Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori


memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum masalah yang kita bicarakan
secara lebih baik.Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan
dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian
memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan masalah yang dibicarakannya.
Teori juga bisa mengandung subyektivitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomen
yang cukup komplek seperti hukum. Oleh karena itulah muncul berbagai aliran dalam
ilmu hukum,sesuai dengan pandangan oleh orang-orang yang bergabung dalam aliranaliran tersebut
Adapun Pengertian Teori Hukum tidak mudah memberikan definisi tentang teori
hukum yang singkat, sederhana, definitif, tetapi komprehensif (Sudikno Mertokusumo),
dan pendapat lain mengatakan tidak mudah memberikan definisi teori hukum yang dapat
diterima umum (Meuwissen dalam van Dijk, 1985: 429).
-

Kata teori hukum adalah terjemahan dari legal theory, Rechtstheorie

atau rechtstheorie.
-

Ada juga yang menyebut teori hukum dengan istilah jurisprudence, legal

philosophy, atau theory of justice


Bicara tentang Teori Hukum, berarti bicara tentang hukum, akan tetapi perlu dipahami
bahwa Teori Hukum tidak identik dengan Ilmu Hukum. Teori Hukum bukan Ilmu
Hukum, dan sebaliknya Ilmu Hukum bukan Teori Hukum. Ilmu Hukum mempelajari
hukum positif (jus constitutum). Ilmu Hukum adalah teorinya hukum positif atau teorinya
praktik hukum. Sedang Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum. Dengan kata lain,
Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum.
Teori hukum murni (the Pure Theory of Law) adalah teori hukum positif tetapi bukan
hukum positif suatu sistem hukum tertentu melainkan suatu teori hukum umum (general
legal theory). Sebagai suatu teori tujuan utamanya adalah pengetahuan terhadap
i

subyeknya untuk menjawab pertanyaan apakah hukum itu dan bagaimana hukum dibuat.
Bukan pertanyaan apakah hukum yang seharusnya (what the law ougth to be) atau
bagaimana seharusnya dibuat (ought to be made). Teori hukum murni adalah ilmu hukum
(legal science), bukan kebijakan hukum (legal policy).
Ide mengenai Teori Hukum Murni diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum
terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen. Kelsen lahir di Praha pada tanggal 11 Oktober
1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada tahun
1906, Kelsen mendapatkan gelar doktor dalam bidang hukum. Kelsen memulai karirnya
sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada
pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi,
dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan
bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan
sebuah bentuk kemurnian. Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley.
Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan
dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui The Pure
Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hukum, sosiologi, teori
politik dan kritik ideologi. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia
pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of
International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting
dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi
yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional,
pembuatan dan aplikasi.
Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek
yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari
filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan
metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan
sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus
dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.
Pembahasan utama Kelsen dalam teori hukum murni adalah membebaskan ilmu hukum itu
dari unsur ideologis; keadilan, misalnya oleh Kelsen dipandang sebagai konsep ideologis.
Kelsen melihat dalam keadilan sebuah ide yang tidak rasional, dan teori hukum murni, ia
mempertahankan, tidak bisa menjawab pertanyaan tentang apa yang membentuk keadilan
karena pertanyaan ini sama sekali tidak bisa dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus
diidentikkan dengan legalitas. Dalam arti tempat keadilan berarti memelihara sebuah tatanan
ii

(hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya


B. KERANGKA TEORI
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun
atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis, kerangka teori yang
dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, sebagai dalam penulisan ini.
Teori hukum murni menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum positif. Teori ini
berusaha menjawab pertanyaan "apa hukum itu?" tetapi bukan pertanyaan "apa hukum itu
seharusnya?". Teori ini mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata dan berusaha
melepaskan ilmu pengetahuan hukum dari campur tangan ilrnu pengetahuan asing seperti
psikologi dan etika. Kelsen memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan
dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi , sosiologi, sejarah, politik, dan
bahkan juga etika. Semua unsur ini termasuk 'ide hukum' atau ' isi hukum' . Isi hukum tidak
pernah lepas dari unsur politik, psikis, sosial budaya, dan lain-lain.

C. PENGGUNAAN JUDUL
1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai Teori Hukum Murni
2. Untuk mengetahui Implementasi Teori Hukum Murni di Indonesia serta kenyataan di
lapangan
3. Sebagai sumbangan pemikiran masyarakat dan Pemerintah

iii

D. METODE PENELITIAN
Pada penelitian hukum ini, bidang ilmu hukum dijadikan sebagai landasan ilmu
pengetahuan induknya. Oleh karena itu maka penelitian yang digunakan adalah penelitian
hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode pendekatan
yuridis empiris, yaitu mengkaji bagaimana ketentuan normatif diwujudkan kenyataan

E.

PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka agar permasalahan dapat dibahas secara
operasional sesuai dengan yang diharapkan maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:

1.

Bagaimanakah Perkembangan Pemikiran Teori Hukum Murni?

2.

Bagaimanakah Implementasinya Teori Hukum Murni di Indonesia ?

iv

BAB II
PEMBAHASAN
A.HUKUM DALAM ARTI FORMAL
Pengertian hukum menyatakan hukum dalam arti formalnya, yaitu sebagai peraturan
yang berlaku secara yuridis.Menurut Kelsen, inilah hukum dalam arti yang benar, hukum
yang murni (das reine Recht). Menurut Hans Kelsen, hukum adalah suatu tatanan perbuatan
manusia. Tatanan sendiri adalah suatu sistem hukum, dapat diartikan bahwa hukum
merupakan sistem yang mengatur tatanan perbuatan manusia. Selanjutnya menurut Hans
Kelsen, tidak serta merta tatanan itu berkaitan dengan perbuatan manusia, akan tetapi bisa
juga di luar manusia, misalnya berhubungan dengan peristiwa-peristiwa alam. Lainnya, Hans
Kelsen membedakan antara tatanan hukum dan tatanan lainnya, sebagaiamana tatanan moral
dan agama. (Kelsen, 2011: 4)
Ilmu Hukum adalah ilmu normatif. Hukum semata-mata berada dalam
kawasan dunia Sollen.Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan
karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan
akal inilah yang menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau
permulaan.Bagian lain dari teori Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai
Grundnorm.Kecuali berfungsi sebagai dasar juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh
setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada didalam kawasan
rejim grundnorm tersebut harus mengait kepadanya, oleh karena itu bisa juga dilihat
sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem
tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum
Mazhab Wina mengetengahkan, dalam teori hukum pencarian pengetahuan
yang murni, d e n g a n k a t a l a i n t e o r i h u k u m h a r u s m u r n i f o r m a l . I l m u
h u k u m a d a l a h i l m u normatif dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan
dunia sollen.
Dengan Demikian maka :
Hukum adalah sebuah Sistem Norma.
Norma merupakan pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das solen,
dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif.
v

Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan seharusnya


tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.

Tatanan hukum merupakan sistem norma, yaitu hirarki norma yang mempunyai
kevalidan, artinya norma harus terlahir dari norma di atasnya yang mempuyai kevalidan.
Adapun norma yang tidak diperoleh dari norma valid lain yang lebih tinggi disebut dengan
norma dasar. Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat diantara
semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan norma. (Kelsen, 159)
Dilihat dari hakikat norma dasar, maka dibagi menjadi dua jenis tatanan hukum (norma)
atau sistem yang berbeda: sistem norma statis dan dinamis. Dalam sistem norma statis, norma
itu valid dan itu berarti kita menganggap bahwa para individu yang perbuatannya diatur
oleh norma-norma itu, harus berbuat sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh norma-norma
tersebut, berdasarkan isinya: isinya memiliki kualitas yang terbukti secara langsung yang
menjamin validitasnya, atau dalam istilah lain, norma itu valid karena seruannya yang
inheren. Ciri dari norma statis adalah dimana norma khususnya dapat diperoleh melalui cara
kerja intelektual yakni melalui penyimpulan dari yang umum kepada yang khsusus. (Kelsen,
161)
Berbeda dengan norma statis, dimana norma-norma yang beraneka ragam tidak dapat
diperoleh dari norma dasar melalui suatu tatanan kerja intelektual. Norma dasar tersebut
hanya meberikan otoritas tertentu, yang pada gilirannya memberikan wewenang
pembentukan norma kepada sejumlah otoritas lain. Norma- norma dari sistem dinamis harus
lahir melalui tindakan-tindakan kehendak dari para individu yang telah diberi wewenang
untuk membentuk norma-norma atau suatu norma yang lebih tinggi. Pemberian wewenang
ini merupakan pendelegasian. Norma yang membentuk kekuasaan didelegasikan dari suatu
otoritas kepada otoritas lain, otoritas yang pertama adalah otoritas yang lebih tinggi , otoritas
yang kedua adalah otoritas yang lebih rendah. Norma dasar dari suatu sistem yang dinamis,
merupakan peraturan yang pundamental dan menjadi rujukan bagi pembentukan normanorma dari sistem tersebut. (Kelsen, 163)
Menurut Kelsen, yang dimaksud tatanan hukum adalah bentuk norma yang dinamis.
Karena pada dasarnya norma tidak valid, disebabkan norma itu sendiri, atau dengan kata lain
norma dasar mempunyai sisi yang kekuatan pengikatnya terbukti dengan sendirinya. Norma
hukum tidak valid karena seruannya yang inheren. Secara tidak langsung, Kelsen merujuk
norma tidak valid kepada jenis yang statis.
vi

Dari pernyataannya di atas, kelsen menyatakan bahwa hukum haruslah selalu positif, dan
positivisme hukum terletak pada fakta bahwa hukum dibuat dan dihapus oleh tindakan
manusia bukan yang lain. Penjelasan sekaligus membedakan antara hukum positif dan hukum
alam. Menurutnya norma dasar dari suatu tatanan yang positif adalah peraturan pundamental
tetang pembuatan berbagai norma dari tatanan hukum positif itu sendiri. (Kelsen, 164)
Selanjutnya, terkait dengan tata urutan norma-norma, maka dibedakan menjadi norma
lebih tinggi dan norma lebih rendah, dalam arti hubungan antara norma yang membentuk
norma lain, dapat digambarkan sebagai hubungan antara superordinasi dan subordinasi yang
merupakan kiasan keruangan. (Kelsen, 179)
Tatanan hukum yang difersonifikasikan dalam bentuk Negara tidaklah bentuk norma yang
satu sama lain dapat dikoordinasikan, akan tetapi berbentuk hirarki atau tingkatan-tingkatan
yang berbada. Jelasnya, dengan mempostulasikan norma dasar, maka konstitusi menempati
urutan tertinggi dalam hukum nasional. Konstitusi disini diartikan dalam berntuk meteril
bukan formal. Konstitusi formal adalah suatu dokumen resmi, yaitu seperangkat norma
hukum yang dapat dirubah dibawah pengawasan ketentuan-ketentuan khusus, yang tujuannya
adalah untuk menjadikan perubahan norma-norma ini lebih sulit. Sedangkan dalam arti
materil, maka konstitusi terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan normanorma hukum yang besifat umum, khususnya perundang-undangan. Selanjutnya, selain
norma umum, teradapat pula norma individu yang dibentuk dari norma umum yaitu ketika
seorang hakim dipengadilan memproses kasus, maka yang digunaknnya adalah norma umum,
sedangkan ketika dia memutuskan putusan atau sanksi maka dia telah membuat norma
individu. (Kelsen, 180)

B .NILAI NORMATIF HUKUM


Ketika mengakui hukum sebagai teknik sosial yang spesifik, sebagai a coercive order,
kita dapat melawankannya dengan tatanan sosial lain yang sama-sama merupakan bagian
dari masyarakat tetapi berbeda artinya. Hukum adalah suatu alat sosial yang spesifik, bukan
tujuan. Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif
agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan
aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana
norma hukum.
Misal: Ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung
yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
vii

.
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Kelsen
mengatakan bahwa perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya
efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati). Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya
dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkalikali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu
mengubah kandungan isi Norma Dasar.
Terdapat keberatan terdapat definisi hukum sebagai perintah yang memaksa didasarkan
pada fakta adanya hukum yang tidak memberikan sanksi, tetapi hanya memberikan otoritas.
Adalah benar terdapat bagian hukum yang tidak mengatur perbuatan dengan menyediakan
sanksi sebagai konsekuensinya. Namun harus diingat bahwa aturan yang dimaksud adalah
aturan prosedural, bukan material. Hukum modern sangat jarang sekali mengatur suatu
perbuatan tertentu tanpa membuat tindakan sebaliknya sebagai kondisi bagi suatu sanksi.
Selain itu, definisi hukum yang tidak menentukan hukum sebagai perintah yang memaksa
harus ditolak karena : hanya dengan memasukkan elemen sanksilah hukum dapat dibedakan
secara jelas dengan tatanan sosial lainnya; paksaan adalah faktor yang sangat penting sebagai
pengetahuan hubungan sosial dan menjadi karakter utama dari hukum; dan adanya sanksi
adalah karakter utama dari hukum modern dalam hubungannya antara hukum dan negara.
Pemikiran yang dikemukakan Kelsen meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum,
negara, dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten
berdasarkan logika hukum secara formal.
Norma dasar suatu tata aturan hukum dipostulasikan sebagai aturan akhir tentang
penetapan dan pembatalan (menerima dan kehilangan validitas) norma dalam tata aturan
hukum tersebut. Hukum adalah selalu hukum positif, dan positivisasi tersebut berdasarkan
pada fakta bahwa hukum tersebut dibuat dan dibatalkan dengan tindakan manusia yang bebas
dari sistem moralitas dan norma sejenis lainnya. Hal ini membedakan antara hukum positif
dengan hukum alam yang dideduksikan dari norma dasar tidak nyata yang dianggap sebagai
ekspresi dari kehendak alam atau rasio alam. Norma dasar tata aturan hukum positif adalah
semata-mata aturan fundamental di mana diatur pembuatan berbagai macam norma. Inilah
titik awal proses pembuatan hukum dan secara keseluruhan memiliki karakter dinamis.
Apapun isi dari suatu norma, dan apapun perbuatan manusia memungkinkan untuk menjadi
isi suatu norma, dapat memperoleh validitasnya. Suatu norma adalah valid dan mengikat
viii

hanya berdasarkan persyaratan bahwa telah dibuat dalam bentuk tertentu dan lahir dengan
prosedur dan aturan tertentu. Norma hukum mungkin dibuat dengan cara-cara yang berbeda;
norma umum melalui kebiasaan atau legislasi, norma individual melalui tindakan judisial dan
administratif atau transaksi hukum. Hukum selalu dibuat dengan suatu tinda- kan secara
sengaja sebagai pembuatan hukum, kecuali dalam kasus ketika hukum berasal dari kebiasaan.
Kebiasaan adalah tindakan umum yang dilakukan secara sadar dan diakui sebagai norma
mengikat dan bukan merupakan pilihan bebas. Inilah persyaratan yang disebut dengan opinio
juris sive necessitatis. Penafsiran atas persyaratan ini adalah bahwa individu yang
perbuatannya diatur oleh kebiasaan harus menyadari perbuatannya sebagaimana ditentukan
oleh aturan hukum. Mereka harus percaya bahwa mereka melaksanakan kewajiban hukum
atau memenuhi hak hukum. Doktrin tersebut adalah tidak benar karena aturan hukum yang
dibuat melalui tindakannya tersebut tidak dengan sendirinya merupakan aturan hukum.
Di sini dapat dibedakan antara hukum undang-undang (statutory law) dan hukum
kebiasaan (customary law) sebagai dua bentuk dasar hukum. Hukum undang-undang harus
dipahami sebagai hukum yang dibuat dengan cara selain kebiasaan, yaitu oleh legislatif,
yudisial, atau tindakan administratif, atau oleh transaksi hukum, khususnya kontrak dan
perjanjian internasional. Raz memahami pemikiran Kelsen dengan membagi dua macam
norma, yaitu norma original dan norma derivatif, berdasarkan model pembuatan dan
berhentinya sebagai norma. Norma original adalah norma dasar yang dibuat dengan cara
dipresuposisikan valid. Sedangkan norma derivatif dibuat dengan dua macam kondisi, yaitu
(1) adanya eksistensi suatu norma tertentu (disebut sebagai a norm creating norm); dan (2)
terjadinya peristiwa tertentu (norm creating events). Berhentinya status norma terjadi dalam
dua cara, yaitu tidak pernah berlaku atau pernah berlaku di suatu waktu tetapi kemudian
gagal. Norma dasar dari suatu tata hukum nasional tidak mengimplikasikan bahwa tidak
mungkin untuk memasuki wilayah dibelakang norma. Tentu saja seseorang mungkin bertanya
mengapa seseorang harus menghormati konstitusi pertama sebagai suatu norma yang
mengikat. Jawabannya mungkin bahwa bapak konstitusi pertama diberi kekuasaan oleh
Tuhan. Namun karakteristik positivisme hukum adalah bebas dari pembenaran religius
terhadap tata hukum. Hipotesis akhir positivisme adalah bahwa norma yang memberikan
otoritas pada legislator pertama. Norma dasar hanyalah presuposisi yang dibutuhkan oleh
penafsiran positivis terhadap materi hukum.
Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma
ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena
ix

dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presepsi ini tidak ada
tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.
Validitas norma hukum mungkin terbatas waktunya, dan adalah penting untuk
memperhatikan bahwa akhir sebagaimana awal validitas ini ditentukan hanya oleh tata aturan
di mana norma tersebut ada. Norma tetap valid sepanjang belum dinyatakan invalid dengan
cara yang ditentukan oleh tata hu- kum itu sendiri. Inilah prinsip legitimasi.

Prinsip

legitimasi ini tidak berlaku pada kasus revolusi atau juga disebut dengan coup dEtat. Suatu
revolusi terjadi ketika tata hukum suatu komunitas ditiadakan (nullified) dan diganti dengan
suatu tata aturan baru dengan cara yang tidak dapat dilegitimasi dengan tata aturan yang
digantikan tersebut. Secara hukum adalah tidak relevan apakah revolusi itu berdarah atau
tidak, atau dilakukan oleh massa atau oleh elit pemerintahan. Dalam pandangan hukum,
kreteria utama suatu revolusi adalah bahwa tata aturan yang berlaku disingkirkan dan
digantikan dengan tata aturan baru dengan cara yang tidak diatur dalam tata aturan pertama.
Biasanya, orang yang berhasil melakukan revolusi hanya meniadakan konstitusi dan hukum
tertentu yang memiliki signifikansi besar secara politik dan menggatinya dengan norma lain.
Sedangkan sebagian besar bagian dari tata hukum lama tetap valid dalam bingkai tata aturan
yang baru.
C. TEORI HUKUM MURNI
Menurut asal-usulnya, Teori Hukum Murni merupakan suatu bentuk pemberontakan
yang

ditujukan

terhadap

Ilmu

Hukum

yang

Ideologis,

yaitu

ajaran

yanghanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan suatu rezim dari Negaranegara totaliter
.

Teori ini hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-

peraturan yang ada.Menurut Kelsen teori hukum murni adalah teori hukum positip. Ia
berusaha
untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan apakah hukumnya? dan bukanbagaimana
kah hukum yang seharusnya?. Karena titik tolak yang demikian itulah maka
Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya

dipersoalkan

hendaknya

dikeluarkan dari ilmu hukum. Dasar pokok teori Kelsen adalah sebagai berikut :
1.

Tujuan

teori tentang

hukum, adalah

dan meningkatkankesatuan (unity).

untuk

mengurangi

kekalutan

2.

Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah penget ahuantentang
hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.

3.

Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.

4.

Sebagai suatu teori tentang norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektivitas norma-norma hukum.

5.

Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari
isiyang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.

6.

Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positip tertentu seperti
antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Teori Kelsen dapat dirumuskan
sebagai suatuanalisis tentang struktur hukum posistip. Kelsen pada dasarnya ingin
menciptakan suatuilmu pengetahuan hukum murni, memisahkan dari unsur-unsur nonhukum.Kelsen juga menolak untuk meberi definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh
karena

definisi

yang

demikian

itu

menggunakan

pertimbangan-pertimbangan

subjektif dan politis. Dalam Teori Kelsen sejak munculnya ide tentang Grundnorm maka
selanjutnya proses konkretisasi setapak demi setapak, mulai dari norma dasar dan penerapann
ya atas suatu situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufen theory, yaitu yangmelihat tata
hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, mulai darinorma-norma
yang bersifat umum sampai kepada yang lebih konkrit.
Ajaran hukum murni (Reine Rechtlehre)
adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari sosiologis, moral, politis, historis,d a n
s e b a g a i n y a . H u k u m a d a l a h s u a t u k e h a r u s a n ya n g m e n g a t u r t i n g k a h l a k u
manusia sebagai mahluk rasional. Baginya tidak mempersoalkan hukum
i t u dalam kenyataannya, tetapi mempersoalkan apa hukumnya. Bahkan dalam ajaran hukum
murni ini menolak keadilan dijadikan pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Hans
Kelsen keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-irasional.
b.
Ajaran Stufenbau Thery.
Ajaran ini pada mulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl kemudian dipopulerkan oleh Hans
Kelsen. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma yang
berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu
norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma s e m a k i n abstrak sifatnya,
sebaliknya semakin rendah suatu norma semakin kongkrit sifatnya. Norma yang paling tinggi
menduduki puncak piramida disebut Grundnorm atau unsprungnorm. Teori jenjang melihat
hukum itu identik dengan perundang-undangan. Menurut teori ini di luar perundangxi

undangan tidak termasuk hukum.Teori jenjang kemudian dihubungkan sistem hukum


Indonesia berdasar ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR
mengenaisumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan perundang-undangan RI didasari
oleh Stuffenbau Theory dengan ciri formal legalistik.
-

The Pure Theory of Law :


1. The pure theory of law menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris
dan keadilan transcendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum.
2. Hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas super-human, tetapi merupakan
suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia.
3. The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum.
4. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsipprinsip meta-juridis, tetapi melalui suatu hipotesis yuridis, yaitu suatu norma dasar,
yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual.
5. The pure theory of law berbeda dengan analytical jurisprudence dalam hal the pure
theory of law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan masalah
konsep-konsep dasar, norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan hubungan
antara negara dan hukum.
6. Mengapa kewajiban yang terletak dalam kaidah hukum adalah suatu kewajiban
yuridis? Menurut penganut positivisme, hal ini tersangkut dengan suatu keharusan
ekstrem, yaitu karena ada paksaan/ancaman dari pihak luar jika tidak menaati.
7. Dasarnya adalah bahwa asal mula segala hukum adalah undang-undang dasar negara.
Dalam relasi negara ada penguasa dan ada rakyat, ada yang memberi perintah dan ada
yang harus menaati perintah.

D. KRITIK TERHADAP POKOK-POKOK PEMIKIRAN TEORI HUKUM HANS


KELSEN
Kritik terhadap teori hukum yang dikemukakan Kelsen pada umumnya antara lain terkait
dengan metode formal yang digunakan dalam Pure Theory of Law, konsep hukum sebagai
perintah yang memaksa namun tidak secara psikologis, postulasi validitas norma dasar,
hubungan hukum dan negara, dan masalah konsep hukum internasional sebagai suatu sistem.
Salah satunya adalah Hari Chand dalam buku-nya Modern Jurisprudence. Ia

memberikan kritik terhadap teori yang dikemukakan oleh Kelsen tersebut dari segi:

xii

1. Tentang Norma Dasar


Menurut Chand, konsep norma dasar yang dikemukakan oleh Kelsen tidak jelas. Yang
disebut dengan norma dasar tersebut bukan merupakan hukum positif tetapi suatu
presuposisi pengetahuan yuridis, atau sesuatu yang meta-legal tetapi memiliki suatu fungsi
hukum. Sulit untuk melihat konstribusi Pure Theory of Law terhadap suatu sistem dengan
mengasumsikan hukum berasal dari norma dasar yang tidak dapat ditemukan.
Norma dasar yang dikemukakan oleh Kelsen tidak lebih dari suatu presuposisi moral yang
memerintahkan kepatuhan. Julius Stone menduga bahwa norma dasar tersebut hanya
merupakan norma puncak (apex norm) dan digunakan untuk tujuan seperti konstitusi
menggantikan supremasi parlemen. Penekanan bahwa kita harus mematuhi konstitusi
harus didukung oleh landasan fakta sosial, moralitas dan etika umum masyarakat. Tidak
ada realitas makna lain yang dapat diterapkan. Validitas suatu norma dasar pada akhirnya
adalah suatu prinsip moral atau tidak bermakna sama sekali.
2. Metodologi
Suatu sistem hukum bukan merupakan koleksi abstrak dari kategori yang mati, tetapi suatu
susunan hidup yang bergerak secara konstan dan terdapat bahaya yang besar jika hanya
melihat potongan-potongan dan menganalisis masingmasing bagian. Tidak akan
didapatkan gambaran menyeluruh yang menunjukkan bagaimana sistem tersebut
beroperasi. Pendekatan Kelsen hanya pada satu sisi ketertarikan, yaitu pada bentuk hukum
sembari meletakkan isinya sebagai hal yang sekunder.
3. Kemurnian
Kelsen sangat menekankan pada analisis kemurnian sehingga pendekatan lain terhadap
penyelidikan yuridis diabaikan. Metodenya menjadi tidak murni sepanjang mengenai
norma dasar karena dia gagal menjelaskan bagaimana norma tersebut dan eksis. Untuk
menjelaskan hakekat norma dasar membutuhkan pengetahuan lain dari bidang lain seperti
sejarah, ilmu politik, ekonomi, dan lain-lain yang ditolak oleh Kelsen. Pendekatan tidak
murni juga digunakan dalam pure theory. Pada level norma subordinat, dalam menentukan
fakta di mana norma harus diterapkan, fakta harus ditentukan, pembuktian dan
penghakiman mengambil peran. Penemuan hukum ada bersama penemuan fakta. Teori
Kelsen mengasumsikan bahwa norma puncak adalah suatu data yang kadang-kadang dapat
ditemukan. Namun jelas bahwa norma puncak ditentukan dan dipastikan dengan metode
xiii

yang tidak murni. Penentuan tingkatan norma sebagai bentuk kehendak hukum yang
berbeda dengan sendirinya mengimplikasikan adanya valuasi sosial tertentu.

4. Keadilan
Salah satu dalil Pure Theory of Law adalah bahwa hukum tidak dapat menjawab
pertanyaan apakah suatu hukum itu adil atau tidak adil, atau apakah keadilan itu. Keadilan
adalah sesuatu yang di luar rasio. Keadilan ditolak menjadi jiwa dari hukum atas nama
kemurnian hukum. Apakah dengan begitu Kelsen tidak kehilangan pusat dari
permasalahan yang dibahas? Zaman ini menangis karena masalah keadilan, baik sosial
maupun politik, namun Kelsen menolak dan menyatakannya sebagai sesuatu ide yang
irasional. Teori Kelsen tidak berbicara apapun tentang ketidakadilan berupa penindasan
kulit putih minoritas terhadap kulit hitam di Afrika Selatan atau penindasan terhadan etnis
asia di Inggris, demikian pula dengan ketidakadilan ekonomi dan politik dalam hubungan
internasional. Apa artinya suatu studi jika substansinya diabaikan? Teori Kelsen hanyalah
kulit dari sistem hukum, meninggalkan kehidupan dan aktivitasnya pada sosiolog dan
ilmuwan sosial lain. Teorinya adalah bentuk lain dari kekaburan dan penghindaran.
5. Keberlakuan
Kelsen tidak memberikan sesuatu yang dapat digunakan untuk membedakan keberlakuan
suatu norma tunggal dan keberlakuan sistem hukum secara keseluruhan. Apa yang
dimaksud dengan keberlakuan minimum? Bagaimana hal itu dapat dibuktikan selain
dengan suatu penyelidikan terhadap fakta-fakta sosial dan politik? Jika Kelsen menerima
efektifitas sebagai suatu faktor validitas, mengapa tidak juga menerima faktor yang lain
seperti mralitas, ekonomi, dan politik. Menurut kelsen, keberlakuan adalah suatu kondisi
bagi validitas. Pertanyaan krusialnya adalah bagaimana menentukan keberlakuan tersebut?
Misalnya penguasa militer mengambil alih kekuasaan dan menahan perdana menteri dan
presiden negara tersebut dan kemudian mengumumkan bahwa dialah kepala negara saat
itu. Dia mengesampingkan konstitusi dan menetapkan suatu keputusan yang
ditandatanginya. Bagaimanakah dapat menentukan eksistensi suatu norma dasar dalam
kondisi seperti ini? Dengan dasar apa suatu penilaian tentang keberlakuan atau
ketidakberlakuan suatu sistem hukum?
6. Hirarki Norma
xiv

Terdapat sumber hukum seperti kebiasaan, undang-undang, dan preseden, yang salah
satunya tidak dapat dikatakan lebih tinggi dari yang lain. Di samping norma, dalam sistem
hukum juga terdapat standar, prinsip-prinsip, kebijakan, asas (maxim), yang sama
pentingnya dengan norma, namun tidak diperhatikan oleh Kelsen.
E. IMPLEMENTASI TEORI HUKUM MURNI DI INDONESIA
Indonesia mengalami krisis dalam penegakan hukum, mulai dari tahap formulasi,
implementasi dan eksekusi. Selanjutnya permasalahan seputar sistem hukum yang carut
marut meliputi kultur, struktur dan substansi, membuat Negara ini diambang kehancuran..
Secara umum, permasalahan hukum di Indonesia tidak lepas dari pencarian jati diri-model
wajah hukum yang cocok-dimana sampai saat ini hukum Indonesia masih berupa topeng
yang berbeda dengan karakter pemerannya. Oleh karenanya diperlukan pembaharuan terus
menerus, dengan harapan hukum yang berlandaskan Pancasila dapat terwujud dan
mendatangkan kemaslahatan sesuai dengan tujuan nasional.
Melihat wajah hukum kita saat ini, persoalan yang timbul tidak lepas dari kelemahan
hukum yang dipengaruhi faktor lain di luar hukum. Jika dilihat dari sudut pandang politik
hukum, maka mulai dari tahapan fomulasi, implementasi dan eksekusi, hukum akan selalu
dipengaruhi faktor-faktor di luar hukum yang sebenarnya melemahkan eksistensi hukum itu
sendiri. Oleh karenanya, untuk menghindari konflik, maka hukum harus dimurnikan dari
unsur-unsur non hukum, yang dalam pembahasan ini disebut teori hukum murni.
Secara teoritis, teori hukum murni Hans Kelsen merupakan respon dari hukum kodrat,
sosiologi hukum dan analytical jurisprudence. Dalam teori hukum umumnya, Hans Kelsen
membagi konsep hukum kepada nomostatis dan nomodinamis. Nomostatis berarti perbuatan
manusia yang diatur oleh hukum, sedangkan nomodinamis terkait dengan hukum yang
mengatur perbuatan.
Eksistensi negara RI baru dapat diterima sebagai suatu kenyataannya jika cara berpikir
kita menggunakan paradigma sosiologis, bukan paradigma positivistis.Demikian pula
ajaran hukum murni secara realitas, empiris sudah banyak ditinggalkan hal ini diperkuat oleh
Talcott Parsons dengan teori sibernetiknya bahwa dalam masyarakat ada sub-sub sistem
yaitu:
a.

Sub-Sistem Ekonomi.

b.

Sub-Sistem Politik.

xv

c.

Sub-Sistem Sosial.

d.

Sub-Sistem Budaya.
Sub sistem hukum berada pada sub sistem sosial sehingga dari sistematikanya subsistem
hukum diatasi oleh ekonomi dan politik. Sementara arus informasi terbesar berada pada sub
sistem budaya, sebaliknya arus energi terbesar berada pada sub sistemekonomi, semakin kecil
pada politik, sosial dan budaya.Berdasarkan teori sibernetik dari Talcott Parson secara realitas
bahwa hokum sudah tidak otonom lagi. Hukum sudah dipengaruhi oleh faktor ekonomi,
politik, etika, moral, sejarah sehingga pada saat sekarang ini dimaklumi jika ada suatu
putusan hakim kadang-kadang atau keseringan dipengaruhi oleh unsur ekonomi dan politik.
Seperti kasus Kedung Umboh di mana pada putusan pengadilan tingkat pertama dan
putusan pengadilan tingkat II dikalahkan setelah pihak penggugat melakukan kasasi di MA
pihak penggugat

dimenangkan

oleh

MA,

dan

pada

saat

itu

pula

pelaksanaan

putusan(eksekusi) ditangguhkan berlakunya oleh Ketua MA. Hal ini sangat ironis pada suatu
negara yang berkedaulatan hukum seperti Indonesia, memaklumi tidak berarti membenarkan.
Sehingga dengan demikian apabila paradigma hukum sosiologis kita terapkan, maka
hukum Islam secara tidak langsung dapat diterapkan sebab benih-benih untuk
memberlakukan syariat Islam tersebar di berbagai undang-undang. Contohnya:The Sense of
Justice of The Peoples sesuai dengan perintah yang terkandung dalam pasal 27 (1) undangundang pokok kekuasaan kehakiman (saat keberlakunya UU No.14/1970): Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikutidan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Dalam penjelasan pasal tersebut hakim merupakan perumus dan penggali dari nilainilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu harus terjun ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengenal perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Tentunya yang dimaksud pasal
diatas adalah syariat Islam karena bukankah nilai-nilai hidup mayoritas masyarakat
Indonesia adalah Menurut teori hukum murni hukum tidak lain dari system hukum
positif yang dibuat oleh penguasa. Hukum positif dapat berupa peraturan perundangundangan sebagai kaidah umum (general norm) dan kaidah-kaidah yang terjadi karena
putusan hakim sebagai kaidah khusus (individual norm). Menurut Bagir Manan, hukum
positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini
xvi

yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau
melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara. Menurut Teori hukum murni, bahwa
objek kajian hukum (legal science) hanyalah mengenai isi hukum positif. Sedangkan
mengenai baik atau buruk suatu kaidah yang mencerminkan system nilai tertentu, masalah
tujuan hukum dan lain-lain, bersifat filosofis, bukan objek teori hukum, melainkan
objek filsafat. Pandangan ini bertalian dengan paham legal positivism dan Hans Kelsen
merupakan

salah

seorang

penganut Aliran

Positivis. Teori

Hukum

Murni

masih

banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih diikutinya/diterapkannya


beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem kehidupan secara yuridis dan dalam
sistem ketatanegaraan; antara lain dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan dalam bentuk Ketetapan MPR-RI yang dipengaruhi oleh Stufenbau theory dari
Kelsen. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan masih terlihat pengaruh
aliran Aliran Legis (pandanganLegalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh
berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar
terompet undang-undang dan selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih
t e r p a k u peraturan perundang-undangan tertulis. Bahkan peraturan, perundangundangan yang tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di Indonesia.Akan tetapi tidak
semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsisistem hukum yang
berkembang di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih
tetap berlaku.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya
dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang
dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam.
materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara, adalah
mempertegas

kekuasaan

dan

wewenang

masing-masing

lembaga-lembaga

negara,

mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya


berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara.
Sistem yang demikian disebut sistem checks and balances, yaitu pembatasan
kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang
tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi
masing-masing. Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap
warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari

xvii

instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara
tersebut.
Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang
maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala
produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada
Mahkamah Agung. Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang
dikembangkan oleh Hans Kelsen. Ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan
perundangan-undangan Indonesia sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
Teori Hukum Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan
masih diikutinya/diterapkannya beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem
kehidupan secara yuridis.
Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan masih terlihat pengaruh
Aliran Legis (pandangan Legalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat
selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet
undangundang dan selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih
terpaku peraturan perundang-undangan tertulis.

xviii

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.KESIMPULAN
1. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai suatu analisis tentang struktur hukum
positif, yang dilakukan se-eksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua
pendapat (judgements) etik atau politik mengenai nilai.
2. Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang positivistis, realistis dan murni itu,
di antaranya didorong oleh pemikiran, bahwa teori yang demikian itu akan terlalu
menekankan pada hukum sebagai konsep-konsep, yang mengutamakan studi
terhadap hukum sebagai suatu deutungsschema yang kait- mengait secara logis
tanpa cacat dan melupakan nilai kemanusiaannya.
3. Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh
Hans Kelsen. Ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan perundangan-undangan
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
4. Teori Hukum Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal mana tercermin dengan
masih diikutinya/diterapkannya beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem
kehidupan secara yuridis.
B.SARAN

1.

Menurut teori hukum murni tersebut, aturan hukum harus selalu berdasarkan
kaidah yang lebih tinggi yang akhirnya sampai pada Grundnorm, yang intinya
bersifat dasar-dasar hukum seperti keadilan, keseimbangan, perlindungan, dan
lain-lain. Hans Kelsen mengatakan bahwa hal itu berada di luar ilmu hukum.
Oleh karena itu, para penegak hukum, terutama hakim, dalam bekerja
menegakkan hukum sebaiknya bukan hanya sebagai corong undang-undang
saja, tetapi harus memperhatikan nilai-nilai dasar.

2.

Teori Hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya, sekalipun


ia berkeinginan untuk mengatakan suatu pikiran universal. Dengan demikian
kita baiknya bersikap untuk selalu tidak melepaskan teori-teori tersebut dari
konteks

3.

waktu pemunculannya.Paling

tidak

teori-teori

tersebut

dapat

memperkaya hasanah ilmu hukum. .


Suatu bentuk kontrol masyarakat meskipun dalam bentuk yang sederhana harus
membuktikan bahwa peraturan mampu mempertahankan kelangsungan
hidup bermasyarakat dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Tidak
tertutup kemungkinan peraturan itu memiliki kelemahan. Hukum hendaknya
mampu menjadi penyeimbang antara kehendak individu, masyarakat dan
penguasa.

DAFTARPUSTAKA

Arinanto Satya , Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik,


Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas
Indonesia, Jakarta, 2008

Assiddiqie Jimly &M Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang


Hukum

Sekretariat

Jenderal

&

kepaniteraan

Mahkamah

Konstitusi RI, Jakarta, 2006


-

Ayyub Andi Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam Law in


Book and Law in Action Menuju Penemuan Hukum
(Rechtsvinding), Yarsif Watampone,Jakarta,2006

Friedman L, Teori dan Filsafat hukum: Telaah kritis atasi TeoriTeori Hukum (susunann I), judul asli Legal Theory, penerjemah:
Mohammad Arifin, Cetakan kedua, (Jakarta,PT Raja Grafindo
Persada 1993)

Hans Kelsen , Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media,


2010

Hans Kelsen ,Teori Hukum Murni, dasar-Dasar Hukum Murni,


Penerbit Nusa Mendia, 2011

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers,


Jakarta,
2009
Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press,
Yogyakarta, 2004

Mochtar K & Arief S. Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan


Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Alumni.
Bandung.2000.

Anda mungkin juga menyukai