Anda di halaman 1dari 20

Asuhan Kesehatan Reproduksi

(Perdarahan Uterus Abnormal)

OLEH
Inda Permata (012111223025)
Shella Permata (012111223026)
Elisa Amaral (012111223027)
Adelbertha A. Berkanis (012111223028)
Martha Pulingmudin (012111223029)
Era Samudra (012111223030)
Netty Farida (012111223031)
Yuniarti Mbuik (012111223032)

PROGRAM STUDI KEBIDANAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2022
Latar belakang

Salah satu tanda perempuan sudah memasuki usia produktif adalah


mengalami menstruasi pertama kali (menarche). Menstruasi atau haid normalnya
adalah proses fisiologi pengeluaran darah, mukus (lendir), dan debris seluler dari
uterus secara periodik dengan interval waktu tertentu yang terjadi sejak menarche
hingga menopause dengan pengecualian pada masa kehamilan atau menyusui.
Perdarahan uterus abnormal (PUA) merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya.
Manifestasi klinis PUA dapat berupa jumlah perdarahan yang banyak atau sedikit,
dan siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan. Kejadian PUA paling sering
ditemukan pada wanita usia reproduktif, yang mana dapat menyebabkan aspek fisik,
sosial emosional dan kerugian ekonomi. Maka dari itu diperlukan tatalaksana yang
sesuai dengan penyebab yang mendasarinya.

1. Pengertian PUA

PUA merupakan perdarahan yang ditandai dengan adanya perubahan pada


siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang siklus, durasi maupun jumlah
perdarahan. Hal ini sering dijumpai pada wanita pada usia reproduksi (Singh, 2013).
Perdarahan uterus abnormal yang meliputi gangguan perdarahan berasal dari uterus
yang disebabkan oleh gangguan hormonal, kelainan organik genetalia dan kontak
berdarah. (Manuaba, 2014)

Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal
jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit,
siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini
diganti dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB)
sedangkan perdarahan uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati,
gangguan hemostasis lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan kelainan
yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD) (Baziad,
2011).
2. Klasifikasi
POGI (2016) mengklasifikasikan PUA berdasarkan jenis perdarahannya menjadi :
a. Perdarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai perdarahan haid yang
banyak sehingga perlu dilakukan penanganan segera untuk mencegah kehilangan
darah. Perdarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi
b. PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya. Perdarahan uterus abnormal kronik
merupakan terminologi untuk perdarahan uterus abnormal yang telah terjadi
lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan penanganan yang
segera seperti PUA akut.
c. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan perdarahan haid yang
terjadi diantara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi kapan saja
atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan
untuk menggantikan terminologi metroragia.
3. Etiologi
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) (2011
dalam POGI, 2016), terdapat 9 kategori utama disusun sesuai dengan akronim
PALM COEIN, yakni polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy dan
hiperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik, dan
not yet classified.
Kelompok PALM merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai dengan berbagai
teknik pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok COEIN
merupakan kelainan non struktural yang tidak dapat dinilai dengan teknik
pencitraan atau histopatologi. Sistem klasifikasi tersebut disusun berdasarkan
pertimbangan bahwa seorang pasien dapat memiliki satu atau lebih faktor
penyebab PUA (POGI, 2016).
a. Polip
Pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus, baik bertangkai
maupun tidak, berupa pertumbuhan berlebih dari stroma dan kelenjar
endometrium dan dilapisi oleh epitel endometrium. Polip biasanya bersifat
asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan PUA. Lesi umumnya jinak, namun
sebagian kecil atipik atau ganas. Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan USG dan atau histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi.
Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal dari kelenjar dan stroma endometrium
yang memiliki vaskularisasi dan dilapisi oleh epitel endometrium (POGI, 2016).

b. Adenomiosis
Adenomiosis ditandai dengan pembesaran rahim yang disebabkan oleh
sisa ektopik dari endometrium baik kelenjar maupun stroma yang terletak dalam
di miometrium. Sisa ini dapat tersebar di seluruh miometrium-adenomiosis
difusa, atau mungkin membentuk nodul fokal yang berbatas tegas -adenomiosis
fokal (POGI, 2016).
Gejala yang sering ditimbulkan yakni nyeri haid, nyeri saat senggama,
nyeri menjelang atau sesudah haid, nyeri saat buang air besar, atau nyeri pelvik
kronik. Gejala nyeri tersebut diatas dapat disertai dengan perdarahan uterus
abnormal. Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan
endometrium pada hasil histopatologi. Adenomiosis dimasukkan ke dalam sistem
klasifikasi berdasarkan pemeriksaan MRI dan USG (POGI, 2016).
Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup untuk
mendiagnosis adenomiosis. Dimana hasil USG menunjukkan jaringan
endometrium heterotopik pada miometrium dan sebagian berhubungan dengan
adanya hipertrofi miometrium. Hasil histopatologi menunjukkan dijumpainya
kelenjar dan stroma endometrium ektopik pada jaringan miometrium (POGI,
2016).
c. Leiomioma
Leiomioma adalah neoplasma jinak otot polos yang biasanya berasal dari
miometrium. Leiomioma sering disebut sebagai mioma uteri, dan karena
kandungan kolagennya yang menyebabkan konsistensinya menjadi fibrous,
leiomioma sering keliru disebut sebagai fibroid. Insiden di kalangan perempuan
umumnya antara 20 hingga 25 persen, tapi telah terbukti setinggi 70 sampai 80
persen dalam studi menggunakan histologis atau pemeriksaan sonografi. Selain
itu, insiden bervariasi tergantung pada usia dan ras (POGI, 2016).
Secara kasar, leiomioma berbentuk bulat, putih seperti mutiara, berbatas
tegas, seperti karet. Uterus dengan leiomioma biasanya memiliki 6-7 tumor
dengan ukuran yang bervariasi. Leiomioma memiliki otonomi yang berbeda dari
miometrium di sekitarnya karena lapisan jaringan ikat luarnya tipis. Hal ini
memungkinkan leiomioma untuk dapat dengan mudah "dikupas" dari uterus
selama operasi. Secara histologis, leiomyoma memiliki sel-sel otot polos
memanjang yang tersusun dalam bundel. Aktivitas mitosis jarang terjadi pada
leiomioma dan merupakan kunci perbedaan dengan leiomiosarkoma (POGI,
2016).
Gejala yang ditimbulkan berupa perdarahan uterus abnormal, penekanan
terhadap organ sekitar uterus, atau benjolan dinding abdomen. Mioma uteri
umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan penyebab tunggal PUA.
Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan
mioma uteri denga endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlkah mioma
uteri (POGI, 2016).
Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :
1) Primer yaitu ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uteri
2) Sekunder yaitu membedakan mioma uteri yang melibatkan endometrium
(mioma uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri lainnya.
3) Tersier yaitu klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural dan
subserosum (POGI, 2016).
d. Malignancy dan hiperplasia

Pertumbuhan hiperplastik atau pertumbuhan ganas dari lapisan


endometrium. Gejala berupa perdarahan uterus abnormal. Meskipun jarang
ditemukan, namun hiperplasia atipik dan keganasan merupakan penyebab
penting PUA. Klasifikasi keganasan dan hiperplasia menggunakan sistem
klasifikasi FIGO dan WHO. Diagnostik pasti ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi (POGI, 2016).

e. Koagulopati
Gangguan hemostatis sistemik yang berdampak terhadap perdarahan
uterus. Gejalanya berupa perdarahan uterus abnormal. Terminologi koagulopati
digunakan untuk kelainan hemostatis sistemik yang terkait dengan PUA. Tiga
belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan
hemostatis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von
Willebrand (POGI, 2016).
f. Ovulatory dysfunction
Kegagalan ovulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan uterus.
Gejalanya berupa perdarahan uterus abnormal. Gangguan ovulasi merupakan
salah satu penyebab PUA dengan manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan
dan jumlah darah yang bervariasi. Dahulu termasuk dalam kriteria perdarahan
uterus disfungsional (PUD). Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan
ringan dan jarang, hingga perdarahan haid banyak. Gangguan ovulasi dapat
disebabkan oleh sindrom ovarioum polikistik, hiperprolaktenemia, hipotiroid,
obesitas, penurunan berat badan, anoreksia atau olahraga berat yang berlebihan
(POGI, 2016).
g. Iatrogenik

Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis


seperti penggunaan estrogen, progestin, AKDR. Perdarahan haid diluar jadwal yang
terjadi akibat penggunaan estrogen atau progestin dimasukkan dalam istilah
perdarahan sela atau breakthrough bleeding. Perdarahan sela terjadi karena
rendahnya konsentrasi estrogen dalam sirkulasi yang disebabkan oleh sebagai
berikut : 1) Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi 2) Pemakaian obat
tertentu seperti rifampisin 3) Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan
pengguna anti koagulan ( warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin)
dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA Koagulopati (POGI, 2016)
h. Not yet classified

Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit
dimasukkan dalam klasifikasi. Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah
endometritis kronik atau malformasi arteri-vena. Kelainan tersebut masih belum jelas
kaitannya dengan kejadian PUA (POGI, 2016).

4. Faktor risiko PUA


a. Penggunaan KB hormonal (iatrogenik)
1) Progestyne only pil (POP)
POP adalah pil kontrasepsi yang mengandung progestin saja dengan dosis
yang sangat rendah seperti hormon alami progesteron dalam tubuh perempuan.
Perdarahan terjadi ketika rasio progesteron terhadap estrogen tinggi. Pemberian
progestin eksogen secara terus menerus dapat mengakibatkan perdarahan intermiten
dengan durasi yang bervariasi, namun umumnya cukup ringan. Kondisi ini dapat
dihindari jika tubuh masih memiliki kadar estrogen yang cukup untuk mengimbangi
progestin. Contoh dari perdarahan sela progesterone adalah perdarahan yang terjadi
pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi progestin saja. Pada perempuan
yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi estrogen-progestin dapat pula
mengakibatkan terjadinya perdarahan sela progesteron apabila komponen progestin
menjadi lebih dominan dibandingkan dengan komponen estrogennya. Gambaran
histologi perdarahan sela progesteron menggambarkan adanya “penekanan fase
sekresi” yang mengakibatkan terjadinya atropi pada jaringan endometrium (POGI,
2016).
2) Implan
Implan merupakan alat kontrasepsi berupa batang plastik kecil atau kapsul,
masing-masing seukuran batang korek api, yang dapat melepaskan progestin seperti
hormon progesteron alami dalam tubuh perempuan, dan dipasang di bawah kulit pada
bagian dalam lengan atas (POGI, 2016). Macam-macam kontrasepsi implan menurut
POGI (2016) antara lain:
a) Jadelle®: 2 batang, efektif selama 5 tahun .
b) Implanon® : 1 batang, efektif selama 3 tahun
c) Sino-Implan (II), juga dikenal sebagai Femplant, Trust Implan, dan Zarin: 2
batang, efektif selama 4 tahun (dapat diperpanjang sampai 5 tahun).
d) Norplant® : 6 batang, digunakan selama 5 tahun efektifitasnya sampai 7 tahun.

Perdarahan pada pengguna kontrasepsi progestin only disebabkan oleh paparan


endometrium terhadap progestogen dengan dosis yang relatif konstan dan
berlangsung secara terus menerus. Perdarahan sela berkaitan dengan serangkaian
gangguan molekuler yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah akibat
gangguan angiogenesis, meningkatnya fragilitas pembuluh darah, hilangnya
integritas endotel, epitel dan stroma struktur penunjang. Penyebab pasti
kerapuhan pembuluh darah belum sepenuhnya dimengerti. Aktivitas matriks
metalloproteinase (MMP) endometrium pada pengguna kontrasepsi progestogen
meningkat, terutama MMP-9 dan aktivitas Tissue Inhibitory Metalo Proteinase
(TIMP) yang menurun. Hal ini menyebabkan lemahnya jaringan penunjang
disekitar pembuluh darah, dan di bawah epitel, sehingga endometrium menjadi
rapuh, dan terjadi kerusakan pada pembuluh darah, yang pada akhirnya dapat
memicu terjadinya perdarahan pada pengguna kontrasepsi progestin (POGI,
2016).

3) Suntik progestin

Kontrasepsi ini merupakan jenis kontrasepsi dalam bentuk suntikan depot


yang mengandung Depot Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) dan norethisterone
enanthate (NET-EN) masingmasing berisi progestin seperti hormon progesteron
alami dalam tubuh perempuan. Hormon tersebut akan didepot di dalam otot dan
ilepaskan secara perlahan sehingga akan habis dalam waktu tertentu (POGI, 2016).
Dalam siklus menstruasi wanita fase proliferasi dinamakan juga fase folikuler, yaitu
suatu fase yang menunjukan waktu (masa) ketika ovarium beraktivitas membentuk
dan mematangkan folikel folikelnya serta uterus beraktivitas menumbuhkan lapisan
endometriumnya yang mulai pulih dan dibentuk pada fase regenerasi atau pascahaid.
Pada siklus haid klasik, fase proliferasi berlangsung setelah perdarahan haid berakhir,
dimulai pada hari ke-5 sampai 14 (terjadinya proses ovulasi). Pada fase ini hormon
pembebas gonadotropin yang dikeluarkan hipotalamus akan memacu hipofise untuk
mengeluarkan FSH untuk memacu pematangan folikel dan merangsang folikel untuk
mengeluarkan hormon esterogen. Adanya esterogen menyebabkan pembentukan
kembali (poliferasi) dinding endometrium. Setelah luka sembuh, akan terjadi
penebalan pada sendometrium ± 3,5 mm (ACOG, 2013).

Menurut ACOG (2013) Fase proliferasi dibagi menjadi 3 fase yaitu : Fase
proliferasi dini, terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke7. Fase ini dapat dikenali dari
epitel permukaan yang tipis dan adanya regenerasi epitel. Fase proliferasi madya,
terjadi pada hari ke-8 sampai hari ke-10. Fase ini merupakan bentuk transisi dan
dapat dikenali dari epitel permukaan yang berbentuk torak yang tinggi. Fase
proliferasi akhir, berlangsung antara hari ke-11 sampai hari ke-14. Fase ini dapat
dikenali dari permukaan yang tidak rata dan dijumpai banyaknya mitosis.

Namun dengan adanya hormon eksogen dari luar yaitu progesteron dalam
kandungan DMPA akan mempengaruhi kelenjar hipotalamus yang mana kadar FSH
dan LH menurun dan tidak terjadi lonjakan LH (LH surge). Respons kelenjar
hipofisis terhadap gonadotropin-releasing hormon eksogen tidak berubah, sehingga
memberi kesan proses terjadi hipotalamus daripada di kelenjar hipofisis (Hartanto,
2013).

Seiring dengan menurunnya FSH dan LH menyebabkan hormon estrogen


dalam kadar yang rendah sehingga tidak dapat menstabilisasi endometrium.
Endometrium menjadi dangkal dan atrofis dengan kelenjar-kelenjar yang tidak aktif.
Sering stroma menjadi oedematous. Paparan progesteron secara kontinyu ini
menyebabkan perubahan histopatologi endometrium, yang tidak mengalami fase
sekresi atau memanjangnya fase proliferasi dini sehingga terhambatnya pemulihan
endometrium dan menjadi tipis yang mana hal tersebut menyebabkan timbulnya
perdarahan abnormal atau spotting (Hartanto, 2013).
b. Hipertensi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi
peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang
mempunyai sekurang-kurangnya tiga bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90
mmHg saat istirahat diperkirakan mempunyai keadaan hipertensi (Price, 2013).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di
pusat vasomotor, pada medulla di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla
spinalis ke ganglia simpatis di torak dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor. Individu dengan hipertensi
sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi (Smeltzer, 2013).
Pada saat bersamaan sistem simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respon rangsang emosi. Kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan
vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat
memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, mengakibatnkan pelepasan rennin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, saat vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormone ini menyebabkan retensi natrium dan air
oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Price, 2013).
Pada hipertensi terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatik yang
menyebabkan peningkatan sekresi katekolamin kemudian berpengaruh pada kenaikan
kadar estrogen (Basuki, 2015). Kenaikan estrogen dapat mengakibatkan gangguan
menstruasi yang termasuk PUA. Lapisan endometrium menerima signal dari estrogen
dengan kadar yang berfluktuasi. Estrogen akan memicu proliferasi endometrium
sehingga mencapai ketebalan yang tidak normal dan sangat rapuh. Pertumbuhan
endometrium yang tidak normal ini mencakup epitel, stroma dan mikrovaskuler.
Pertumbuhan lapisan endometrium yang hanya dipicu oleh hormon estrogen saja
tanpa adanya efek progesteron, akan memicu pertumbuhan endometrium dengan
kehilangan struktur yang berfungsi untuk menunjang stroma untuk mempertahankan
stabilitas lapisan endometrium. Kapiler vena pada kondisi proliferasi endometrium
yang persisten dan hiperplasia endometrium akan meningkat, berdilatasi dan
seringkali terbentuk saluran ireguler yang tidak normal dan rapuh sehingga mudah
menyebabkan terjadinya perdarahan (POGI, 2016).

c. Riwayat kanker pada keluarga


Riwayat kanker pada keluarga dianggap sebagai faktor risiko terjadinya PUA
karena menjadi faktor risiko dari kejadian munculnya keganasan pada uterus. Kanker
adalah proses penyakit yang dimulai ketika sel abnormal diubah oleh mutasi genetik
dari DNA selular. Sel abnormal (maligna) ini mulai berproliferasi secara abnormal.
Kemudian mencapai tahap sel tersebut bersifat invasif. Proses invasi menyebabkan
tekanan ke jaringan sekitar dan ruang interstitial. Sel-sel maligna dapat merusak
jaringan sekitar melalui tekanan mekanis dan enxim destruktif yang dikeluarkannya.
Jika jaringan yang berdekatan tersebut adalah pembuluh darah maka terjadilah
perdarahan (Smeltzer, 2013).

d. Paritas
Paritas dianggap sebagai faktor risiko terjadinya PUA karena menjadi faktor
risiko dari kejadian munculnya keganasan pada uterus. Mioma uteri lebih sering
ditemukan pada wanita nullipara dan primipara dibanding pada wanita multipara.
Namun beberapa penelitian menemukam hubungan saling berbalik antara paritas dan
munculnya mioma uteri. Menurut Saifudin (2014) ukuran mioma yang sangat besar
dapat mengganggu kehamilan karena mioma mengambil terlalu banyak ruang
sehingga bisa menekan atau mendesak kehamilan dan menyebabkan abortus terutama
mioma submukosa karena juga dapat menyebabkan distorsi rongga uterus, apalagi
mioma yang sampai menutupi atau menekan pars interstitialis tuba bisa menyebabkan
infertilitas atau penurunan kesuburan.

5. Diagnosis
Menurut POGI (2016) penegakan diagnosis didapat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya kelainan uterus, faktor
risiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan berat badan yang drastis, serta
riwayat kelainan hemostasis pada pasien dan keluarganya. Perlu ditanyakan siklus
haid sebelumnya serta waktu mulai terjadinya perdarahan uterus abnormal. Pada
perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat kepatuhan dan obat-
obat lain yang diperkirakan menggangu koagulasi (POGI, 2016).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan
hemodinamik. Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan. Pemeriksaan IMT, tanda-tanda hiperandrogen,
pembesaran kelenjar tiroid atau manifestsi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea,
gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis), purpura dan ekimosis wajib diperiksa
(POGI, 2016).
Awalnya, lokasi perdarahan uterus harus dikonfirmasi karena perdarahan juga
dapat berasal dari saluran reproduksi yang letaknya lebih rendah, sistem pencernaan,
atau saluran kemih. Hal ini lebih sulit dilakukan jika tidak ada perdarahan aktif.
Dalam situasi ini, urinalisis atau evaluasi guaiac feses mungkin membantu
pemeriksaan fisik (POGI, 2016).
c. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan. Teliti untuk kemungkinan
adanya mioma uteri, polip, hiperplasia endometrium atau keganasan (POGI,
2016).
d. Pemeriksaan ovulasi
Siklus haid yang berovulasi sekitar 22-35 hari. Jenis perdarahan PUAO bersifat
ireguler dan sering diselingi amenorea. Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan
pemeriksaan progesteron serum atau USG transvaginal bila diperlukan (POGI, 2016)
e. Penilaian endometrium
Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien
PUA. Menurut POGI (2016) pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan
pada :
1) Perempuan umur > 45 tahun
2) Terdapat faktor risiko genetik
3) USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang
merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium.
4) Terdapat faktor risiko diabetes melitus, hipertensi, obesitas, nulipara
5) Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectar cancer memiliki
risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat diagnosis antara
48-50 tahun.
Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan uterus
abnormal yang menetap (tidak respon terhadap pengobatan). Beberapa teknik
pengambilan sample endometrium seperti D & K dan biopsi endometrium dapat
dilakukan (POGI, 2016).
f. Penilaian kavum uteri
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma
uteri submukosum. USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus
dilakukan pada pemeriksaan awal PUA. Bila dicurigai terdapat polip endometrium
atau mioma uteri submukosum disarankan untuk melakukan SIS atau histeroskopi.
Keuntungan dalam penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat
dilakukan bersamaan (POGI, 2016).

g. Penilaian miometrium
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis.
Miometrium dinilai menggunakan USG (transvagina, transrektal dan abdominal),
SIS, histeroskopi atau MRI. Pemeriksaan adenomiosis menggunakan MRI lebih
ungguk dibandingkan USG transvaginal (POGI, 2016)
h. Pemeriksaan laboratorium
1) Tes β-Human Chorionic Gonadotropin dan Hematologik
Keguguran, kehamilan ektopik dan mola hidatidosa dapat menyebabkan
perdarahan yang mengancam nyawa. Komplikasi dari kehamilan dapat secara cepat
dieksklusi dengan penentuan kadar subunit beta human chorionic gonadotropin (β-
hCG) dari urin atau serum. Sebagai tambahan, pada wanita dengan perdarahan uterus
abnormal, complete blood count dapat mengidentifikasi anemia dan derajat
kehilangan darah. Diperlukan juga skrining untuk gangguan koagulasi jika sebab
yang jelas tidak dapat ditemukan. Yang termasuk adalah complete blood count
dengan platelet count, partial thromboplastin time, dan prothrombin time dan
mungkin juga memeriksa tes spesial untuk penyakit von Willebrand (POGI, 2016).
2) Pemeriksaan “Wet Prep” dan Kultur Serviks
Pemeriksaan mikroskopik dari sekresi serviks diperlukan jika perdarahan
dicurigai karena servisitis yang akan memperlihatkan gambaran sel darah merah dan
neutrofil. Servisitis sekunder karena herpes simplex virus (HSV) juga dapat
menyebabkan perdarahan dan diindikasikan untuk melakukan kultur secara langsung.
Trikomoniasis juga dapat menyebabkan servisitis dan ektoserviks yang rapuh (POGI,
2016).
3) Pemeriksaan Sitologi
Kanker serviks dan kanker endometrium dapat menyebabkan perdarahan yang
abnormal dan dapat sering ditemukan dengan skrining Pap smear (POGI, 2016).
4) Biopsi Endometrium
Pada wanita dengan perdarahan abnormal, evaluasi histologi endometrium
mungkin mengidentifikasikan lesi infeksi atau neoplastik seperti hiperplasia
endometrium atau kanker. Terdapat perdarahan abnormal pada 80 sampai 90 persen
wanita dengan kanker endometrium (POGI, 2016).
i. Histeroskopi
Prosedur ini menggunakan endoskop optik dengan diameter 3 sampai 5 mm ke
dalam kavitas endometrium. Kemudian kavitas uterus diregangkan dengan
menggunakan larutan salin. Keuntungan utama menggunakan histeroskopi adalah
untuk mendeteksi lesi intrakavitas seperti leiomioma dan polip yang mungkin
terlewati jika menggunakan sonografi atau endometrial sampling. Walaupun akurat
untuk mendeteksi kanker endometrium, namun histeroskopi kurang akurat untuk
mendeteksi hiperplasia endometrium (POGI, 2016).
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Rowe dan Senikas dalam Journal Obstetry & Gynekology Canada
(2013) hitung darah lengkap dianjurkan jika ada riwayat perdarahan. Kehamilan
dieksklusi melalui serum β-hCG. Thyrotropin diukur hanya jika ada gejala atau
temuan yang sugestif ke penyakit tiroid. Pengujian untuk gangguan koagulasi harus
dipertimbangkan pada wanita yang memiliki riwayat perdarahan berat yang dimulai
dari menarche, riwayat perdarahan postpartum atau perdarahan saat ekstraksi gigi,
bukti masalah perdarahan lainnya, atau riwayat keluarga cenderung mengarah ke
gangguan koagulasi. Tidak ada bukti bahwa pengukuran gonadotropin serum,
estradiol, atau kadar progesteron membantu dalam pengelolaan PUA.
a. USG
Transvaginal sonografi memungkinkan evaluasi dari kelainan anatomi uterus dan
endometrium.Selain itu, patologi dari miometrium, serviks, tuba, dan ovarium juga
dapat dievaluasi. Modalitas investigasi ini dapat membantu dalam diagnosis polip
endometrium, adenomiosis, leiomioma, anomali uterus, danpenebalan endometrium
yang berhubungan dengan hiperplasia dan keganasan (Rowe & Senikas, 2013).
b. Saline Infusion Sonohysterography
Saline infusion sonohysterography menggunakan 5 sampai 15 mL larutan saline
yang dimasukkan ke dalam rongga rahim selama sonografi transvaginal dan
mengimprovisasi diagnosis patologi intrauterin. Terutama dalam kasus polip dan
fibroid uterus, SIS memungkinkan pemeriksa untuk membedakan lokasi dan
hubungannya dengan kavitas uterus. SIS juga dapat menurunkan kebutuhan MRI
dalam diagnosis dan manajemen dari anomali uterus (Rowe & Senikas, 2013).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI jarang digunakan untuk menilai endometrium pada pasien yang memiliki
perdarahan uterus abnormal. MRI mungkin membantu untuk memetakan lokasi yang
tepat dari fibroid dalam perencanaan operasi dan sebelum terapi embolisasi untuk
fibroid. Hal ini juga mungkin berguna dalam menilai endometrium ketika USG
transvaginal atau tidak dapat dilakukan (Rowe & Senikas, 2013).
d. Histeroskopi
Evaluasi histeroskopi untuk perdarahan uterus abnormal adalah pilihan yang
menyediakan visualisasi langsung dari patologi kavitas dan memfasilitasi biopsi
langsung. Histeroskopi dapat dilakukan dalam suasana praktek swasta dengan atau
tanpa anestesi ringan atau di ruang operasi dengan anestesi regional atau umum.
Risiko dari histeroskopi termasuk perforasi rahim, infeksi, luka serviks, dan kelebihan
cairan (Rowe & Senikas, 2013).
e. Biopsi endometrium
Biopsi endometrium biasanya dapat dilakukan dengan mudah pada wanita
premenopause dengan persalinan pervaginam sebelumnya. Biopsi lebih sulit
dilakukan pada wanita dengan riwayat persalinan sesar sebelumnya, wanita yang
nulipara, atau yang telah memiliki operasi serviks sebelumnya. Biopsi endometrium
dapat mendeteksi lebih dari 90% dari kanker. Patologi dari endometrium dapat
mendiagnosa kanker endometrium atau menentukan kemungkinan kanker (Rowe &
Senikas, 2013).

7. Penatalaksanaan
a. Non bedah
Setelah keganasan dan patologi panggul yang signifikan telah dikesampingkan,
pengobatan medis harus dipertimbangkan sebagai pilihan terapi lini pertama untuk
perdarahan uterus abnormal. Target pengobatan untuk kondisi medis yang mendasari
yang dapat mempengaruhi siklus menstruasi, seperti hipotiroidisme, harus dimulai
sebelum penambahan obat lainnya. Wanita yang ditemukan anemia karena
perdarahan uterus abnormal harus segera diberikan suplementasi besi (Rowe &
Senikas, 2013).
Perdarahan menstruasi yang berat dan teratur dapat diatasi dengan pilihan
pengobatan hormonal dan non-hormonal. Perawatan nonhormonal seperti obat
antiinflamasi non-steroid dan antifibrinolitik dikonsumsi selama menstruasi untuk
mengurangi kehilangan darah, dan pengobatan ini efektif terutama saat perdarahan
menstruasi yang berat ketika waktu perdarahan dapat diprediksi (Rowe & Senikas,
2013).
Perdarahan yang tidak teratur atau berkepanjangan paling efektif diobati
dengan pilihan terapi hormonal yang mengatur siklus menstruasi, karena mengurangi
kemungkinan perdarahan menstruasi dan episode perdarahan berat. Progestin siklik,
kontrasepsi hormonal kombinasi, dan levonorgesterel-releasing intrauterine system
adalah contoh pilihan yang efektif dalam kelompok ini. Terapi medis juga berguna
pada beberapa kasus untuk mengurangi kerugian menstruasi yang berhubungan
dengan fibroid atau adenomiosis (Rowe & Senikas, 2013).
b. Bedah
Peran pembedahan dalam penatalaksanaan perdarahan uterus abnormal
membutuhkan evaluasi yang teliti dari patologi yang mendasari serta faktor pasien.
Indikasi pembedahan pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal adalah (Rowe
& Senikas, 2013) :
1) Gagal merespon tatalaksana non-bedah
2) Ketidakmampuan untuk menggunakan terapi non-bedah (efek samping,
kontraindikasi)
3) Anemia yang signifikan
4) Dampak pada kualitas hidup
5) Patologi uterus lainnya (fibroid uterus yang besar, hiperplasia endometrium)

Pilihan tatalaksana bedah untuk perdarahan uterus abnormal tergantung pada


beberapa faktor termasuk ekspektasi pasien dan patologi uterus. Pilihan
bedahnya adalah (Rowe & Senikas, 2013) :

1) Dilatasi dan kuretase uterus


2) Hysteroscopic Polypectomy
3) Ablasi endometrium
4) Miomektomi
5) Histerektomi
DAFTAR PUSTAKA

ACOG. Management of Acute Abnormal Uterine Bleeding in Nonpregnant


Reproductive-Aged
Women. Am Coll Obstet Gynecol 2013; 557: 475–477
Basuki. 2015. Hubungan antara Hipertensi Essensial dengan Premenstrual
Syndrome pada Wanita di Kelurahan Pasir Kidul Purwokerto Barat Kab.
Banyumas. MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan.Vol 13 No
2.
Baziad A, Hestiantoro A, Wiweko B. Panduan Tata Laksana Perdarahan Uterus
Abnormal. Hasil
Lokakarya Himpunan Endokrinologi - Reproduksi dan Fertilitas
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Aceh, 29 April – 1 Mei
2011
Hartanto, H. 2013. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Sinar Harapan
Manuaba, IBG. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB untuk
Pendidikan Bidan.
Jakarta: EGC
Malcolm M, Hilary O.D. Critchley, Michael S Broder, Ian S Fraser. FIGO
Classification System
(PALMCOEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding in Nongravid
Women of
Reproductive Age. American Society for Reproductive Medicine;April
2011.p. 3-13
POGI. Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Abnormal. ; 2016.
Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2013, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses
Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta
Rowe, T., Senikas, V. Abnormal Uterine Bleeding in Pre-Menopausal Women.
Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2013; 35(5):1-28
Singh S, Best C, Dunn S, dkk. Abnormal uterine bleeding in premenopausal women.
J Obstet Gynaecol Canada 2013; 35: 473–9.
Smeltzer & Bare. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai