Anda di halaman 1dari 20

BAB

10 KELAINAN
MENSTRUASI
Oleh: Dr. dr. Salmon Charles PT Siahaan, Sp. OG

Pada tahun 2025, Federasi Internasional Obstetri dan


Ginekologi (FIGO) memperkenalkan klasifikasi baru untuk
Perdarahan Uterus Abnormal (AUB). FIGO pertama-tama
mengadopsi standar terminologi dan definisi yang
didasarkan pada ciri-ciri menstruasi normal. Dalam
kesepakatan kelompok FIGO, istilah Perdarahan Uterus
Disfungsi (DUB) dihapus dan diganti dengan "Perdarahan
Menstruasi Berat (HMB)." AUB mengacu pada perdarahan
HMB yang tidak normal atau perdarahan yang terjadi pada
waktu yang tidak tepat, dan bisa bersifat akut atau kronis.
FIGO pada tahun 2009 telah mendefinisikan AUB akut
sebagai "peristiwa perdarahan berat yang memerlukan
tindakan segera untuk mencegah kehilangan darah yang
lebih lanjut." AUB kronis didefinisikan sebagai "perdarahan
dari korpus uterus yang tidak normal dalam volume,
ketetapan, dan/atau durasi dan berlangsung selama kurang
lebih 6 bulan terakhir"; sehingga, tidak memerlukan perhatian
medis segera. AUB akut bisa terjadi sebagai bagian dari atau
bersamaan dengan kejadian AUB kronis. Perdarahan
antarsiklus (IMB = Inter Menstrual Bleeding) "terjadi antara
menstruasi yang teratur dan dapat diprediksi" dan
menggantikan istilah metrorrhagia. Kejadian ini bisa muncul
secara sporadis atau secara teratur dalam setiap siklus..
(Siahaan & Tannus, 2021; W
Sistem klasifikasi FIGO terbagi menjadi 9 kategori yang
terkait dengan perawatan klinis umum. Pembagian ini
direpresentasikan dalam akronim PALM-COEIN ("palm"
berasal dari kata "tangan" dan "coein" dari "koin").
Sebelumnya, istilah "perdarahan uterus disfungsi (DUB =
disfungsional uterine bleeding)" digunakan sebagai diagnosis
ketika tidak ada penyebab sistemik atau anatomi yang dapat
diidentifikasi untuk AUB. Dalam sistem baru ini, diakui
bahwa setiap pasien dapat memiliki satu atau lebih penyebab
yang berkontribusi pada perdarahan abnormal atau dapat
diidentifikasi dalam konteks perdarahan abnormal meskipun
tetap asimtomatik. Ketika AUB disebabkan oleh terapi
hormon medis, termasuk penggunaan alat kontrasepsi
intrauterin, hal tersebut termasuk dalam kategori iatrogenik.
Kategori "belum diklasifikasikan" mencakup gangguan yang
langka atau kurang didefinisikan dengan baik. Kategori
Maligna/Hiperplasia adalah kategori utama yang mencakup
hiperplasia dengan atau tanpa atipia serta keganasan dari
korpus uterus. Keganasan lebih lanjut diklasifikasikan
berdasarkan sistem klasifikasi dan penstadian dari Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dan FIGO.
(Munro et al., 2011; Watters et al., 2021)

Karakterisitik Menstruasi Normal


Durasi : 4,5 – 8 hari
Frekuensi (interval): 24-238 hari ( 22-35 hari pada tahun
midreproduksi)
Variasi siklus ke siklus: + 2-20 hari (selama 12 bulan)

Terminologi menstruasi:
Durasi: memanjang, normal, memendek
Frekuensi: Sering, normal, tidak sering
Regularitas: Regular, Iregular, tidak ada
Volume: Berat, normal, Ringan
Klasifikasi system oleh FIGO
Struktural Non Struktural
P Polyp C Coagulopathy
Ovulatory
A Adenomyosis O
dysfunction
L Leiomyoma E Endometrial
M Malignancy/Hyperplasia I Iatrogenic
N Not yet
Polip endometrial dan endocervical
Polip serviks (AUB-P) bisa timbul dari serviks itu
sendiri, mungkin berasal dari polip endometrium yang
prolap, atau bahkan leiomioma yang muncul di kanal serviks
atau di os eksternal. Meskipun etiologi polip serviks belum
sepenuhnya dipahami, kemungkinan adanya peran fungsi
hormonal atau inflamasi. Polip serviks umumnya muncul
pada usia reproduksi akhir (di atas usia 40 tahun). Polip
tersebut bisa memiliki ukuran dan warna yang bervariasi.
Secara histologis, polip serviks terdiri dari jaringan ikat
vaskular yang dikelilingi oleh epitel skuamosa, kolumnar,
atau skuamo-kolumnar. Pengangkatan direkomendasikan
ketika polip tersebut besar (> 3 cm), menimbulkan gejala, atau
tampak tidak normal. Pengangkatan biasanya dilakukan
dengan metode meraih dan memutar yang sederhana.
Prosedur kauterisasi atau koagulasi pada dasar polip dapat
mengurangi kemungkinan kekambuhan. Meskipun jarang
terjadi, kemungkinan keganasan juga harus dipertimbangkan.
(Munro et al., 2011)
. Polip endometrium adalah salah satu
penyebab umum Perdarahan Uterus Abnormal (AUB) pada
wanita sebelum dan setelah menopause. Secara histologis,
polip endometrium merupakan pertumbuhan hiperplastik
dari kelenjar endometrium dan stroma yang membentuk
proyeksi dari permukaan endometrium dan mengandung inti
vaskular, serta kadang-kadang sel otot polos. Prevalensi polip
endometrium cenderung meningkat seiring bertambahnya
usia. Polip tersebut dapat memiliki penampilan bertangkai
atau sesil (berbasis luas).
Meskipun banyak polip endometrium terdeteksi
karena gejala AUB, beberapa di antaranya tidak
menimbulkan gejala dan ditemukan secara kebetulan selama
pencitraan untuk indikasi lain. Meskipun jarang terjadi,
keganasan juga dapat terjadi pada polip endometrium.
(Munro et al., 2011; Xu et al., 2022).
Penyebab pembentukan
polip endometrium masih belum sepenuhnya dipahami,
tetapi telah ditemukan bahwa polip mengandung reseptor
estrogen dan progesteron. Progesteron mungkin memiliki
efek antiproliferatif pada polip, mirip dengan efeknya pada
endometrium, sedangkan estrogen, baik yang diproduksi
secara endogen maupun yang berasal dari luar tubuh,
mungkin menjadi faktor risiko dalam pertumbuhan polip.
Beberapa mekanisme seluler yang diusulkan dalam
perkembangan polip meliputi hiperplasia abnormal
monoklonal, overekspresi aromatase dalam endometrium,
dan mutasi gen tertentu. Faktor risiko klinis untuk
perkembangan polip endometrium meliputi obesitas,
penggunaan tamoxifen, terapi hormon pasca menopause,
serta pasien dengan sindrom Lynch atau Cowden.
(Xu et al., 2022)
. Meskipun gejala klinis yang paling umum dari polip
endometrium adalah Perdarahan Uterus Abnormal (AUB),
yang dapat diamati sebagai Perdarahan Antarsiklus pada
wanita premenopause, pendarahan postmenopause, atau
pendarahan tembusan pada wanita menopause yang sedang
menjalani terapi hormon. Studi menunjukkan bahwa sekitar
12% wanita yang menjalani pemeriksaan sitologi serviks
memiliki polip endometrium, dengan sebagian besar dari
mereka (sekitar 72%) tidak menunjukkan gejala apa pun,
sementara sekitar 2% dari polip tersebut ditemukan
bersamaan dengan hiperplasia endometrium. Polip
endometrium umumnya diidentifikasi melalui prosedur
pencitraan seperti ultrasonografi atau histeroskopi. Untuk
mengkonfirmasi diagnosis, ultrasonografi dapat ditingkatkan
dengan sonohisterografi. Diferensiasi antara polip dan mioma
dapat didasarkan pada penampilan ultrasonografi, bayangan
yang dihasilkan, dan vaskularitasnya.
Meskipun sebagian kecil polip mungkin mengalami
regresi, lesi yang lebih besar dari 1 cm cenderung tidak akan
menghilang dengan sendirinya. Dalam 99% kasus, polip
bersifat jinak. Risiko keganasan lebih tinggi terkait dengan
polip endometrium yang ditemukan pada wanita
postmenopause, polip yang ditemukan selama evaluasi AUB,
pada wanita yang menggunakan tamoxifen, atau pada wanita
dengan polip yang lebih besar dari 1,5 cm. Meskipun polip
endometrium tidak secara langsung berhubungan dengan
kehilangan kehamilan, pengangkatan polip mungkin
merupakan langkah terbaik pada wanita yang sedang
menjalani terapi untuk infertilitas. Saat ini, tidak ada panduan
yang jelas untuk pengelolaan wanita dengan polip
endometrium yang tidak menimbulkan gejala dan tidak
menjalani polipektomi. Risiko keseluruhan untuk
kekambuhan polip endometrium cenderung rendah.
Penggunaan sistem intrauterin levonorgestrel (LNG-IUS),
seperti Mirena, telah terbukti dapat mengurangi risiko
kekambuhan polip endometrium, terutama pada wanita yang
menggunakan tamoxifen.
(Munro et al., 2011; Sasaki et al., 2018; Xu et al., 2022)

Adenomyosis
Adenomiosis (AUB-A) adalah kondisi di mana kelenjar
endometrium dan stroma tumbuh ke dalam lapisan
miometrium uterus, menyebabkan hipertropi lokal atau difus
pada fundus uterus dan mengakibatkan pembesaran korpus
uterus. Lokasi yang terbatas dari adenomiosis mungkin sulit
dibedakan dari leiomioma. Insidens adenomiosis dilaporkan
terjadi pada sekitar 20% hingga 65% wanita dan biasanya
terkait dengan peningkatan usia. Adenomiosis sering kali
menyertai gejala dismenore berat, depresi, dan riwayat
operasi pada uterus. Meskipun etiologi adenomiosis belum
sepenuhnya dipahami, teori yang diajukan meliputi
invaginasi endometrium, mula dari sisa-sisa mullerian, atau
proses metaplastik.
Perubahan fungsi molekuler pada kelenjar
endometriosis atau zona junctional antara endometrium dan
miometrium, bersama dengan pengaruh estrogen dan
progesteron, juga dianggap sebagai faktor etiologis. Hormon
hipofisis, seperti prolaktin dan hormon folikel-stimulasi,
mungkin juga memainkan peran dalam perkembangan
adenomiosis. Beberapa bukti menunjukkan bahwa leiomioma
dan adenomiosis dapat memiliki asal yang sama dalam hal
angiogenesis dan disregulasi faktor-faktor pertumbuhan.
Adenomiosis tidak memiliki kesamaan patogenik dengan
endometriosis, meskipun gejala yang terkait seringkali mirip,
seperti nyeri panggul. Temuan fisik dan patologis pada
uterus yang mengalami adenomiosis mencakup pembesaran
dan peningkatan volume uterus dan berat yang melampaui
parameter normal. Pada pencitraan, adenomiosis mungkin
tampak serupa dengan leiomioma, namun tidak
menunjukkan pembentukan kapsul diskrit dan tidak mudah
direseksi. Secara histopatologis, adenomiosis ditandai dengan
adanya jaringan endometrial yang menembus 1 hingga 2
lapisan jaringan miometrial. Gejala klinis yang umum terkait
dengan adenomiosis meliputi Perdarahan Menstruasi Berat
(HMB) bersama dengan dismenore atau nyeri panggul kronis,
meskipun sekitar 30% wanita mungkin tidak menunjukkan
gejala. Diagnosis konfirmatif sering kali memerlukan
pemeriksaan histerektomi, namun peningkatan volume
uterus, miometrium yang tebal, kista miometrium, atau
heterogenitas miometrium yang meningkat dengan hilangnya
junction endometrial miometrial yang jelas yang terungkap
melalui ultrasonografi atau pencitraan MRI dapat sangat
menunjukkan adanya adenomiosis. Meskipun histerektomi
merupakan terapi definitif untuk adenomiosis, terapi
hormonal efektif bagi banyak wanita yang mengalami gejala.
Pilihan terapi meliputi kontrasepsi oral kombinasi, terapi
hanya progesteron, agonis hormon gonadotropin-releasing
(GnRH), atau inhibitor aromatase.
Terapi hormonal, seperti penggunaan sistem
intrauterin levonorgestrel (LNG-IUS), telah terbukti
mengurangi volume menstruasi dan mengurangi nyeri
dismenore. Beberapa prosedur lainnya, seperti ablasi atau
reseksi endometrium, eksisi adenomiosis, atau
elektrokoagulasi miometrium laparoskopik, juga dapat
dipertimbangkan. Intervention bedah yang dilakukan
bersamaan dengan terapi medis pascaoperasi mungkin
memberikan hasil yang lebih baik daripada hanya melakukan
operasi. Beberapa teknik baru, seperti embolisasi arteri uterus
atau bedah ultrasonografi terfokus yang dipandu oleh MRI,
juga menunjukkan harapan dalam penanganan adenomiosis.
Meskipun begitu, histerektomi tetap menjadi terapi pilihan
bagi wanita yang telah menyelesaikan proses kelahiran dan
tidak berencana untuk memiliki anak lagi..
(Harmsen et al., 2019; Vannuccini & Petraglia,

Leiomyoma
Leiomyoma (AUB-L) adalah tumor fibromuskular
umum yang berkembang dari miometrium uterus dan
memiliki prevalensi yang tinggi pada wanita. Tumor ini
dapat bervariasi dalam ukuran, lokasi, dan jumlahnya,
sehingga memerlukan klasifikasi dalam kategori FIGO.
Banyak leiomyoma tidak menimbulkan gejala, namun
beberapa dapat memiliki tingkat pertumbuhan dan gejala
sekunder yang berbeda-beda. Sistem klasifikasi FIGO
mengusulkan pengelompokan fibroid berdasarkan lokasinya
di dalam rahim. Fibroid dapat diklasifikasikan dalam lebih
dari satu kategori karena ukurannya, yang dapat
memengaruhi lebih dari satu bagian rahim. Tiga
subkelompok utama adalah intermural (berada di dalam
dinding rahim), submukosa (berada di bawah lapisan mukosa
rahim), dan subserosa (berada di luar permukaan rahim).
Leiomyoma juga dapat melibatkan ligamen atau serviks.
Leiomyoma uterus merupakan tumor jinak monoklonal dari
otot polos miometrium yang dikelilingi oleh pseudokapsul
jaringan areolar dan serat otot yang terkompresi. Etiologi
yang paling mungkin adalah transformasi miosit normal
menjadi miosit abnormal yang kemudian berkembang
menjadi tumor klinis yang terlihat. Banyak faktor, seperti
hormon steroid, lingkungan, genetika, serta faktor-faktor
pertumbuhan yang terkait dengan angiogenesis dan proses
fibrotik, berkontribusi pada pertumbuhan dan manifestasi
klinis leiomyoma. Pendarahan uterus berlebihan yang terkait
dengan fibroid uterus diduga disebabkan oleh perubahan
dalam endometrium dan vaskularisasi.
Sebanyak 60% leiomyoma memiliki kariotipe yang
abnormal, dan beberapa abnormalitas kromosom lebih sering
terlihat, seperti trisomi 12, translokasi antara kromosom 12
dan 14, serta delesi atau perombakan kromosom lainnya.
Beberapa wanita mungkin memiliki kecenderungan keluarga
terhadap leiomyoma. Hormon steroid memiliki hubungan
yang kompleks dengan leiomyoma. Estrogen dan
progesteron, bersama dengan reseptornya, berperan dalam
patogenesis fibroid, serta aromatase dan bahkan sel punca
juga terlibat. Perubahan molekuler yang menyebabkan
peningkatan faktor-faktor pertumbuhan angiogenik, dan
dengan demikian jumlah dan fungsi pembuluh darah yang
abnormal, diyakini berkontribusi pada gejala yang terkait
dengan fibroid, serta faktor-faktor pertumbuhan fibrotik yang
tidak teratur. (Singh et al., 2021) . Faktor risiko untuk
perkembangan leiomyoma meliputi ras (dengan kulit hitam
memiliki risiko yang lebih tinggi daripada kulit putih),
menarke awal (usia awal menstruasi), hipertensi, obesitas,
dan faktor-faktor diet. Paritas yang lebih tinggi atau interval
kehamilan yang lebih pendek, serta tidak merokok tembakau,
dapat mengurangi risiko. Penggunaan kontrasepsi hormonal
dan agen pemicu ovulasi tampaknya tidak memiliki
pengaruh yang signifikan. Penelitian tentang asupan vitamin
yang cukup atau kekurangan, serta peran infeksi uterus,
masih dalam proses. Gejala yang sering terkait dengan
leiomyoma adalah Perdarahan Menstruasi Berat (HMB),
tekanan di perut bagian bawah atau nyeri panggul, dan
gangguan fungsi reproduksi. Perdarahan dapat menjadi berat
atau berkepanjangan, tetapi mioma tidak terkait dengan
Perdarahan Antarsiklus atau perdarahan postmenopause.
Fibroid yang menonjol ke dalam rongga endometrium
atau mengubah rongga endometrium memiliki hubungan
yang lebih besar dengan HMB dan dapat meningkatkan
risiko anemia. Fibroid yang besar dapat menyebabkan gejala
seperti frekuensi berkemih yang meningkat, kesulitan
mengosongkan kandung kemih, atau sembelit.
Dysmenorrhea dan dispareunia juga dapat terjadi, terutama
jika fibroid terletak di bagian anterior atau fundus rahim.
Kehadiran fibroid juga dapat meningkatkan risiko
keguguran, mengurangi tingkat konsepsi, atau menyebabkan
komplikasi selama kehamilan, termasuk pembatasan
pertumbuhan janin, ablasi plasenta, malpresentasi, dan
persalinan prematur. Pemeriksaan fisik dan bimanual
merupakan langkah awal dalam mengevaluasi uterus, untuk
menilai ukuran dan kontur rahim. Pemeriksaan pencitraan
membantu dalam mengevaluasi fibroid, termasuk jumlah,
ukuran, dan lokasinya. Modalitas pencitraan yang digunakan
dapat meliputi ultrasonografi transvaginal atau abdominal,
histeroskopi diagnostik, MRI, dan histerosalpingogram. Jika
terjadi perdarahan postmenopause atau perdarahan abnormal
lainnya, maka pengambilan sampel endometrium mungkin
perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
hiperplasia atau keganasan, sebagai langkah terpisah dari
evaluasi fibroid. (Lonky et al., 2023; Wright et al., 2023) .
Kombinasi hormon steroid atau terapi hormonal berbasis
progestin dapat membantu mengelola gejala Perdarahan
Menstruasi Berat (HMB) yang disebabkan oleh leiomyoma,
tetapi tidak memberikan solusi jangka panjang untuk
pengobatan fibroid itu sendiri. Studi observasional mengenai
penggunaan sistem Intrauterine Levonorgestrel (LNG-IUS)
dan tinjauan sistematis menunjukkan kemungkinan
penurunan volume uterus dan perdarahan, sambil
memberikan perlindungan kontrasepsi yang efektif. Namun,
tidak ada uji klinis acak yang tersedia saat ini untuk
memberikan bukti yang lebih kuat. Agonis Hormon
Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) merupakan terapi
medis yang paling efektif untuk pengelolaan leiomyoma,
yang dapat menyebabkan amenore (tidak menstruasi) dan
mengurangi gejala fibroid dengan penurunan ukuran uterus
sebesar 35% hingga 60%.
Namun, penting untuk dicatat bahwa gejala fibroid
dapat kembali muncul setelah penghentian penggunaan
agonis GnRH. Penggunaan jangka panjang agonis GnRH
mungkin tidak diinginkan karena efek samping seperti
penurunan densitas tulang, serta gejala menopause seperti
mialgia atau artralgia. Penggunaan agonis GnRH paling
umum dilakukan sebelum operasi untuk membantu
meningkatkan kadar hemoglobin pada pasien..
(Lonky et al., 2023; Wright et al., 2023)

Malignancy dan Hiperplasia (AUB-M)


Klasifikasi WHO untuk hiperplasia endometrium (EH)
didasarkan pada 4 etiologi:
1. Sederhana tanpa atipia
2. Kompleks tanpa atipia
3. Sederhana dengan atipia
4. Kompleks dengan atypia

Pada wanita pramenopause atau pasca menopause


dengan gejala perdarahan abnormal, penting untuk
mempertimbangkan kemungkinan keganasan. Diagnosis
hiperplasia endometrium didasarkan pada gambaran kelenjar
dan stroma. Insiden tertinggi hiperplasia endometrium tanpa
atipia biasanya terjadi pada wanita berusia 50 hingga 54
tahun, sementara hiperplasia endometrium dengan atipia
lebih umum terjadi pada wanita berusia 60 hingga 64 tahun.
Faktor risiko untuk hiperplasia endometrium serupa dengan
faktor risiko untuk karsinoma endometrium (kanker
endometrium) dan umumnya melibatkan paparan estrogen
yang berkepanjangan. Faktor risiko ini mencakup
peningkatan usia, obesitas, menarke dini (usia menstruasi
awal), menopause terlambat (setelah usia 55 tahun), sindrom
ovarium polikistik, diabetes mellitus, nulliparitas (tidak
pernah melahirkan anak), penggunaan tamoksifen, serta
riwayat keluarga dengan karsinoma endometrium atau
Sindrom Lynch atau Cowden.
Hiperplasia endometrium pada wanita dengan tumor
yang memproduksi estrogen atau pada wanita yang
mengalami defisiensi estrogen juga dapat meningkatkan
risiko keganasan. Gejala yang umumnya terjadi akibat
hiperplasia endometrium adalah perdarahan uterus abnormal
atau perdarahan postmenopause. Namun, ditemukannya sel-
sel endometrium pada sitologi serviks jarang terjadi dan
dapat menjadi tanda kecurigaan lainnya.
(Giannella et al., 2019; Jha et al., 2021)
. Diagnosis hiperplasia endometrium
biasanya dibuat dengan melakukan pemeriksaan dan
pengambilan sampel endometrium, yang dapat dilakukan
dengan atau tanpa bantuan pencitraan seperti ultrasonografi
transvaginal. Jika sel-sel yang diambil tidak mencukupi untuk
diagnosis, perlu dilakukan pengulangan pengambilan sampel
dengan biopsi endometrium atau dilatasi dan kuretase. Polip
endometrium atau leiomyoma adalah diagnosis banding yang
perlu dipertimbangkan. Keberadaan atipia dalam hiperplasia
endometrium menjadi perhatian utama terkait potensi
keganasan. Namun, baik biopsi endometrium maupun
kuretase endometrium mungkin tidak cukup untuk secara
pasti mengecualikan keganasan. Regresi hiperplasia
endometrium telah tercatat terjadi pada 70% hingga 85%
wanita dengan pengobatan. Biopsi endometrium harus
diulang setiap 3 hingga 6 bulan sampai regresi hiperplasia
terkonfirmasi. Jika hiperplasia endometrium kambuh, dosis
progestin dapat disesuaikan atau pemasangan sistem
intrauterin levonorgestrel (LNG-IUS) dapat dipertimbangkan.
Jika atipia berkembang, perlu dilakukan tinjauan kembali
pengobatan dengan berkonsultasi dengan ahli onkologi
ginekologi. (Giannella et al., 2019)
Koagulopati
Koagulopati (AUB-C) merujuk pada gangguan sistemik
pada hemostasis yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan uterus abnormal atau Perdarahan Menstruasi
Berat (HMB). Wanita yang memerlukan terapi antikoagulasi
seumur hidup juga termasuk dalam kategori ini. Klasifikasi
baru dari FIGO menyatakan bahwa lebih tepat untuk
mengkategorikan wanita yang sedang mengonsumsi
antikoagulasi sebagai bagian dari kelompok koagulopati.
Sekitar satu dari lima wanita dengan HMB memiliki
gangguan koagulasi. Penyakit von Willebrand adalah
diagnosis yang paling umum terjadi, mempengaruhi sekitar
1% dari populasi. Kelainan fungsi trombosit merupakan
kelompok koagulopati yang paling sering ditemui.
Kekurangan faktor pembekuan dan hemofilia jarang terjadi.
Penyebab non-herediter dari koagulopati meliputi disfungsi
trombosit yang didapat akibat penggunaan obat antiinflamasi
nonsteroid, penyakit ginjal, idiopatik trombositopenia
purpura, atau kondisi yang mempengaruhi produksi faktor
pembekuan. Faktor koagulasi dapat dipengaruhi oleh kondisi
medis lainnya, seperti gangguan tiroid, penyakit ginjal atau
gangguan fungsi hati, pendarahan aktif, terapi hormon, atau
penggunaan suplemen makanan tertentu. Penting untuk
menyingkirkan penyebab anatomi dari perdarahan abnormal
sebelum diagnosis koagulopati ditegakkan.
(Dickerson et al., 2018)
. Dalam kasus perdarahan akut dengan penurunan
hemoglobin, penting untuk melakukan pemeriksaan
koagulopati. Manajemen dapat memerlukan penggunaan
regimen kontrasepsi gabungan estrogen dan progestin atau
bahkan pemberian estrogen konjugat secara intravena,
dengan penyesuaian regimen kontrasepsi gabungan setelah
perdarahan terkendali. Pemeriksaan laboratorium untuk
koagulopati sebaiknya dilakukan sebelum transfusi darah,
karena pasien yang tidak stabil mungkin memerlukan terapi
hormon dan produk darah spesifik. Intervensi bedah kadang-
kadang diperlukan, seperti dilatasi dan kuretase serta
pemasangan tamponade balon.
Prosedur seperti embolisasi arteri rahim dengan busa
gel non-permanent juga bisa menjadi pilihan, namun perlu
dipertimbangkan untuk menghindari prosedur yang dapat
menghambat kemungkinan kehamilan di masa depan,
terutama pada wanita muda usia subur atau remaja. Prosedur
yang bersifat permanen dan dapat menghilangkan
kemampuan untuk hamil termasuk ablasi endometrium dan
histerektomi. Selain intervensi hormonal, penggunaan
antifibrinolitik juga dapat membantu mengendalikan
perdarahan. Transfusi darah sebaiknya disesuaikan dengan
kebutuhan pasien, meskipun pemberian sel darah merah
terkonsentrasi bisa dimulai pada pasien dengan kondisi tidak
stabil. Protokol transfusi yang tepat dapat membantu
mengelola kehilangan darah mendesak yang timbul akibat
perdarahan akut..
(Sabre et al., 2021; Shakhlobegim & Qizi, n.d.)

Disfungsi Ovarium
Disfungsi ovulasi (AUB-O) adalah pola yang bervariasi
mulai dari amenore menuju aliran menstruasi dengan
interval tidak teratur hingga Perdarahan Menstruasi Berat
(HMB) yang terjadi sepanjang tahun reproduksi dan
mendekati masa menarche dan perimenopause. Etiologi
disfungi ovulasi bervariasi mulai dari gangguan medis atau
endokrin hingga penyebab yang tidak diketahui dengan pasti
Penting untuk menyingkirkan kemungkinan abnormalitas
anatomis. Regimen hormonal atau obat yang mempengaruhi
sumbu hipotalamus-hipofisis-ovarium (HPO) dan
berhubungan dengan perdarahan yang tidak teratur disebut
iatrogenik, tetapi FIGO telah mengkategorikan peristiwa ini
sebagai bagian dari disfungsi ovulasi. (Jain et al., 2023) .
Anovulasi adalah penyebab utama perdarahan uterus
abnormal (AUB) pada wanita remaja, terutama terjadi 12-18
bulan setelah menarche. Interval menstruasi pada Wanita
muda memiliki rentang waktu 21-34 hari. Pendarahan yang
berlebihan sering kali memerlukan intervensi medis.
Beberapa gangguan dapat didiagnosis pada wanita muda
menjelang menarche, termasuk gangguan endokrin,
koagulopati, dan sindrom ovarium polikistik.
(Bumbuliene et al., 2019)
. Pada kelompok usia 19-39 tahun, pertumbuhan
endometrium, yang ditandai dengan kadar androgen,
merupakan gejala umum AUB yang disebabkan oleh ovulasi.
Kelompok ini juga berisiko mengalami hiperplasia
endometrium dan kanker ovarium. Terapi hormonal adalah
pengobatan yang paling umum untuk pertumbuhan
endometrium. Pada usia pasca menopause, terapi hormonal
dapat membantu mencegah hiperplasia endometrium dan
kanker ovarium. (Watters et al., 2021) . Ablasi endometrium
(EAB) adalah pilihan pengobatan bagi wanita yang tidak siap
untuk menjalani operasi. Namun, tindakan ini memiliki risiko
yang signifikan jika tidak dikelola sebagai alternatif.
Komplikasi EAB meliputi disfungsi uterus, stenosis, distorsi
endometrium, dan potensi kanker endometrium.
(Vitale et al., 2023)

Endometrial
AUB-E adalah gangguan pada endometrium (AUB-E)
yang terjadi pada wanita yang memiliki siklus menstruasi
teratur namun mengalami AUB tanpa penyebab lain yang
teridentifikasi. HMB dalam kasus ini mungkin terjadi karena
gangguan dalam hemostasis lokal endometrium. Produksi
lokal yang meningkat dari prostaglandin E2 dan prostasiklin
juga dapat berperan dalam mempromosikan vasodilatasi.
Saat ini, belum ada tes klinis yang tersedia untuk
mendiagnosis gangguan endometrial ini secara langsung.
Gangguan endometrial lain, infeksi atau peradangan
endometrium, juga dapat menyebabkan IMB. Abnormalitas
dalam respons inflamasi lokal dan vasculogenesis
endometrial yang terganggu, atau defisiensi dalam perbaikan
molekuler endometrium, juga merupakan kemungkinan
penyebab. Biasanya, diagnosis AUB dalam kategori ini
ditegakkan melalui proses eliminasi penyebab lain yang
mungkin terjadi. (Middelkoop et al., 2023)

Iatrogenic
Intervensi medis, terapi hormonal atau alat kontrasepsi
intrauterin, dapat menyebabkan atau berkontribusi pada
AUB. Perdarahan di luar jadwal terkait dengan kontrasepsi
hormonal sering disebut break through bleeding (BTB) dan
menjadi penyebab utama AUB dalam kategori ini.
Mekanisme lain berkontribusi pada AUB dalam kategori
iatrogenik termasuk penurunan kadar steroid gonadal karena
ketidakpatuhan pasien, obat-obatan atau suplemen, dan
pengaruh terhadap penyerapan serotonin atau kebiasaan
merokok. Penggunaan kontrasepsi hormonal progestin
seringkali terkait dengan perdarahan tembusan selama 1-6
bulan pertama. Selain itu, perdarahan menstruasi yang berat
adalah kejadian yang sering terjadi pada wanita yang
menggunakan obat antikoagulan seperti warfarin, heparin,
dan heparin berat molekul rendah karena obat-obatan ini
menghambat pembentukan bekuan darah di pembuluh darah
endometrium. Namun, perdarahan yang terkait dengan
penggunaan antikoagulan ini digolongkan dalam kategori
AUB-C (koagulopati) karena mempengaruhi gangguan
sistemik pada hemostasis, bukan hanya endometrium.
(Marnach & Laughlin-Tommaso, 2019)

Belum diklasifikasi (Not yet classified)


Klasifikasi tepat bagi wanita dengan AUB, HMB, dan
IMB adalah penting karena memungkinkan para klinisi untuk
menerapkan terapi klinis, berkomunikasi dengan klinisi lain
di tingkat internasional, dan membantu penelitian masa
depan. Penelitian masa depan diharapkan dapat
menempatkan penyebab-penyebab ini ke kategori-kategori
terpisah. (BACON, 2017)

Daftar Pustaka

BACON, J. L. (2017). OBSTETRICS AND GYNECOLOGY :


maintenance of knowledge, an issue of obstetrics
and ... gynecology clinics. ELSEVIER - HEALTH
Science.
Bumbuliene, Z., Sragyte, D., Klimasenko, J., & Bumbul-
Mazurek, E. (2019). Abnormal uterine bleeding in
adolescents: ultrasound evaluation of uterine volume.
Gynecological Endocrinology, 35(4), 356–359.
https://doi.org/10.1080/09513590.2018.1538345
Dickerson, K. E., Menon, N. M., & Zia, A. (2018). Abnormal
Uterine Bleeding in Young Women with Blood
Disorders. In Pediatric Clinics of North America (Vol. 65,
Issue 3, pp. 543–560). W.B. Saunders.
https://doi.org/10.1016/j.pcl.2018.02.008
Giannella, L., Cerami, L. B., Setti, T., Bergamini, E., & Boselli,
F. (2019). Prediction of Endometrial Hyperplasia and
Cancer among Premenopausal Women with Abnormal
Uterine Bleeding. BioMed Research International, 2019.
https://doi.org/10.1155/2019/8598152
Harmsen, M. J., Wong, C. F. C., Mijatovic, V., Griffioen, A. W.,
Groenman, F., Hehenkamp, W. J. K., & Huirne, J. A. F.
(2019). Role of angiogenesis in adenomyosis-associated
abnormal uterine bleeding and subfertility: A
systematic review. In Human Reproduction Update (Vol.
25, Issue 5, pp. 647–671). Oxford University Press.
https://doi.org/10.1093/humupd/dmz024
Jain, V., Munro, M. G., & Critchley, H. O. D. (2023).
Contemporary evaluation of women and girls with
abnormal uterine bleeding: FIGO Systems 1 and 2.
International Journal of Gynecology and Obstetrics, 162(S2),
29–42. https://doi.org/10.1002/ijgo.14946
Jha, S., Singh, A., Sinha, H. H., Bhadani, P., Anant, M., &
Agarwal, M. (2021). Rate of premalignant and
malignant endometrial lesion in “low-risk”
premenopausal women with abnormal uterine
bleeding undergoing endometrial biopsy. Obstetrics and
Gynecology Science, 64(6), 517–523.
https://doi.org/10.5468/OGS.21150
Lonky, N. M., Chiu, V., Portugal, C., Estrada, E. L., Chang, J.,
Fischer, H., Vora, J. B., Harrison, L. I., Peng, L., &
Munro, M. G. (2023). Adenomyosis in women
undergoing hysterectomy for abnormal uterine
bleeding associated with uterine leiomyomas. PLoS
ONE, 18(12 December).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0294925
Marnach, M. L., & Laughlin-Tommaso, S. K. (2019).
Evaluation and Management of Abnormal Uterine
Bleeding. In Mayo Clinic Proceedings (Vol. 94, Issue 2,
pp. 326–335). Elsevier Ltd.
https://doi.org/10.1016/j.mayocp.2018.12.012
Middelkoop, M. A., Don, E. E., Hehenkamp, W. J. K., Polman,
N. J., Griffioen, A. W., & Huirne, J. A. F. (2023).
Angiogenesis in abnormal uterine bleeding: a narrative
review. In Human Reproduction Update (Vol. 29, Issue 4,
pp. 457–485). Oxford University Press.
https://doi.org/10.1093/humupd/dmad004
Munro, M. G., Critchley, H. O. D., Broder, M. S., & Fraser, I. S.
(2011). FIGO classification system (PALM-COEIN) for
causes of abnormal uterine bleeding in nongravid
women of reproductive age. International Journal of
Gynecology and Obstetrics, 113(1), 3–13.
https://doi.org/10.1016/j.ijgo.2010.11.011
Sabre, A., Serventi, L., Nuritdinova, D., Schiattarella, A., &
Sisti, G. (2021). Abnormal uterine bleeding types
according to the palm-coein figo classification in a
medically underserved american community. Journal of
the Turkish German Gynecology Association, 22(2), 91–96.
https://doi.org/10.4274/jtgga.galenos.2021.2020.0228
Sasaki, L. P., Andrade, K. R., Figueiredo, A. M., Wanderley,
M. S., & Pereira, M. G. (2018). Factors Associated with
Malignancy in Hysteroscopically Resected Endometrial
Polyps: A Systematic Review and Meta-Analysis.
Journal of Minimally Invasive Gynecology, 25(7), S1.
https://doi.org/10.1016/j.jmig.2018.09.007
Shakhlobegim, P., & Qizi, O. (n.d.). A LITERATURE REVIEW
ON ABNORMAL UTERINE BLEEDING.
Siahaan, S. C., & Tannus, F. A. (2021). GANGGUAN
MENSTRUASI DAN PENYEBABNYA. Proseding
Webinar Nasional GAUL RI: Gerakan Anak Muda
Lindungi Reproduksi Indonesia, 2–2.
Singh, P. B., Purwar, R., & Mall, R. P. (2021). Clinical spectrum
and causes of abnormal uterine bleeding in
reproductive age according to two FIGO systems. The
New Indian Journal of OBGYN, 8(1), 105–111.
https://doi.org/10.21276/obgyn.2021.8.1.20
Vannuccini, S., & Petraglia, F. (2019). Recent advances in
understanding and managing adenomyosis. In
F1000Research (Vol. 8). F1000 Research Ltd.
https://doi.org/10.12688/f1000research.17242.1
Vitale, S. G., Della Corte, L., Ciebiera, M., Carugno, J.,
Riemma, G., Lasmar, R. B., Lasmar, B. P.,
Kahramanoglu, I., Urman, B., Mikuš, M., De Angelis,
C., Török, P., & Angioni, S. (2023). Hysteroscopic
Endometrial Ablation: From Indications to
Instrumentation and Techniques—A Call to Action. In
Diagnostics (Vol. 13, Issue 3). MDPI.
https://doi.org/10.3390/diagnostics13030339
Watters, M., Martínez-Aguilar, R., & Maybin, J. A. (2021). The
Menstrual Endometrium: From Physiology to Future
Treatments. In Frontiers in Reproductive Health (Vol. 3).
Frontiers Media S.A.
https://doi.org/10.3389/frph.2021.794352
Whitaker, L., & Critchley, H. O. D. (2016). Abnormal uterine
bleeding. Best Practice and Research: Clinical Obstetrics
and Gynaecology, 34, 54–65.
https://doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2015.11.012
Wright, D., Kim, J. W., Lindsay, H., & Catherino, W. H. (2023).
A Review of GnRH Antagonists as Treatment for
Abnormal Uterine Bleeding-Leiomyoma (AUB-L) and
Their Influence on the Readiness of Service Members.
Military Medicine, 188(7–8), e1620–e1624.
https://doi.org/10.1093/milmed/usac078
Xu, J., Rao, X., Lu, W., Xie, X., Wang, X., & Li, X. (2022).
Noninvasive Predictor for Premalignant and Cancerous
Lesions in Endometrial Polyps Diagnosed by
Ultrasound. Frontiers in Oncology, 11.
https://doi.org/10.3389/fonc.2021.812033

Biodata Penulis:
Dr. dr. Salmon Charles
Siahaan, Sp. OG. Lahir di
Jakarta, pada tanggal 31
Oktober 1980. dr. Charles
menyelesaikan
Pendidikan S1-profesi
dokter Fakultas
Kedokteran Universitas
Sriwijaya pada tahun 2004
dan melanjutkan program
Pendidikan dokter
Spesialis Obstetri dan
Ginekologi serta Doktoral
di Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.
Dokter Charles menjabat
sebagai wakil dekan
bidang kemahasiswaan
dan pengembangan
Fakultas Kedokteran
Universitas Ciputra
Surabaya. dr. Charles
sudah mempublikasikan
beberapa artikel
penelitian dan pengmas
serta laporan kasus pada
jurnal Nasional
terakreditasi dan jurnal
Internasional bereputasi
berfaktor dampak.

Anda mungkin juga menyukai