Disusun oleh :
Rizma Aisyah Ramadhani Azis
NIM : 2315901051
A. Latar Belakang
Adapun gambaran terjadinya perdarahan uterus abnormal antara lain perdarahan sering
terjadi setiap waktu dalam siklus haid. Perdarahan dapat bersifat sedikit-sedikit, terus-menerus
atau banyak dan berulang-ulang dan biasanya tidak teratur. Penyebab perdarahan uterus
abnormal sulit diketahui dengan pasti tapi biasanya dijumpai pada sindrom polikistik ovarii,
obesitas, imaturitas dari poros hipotalamik-hipofisis-ovarium, misalnya pada masa menarche,
serta ganguan stres bisa mengakibatkan manifestasi penyakit ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan masalah dalam
penelitian sebagai berikut “Asuhan Kebidanan Pada Pasien Dengan Diagnosa Medis Arteri
Uterine Bleending (AUB) Di RSUD Haji Surabaya”
C. Tujuan
1) Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengimplementasikan asuhan kebidanan pada
pelayanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal sesuai dengan standar pelayanan
kebidanan serta mendokumentaskan hasil asuhannya dalam bentuk SOAP.
2) Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan mengenai teori dan konsep dasar asuhan kebidanan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
b. Mengintegrasikan teori dan manajemen asuhan kebidanan serta
mengimplementasikan pada kasus yang dihadapi
D. Manfaat
1) Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penulisan ini data dijadikan acuan untuk pengembangan keilmuan dimasa yang
akan dating terutama pada pelayanan kebidanan.
2) Bagi Penulis
Penulisan yang dilakukan diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman
mengenai asuhan kebidanan pada pasien dengan diagnose AUB
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun
lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang
memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan
haid banyak atau Heavy Menstrual Bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal
yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostasis lokal endometrium dan gangguan
ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional
(PUD).
Pola dari pendarahan uterus abnormal terdapat penggolongan standar dari perdarahan
abnormal yang dibedakan menjadi 7 pola, yaitu:
1. Menoragia (hipermenorea)
perdarahan menstruasi yang banyak dan memanjang. Adanya bekuan-bekuan darah tidak
selalu abnormal, tetapi dapat menandakan adanya perdarahan yang banyak. Perdarahan
yang 'gushing' dan ‘open-faucet’ selalu menandakan sesuatu yang tidak lazim. Mioma
submukosa, komplikasi kehamilan, hyperplasia endometrium, tumor ganas, dan
perdarahan disfungsional adalah penyebab tersering dari menoragia.
2. Hipomenorea (kriptomenorea)
perdarahan menstruasi yang sedikit, dan terkadang hanya berupa bercak darah. Obstruksi
seperti pada stenosis himen atau serviks mungkin sebagai penyebab. Sinekia uterus
(Asherman's syndrome) dapat menjadi penyebab dan diagnosis ditegakkan dengan
histerogram dan hisleroskopi. Pasien yang menjalani kontrasepsi oral terkadang mengeluh
seperti ini, dan dapat dipastikan ini tidak apa-apa.
4. Polimenorea
periode menstruasi yang terjadi terlalu sering. Hal ini biasanya berhubungan dengan
anovulasi dan pemendekan fase luteal pada siklus menstruasi.
5. Menometroragia
perdarahan yang terjadi pada interval yang iregular. Jumlah dan durasi perdarahan juga
bervariasi. Kondisi apapun yang menyebabkan perdarahan intermenstruasi dapat
menyebabkan menometroragia. Onset yang tiba-tiba dari episode perdarahan dapat
mengindikasikan adanya keganasan komplikasi dari kehamilan.
6. Oligomenorea
periode menstruasi yang terjadi lebih dari 35 hari. Amenorea didiagnosis bila tidak ada
menstruasi selama lebih dari 6 bulan. Volume perdarahan biasanya berkurang dan
biasanya berhubungan dengan anovulasi, baik itu dari faktor endokrin (kehamilan,
pituitary-hipotalamus) ataupun faktor sistemik (penurunan berat badan yang terlalu
banyak). Tumor yang mengekskresikan estrogen menyebabkan oligomenorea terlebih
dahulu, sebelum menjadi pola yang lain.
harus dianggap sebagai tanda dari kanker leher rahim sebelum dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut. Penyebab lain dari perdarahan kontak yang lebih sering yaitu polip serviks,
infeksi serviks atau vagina (Tichomonas) atau atropik vaginitis. Hapusan sitologi negatif
tidak menyingkirkan diagnosis kanker serviks invasi, kolposkopi dan biopsi sangat
dianjurkan untuk dilakukan.
Pendarahan bukan haid yang dimaksud disini adalah perdarahan yang terjadi dalam masa
antara 2 haid. Perdarahan itu tampak terpisah dan dapat dibedakan dari haid, atau 2 jenis
perdarahan ini menjadi satu; yang pertama dinamakan metroragia, yang kedua
menometroragia. Metroragia atau menometroragia dapat disebabkan oleh kelainan organik
pada alat genital atau oleh kelainan fungsional.
2.2 Epidemiologi
Perdarahan uterus disfungsional sering terjadi pada usia reproduktif. Prevalensi tinggi pada
adolesen dan premenopause. Prevalensi perdarahan uterus disfungsional 5 % dari seluruh
wanita menstruasi dilaporkan Wren tahun 1998. Dari semua kasus ginekologi 15 – 20 %
dengan perdarahan uterus disfungsional , 11 % berusia < 20 tahun, 50 % antara 20 – 40 tahun
dan 39 % diatas 40 tahun.
Penelitian WHO tahun 1998, mendapatkan wanita dengan keluhan menoragia 1.011
dari 5.322 ( 19 % ) berdasarkan survey yang dilakukan di 14 negara yang berbeda.
2.3 Patofisiologi
Pada menstruasi normal terjadi pelepasan, pembentukan dan perbaikan lapisan fungsional
endometrium. Destruksi dan regenerasi endometrium dikendalikan oleh faktor lokal yang
tergantung pada estrogen dan progesteron. Prostaglandin dan endotelin adalah substansi
vasoaktif yang mengatur kehilangan darah menstruasi. Konsentrasi endotelin jaringan bekerja
sama dengan relaxing factor, seperti nitricoxide, meningkatkan dan memperpanjang
kehilangan darah menstruasi.
Gambar 1. Siklus Menstruasi Manusia
Endometrium normal kaya akan fosfolipase yang dibutuhkan pada konversi asam
lemak prekursor asam arachidonat. Pada fase luteal akhir cyclo–oxygenase berperan pada
konversi asam arachidonat menjadi endoperoksidase, yang dibawah sintetase spesifik berubah
menjadi prostaglandin F2α (vasokontriktor dan aggregator trombosit lemah), prostaglandin E2
(vasodilator dan antiagregasi platelet), prostaglandin D2 (aglutinasi inhibitor, prostaglandin I2
(vasodilator dan antiagregasi platelet) dan tromboxan A2 (vasokontriktor dan platelet
aggregator). Pada menstruasi normal, rasio prostaglandin F2α : prostaglandin E2 dalam cairan
menstuasi 2 : 1.
Ecosanoid yang diproduksi leukosit melalui kerja lipooxygenase pada asam
arachidonat. Jumlah perdarahan menstruasi sesuai dengan derajat infiltrasi leukosit.
.
Progesteron withdrawal bleeding / perdarahan sinambung progesteron menyebabkan
hancurnya lysosom dan pelepasan fosfolipase A2. Ditandai dengan meningkatnya plasminogen
aktivator dan aktivitas fibrinolitik dalam darah menstruasi pada perdarahan uterus
disfungsional.
Perdarahan uterus abnormal primer terjadi karena gangguan metabolisme ecosanoid
dalam sistem fibrinolitik dan enzim lisosomal endometrium3,6. Pada perdarahan uterus
abnormal dengan siklus ovulatorik, produksi prostaglandin yang disekresi endometrium
dengan perbandingan terbesar dari prostaglandin F2α / prostaglandin E2 / prostaglandin D2
menjadi prostaglandin E2 / prostaglandin D2 / prostaglandin F2α. Terjadi peningkatan sintesa
prostaglandin I2 miometrium yang menmyebabkan dilatasi arteri radialis dan meningkatnya
perdarahan.
Pada perdarahan abnormal anovulatorik, kurangnya progesteron menyebabkan berkurangnya
rasio prostaglandin F2α : prostaglandin E2 dan terjadi peningkatan relatif prostaglandin E2,
yang merupakan vasodilator dan anti agregasi platelet, menyebabkan bertambahnya
perdarahan.
Etiologi perdarahan uterus abnormal yang paling sering adalah perdarahan karena
sinambung estrogen / estrogen withdrawal bleeding atau perdarahan lucut estrogen / estrogen
break through bleeding pada pasien dengan siklus anovulatorik.
Pada kasus progesteron negatif menyebabkan inhibisi sintesa DNA dan mitosis, respon
proliferatif estrogen menyebabkan pertumbuhan endometrium dengan integritas matrik stroma
yang lemah sehingga terjadi pelepasan spontan. Pada keadaan normal terjadi mekanisme
kontrol yang membatasi menstruasi, perdarahan dapat berkepanjangan dan eksesif pada
keadaan tanpa progesteron.
2.4 Etiologi
AUB dapat terjadi pada siklus haid yang ovulatorik, anovulatorik, maupun dalam keadaan
folikel persisten.
2.7 Penanganan
Kadang-kadang pengeluaran darah pada perdarahan abnormal sangat banyak, dalam hal ini
penderita harus istirahat baring dan diberi transfusi darah. Setelah pemeriksaan ginekologik
menunjukkan bahwa perdarahan berasal dari uterus dan tidak ada abortus inkompletus,
perdarahan untuk sementara waktu dapat dipengaruhi dengan hormon steroid. Dapat diberikan:
1. Estrogen dalam dosis tinggi, supaya kadarnya dalam darah meningkat dan perdarahan
berhenti. Dapat diberikan secara intramuskulus dipropionas estradiol 2,5 mg, atau
benzoas estradiol 1,5 mg, atau valeras estradiol 20 mg. Keberatan terapi ini ialah bahwa
setelah suntikan dihentikan. perdarahan timbul lagi.
Kecuali pada wanita dalam masa pubertas, terapi yang paling baik ialah dilatasi dan
kerokan. Tindakan ini penting, baik untuk terapi maupun diagnosis. Dengan terapi ini banyak
kasus perdarahan tidak terulang lagi. Apabila ada penyakit metabolic, penyakit endokrin,
penyakit darah dan lain-lain yang menjadi sebab perdarahan, tentulah penyakit itu harus
ditangani. Apabila setelah dilakukan kerokan perdarahan abnormal timbul lagi, dapat
diusahakan terapi hormonal. Pemberian estrogen saja kurang bermanfaat karena sebagian besar
perdarahan abnormal disebabkan oleh hiperestrinisme. Pemberian progesteron saja berguna
apabila produksi estrogen secara endogen cukup. Dalam hubungan dengan hal-hal tersebu
diatas, pemberian estrogen dan progesterone dalam kombinasi dapat dianjurkan: untuk
keperluan ini pil-pil kontrasepsi dapat digunakan. Terapi ini dapat dilakukan mulai hari ke-5
perdarahan terus untuk 2 hari. Dapat pula diberikan progesteron untuk 7 hari, mulai hari ke-21
siklus haid.
Androgen dapat berguna pula dalam terapi terhadap perdarahan abnormal yang berulang.
Terapi per os umumnya lebih dianjurkan daripada terapi suntikan. Dapat diberikan
metiltestosteron 5 mg sehari; dalil dalam terapi androgen ialah pemberian dosis yang sekecil-
kecilnya dan sependek mungkin.
Terapi dengan klomifen yang bertujuan untuk menimbulkan ovulasi pada perdarahan
anovulatoar, umumnya tidak seberapa banyak digunakan. Terapi ini lebih tepat pada infertilitas
dengan siklus anovulatoar sebagai sebab.
Sebagai tindakan yang terakhir pada wanita dengan perdarahan abnormal terus- menerus
(walaupun sudah dilakukan kerokan beberapa kali dan yang sudah mempunyai anak cukup)
ialah histerektomi.