, dalam kurun umum


perkembangan kapitalis, para kapitalis kecil memainkan
peran sebagai pelopor perubahan teknis. Mereka memiliki
peran itu dalam makna ganda. Mereka memulai metode-
metode produksi baru dalam cabang-cabang industri yang
telah sangat mapan; mereka adalah instrumen dalam
penciptaan cabang-cabang produksi baru yang belum
dieksploitasi oleh kapitalis besar.

Adalah keliru bila kita membayangkan sejarah


kemapanan-kemapanan kapitalis menengah bergerak
dalam garis lurus ke arah melenyapnya mereka secara
progresif. Sebaliknya, kurun perkembangan ini murni
dialektis dan bergerak secara konstan di antara
kontradiksi-kontradiksi. Lapisan-lapisan kapitalis
menengah mendapati dirinya -sama seperti pekerja-
berada di bawah pengaruh dua kecenderungan yang
bertentangan, yang
satu ascendant (berpengaruh/berkuasa), yang
lainnya descendant (menurun/melemah). Dalam hal ini,
kecenderungan descendant adalah terus naiknya skala
produksi yang secara periodik membanjiri dimensi-
dimensi paket modal berukuran rata-rata, dan
melepaskannya secara berulang dari arena persaingan
dunia. Kecenderungan ascendant pertama-tama
merupakan depresiasi periodik dari modal yang ada, yang
untuk suatu waktu tertentu menurunkan kembali skala
produksi sebanding dengan nilai dari jumlah minimum
yang diperlukan modal. Selain itu, hal ini
direpresentasikan oleh penetrasi produksi kapitalis ke
dalam ruang-ruang lingkup baru. Perjuangan perusahaan
berskala kecil melawan modal besar tidak bisa dianggap
suatu pertempuran yang bergerak secara reguler, di mana
pasukan dari pihak yang lebih lemah terus memudar
secara langsung dan kuantitatif. Perjuangan itu
seharusnya lebih dipandang sebagai berondongan
periodik perusahaan-perusahaan kecil yang dengan pesat
tumbuh kembali, hanya akan diberondong habis sekali lagi
oleh industri besar. Kedua kecenderungan itu bermain
bola dengan lapisan-lapisan kapitalis menengah.
Kecenderungan yang menurun pada akhirnya pasti akan
menang.

Padahal, justru kebalikannyalah yang benar mengenai


perkembangan kelas pekerja. Kemenangan
kecenderungan yang menurun tidak harus menunjukkan
kepada dirinya sendiri menyusutnya bilangan perusahaan-
perusahaan berskala menengah secara mutlak. Ia haruslah
menunjukkan kepada dirinya sendiri, pertama-tama,
dalam peningkatan progresif jumlah minimum modal yang
diperlukan untuk pemfungsian perusahaan-perusahaan
dalam cabang-cabang produksi lama. Kedua, dalam
penyusutan konstan selang waktu, yang selama itu para
kapitalis kecil melestarikan peluang untuk
mengeksploitasi cabang-cabang produksi baru. Sejauh
berkenaan dengan kapitalis kecil, maka akibatnya adalah
masa tinggalnya yang secara progresif lebih pendek dalam
industri baru, dan suatu perubahan yang secara progresif
lebih pesat dalam hal metode-metode produksi sebagai
suatu bidang investasi. Untuk strata kapitalis rata-rata, jika
dihitung secara keseluruhan, terdapat suatu proses
asimilasi dan disimilasi yang makin dan makin pesat.

Bernstein sangat memahami hal ini. Dia sendiri


berkomentar tentang hal tersebut. Tetapi yang
nampaknya dia lupakan, ialah bahwa hal ini memang
merupakan hukum gerak dari rata-rata perusahaan
kapitalis. Jika seseorang mengakui bahwa para kapitalis
kecil adalah pelopor kemajuan teknis, dan apabila benar
bahwa kemajuan teknis merupakan urat nadi ekonomi
kapitalis, maka, bahwa para kapitalis kecil merupakan
bagian integral dari perkembangan kapitalis, adalah
sesuatu yang manifes. Dan para kapitalis kecil itu akan
hilang hanya dengan adanya perkembangan kapitalis.
Melenyapnya perusahaan berskala menengah secara
progresif -dalam pengertian mutlak yang dipandang oleh
Bernstein- bukanlah berarti, sebagaimana yang dia kira,
perjalanan revolusioner dari perkembangan kapitalis,
melainkan justru sebaliknya, adalah penghentian,
perlambatan perkembangan. “Tingkat keuntungan, yakni
kenaikan modal secara relatif,” kata Marx, “adalah
penting pertama-tama bagi para penanam modal baru,
yang mengelompok sendiri secara independen. Dan
segera setelah pembentukan modal jatuh secara eksklusif
ke dalam sejumlah kapitalis besar, maka api penyala
produksi itu menjadi padam, menjadi sirna.”

3 – Realisasi Sosialisme melalui Reformasi Sosial

Bernstein menolak “teori keruntuhan” sebagai sebuah


jalan historis menuju sosialisme. Lantas apa jalan menuju
masyarakat sosialis yang diajukan oleh “teorinya tentang
adaptasi kapitalisme"? Bernstein menjawab pertanyaan
ini hanya dengan kiasan. Namun demikian, Konrad
Schmidt berupaya untuk berkutat dalam hal-hal rinci ini
menurut cara berpikir Bernstein. Menurut Konrad,
“perjuangan serikat buruh demi jam kerja dan upah, dan
perjuangan politik untuk reformasi, akan menyebabkan
terjadinya kontrol yang secara progresif lebih luas
terhadap kondisi-kondisi produksi,” dan “karena hak-
hak proprietor (pemilik) kapitalis akan dikurangi melalui
legislasi [hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan
perundang-undangan – penerj.], maka pada waktunya
nanti perannya akan terkurangi hingga hanya menjadi
seorang administrator.” “Para kapitalis akan melihat
bahwa kepemilikannya akan makin dan makin kehilangan
nilai bagi dirinya sendiri,” sampai akhirnya “arah dan
administrasi eksploitasi akan direnggut dari dirinya secara
keseluruhan,” kemudian terbangunlah “eksploitasi
kolektif”.

Oleh karena itu, serikat-serikat buruh, reformasi sosial


dan -tambah Bernstein- demokratisasi politik negara,
adalah sarana untuk mewujudkan sosialisme secara
progresif.

Akan tetapi, kenyataannya ialah bahwa fungsi utama


dari serikat buruh (dan ini dengan sangat baik dijelaskan
oleh Bernstein sendiri dalam Neue Zeit pada tahun 1891)
diwujudkan dengan menyediakan bagi buruh suatu cara
untuk menyadari upah yang rendah dari kapitalis, yakni
penjualan tenaga kerja mereka dengan harga pasar masa
kini. Serikat buruh memungkinkan proletariat untuk
menggunakan konjungtur [serentetan kejadian, terutama
yang berhubungan dengan kondisi kritis – penerj.] pasar
setiap saat. Namun, konjungtur ini – (1) permintaan akan
tenaga kerja yang ditentukan oleh kondisi produksi, (2)
pasokan tenaga kerja yang diciptakan oleh proletarisasi
lapisan menengah di masyarakat serta reproduksi alami
dari kelas-kelas pekerja, dan (3) tingkat sementara
produktivitas kerja- tetap berada di luar ruang lingkup
pengaruh serikat buruh. Serikat buruh tidak bisa menekan
hukum tentang upah. Dalam situasi yang paling
mendukung, hal paling maksimal yang bisa dilakukan oleh
serikat buruh hanyalah mendesakkan kepada eksploitasi
kapitalis, batas “normal” pada saat itu. Bagaimanapun
juga, serikat buruh tidak memiliki kekuatan untuk
menghapuskan eksploitasi itu sendiri, bahkan secara
perlahanpun tidak.

Memang benar, Schmidt memandang gerakan serikat


buruh sekarang ini berada dalam “tahap awal yang
lemah”. Dia berharap bahwa “di masa depan”, “gerakan
serikat buruh akan menjalankan pengaruh yang
meningkat secara progresif terhadap pengaturan
produksi”. Namun dengan pengaturan produksi, kita
hanya bisa mengerti dua hal: intervensi dalam ranah
teknis dan menetapkan skala produksi itu sendiri.
Bagaimana sifat dari pengaruh yang dijalankan oleh
serikat buruh dalam dua bagian ini? Jelas bahwa dalam
teknik produksi, kepentingan kapitalis berkesesuaian -
sampai titik tertentu- dengan kemajuan dan
perkembangan ekonomi kapitalis. Kepentingan kapitalis
itu sendirilah yang mendorongnya untuk melakukan
perbaikan-perbaikan teknis. Akan tetapi, buruh yang
terisolasi mendapati dirinya dalam posisi yang jelas
berbeda. Setiap transformasi teknis bertentangan dengan
kepentingan buruh. Transformasi teknis memperburuk
situasi buruh yang tak berdaya dengan menurunkan nilai
tenaga kerjanya, dan membuat kerja buruh menjadi lebih
serius, lebih monoton, dan lebih sulit.

Sejauh serikat buruh bisa melakukan intervensi ke


dalam bagian teknis dari produksi, maka mereka hanya
bisa menentang inovasi teknis. Namun dalam hal ini,
serikat buruh tidaklah bertindak demi kepentingan
seluruh kelas pekerja dan emansipasinya, yang lebih
berkesesuaian dengan kemajuan teknis, sehingga sesuai
dengan kepentingan kapitalis yang tertutup. Di sini, serikat
buruh bertindak dalam arah yang reaksioner. Dan pada
kenyataannya, kita memang mendapati upaya-upaya
pada sebagian buruh untuk melakukan intervensi ke
dalam bagian teknis dari produksi, bukan di masa
mendatang seperti yang diharapkan oleh Schmidt,
melainkan di masa lalu dari gerakan serikat buruh. Upaya-
upaya seperti itu dicirikan oleh fase lama dari trade
unionism [serikat buruhisme – penerj.] Inggris (sampai
tahun 1860) ketika organisasi-organisasi Inggris masih
terikat pada sisa-sisa “korporasi” Abad Pertengahan, dan
menemukan inspirasi dalam prinsip usang “upah harian
yang adil untuk kerja harian yang adil,” sebagaimana
dinyatakan oleh Webb dalam karyanya Sejarah Trade
Unionism.

Di sisi lain, upaya serikat buruh untuk menetapkan skala


produksi dan harga komoditas merupakan suatu
fenomena yang baru muncul. Baru-baru ini saja kita
menyaksikan upaya-upaya seperti itu – dan kembali ini
terjadi di Inggris. Dalam sifat dan kecenderungan-
kecenderungannya, upaya-upaya ini mewakili hal-hal yang
disebutkan di atas. Lalu, apa makna dari partisipasi aktif
serikat buruh dalam menetapkan skala dan biaya
produksi? Maknanya ialah sebuah kartel yang terdiri atas
para pekerja dan para pengusaha dalam suatu sikap yang
sama menghadapi konsumen, dan terutama menghadapi
pengusaha-pengusaha saingannya. Efek dari hal ini sama
sekali tidak berbeda dengan efek dari asosiasi-asosiasi
majikan yang biasanya. Pada dasarnya, dalam hal ini kita
tidak lagi mendapati perjuangan antara modal dan kerja,
melainkan solidaritas antara modal dan kerja melawan
keseluruhan konsumen. Jika dipandang dari nilai
sosialnya, serikat buruh terlihat sebagai sebuah gerak
reaksioner yang tidak bisa menjadi sebuah tahap dalam
perjuangan untuk emansipasi proletariat, karena ia
mengkonotasikan watak yang sangat bertentangan
dengan perjuangan kelas. Kalau dilihat dari sudut
penerapan praktisnya, maka didapati bahwa serikat buruh
merupakan suatu utopia yang -sebagaimana ditunjukkan
oleh penelitian yang berlangsung cepat- tidak bisa
diperluas ke cabang-cabang industri besar yang
berproduksi untuk pasar dunia.

Jadi, lingkup gerak serikat buruh secara esensial


terbatas pada perjuangan untuk kenaikan upah dan
pengurangan jam kerja, yakni terbatas pada upaya-upaya
pengaturan oleh eksploitasi kapitalis, seiring dengan
kenyataan bahwa upaya-upaya tersebut memang
diperlukan oleh situasi sementara dari pasar dunia.
Namun serikat buruh sama sekali tidak bisa
mempengaruhi proses produksi itu sendiri. Terlebih lagi,
perkembangan serikat buruh bergerak -bertentangan
dengan apa yang dinyatakan oleh Konrad Schmidt- dalam
arah keterlepasan total pasar tenaga kerja dari hubungan
apapun yang sangat dekat dengan bagian lain dari pasar
itu.

Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa, bahkan


upaya-upaya untuk menghubungkan kontrak-kontrak
kerja dengan situasi umum produksi melalui sebuah
sistem penggeseran (naik-turun) skala upah, telah
ketinggalan zaman seiring perkembangan sejarah. Serikat-
serikat buruh Inggris kini bergerak makin dan makin
menjauh dari upaya-upaya seperti itu.

Bahkan dalam batas-batas efektif dari aktivitasnya,


gerakan serikat buruh tidak bisa menyebar dengan cara
yang tak terbatas, berbeda dengan apa yang di-klaim oleh
teori adaptasi. Sebaliknya, apabila kita meneliti faktor-
faktor besar dari perkembangan sosial, kita melihat bahwa
kita tidak sedang bergerak menuju suatu zaman yang
ditandai dengan perkembangan kemenangan serikat
buruh, melainkan lebih menuju ke suatu masa ketika
kesulitan-kesulitan serikat buruh akan meningkat. Suatu
saat ketika perkembangan industri telah mencapai titik
tertingginya yang paling mungkin, dan kapitalisme telah
memasuki fase menurunnya pada pasar dunia, maka
perjuangan serikat buruh akan menjadi dua kali lipat lebih
sulit. Pertama, konjungtur obyektif pasar akan jadi kurang
mendukung bagi para penjual tenaga kerja, karena
permintaan tenaga kerja akan meningkat dengan tingkat
yang lebih lambat, dan pasokan tenaga kerja akan lebih
pesat daripada saat sekarang. Kedua, para kapitalis sendiri
-untuk menutup kerugian-kerugian yang diderita di pasar
dunia- akan melakukan upaya yang lebih keras daripada
masa sekarang guna mengurangi bagian dari keseluruhan
produk yang mengalir ke buruh (dalam bentuk upah).
Pengurangan upah itu -sebagaimana dijelaskan oleh Marx-
adalah salah satu cara utama untuk menghambat jatuhnya
tingkat keuntungan. Situasi di Inggris telah memberikan
kepada kita suatu gambaran tentang permulaan tahap
kedua dari perkembangan serikat buruh. Aksi serikat
buruh berkurang arti pentingnya sampai hanya berupa
tindakan mempertahankan hasil-hasil yang telah dicapai,
bahkan itu pun kini menjadi makin dan makin sulit. Situasi
seperti itu adalah kecenderungan umum dari hal-hal yang
terjadi di masyarakat kita. Pengimbang bagi
kecenderungan ini seharusnya adalah perkembangan sisi
politik dari perjuangan kelas.

Konrad Schmidt melakukan kesalahan yang sama


tentang perspektif sejarah ketika dia membahas reformasi
sosial. Dia mengharapkan bahwa reformasi sosial -seperti
organisasi-organisasi serikat buruh- akan “mendikte para
kapitalis dengan syarat-syarat, yang hanya dengan itu
mereka akan bisa mempekerjakan tenaga kerja.” Melihat
reformasi dari sudut pandang ini, Bernstein menyebut
legislasi tentang kerja sebagai sekeping “kontrol sosial”,
dan yang demikian itu berarti sekeping sosialisme. Secara
serupa, Konrad Schmidt selalu menggunakan istilah
“kontrol sosial” ketika dia mengacu pada hukum-hukum
perlindungan tenaga kerja. Sehingga ketika dengan
senang hati ia mengubah negara menjadi masyarakat, ia
pun menambahkan: “Maksudnya adalah kelas pekerja
yang bangkit.” Akibat dari trik substitusi ini, Undang-
Undang tentang Kerja -bersifat apa adanya- yang
diundangkan oleh Dewan Federal Jerman, diubah menjadi
langkah-langkah sosialis bersifat peralihan yang dianggap
diundangkan oleh proletariat Jerman.

Mistifikasinya terlihat jelas. Kita tahu bahwa negara


yang ada sekarang ini bukanlah “masyarakat” yang
mewakili “kelas pekerja yang bangkit”. Negara itu sendiri
adalah representasi dari masyarakat kapitalis. Ia adalah
sebuah negara kapitalis. Karena itu, langkah-langkah
reformasi bukanlah suatu penerapan “kontrol sosial”,
yaitu kontrol dari masyarakat yang bekerja dengan bebas
dalam proses kerjanya sendiri. Langkah-langkah reformasi
adalah bentuk-bentuk kontrol yang diterapkan oleh
organisasi kelas dari modal terhadap produksi modal. Ya,
Bernstein dan Konrad Schmidt sekarang ini hanya melihat
“permulaan yang lemah” dari kontrol ini. Mereka
berharap untuk melihat suatu suksesi panjang reformasi-
reformasi di masa mendatang, yang kesemuanya
mendukung kelas pekerja. Akan tetapi, dalam hal ini
mereka melakukan kesalahan yang serupa dengan
keyakinan mereka akan perkembangan gerakan serikat
buruh yang tak terbatas.

Syarat pokok bagi teori pencapaian sosialisme secara


perlahan melalui reformasi-reformasi sosial adalah
perkembangan obyektif tertentu dari kepemilikan
kapitalis dan perkembangan obyektif tertentu dari negara.
Konrad Schmidt mengatakan bahwa proprietor kapitalis
cenderung untuk kehilangan hak-hak istimewanya seiring
dengan perkembangan sejarah, dan akan terkurangi
perannya hanya menjadi sekedar administrator. Dia
mengira bahwa pengambil-alihan alat produksi tidak
mungkin bisa dilaksanakan sebagai suatu tindakan historis
tunggal. Karena itu, dia terpaksa menggunakan teori
pengambil-alihan secara bertahap. Dengan pemikiran ini,
Konrad membagi hak atas kepemilikan menjadi (1) hak
“kedaulatan” (kepemilikan) -yang dia lekatkan pada
sesuatu yang disebut “masyarakat”, dan yang dia inginkan
untuk meluas- dan (2) lawannya, yaitu hanya hak guna
yang dipegang oleh kapitalis, namun yang dianggap akan
terkurangi di tangan para kapitalis, hingga hanya menjadi
semata-mata administrasi atas perusahaan-perusahaan
mereka.

Interpretasi ini bisa jadi hanya merupakan permainan


kata-kata, dan dalam hal ini berarti teori tentang
pengambil-alihan secara perlahan tidak memiliki basis
yang riil, atau ia merupakan gambaran sejati dari
perkembangan yudisial, di mana kita akan melihat bahwa
teori pengambil-alihan secara perlahan itu sama sekali
keliru.

Pembagian hak atas kepemilikan menjadi beberapa


komponen hak, yakni sebuah konsep yang memberi
legitimasi bagi Konrad Schmidt agar bisa menyusun
teorinya tentang “pengambil-alihan secara bertahap”,
menunjukkan ciri masyarakat feodal yang didirikan
berdasarkan ekonomi alami. Dalam feodalisme,
keseluruhan produk dibagi di antara kelas-kelas sosial di
masa itu berdasarkan hubungan-hubungan pribadi yang
ada antara tuan tanah dengan hamba ataupun
penyewanya. Penguraian kepemilikan menjadi beberapa
hak parsial mencerminkan cara distribusi kekayaan sosial
pada periode itu. Dengan berjalannya proses menuju
produksi komoditas dan diputuskannya semua ikatan
pribadi di antara para peserta dalam proses produksi,
maka hubungan antara manusia dan benda (yakni
kepemilikan pribadi) secara resiprokal menjadi lebih kuat.
Karena pembagian itu tidak lagi dilakukan berdasarkan
hubungan-hubungan pribadi, melainkan melalui
pertukaran, maka hak-hak berbeda atas suatu bagian
dalam kekayaan sosial tidak lagi dihitung sebagai bagian-
bagian dari hak-hak properti yang memiliki kepentingan
yang sama. Hak-hak yang berbeda itu dihitung
berdasarkan nilai yang dibawa oleh masing-masing hak itu
di pasar.

Perubahan pertama yang diintrodusir ke dalam


hubungan-hubungan yuridis dengan adanya kemajuan
produksi komoditas pada komune-komune perkotaan
Abad Pertengahan adalah perkembangan dari
kepemilikan pribadi yang absolut. Kepemilikan pribadi
yang absolut ini muncul di antara hubungan-hubungan
yuridis feodal. Perkembangan ini telah bergerak maju
dengan langkah pesat dalam produksi kapitalis. Makin
proses produksi tersosialisasi, maka proses distribusi
(pembagian kekayaan) semakin bertumpu pada
pertukaran. Dan makin kepemilikan pribadi menjadi tak
bisa dilanggar dan tertutup, maka kepemilikan kapitalis
menjadi semakin tertransformasikan dari hak atas hasil
kerja seseorang itu sendiri menjadi hak untuk
menggunakan (tanpa ijin) kerja dari seseorang yang lain.
Selama kapitalis itu sendiri yang mengelola pabriknya,
maka distribusi masih -sampai titik tertentu- terikat pada
partisipasi pribadinya dalam proses produksi. Namun
seiring dengan manajemen pribadi pada bagian kapitalis
menjadi berlebihan -yang ini merupakan kasus dalam
masyarakat-masyarakat pemegang saham di masa
sekarang- maka properti modal, sejauh berkenaan dengan
haknya atas bagian dalam distribusi (pembagian
kekayaan), menjadi terpisah dari hubungan pribadi
apapun dengan produksi. Ia kini muncul dalam bentuknya
yang paling murni. Hak kapitalis atas properti mencapai
perkembangannya yang paling sempurna dalam modal
yang dipegang dalam bentuk saham-saham dan kredit
industri.

Demikianlah skema historis Konrad Schmidt, yang


menelusuri transformasi kapitalis “dari
seorang proprietor menjadi administrator semata”,
ternyata memberi gambaran keliru tentang
perkembangan sejarah yang riil. Sebaliknya, dalam realitas
sejarah, kapitalis cenderung berubah dari proprietor dan
administrator menjadi proprietor semata. Dalam hal ini,
apa yang terjadi pada Konrad Schmidt, telah pula terjadi
pada Goethe:

Apa yang nyata, ia lihat sebagaimana yang ada dalam


mimpi.
Apa yang tak lagi nyata, baginya menjadi nyata.

Karena skema sejarah Schmidt secara ekonomi berjalan


mundur dari suatu masyarakat pemegang saham menuju
bengkel pengrajin, maka secara yuridis dia berkehendak
untuk memimpin dunia kapitalis mundur kembali kepada
rangka feodal lama Abad Pertengahan.

Dari sudut pandang ini pula, “kontrol sosial” dalam


realitas ternyata muncul dalam aspek yang berbeda
dengan apa yang dilihat oleh Konrad Schmidt. Apa yang
sekarang ini berfungsi sebagai “kontrol sosial” -legislasi
tentang kerja, kontrol organisasi-organisasi industri
melalui kepemilikan saham, dan lain-lain- sama sekali
tidak ada hubungannya dengan konsepnya tentang
“kepemilikan yang maha tinggi”. Jauh dari -sebagaimana
diyakini oleh Schmidt- asumsi terjadinya pengurangan
kepemilikan kapitalis, sebaliknya “kontrol sosial” itu tak
lain adalah perlindungan atas kepemilikan kapitalis. Atau,
kalau diungkapkan dari sudut pandang ekonomi, “kontrol
sosial“ itu bukanlah suatu ancaman terhadap eksploitasi
kapitalis, melainkan hanyalah pengaturan eksploitasi. Jika
Bernstein bertanya apakah ada sedikit-banyak sosialisme
dalam suatu Undang-Undang perlindungan tenaga kerja,
maka kita bisa meyakinkan dia bahwa sebaik-baiknya
Undang-Undang perlindungan tenaga kerja, tak ada lagi
“sosialisme” selain sekedar sebuah ordonansi kotapraja
yang mengatur soal pembersihan jalan ataupun
hidup/matinya lampu jalan.

4 – Kapitalisme dan Negara

Syarat kedua dari realisasi sosialisme secara perlahan,


menurut Bernstein, adalah evolusi negara dalam
masyarakat. Telah menjadi sesuatu yang lumrah untuk
mengatakan bahwa negara yang ada sekarang ini adalah
negara kelas. Hal ini juga, seperti segala sesuatu yang
mengacu pada masyarakat kapitalis, hendaknya tidak
dipahami dengan cara yang absolut dan kaku, melainkan
secara dialektis.

Negara menjadi kapitalis karena adanya kemenangan


politik borjuasi. Perkembangan kapitalis mengubah secara
esensial watak negara, memperluas lingkup tindakan
negara, secara konstan memaksakan fungsi-fungsi baru
pada negara (khususnya fungsi-fungsi yang
mempengaruhi kehidupan ekonomi), membuat intervensi
dan kontrol negara dalam masyarakat menjadi makin dan
makin diperlukan. Dalam hal ini, perkembangan kapitalis
sedikit demi sedikit menyiapkan penggabungan (fusi)
negara dengan masyarakat di masa depan. Maksudnya
ialah bahwa perkembangan kapitalis menyiapkan
kembalinya negara kepada masyarakat. Mengikuti garis
pikiran ini, seseorang bisa berbicara tentang evolusi
negara kapitalis menjadi masyarakat, dan ini tak ragu lagi
adalah apa yang ada dalam pikiran Marx ketika ia mengacu
pada legislasi tentang kerja sebagai intervensi secara
sadar yang pertama dari “masyarakat” dalam proses sosial
yang vital. Sebuah frasa yang kepadanya Bernstein sangat
bergantung.

Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan kapitalis yang


sama mewujudkan transformasi lain dalam hal watak
negara. Negara yang ada sekarang pertama-tama adalah
sebuah organisasi dari kelas yang berkuasa/memerintah.
Ini mengasumsikan fungsi-fungsi yang mendukung
perkembangan sosial, khususnya karena -dan dalam
ukuran bahwa- kepentingan-kepentingan ini dan
perkembangan-perkembangan sosial sesuai -dalam model
yang umum- dengan kepentingan-kepentingan dari kelas
yang dominan. Legislasi tentang kerja diundangkan
berdasarkan kepentingan mendesak kelas kapitalis,
selaras dengan kepentingan masyarakat secara umum.
Tetapi harmoni ini hanya bertahan sampai suatu titik
tertentu dari perkembangan kapitalis. Ketika
perkembangan kapitalis telah mencapai suatu tingkat
tertentu, maka kepentingan borjuasi sebagai sebuah
kelas, dan kebutuhan akan kemajuan ekonomi, mulai
berbenturan, bahkan dalam makna kapitalis. Kita percaya
bahwa fase ini telah dimulai. Ia mewujudkan diri dalam
dua fenomena yang sangat penting dari kehidupan sosial
kontemporer: di satu sisi, kebijakan tentang proteksi tarif
dan di sisi lain, militerisme. Kedua fenomena ini telah
memainkan peran yang sangat dibutuhkan dan -dalam
makna itu- bersifat revolusioner sepanjang sejarah
kapitalisme. Tanpa adanya proteksi tarif, perkembangan
industri besar akan menjadi mustahil di beberapa negeri.
Namun sekarang situasinya berbeda.

Sekarang ini, proteksi tidak begitu berperan dalam


mengembangkan industri muda untuk secara artifisial
mempertahankan bentuk-bentuk produksi tertentu yang
sudah tua.

Dari sudut perkembangan kapitalis, yakni dari titik


pandang dunia ekonomi, hanyalah persoalan kecil apakah
Jerman mengekspor lebih banyak barang dagangan ke
Inggris, ataukah Inggris mengekspor lebih banyak barang
dagangan ke Jerman. Dari sudut pandang perkembangan
ini, bisa dikatakan bahwa sang blackamoor telah
melakukan pekerjaannya, dan kini waktunya bagi dia
untuk berjalan dengan caranya sendiri. Dengan adanya
kondisi tertentu berupa ketergantungan resiprokal, yang
itu didapati oleh berbagai cabang industri, maka suatu
tarif proteksionis pada komoditas apapun akan
mengakibatkan naiknya biaya produksi komoditas-
komoditas lainnya di dalam negeri itu. Karena itu, ia
merintangi perkembangan industri. Tetapi tidaklah
demikian halnya dari sudut pandang kepentingan kelas
kapitalis. Walaupun industri tidak memerlukan proteksi
tarif untuk perkembangannya, namun bisnis memerlukan
tarif untuk melindungi pasarnya. Ini menandakan bahwa
di masa sekarang, tarif tidak lagi berfungsi sebagai sarana
untuk melindungi suatu bagian kapitalis yang sedang
berkembang terhadap bagian-bagian lain yang sudah lebih
maju. Tarif kini adalah senjata yang digunakan oleh satu
kelompok kapitalis nasional untuk menghadapi kelompok
lainnya. Lebih jauh, tarif kini bukan lagi merupakan
instrumen proteksi bagi industri dalam geraknya untuk
menciptakan dan menguasai pasar dalam negeri. Tarif
sekarang ini adalah sarana yang sangat dibutuhkan untuk
kartelisasi industri, yakni sarana yang digunakan dalam
perjuangan para produsen kapitalis untuk menghadapi
masyarakat konsumen dalam agregat itu. Apa yang
dengan cara empatik menjelaskan karakter spesifik dari
kebijakan-kebijakan tentang pajak impor kontemporer
adalah fakta bahwa sekarang ini bukan industri, melainkan
pertanian lah yang memainkan peran utama dalam
penentuan tarif. Kebijakan tentang proteksi pajak impor
telah menjadi suatu alat untuk mengkonversikan dan
mengekspresikan kepentingan-kepentingan feodal dalam
bentuk kapitalis.

Perubahan yang sama telah terjadi dalam militerisme.


Apabila kita mempertimbangakan sejarah seperti apa
adanya dulu, bukan apa yang bisa jadi atau seharusnya
bisa jadi, maka kita harus mengakui bahwa perang telah
menjadi bagian istimewa yang sangat dibutuhkan dalam
perkembangan kapitalis. Amerika Serikat, Jerman, Italia,
negara-negara Balkan, Polandia, semuanya berhutang
budi kepada perang untuk perkembangan kapitalisnya,
baik perang itu berakhir dengan kemenangan ataupun
dengan kekalahan. Selama ada negeri-negeri yang
ditandai dengan pembagian politik atau isolasi ekonomi
internal yang harus dihancurkan, maka militerisme
memainkan sebuah peran revolusioner jika dilihat dari
sudut pandang kapitalisme. Namun sekarang ini situasinya
berbeda. Jika politik dunia telah menjadi tahap yang
mengancam munculnya konflik-konflik, maka ia bukan lagi
merupakan persoalan terbukanya negeri-negeri baru bagi
kapitalisme. Ia adalah persoalan yang telah ada dalam
pertikaian-pertikaian Eropa, yang kemudian dikirimkan ke
negeri-negeri lain, lalu meledak di sana. Lawan-lawan
bersenjata yang kini kita lihat di Eropa dan benua-benua
lainnya tidak membariskan diri sebagai negeri-negeri
kapitalis di satu sisi, dan sebagai negeri-negeri terbelakang
di sisi lain. Mereka adalah negara-negara yang dipaksa
berperang, khususnya sebagai akibat perkembangan
kapitalisnya yang maju secara serupa. Dalam pandangan
ini, sebuah ledakan pasti akan fatal bagi perkembangan
itu, dalam hal bahwa ia pasti memprovokasi kekacauan
yang sangat mendalam dan transformasi kehidupan
ekonomi di semua negeri.

Namun demikian, persoalan ini muncul secara sama


sekali berbeda jika dilihat dari pandangan kelas kapitalis.
Bagi kelas kapitalis, militerisme telah menjadi sangat
dibutuhkan. Pertama, sebagai suatu sarana perjuangan
untuk membela kepentingan “nasional” dalam persaingan
melawan kelompok-kelompok “nasional” lainnya. Kedua,
sebagai suatu metode penempatan untuk modal finansial
dan industri. Ketiga, sebagai suatu instrumen dominasi
kelas terhadap populasi pekerja di dalam negeri. Di dalam
dirinya sendiri, kepentingan-kepentingan ini tidak
memiliki kesamaan dengan perkembangan corak produksi
kapitalis. Apa yang paling menunjukkan karakter khusus
dari militerisme sekarang ini adalah fakta bahwa
militerisme berkembang secara umum di semua negeri
sebagai suatu akibat -boleh dikatakan- dari kekuatan motif
internalnya sendiri yang mekanis. Sebuah fenomena yang
sama sekali belum dikenal beberapa dekade yang lalu. Kita
mengenali hal ini dalam karakter fatal dari ledakan di
ambang pintu yang tak terhindarkan, meskipun terdapat
keraguan total mengenai tujuan-tujuan dan motif-motif
konflik. Perkembangan militerisme telah berubah dari
motor kapitalis, menjadi suatu penyakit kapitalis.

Dalam perbenturan antara perkembangan kapitalis dan


kepentingan kelas yang dominan, negara mengambil
posisi di pihak kelas yang dominan. Kebijakan negara,
seperti juga kebijakan borjuasi, menjadi berkonflik dengan
perkembangan sosial. Dengan begitu, negara makin dan
makin kehilangan karakternya sebagai representasi dari
keseluruhan masyarakat, dan dengan tingkat yang sama
pula bertransformasi menjadi murni sebuah negara kelas.
Atau lebih tepatnya, dua kualitas ini semakin
membedakan diri dari satu sama lain, dan mendapati
dirinya pada hubungan yang bertentangan dalam watak
hakiki negara. Kontradiksi ini secara progresif menjadi
bertambah tajam. Ini karena di satu sisi, kita mengalami
pertumbuhan fungsi-fungsi dari suatu kepentingan umum
pada bagian negara, intervensinya dalam kehidupan
sosial, “kontrol"nya terhadap masyarakat. Namun, di sisi
lain, karakter kelasnya mengharuskan negara untuk makin
dan makin menggerakkan poros aktivitas dan alat
kekerasannya ke dalam ranah-ranah yang berguna hanya
bagi karakter kelas borjuasi, sedangkan bagi masyarakat
secara keseluruhan hanyalah mendatangkan arti penting
yang negatif, sebagaimana dalam hal militerisme serta
kebijakan-kebijakan tarif dan kolonial. Terlebih lagi,
“kontrol sosial” yang dipraktekkan oleh negara ini
sekaligus menerobos dengan -dan didominasi oleh-
karakter kelasnya (lihatlah bagaimana legalisasi tentang
kerja diterapkan di semua negeri).

Perluasan demokrasi, yang dilihat Bernstein sebagai


suatu sarana untuk mewujudkan sosialisme secara
bertahap, tidaklah bertentangan, justru sebaliknya secara
sempurna berkesesuaian dengan transformasi yang
diwujudkan dalam watak negara.

Konrad Schmidt menyatakan bahwa kemenangan suatu


mayoritas sosial-demokratik di parlemen akan secara
langsung menyebabkan terjadinya "sosialisasi”
masyarakat. Kini, bentuk-bentuk demokratis dari
kehidupan politik tak ragu lagi merupakan fenomena yang
mengekspresikan secara jelas evolusi negara dalam
masyarakat. Bentuk-bentuk demokratis ini pada batas itu
memang menimbulkan suatu gerak menuju suatu
transformasi sosialis. Tetapi konflik di dalam negara
kapitalis seperti diuraikan di atas, termanifestasi sendiri
bahkan secara lebih empatik dalam parlementarisme
moderen. Sesungguhnya, sesuai dengan dengan
bentuknya, parlementarisme berfungsi untuk
mengekspresikan -di dalam organisasi negara-
kepentingan-kepentingan dari seluruh masyarakat.
Namun apa yang diekspresikan oleh parlementarisme di
sini adalah masyarakat kapitalis, yaitu suatu masyarakat di
mana kepentingan-kepentingan kapitalis lebih berkuasa.
Dalam masyarakat seperti ini, lembaga-lembaga
perwakilan yang demokratis dalam bentuknya, ternyata
dalam isinya adalah instrumen dari kepentingan kelas
yang berkuasa. Hal ini termanifestasi sendiri dengan
model yang nyata dalam fakta bahwa segera setelah
demokrasi menunjukkan kecenderungan untuk
menegasikan karakter kelasnya dan mulai
tertransformasikan menjadi instrumen dari kepentingan
riil populasi, maka bentuk-bentuk demokratis itupun
dikorbankan oleh borjuasi dan oleh wakil-wakil
negaranya. Itulah mengapa ide tentang penaklukan oleh
suatu mayoritas reformis parlementer merupakan
perhitungan yang -sepenuhnya dalam semangat
liberalisme borjuis- berasyik-asyik sendiri hanya
memikirkan satu sisi, yakni sisi formal demokrasi, namun
tidak mempertimbangkan sisi lainnya, yakni kandungan
sesungguhnya dari demokrasi. Seluruhnya,
parlementarisme bukanlah suatu elemen sosialis langsung
yang membuahi seluruh masyarakat kapitalis secara
perlahan. Sebaliknya, parlementarisme adalah bentuk
spesifik dari negara kelas borjuis yang membantu
mematangkan dan mengembangkan pertentangan-
pertentangan yang kini ada dalam kapitalisme.

Dari sudut sejarah perkembangan obyektif negara,


keyakinan Bernstein dan Konrad Schmidt bahwa “kontrol
sosial” yang meningkat menghasilkan pengantar langsung
menuju sosialisme, tertransformasikan menjadi suatu
rumusan yang mendapati dirinya sendiri semakin
berkontradiksi dengan realitas dari hari ke hari.

Teori introduksi sosialisme secara perlahan mengajukan


reformasi progresif terhadap kepemilikan kapitalis dan
negara kapitalis dalam arahan sosialisme. Namun, sebagai
konsekuensi dari hukum-hukum obyektif masyarakat yang
kini ada, satu dan lainnya berkembang dalam arah yang
persis berlawanan. Proses produksi semakin tersosialisasi,
dan intervensi negara, yakni kontrol negara terhadap
proses produksi, menjadi semakin luas. Tetapi pada saat
yang sama, properti pribadi makin dan makin menjadi
bentuk dari eksploitasi kapitalis secara terbuka terhadap
kerja orang lain, dan kontrol negara diterobos dengan
adanya kepentingan-kepentingan eksklusif dari kelas yang
berkuasa. Negara (organisasi politik dari kapitalisme) dan
hubungan-hubungan kepemilikan (organisasi yuridis dari
kapitalisme) menjadi semakin bersifat kapitalis, dan bukan
sosialis, menghadapkan pada teori introduksi sosialisme
secara progresif, dua kesulitan yang tak bisa
ditanggulangi.

Skema Fourier tentang mengubah air -melalui sebuah


sistem phalansteries- di seluruh laut menjadi limun yang
sedap tentunya merupakan ide yang fantastis. Tetapi
Bernstein, dengan mengajukan gagasan untuk mengubah
lautan kepahitan kapitalis menjadi lautan manisnya
sosialis dengan secara progresif menuangkan limun
reformis sosial ke dalam lautan itu, sesungguhnya
menyajikan sebuah ide yang sekedar menjadi makin
hambar, namun tak lagi fantastis.

Relasi-relasi produksi di masyarakat kapitalis makin dan


makin mendekati relasi-relasi produksi masyarakat
sosialis. Tetapi di sisi lain, hubungan-hubungan politik dan
yuridisnya menegakkan tembok kokoh di antara
masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis. Tembok ini
belum hancur, namun sebaliknya diperkuat dan
dikonsolidasikan oleh perkembangan reformasi sosial dan
jalannya demokrasi. Hanya pukulan palu revolusi,
yakni penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat lah
yang bisa menghancur-leburkan tembok itu.

5 – Konsekuensi Reformisme Sosial dan Watak Umum Revisionisme

Di bab pertama kami bermaksud menunjukkan bahwa


teori Bernstein mencabut program gerakan sosialis lepas
dari basis materialnya, dan berusaha meletakkan program
gerakan sosialis di atas suatu basis yang idealis. Bagaimana
teori ini berjalan ketika diterjemahkan ke dalam praktek?

Berdasarkan perbandingan pertama, praktek partai


sebagai akibat dari teori Bernstein tidaklah nampak
berbeda dengan praktek yang dianut oleh sosial-
demokrasi sampai sekarang. Dahulu, aktivitas Partai
Sosial-Demokrasi terdiri atas kerja serikat buruh, agitasi
untuk memperjuangkan reformasi-reformasi sosial dan
demokratisasi lembaga-lembaga politik yang ada.
Perbedaannya bukanlah pada apa, melainkan
pada bagaimana.

Sekarang ini, perjuangan serikat buruh dan praktek


parlementer dianggap sebagai sarana pembinaan dan
pendidikan proletariat dalam persiapan untuk tugas
merebut kekuasaan. Dari sudut pandang revisionis,
penaklukan kekuasaan ini adalah mustahil sekaligus sia-
sia. Dan karenanya, aktivitas serikat buruh dan
parlementer hendak dilaksanakan oleh partai hanya demi
mencapai hasil-hasilnya yang mendesak, yakni untuk
tujuan memperbaiki kondisi buruh yang kini ada,
mengurangi eksploitasi kapitalis secara perlahan, dan
perluasan kontrol sosial.

Dengan demikian, apabila kita tidak


mempertimbangkan perbaikan sementara kondisi buruh
yang mendesak -sebuah tujuan yang sama baik bagi
program partai kita, maupun bagi revisionisme- maka
perbedaan antara dua pandangan ini secara singkat
adalah sebagai berikut. Menurut konsepsi partai yang kini
ada, aktivitas serikat buruh dan parlementer itu penting
bagi gerakan sosialis, karena aktivitas seperti itu bisa
menyiapkan proletariat, yakni menciptakan faktor
subyektif dari transformasi sosialis, demi tugas untuk
mewujudkan sosialisme. Tetapi menurut Bernstein,
aktivitas serikat buruh dan parlementer secara perlahan
akan mengurangi eksploitasi kapitalis itu sendiri. Aktivitas
tersebut akan melepaskan karakter kapitalis dari
masyarakat kapitalis. Aktivitas tersebut akan secara
obyektif mewujudkan perubahan sosial yang diinginkan.

Apabila diteliti secara seksama, kita akan melihat bahwa


kedua konsepsi itu secara diametris bertentangan.
Memandang situasi itu dari sudut pandang partai kita
sekarang ini, kita katakan bahwa sebagai hasil dari
perjuangan-perjuangan serikat buruh dan parlementer,
proletariat menjadi yakin akan mustahilnya pencapaian
suatu perubahan sosial yang fundamental melalui
aktivitas seperti itu, sehingga sampai pada pemahaman
bahwa penaklukan kekuasaan adalah tak terhindarkan.
Bagaimanapun juga, teori Bernstein dimulai dengan
menyatakan bahwa penaklukan seperti itu mustahil. Teori
Bernstein menarik kesimpulan dengan menegaskan
bahwa sosialisme hanya bisa diintrodusir sebagai hasil dari
perjuangan serikat buruh dan aktivitas parlementer.
Karena, sebagaimana dilihat oleh Bernstein, aksi serikat
buruh dan parlementer memiliki suatu karakter sosialis,
karena ia menjalankan pengaruh sosialisasi secara
progresif terhadap ekonomi kapitalis.

Kita telah coba menunjukkan bahwa pengaruh


semacam itu murni bersifat imajiner. Hubungan-
hubungan antara properti kapitalis dan negara kapitalis
berkembang dalam arah yang sama sekali berlawanan,
sehingga aktivitas praktis sehari-hari dari Sosial-
Demokrasi sekarang ini kehilangan -dalam analisis
terakhir- semua hubungannya dengan kerja untuk
mencapai sosialisme. Dari sudut pandang sebuah gerakan
untuk mencapai sosialisme, perjuangan serikat buruh dan
praktek parlementer kita amatlah penting sejauh
keduanya membuat pemahaman serta kesadaran
proletariat menjadi sosialistik, dan membantu dalam
mengorganisir proletariat sebagai sebuah kelas. Namun
ketika perjuangan serikat buruh dan praktek parlementer
dianggap sebagai instrumen untuk melakukan sosialisasi
secara langsung terhadap ekonomi kapitalis, maka
keduanya tidak hanya kehilangan efektivitasnya yang
lazim, melainkan juga tak lagi menjadi sarana untuk
menyiapkan kelas pekerja bagi penaklukan kekuasaan.
Eduard Bernstein dan Konrad Schmidt sama sekali salah
mengerti ketika keduanya menghibur diri dengan
keyakinan bahwa, meskipun program partai direduksi
hanya menjadi kerja untuk mencapai reformasi-reformasi
sosial dan kerja serikat buruh seperti biasa, namun tujuan
akhir gerakan buruh tidaklah menjadi percuma, karena
setiap langkah majunya bergerak melampaui tujuan
jangka pendek tertentu, dan tujuan sosialis terimplikasi
sebagai suatu kecenderungan dari kemajuan yang
dikehendaki.

Tentu saja hal itu benar berkenaan dengan Sosial-


Demokrasi Jerman. Hal tersebut benar, bilamana sebuah
upaya yang tegas dan sadar untuk penaklukan kekuasaan
politik menyuburkan perjuangan serikat buruh dan kerja
untuk mencapai reformasi-reformasi sosial. Tetapi apabila
upaya ini dipisahkan dari gerakan itu sendiri, dan
reformasi-reformasi sosial dengan begitu dijadikan
semata-mata sebagai tujuan, maka aktivitas tersebut
bukan hanya tidak mengarah pada tujuan akhir sosialisme,
melainkan bahkan bergerak dalam arah yang persis
bertentangan.

Konrad Schmidt terjerumus pada ide bahwa jika suatu


gerakan yang ternyata bersifat mekanis telah dimulai,
maka ia tidak bisa berhenti sendiri, karena “selera
seseorang justru tumbuh ketika makan,” dan kelas pekerja
disangka tidak akan berpuas diri dengan reformasi-
reformasi sampai transformasi akhir sosialis terwujud.

Memang kondisi yang disebutkan terakhir tadi cukup


riil. Efektivitasnya dijamin oleh amat tidak memadainya
reformasi kapitalis. Akan tetapi, kesimpulan yang ditarik
dari hal itu hanya bisa menjadi benar jika memang
memungkinkan untuk membangun sebuah rantai
reformasi yang terus memanjang dan tak terputus, yang
beranjak dari kapitalisme masa kini menuju sosialisme. Ini
tentu saja hanya fantasi belaka. Sesuai dengan sifat segala
sesuatu sebagaimana adanya, rantai akan putus dengan
cepat, dan jalur yang bisa diambil oleh gerakan mulai saat
itu, yang diharapkan untuk maju, adalah banyak dan
bervariasi.

Apa akibat yang segera akan terjadi jika partai kita harus
mengubah prosedur umumnya untuk disesuaikan dengan
sudut pandang yang ingin menekankan perhatian pada
hasil-hasil praktis dari perjuangan kita? Segera setelah
“hasil-hasil jangka pendek” menjadi tujuan utama
aktivitas kita, maka hal nyata yang tak terdamaikan
dengan sudut pandang yang baru akan memiliki makna
jikalau ia mengajukan konsep untuk memenangkan
kekuasaan, akan didapati makin dan makin sulit.
Konsekuensi langsung dari hal ini akan berupa adopsi oleh
partai terhadap “kebijakan kompensasi”, yakni suatu
kebijakan perdagangan politis, dan sebuah sikap yang
kurang percaya diri, perdamaian diplomatis. Tetapi sikap
ini tidak bisa berlanjut untuk waktu yang lama, karena
reformasi sosial hanya bisa menawarkan janji kosong.
Konsekuensi logis dari program seperti itu pastilah berupa
kekecewaan.

Tidaklah benar bahwa sosialisme bisa muncul secara


otomatis dari perjuangan sehari-hari kelas pekerja.
Sosialisme akan menjadi konsekuensi dari (1) kontradiksi-
kontradiksi yang tumbuh di dalam ekonomi kapitalis, dan
(2) pemahaman oleh kelas pekerja tentang tak
terhindarkannya penghapusan kontradiksi-kontradiksi ini
melalui transformasi sosial. Apabila -dengan cara
revisionisme- syarat pertama disanggah dan syarat kedua
ditolak, maka gerakan buruh akan mendapati diri
tereduksi menjadi semata-mata gerakan yang kooperatif
dan reformis. Ini berarti kita bergerak dalam garis lurus
menuju pengabaian total sudut pandang kelas.

Konsekuensi ini juga menjadi nyata apabila kita meneliti


karakter umum revisionisme. Jelas bahwa revisionisme
tidak ingin mengakui bahwa sudut pandangnya adalah
sikap apologis kapitalis. Revisionisme tidak bergabung
dengan ekonom-ekonom borjuis dalam menolak
eksistensi kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme.
Namun, di sisi lain, apa yang memang merupakan titik
fundamental revisionisme, dan membedakannya dengan
sikap yang diambil oleh sosial-demokrasi sampai sekarang,
ialah bahwa revisionisme tidak mendasarkan teorinya
pada keyakinan bahwa kontradiksi-kontradiksi
kapitalisme akan terhapuskan sebagai akibat
perkembangan internal logis dari sistem ekonomi yang
ada sekarang.

Kita bisa mengatakan bahwa teori revisionisme


menempati sebuah ruang di antara dua hal ekstrem.
Revisionisme tak ingin melihat matangnya kontradiksi-
kontradiksi kapitalisme. Ia tidak mengajukan konsep untuk
menghapuskan kontradiksi-kontradiksi ini melalui suatu
transformasi revolusioner. Revisionisme ingin
memperkecil, meredakan kontradiksi-kontradiksi
kapitalis. Dengan demikian, pertentangan yang ada antara
produksi dan pertukaran hendak diredakan dengan
dihentikannya krisis dan dibentuknya persekutuan
kapitalis. Pertentangan antara modal dan kerja hendak
didamaikan dengan memperbaiki kondisi buruh dan
dengan pelestarian kelas-kelas menengah. Dan
kontradiksi antara negara kelas dan masyarakat hendak
dihilangkan dengan cara kontrol negara yang meningkat
serta kemajuan demokrasi.

Benar bahwa prosedur sosial-demokrasi yang ada


sekarang ini tidak mengandung muatan untuk menunggu
agar antagonisme-antagonisme kapitalisme berkembang
dan kemudian sekedar berlanjut pada tugas untuk
menghapuskan antagonisme-antagonisme tersebut.
Sebaliknya, esensi dari prosedur revolusioner ialah akan
dipandu oleh perkembangan ini ketika perkembangan itu
telah bisa dipastikan, dan menarik kesimpulan dari arahan
ini tentang konsekuensi-konsekuensi apa yang diperlukan
bagi perjuangan politik. Jadi, sosial-demokrasi telah
melawan perang tarif dan militerisme tanpa menunggu
karakter reaksioner kedua hal itu menjadi jelas. Prosedur
Bernstein tidak dipandu oleh suatu pertimbangan tentang
perkembangan kapitalisme, oleh prospek tentang
menajamnya kontradiksi-kontradiksi kapitalis. Prosedur
Bernstein dipandu oleh prospek tentang meredanya
kontradiksi-kontradiksi ini. Dia menunjukkan hal ini ketika
berbicara tentang “adaptasi” ekonomi kapitalis.

Lalu, kapan konsepsi itu bisa menjadi benar? Jika benar


bahwa kapitalisme akan terus berkembang dalam arah
yang ditempuhnya sekarang ini, maka kontradiksi-
kontradiksinya pasti akan menajam serta semakin parah,
dan bukan melenyap. Kemungkinan berkurangnya
kontradiksi-kontradiksi tersebut mengasumsikan bahwa
corak produksi kapitalis itu sendiri akan menghentikan
gerak majunya. Singkatnya, syarat umum bagi teori
Bernstein adalah berhentinya perkembangan kapitalis.

Namun demikian, teori Bernstein menunjukkan


kesalahannya sendiri secara duakali lipat.

Pertama, teori itu memanifestasikan karakter utopisnya


dalam sikapnya tentang pembangunan sosialisme. Karena
sudah jelas, bahwa perkembangan kapitalis yang tak
sempurna tidak bisa menuju pada suatu transformasi
sosialis.

Kedua, teori Bernstein mengungkap karakter


reaksionernya ketika ia mengacu pada perkembangan
pesat kapitalis yang terjadi di masa sekarang. Dengan
mengasumsikan perkembangan kapitalisme yang
sesungguhnya, bagaimana kita bisa menjelaskan -atau
lebih tepatnya menyatakan- posisi Bernstein?

Pada bab pertama kita telah menunjukkan tidak


konkretnya basis kondisi-kondisi ekonomi, yang
berlandaskan itu Bernstein membangun analisisnya
mengenai hubungan sosial yang ada. Kita telah melihat
bahwa, baik sistem kredit maupun kartel, tidak bisa
dikatakan sebagai “sarana adaptasi” ekonomi kapitalis.
Kita telah melihat bahwa, bahkan berhenti-sementaranya
krisis, ataupun bertahan hidupnya kelas menengah, tidak
bisa dianggap sebagai gejala-gejala adaptasi kapitalis.
Tetapi, meskipun kita akan gagal menjelaskan sifat keliru
dari semua hal rinci dalam teori Bernstein, namun kita tak
berdaya kecuali dihentikan sejenak oleh satu gambaran
yang sama dari semua hal rinci tersebut. Teori Bernstein
tidak menangkap manifestasi-manifestasi dari kehidupan
ekonomi kontemporer ini sebagaimana manifestasi
tersebut muncul dalam hubungan organiknya dengan
keseluruhan perkembangan kapitalis, dengan keseluruhan
mekanisme ekonomi kapitalisme. Teori Bernstein menarik
hal-hal rinci itu keluar dari konteks ekonominya yang
hidup. Teori ini memperlakukan hal-hal rinci tersebut
sebagai disjecta membra (bagian-bagian yang terpisah)
dari sebuah mesin mati.

Lihatlah, misalnya, konsepsi Bernstein tentang efek


adaptif dari kredit. Jika kita mengenali kredit sebagai suatu
tahap alami yang lebih tinggi dari proses pertukaran, dan
karenanya juga merupakan tahap alami yang lebih tinggi
dari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam
pertukaran kapitalis, maka kita tidak bisa sekaligus
melihatnya sebagai sarana mekanis adaptasi yang berada
di luar proses pertukaran. Demikian pula, adalah mustahil
untuk menganggap uang, barang dagangan dan modal
sebagai “sarana adaptasi” kapitalisme.

Bagaimanapun juga, kredit, seperti juga uang,


komoditas-komoditas dan modal, adalah
suatu link organik dari ekonomi kapitalis pada suatu tahap
perkembangannya yang tertentu. Seperti uang, komoditas
dan modal, kredit merupakan alat yang sangat dibutuhkan
dalam mekanisme ekonomi kapitalis, dan sekaligus
merupakan instrumen penghancur, karena ia
mempertajam kontradiksi-kontradiksi internal
kapitalisme.

Hal yang sama juga berlaku pada kartel dan sarana-


sarana komunikasi baru yang disempurnakan.

Pandangan mekanis yang sama disajikan oleh Bernstein


dalam upaya untuk menjelaskan tentang harapan
berhentinya krisis sebagai suatu gejala “adaptasi”
ekonomi kapitalis. Bagi Bernstein, krisis hanyalah
kekacauan mekanisme ekonomi. Dengan berhentinya
kekacauan itu, dia pikir, mekanisme akan bisa berfungsi
dengan baik. Namun faktanya ialah bahwa krisis bukanlah
“kekacauan” dalam makna kata yang biasanya. Krisis
adalah “kekacauan-kekacauan”, yang tanpa itu ekonomi
kapitalis tidak bisa berkembang sama sekali. Karena
apabila krisis memunculkan satu-satunya metode yang
mungkin dalam kapitalisme -dan karena itu, merupakan
metode yang normal- untuk menyelesaikan secara
periodik konflik yang ada antara perluasan produksi yang
tak terbatas dan batas-batas sempit pasar dunia, maka
krisis adalah manifestasi organik yang tidak bisa
dipisahkan dari ekonomi kapitalis.

Dalam kemajuan produksi kapitalis yang “tak


terhalangi” tersembunyi suatu ancaman yang lebih besar
daripada krisis. Ia adalah ancaman jatuhnya tingkat
keuntungan secara konstan yang diakibatkan bukan hanya
oleh kontradiksi antara produksi dan pertukaran,
melainkan juga oleh pertumbuhan produktivitas kerja itu
sendiri. Jatuhnya tingkat keuntungan memiliki
kecenderungan sangat berbahaya, yakni menyebabkan
tidak-mungkinnya bisnis apapun bagi modal kecil dan
menengah. Dengan begitu, jatuhnya tingkat keuntungan
membatasi pembentukan baru dan -karenanya- juga
perluasan penempatan modal.

Dan memang krisislah yang memunculkan


konsekeuensi lain itu dari proses yang sama. Sebagai
akibat dari depresiasi modalnya yang periodik, krisis
membawa kejatuhan dalam harga alat produksi,
kelumpuhan suatu bagian dari modal aktif, dan pada
waktunya juga macetnya peningkatan keuntungan.
Dengan demikian, krisis menciptakan kemungkinan-
kemungkinan kemajuan produksi yang diperbaharui.
Karena itu, krisis muncul sebagai instrumen untuk
menyalakan kembali api perkembangan kapitalis.
Berhentinya krisis -bukan berhenti yang sementara,
melainkan melenyapnya secara total di pasar dunia- tidak
akan menyebabkan perkembangan lebih lanjut ekonomi
kapitalis. Ia akan menghancurkan kapitalisme.

Selaras dengan pandangan mekanis dari teorinya


tentang adaptasi, Bernstein melupakan kebutuhan akan
krisis, maupun kebutuhan akan penempatan-penempatan
baru modal-modal kecil dan menengah. Dan itulah
mengapa kemunculan kembali modal kecil secara
konstan, bagi Bernstein nampak menjadi tanda
berhentinya perkembangan kapitalis, meskipun pada
kenyataannya itu adalah suatu gejala dari perkembangan
kapitalis yang normal.

Penting untuk dicatat bahwa terdapat suatu sudut


pandang dari mana semua fenomena yang telah
disebutkan di atas dipandang secara tepat sebagaimana
fenomena-fenomana itu telah disajikan oleh teori
“adaptasi”. Ia adalah sudut pandang tentang kapitalis yang
terisolasi (tunggal) yang mencerminkan dalam pikirannya
fakta-fakta ekonomi di sekelilingnya, hanya karena fakta-
fakta itu muncul ketika dibiaskan oleh hukum-hukum
persaingan. Kapitalis yang terisolasi melihat masing-
masing bagian organik dari keseluruhan ekonomi kita
sebagai suatu entitas independen. Dia melihat krisis itu
hanya sebagaimana yang berlaku pada dirinya, seorang
kapitalis tunggal. Karena itu, dia menganggap fakta-fakta
ini merupakan “kekacauan” sederhana dari “sarana
adaptasi” sederhana. Bagi kapitalis yang terisolasi, benar
bahwa krisis memang merupakan kekacauan sederhana;
berhentinya krisis memungkinkan kapitalis itu untuk
memiliki eksistensi yang lebih lama. Sejauh berkenaan
dengan kapitalis semacam ini, kredit hanyalah suatu
sarana untuk “mengadaptasikan” kekuatan-kekuatan
produktifnya yang tak memadai terhadap kebutuhan-
kebutuhan pasar. Dan nampak bagi dia bahwa kartel yang
mana dia menjadi seorang anggotanya, benar-benar
menghapuskan anarki industri.
Revisionisme tak lain adalah sebuah generalisasi teoritis
yang disusun dari sudut pandang kapitalis yang terisolasi.
Secara teoritis, sudut pandang ini masuk ke bagian yang
mana, kalau bukan ke dalam ekonomi borjuis?

Segala kesalahan aliran pemikiran ini persis terletak


pada konsepsi yang keliru memahami fenomena
persaingan sebagai sesuatu yang dilihat dari sudut
pandang kapitalis tunggal, lalu diterapkan pada fenomena
keseluruhan ekonomi kapitalis. Tepat sebagaimana
Bernstein menganggap kredit sebagai suatu sarana
“adaptasi” terhadap kebutuhan-kebutuhan pertukaran,
maka ekonomi vulgar pun berusaha menemukan penawar
racun untuk melawan penyakit-penyakit kapitalisme
dalam fenomena-fenomena kapitalisme. Seperti
Bernstein, ekonomi vulgar juga yakin bahwa adalah
mungkin untuk mengatur ekonomi kapitalis. Dan seperti
cara Bernstein pula, ekonomi vulgar pada waktunya
sampai pada keinginan untuk meredakan kontradiksi-
kontradiksi kapitalisme, yakni pada keyakinan akan
kemungkinan untuk menambal luka-luka kapitalisme.
Ekonomi vulgar berujung dengan menjanjikan sebuah
program reaksi. Ekonomi vulgar berujung pada suatu
utopia.

Karena itu, teori revisionisme dapat didefinisikan


dengan cara berikut ini. Ia adalah sebuah teori tentang
keadaan tak-bergerak dalam gerakan sosialis, yang
dibangun -dengan bantuan ekonomi vulgar- di atas
landasan sebuah teori tentang berhentinya
perkembangan kapitalis.

6 – Perkembangan Ekonomi dan Sosialisme

Kemenangan terbesar gerakan proletarian yang sedang


berkembang adalah ditemukannya landasan yang
mendukung bagi perwujudan sosialisme pada kondisi
ekonomi masyarakat kapitalis. Berkat penemuan ini,
sosialisme berubah dari impian “ideal” oleh umat manusia
selama ribuan tahun, menjadi sesuatu yang merupakan
kebutuhan sejarah.

Bernstein menolak adanya syarat-syarat ekonomi bagi


sosialisme pada masyarakat masa sekarang. Dalam hal ini,
penalarannya telah mengalami suatu evolusi yang
menarik. Pertama-tama, di Neue Zeit Bernstein
membantah pesatnya proses konsentrasi yang terjadi
dalam industri. Dia mendasarkan sikapnya atas sebuah
perbandingan statistik tentang pekerjaan di Jerman tahun
1882 dan 1895. Untuk menggunakan angka-angka ini bagi
tujuannya, Bernstein terpaksa harus bergerak dalam suatu
model yang sama sekali bersifat ringkasan dan mekanis.
Dalam hal yang paling mendukung sekalipun, Bernstein
bahkan tidak bisa -dengan menunjukkan kegigihan
perusahaan-perusahaan berskala menengah- sedikitpun
melemahkan analisis marxian, karena analisis marxian
tidak menganggap suatu tingkat konsentrasi industri yang
pasti (yakni penundaan tertentu terhadap realisasi
sosialisme) ataupun, sebagaimana telah kita tunjukkan,
melenyapnya modal-modal kecil secara mutlak yang
biasanya digambarkan sebagai melenyapnya borjuasi
kecil, sebagai sebuah syarat untuk mewujudkan
sosialisme.

Dalam kurun perkembangan terakhir ide-idenya,


Bernstein melengkapi kita -dalam bukunya- dengan
sebuah kumpulan bukti-bukti baru: statistik mengenai
masyarakat-masyarakat pemegang saham. Statistik ini
digunakan untuk membuktikan bahwa jumlah para
pemegang saham meningkat secara konstan, dan
akibatnya kelas kapitalis tidak bertambah kecil, melainkan
tumbuh semakin besar. Mengagetkan bahwa Bernstein
hanya memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang
materinya. Dan menakjubkan, betapa buruknya cara ia
menggunakan data yang ada untuk kepentingannya
sendiri.
Jika dia ingin menyanggah hukum marxian tentang
perkembangan industri dengan mengacu pada
masyarakat-masyarakat pemegang saham, maka
seharusnya dia mengambil angka-angka yang sama sekali
berbeda. Siapapun yang faham tentang sejarah
masyarakat pemegang saham di Jerman mengetahui
bahwa modal pondasi rata-rata masyarakat tersebut telah
menurun nyaris secara konstan. Jadi, walaupun sebelum
tahun 1871 kapital pondasi rata-rata mereka mencapai
angka 10,8 juta mark, namun pada 1871 jumlahnya hanya
sebesar 4,01 juta mark; 3,8 juta mark pada 1873; kurang
dari satu juta sejak 1882 sampai 1887; 0,52 juta pada
1891; dan hanya 0,62 juta mark pada 1892. Setelah tahun
ini, angka-angka berkisar di antara 1 juta mark, kemudian
mencapai 1,78 juta pada 1895 dan 1,19 juta selama kurun
paruh pertama tahun 1897. (Van de
Borght: Handwoerterbuch der Staatsswissenschaften, 1.)

Itu adalah angka-angka yang mengagetkan. Dengan


menggunakan angka-angka tersebut, Bernstein berharap
untuk menunjukkan adanya suatu kecenderungan kontra-
marxian bagi retransformasi bisnis-bisnis besar menjadi
bisnis-bisnis kecil. Jawaban jelas terhadap upayanya itu
adalah sebagai berikut. Jika anda hendak membuktikan
apapun dengan sarana statistik anda, maka pertama-tama
anda harus menunjukkan bahwa statistik itu mengacu
pada cabang-cabang industri yang sama. Anda harus
menunjukkan bahwa bisnis-bisnis kecil betul-betul
menggantikan yang besar; bukan sebaliknya, bahwa
bisnis-bisnis besar itu hanya muncul jika yang berlaku
sebelumnya adalah bisnis-bisnis kecil atau bahkan industri
kerajinan. Maka, bagaimanapun juga, anda tidak bisa
merujuknya sebagai fakta yang benar. Proses perjalanan
masyarakat-masyarakat pemegang saham yang luas
menjadi bisnis-bisnis berskala menengah dan kecil, bisa
dijelaskan hanya dengan mengacu pada fakta bahwa
sistem masyarakat pemegang saham tersebut terus
menerobos cabang-cabang produksi baru. Sebelumnya,
hanya sejumlah kecil bisnis besar yang terorganisir sebagai
masyarakat-masyarakat pemegang saham. Secara
perlahan, organisasi pemegang saham telah
memenangkan bisnis berskala menengah, dan bahkan
bisnis berskala kecil. Sekarang ini, kita bisa mengamati
adanya masyarakat-masyarakat pemegang saham dengan
modal di bawah 1.000 mark.

Lantas, apa signifikansi ekonomi dari perluasan sistem


masyarakat pemegang saham? Secara ekonomis,
penyebaran masyarakat pemegang saham berarti
sosialisasi produksi yang kian meningkat dalam bentuk
kapitalis – sosialisasi bukan hanya produksi berskala besar,
melainkan juga produksi berskala menengah dan kecil.
Karena itu, perluasan pemegang saham tidaklah
bertentangan dengan teori marxis; sebaliknya, justru
menegaskan teori marxis secara empatik.

Apa sebenarnya makna dari fenomena ekonomi


tentang masyarakat pemegang saham? Fenomena ini
merepresentasikan, di satu sisi, penyatuan sejumlah
keuntungan kecil menjadi suatu modal besar produksi. Di
sisi lain, fenomena ini menunjukkan pemisahan produksi
dari kepemilikan kapitalis. Yakni, ia menunjukkan bahwa
sebuah kemenangan ganda dimenangkan terhadap corak
produksi kapitalis – namun masih berdasarkan basis
kapitalis.

Lantas, apa makna statistik yang disebutkan oleh


Bernstein, yang menyatakan bahwa sejumlah pemegang
saham, yang lebih besar daripada sebelumnya, kini
berpartisipasi dalam bisnis-bisnis kapitalis? Memang
statistik ini terus berusaha menunjukkan hal-hal sebagai
berikut: di masa sekarang, sebuah bisnis kapitalis tidak
bisa diidentikkan -sebagaimana sebelumnya- dengan
seorang proprietor tunggal dari modal, melainkan dengan
sejumlah kapitalis. Konsekuensinya, gagasan ekonomi
tentang “kapitalis” tidak lagi menandakan seorang
individu yang terisolasi. Kapitalis industri sekarang ini
adalah sesosok pribadi kolektif yang terdiri dari ratusan
dan bahkan ribuan individu. Kategori yang dimiliki
kapitalis sendiri kini menjadi suatu kategori sosial. Ia telah
menjadi “tersosialisasi“ – dalam kerangka masyarakat
kapitalis.

Dalam hal itu, bagaimana kita akan menjelaskan


keyakinan Bernstein bahwa fenomena masyarakat
pemegang saham menunjukkan persebaran, dan
bukannya konsentrasi modal? Mengapa dia melihat
adanya perluasan kepemilikan kapitalis, padahal Marx
justru melihat peniadaannya?

Itu adalah suatu kesalahan ekonomi yang sederhana.


Dengan “kapitalis”, Bernsten tidak memaknainya sebagai
suatu kategori produksi, melainkan hak atas kepemilikan.
Baginya, “kapitalis” bukanlah sebuah satuan ekonomi,
melainkan satuan fiskal. Dan “modal” bagi Bernstein
bukanlah suatu faktor produksi, melainkan hanya
kuantitas tertentu dari uang. Itulah mengapa
dalam trust benang jahit Inggris-nya, dia tidak melihat
adanya penggabungan 12.300 orang dengan uang menjadi
sebuat unit kapitalis tunggal, melainkan 12.300 kapitalis
yang berbeda. Itulah mengapa insinyur Schulze, yang mas
kawin istrinya memberinya sejumlah besar bagian
kepemilikan saham Mueller, adalah juga seorang kapitalis
bagi Bernstein. Itulah mengapa bagi Bernstein, seluruh
dunia nampak dipenuhi oleh para kapitalis.

Dalam hal ini juga, basis teoritis dari kesalahan ekonomi


Bernstein adalah “popularisasi”nya tentang sosialisme.
Karena inilah yang dia lakukan. Dengan
mentransportasikan konsep kapitalisme dari relasi-relasi
produktifnya menjadi relasi-relasi kepemilikan, dan
dengan hanya membicarakan individu-individu, bukannya
para pengusaha, maka dia memindahkan persoalan
sosialisme dari ranah produksi ke ranah relasi-relasi
kekayaan – yakni dari hubungan antara modal dan kerja,
menjadi hubungan antara yang miskin dan yang kaya.
Dengan cara ini, dengan sukaria kita digiring dari Marx
dan Engels, kepada penulis Pengabar Injil Sang Nelayan
Miskin. Bagaimanapun juga, tentu ada perbedaannya.
Weitling, dengan naluri proletarian yang penuh keyakinan,
melihat -pada pertentangan antara yang miskin dan yang
kaya- adanya pertentangan kelas dalam bentuknya yang
paling primitif, dan ingin menjadikan pertentangan-
pertentangan ini sebagai pendongkrak gerakan untuk
mewujudkan sosialisme. Di sisi lain, Bernstein
menempatkan realisasi sosialisme di dalam kemungkinan
untuk membuat yang miskin menjadi kaya. Yaitu, dia
menempatkannya pada peredaan pertentangan kelas,
dan berarti menempatkannya pada borjuasi kecil.

Benar bahwa Bernstein memang tidak membatasi diri


hanya pada statistik tentang pendapatan. Dia juga
menyediakan statistik tentang bisnis ekonomi, terutama
di negeri-negeri berikut: Jerman, Perancis, Inggris, Swiss,
Austria dan Amerika Serikat. Akan tetapi, statistik-statistik
ini bukanlah angka-angka komparatif dari periode-periode
berbeda di masing-masing negeri, melainkan dari masing-
masing periode di negeri-negeri yang berbeda. Karena itu,
kita tidak disodori -dengan kekecualian, yakni Jerman di
mana dia mengulangi kekontrasan lama antara 1895 dan
1882- sebuah perbandingan statistik dari bisnis-bisnis di
suatu negeri tertentu pada masa-masa yang berbeda,
melainkan angka-angka absolut untuk negeri-negeri yang
berbeda: Inggris pada 1891, Perancis pada 1894, Amerika
Serikat pada 1890, dan sebagainya.

Bernstein mencapai kesimpulan berikut ini: “Meskipun


benar bahwa eksploitasi besar telah menjadi yang utama
dalam industri sekarang ini, namun ia hanya
merepresentasikan- termasuk bisnis-bisnis yang
bergantung pada eksploitasi besar, bahkan di sebuah
negeri yang telah maju seperti Prussia- separuh dari
penduduknya yang terlibat dalam produksi.” Ini juga
berlaku untuk Jerman, Inggris, Belgia, dan lain-lain.
Apa yang sebetulnya ia buktikan di sini? Dia tidaklah
membuktikan eksistensi kecenderungan -atau memang
kecenderungan- perkembangan ekonomi seperti itu,
melainkan hanya hubungan absolut dari kekuatan-
kekuatan bentuk bisnis yang berbeda. Atau dengan kata
lain, hubungan-hubungan absolut dari berbagai kelas di
masyarakat kita.

Lantas, jika seseorang ingin membuktikan -dengan cara


ini- mustahilnya realisasi sosialisme, maka penalaran
orang itu haruslah bersandar pada teori yang sesuai
dengan hitungan kekuatan-kekuatan material dari
elemen-elemen dalam perjuangan, yakni oleh faktor
kekerasan. Dengan kata lain, Bernstein yang selalu
bergemuruh menentang blanquisme justru terjerumus ke
dalam kesalahan blanquis yang paling kasar. Namun
demikian, ada perbedaannya. Bagi kaum blanquis, yang
mewakili suatu kecenderungan sosialis dan revolusioner,
kemungkinan bagi realisasi ekonomi sosialisme nampak
cukup alami. Berdasarkan kemungkinan ini, mereka
membangun peluang untuk sebuah revolusi dengan
kekerasan – meskipun hanya dilakukan oleh suatu
minoritas kecil. Sebaliknya, karena tidak memadainya
secara jumlah suatu mayoritas sosialis, maka Bernstein
pun menarik kesimpulan tentang mustahilnya realisasi
ekonomi sosialisme. Bagaimanapun juga, sosial-
demokrasi tidak berharap untuk mencapai tujuannya,
baik sebagai hasil dari kemenangan kekerasan suatu
minoritas, ataupun melalui keunggulan jumlah suatu
mayoritas. Sosial-demokrasi memandang bahwa
sosialisme muncul sebagai akibat dari kebutuhan ekonomi
-dan pemahaman akan kebutuhan itu- yang menuju pada
penggulingan kapitalisme oleh massa pekerja. Dan
kebutuhan ini manifes sendiri, khususnya dalam anarki
kapitalisme.

Bagaimana sikap Bernstein mengenai persoalan yang


menentukan, yakni tentang anarki dalam ekonomi
kapitalis? Dia hanya menolak krisis-krisis umum yang
besar. Dia tidak menyangkal krisis parsial dan krisis
nasional. Dengan kata lain, dia menolak untuk melihat
sejumlah besar anarki kapitalisme; dia hanya melihat
sebagian kecilnya. Dia adalah -menggunakan ilustrasi
Marx- seperti perawan dungu yang memiliki seorang anak
“yang masih sangat kecil.” Tetapi, malangnya ialah bahwa
dalam persoalan-persoalan seperti anarki ekonomi,
sedikit dan banyak adalah sama buruknya. Jika Bernstein
mengakui eksistensi sebagian kecil dari anarki ini, maka
kita bisa menunjukkan kepadanya bahwa, dengan
mekanisme ekonomi pasar, yang sebagian kecil dari anarki
ini akan diperluas sampai pada proporsi-proporsi yang
belum pernah terjadi sebelumnya, sampai berujung pada
keruntuhan. Akan tetapi, apabila Bernstein -sembari
mempertahankan sistem produksi komoditas- berharap
untuk secara perlahan mentransformasikan konsepnya
tentang sebagian kecil dari anarki ini menjadi tatanan dan
harmoni, maka kembali ia terjerumus ke dalam salah satu
dari kesalahan-kesalahan fundamental ekonomi-politik
borjuis, yang berdasarkan itu corak pertukaran tidak
terikat pada corak produksi.

Bukan pada tempatnya di sini untuk menunjukkan


secara panjang-lebar tentang kebingungan Bernstein yang
mengagetkan mengenai prinsip-prinsip paling elementer
dari ekonomi-politik. Tetapi ada satu poin -hal mana kita
diarahkan oleh persoalan-persoalan fundamental
mengenai anarki kapitalis- yang harus segera diklarifikasi.

Bernstein menyatakan bahwa hukum Marx tentang


nilai-lebih hanyalah suatu abstraksi sederhana. Dalam
ekonomi-politik, pernyataan semacam ini jelas adalah
suatu penghinaan. Namun, apabila nilai-lebih memang
hanya merupakan suatu abstraksi sederhana, apabila ia
hanya khayalan pikiran saja, maka setiap warganegara
yang normal, yang telah melakukan tugas militer dan
membayar pajak tepat waktu, tentunya memiliki hak yang
sama dengan Karl Marx untuk membuat model
absurditasnya sendiri, untuk membuat hukumnya sendiri
tentang nilai-lebih. “Marx memiliki hak yang sama untuk
mengabaikan kualitas komoditas hingga tak lebih sekedar
penjelmaan dari kuantitas kerja manusia, sebagaimana
hak yang dimiliki ekonom-ekonom dari mazhab Boehm-
Jevons untuk membuat suatu abstraksi tentang semua
kualitas komoditas di luar kegunaannya.”

Yaitu, bahwa bagi Bernstein, konsep Marx tentang kerja


sosial dan konsep Menger tentang kegunaan abstrak
adalah cukup serupa – murni adalah abstraksi-abstraksi.
Bernstein lupa bahwa abstraksi Marx itu bukanlah sebuah
karangan. Ia adalah suatu pengungkapan (discovery).
Abstraksi itu tidak eksis di kepala Marx, melainkan dalam
ekonomi pasar. Ia tidak memiliki eksistensi imajiner,
melainkan eksistensi sosial yang nyata; begitu nyata
sehingga bisa dipotong, ditempa, ditimbang dan
diletakkan dalam bentuk uang. Kerja manusia yang
abstrak, yang diungkap oleh Marx, dalam bentuknya yang
telah maju tak lain adalah uang. Itulah memang yang
merupakan salah satu dari temuan-temuan besar Marx.
Sedangkan bagi semua ekonom-politik borjuis, sejak masa
pertama kaum mercantilist sampai tahap terakhir Romawi
dan Yunani Kuno, esensi uang tetap merupakan sebuah
teka-teki mistis.

Konsep mazhab Boehm-Jevons tentang kegunaan


abstrak, pada kenyataannya adalah suatu kesombongan
pemikiran. Atau bila dinyatakan secara lebih tepat, konsep
itu merupakan representasi dari kehampaan intelektual,
sebuah absurditas privat, yang mana baik kapitalisme,
ataupun masyarakat apapun, tak bisa dipersalahkan atas
lahirnya konsep tersebut, selain dari ekonomi borjuis yang
vulgar itu sendiri. Dengan mendekap erat gagasannya itu,
Bernstein, Boehm dan Jevons serta seluruh kelompoknya
yang subyektif itu bisa terus-menerus kebingungan
selama duapuluh tahun atau lebih mengenai misteri uang,
tanpa sampai pada suatu kesimpulan yang berbeda
dengan yang dicapai oleh tukang sepatu, yakni bahwa
uang juga adalah sesuatu “yang berguna”.
Bernstein telah kehilangan semua pemahaman tentang
hukum nilai-lebih Marx. Siapapun yang memiliki sedikit
saja pemahaman tentang ekonomi marxian bisa melihat
bahwa tanpa adanya hukum nilai-lebih, doktrin Marx tak
bisa dipahami. Atau lebih konkretnya, bagi siapapun yang
tidak memahami sifat komoditas dan pertukarannya,
keseluruhan ekonomi kapitalisme dengan semua
rentetannya, pastilah tetap merupakan sebuah teka-teki.

Apa yang merupakan kunci, yang memungkinkan Marx


membuka pintu rahasia dari fenomena kapitalis, dan
memecahkan -seolah sambil bermain- permasalahan-
permasalahan yang bahkan tidak pernah dicurigai oleh
pemikiran-pemikiran terbesar dalam ekonomi borjuis
klasik? Sesuatu itu adalah konsepsi Marx tentang ekonomi
kapitalis sebagai sebuah fenomena historis, bukan hanya
dalam makna hal-hal yang dengan paling baik diakui oleh
para ekonom klasik -yakni ketika ia berkenaan dengan
masa lalu kapitalisme yang bersifat feodal- melainkan juga
sejauh ia berkenaan dengan masa depan sosialis dunia.
Rahasia teori Marx tentang nilai, analisisnya tentang
permasalahan uang, teorinya tentang modal, teorinya
mengenai tingkat keuntungan, dan konsekuensinya juga
tentang keseluruhan sistem ekonomi yang kini ada,
didapati pada karakter peralihan dari ekonomi kapitalis,
tak terhindarkannya keruntuhan ekonomi kapitalis yang
menuju -dan ini hanyalah suatu aspek lain dari fenomena
yang sama- kepada sosialisme. Itu semata-mata karena
Marx melihat kapitalisme dari sudut pandang sosialis,
yakni dari sudut pandang historis, maka dia menjadi
mampu menguraikan seluk-beluk ekonomi kapitalis. Dan
memang karena Marx mengambil sudut pandang sosialis
sebagai batu pijakan bagi analisisnya tentang masyarakat
borjuis, maka dia berada dalam posisi untuk memberikan
basis ilmiah bagi gerakan sosialis.

Inilah ukuran bagi kita untuk mengevaluasi ucapan-


ucapan Bernstein. Dia mengeluhkan “dualisme” yang
ditemukan di sana-sini dalam karya monumental
Marx, Kapital. “Karya tersebut diharapkan menjadi suatu
kajian ilmiah, dan sekaligus membuktikan sebuah tesis
yang telah secara lengkap dielaborasi lama sebelum
penyuntingan buku itu. Buku itu didasarkan atas suatu
skema yang telah mengandung hasil yang ingin diarahkan
oleh Marx. Kembalinya ke Manifesto Komunis (yakni
tujuan sosialis! – R.L.) membuktikan adanya sisa-sisa
utopianisme dalam doktrin Marx.”

Akan tetapi, apa itu “dualisme” Marx, kalau bukan


dualisme antara masa depan sosialis dan masa kini
kapitalis? Ia adalah dualisme antara kapitalisme dan kerja,
dualisme antara borjuasi dan proletariat. Ia adalah refleksi
ilmiah tentang dualisme yang ada dalam masyarakat
borjuis, dualisme pertentangan kelas yang menggeliat di
dalam tatanan sosial kapitalisme.

Pemahaman Bernstein tentang dualisme teoritis dalam


pemikiran Marx ini sebagai “bertahan hidupnya
utopianisme” sungguh-sungguh adalah pengakuan yang
naif bahwa dirinya menolak adanya pertentangan kelas
dalam kapitalisme. Itu adalah pengakuannya, bahwa
sosialisme baginya hanya sekedar “bertahan hidupnya
utopianisme”. Apa yang merupakan “monisme” Bernstein
-kesatuan Bernstein- selain dari kesatuan abadi rejim
kapitalis, kesatuan dari mantan sosialis yang telah
menanggalkan tujuannya, dan memutuskan untuk
menemukan dalam masyarakat borjuis, satu dan
selamanya, tujuan dari perkembangan manusia?

Bernstein tidak melihat dalam struktur kapitalisme


adanya perkembangan yang menuju pada sosialisme.
Namun, untuk melestarikan program sosialisnya,
setidaknya dalam bentuknya, dia terpaksa mencari
perlindungan dalam suatu konstruksi idealis yang
ditempatkan di luar semua perkembangan ekonomi. Dia
terpaksa mentransformasikan sosialisme itu sendiri dari
suatu fase sejarah yang pasti dalam perkembangan sosial,
menjadi suatu “prinsip” yang abstrak.
Itulah mengapa “prinsip koperasi” -sedikit tuangan
sosialisme, yang dengan itu Bernstein berharap bisa
mewarnai ekonomi kapitalis- muncul sebagai suatu
konsesi yang dilakukan bukan demi masa depan
masyarakat sosialis, melainkan demi masa lalu sosialis
Bernstein sendiri.

7 – Koperasi, Serikat, Demokrasi

Sosialisme Bernstein menawarkan kepada buruh


prospek tentang pembagian kekayaan masyarakat. Kaum
miskin akan menjadi kaya. Bagaimana sosialisme seperti
ini akan diwujudkan? Artikelnya di Neue Zeit, dengan judul
”Permasalahan-permasalahan Sosialisme”, hanya
mengandung kiasan yang samar-samar terhadap
pertanyaan ini. Namun demikian, informasi yang memadai
bisa ditemukan dalam bukunya.

Sosialisme Bernstein hendak diwujudkan dengan


bantuan dua instrumen ini: serikat buruh (atau, seperti
dicirikan sendiri oleh Bernstein: demokrasi ekonomi) dan
koperasi. Instrumen pertama akan menekan keuntungan
industri; sedangkan instrumen kedua akan menghapuskan
keuntungan komersial.

Koperasi, khususnya koperasi di bidang industri,


menimbulkan suatu bentuk perkawinan silang di seputar
kapitalisme. Koperasi-koperasi itu bisa digambarkan
sebagai unit-unit kecil dari produksi yang tersosialisasi
dalam pertukaran kapitalis.

Akan tetapi, dalam ekonomi kapitalis, pertukaran


mendominasi produksi (yakni, produksi sangat tergantung
pada kemungkinan-kemungkinan pasar). Akibat dari
persaingan, dominasi sepenuhnya terhadap proses
produksi oleh kepentingan-kepentingan modal -yakni
eksploitasi yang tak berbelas kasihan- menjadi suatu
syarat bagi keberlangsungan hidup setiap bisnis. Dominasi
modal terhadap proses produksi mengekspresikan diri
dengan cara-cara berikut. Kerja diintensifkan. Hari kerja
diperpanjang atau diperpendek, sesuai dengan situasi
pasar. Dan, karena terikat pada persyaratan-persyaratan
pasar, maka buruh bisa dipekerjakan, atau dilempar ke
jalanan. Dengan kata lain, penggunaan didasarkan atas
semua metode yang memungkinkan sebuah bisnis untuk
berdiri melawan para pesaingnya di pasar. Dengan
demikian, para buruh yang membentuk sebuah koperasi
di bidang produksi dihadapkan pada kebutuhan untuk
mengatur diri mereka sendiri, yang bertentangan dengan
absolutisme yang teramat sangat. Mereka diharuskan
mengadopsi untuk diri mereka sendiri peran pengusaha
kapitalis. Sebuah kontradiksi yang menjelaskan lazimnya
kegagalan koperasi produksi, yang bisa menjadi bisnis
kapitalis murni, ataupun -jika kepentingan buruh terus
menonjol- akan berakhir dengan bubar sendiri.

Bernstein sendiri telah membuat catatan tentang fakta-


fakta ini. Namun jelas, bahwa dia sendiri belum
memahaminya, karena -bersama dengan Nyonya Potter-
Webb- dia menjelaskan kegagalan koperasi produksi di
Inggris yang disebabkan oleh kurangnya “disiplin” mereka.
Tetapi, apa yang begitu datar dan dangkal disebut
“disiplin” di sini tak lain adalah rejim absolutis alami dari
kapitalisme, yang gamblangnya, buruh tidak mungkin
berhasil menggunakannya melawan diri mereka sendiri.

Koperasi-koperasi produsen bisa bertahan hidup dalam


ekonomi kapitalis hanya jika mereka berusaha
menghapuskan -dengan jalan memutar- kontradiksi-
kontradiksi kapitalis antara corak produksi dan corak
pertukaran. Dan koperasi-koperasi tersebut hanya bisa
melakukan ini dengan melepaskan diri secara artifisial dari
pengaruh hukum-hukum persaingan bebas. Kemudian,
mereka akan berhasil melepaskan diri dari hukum
persaingan bebas hanya jika terlebih dahulu menjamin
bagi dirinya sendiri suatu lingkaran konstan konsumen-
konsumen, yakni ketika koperasi tersebut bisa menjamin
adanya pasar yang konstan bagi dirinya sendiri.
Maka koperasi konsumenlah yang bisa menawarkan
layanan ini kepada saudaranya di bidang produksi. Di
sinilah -dan bukan pada pembedaan Oppenheimer antara
koperasi yang memproduksi dan koperasi yang menjual-
terletak rahasia yang dicari oleh Bernstein: penjelasan
bagi kegagalan yang tak berubah dari koperasi produsen
yang berfungsi secara independen, dan keberlangsungan
hidupnya ketika koperasi-koperasi tersebut didukung oleh
organisasi-organisasi konsumen.

Jika benar bahwa kemungkinan-kemungkinan


eksistensi koperasi produsen dalam kapitalisme berkait
erat dengan kemungkinan-kemungkinan eksistensi
koperasi konsumen, maka lingkup koperasi produksi
terbatas -paling banter- pada pasar lokal yang kecil serta
pada proses manufaktur barang-barang yang melayani
kebutuhan mendesak, khususnya produk-produk
makanan. Koperasi konsumen -dan dengan begitu, berarti
juga koperasi produsen- dikeluarkan dari cabang-cabang
produksi modal yang paling penting (tekstil,
pertambangan, industri logam dan minyak, konstruksi
mesin, serta pembuatan lokomotif dan kapal). Untuk
alasan ini sendiri (yakni dengan sementara melupakan
karakter blasterannya), koperasi di bidang produksi tidak
bisa secara serius dianggap sebagai instrumen dari suatu
transformasi sosial umum. Pendirian koperasi-koperasi
berskala luas mengasumsikan, pertama-tama, peniadaan
pasar dunia, dipecahkannya ekonomi dunia sekarang ini
menjadi lingkup-lingkup lokal yang kecil dari produksi dan
pertukaran. Kapitalisme di masa kita sekarang, yang telah
sangat maju dan tersebar luas, diharapkan untuk mundur
kembali ke ekonomi perdagangan (merchant) Abad
Pertengahan.

Dalam kerangka masyarakat masa kini, koperasi


produsen terbatas hanya pada peran pelengkap bagi
koperasi konsumen. Karena itu, koperasi konsumen
nampaknya harus menjadi permulaan dari perubahan
sosial yang diusulkan. Namun cara reformasi masyarakat
yang diharapkan dengan sarana koperasi ini tak lagi
ofensif terhadap produksi kapitalis. Yakni, koperasi tak lagi
merupakan serangan terhadap basis-basis utama dari
ekonomi kapitalis. Sebagai gantinya, koperasi menjadi
suatu bentuk perjuangan melawan modal komersial,
khususnya modal komersial yang berskala kecil dan
menengah. Ia menjadi sebuah serangan yang ditujukan
kepada ranting dari pohon kapitalis.

Menurut Bernstein, serikat buruh pun merupakan


sarana untuk menyerang kapitalisme di bidang produksi.
Kita telah menunjukkan bahwa serikat buruh tidak bisa
memberikan kepada buruh, pengaruh yang menentukan
terhadap produksi. Serikat buruh tidak bisa menentukan,
baik dimensi-dimensi produksi, maupun kemajuan teknis
produksi.

Sejauh itulah yang bisa dikatakan mengenai sisi yang


murni ekonomis dari “perjuangan tingkat upah melawan
tingkat keuntungan,” sebagaimana yang dilabelkan oleh
Bernstein terhadap aktivitas perjuangan serikat buruh.
Aktivitas itu tidak terjadi pada birunya langit. Ia terjadi
dalam kerangka yang telah didefinisikan secara cermat
dari hukum upah. Hukum upah tidaklah hancur, melainkan
diterapkan oleh aktivitas serikat buruh.

Menurut Bernstein, serikat buruhlah yang memimpin -


dalam perjuangan umum bagi emansipasi kelas pekerja-
serangan riil terhadap tingkat keuntungan industri.
Menurut Bernstein pula, serikat buruh memiliki tugas
untuk mentransformasikan tingkat keuntungan industri
menjadi “tingkat upah”. Faktanya ialah bahwa serikat
buruh adalah yang paling lemah kemampuannya untuk
melakukan serangan ekonomi terhadap keuntungan.
Serikat buruh tak lebih sekedar pertahanan yang
terorganisir dari tenaga kerja menghadapi serangan
keuntungan. Serikat buruh mengekspresikan perlawanan
yang ditunjukkan oleh kelas pekerja terhadap penindasan
ekonomi kapitalis.
Di satu sisi, serikat buruh memiliki fungsi untuk
mempengaruhi situasi di pasar tenaga kerja. Tetapi
pengaruh ini sekarang secara konstan diatasi oleh
proletarisasi lapisan-lapisan menengah masyarakat,
sebuah proses yang secara kontinyu membawa barang
dagangan baru dalam pasar tenaga kerja. Fungsi kedua
dari serikat buruh adalah untuk memperbaiki kondisi
buruh. Yakni, mereka berupaya untuk meningkatkan
bagian dari kekayaan sosial yang mengalir ke kelas
pekerja. Namun demikian, bagian ini sekarang terkurangi
dengan adanya takdir proses alami pertumbuhan
produktivitas kerja. Seseorang tak perlu menjadi marxis
untuk mengetahui hal ini. Sudah memadai bagi kita bila
membaca tulisan Rodbertus, Penjelasan tentang
Persoalan Sosial.

Dengan kata lain, kondisi-kondisi obyektif masyarakat


kapitalis mentransformasikan kedua fungsi ekonomi
serikat buruh itu menjadi semacam kerja sang Sisyphus
yang, walaupun begitu, sangat dibutuhkan. Karena, berkat
aktivitas serikat buruhnya, buruh berhasil memperoleh
tingkat upah yang berkesesuaian dengan situasi pasar
tenaga kerja. Sebagai akibat dari aktivitas serikat buruh,
hukum kapitalis tentang upah menjadi diterapkan, dan
efek kecenderungan-menurun dari perkembangan
ekonomi pun dilumpuhkan, atau lebih tepatnya
diredakan.

Bagaimanapun juga, transformasi serikat buruh


menjadi sebuah instrumen untuk pengurangan
keuntungan secara progresif, yang sesuai dengan upah,
mengasumsikan syarat-syarat sosial sebagai berikut:
pertama, berhentinya proletarisasi strata menengah
masyarakat kita; kedua, berhentinya pertumbuhan
produktivitas kerja. Dalam kedua hal itu, kita mendapati
suatu bayangan proses kembali ke kondisi-kondisi pra-
kapitalis.
Koperasi dan serikat buruh sama sekali tidak mampu
mentransformasikan corak produksi kapitalis. Hal ini
betul-betul dipahami oleh Bernstein, meskipun dengan
cara yang tumpang-tindih. Karena dia mengacu pada
koperasi dan serikat buruh sebagai sarana untuk
mengurangi keuntungan para kapitalis, yang dengan
begitu berarti memperkaya buruh. Dalam hal ini, berarti
Bernstein menanggalkan perjuangan melawan corak
produksi kapitalis, dan berupaya untuk mengarahkan
gerakan sosialis kepada perjuangan melawan “distribusi
modal”. Kembali dan kembali, Bernstein merujuk
sosialisme sebagai sebuah upaya menuju pada suatu corak
distribusi “yang adil, lebih adil dan tetap lebih adil”.
(Vorwaerts, 26 Maret 1899).

Tidak bisa disangkal bahwa penyebab langsung yang


mengarahkan massa rakyat kepada gerakan sosialis
memang adalah sifat distribusi kapitalisme yang “tidak
adil”. Ketika sosial-demokrasi berjuang demi sosialisasi
keseluruhan ekonomi, maka ia berarti juga sekaligus
mencita-citakan suatu distribusi kekayaan sosial yang
“adil”. Tetapi, karena dibimbing oleh observasi Marx
bahwa corak produksi pada suatu zaman tertentu adalah
konsekuensi alami dari corak produksi zaman itu, maka
sosial-demokrasi tidak berjuang melawan distribusi dalam
kerangka produksi kapitalis. Sosial-demokrasi berjuang
untuk menghapuskan produksi kapitalis itu sendiri.
Singkatnya, sosial-demokrasi ingin membangun corak
produksi sosialis dengan menghapuskan corak produksi
kapitalis. Sebaliknya, metode Bernstein mengajukan
konsep untuk memerangi corak distribusi kapitalis dengan
harapan untuk secara perlahan -melalui cara ini-
membangun corak produksi sosialis.

Dalam hal tersebut, apa basis bagi program Bernstein


tentang reformasi masyarakat? Apakah programnya itu
mendapatkan dukungan dalam kecenderungan-
kecenderungan yang pasti dari produksi kapitalis? Tidak.
Pertama, karena Bernstein menolak kecenderungan-
kecenderungan semacam itu. Kedua, karena transformasi
sosialis dalam hal produksi, baginya adalah akibat, dan
bukan sebab dari distribusi. Dia tidak bisa menyediakan
suatu basis material bagi programnya, karena dirinya telah
merobohkan tujuan-tujuan dan sarana gerakan untuk
sosialisme, dan dengan demikian berarti telah
merobohkan pula syarat-syarat ekonominya. Akibatnya,
dia terpaksa membangun sendiri sebuah basis idealis.

“Mengapa kita harus merepresentasikan sosialisme


sebagai konsekuensi dari keharusan ekonomi?” keluh
Bernstein. “Mengapa kita merendahkan pemahaman
manusia, perasaan manusia akan keadilan, serta
kehendak manusia?” (Vorwaerts, 26 Maret 1899). Konsep
Bernstein tentang distribusi yang paling adil hendak
dicapai dengan kemauan baik dari kehendak bebas
manusia; kehendak manusia berlaku bukan disebabkan
oleh kebutuhan ekonomi, -karena kehendak ini hanyalah
suatu instrumen- melainkan disebabkan oleh pemahaman
menyeluruh manusia tentang keadilan, disebabkan oleh
ide manusia tentang keadilan.

Kalau begitu, berarti kita cukup berbahagia untuk


kembali kepada prinsip keadilan, kepada kuda perang di
masa lalu, di mana para reformis di muka bumi ini telah
terguncang-guncang selama berabad-abad dikarenakan
kurangnya alat transportasi historis yang lebih
meyakinkan. Kita kembali kepada Rosinante yang kurang
baik, yang mana Don Quixotes dalam sejarahnya telah
berpacu menuju kepada reformasi besar di muka bumi,
selalu pulang ke rumah dengan mata tertutup.

Dianggap sebagai basis bagi sosialisme, hubungan


antara yang kaya dan yang miskin, prinsip kerjasama
sebagai kandungan sosialisme, “distribusi yang paling adil”
sebagai tujuannya, dan ide tentang keadilan sebagai satu-
satunya legitimasi historis – dengan begitu kuatnya, lebih
bijak serta lebih berapi-api Weitling membela sosialisme
semacam itu limapuluh tahun yang lalu. Namun, si jenius
tukang jahit ini tidak mengerti tentang sosialisme ilmiah.
Jika di masa sekarang, konsepsi yang telah disobek-sobek
hingga hancur berkeping-keping oleh Marx dan Engels
setengah abad yang lalu, ditambal-sulam dan disajikan
kepada proletariat sebagai dunia terakhir dari
pengetahuan sosial, maka konsepsi itu sekedar
merupakan seni seorang tukang jahit, namun tak ada yang
jenius dari konsepsi tersebut.

Serikat buruh dan koperasi adalah penopang ekonomi


bagi teori revisionisme. Syarat politik utamanya adalah
tumbuhnya demokrasi. Manifestasi-manifestasi reaksi
politik yang ada sekarang ini, bagi Bernstein hanyalah
“pemindahan”. Bernstein menganggap hal tersebut hanya
bersifat kebetulan, sementara, dan menyarankan agar
manifestasi-manifestasi itu tidak dipertimbangkan dalam
elaborasi tentang arahan umum gerakan buruh.

Bagi Bernstein, demokrasi merupakan suatu tahap yang


tak terelakkan dalam perkembangan masyarakat. Baginya,
sebagaimana juga menurut para teoritisi Borjuis tentang
liberalisme, demokrasi adalah hukum fundamental yang
utama dari perkembangan sejarah yang realisasinya
diabdi oleh semua kekuatan dari kehidupan politik.
Bagaimanapun juga, tesis Bernstein itu sama sekali keliru.
Disajikan dalam kekuatan yang absolut ini, tesis tersebut
nampak sebagai sebuah vulgarisasi borjuis-kecil tentang
hasil-hasil dari suatu fase perkembangan borjuis yang
amat singkat selama duapuluh lima atau tigapuluh tahun
yang lalu. Kita akan mencapai kesimpulan-kesimpulan
yang sama sekali berbeda apabila kita meneliti dengan
sedikit lebih cermat dan sekaligus membahas sejarah
politik umum dari kapitalisme.

Demokrasi telah didapati dalam formasi-formasi sosial


yang paling berbeda: dalam kelompok-kelompok komunis
primitif, dalam negara-negara budak di zaman kuno serta
dalam komune-komune Abad Pertengahan. Dan secara
serupa, absolutisme dan monarki konstitusional akan
didapati dalam tatanan-tatanan ekonomi yang paling
bervariasi. Ketika kapitalisme dimulai dengan produksi
komoditas-komoditas yang pertamakali, ia mengambil
jalan sebuah konstitusi demokratik dalam komune-
komune kotapraja di Abad Pertengahan. Kemudian, ketika
berkembang menjadi manufacturing, kapitalismepun
menemukan bentuk politiknya yang sesuai dalam monarki
absolut. Akhirnya, sebagai ekonomi industri yang maju,
kapitalisme memunculkan republik demokratik di Perancis
tahun 1793, monarki absolut Napoleon I, monarki kaum
bangsawan dalam periode Restorasi (1815-1830), monarki
konstitusional borjuis di masa Louis-Philippe, kemudian
kembali republik demokratik, lalu kembali monardi di
masa Napoleon III, dan akhirnya -untuk yang ketiga
kalinya- kembali sebuah republik. Di Jerman, satu-satunya
institusi demokratik sejati -universal suffrage- bukanlah
suatu pencapaian yang dimenangkan oleh liberalisme
borjuis. Universal suffrage di Jerman ketika itu merupakan
suatu instrumen untuk peleburan negara-negara bagian
yang kecil. Hanya dalam makna inilah demokrasi memiliki
arti penting bagi perkembangan borjuasi Jerman, yang
kalaupun tidak, maka akan cukup puas dengan monarki
konstitusional yang semi-feodal. Di Rusia, kapitalisme
tumbuh subur dalam waktu lama di bawah rejim
absolutisme timur tanpa borjuasi mampu
memanifestasikan keinginan yang paling kecil sekalipun di
dunia untuk mengintrodusir demokrasi. Di
Austria, universal suffrage, terutama adalah garis
pengaman yang dilemparkan kepada monarki yang tengah
tenggelam dan membusuk. Di Belgia,
pencapaian universal suffrage oleh gerakan buruh, tak
diragukan lagi adalah akibat lemahnya militerisme lokal,
dan konsekuensi dari situasi geografis dan politik khusus
di negeri itu. Akan tetapi, kini kita memiliki “sedikit
demokrasi” yang telah dimenangkan bukan oleh borjuasi,
melainkan dari melawan borjuasi.
Kemenangan demokrasi yang tak terputus, yang bagi
revisionisme maupun liberalisme borjuis nampak sebagai
suatu hukum fundamental utama dari sejarah manusia,
dan terutama sejarah moderen, melalui penelitian yang
lebih cermat terlihat hanya seperti sesosok hantu. Tidak
ada hubungan absolut dan umum yang bisa dibangun di
antara perkembangan kapitalis dan demokrasi. Bentuk
politik dari suatu negeri tertentu selalu adalah hasil dari
perpaduan semua faktor politik yang ada, baik dalam
maupun luar negeri. Ia mengakui dalam batasnya, semua
variasi mulai dari monarki absolut sampai republik
demokratik.

Karena itu, kita haruslah mengabaikan semua harapan


untuk menegakkan demokrasi sebagai sebuah hukum
umum perkembangan sejarah, bahkan dalam kerangka
masyarakat moderen sekalipun. Menilik pada fase
masyarakat borjuis sekarang ini, kita pun bisa mengamati
faktor-faktor politik yang bukannya menegaskan realisasi
dari skema Bernstein, melainkan justru menuju pada
pengabaian oleh masyarakat borjuis terhadap
pencapaian-pencapaian demokratik yang telah
dimenangkan hingga kini.

Institusi-institusi demokratik -dan ini yang memiliki


signifikansi paling besar- telah sama sekali habis fungsinya
sebagai bantuan dalam perkembangan masyarakat
borjuis. Sejauh diperlukan untuk peleburan negara-negara
bagian yang kecil serta pembentukan negara-negara
moderen besar (Jerman, Italia), maka institusi-institusi
tersebut tak lagi begitu dibutuhkan pada masa sekarang.
Sementara itu, perkembangan ekonomi telah
mengakibatkan suatu cicatrization organik internal.

Hal yang sama dapat dikatakan mengenai transformasi


keseluruhan mesin negara yang politis dan yang
administratif dari mekanisme feodal atau semi-feodal
menjadi mekanisme-mekanisme kapitalis. Meskipun
transformasi ini secara historis tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan demokrasi, namun sekarang ini ia telah
direalisasikan sampai ke suatu lingkup bahwa “ramuan-
ramuan” yang murni demokratis dari masyarakat -
seperti universal suffrage dan bentuk negara republikan-
bisa jadi akan terhapuskan tanpa membuat administrasi,
keuangan negara, ataupun organisasi militer, merasa
perlu untuk kembali kepada bentuk-bentuk yang pernah
mereka miliki sebelum Revolusi Maret.

Jika liberalisme seperti demikian itu kini mutlak tak


berguna bagi masyarakat borjuis, maka di sisi lain, ia telah
menjadi kesukaran langsung bagi kapitalisme dari sudut
pandang lain. Dua faktor kini sepenuhnya mendominasi
kehidupan politik negara-negara kontemporer: politik
dunia dan gerakan buruh. Masing-masing hanyalah aspek
yang berbeda dari fase perkembangan kapitalis sekarang
ini.

Sebagai akibat dari perkembangan ekonomi dunia dan


penajaman serta generalisasi persaingan di pasar dunia,
maka militerisme dan kebijakan armada-armada laut yang
besar telah menjadi -sebagai instrumen-instrumen politik
dunia- suatu faktor yang menentukan dalam kehidupan
interior dan eksterior dari negara-negara besar. Jika benar
bahwa politik dunia dan militerisme merepresentasikan
suatu kecenderungan yang meningkat dalam fase
kapitalisme sekarang ini, maka demokrasi borjuis secara
logis pasti bergerak dalam garis yang menurun.

Di Jerman, era peralatan-perang besar yang dimulai


tahun 1883, dan kebijakan politik dunia yang ditandai
dengan perebuitan Kiao-Cheou, segera ditebus dengan
korban-korban sebagai berikut: membusuknya
liberalisme, melempem-nya Partai Tengah yang beralih
dari oposisi ke pemerintahan. Pemilu baru-baru ini untuk
Reichstag pada 1907 yang memamerkan kebijakan
kolonial Jerman, sekaligus juga adalah penguburan
historis liberalisme Jerman.
Apabila politik luar negeri memaksa borjuasi masuk ke
dalam rangkulan tangan-tangan reaksi, maka demikian
pula politik dalam negeri – syukurlah ada kebangkitan
kelas pekerja. Bernstein menunjukkan bahwa dirinya
mengakui hal ini ketika ia membuat “legenda” sosial-
demokratik yang “ingin menelan segala sesuatu” -dengan
kata lain, upaya-upaya sosialis dari kelas pekerja- yang
menyebabkan desersi-nya borjuasi liberal. Dia menasehati
proletariat untuk mengingkari tujuan sosialisnya, sehingga
kaum liberal yang ketakutan setengah mati bisa muncul
keluar dari lubang-tikus reaksi. Dengan menjadikan
peniadaan gerakan buruh sosialis sebagai suatu syarat
yang esensial bagi pelestarian demokrasi borjuis,
Bernstein membuktikan secara mengejutkan bahwa
demokrasi ini sepenuhnya bertentangan dengan inner
tendency dari perkembangan masyarakat sekarang ini.
Sekaligus dia membuktikan bahwa gerakan sosialis itu
sendiri adalah hasil langsung dari kecenderungan ini.

Namun demikian, Bernstein sekaligus pula


membuktikan satu hal lainnya. Dengan menjadikan celaan
terhadap tujuan sosialis suatu syarat esensial bagi
bangkitnya kembali demokrasi borjuis, maka ia
menunjukkan betapa tidak tepatnya klaim bahwa
demokrasi borjuis adalah sebuah syarat yang sangat
dibutuhkan bagi gerakan sosialis dan kemenangan
sosialisme. Penalaran Bernstein kelelahan sendiri dalam
sebuah lingkaran jahat. Kesimpulannya menelan premis-
nya sendiri.

Solusinya cukup sederhana. Dalam sudut pandang fakta


itu, yakni bahwa liberalisme borjuis telah melepaskan diri
dari ketakutannya akan hantu bangkitnya gerakan buruh
serta tujuan akhirnya, maka kita simpulkan bahwa gerakan
buruh sosialis sekarang ini adalah satu-satunya dukungan
bagi sesuatu yang bukan merupakan tujuan gerakan
sosialis – demokrasi. Kita haruslah menyimpulkan bahwa
demokrasi tidak bisa mendapatkan dukungan dari yang
selain itu. Kita haruslah menyimpulkan bahwa gerakan
sosialis tidak terkait dengan demokrasi borjuis, melainkan
sebaliknya, justru takdir demokrasi berkait erat dengan
gerakan sosialis. Dari hal ini, kita harus menyimpulkan
bahwa demokrasi tidaklah mendapatkan peluang hidup
yang lebih besar apabila kelas pekerja menanggalkan
perjuangan untuk emansipasinya, namun sebaliknya,
demokrasi justru mendapatkan peluang bertahan hidup
yang lebih besar seiring gerakan sosialis menjadi cukup
kuat untuk berjuang melawan konsekuensi-konsekuensi
reaksioner dari politik dunia serta pengkhianatan borjuis
terhadap demokrasi. Barangsiapa yang hendak
menguatkan demokrasi, maka seharusnya pula dia ingin
menguatkan -dan bukannya melemahkan- gerakan
sosialis. Dan barangsiapa yang menanggalkan perjuangan
untuk sosialisme, berarti juga melepaskan baik gerakan
buruh, maupun demokrasi.

8 – Penaklukan Kekuasaan Politik

Kita telah mengetahui bahwa takdir demokrasi terkait


erat dengan takdir gerakan buruh. Namun, apakah
perkembangan demokrasi mengasumsikan revolusi
proletarian (yakni, penaklukan kekuasaan politik oleh
buruh) sebagai sesuatu yang berlebihan atau mustahil?

Bernstein menjawab pertanyaan itu dengan


mempertimbangkan secara cermat sisi baik dan sisi buruk
dari reformasi sosial dan revolusi sosial. Dia melakukan ini
nyaris dengan cara yang sama seperti menimbang kayu
manis dan lada di sebuah toko koperasi konsumen. Dia
memandang kurun legislatif dari perkembangan sejarah
sebagai tindakan “intelijensia”, sedangkan kurun
revolusioner perkembangan sejarah dianggapnya sebagai
tindakan “perasaan”. Aktivitas reformis, dia akui sebagai
suatu metode yang lambat untuk kemajuan historis, dan
revolusi sebagai metode kemajuan yang cepat. Pada
legislasi, Bernstein melihat adanya suatu kekuatan
metode; pada revolusi, dia melihat adanya kekuatan yang
spontan.
Kita telah lama mengetahui bahwa sang reformis
borjuasi-kecil ini mendapati sisi “baik” dan sisi “buruk”
dalam segala hal. Dia menggerogoti semua hal sedikit
demi sedikit. Akan tetapi, perjalanan sesungguhnya dari
berbagai peristiwa sedikit sekali dipengaruhi oleh
kombinasi seperti itu. Sedikit tumpukan “sisi baik” dari
segala hal yang mungkin, yang telah dikumpulkan dengan
hati-hati, segera runtuh pada rangsangan pertama
sejarah. Secara historis, reformasi legislatif dan metode
revolusioner berfungsi sesuai dengan pengaruh-pengaruh
yang jauh lebih mendalam ketimbang sekedar
pertimbangan tentang keunggulan-keunggulan atau
kelemahan-kelemahan dari satu metode atau metode
lainnya.

Dalam sejarah masyarakat borjuis, reformasi legislatif


berfungsi untuk menguatkan secara progresif kelas yang
sedang bangkit sampai kelas itu cukup kuat untuk merebut
kekuasaan, menghapuskan sistem yuridis yang kini ada,
dan membangun sendiri sistem yuridis yang baru.
Bernstein, yang bergemuruh menentang penaklukan
kekuasaan politik dan menganggapnya sebagai sebuah
teori kekerasan blanquis, sayang sekali ternyata mencap
sebagai kesalahan ala blanquis, sesuatu yang selama ini
selalu menjadi poros dan tenaga penggerak sejarah
manusia. Sejak pertamakali munculnya masyarakat-
masyarakat berkelas yang mengalami perjuangan kelas
sebagai kandungan esensial dari sejarahnya, penaklukan
kekuasaan politik telah menjadi tujuan dari semua kelas
yang sedang bangkit. Inilah titik mula dan akhir dari setiap
periode sejarah. Hal ini bisa dilihat dalam perjuangan
panjang petani Latin melawan para pemodal (financier)
dan kaum bangsawan Romawi kuno; dalam perjuangan
bangsawan Abad Pertengahan melawan para uskup; dan
dalam perjuangan para pengrajin melawan kaum
bangsawan di kota-kota Abad Pertengahan. Di masa
moderen, kita melihatnya dalam perjuangan borjuasi
melawan feodalisme.
Reformasi legislatif dan revolusi bukanlah metode-
metode yang berbeda mengenai perkembangan sejarah
yang bisa dipilih sesuka hati dari pentas sejarah, seperti
orang memilih sosis panas atau dingin. Reformasi legislatif
dan revolusi adalah faktor-faktor yang berbeda dalam
perkembangan masyarakat berkelas. Keduanya saling
mengkondisikan dan melengkapi satu sama lain, dan
sekaligus bersifat eksklusif laksana kutub Utara dan kutub
Selatan, borjuasi dan proletariat.

Setiap konstitusi legal adalah produk dari sebuah


revolusi. Dalam sejarah kelas-kelas, revolusi adalah
tindakan kreasi politik, sedangkan legislasi adalah ekspresi
politik dari kehidupan suatu masyarakat yang telah
mewujud. Kerja untuk reformasi tidak mengandung
kekuatan tersendiri yang terlepas dari revolusi. Dalam
kurun tiap periode sejarah, kerja untuk reformasi
dilaksanakan hanya berdasarkan arah yang diberikan
kepadanya oleh dorongan revolusi terakhir, dan terus
berlanjut selama dorongan itu terus membuat dirinya
dirasakan. Atau, lebih konkretnya, dalam masing-masing
periode sejarah, kerja untuk reformasi dilaksanakan hanya
berdasarkan kerangka bentuk sosial yang diciptakan oleh
revolusi terakhir. Di sinilah inti dari permasalahan
tersebut.

Adalah berkebalikan dengan sejarah, kalau kita


merepresentasikan kerja untuk reformasi sebagai sebuah
revolusi yang dilakukan dalam jangka panjang, dan
revolusi sebagai rangkaian reformasi yang dipadatkan.
Transformasi sosial dan reformasi legislatif tidaklah
berbeda menurut lamanya, melainkan menurut
kandungannya. Rahasia dari perkembangan sejarah
melalui penggunaan kekuasaan politik memang terletak
pada transformasi dari modifikasi kuantitatif yang
sederhana menjadi sebuah kualitas baru; atau lebih
konkretnya, dalam perjalanan suatu periode sejarah, dari
satu bentuk masyarakat tertentu menjadi suatu bentuk
masyarakat lainnya.
Itulah mengapa orang-orang yang menyatakan diri
mendukung metode reformasi legislatif, yakni berada
dalam posisi yang berbeda dan bertentangan dengan
penaklukan kekuasaan politik serta revolusi sosial, tidak
betul-betul memilih sebuah jalan yang lebih damai, lebih
tenang dan lebih lambat untuk tujuan yang sama,
melainkan untuk sebuah tujuan yang berbeda. Bukannya
mengambil sikap yang berpihak pada pembangunan
sebuah masyarakat baru, mereka malah mengambil sikap
yang mendukung modifikasi-modifikasi dangkal terhadap
masyarakat lama. Jika kita menganut konsepsi-konsepsi
politik revisionisme, maka kita akan sampai pada
kesimpulan yang sama yang dicapai apabila kita menganut
teori-teori ekonomi revisionisme. Program kita pun
menjadi bukan lagi mewujudkan sosialisme, melainkan
reformasi kapitalisme; bukan penghapusan sistem kerja
upahan, melainkan pengurangan eksploitasi, yakni
penghapusan penyalahgunaan kapitalisme, dan bukan
penghapusan kapitalisme itu sendiri.

Apakah peran resiprokal dari reformasi legislatif dan


revolusi hanya berlaku bagi perjuangan kelas di masa lalu?
Mungkinkah sekarang ini -sebagai akibat dari
perkembangan sistem yuridis borjuis- fungsi masyarakat
yang bergerak dari satu fase sejarah ke fase lainnya
merupakan bagian dari reformasi legislatif, dan
penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat betul-betul
telah menjadi “sebuah frasa kosong”, seperti yang
dinyatakan Bernstein?

Justru kebalikannyalah yang benar. Apa yang


membedakan masyarakat borjuis dengan masyarakat-
masyarakat berkelas lainnya – yakni masyarakat kuno dan
tatanan sosial Abad Pertengahan? Tepatnya adalah fakta
bahwa dominasi kelas tidak terletak pada “hak-hak yang
diperoleh”, melainkan pada relasi-relasi ekonomi yang
sesungguhnya – fakta bahwa kerja upahan bukanlah suatu
relasi yuridis, melainkan murni relasi ekonomi. Dalam
sistem yuridis kita, tidak ada sebuah rumusan
perundangan yang tunggal untuk dominasi kelas di masa
sekarang. Beberapa jejak yang masih tersisa dari rumusan
tentang dominasi kelas seperti itu, adalah (seperti yang
berkenaan dengan para hamba) sisa-sisa masyarakat
feodal yang masih bertahan.

Bagaimana perbudakan-upah bisa dihapuskan dengan


“cara legislatif”, kalau perbudakan itu tidak diekspresikan
dalam hukum? Bernstein, yang hendak menghapuskan
kapitalisme dengan cara reformasi legislatif, mendapati
dirinya berada dalam situasi yang sama seperti polisi
Uspensky Rusia yang mengatakan: “Segera saja
kutangkap penjahat itu dengan mencengkeramnya! Tapi
apa yang kudapati? Si jahanam itu tak punya kerah untuk
dicengkeram!“ Dan persis seperti itulah kesulitan
Bernstein.

“Semua masyarakat terdahulu senantiasa berbasiskan


pertentangan antara suatu kelas penindas dan suatu kelas
tertindas” (Manifesto Komunis). Akan tetapi, pada fase-
fase terdahulu dari masyarakat moderen, pertentangan
ini diekspresikan dalam relasi-relasi yuridis tertentu yang
khas, dan bisa -terutama karena hal itu- berkesesuaian
dengan suatu lingkup tertentu, sebuah tempat bagi relasi-
relasi baru dalam kerangka relasi-relasi yang lama. “Di
tengah-tengah perbudakan, budak menaikkan dirinya ke
jajaran anggota komunitas kota” (Manifesto Komunis).
Bagaimana itu mungkin terjadi? Hal tersebut menjadi
mungkin dengan adanya penghapusan secara progresif
semua privilese feodal di daerah-daerah sekitar kota:
kerja paksa, hak atas pakaian khusus, pajak atas harta
warisan, klaim tuan tanah atas ternak yang paling bagus,
pungutan pribadi, kawin paksa, hak atas suksesi
kepemimpinan dan lain-lain, yang kesemua itu
menimbulkan perbudakan.

Dengan cara yang sama, borjuasi-kecil Abad


Pertengahan berhasil menaikkan dirinya -padahal ia masih
berada di bawah kekuasaan absolutisme feodal- ke jajaran
borjuasi (Manifesto Komunis). Dengan cara apa? Yakni,
melalui penghapusan parsial secara formal -atau
pemutusan sepenuhnya- ikatan-ikatan korporatif; melalui
transformasi administrasi fiskal dan tentara secara
progresif.

Konsekuensinya, apabila kita membahas persoalan ini


dari sudut pandang abstrak, bukan dari sudut pandang
historis, kita bisa membayangkan (dalam pandangan
tentang relasi-relasi kelas terdahulu) berjalannya hukum,
menurut metode reformis, dari masyarakat feodal ke
masyarakat borjuis. Namun, apa yang kita lihat dalam
realitanya? Pada kenyataannya, kita melihat bahwa
reformasi perundangan bukan saja tidak menghindari
perebutan kekuasaan politik oleh borjuasi, melainkan -
sebaliknya- telah menyiapkan dan mengarahkan
perebutan kekuasaan itu. Sebuah transformasi sosial-
politik formal sangat dibutuhkan bagi penghapusan
perbudakan, maupun penghapusan total feodalisme.

Akan tetapi, situasinya sekarang sama sekali berbeda.


Sekarang ini hukum mewajibkan proletariat untuk
menyerahkan diri kepada kekuasaan kapitalisme.
Kemiskinan, tidak adanya alat produksi, kini memaksa
proletariat untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan
kapitalisme. Dan tidak ada hukum di dunia ini yang bisa
memberikan alat produksi kepada proletariat selama
hukum itu masih berada dalam kerangka masyarakat
borjuis. Karena bukan hukum, melainkan perkembangan
ekonomilah yang telah mencabut alat produksi dari
kepemilikan produsen.

Dan tidak ada eksploitasi dalam sistem kerja upahan


yang didasarkan atas hukum. Tingkat upah tidak
ditetapkan oleh legislasi, melainkan oleh faktor-faktor
ekonomi. Fenomena eksploitasi kapitalis tidak bertumpu
pada kecenderungan hukum, melainkan murni pada fakta
ekonomi bahwa tenaga kerja, dalam eksploitasi ini,
memainkan peran sebuah barang dagangan yang memiliki
-di antara sifat-sifat lainnya- kualitas yang bisa disepakati
dari nilai produksi, lebih dari nilai yang ia konsumsi dalam
bentuk sarana subsisten buruh. Singkatnya, relasi-relasi
fundamental dari dominasi kelas kapitalis tidak bisa
ditransformasikan dengan cara reformasi legislatif yang
berbasiskan masyarakat kapitalis, karena relasi-relasi ini
belum diintrodusir oleh hukum-hukum borjuis, dan relasi-
relasi tersebut juga belum menerima bentuk hukum
seperti itu. Jelas Bernstein tidak menyadari hal ini, karena
dia berbicara tentang “reformasi sosialis”. Di sisi lain,
nampaknya Bernstein hendak mengungkapkan
pengakuan implisit tentang hal ini ketika ia menuliskan di
halaman 10 dari bukunya: “motif ekonomi berlaku secara
bebas sekarang ini, sedangkan sebelumnya, motif
ekonomi tersebut dibungkus dengan segala macam relasi
dominasi, dengan segala macam ideologi.”

Inilah salah satu dari keistimewaan-keistimewaan


tatanan kapitalis, yang mana di dalamnya semua elemen
masyarakat masa depan, dalam perkembangannya,
pertama-tama mengasumsikan suatu bentuk yang bukan
mendekati sosialisme, melainkan sebaliknya, suatu bentuk
yang bergerak makin dan makin menjauh dari sosialisme.
Produksi menjalankan suatu karakter sosial yang secara
progresif kian meningkat. Tetapi, dalam bentuk apa
karakter sosial dari produksi kapitalis itu diekspresikan? Ia
diekspresikan dalam bentuk perusahaan besar, dalam
bentuk pembagian kepemilikan saham, kartel, hal mana
antagonisme-antagonisme kapitalis, penindasan tenaga
kerja, dipertajam sampai ke titik ekstrem.

Dalam soal tentara, perkembangan kapitalis


menyebabkan perluasan wajib militer, sampai pada
pengurangan masa pengabdian, sehingga tentunya
sampai pada suatu pendekatan material, yakni sebuah
milisi rakyat. Akan tetapi, kesemua ini terjadi dalam
bentuk militerisme moderen, di mana dominasi terhadap
rakyat oleh negara militeris, dan karakter kelas dari
negara, termanifestasi sendiri secara paling jelas.
Di bidang hubungan politik, perkembangan demokrasi
menimbulkan -dalam ukuran bahwa ia menemukan tanah
subur untuk tumbuh- partisipasi dari semua strata popular
dalam kehidupan politik dan, konsekuensinya,
menimbulkan semacam “negara rakyat”. Namun,
partisipasi ini mengambil bentuk berupa parlementarisme
borjuis, di mana pertentangan kelas dan dominasi kelas
tidak dihilangkan, melainkan sebaliknya, justru
ditampilkan secara terbuka. Justru karena perkembangan
kapitalis bergerak melalui kontradiksi-kontradiksi ini,
maka perlu bagi kita untuk mengekstrasi inti masyarakat
sosialis dari rangka kapitalisnya. Justru karena alasan
inilah, maka proletariat harus merebut kekuasaan politik
dan menghapuskan sistem kapitalis secara tuntas.

Tentu saja, Bernstein menarik kesimpulan-kesimpulan


yang lain. Jika perkembangan demokrasi mengarah pada
penajaman, dan bukan memperkecil antagonisme
kapitalis, maka, "Sosial-demokrasi", jawab Bernstein
kepada kita, "agar tidak membuat tugasnya menjadi lebih
sulit, haruslah berusaha dengan segala cara untuk
menghentikan reformasi sosial dan perluasan institusi-
institusi demokratik," (hal. 71). Sesungguhnya, itu akan
menjadi hal yang benar untuk dilakukan jika sosial-
demokrasi mendapati -sesuai seleranya, ala borjuis-kecil-
tugas untuk mengambil bagi dirinya sendiri, semua sisi
baik dari sejarah dan menolak sisi buruknya, meski itu sia-
sia. Bagaimanapun juga, dalam hal itu, sosial-demokrasi
hendaknya sekaligus juga “berusaha menghentikan”
kapitalisme secara umum, karena tak ragu lagi bahwa
kapitalisme adalah penjahat yang meletakkan semua
rintangan ini di tengah jalan menuju sosialisme. Akan
tetapi, kapitalisme, selain melengkapi rintangan-rintangan
itu, juga menyediakan satu-satunya kemungkinan untuk
mewujudkan program sosialis. Hal yang sama bisa pula
dikatakan tentang demokrasi.

Kalau demokrasi telah menjadi berlebihan atau


menjengkelkan bagi borjuasi, maka -sebaliknya- ia
diperlukan dan mutlak harus ada bagi kelas pekerja.
Demokrasi perlu bagi kelas pekerja, karena ia
menciptakan bentuk-bentuk politik (administrasi yang
otonom, hak-hak elektoral, dan lain-lain) yang -bagi
proletariat- akan berfungsi sebagai tumpuan dalam
tugasnya untuk mentransformasikan masyarakat borjuis.
Demokrasi sangat dibutuhkan kelas pekerja, karena hanya
melalui pelaksanaan hak-hak demokratiknya dalam
perjuangan untuk demokrasilah, proletariat bisa menjadi
sadar akan kepentingan-kepentingan kelas serta tugas
sejarahnya.

Singkatnya, demokrasi sangat dibutuhkan bukan karena


ia menyebabkan penaklukan kekuasaan politik oleh
proletariat menjadi sesuatu yang berlebihan, melainkan
karena demokrasi justru membuat penaklukan kekuasaan
itu menjadi perlu dan mungkin untuk dilakukan. Ketika
Engels, dalam kata pengantar pada tulisannya Perjuangan
Kelas di Perancis, merevisi gerakan buruh moderen dan
mendesak dilakukannya perjuangan hukum untuk
menghadapi rintangan-rintangan, dia tidak sedang
berpikir tentang -ini muncul di setiap baris dalam kata
pengantar itu- persoalan penaklukan kekuasaan politik
tertentu, melainkan perjuangan sehari-hari yang
kontemporer. Engels tidak berpikir tentang sikap yang
harus diambil oleh proletariat terhadap negara kapitalis di
saat perebutan kekuasaan, melainkan sikap proletariat
ketika berada dalam belenggu negara kapitalis. Engels
ketika itu memberikan arahan kepada proletariat yang
tengah tertindas, bukan kepada proletariat yang sedang
mengalami kemenangan.

Di sisi lain, kalimat Marx yang terkenal tentang


persoalan agraria di Inggris (Bernstein sangat bertumpu
pada pernyataan ini) yang menyatakan: “Barangkali kita
akan berhasil dengan mudah, dengan cara membeli tanah
milik tuan-tuan tanah,” tidaklah mengacu pada sikap
proletariat sebelum, melainkan setelah kemenangannya.
Karena, jelas persoalan tentang membeli properti dari
kelas lama yang dominan baru mungkin untuk
dipertimbangkan apabila buruh berada di tampuk
kekuasaan. Kemungkinan yang dipertimbangkan oleh
Marx adalah dalam hal pelaksanaan kediktatoran
proletariat secara damai, dan bukan mengganti
kediktatoran itu dengan reformasi sosial. Tak ada
keraguan pada Marx dan Engels tentang perlunya
proletariat menaklukkan kekuasaan politik. Maka, biarlah
Bernstein menganggap kandang parlementarisme borjuis
sebagai organ, yang dengan itu kita hendak mewujudkan
transformasi sosial sejarah yang paling menakjubkan,
yakni perjalanan dari masyarakat kapitalis menuju
sosialisme.

Bernstein mengintrodusir teorinya dengan


memperingatkan proletariat tentang bahayanya
pencapaian kekuasaan yang terlalu dini. Yakni, menurut
Bernstein, proletariat harus membiarkan masyarakat
borjuis dalam kondisinya yang sekarang, dan borjuasi
dengan sendirinya akan menderita kekalahan yang
menakutkan. Andaikan nanti proletariat mencapai
kekuasaan, maka berdasarkan teori Bernstein itu,
proletariat bisa menarik kesimpulan “praktis”, yakni: tidur
saja. Teori Bernstein itu melemahkan proletariat pada
saat-saat perjuangan yang paling menentukan, hingga
menjadi tidak aktif, menjadi pengkhianatan pasif dari
sebabnya sendiri.

Program kita hanya akan menjadi secarik kertas tak


berharga, jika tak mampu membekali kita dengan segala
kemungkinan pada setiap saat perjuangan, dan jika tidak
membekali kita dengan aplikasinya, bukan dengan non-
aplikasinya. Kalau program kita mengandung rumusan
perkembangan sejarah masyarakat dari kapitalisme
menuju sosialisme, maka ia harus juga merumuskan -
dalam semua hal fundamentalnya yang khas- semua fase
peralihan dari perkembangan ini. Dan konsekuensinya,
program tersebut hendaknya juga bisa menunjukkan
kepada proletariat, apa yang seharusnya merupakan
tindakan yang cocok pada setiap momentum dalam
perjalanan menuju sosialisme. Tak akan ada lagi waktu
bagi proletariat ketika ia terpaksa memilih: mengabaikan
programnya, atau diabaikan oleh program itu.

Secara praktis, hal ini termanifestasi dalam kenyataan


bahwa tidak mungkin terjadi keadaan di mana proletariat
-yang ditempatkan pada tampuk kekuasaan berkat adanya
kekuatan dari beberapa peristiwa- tidak berada dalam
kondisi, atau secara moral tidak merasa wajib untuk
mengambil langkah-langkah tertentu, yakni langkah-
langkah peralihan dalam arah menuju sosialisme. Dibalik
keyakinan bahwa program sosialis bisa gagal sepenuhnya
pada satu titik dari kediktatoran proletariat, tersembunyi
keyakinan lain bahwa program sosialis secara umum, dan
pada saat kapanpun, tidak bisa diwujudkan.

Dan bagaimana jika langkah-langkah peralihan itu


prematur? Pertanyaan ini menyembunyikan sejumlah
besar ide keliru tentang perjalanan sesungguhnya dari
transformasi sosial.

Pertama, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat,


yakni oleh sebuah kelas popular yang besar, tidaklah
dihasilkan secara artifisial. Ia mengasumsikan (dengan
kekecualian, misalnya dalam kasus Komune Paris, yakni
ketika proletariat tidak mencapai kekuasaan setelah
melakukan suatu perjuangan sadar untuk mencapai
tujuannya, namun jatuh ke tangannya sendiri seperti
sesuatu yang baik, yang diabaikan oleh orang lain) adanya
suatu tingkat tertentu kematangan relasi-relasi ekonomi
dan politik. Di sini kita memiliki perbedaan yang esensial
antara kudeta menurut konsepsi Blanqui -yang dijalankan
oleh suatu “minoritas aktif” dan meledak seperti letusan
pistol yang selalu tak tepat pada waktunya- dengan
penaklukan kekuasaan politik oleh massa rakyat yang
besar dan sadar, yang hanya bisa terjadi sebagai akibat
dari membusuknya masyarakat borjuis, dan karenanya
melahirkan sendiri legitimasi ekonomi dan politik bagi
kemunculannya yang tepat waktu.

Karena itu, kendati kalau dilihat dari sudut efek politik,


penaklukan kekuasaan politik oleh kelas pekerja tidak
mungkin “terlalu dini” mewujud sendiri, namun dari sudut
pelestarian kekuasaan (lama / status quo – penerj.),
adalah revolusi yang prematur, yakni pemikiran yang
membuat Bernstein selalu terjaga, mengancam kita
laksana pedang Damocles. Dalam menghadapi ancaman
ini, baik doa maupun permohonan, ketakutan ataupun
kesengsaraan, tidaklah banyak membantu. Dan berikut ini
ada dua alasan yang sangat sederhana.

Pertama, adalah mustahil untuk membayangkan bahwa


suatu transformasi sehebat apapun seiring perjalanan dari
masyarakat kapitalis menuju masyarakat sosialis, bisa
diwujudkan dalam satu Undang-Undang yang
membahagiakan. Menganggap itu sebagai hal yang
mungkin, kembali ini berarti meniru corak dari konsepsi-
konsepsi yang jelas bersifat blanquis. Transformasi sosialis
mengasumsikan sebuah perjuangan yang panjang dan
keras, yang dalam kurun itu cukup mungkin bahwa
proletariat akan terpukul mundur lebih dari satu kali,
sehingga untuk pertamakalinya -dari sudut pandang hasil
akhir perjuangan- proletariat bisa disebut mencapai
tampuk kekuasaan “terlalu dini”.

Kedua, akan mustahil untuk menghindari penaklukan


kekuasaan negara “yang prematur” oleh proletariat,
karena memang serangan-serangan “prematur” dari
proletariat ini menimbulkan suatu faktor -dan
sesungguhnya adalah faktor yang sangat penting- yang
menciptakan syarat-syarat politik bagi kemenangan akhir.
Dalam kurun krisis politik yang menyertai perebutan
kekuasaan, dalam kurun perjuangan yang panjang dan
keras, proletariat akan memperoleh tingkat kematangan
politik yang memungkinkannya untuk pada waktunya
mendapatkan sebuah kemenangan revolusi yang pasti.
Jadi, serangan-serangan proletariat yang “prematur”
terhadap kekuasaan negara ini, dalam dirinya sendiri
merupakan faktor historis penting yang membantu
memprovokasi dan menentukan titik kemenangan yang
pasti. Dilihat dari sudut pandang ini, ide tentang suatu
penaklukan kekuasaan politik yang “prematur” oleh kelas
pekerja, nampak menjadi sebuah absurditas polemis yang
berasal dari konsepsi mekanis tentang perkembangan
masyarakat, dan memposisikan kemenangan perjuangan
kelas sebagai sebuah poin yang ditetapkan di luar -dan
lepas dari- perjuangan kelas.

Karena proletariat tidak berada dalam posisi untuk


merebut kekuasaan dengan cara selain “cara yang
prematur”; karena proletariat mutlak harus merebut
kekuasaan satu kali atau beberapa kali “lebih dini”
sebelum ia bisa mempertahankan diri dalam kekuasaan
selamanya, maka keberatan terhadap penaklukan
kekuasaan yang “prematur”, pada dasarnya tak lain
adalah sebuah oposisi umum terhadap aspirasi proletariat
untuk memiliki kekuasaan negara. Karena banyak jalan
menuju Roma, maka begitu pula kita secara logis sampai
pada kesimpulan bahwa usulan revisionis untuk
mengabaikan tujuan akhir gerakan sosialis, sesungguhnya
adalah suatu rekomendasi untuk meninggalkan gerakan
sosialis itu sendiri.

TOKOH HORKHEIMER

Dimulai dari tahun 1931 ketika Horkheimer menjabat sebagai Direktur Sekolah Frankfurt
menggantikan Carl Grunberg, dia berpidato tentang filsafat sosial sebagai "interpretasi
filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, tetap
sebagai anggota masyarakat. Jadi, objek filsafat sosial sekarang adalah semua kelembagaan
yang bersifat material dan spiritual dari kemanusiaan secara menyeluruh", bukan filsafat yang
memaksa nilai filosofis manusia dalam pengangguran, keterasingan dan penindasan yang
dilakukan oleh kelas penguasa. Dia memakai pandangan Karl Marx dalam anggapan bahwa
kejiwaan manusia, kepribadian juga hukum, kesenian, filsafat sebagai semata-
mata cermin dari bidang ekonomi, dan bukan dengan vulgar memakai
sumbangan Hegel tentang kendali Roh, tetapi pada dialektika
antara realitas material dan mental. Dalam pikiran yang bergerak di bidang ideologi inilah,
ideologi dipandang sangat berperan dalam ikut mengacaukan kenyataan sosial. Dua hal yang
menjadi perhatian teori kemasayarakatan Horkheimer adalah bidang sosiolgi politik dan
kebudayaan.
Ini adalah salah satu kutipan karya Horkheimer dalam buku Eclipse of Reason pada tahun
1933 ketika dia di Amerika dalam puncaknya menentang kapitalisme.

“ Individu-individu sejati zaman ini adalah martir-martir yang tenggelam dalam


neraka-neraka penderitaan dan keburukan dalam perlawanan mereka terhadap
perbudakan dan penindasan. Mereka bukanlah kepribadian-kepribadian yang
mendongak, kaum terkemuka seperti lazimnya. Pahlawan-pahlawan tak dikenal
itu secara sadar menyatakan eksistensinya sebagai individu-individu terhadap
pembinasaan secara teror. Lain dengan mereka-mereka yang secara tidak sadar
menanggung pembinasaan itu lewat proses sosial. Martir-martir tak bernama dari
kamp-kamp konsentrasi adalah simbol-simbol dari kemanusiaan yang mencoba
untuk lahir. Filsafat bertugas untuk menterjemahkan apa yang mereka kerjakan
ke dalam bahasa yang dapat didengar, meski suara mereka dibungkam oleh tirani. ”

Munculnya Sekolah Frankfurt berbarengan dengan suburnya kapitalisme monopolis di Eropa.


Sekolah Frankfurt, termasuk Horkheimer memandang kapitalisme monopolis sebagai suatu
tahap kapitalisme di mana usaha-usaha raksasa menguasai pasar, mengatur dan menentukan
harga, sementara perusahaan-perusahaan kecil dengan serta mereta digulungnya. Hal ini
cenderung menghapuskan pasar dan dinamika persaingan bebas.

TOKOH MARCUSE
Objek paper kali ini mengambil objek studi pemikir politik kontemporer yang terkenal dengan
bukunya yang berjudul One-Dimentional Man (Manusia Satu Dimensi), yaitu Herbert
Marcuse. Lahir di Berlin pada tahun 1898, Marcuse mengikuti pendidikan di Universitas Berlin
dan Freiburg.Marcuse bersama Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno di Frankfurt School
mendirikan sebuah aliran yang bernama Mahzab Frankfurt. Mahzab Frankfurt ini menjadikan
terkenal karena mengembangkan sebuah teori bernama ‘Teori Kritis’.
Sebagai “teori krtitis” Teori Kritis merupakan teori yang reflektif. Artinya, teori itu tidak
langsung saja mengenai salah satu masalah, melainkan dalam menangani sebuah masalah, ia
menyadari dirinya sendiri, ia merefleksikan perannya sendiri sebagai teori. Teori Kritis
dibangun atas dasar kritik terhadap pandangan tradisional mengenai teori : teori membatasi
dirinya diri pada kontemplatif. Teori yang kontemplatif memiliki arti bahwa teori hanya
melihat, tetapi tidak menjadi praksis dan mengubah apa yang dilihat tersebut. Dengan
pendekatan kontemplatif itu, teori tradisional menjadi afirmatif. Artinya, dengan
memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, kita justru menjadi puas
dengan realitas; jadi, realitas itu diafirmasi atau dibenarkan. Dengan demikian, teori
tradisional menjadi pendukung keadaan yang ada. Ia menjadi konservatif dan bahkan
reaksioner.
Teori Tradisional ini didasarkan pada pola pikir postivisme logis yang membatasi ilmu
pengetahuan pada fakta-fakta dan mengesampingkan pernyataan-pernyataan yang bersifat
irasional. Secara rasio-instrumental teori tradisional juga dianggap menerima begiu saja
kepentinga-kepentingan fundamental sebagai dasar-dasar ilmu. Teori tradisional berusaha
menciptakan teori yang bebas nilai dengan menginduksi atau menggenerelasikan sebuah
fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dan menjadikannya sebuah kesimpulan
(teori). Hal tersebut yang dikritik oleh Mahzab Frankfurt yang menyatakan bahwa dengan
proses induksi tersebut, teori tidak menggambarkan proses yang sebenarnya terjadi dengan
mengabaikan faktor-faktor lain yang mungkin memengaruhi. Maka rasionalitas dibutuh demi
menalar dan memaknai suatu kejadian.

Cara kerja Teori Kritis adalah menjelaskan realitas sedemikian rupa sehingga kepalsuan dan
kebohonga tersingkap, jadi secara langsung Teori Kritis terpengaruh ajaran Hegel dan Marx
mengenai Dialektika yang bersifat negatif. Teori Kritis meneliti realitas sedemikian rupa
sehingga realitas itu sendiri berbicara dan menunjukkan bahwa ia dibentuk oleh sebuah
penindasan.Jadi, teori kritis selalu mengikuti realitas secara ketat dan menunjukkan di mana
realitas itu menumpas kebenaran dan menindas manusia. Selain itu, perbedaan Teori Kritis
dengan Teori Tradisional adalah fokus perhatian tertuju pada refleksinya tentang status dan
fungsinya sebagai teori. Karena keyakinan Mahzab Frankfurt adalah bahwa teori sebagai teori
memainkan peranan sosial. Jadi, teori bukan hanya refleksi terhadap realitas, tetapi teori juga
harus memiliki praksis : mempunyai dampak pada perubahan realitas sebagai teori.

TOKOH HOLMES FRANK POUND


Sebagaimana biasanya suatu aliran dalarn filsafat hukurn, maka aliran realisme hukum juga
lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan nonhukum, yaitu
faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dan faktor perkembangan sosial
dan politik.

Walaupun begitu, sebenarnya aliran pragmatism dari William James dan John Dewey
itu sendiri sangat berpengaruh terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh juga
terhadap ajaran dari Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat pengaruhnya terhadap
ajaran dari Roscoe Pound.

Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran realisme
hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu (awal abad ke-20), dalam dunia filsafat sangat
berkembang ajaran pragmatisme ini, antara lain yang dikembangkan dan dianut oleh William
James dan John Dewey. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pragmatisme sebenarnya
merupakan landasan filsafat terhadap aliran realisme hukum. Dalam tulisan – tulisan dari para
penganut dan inspirator aliran realisme hukum, seperti tulisan d.ari Benjamin Cardozo atau
Oliver Wendell Holmes, sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatisme hukum ini.

Hubungan antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini sangat unik. Di
satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai kemiripan atau
overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua aliran tersebut justru saling
berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan penganut aliran sociological jurisprudence,
merupakan, salah satu pengritik terhadap aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas,
sesuai dengan namanya, aliran realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program
yang lebih nyata dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence.

Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat


memandang hukum. Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum
adalah bagaimana. memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa
depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas
hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan putusan-
putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksi putusan pada masa yang akan
datang.

Para penganut aliran critical legal studies telah pula bergerak lebih jauh dari aliran
realisme hukurn dengan mencoba menganalisisnya dari segi teoretikal-sosial terhadap politik
hukum. Dalarn hal ini yang dilakukannya adalah dengan menganalisis peranan dari mitos
“hukurn yang netral” yang melegitimasi setiap konsep hukum, dan dengan menganalisis
bagaimana sistern hukurn mentransformasi fenomena sosial yang sarat dengan unsur politik
ke dalam simbol-simbol operasional yang sudah dipolitisasi tersebut. Yang jelas, aliran critical
legal studies dengan tegas menolak upaya-upaya dari ajaran realisme hukum dalam hal upaya
aliran realisme hukum untvk memformulasi kembali unsur “netralitas” dari sistern hukum.

Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para pelopornya sendiri
lebih suka dianggap sebagai hanya. sebuah gerakan sehingga mereka. menyebutnya sebagai
“gerakan” realisme hukum (legal realism movement). Nama populer untuk aliran tersebut
memang “realisme hukum” (legal realism) meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan
nama lain seperti: Functional Jurisprudence. Experimental Jurisprudence. Legal Pragmatism.
Legal Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal Discriptionism. Scientific
Jurisprudence. Constructive Scepticism.
Kaum realist hukum tidak percaya terhadap pendekatan pada hukum yang dilakukan
oleh kaurn positivist dan naturalist, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa hakirn hanya
menerapkan hukurn yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Bahkan, sebagaimana
yang dikemukakan oleh aliran formalisme hukurn bahwa penalaran hukum (legal reasoning)
merupakan penalaran yang bersifat syllogism, di mana premis mayor berupa aturan hukurn
dan premis minor berupa fakta-fakta yang relevan, sedangkan hasilnya berupa putusan
hakim. Menurut ajaran realisme hukum, aliran positivisme maupun allran formalisme sama-
sama meremehkan penerapan hukum oleh hakim, di mana menurut golongan ini, peranan
hakirn hanya sebatas menerapkan hukum atau paling jauh hanya menafsirkan hukum seperti
yang terdapat dalarn aturan perundangundangan. Sebaliknya, menurut aliran realisme
hukum, hakim tidak hanya menerapkan atau menafsirkan hukum. Dalarn banyak hal, ketika
hakirn memutuskan perkara, hakirn justru membuat hukum. Hukurn yAng dibuat oleh hakirn
ini umumnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang politik dan perasaan dari hakirn yang
memutuskan perkara tersebut.

ALIRAN FENOMENOLOGI
TOKOH HUSSERL

Fenomenologi, sebagaimana dikenalkan oleh Edmund Husserl, merupakan gerakan pemikiran


filsafat (cara berpikir) untuk memahami fenomena (penampakan), yang kemudian, dari
gerakan filsafat, fenomenologi dapat dimaknai sebagai sebuah teori dan juga metode. Hal ini
dapat dirunut dari pernyataan Husserl, bahwa hal yang paling penting
adalah mengembangkan suatu metode yang akurat sehingga mampu mendorong para filsuf
dan ilmuwan untuk mencapai “sesuatu itu sendiri” (things themselves). Dan, “sesuatu itu
sendiri” itu tak lain adalah dasar-dasar pengertian tentang “fenomena”, yang dimulai dengan
pemahaman terhadap “dunia kehidupan yang secara langsung kita alami” atau yang oleh
Husserl disebut “lebenswelt”. Pemahaman terhadap lebenswelt ini diperoleh dengan metode
“reduksi” dan memahami karakter dasar kesadaran yaitu “intensionalitas” dan
“intersubjektivitas”. Sebelum melanjutkan jabaran tentang fenomenologi Husserlian perlu
dideskripsikan tentang “fenomena”. Selanjutnya, bahasan fenomenologi lebih
mengemukakan fenomenologi sebagai teori dan metode. Fenomena, berasal dari kata dalam
bahasa Yunani, phainomenon (phainomai, menampakkan diri), sehingga fenomenologi
adalah ilmu tentang apa yang menampakkan diri ke pengalaman subjek.

Fenomena, berarti segala sesuatu yang menyingkapkan-diri atau sesuatu yang memberikan-
dirinya dalam ketersingkapannya yang khusus. Maka, fenomenologi, adalah metode untuk
menangkap fenomena, atau metode untuk melihat segala sesuatu yang memberikan-
dirinya (self-given) menurut cara keterberiannya masing-masing yang khas dan singular/
perspectival (its manner of givenness). Kuncinya, terletak pada: cara-bagaimana sesuatu itu
memberikan-dirinya/ menyingkapkan-dirinya; atau dengan kata lain: cara-berada dari
sesuatu . Lantas, bagaimana “sesuatu” itu dapat memberikan-dirinya menurut cara
keterberiannya masing-masing, atau secara “apa adanya”, sehingga “sesuatu” itu “mewujud”
atau “meng-ada” (being)? Supaya “sesuatu” (fenomena) itu dapat memberikan-dirinya apa
adanya tanpa ada prasangka, pra-konsepsi yang mencemari “wujud keasliannya”, maka
fenomenologi Husserlian memberikan cara yakni menangguhkan atau “menempatkan di
dalam kurung” segala konstruksi pengetahuan yang melekat dalam cara berpikir kita dan
selalu kita andaikan tentang sesuatu itu, untuk kemudian dari titik tanpa
pengandaian (presuppositionless) itu kita dapat melihat sesuatu itu sebagai sesuatu itu
sendiri, bukan konstruksi pengetahuan kita tentang sesuatu itu. Metode ini oleh Husserl
disebut “epoche”. Di sini, fenomenologi hendak memprovokasi kesadaran kita dengan
memalingkan pengamatan dari dunia-keseharian yang artifisial, kembali kepada dunia-
kehidupan yang mendasar, fundamental dan transendental.

Prinsip fenomenologi Husserl adalah pada kemampuan manusia untuk memaknai hidupnya
dengan bersikap tepat di hadapan realitas. Dan, realitas itu bersifat transenden, artinya
melampaui daya jangkau persepsi dan pemahaman manusia, atau bersifat tidak terbatas.
Sifat transenden realitas ini membuat dunia-kehidupan (lebenswelt) selalu memberikan
kemungkinan pemaknaan yang tidak terbatas. Inter-relasi sosial dalam fenomenologi
dimaknai sebagai perjumpaan antar subjektivitas yang masing-masing aktor membawa
subjektivitasnya masing-masing atau kesadarannya masing-masing, dalam intensional yang
sama. Bentuk cara-berada (meng-ada) atau relasi intensional di antara subjek yang sama
sekaligus berbeda, relasi timbal balik yang melaluinya tidak lagi terdapat perbedaan antara
subjek-objek, yang oleh Husserl dinamakan “intersubjektivitas”. Relasi intersubjektivitas ini
merupakan dasar pemahaman terhadap dunia. Ia mengkonstitusikan pemahaman kita dalam
horizon pra-refleksivitas yang tidak terbatas. Intersubjektivitas yang terjadi dalam
temporalitas tertentu ini memicu kesadaran dan melampaui kesadaran diri sendiri secara
intensif yang tidak memiliki cukup akses sehingga memunculkan “kesadaran lain”, dan orang
lain (The Others) dan “subjektivitas yang asing” yang kemudian mewujud menjadi “sumber
dari segala jenis realitas transenden lainnya”. Hal ini mentransformasi seluruh kategori
pemahaman dan pengalaman kita akan realitas. Intersubjektivitas ini melahirkan penegasan
diri, yang oleh Husserl disebut “ego-transendental”, yang merupakan momen refleksi diri
personal. Inilah rasionalitas kesadaran. Ia sebenarnya tidak benar-benar rasional objektif,
tetapi mengandaikan berbagai hal yang tidak disadari. Kekuatan kesadaran manusia terletak
pada daya kapasitas / daya aktif-agresif yang dimilikinya.

Kesadaran inilah yang menjadi proyek besar fenomenologi. Kesadaran muncul dari relasi
intensional yang memberi makna pada “lebenswelt” (life-world) tempat manusia hidup
dengan segala pengalaman hidup dan perasaannya, merupakan momen-afeksi atau
kepedulian yang memperlihatkan keterlibatan atau cara-berada (meng-ada) kita yang
mendasar dengan realitas atau yang dalam bahasa fenomenologi disebut sebagai “ada-di-
dalam-dunia” (being-in-the-world). Momen-afeksi atau kepedulian atau kesadaran ini adalah
penghayatan hidup (vivacity), yakni menghayati bahwa sesuatu itu dipahami sebagai sesuatu
itu sendiri; atau membiarkan peristiwa itu bercerita kepada kita apa adanya dan memberikan
kesadaran kepada kita tentangnya hingga mencapai “ego-transendental” dan bahkan
“kesadaran yang lain”. Inilah sebabnya analisis fenomenologi selalu mengambil posisi atau
“perspektif orang pertama” (first person perspective), karena seluruh pengalaman dan
pemahaman akan realitas dimungkinkan dari diri sendiri dan refleksi diri.

Momen-afeksi dan penegasan diri yang muncul dalam “first person perspective” ini bagi
fenomenologi
menjadi awal dari seluruh aktivitas budaya dan kebudayaan. Dengan menegaskan-diri
manusia menjadi dirinya sendiri, dan dengan menjadi dirinya sendiri manusia “merawat
jiwanya”, merawat dunianya, sesamanya (otentisitas). Rumusan “merawat jiwa” ini
mendapat tempat tersendiri dalam kajian fenomenologi Patocka, seorang penganut
fenomenologi Husserlian, yang menganggap problem “penyingkapan-diri” atau “pemberian-
diri” sebagai sesuatu yang bermakna (showing in itself). Bagi Patocka, penegasan-diri,
penyingkapan-diri selalu memuat dimensinya yang mendua/ ganda (double meanings), yang
mana kemenduaan atau kegandaan cara-berada manusia ini karena digerakkan oleh suatu
gerak di dalam dirinya. Gerak yang menggerakkan itu (auto-kineton) tidak lain adalah
jiwa (soul). Bagi Patocka kekhasan jiwa telah menetapkan dasar bagi seluruh peradaban
manusia berikutnya. Gerak mendua jiwa ini dalam pembacaan Patocka berasal dari sifat
alamiah jiwa itu sendiri, dan dalam jawaban untuk bertanggungjawab atas jiwanya, atas
sesamanya dan atas dunianya, dan dalam jawaban itulah terletak inti kebebasan manusia.
Politik (polis), dalam pembacaan Patocka, adalah sebuah wilayah yang di dalamnya jiwa
manusia memberikan-diri melalui berbagai caranya yang beragam (self-given in its varieties
of manner of givenness).

Sedangkan para fenomenolog lain seperti Mead dan Schutz berasumsi bahwa dunia
kehidupan adalah dunia kehidupan sehari-hari, lingkungan total pengalaman individu, yang
mau tidak mau adalah ditentukan secara biografis. Dunia telah ditentukan apa adanya yang
di dalamnya para individu berupaya merealisasikan sasaran sasaran obyektif. Husserl dan
Merleau Ponty menekankan adanya hubungan kesadaran antara subyek dan dunianya yang
bersifat prarefleksi. Artinya mendahului segala refleksi dan kesadaran pada taraf eksistensi.
Dalam bahasa Husserl yang lain disebut sebagai reduksi yakni kembali pada dunia
pengalaman.

Pengalaman adalah tanah dimana dapat bertumbuh segala macam kebenaran, se-individual
apapun dalam fenomenologi. Begitu pula dalam ilmu pengetahuan. Pengalaman pra
ilmiah dan ilmu pengetahuan dapat lebih jelas kita lihat jika kita memahami paham-paham
seperti ruang dan waktu. Ilmu pengetahuan hanya mengenal ruang obyektif atau geometris
yang homogen dan bukannya ruang antropologis dimana kita sungguh-sungguh berada.
Dimensi-dimensi ruang obyektif dapat diukur satu dengan lainnya secara eksakta namun
bukan ruang yang sesungguhnya kita tempati. Ruang obyektif ini tidak lain adalah suatu
obyektifikasi dari ruang yang kita hayati yakni ruang sesungguhnya (atau ruang antropologis),
sehingga bagi ilmu pengetahuan, ruang yang abstrak adalah adalah ruang antropologis
dimana kita berada sesungguhnya. Demikian pula waktu. Waktu geometris adalah waktu yang
diukur dengan titik-titik dalam jam yang diputari jaum-jarumnya. Sedangkan waktu
antropologis adalah waktu kehadiran sebagai subyek yang pada saat bersamaan masih
menahan waktu lampau (retention) dan mendahului masa depan (protention). Karenanya,
fenomenologi melihat ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari pengalaman pra ilmiah,
meskipun seorang ilmuan melakukan obyektifikasi sebab realitas obyektif yang diandaikan
dan diolah ilmu pengetahuan berdasar pada realitas alami sehari-hari.
Fenomenologi Husserl membawa agenda pertama, interaksi intersubjektif sebagai hal sentral
pada konstitusi realitas sosial; kedua, menekankan resiprositas sebagai bangunan konstitusi
dari intersubjektivitas. Dalam konteks ini individual dapat dilihat sebagai agen yang
“mengonstitusi” atau terkonstitusi oleh” partisipasi mereka dalam komunitas di bawah
batasan-batasan rekognisi timbal balik. Pandangan ini tidak bermakna atomistik, yang
membiarkan identitas individual terkonstitusi secara intersubjektif, ia tetap individualistik
hingga ia memasuki entitas kolektif. Pada level epistemologi, hal ini memunculkan dasar-
dasar metodologi individualisme pada level normatif hal ini melahirkan tata sosial deliberatif
dan legitimasi politik yang bersandar pada prinsip-prinsip moral resiprositas dan
tanggungjawab yang setara.
Sebagai metode, fenomenologi telah dapat dikatakan sebagai alat untuk memperoleh
pengetahuan mengenai sifat-sifat alami kesadaran dan jenis-jenis khusus pengetahuan orang
pertama, melalui bentuk-bentuk intuisi. Untuk ini Husserl menjelaskan bahwa fenomena
adalah realitas yang esensi, dan pengamatan adalah aktivitas spiritual, sedangkan substansi
adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur realitas dan bisa dijangkau. Metode
fenomenologi dapat dirunut dari ajaran Husserl tentang epoche, intersubjektivitas,
intensionalitas dan reduksi, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Schutz.
Walaupun Husserl adalah orang pertama yang mengajarkan dan meletakkan dasar pemikiran
fenomenologi secara filsafati dan teori, namun Schutz-lah sebagai penjembatan pemikiran
Husserl secara metodik untuk mengoperasionalkan fenomenologi dalam penelitian ilmu
sosial. Itulah sebabnya dalam pembahasan metodologi fenomenologi, Schutz mendapat
prioritas yang utama. Selain itu, melalui Schutz-lah pemikiran-pemikiran Husserl yang
dirasakan abstrak pada masa itu dimengerti. Schutz mengawali pemikirannya dengan
mengatakan bahwa obyek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan dengan
interpretasi terhadap realitas. Jadi sebagai peneliti sosial, kitapun harus membuat
interpretasi terhadap realitas yang diamati. Orang-orang saling terikat satu sama lain ketika
membuat interpretasi ini. Tugas peneliti sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses
ini.***
ALIRAN EKSISTENSIALISME
TOKOH HEIDEGGER JASPERS

Eksistensialisme adalah sebuah paham yang beranggapan bahwa manusia mempunyai


kekuatan/kebebasan dalam menentukan tindakan dan menentukan sendiri nasib atau wujud
keberadaannya dan bertanggungjawab atas pilihan tersebut. Aliran ini dibagi menjadi dua
yaitu teitis dan ateitis.

Teitis beranggapan bahwa manusia memiliki bereksistensi namun atas pengaruh kehendak
tuhan. Sedangkan ateitis berkebalikan yang dimana manusia mempunyai kebebasan dalam
bereksistensi terlepas dari kehendak tuhan. Perbedaan pemikiran dalam eksistensialisme
berawal dari anggapan esensi mendahului eksistensi atau eksistensi mendahului esensi.

Sebagian yag berpikir esensi mendahului eksistensi beranggapan manusia memiliki


keterbatasan dalam dunia ini, dan Tuhan menjadi penolongnya. Ini adalah orang teistik.

Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan yang seutuhnya atau sebebas-bebasnya


yang nantinya akan mempunyai keterbatasan. Keterbasan dibagi menjadi empat, yaitu
penderitaan, perjuangan, kebersalahan, dan kematian.

Maksudnya meskipun manusia bebas melakukan apapun pada akhirnya manusia akan
dihadapkan dengan dua pilihan yang bercabang. Untuk memilih antara dua pilihan itu
manusia akan memikirkan penderitaan, perjuangan itu sulit atau tidak, menyakiti orang lain
sehingga memiliki kesalahan atau tidak, dan kematian, kalau kematian pasti semua orang
akan mati dan merupakan batas akhir manusia.

ALIRAN TEORI-TEORI HUKUM ALAM


TOKOH HERMAN DOOYEWEERD

Pemikiran-pemikiran tentang hukum dan moral telah berlangsung selama berabad-abad


silam, berawal sebelum abad XX yaitu pada zaman para pemikir Yunani dan Romawi, abad
pertengahan, renaissance dan kebangkitan rasionalisme. Perkembangan pemikiran lebih
lanjut terlihat pada hubungan hukum dan moral dalam abad XX yang diperkaya oleh
pemikiran-pemikiran berbagai aliran dalam filsafat hukum.
Pengertian Hukum dan Moral
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum.
Sampai saat ini menurut Apeldoom sebagaimana dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli
hukum masih mencari tentang apa definisi hukum (Noch suchen die juristen eine Definition zu
ihrem BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat
beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya. Misalnya Ahli hukum Belanda J.
van Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan
yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.
Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf van Jhering yang menyatakan bahwa
hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara.
Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus
berperilaku.
Demikian juga, untuk dapat memahami filsafat hukum Immanuel Kant, pembahasan pada
masalah yang berkaitan dengan moralitas menjadi hal yang sangat penting. Moralitas adalah
sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Dalam
metafisika kesusilaan Kant (1979) ditemukan perbedaan antara legalitas dan moralitas.
Legalitas (Legalitat/ Gesetzmassigkeit) menurut Kant dipahami sebagai kesesuaian atau
ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka, ”The
agreement or non-agreement of an action with the Law, without reference to its Motive is its
Legality”

Kesesuaian dan ketidak-sesuaian belumlah dianggap memiliki nilai-nilai moral, oleh karena
dorongan batin sama sekali diabaikan. Nilai moral baru diperoleh dalam moralitas.
Moralitas dalam pandangan Kant selanjutnya dipahami sebagai kesesuaian sikap dan
perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang itu pandang sebagai
kewajiban kita ”the agreement of an action with Ethical Laws, is its Morality”. Moralitas
barulah dapat diukur ketika seseorang mentaati hukum secara lahiriah karena kesadaran
bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi
hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.
Menurut Kant, manusia harus bertindak baik, karena manusia wajib untuk itu. Tindakan moral
harus datang dari dalam diri manusia sendiri dan tidak datang dari luar manusia. Etika yang
semacam ini adalah etika yang syarat yang menjamin bahwa kehendak seorang pribadi
disesuaikan dengan kehendak pribadi lain menurut norma umum kebebasan. Dalam ruang
lingkup filsafat etika, Kant termasuk pada filsafat etika aliran deontologi, yaitu suatu aliran
filsafat yang menilai setiap perbuatan orang dan memandang bahwa kewajiban moral dapat
diketahui dengan intuitif dengan tidak memperhatikan konsep yang baik. Karena faham
deontologi yang dianutnya, maka Kant berpendapat bahwa perbuatan moral itu dapat
diketahui dengan kata hati, bagi Kant melakukan kewajiban merupakan norma perbuatan
baik. Dia mengambil contoh, perbudakan merupakan perbuatan buruk karena memakai
manusia sebagai alat. Mempekerjakan pembantu rumah tangga dengan kasar merupakan
perbuatan buruk pula, karena menjadikan manusia sebagai hewan.

Menurut Immanuel Kant, hukum moral ini hanya berjalan sesuai dengan kata hati, dalam arti
kata hati menjadi syarat bagi kehidupan moral. Supaya moral ini baik, seseorang harus
berbuat dengan rasa wajib. Kant melihat bahwa, sebagaimana alam bisa berjalan dengan
tertib, maka seperti itu pula dengan moral. Hukum moral harus berjalan secara tertib
pula. Figur fenomenal lain yang juga membahas masalah hukum dan moral adalah Herman
Dooyeweerd yang terkenal dengan filsafat ide ‘kosmonomis’. Untuk memulai filsafatnya,
Dooyeweerd berangkat dari perkataan dalam Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala
kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Kehidupan yang terpancar dari hati
yang telah menyimpang dari penyembahan kepada Tuhan kepada suatu penyembahan
kepada ciptaan (Roma 1:23-25) bukanlah kehidupan yang mulia. Kehidupan yang dijalani
manusia di dalam dosa bahkan dapat disebut sebagai suatu kematian (Efesus 2:1-2). Dari hati
manusia terpancar arah dari tiap-tiap aspek realitas ciptaan Tuhan. Dooyeweerd membagi
realitas ke dalam 15 aspek (kuantitatif, spasial, kinematis, fisik, biotik, sensori, logis, historis,
linguistik, sosial, ekonomis, estetis, yustisi, etis, fidusiari) yang saling terkait secara enkaptik.
Perlu digaris-bawahi di sini, pembagian ke dalam 15 aspek ini bukan dikenalkan kepada sisi
entitas dari ciptaan, tetapi pada sisi hukumnya. Menurut filsafat ide kosmonomis
Dooyeweerd, ada 15 aspek dari pengalaman hidup manusia yang semuanya perlu
diperhatikan oleh pendidikan agar manusia dapat memaknai pengalaman hidupnya secara
utuh. Secara keseluruhan semua aspek tersebut saling berelasi.

Dooyeweerd membedakan antara wilayah normatif dan anormatif.[7] Hal ini berarti bahwa
aspek-aspek lima yang pertama yaitu kuantitatif, spasial, kinematis, fisik, biotik, sensori
adalah aspek yang anormatif, lingkup hukumnya tak terhindarkan. Manusia dengan
kecerdasannya bisa berupaya untuk memanipulasi aspek-aspek ini, tetapi tidak bisa memilih
untuk tidak menaatinya, artinya harus mematuhi hukum korelatif mereka. Aspek-aspek 7
hingga 15 yaitu logis, historis, linguistik, sosial, ekonomis, estetis, yustisi, etis, fidusiari adalah
aspek-aspek yang manusia bisa pilih untuk abaikan dan bahkan nafikan dalam kehidupannya.
Inilah aspek-aspek yang Dooyeweerd klasifikasikan sebagai normatif. Selanjutnya, hukum
menjadi norma. Meskipun norma-norma telah ditetapkan oleh Allah pada prinsipnya dalam
struktur dari lingkup masing-masing, mereka harus ditemukan dan diterapkan. Dengan
demikian, hukum keadilan atau cinta, misalnya, tidak mengandung rumusan yang tepat atas
mereka makna dalam setiap contoh konkret. Oleh karena itu, dalam hal ini yurisprudensi
adalah ilmu normatif.

Norma, menurut Herman Dooyeweerd, adalah sesuatu yang berbeda dengan hukum alam.
Hukum alam, seperti gravitasi tidaklah bisa dilanggar; manusia pasti akan jatuh apabila ia
melompat dari tempat yang tinggi. Norma tidaklah demikian, manusia mempunyai kebebasan
untuk mentaati atau melanggar norma tersebut. Tetapi, pelanggaran norma tidaklah bisa
lepas dari sanksi; seperti kelalaian sebuah negara di dalam bidang pertahanan akan
mendatangkan hukuman bagi dirinya di saat perang, demikian juga pelanggaran norma akan
mendatangkan dampak negatif terhadap pelanggarnya pada suatu saat tertentu

Dengan demikian hukum dapat didefinisikan sebagai norma-norma yang kompleks yang
mengatur hubungan antara manusia dengan institusinya dengan cara menyeimbangkan
secara seksama kepentingan mereka yang selaras dengan struktur sosial sebagaimana
diberikan dalam penciptaan. Hukum adalah garis batas pemisah Allah dari kosmos. Allah
berada di atas hukum, segalanya tunduk pada hukum. Oleh karena itu, gagasan hukum tidak
dapat pernah lepas dari gagasan sumber hukum dalam kehendak kedaulatan Allah dan ide
dari subjek hukum. Hukum dan subjek adalah istilah yang saling berhubungan:

“Law is the boundary line dividing God from the cosmos. God is above law; everything else is
subject to law. The idea of law can thus never be separated from the idea of the source of law
in God’s sovereign will and the idea of the subject of law. Law and subject are correlative
terms”.
Relasi Hukum dan Moral

Sebagaimana kita ketahui, para pemikir sependapat bahwa hukum dan moral memiliki
hubungan yang erat, yaitu hukum seharusnya adalah hukum yang bermoral dan moral adalah
sumber nilai untuk mencapai kebaikan yang secara alamaiah dirindukan oleh manusia.
Manusia yang dianggap patut mendapat pujian dan penghormatan, adalah manusia yang
memiliki sifat-sifat yang terpuji, dengan kata lain manusia yang bermoral dan beretika. Kata
‘bermoral’ mengacu bagaimana suatu masyarakat yang berbudaya berperilaku. Sedangkan
‘beretika’ mengacu pada bagaimana seharusnya ia berperilaku. Orang-orang yang lurus, jujur,
terus terang, dan dapat dipercaya, kata-katanya sesuai dengan perbuatannya, merasa puas
dengan apa yang mereka miliki secara sah, cepat melaksanakan tanggung jawab terhadap
orang lain, hidup dengan damai dan membiarkan orang lain hidup dengan damai, orang yang
seperti ini selalu merupakan inti dari setiap masyarakat manusia yang baik Setiap manusia
mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan
perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan.

Yang dimaksud dengan hati nurani dalam hal ini adalah penghayatan tentang baik atau buruk
berhubungan dengan tingkah laku konkrit kita. Hati nurani ini memerintahkan atau melarang
kita untuk melakukan sesuatu kini dan disini. Ia tidak berbicara tentang yang umum,
melainkan tentang situasi yang sangat konkrit. Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan
bahwa manusia mempunyai kesadaran untuk mengikuti hal itu. Sifat moral bukanlah sesuatu
yang bersifat lahiriah belaka tetapi merupakan unsur dalam kesadaran kita yang menyertai
kesadaran tentang norma-norma. Sifat moral suatu norma merupakan sifat yang kita sadari
apabila kita masuk ke dalam suatu keadaan dimana norma itu perlu dipergunakan. Oleh
karena itu etika harus bertolak dari fenomena kesadaran moral.

Sedangkan menurut Dooyeweerd, adalah tidak benar ketika kita berfikir bahwa norma moral
sebagai sesuatu yang autonomous dan norma hukum sebagai sesuatu
yang heteronomous yang dikendalikan otoritas eksternal, sementara itu moralitas hanya
terikat pada kesadaran individu. Norma etika tidak hanya ditentukan oleh dan untuk manusia
sendiri dalam bingkai kedaulatan yang independen, tapi seharusnya, sebagaimana norma
hukum ditemukan dan berasal dari petunjuk yang diberikan oleh Tuhan.
Walaupun demikian, menurut Kant, ada perbedaan antara hukum dan moral. Sah menurut
hukum, belum tentu sah menurut hukum moral. Sah menurut hukum, yang menurut Kant
dinamakan Legalitaet atau Gesetzmaegkeit, adalah suatu tindakan yang mempunyai
kesesuaian atau tidak kesesuaian dengan hukum lahiriah. Akan tetapi tindakan tersebut
belum dapat dikatakan mempunyai nilai moral, karena tindakan itu dapat dipengaruhi oleh
keinginan, meskipun merupakan dorongan batin, misalnya rasa belas kasihan, rasa takut atau
ingin mendapatkan keuntungan. Meskipun tindakan itu baik, namun masih ada motivasi
tertentu, masih ada “pamrih”, maka tindakan ini belum dapat dikatan bernilai moral. Perlu
dicatat bahwa tindakan yang belum mempunyai nilai moral, tidak berarti amoral atau
bertentangan dengan moral. Tindakan semacam ini menurut argument Kant dinamakan
legalitas, yaitu sesuai dengan hukum. Suatu tindakan bemilai moral apabila tindakan tersebut
dilaksanakan karena orang merasa wajib dan karena adanya kesadaran untuk melaksanakan
kewajiban. Juga tidak karena adanya tekanan dari luar ataupun karena adanya keinginan
tertentu. Inilah yang dinamakan Kant moralitas.

Akhirnya, hal yang terpenting dari pemikiran Immanuel Kant dan Dooyeewerd adalah
perlunya mengaplikasikan pemikiran-pemikiran mereka terutama berkaitan dengan hukum
dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di Indonesia. Apabila hal ini
terwujud, tentunya kita akan menjumpai manusia-manusia, terutama para pejabat dan
birokrat yang pada hakikatnya sebagai pembuat hukum (legislator) yang bermoral, beretika
dan taat pada hukum, bukan sebaliknya legislator yang justru tidak bermoral dan melanggar
hukum seperti yang sering kita jumpai saat ini.

Anda mungkin juga menyukai