Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perdarahan uterus abnormal (PUA) atau abnormal uterine bleeding (UAB)
merupakan masalah yang sering ditemukan pada wanita selama masa reproduksi
di seluruh dunia. Prevalensi kejadian PUA pada wanita usia reproduktif sekitar 3-
30%. Kira-kira sepertiga dari seluruh wanita pernah mengalami masalah
perdarahan uterus selama hidup mereka.1 Pada masa reproduktif seorang wanita,
kejadian perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah sekitar 14-25%. Selain
menyebabkan masalah kesehatan, masalah PUA juga mempengaruhi kondisi fisik,
sosial, emosional dan kualitas hidup seorang wanita 2,3
. Gejala utama yang sering
muncul adalah menorrhagia, yaitu suatu perdarahan yang berasal dari uterus yang
banyak, berkepanjangan, sering terjadi, dan belum diketahui penyebabnya. 4
Pada awal perkembangannya, perdarahan uterus abnormal (PUA) dikenal
sebagai perdarahan uterus disfungsional atau dysfunctional uterine bleeding
(DUB). Sejak tahun 2011, oleh Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
diperkenalkan istilah baru yaitu Abnormal uterine bleeding (AUB). Terminologi
lain yang dikemukakan yakni heavy menstrual bleeding (HMB), intermenstrual
bleeding (IMB) dan kombinasi antara IMB dan HMB. Istilah heavy menstrual
bleeding (HMB) digunakan untuk menggantikan menorrhagia, yaitu perdarahan
menstruasi yang berlebihan sehingga mengganggu kondisi fisik, emosional dan
kualitas hidup seorang wanita. Sedangkan intermenstrual bleeding (IMB)
digunakan untuk menggantikan metrorrhagia, yaitu perdarahan di antara siklus
menstruasi/haid normal 1,3
Penyebab perdarahan uterus abnormal (PUA) bervariasi, meliputi kelainan
anatomis, disfungsi hormonal, infeksi, penyakit sistemik dan komplikasi akibat
kehamilan. Oleh sebab itu, PUA dapat terjadi pada wanita dengan segala usia.
Namun, insiden perdarahan uterus abnormal lebih sering ditemukan pada wanita
usia reproduktif (Hoffman et al, 2016). FIGO (2011) memperkenalkan 9 kategori
penyebab perdarahan uterus abnormal, yang disingkat sebagai “PALM-COEIN”,
meliputi : polyp, adenomyosis; leiomyoma; malignancy dan hyperplasia;
coagulopathy; ovulatory dysfunction; endometrial; iatrogenic; not yet classified.
Secara umum, komponen dalam “PALM” merupakan komponen entitas
struktural, yang dapat didiagnosis dengan pemeriksaan pencitraan dan/atau
histopatologi. Sedangkan “COEIN” meliputi entitas yang non-struktural 1,3
Berdasarkan penelitian Dahiya, didapati hasil kelompok usia yang paling
umum mengalami PUA adalah 41-45 tahun (36%), dan patologi yang paling
umum pada kelompok usia ini adalah hiperplasia endometrium. Pola perdarahan
yang paling umum adalah perdarahan menstruasi yang berat dan insiden tertinggi
terlihat pada wanita multipara (74%). 5
Sebuah studi cross-sectional dilakukan di Tiongkok, dengan tujuan
mengevaluasi prevalensi penyebab PUA di Beijing Shijitan Hospital, Capital
Medical University. Klasifikasi PUA oleh FIGO (2011) digunakan dalam evaluasi
dan didapatkan dari total 1053 partisipan, PUA akibat disfungsi ovulasi paling
banyak ditemukan yaitu sekitar 57,7%. Selanjutnya PUA akibat polip sekitar
16,2%, PUA akibat leiomioma sekitar 12%, PUA akibat adenomiosis sekitar
4,94%, PUA akibat kelainan endometrial sekitar 2%, PUA akibat iatrogenik
sekitar 2%, PUA akibat malignansi sekitar 1,9% dan PUA tanpa sebab yang jelas,
sekitar 0,9% 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendarahan Uterus Abnormal


2.1.1 Definisi
The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
merekomendasikan penggunaan istilah perdarahan uterus abnormal (PUA) untuk
menggambarkan setiap kelainan volume, regularitas, durasi dan/atau frekuensi
menstruasi pada wanita yang tidak hamil. Selain itu, FIGO juga menyebutkan
suatu nomenklatur untuk mendeskripsikan perdarahan uterus abnormal pada
wanita usia subur, yang dikenal dengan akronim PALM-COEIN (polyp,
adenomyosis, leiomyoma, malignancy and hyperplasia, coagulopathy, ovulatory
dysfunction, endometrial, iatrogenic, dan not yet classified) 7
Berdasarkan Albers (2004), semua perdarahan vagina yang terjadi sebelum
menarche adalah abnormal, kecuali physiologic withdrawal bleeding yang terjadi
pada beberapa bayi baru lahir. Pada wanita usia subur, perdarahan uterus
abnormal mencakup setiap perubahan frekuensi atau durasi periode menstruasi,
atau jumlah darah yang keluar, serta adanya perdarahan di antara siklus
menstruasi. Pada wanita postmenopause, perdarahan uterus abnormal termasuk
perdarahan vagina 12 bulan atau lebih setelah berhentinya menstruasi, atau
perdarahan tak terduga yang terjadi pada wanita postmenopause yang telah
menerima terapi hormon selama 12 bulan atau lebih 8
Perdarahan uterus abnormal dianggap kronis jika telah terjadi selama
kurang lebih enam bulan, atau akut ketika episode perdarahan berat memerlukan
intervensi segera. Penggunaan istilah seperti menoragia, metroragia,
hipo/hipermenorea, polimenorea, dan perdarahan uterus disfungsional sekarang
tidak lagi dianjurkan karena kontroversial, membingungkan, dan tidak dapat
didefinisikan dengan baik. ). Pendarahan uterus yang abnormal memiliki efek
negatif pada aspek fisik, emosional dan seksual dari kehidupan perempuan, serta
dapat memperburuk kualitas hidup seoarang wanita. 9,10
Tabel 2.1 Definisi Perdarahan Menstrual Normal dan Abnormal 10

Sepertiga dari kunjungan pasien ke dokter kandungan adalah karena PUA


dan lebih dari 70% dari semua konsultasi ke bagian ginekologi yaitu pada saat
perimenopause dan pascamenopause. Evaluasi pasien secara menyeluruh penting
dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab perdarahan sehingga terapi yang tepat
dapat diberikan. (Goldstein et al, 2017). Dari hasil penelitian Mayanda didapatkan
68 kasus PUA (15,8%) dari 437 kasus di ginekologi. PUA karena kelainan
struktural sebanyak 45 orang (66,2%) dengan kasus terbanyak adalah PUA-L 26
orang (38,2%), sedangkan PUA bukan karena kelainan struktural sebanyak 23
orang (33.8%) dengan kasus terbanyak PUA-O yaitu 18 orang (26,4%) 11
2.1.2 Etiologi
FIGO telah menyusun suatu sistem klasifikasi dan terminologi untuk
etiologi dari gejala PUA. Dengan sistem ini, etiologi PUA diklasifikasikan
sebagai "terkait dengan kelainan struktur rahim" dan "tidak terkait dengan
kelainan struktur rahim" dan dikategorikan mengikuti akronim PALM-COEIN:
Polip, Adenomiosis, Leiomioma, Malignansi dan hiperplasia, Koagulopati,
Disfungsi ovulasi, Endometrium, Iatrogenik, dan belum diklasifikasikan (ACOG,
2013). Kategori "belum diklasifikasikan" dibuat untuk menampung entitas yang
jarang ditemui atau tidak jelas. Secara umum, komponen kelompok PALM adalah
entitas diskrit (struktural) yang dapat diukur secara visual dengan teknik
pencitraan dan/atau histopatologi, sedangkan kelompok COEIN terkait dengan
entitas yang tidak ditentukan oleh pencitraan atau histopatologi (non-struktural) 1
Himpunan Endokrin dan Fertilitas Indonesia (HIFERI) mengeluarkan
suatu panduan penatalaksanaan PUA, dimana tatalaksana digolongkan sesuai
etiologi yang ada, yaitu: 12
 Polip (PUA-P)
Polip merupakan suatu proliferasi epitel yang terdiri dari
komponen vaskular, kelenjar, dan fibromuskular dan jaringan ikat yang
bervariasi Prevalensi polip endometrium berkisar antara 8% hingga 35%,
dan insidennya meningkat seiring bertambahnya usia. Perdarahan
intermenstrual adalah gejala yang paling umum, tetapi banyak polip tidak
menunjukkan gejala. Lesi biasanya jinak (95%) tetapi sebagian kecil
mungkin memiliki fitur atipikal atau mengarah ke keganasan 12
 Adenomyosis (PUA-A)
Adanya jaringan endometrium di miometrium dikenal sebagai
adenomiosis. Hubungan antara adenomiosis dan terjadinya PUA masih
belum jelas, memperkuat gagasan bahwa penelitian tambahan yang
ekstensif diperlukan. Perkiraan prevalensi adenomiosis sangat bervariasi,
mulai dari 5% hingga 70% Banyak pasien tidak menunjukkan gejala,
tetapi mereka yang memiliki gejala biasanya melaporkan perdarahan
menstruasi yang nyeri, berat, atau berkepanjangan. Pada pemeriksaan
dapat terlihat uterus yang padat dan membesar 12
 Leiomioma (PUA-L)
Tumor fibromuskular jinak pada miometrium dikenal dengan
beberapa nama, termasuk "leiomioma", "mioma", dan "fibroid". Prevalensi
lesi ini berkisar hingga 70% pada ras Kaukasia dan hingga 80% pada
wanita keturunan Afrika. Prevalensinya meningkat seiring bertambahnya
usia. Seperti polip dan adenomiosis, banyak leiomioma tidak menunjukkan
gejala, dan seringkali keberadaannya bukan merupakan penyebab AUB,
tetapi perdarahan adalah gejala yang umum dan biasanya timbul sebagai
menstruasi yang berat atau berkepanjangan. Pasien mungkin melaporkan
nyeri atau tekanan pada panggul, dan pada pemeriksaan uterus dan perut
mungkin membesar atau berkontur tidak teratur 12
 Malignansi dan Hiperplasia (PUA-M)
Perdarahan uterus abnormal adalah gejala yang paling umum dari
kanker endometrium. Paparan estrogen jangka panjang adalah faktor risiko
utama. Pola perdarahan pada pasien dengan keganasan uterus sangat
bervariasi12
 Koagulopati (PUA-C)
Istilah "koagulopati" mencakup spektrum gangguan hemostasis
sistemik yang mungkin terkait dengan PUA. Penelitian menunjukkan
bahwa sekitar 13% wanita dengan perdarahan menstruasi berat memiliki
gangguan hemostasis sistemik yang dapat dideteksi secara biokimia,
paling sering adalah penyakit von Willebrand. Selain perdarahan
menstruasi yang berat, remaja dengan gangguan perdarahan sering juga
melaporkan perdarahan menstruasi yang tidak teratur12
 Disfungsi Ovulasi (PUA-O)
Disfungsi ovulasi dapat berkontribusi pada terjadinya PUA,
umumnya bermanifestasi sebagai kombinasi dari waktu perdarahan yang
tidak dapat diprediksi dan jumlah aliran yang bervariasi, yang dalam
beberapa kasus menyebabkan perdarahan menstruasi berat. Gangguan
ovulasi dapat muncul sebagai spektrum kelainan menstruasi mulai dari
amenore, perdarahan yang sangat ringan dan jarang, hingga episode
menstruasi berat yang tidak terduga dan ekstrem yang memerlukan
intervensi medis atau bedah. Meskipun sebagian besar gangguan ovulasi
belum dapat dipastikan etiologinya, banyak juga yang etiologinya
mengarah ke endokrinopati (misalnya sindrom ovarium polikistik,
hipotiroidisme, hiperprolaktinemia, stres mental, obesitas, anoreksia,
penurunan berat badan, atau olahraga ekstrem seperti yang terkait dengan
pelatihan atletik). Dalam beberapa kasus, gangguan ini mungkin
iatrogenik, yang disebabkan oleh steroid gonad atau obat-obatan yang
memengaruhi metabolisme dopamin, seperti fenotiazin dan antidepresan
trisiklik Ovulasi yang jarang atau tidak ada selama beberapa tahun pertama
setelah menarche dan selama perimenopause adalah umum dan tidak
selalu merupakan tanda patologis. Perdarahan menstruasi yang disebabkan
oleh disfungsi ovulasi sering tidak teratur, berat, atau berkepanjangan 12
 Endometrium (PUA-E)
PUA yang terjadi dalam konteks uterus yang secara struktural
normal dengan siklus menstruasi yang teratur tanpa bukti koagulopati
kemungkinan besar memiliki penyebab endometrium yang mendasarinya.
PUA-E mungkin terlibat pada banyak wanita dengan PUA, tetapi
kurangnya tes atau biomarker spesifik yang tersedia secara klinis berarti
bahwa pengujian praktis untuk gangguan tersebut belum layak dilakukan.
Dengan demikian, diagnosis tergantung pada anamnesis yang cermat dan
pengecualian kontributor lain 12
 Iatrogenik (PUA-I)
Berbagai pengobatan medis dapat memicu perdarahan uterus
abnormal. Kontrasepsi hormonal adalah penyebab paling umum dari
perdarahan uterus iatrogenik (yaitu, breakthrough bleeding). Agen
penyebab lainnya termasuk terapi hormon nonkontrasepsi, obat-obatan
yang mengganggu fungsi atau sintesis hormon steroid seks (misalnya,
tamoxifen), antikoagulan, antagonis dopamin (misalnya, antidepresan
trisiklik, beberapa antipsikotik), serta antibiotic (griseofulvin dan
rifampisin) 12
 Belum diklasifikasikan (PUA-N)
‘Kategori ini berisi kondisi yang kurang dipahami, kelainan langka
(misalnya, malformasi arteriovenosa, hiperplasia myometrium,
endometritis), dan kondisi yang tidak sesuai dengan sistem klasifikasi,
seperti defek bekas luka sesar, yang dapat menyebabkan bercak
pascamenstruasi ketika darah terkumpul di lokasi yang disebabkan oleh
bekas luka. Kondisi yang termasuk dalam tidak diklasifikasikan lain
termasuk penyakit radang panggul, penyakit hati kronis, dan servisitis 12

2.1. 3 Patofisiologi dan Faktor Risiko


Endometrium terdiri dari dua zona yang berbeda, lapisan fungsionalis dan
lapisan basalis. Lapisan basalis terletak pada kontak langsung dengan
miometrium, berada di bawah fungsionalis, dan kurang responsif terhadap
hormon. Lapisan basalis berfungsi sebagai reservoir atau regenerasi lapisan
fungsionalis setelah menstruasi. Sebaliknya, lapisan fungsionalis melapisi rongga
rahim, mengalami perubahan dramatis sepanjang siklus menstruasi, dan akhirnya
mengelupas selama menstruasi. Secara histologis, lapisan fungsionalis memiliki
epitel permukaan dan pleksus kapiler subepitel yang mendasarinya. Di bawahnya
terdapat stroma, kelenjar, dan leukosit yang tersebar 13
Arteri uterina dan ovarika mensuplai darah ke uterus. Arteri ini menjadi
arteri arkuata; kemudian arteri arkuata mengirimkan cabang radial yang memasok
darah ke dua lapisan endometrium, lapisan fungsionalis dan basalis. Tingkat
progesteron turun pada akhir siklus menstruasi, menyebabkan kerusakan
enzimatik lapisan fungsional endometrium. Kerusakan ini menyebabkan
kehilangan darah dan pengelupasan, yang menyebabkan terjadinya menstruasi.
Trombosit, trombin, dan vasokonstriksi arteri endometrium mengontrol hilangnya
darah. Setiap kelainan pada struktur rahim (seperti leiomioma, polip, adenomiosis,
keganasan, atau hiperplasia), kelainan pada jalur pembekuan (koagulopati atau
iatrogenik), atau gangguan axis hipotalamus-hipofisis-ovarium (melalui gangguan
ovulasi/endokrin atau iatrogenik) dapat mempengaruhi menstruasi dan
menyebabkan perdarahan uterus abnormal 14
Faktor Risiko PUA
Evaluasi lebih lanjut dari perdarahan uterus yang abnormal tergantung
pada usia pasien dan adanya faktor risiko untuk perdarahan uterus abnormal yang
meliputi usia, siklus anovulasi, obesitas, nulliparitas. Periode klimakterium
menjadi salah satu faktor resiko kejadian perdarahan uterus abnormal. Ketika
wanita mendekati menopause, siklus menstruasi menjadi memendek, dan sering
terjadi anovulasi secara intermiten, karena adanya penurunan jumlah folikel
ovarium dan peningkatan resistensi terhadap stimulasi gonadotropik yang
menyebabkan terjadinya penurunan kadar estradiol sehingga endometrium tidak
dapat mempertahankan pertumbuhan normalnya. Sebelum menstruasi berhenti
total dan menopause dimulai, seorang wanita melewati periode yang disebut
perimenopause. Selama perimenopause, siklus hormon normal mulai berubah dan
ovulasi menjadi tidak konsisten. Sementara sekresi estrogen terus berlanjut,
sekresi progesteron menjadi menurun. Hal ini menyebabkan endometrium
berproliferasi atau memproduksi jaringan yang berlebihan, dan meningkatkan
kemungkinan terbentuknya polip atau fibroid yang menyebabkan terjadinya PUA.
15

Perdarahan uterus abnormal juga dikaitkan dengan parietas wanita.


Dikatakan bahwa multipara dapat mengurangi resiko PUA. Fase folikular pada
wanita multipara satu hari lebih lama daripada wanita nullipara dan kondisi
dimana tidak adanya ovulasi selama kehamilan. Estrogen berfungsi untuk
proliferasi endometrium. Jika kadar estrogen menurun, maka tidak terjadi
proliferasi endometrium secara berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya
PUA. Setelah melahirkan akan terjadi penurunan fungsi ovarium yang memanjang
yang berlangsung beberapa tahun atau lebih, dan paparan terhadap estradiol bebas
akan berkurang sehingga dapat menurunkan risiko kanker reproduksi yang dapat
menyebabkan terjadinya PUA. Kadar steroid ovarium meningkat seiring
bertambahnya waktu kelahiran terakhir. Sehingga suatu keadaan multipara dapat
menurunkan resiko insidensi PUA. 15
Risiko terkena kanker endometrium juga meningkat seiring bertambahnya
usia. Insiden kanker ini secara keseluruhan adalah 10,2 kasus per 100.000 pada
wanita berusia 19 hingga 39 tahun. Insiden lebih dari dua kali lipat dari 2,8 kasus
per 100.000 pada mereka yang berusia 30 hingga 34 tahun menjadi 6,1 kasus per
100.000 pada mereka yang berusia 35 hingga 39 tahun. Pada wanita berusia 40
hingga 49 tahun, kejadian karsinoma endometrium adalah 36,5 kasus per 100.000.
Dengan demikian, American College of Obstetricians dan Gynecologists
merekomendasikan evaluasi endometrium pada wanita berusia 35 tahun ke atas
yang mengalami perdarahan uterus abnormal.16
2.1.5 Diagnosis
Dalam mendiagnosis suatu kelainan perdarahan uterus abnormal (PUA),
pertama diawali dengan mengevaluasi jumlah kehilangan darah ketika menstruasi
dan dampak yang dirasakan oleh pasien 11
FIGO (2018) merekomendasikan definisi dan nomenklatur gejala-gejala
perdarahan uterus abnormal. Penggunaan istilah kelainan perdarahan uterus
seperti menoragia, metroragia, oligomenorea, polimenorea, hipo/hipermenorea
dan perdarahan uterus disfungsional sering kali sulit dimengerti dan didefinisikan,
oleh karena itu telah ditinggalkan 1
Fokus evaluasi pasien dengan PUA adalah untuk menentukan apakah
perdarahan bersifat akut dan menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik melalui
anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang lainnya 1
Anamnesis history taking harus berfokus pada sistem “PALM-COEIN”
dan menggali pola siklus menstruasi pasien, keparahan dan nyeri ketika
menstruasi, riwayat keluarga mengalami PUA atau penyakit perdarahan lain,
riwayat reproduksi, gejala sistemik yang mungkin menyebabkan perdarahan
seperti hipotiroid, hiperprolaktinemia, sindroma ovarium polikistik, kelainan
adrenal atau hipotalamus, serta kemungkinan adanya kelainan pembekuan darah
2,11,17

Sekitar 13% wanita yang mengalami heavy menstrual bleeding (HMB)


kemungkinan memiliki penyakit von Willebrand dan sekitar 20% memiliki
kelainan koagulasi (ACOG, 2013). Oleh karena itu, skrining awal untuk
kemungkinan kelainan perdarahan melalui anamnesis dapat ditanyakan hal-hal di
bawah ini ; 1,3,11,17
1. Perdarahan berat sejak mentruasi pertama
2. Satu dari kriteria di bawah ini
a. Pernah mengalami perdarahan post-partum
b. Perdarahan terjadi ketika tindakan operatif
c. Perdarahan terjadi ketika tindakan gigi
3. Dua atau lebih kriteria di bawah ini
a. Ekimosis 1-2 kali per bulan
b. Epistaksis 1-2 kali per bulan
c. Gusi berdarah yang sering
d. Riwayat keluarga mengalami kelainan perdarahan

Jika ditemukan salah satu dari ketiga kriteria di atas, maka dikatakan
skrining positif dan rujukan untuk evaluasi lebih lanjut dibutuhkan 3
Pemeriksaan kehamilan merupakan dasar dalam mendiagnosis PUA. Pasien
dengan usia premenstrusasi atau posmenopause memiliki diagnosis banding yang
berbeda dengan PUA. Perlu diingat bahwa PUA adalah perdarahan yang berasal
dari uterus. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dapat menyingkirkan
penyebab perdarahan yang berasal dari extra-uterine.
Evaluasi lebih lanjut pada perempuan tidak hamil dalam usia reproduktif dapat
didasarkan dengan pertanyaan lanjutan berikut yaitu : 18
a. Bagaimana pola perdarahan?
b. Apakah perlu dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap?
c. Apakah perlu dilakukan pengambilan sampel endometrium?
d. Apakah perlu pemeriksaan faktor koagulasi?
e. Apakah perdarahan berhubungan dengan metode kontrasepsi?

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan umum,


pelvis (eksternal, spekulum serta bimanual) Tujuannya adalah untuk
mengesklusikan kemungkinan kelainan patologis penyebab PUA. Seperti jika
ditemukan petekie, purpura, ekimosis atau perdarahan gusi dapat merujuk kepada
kelainan pembekuan darah. Pemeriksaan fisik umum seluruh tubuh harus berfokus
untuk mengeksklusikan kemungkinan penyakit sistemik, seperti penyakit tiroid,
hiperandrogenisme, atau penyakit Cushing. Pemeriksaan bimanual dan pelvis
lebih direkomendasikan untuk evaluasi kelainan tumor pelvis atau sejenisnya 2,11
Pada kasus PUA akut, pemeriksaan fisik awal harus berfokus pada tanda
dan gejala kehilangan darah akut dan etiologi perdarahannya Penilaian gejala
takikardia dan hipotensi ortostatik kemungkinan merupakan tanda dari anemia
berat akibat kehilangan darah akut. Selain itu, pasien harus dievaluasi untuk
menentukan sebab perdarahan apakah berasal dari uterus atau berasal dari saluran
genital lain. Dalam hal ini, pemeriksaan spekulum dan bimanual penting
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya trauma pada saluran genitalia, vagina
atau serviks 17,19
Selanjutnya, evaluasi dengan pemeriksaan penunjang harus meliputi
pemeriksaan kehamilan (beta-hcG), darah lengkap; pengukuran kadar thyroid-
stimulating hormone (TSH) serta skrining karsinoma serviks 11
Pemeriksaan faal
hemostasis dilakukan jika dari hasil skrining dengan anamnesis ditemukan positif.
Tes spesifik untuk penyakit von Willebrand dan kelainan koagulopati lain yaitu
aktivitas kofaktor von Willebrand-Ristocetin, antigen von Willebrand dan faktor
VIII. Berdasarkan presentasi klinis, penjajakan kelainan tiroid, gangguan liver,
sepsis atau leukemia 17
Pemeriksaan ultrasonografi transvagina dapat dilakukan untuk menilai anomali
uterus, seperti uterus didelfi, mengevaluasi ovarium polikistik dan
mengeksklusikan kemungkinan patologi endometrium, seperti polip, leimoioma
submukosa dan/atau malignansi 3Biopsi endometrium dapat dilakukan jika pasien
berusia lebih dari 45 tahun dengan riwayat paparan estrogen unopposed (pasien
obesitas atau PCOS) 17
Dalam investigasi PUA, kemungkinan penyebab
perdarahan uterus tidak selalu hanya salah satu dari “PALM-COEIN”. Pada
beberapa kasus, diagnosis PUA dapat disebabkan oleh adenomiosis dan kelainan
koagulopati, sehingga diagnosisnya menjadi PUA-A dan –C 1.
FIGO (2018)
mengeluarkan algoritma untuk investigasi perdarahan uterus abnormal kronik,
adalah sebagai berikut;

2.1.6 Tatalaksana
Terapi Farmakologis
Penanganan perdarahan uterus abnormal (PUA) akut bergantung pada
keadaan klinis, kemungkinan etiologi dari hasil penjajakan, keinginan untuk
memiliki anak dan kondisi penyakit penyerta pasien (ACOG, 2013). Pilihan
tatalaksana pada PUA akut adalah secara farmakologi atau operatif. Pengobatan
farmakologi dapat diberikan preparat hormonal (pil kontrasepsi kombinasi) atau
non hormonal (NSAID atau agen anti fibrinolitik). Selain itu, preparat besi oral
atau parenteral dapat diberikan untuk mengatasi anemia pasien 2,17

Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) juga ditemukan bermanfaat


dalam mengurangi perdarahan pada HMB. AKDR levonogestrel memiliki efikasi
terbaik dengan penurunan 71-95% perdarahan menstruasi jika dibandingkan
dengan: progestin oral 87%, kontrasepsi esterogen-progestin 35- 69%, asam
tranexamat 26-54%, dan OAINS 10-52%. PUA-O dapat ditangani dengan pilihan
serupa, namun data uji klinis masih sedikit. 21
Pemberian pengobatan hormonal seperti pil kontrasepsi, jenis pilihannya
bergantung dari preferensi pasien. Pil kontrasepsi kombinasi lebih banyak
digunakan pada kasus PUA untuk mengatur perdarahan dan meminimalisir
kehilangan darah 2
Jenis obat kontrasepsi lain, yaitu injeksi progestine-only
(Medroksiprogesteron asetat) juga dapat diberikan pada kasus PUA akut.
Pertimbangan penggunaan obat hormonal ini harus dilakukan skrining
menggunakan roda medical eligibility criteria for contraceptive oleh WHO 17

Pada pasien dengan heavy mentrual bleeding (HMB), dapat dianjurkan


penggunaan levonogestrel Intrauterine system (LNG-IUS) atau Mirena karena
lebih efektif untuk mengatasi perdarahan dan meningkatkan kualitas hidup 2,3,5
Obat hormonal gonadotrophin releasing hormone agonists (GnRHa) dapat
menyebabkan amenorea pada 90% wanita. Sediaan ini biasanya diberikan pada
PUA akibat mioma uteri, untuk mengurangi ukuran mioma dan mengatasi
perdarahan. Namun efek samping obat ini dapat menyebabkan hipo-estrogen
sehingga dapat memicu osteoporosis 2,3
Preparat obat non-hormonal seperti agen anti-fibrinolitik atau NSAID
dapat diberikan dengan atau tanpa preparat hormonal. Pemberian preparat non
hormonal tunggal lebih umum diberikan pada pasien yang tidak ingin
menggunakan preparat hormonal atau memiliki kontraindikasi dan pada pasien
yang ingin hamil 2,3,21
. Obat anti-fibrinolitik seperti asam traneksamat, bekerja
dengan cara menghambat degradasi benang fibrin dan efektif untuk mengurangi
perdarahan pada pasien PUA kronik, sekitar 30-55% 11
Meskipun bermanfaat
dalam mengatasi perdarahan berat uterus, penggunaan asam traneksamat harus
berhati-hati terhadap efek samping yaitu resiko trombo-emboli 8
NSAID atau non-steroidal anti-inflammatory drugs bekerja dengan
menghambat enzim siklooksigenasi, yang berfungsi mengubah asam arakidonat
menjadi prostaglandin dan tromboksan. Jenis NSAID yang lebih sering digunakan
adalah asam mefenamat, dapat mengurangi volume perdarahan sekitar 25-50%.
Asam mefenamat juga memiliki efek analgetik, sehingga dapat mengatasi
dismenorea. Efek samping utama adalah gangguan saluran pencernaan dan harus
dihindari pada pasien dengan riwayat ulkus lambung 21

Tabel 2.2 Pilihan terapi medikamentosa pada perdarahan uterus abnormal 2

Obat Cara Kerja Cara Pemberian Efek Samping


1. Preparat Besi Mengganti Oral : FeSO4 Efek Samping :
cadangan besi 200mg 2x1; Gangguan gastrointestinal
evaluasi dalam 3 seperti mual muntah
minggu + Vit C Kontraindikasi :
untuk membantu Pada overload besi,
penyerapan Hipersensitifitas terhadap
Parenteral : Iron besi parenteral
Sucrose 200mg
IV dalam 200 cc
saline diberikan
selama 30 menit;
3 kali seminggu
2. Antifibrinolitik Menginhibisi 1 gram 3-4x Efek samping :
(Asam traneksamat) aktivasi sistem sehari selama Gangguan gastrointestinal
fibrinolitik menstruasi
3. NSAID (Asam Efek 500 mg 3x sehari Efek samping :
mefenamat) antiinflamasi Gangguan gastrointestinal
dengan inhibisi Kontraindikasi pada
enzim kelainan perdarahan
siklooksigenas
e
4. Levonogestrel- Pelepasan 20 mcg LNG Kontraindikasi :
releasing perlahan dari Kehamilan, sepsis uterus
intrauterine system IUS di daerah Efek samping :
(LNG-IUS) endometrium Perdarahan di luar siklus,
untuk infeksi, ekspulsi spontan
mencegah
proliferasi
5. Pil kontrasepsi Supresi Pil oral selama Perubahan mood; sakit
kombinasi ovulasi, 21 hari setiap kepala; mual; nyeri
meregulasi bulan payudara; trombosis vena
mentruasi
6. Injeksi progesteron Inhibisi FSH Diberikan injeksi Pertambahan BB, kulit
(Depot dan mencegah per 12 minggu kering, jerawat, penurunan
medroxyprogesteron ovulasi densitas tulang pada
e acetate) penggunaan lama
7. Gonadotrophin- Memicu IM per 3-6 bulan Gejala seperti menopause
releasing hormone keadaan (Hot flushes, berkeringat,
agonists (IM, SC hipogonadal kering pada vagina),
atau intranasal) osteoporisis jika
penggunaan >6 bulan

Terapi Operatif/Surgical
Penanganan PUA secara operatif dilakukan pada pasien tanpa lesi
patologis/PUA non struktural (COEIN) 2,22
Hal yang perlu dipertimbangkan
adalah kondisi pasien, keparahan perdarahan, kontraindikasi terhadap terapi obat-
obatan, respon kurang terhadap obat dan penyakit penyerta pasien. Pilihan
tindakan operatif yaitu dilatasi dan kuretase (D&C), ablasi endometrium,
embolisasi arteri uterina dan histerektomi 17
Jika PUA terjadi pada pasien wanita
yang masih remaja, tindakan tersebut di atas sebaiknya dihindari, karena dapat
menyebabkan infertilitas di masa mendatang 20
Tindakan operatif spesifik untuk mengatasi perdarahan, seperti
histeroskopi dengan D&C, polipektomi atau miomektomi, dilakukan jika terdapat
lesi patologis atau dicurigai PUA struktural (PALM) 17
Ablasi endometrium biasanya dilakukan menggunakan metode
histeroskopik (generasi pertama), yang dilakukan dengan cara destruksi lapisan
basal endometrium. Hal ini diharapkan dapat mengurangi regenerasi lapisan
fungsional endometrium sehingga mengurangi perdarahan 21
Resiko dari tindakan
ablasi endometrium ialah perforasi uterus, infeksi, perdarahan dan cedera pada
usus atau kandung kemih 2
Tindakan histerektomi merupakan tindakan terakhir yang dapat dilakukan
untuk menghentikan perdarahan dari uterus. Tindakan ini direkomendasikan jika
dengan alternatif lain, perdarahan tidak dapat berhenti atau pasien sudah tidak
ingin hamil lagi (ACOG, 2013; Benetti-Pinto, 2017). PUA akibat keganasan
endometrium dapat langsung dilakukan tindakan histerektomi 8
Terapi Kausal PUA
Pada pasien PUA yang telah ditentukan jenis penyebabnya, sesuai dengan
pedoman “PALM-COEIN”, maka dapat ditatalaksana secara spesifik (Tabel 2.3).

Tabel 2.3 Tatalaksana spesifik sesuai penyebab PUA berdasarkan PALM-


COEIN 2,3
Sub-Klasifikasi PUA Tatalaksana Spesifik
Polip Reseksi
Adenomiosis Operasi; Histerektomi; Adenomiomektomi
Malignansi Operasi +/- terapi adjuvan
Progesteron dosis tinggi (Jika operasi tidak
memungkinkan)
Paliatif (Radioterapi)
Koagulopati Asam traneksamat
DDVAP (Desmopresin)
Ovulasi Modifikasi gaya hidup
Cabergoline (Hiperprolaktinemia)
Levotiroksin (Jika hipotiroid)
Endometrial Terapi spesifik sesuai mekanisme yang mendasari
Iatrogenik Sesuai dengan panduan kontrasepsi hormonal
Not otherwise Antibiotik pada endometritis
classified Embolisasi pada AVM

2.2 PUA – Coagulopathy


2.2.1 Definisi
Istilah "koagulopati" mencakup spektrum gangguan hemostasis sistemik
yang mungkin terkait dengan PUA. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 13%
wanita dengan perdarahan menstruasi berat memiliki gangguan hemostasis
sistemik yang dapat dideteksi secara biokimia, paling sering adalah penyakit von
Willebrand. Selain perdarahan menstruasi yang berat, remaja dengan gangguan
perdarahan sering juga melaporkan perdarahan menstruasi yang tidak teratur12
2.2.2 Patofisiologi
Normalnya clot terbentuk dari agregasi platelet yang distabilisasi oleh
jaringan fibrin. Sehingga, banyak gangguan koagulasi yang menyebabkan PUA
dapat dibagi menjadi kategori berikut:4
1. Disfungsi adherensi platelet
2. Defek pada stabilisasi plug platelet
Awalnya pada proses hemostasis, platelet melekat ke dinding vaskular
yang rusak dengan mengikat reseptor ke kolagen yang terpapar. Peristiwa ini
diperantarai oleh faktor von Willebrand, sebuah plasma protein. Setelah berikatan,
platelet teraktivasi dan mengalami agregasi. Sehingga jumlah dari platelet yang
menurun atau adherensi yang buruk dapat menyebabkan PUA. Kedua, koagulasi
berlanjut pada kaskade menjadi fibrin yang menstabilisasi plug. 4
2.2.3 Diagnosis dan Tatalaksana
Umumnya koagulopati merupakan penyebab jarang dari PUA. Namun
pada wanita dengan PUA dan anatomi normal, insidensi penegakan diagnosis
menjadi lebih tinggi dan pada perempuan dengan gangguan pendarahan yang
diturunkan PUA merupakan komplain tersering. 4

Untuk menegakkan diagnosis PUA, riwayat mudah memar, komplikasi


pendarahan saat pembedahan atau persalinan, kista ovarium berdarah rekuren,
pendarahan pencernaan atau riwayat gangguan pendarahan dapat membantu untuk
mengarahkan diagnosis terhadap koagulopati. Skrining laboratorium termasuk
darah lengkap, platelet, hemorrhagic screening test, dan level fibrinogen juga
sebaiknya didapatkan. Biasanya penyakit yang mudah didiagnosis adalah penyakit
von Willebrand, trombositopenia, dan gangguan platelet sedangkan defisiensi
faktror VIII dan IX (hemofilia A dan B) lebih jarang. 4

Tatalaksana akut meliputi Pengobatan dengan asam traneksamat,


progestin, kombinasi pil estrogenprogestin dan LNG-IUS pada kasus ini
memberikan hasil yang sama bila dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan
koagulasi. Jika terdapat kontraindikasi terhadap asam traneksamat atau PKK dapat
diberikan LNG-IUS atau dilakukan pembedahan bergantung pada umur pasien.
Terapi spesifik seperti desmopressin dapat digunakan pada penyakit von
Willebrand.13
2.3 Leukemia Limfositik Akut
2.3.1 Definisi dan Epidemiologi
Leukemia Limfositik Akut (LLA) adalah keganasan limfoblas B atau T
yang ditandai dengan proliferasi yang tidak terkontrol dari limfosit abnormal,
imatur dan progenitornya yang pada akhirnya menyebabkan penggantian elemen
sumsum tulang dan organ limfoid lainnya sehingga menghasilkan pola penyakit
yang khas karakteristik Limfositik Akut. Leukemia. ALL menyumbang sekitar 2
persen dari neoplasma limfoid yang didiagnosis di Amerika Serikat. Leukemia
Limfositik Akut terjadi sedikit lebih sering pada laki-laki daripada perempuan,
dan tiga kali lebih sering pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam. Pasien
dengan Leukemia Limfositik Akut biasanya hadir dengan gejala yang
berhubungan dengan anemia, trombositopenia, dan neutropenia karena
penggantian sumsum tulang dengan tumor. Gejalanya bisa berupa kelelahan,
mudah memar/perdarahan spontan, dan infeksi. Gejala lain, seperti demam,
keringat malam, dan penurunan berat badan yang tidak disengaja sering muncul
tetapi mungkin ringan. Hepatomegali, splenomegali, dan limfadenopati dapat
dilihat pada hingga setengah dari orang dewasa pada saat presentasi klinis.
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) sering terjadi dan dapat disertai dengan
neuropati kranial atau gejala, terutama meningeal, terkait dengan peningkatan
tekanan intrakranial.22

2.3.2 Klasifikasi

ALL dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast.Sering terjadi pada


anak-anak, laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Puncak insiden usia 4
tahun, setelah usia 15 tahun ALL jarang terjadi. Limfosit immatur berproliferasi
dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan
sel normal23.

Secara morfologik menurut FAB ALL dibagi menjadi tiga yaitu23:

a. L1: ALL dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari ALL.

b. L2: sel lebih besar, inti regular, kromatin bergumpal, nucleoli prominen dan
sitoplasma agak banyak. Merupakan 14% dari ALL.
c. L3: ALL mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan
banyak vakuola, hanya merupakan 1% dari ALL.

2.3.3 Patofisiologi

Dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa patofisiologi leukemia


limfoblastik akut sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor (genetik,
kekebalan, lingkungan, dan obat-obatan) pada tingkat yang berbeda, dan juga
memiliki hubungan yang erat dan kompleks. Fitur utama dalam patofisiologi ALL
adalah asal monoklonalnya, proliferasi sel yang tidak terkontrol dengan stimulasi
diri berkelanjutan dari reseptor mereka untuk pertumbuhan, tidak ada respons
terhadap sinyal penghambatan, dan umur panjang seluler yang dikondisikan oleh
penurunan apoptosis.24

2.3.4 Diagnosis saat Kehamilan

Diagnosis leukemia memerlukan pemeriksaan morfologi, imunofenotipik


dan sitogenetik dari sampel sumsum tulang. Namun, biopsi sumsum tulang dapat
dilakukan dengan aman di bawah anestesi lokal pada wanita hamil tanpa
membahayakan janin. Leukemia sendiri sering muncul sebagai keadaan darurat
medis yang membutuhkan inisiasi terapi yang tepat. Selain itu, diagnosis leukemia
pada kehamilan adalah peristiwa yang agak luar biasa yang dapat menimbulkan
dilema etika dan terapeutik yang kompleks. Oleh karena itu, tim multidisiplin
yang mencakup hematologi, obstetri, neonatologi, psikolog, dan pekerja sosial
selain pasien harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan terapeutik.25

Keputusan untuk memulai kemoterapi selama kehamilan harus


dipertimbangkan terhadap konsekuensi penundaan pengobatan pada kelangsungan
hidup ibu. Secara umum, keputusan terapeutik harus dibuat berdasarkan data yang
diperoleh dari uji klinis prospektif, tetapi sayangnya data yang tersedia dalam
literatur tentang pengelolaan sebagian besar leukemia yang didiagnosis selama
kehamilan berasal dari laporan kasus retrospektif, rangkaian kasus, dan beberapa
meta-analisis.25

2.3.5 Tatalaksana saat Kehamilan


Ketika diagnosis ALL dibuat selama trimester pertama kehamilan,
penghentian kehamilan sangat dianjurkan untuk memulai kemoterapi induksi
standar. Regimen kemoterapi termasuk: sitarabin, siklofosfamid, L-asparaginase,
antrasiklin, vinkristin, dan kortikosteroid. Trimester kedua kehamilan secara kasar
dapat dibagi menjadi dua bagian25:

(1) bagian pertama, sebelum minggu ke-20 kehamilan: manajemen menyerupai


pada trimester pertama kehamilan, sehingga penghentian kehamilan harus
dipertimbangkan, diikuti dengan pemberian obat. kemoterapi induksi ALL yang
memadai atau standar, dan

(2) bagian kedua, setelah minggu ke-20 kehamilan: kemoterapi bridging atau
modifikasi ALL rejimen kemoterapi tanpa metotreksat dapat diberikan sampai
trimester ketiga kehamilan, meskipun kemungkinan kerusakan pada janin harus
diambil mempertimbangkan.

Beberapa rejimen kemoterapi yang mengecualikan penggunaan


metotreksat telah disarankan, tetapi pengalaman dengan terapi yang dimodifikasi
ini sangat terbatas, sehingga rejimen terapeutik ini harus digunakan sebagai
perawatan penghubung singkat sampai trimester ketiga dimulai. Masa pengobatan
singkat dengan prednisolon saja selama 1-2 minggu dapat memungkinkan pasien
untuk memasuki masa kehamilan lebih dari 20 minggu untuk menerima
kemoterapi yang lebih intensif setelahnya. Pendekatan serupa dengan prednisolon
saja dapat direkomendasikan untuk pasien dengan usia kehamilan mendekati 32
minggu. Untuk pasien yang datang pada trimester ketiga kehamilan, mereka dapat
diobati dengan protokol kemoterapi yang sama yang digunakan untuk merawat
rekan mereka yang tidak hamil.25

Hasil ALL dikelompokkan menurut sejumlah faktor risiko25: (1) pasien


dengan prognosis yang baik dapat diobati dengan pendekatan kemoterapi yang
kurang intensif, dan (2) pasien dengan fitur yang lebih agresif akan memerlukan
intervensi sesuai dengan kecepatan penyakit yang mendasarinya.

Perawatan obstetrik yang ketat dan pemantauan ketat terhadap ibu dan
janin sangat penting untuk memastikan hasil yang terbaik. Persalinan elektif
setelah 32 minggu kehamilan harus direncanakan tetapi waktu pelahiran harus
menghindari periode pansitopenia untuk mencegah komplikasi lebih lanjut25

2.4 Gangguan Hemostasis akibat ALL

Masalah gangguan hemostasis yang menyebabkan PUA pada penyakit


ALL sering kali disebabkan oleh trombositopenia. Trombositopenia terjadi
biasanya bersamaan dengan penurunan jumlah sel lain sehingga disebut sebagai
pansitopenia. Pada leukemia, hal ini disebabkan oleh produksi galur sel saat
sumsum tulang diinfiltrasi oleh malignansi (limfoma, leukemia, myeloma
multiple) atau gangguan granulomatosa. Tumor metastasis bisa pula
menyebabkan pergantian sumsum tulang yang diperlukan karena adanya
pansitopenia.26

Seperti dijabarkan bahwa trombositopenia dapat menyebabkan PUA dan


secara patomekanisme dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Peningkatan destruksi platelet seperti pada penyakit ITP


2. Penurunan produksi platelet seperti pada malignansi hematopoeitic
3. Peningkatan sekuestrasi seperti pada splenomegali

Pada ALL sering kali hal ini disebabkan oleh jenis nomor 2 mengingat daripada
patofisiologi ALL yang dapat menganggu regenerasi seluruh sel termasuk
platelet.4

Selain pansitopenia, ALL dapat menyebabkan masalah koagulopati


melalui mekanisme lain. Kelainan sistem hemostasis yang mendasari gambaran
klinis DIC diamati pada AML, lebih jarang pada ALL. Kelainan ini termasuk
hipofibrinogenemia, peningkatan FDP dan pemanjangan waktu protrombin dan
trombin. Parameter laboratorium ini sering menjadi lebih abnormal pada
permulaan kemoterapi sitotoksik, yang mengakibatkan komplikasi perdarahan
yang parah. Munculnya tes laboratorium baru untuk penanda hiperkoagulasi jelas
menunjukkan bahwa pembentukan trombin merupakan temuan konstan pada
leukemia akut. Yang sangat penting adalah deteksi D-dimer, produk lisis dari
ikatan silang fibrin, yang secara pasti menunjukkan bahwa hiperfibrinolisis terjadi
sebagai respons terhadap aktivasi pembekuan pada leukemia. Munculnya ATRA
untuk terapi induksi remisi APL telah membuka perspektif baru dalam
pengelolaan koagulopati. Dokter segera mencatat resolusi cepat dari gejala
perdarahan pada pasien yang diobati dengan ATRA. Sejumlah penelitian
laboratorium telah mengkonfirmasi penurunan atau normalisasi variabel
pembekuan dan fibrinolitik selama satu atau dua minggu pertama terapi dengan
ATRA. Efek menguntungkan pada parameter hiperkoagulasi/hiperfibrinolisis
sejajar dengan peningkatan tanda klinis koagulopati pada pasien ini. Manfaatnya
tetap ada ketika ATRA diberikan dalam kombinasi dengan kemoterapi.27

Penentu utama patogenesis koagulopati leukemia akut adalah sebagai


berikut27:

1. Faktor yang berhubungan dengan sel leukemia, termasuk ekspresi


prokoagulan, sifat fibrinolitik dan proteolitik, dan sekresi sitokin
inflamasi,
2. Terapi sitotoksik; dan
3. Komplikasi infeksi yang menyertai

Banyak penelitian telah mengkarakterisasi aktivitas prokoagulan (PCA) yang


diekspresikan oleh sel-sel leukemia, terutama faktor jaringan' (TF), aktivator
utama pembekuan darah dari jaringan normal dan patologis, dan 'prokoagulan
kanker' (CP), lebih khas dari jaringan ganas. Semua subtipe AML
mengekspresikan PCA dalam jumlah yang signifikan, dengan ekspresi terbesar
dalam tipe M3. Jumlah PCA yang terukur juga ditemukan di SEMUA ledakan.
Pada pasien AML, kadar CP tampaknya berhubungan dengan fase penyakit.27

Sel leukemia juga dapat mengekspresikan aktivitas fibrinolitik dan


proteolitik, yang diyakini memainkan peran utama dalam patogenesis sindrom
perdarahan. Namun, aktivitas ini lebih rendah dibandingkan dengan granulosit
dewasa. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan ekspresi aktivitas fibrinolitik
terkait annexin II dalam ledakan APL, yang tampaknya meningkat dibandingkan
dengan subtipe myeloid atau ledakan limfoid lainnya yang lebih imatur.27

Sel leukemia menghasilkan sitokin inflamasi, termasuk TNF-α dan IL-1β


yang meningkatkan potensi protrombotik dan proadhesif sel endotel. Peran sitokin
ledakan dalam patogenesis koagulopati leukemia akut disarankan dari temuan
bahwa promielosit leukemia dari pasien dengan DIC mengeluarkan lebih banyak
IL-1b daripada ledakan APL dari pasien tanpa DIC. Terapi anti kanker juga dapat
meningkatkan risiko komplikasi tromboemboli melalui beberapa cara, yaitu:
pelepasan prokoagulan dan sitokin dari sel ganas yang rusak; toksisitas obat
langsung pada endotel vaskular; induksi langsung TF monosit atau sel tumor; dan
penurunan antikoagulan fisiologis. Pendarahan yang mengancam jiwa terjadi
lebih sering ketika pasien dengan leukemia akut memiliki infeksi bersamaan.
Beberapa infeksi sangat penting seperti virus (cytomegalovirus, herpes, varicella),
bakteri (sepsis karena mikroorganisme gram negatif atau gram positif), dan
mikotik (Aspergillus spp). Kontribusi infeksi terhadap komplikasi perdarahan
sangat relevan pada sepsis gram negatif, karena adanya endotoksin pada dinding
sel yang memiliki efek pirogenik, letal, hipotensif dan prokoagulan.27
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Anamnesis
Nn, W. 17 th, virgo, Karo, Islam, SMA, dating ke poli ginekologi Rumah
Sakit Universitas Sumatera Utara pada tanggal 14 Juni 2022 dengan :
Keluhan Utama : Riwayat haid tidak teratur
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 5 bulan yang lalu. Pasien
mengaku mengalami haid 10-14 hari. 4-5x ganti pembalut. Riwayat nyeri perut (-)
Riwayat perut membesar (-), Riwayat teraba benjolan (-). Riwayat penurunan BB
dan nafsu makan (+) 15 kg dalam 9 bulan. Riwayat perut di kusuk (-). Riwayat
minum herbal (-). Riwayat keputihan (-). BAK dan BAB dalam batas normal.
RPT : ALL
RPO :-
Riwayat operasi :-
Riwayat Kemoterapi : 6 kali
Riwayat kontrasepsi :-
Riawayat Menstruasi : Menarche 12 tahun, 28 siklus, regular, 3-5 hari, 2-3x
ganti pembalut, dysmenorrhea (+)
HPHT : 01/06/2022 (saat ini masi menstruasi)
Riwayat Persalinan :
P0A0
2. Pemeriksaan Umum
Status Presents
Sens. : Compos Mentis Anemis (-)
TD : 119/75 mmHg Ikterus (-)
HR : 80 x/i Dyspnoe (-)
RR : 20 x/i Cyanosis (-)
Temp. : 36,70C Oedem (-)
Keadaan Umum : Sedang BB : 46 kg
Keadaan Penyakit : Sedang TB : 150 cm
Status Nutrisi : Normoweight IMT : 20,4 kg/m2

Pemeriksaan Fisik:
Kepala : Palpebra konjungtiva inferior anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar Tiroid (-)
Jantung : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Thorax : Suara Pernafasan : Vesikular (+/+)
Suara Tambahan : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Pada Status Obstetrikus
Extremitas : Dalam batas normal, edema (+/+)

Pemeriksaan Obstetrikus:
Abdomen : Normoperistaltik, massa (-), nyeri tekan (-)
Perdarahan vagina : (-)

Pemeriksaan vagina:
Inspekulo : Tidak dilakukan
RT : Uterus anteflexi, normal size, massa (-), adneksa kanan
dan kiri tidak teraba massa, parametrium lemas. Cavum
doughlas tidak menonjol, sphincter ani ketat, mukosa recti
licin, ampula recti kosong, darah (-).
3. Ultrasonography
14 Juni 2022
• KK terisi
• Uterus RF ukuran 4.94 x 2.68 x 4.04 cm
• E -Thickness 21.1 mm
• Ovarium kanan ukuran 4.04 x 2.68cm, >5 folikel ukuran 3.4 mm
• Ovarium kiri ukuran 3.43 x 1.69 cm, >5 folikel ukuran 4.0 mm
Kesimpulan : Gynaecology interna tidak ada kelainan

4. Laboratorium
Hasil Laboratorium 11 Juni 2022
• Hb : 10,8 N: 12-14 gr/dL
• Leukocyte : 1,020 N: 4.000-11.000/uL
• Hematocrite : 30,3 N: 36,0-42,0/%
• Platelet : : 13,000
N:150.000-400.000/uL
• Erytrocyte : 3,71 N: 4,1-5,1 million/uL
• MCV : 82 N: 82 – 92 fL
• MCH : 29.1 N: 27 – 33.7 pg
• MCHC : 35,6 N: 32 – 36 %

Hasil Laboratorium 16 Juni 2022


• Hb : 5.8 N: 12-14 gr/dL
• Leukocyte : 370 N: 4.000-11.000/uL
• Hematocrite : 16,3 N: 36,0-42,0/%
• Platelet : : 8,000 N:
150.000-400.000/uL
• Erytrocyte : 2,02 N: 4,1-5,1 million/uL
• MCV : 81 N: 82 – 92 fL
• MCH : 28.7 N: 27 – 33.7 pg
• MCHC : 35,6 N: 32 – 36 %
• Natrium : 134 N: 136-155 mmol/dl
• Kalium : 3.1 N: 3.5-5.5 mmol/dl
• Chlorid : 106 N: 95-103mmol/dl

Hasil Laboratorium 20 Juni 2022


• Hb : 6,0 N: 12-14 gr/dL
• Leukocyte : 4,040 N: 4.000-11.000/uL
• Hematocrite : 17,3 N: 36,0-42,0/%
• Platelet : 52,000 N:
150.000-400.000/uL
• Erytrocyte : 2,08 N: 4,1-5,1 million/uL
• MCV : 83 N: 82 – 92 fL
• MCH : 28.8 N: 27 – 33.7 pg
• MCHC : 34,7 N: 32 – 36 %
• Natrium : 135 N: 136-155 mmol/dl
• Kalium : 3.2 N: 3.5-5.5 mmol/dl
• Chlorida : 105 N: 95-103mmol/dl
• Glucose : 99 N: <200 mg/dl

5. Diagnosa
PUA-C + ALL
6. Tatalaksana
-
7. Rencana
Lapor DPJP Dr. dr. Binarwan Halim, M.Ked (OG), Sp. OG(K)- FER
Disetujui

BAB IV

ANALISIS KASUS

Nn, W. 17 th, virgo, Karo, Islam, SMA, dating ke poli ginekologi Rumah
Sakit Universitas Sumatera Utara pada tanggal 14 Juni 2022 dengan keluhan
utama haid tidak teratur. Hal ini dialami pasien sejak 5 bulan yang lalu. Pasien
mengaku mengalami haid 10-14 hari. 4-5x ganti pembalut. Riwayat nyeri perut (-)
Riwayat perut membesar (-), Riwayat teraba benjolan (-). Riwayat penurunan BB
dan nafsu makan (+) 15 kg dalam 9 bulan. Riwayat perut di kusuk (-). Riwayat
minum herbal (-). Riwayat keputihan (-). BAK dan BAB dalam batas normal.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai tanda vital tekanan darah 119/75 mmHg,
nadi 80x/i, nafas 20x/menit dan suhu 36,7°C. Pada pemeriksaan umum dijumpai
edema pada kedua ekstremitas. Pemeriksaan obstretikus dalam batas normal. Pada
pemeriksaan rektal touche dijumpai uterus anteflexi, normal size, massa (-),
adneksa kanan dan kiri tidak teraba massa, parametrium lemas. Cavum doughlas
tidak menonjol, sphincter ani ketat, mukosa recti licin, ampula rekti kosong, darah
(-).
Pasien kemudian diagnosis dengan Polycystic Ovarian Syndrome (POCS).
Pasien dilaporkan ke supervisor penanggung jawab Dr.dr. Binarwan Halim,
M.Ked (OG), Sp. OG (K)-FER dan dilakukan rawat bersama.

Permasalahan

1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?

TEORI KASUS

Dalam mendiagnosis suatu kelainan Pada kasus ini, dijumpai Riwayat d haid tidak
perdarahan uterus abnormal (PUA), teratur. Hal ini dialami pasien sejak 5 bulan
pertama diawali dengan mengevaluasi yang lalu. Pasien mengaku mengalami haid
jumlah kehilangan darah ketika 10-14 hari. 4-5x ganti pembalut Riwayat
menstruasi dan dampak yang dirasakan penurunan BB dan nafsu makan (+) 15 kg
oleh pasien. FIGO (2018) dalam 9 bulan.
merekomendasikan definisi dan
nomenklatur gejala-gejala perdarahan
uterus abnormal. Penggunaan istilah Pada pemeriksaan Labortorium serial
kelainan perdarahan uterus seperti ditemukan nilai Hb rendah dan nilai
menoragia, metroragia, oligomenorea, trombosit rendah.
polimenorea, hipo/hipermenorea dan
perdarahan uterus disfungsional sering
Ditemukan nilai eritrosit pada pemeriksaan
kali sulit dimengerti dan didefinisikan,
laboratorium serial juga rendah.
oleh karena itu telah ditinggalkan.

Anamnesis history taking harus berfokus


pada sistem “PALM-COEIN” dan
menggali pola siklus menstruasi pasien,
keparahan dan nyeri ketika menstruasi,
riwayat keluarga mengalami PUA atau
penyakit perdarahan lain, riwayat
reproduksi, gejala sistemik yang mungkin
menyebabkan perdarahan seperti
hipotiroid, hiperprolaktinemia, sindroma
ovarium polikistik, kelainan adrenal atau
hipotalamus, serta kemungkinan adanya
kelainan pembekuan darah

Penanganan perdarahan uterus abnormal .


(PUA) akut bergantung pada keadaan
klinis, kemungkinan etiologi dari hasil
penjajakan, keinginan untuk memiliki
anak dan kondisi penyakit penyerta
pasien. Pilihan tatalaksana pada PUA
akut adalah secara farmakologi atau
operatif. Pengobatan farmakologi dapat
diberikan preparat hormonal (pil
kontrasepsi kombinasi) atau non
hormonal (NSAID atau agen anti
fibrinolitik). Selain itu, preparat besi oral
atau parenteral dapat diberikan untuk
mengatasi anemia pasien.

Penanganan PUA secara operatif


dilakukan pada pasien tanpa lesi
patologis/PUA non struktural (COEIN).
Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
kondisi pasien, keparahan perdarahan,
kontraindikasi terhadap terapi obat-
obatan, respon kurang terhadap obat dan
penyakit penyerta pasien. Pilihan
tindakan operatif yaitu dilatasi dan
kuretase (D&C), ablasi endometrium,
embolisasi arteri uterina dan
histerektomi. Jika PUA terjadi pada
pasien wanita yang masih remaja,
tindakan tersebut di atas sebaiknya
dihindari, karena dapat menyebabkan
infertilitas di masa mendatang. Tindakan
operatif spesifik untuk mengatasi
perdarahan, seperti histeroskopi dengan
D&C, polipektomi atau miomektomi,
dilakukan jika terdapat lesi patologis atau
dicurigai PUA struktural (PALM).

Pada PUA-C tatalaksana yang dapat


diberikan asam takneksamat.
BAB V

KESIMPULAN

Perdarahan uterus abnormal (PUA) atau abnormal uterine bleeding (UAB)


merupakan masalah yang sering ditemukan pada wanita selama masa reproduksi
di seluruh dunia. Prevalensi kejadian PUA pada wanita usia reproduktif sekitar 3-
30%. Kira-kira sepertiga dari seluruh wanita pernah mengalami masalah
perdarahan uterus selama hidup mereka. Penyebab perdarahan uterus abnormal
dapat disingkat sebagai “PALM-COEIN”, meliputi : polyp, adenomyosis;
leiomyoma; malignancy dan hyperplasia; coagulopathy; ovulatory dysfunction;
endometrial; iatrogenic; not yet classified. Secara umum, komponen dalam
“PALM” merupakan komponen entitas struktural, yang dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan pencitraan dan/atau histopatologi. Sedangkan “COEIN” meliputi
entitas yang non-struktural.

Dalam mendiagnosis suatu kelainan perdarahan uterus abnormal (PUA),


pertama diawali dengan mengevaluasi jumlah kehilangan darah ketika menstruasi
dan dampak yang dirasakan oleh pasien. FIGO (2018) merekomendasikan definisi
dan nomenklatur gejala-gejala perdarahan uterus abnormal. Penggunaan istilah
kelainan perdarahan uterus seperti menoragia, metroragia, oligomenorea,
polimenorea, hipo/hipermenorea dan perdarahan uterus disfungsional sering kali
sulit dimengerti dan didefinisikan, oleh karena itu telah ditinggalkan. Selanjut nya
diikuti dengan pemeriksaan fisik dan penunjang.

Penanganan perdarahan uterus abnormal (PUA) akut bergantung pada


keadaan klinis, kemungkinan etiologi dari hasil penjajakan, keinginan untuk
memiliki anak dan kondisi penyakit penyerta pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Munro MG, Critchley HOD, Fraser IS; FIGO Menstrual Disorders


Committee. The two FIGO systems for normal and abnormal uterine
bleeding symptoms and classification of causes of abnormal uterine
bleeding in the reproductive years: 2018 revisions. Int J Gynaecol Obstet.
2018 Dec;143(3):393-408.
2. Cheong Y, Cameron IT, Critchley HOD. Abnormal uterine bleeding. Br
Med Bull. 2017 Sep 1;123(1):103-114
3. Whitaker, L. and Critchley, H.O., 2016. Abnormal uterine bleeding. Best
Practice & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology, 34, pp.54-65
4. Siregar, M.F.G., 2016. Management of abnormal uterine bleeding in
perimenarche: diagnostic challenges. International Journal of Medical
Science and Public Health, 5(03), p.597
5. Dahiya, N., Prabhakar, N., Sharma, U. and Saxena, A., 2018.
Histopathological Study of Endometrium in Abnormal Uterine Bleeding in
Reference to Different Age Groups, Parity and Patterns of
Bleeding. Indian Journal of Public Health Research & Development, 9(3).
6. Sun, Yu et al. “Prevalence of abnormal uterine bleeding according to new
International Federation of Gynecology and Obstetrics classification in
Chinese women of reproductive age: A cross-sectional
study.” Medicine vol. 97,31 (2018): e11457
7. ACOG committee on Practice Bulletins—Gynecology. Practice bulletin
no. 128: diagnosis of abnormal uterine bleeding in reproductive-aged
women. Obstet Gynecol. 2012 Jul;120(1):197-206.
8. Albers JR, Hull SK, Wesley RM. Abnormal uterine bleeding. Am Fam
Physician. 2004 Apr 15;69(8):1915-26. PMID: 15117012.
9. Sweet, M.G., Schmidt-Dalton, T.A., Weiss, P.M. and Madsen, K.P., 2012.
Evaluation and management of abnormal uterine bleeding in
premenopausal women. American Family Physician, 85(1), pp.35-43.
10. Wouk, N. & Helton, M. 2019, ‘Abnormal Uterine Bleeding in
Premenopausal Women’, American Family Physician, vol. 99, no. 7, pp.
435-441.
11. Mayanda, I. B. A., & Surasandi, I. G. D. (2021). Prevalensi kejadian
perdarahan uterus abnormal di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
Denpasar periode Januari–Desember 2020. Intisari Sains Medis, 12(1),
107-112.
12. Baziad A, Hestiantoro A, Wiweko B. 2011. Panduan Tata Laksana
Perdarahan Uterus Abnormal. Hasil Lokakarya Himpunan Endokrinologi -
Reproduksi dan Fertilitas Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Aceh,
13. Hoffman et al., Chapter 8 : Abnormal Uterine Bleeding. Williams
Ginecology. 3rd Edition. 2016. McGraw-Hill Education
14. Davis E, Sparzak PB. Abnormal Uterine Bleeding. 2021 Feb 10. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan–. PMID: 30422508.Elmaoğulları S, Aycan Z. Abnormal Uterine
Bleeding in Adolescents. J Clin Res Pediatr Endocrinol. 2018;10(3):191-
197. doi:10.4274/jcrpe.0014.
15. Billow, M.R. and El-Nashar, S.A., 2016. Management of abnormal uterine
bleeding with emphasis on alternatives to hysterectomy. Obstetrics and
Gynecology Clinics, 43(3), pp.415-430.
16. Goldstein, S.R. and Lumsden, M.A., 2017. Abnormal uterine bleeding in
perimenopause. Climacteric, 20(5), pp.414-420.
17. ACOG., 2015. Abnormal uterine bleeding in reproductive-aged
women. Obstetrics and Gynecology Clinics, 42(1), pp.103-115.
18. Kaunitz, A.M. and Levine, D., 2021. Abnormal uterine bleeding in
nonpregnant reproductive-age patients: Evaluation and approach to
diagnosis. UpToDate [cited 2021 Nov 16]. Available from: https://www.
uptodate. com/contents/abnormal-uterine-bleeding-in-nonpregnant-
reproductive-age-patients-evaluationand-approach-to-diagnosis.
19. Yaşa C, Güngör Uğurlucan F. Approach to Abnormal Uterine Bleeding in
Adolescents. J Clin Res Pediatr Endocrinol. 2020;12(Suppl 1):1-6.
doi:10.4274/jcrpe.galenos.2019.2019.S0200
20. Sudhamani, S., Sirmukaddam, S. and Agrawal, D., 2015.
Clinicopathological study of abnormal uterine bleeding in perimenopausal
women. Journal of the Scientific Society, 42(1), p.3.
21. Benetti-Pinto, C.L., Rosa-e-Silva, A.C.J.D.S., Yela, D.A. and Soares, J.M.,
2017. Abnormal uterine bleeding. Revista Brasileira de Ginecologia e
Obstetrícia, 39, pp.358-368.
22. Puckett Y, Chan O. Acute Lymphocytic Leukemia. [Updated 2022 Jan 2].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459149/
23. Abdul-Hamid, G. . Classification of Acute Leukemia. In: Antica, M. ,
editor. Acute Leukemia - The Scientist's Perspective and Challenge
[Internet]. London: IntechOpen; 2011 [cited 2022 Jun 23]. Available from:
https://www.intechopen.com/chapters/25114 doi: 10.5772/19848
24. Gallegos-Arreola, M. P. , Borjas-Gutiérrez, C. , Zúñiga-González, G. M. ,
Figuera, L. E. , Puebla-Pérez, A. M. , García-González, J. R. .
Pathophysiology of Acute Lymphoblastic Leukemia. In: Mejia-Arangure,
J. M. , editor. Clinical Epidemiology of Acute Lymphoblastic Leukemia -
From the Molecules to the Clinic [Internet]. London: IntechOpen; 2013
[cited 2022 Jun 23]. Available from:
https://www.intechopen.com/chapters/44045 doi: 10.5772/54652
25. Al-Anazi, K. A. . Update on Leukemia in Pregnancy. In: Guenova, M. ,
Balatzenko, G. , editors. Leukemias - Updates and New Insights [Internet].
London: IntechOpen; 2015 [cited 2022 Jun 23]. Available from:
https://www.intechopen.com/chapters/49135 doi: 10.5772/61290
26. Chiravuri S, De Jesus O. Pancytopenia. [Updated 2021 Oct 17]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563146
27. Barbui, T. (2005). Hemorrhage and thrombosis in acute leukemia. In
Hematology Meeting Reports (formerly Haematologica Reports) (Vol. 1,
No. 9).

Anda mungkin juga menyukai