Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

Resume Teori Pertumbuhan Berimbang dan Tidak Berimbang

Disusun Oleh :

Dwi Amelia Saputri


21612010009

Fakultas Ekonomi
Prodi Menejemen

Universitas Saburai Bandar Lampung


Teori Pertumbuhan Berimbang dan Tidak Berimbang
Unbalance Theory)
Pertumbuhan ekonomi merupakan keseimbangan antara sisi agregat permintaan dan sisi
agregat penawaran yang menghasilkan suatu jumlah agregat keluaran (PDRB) tertentu pada
tingkat harga umum yang tertentu pula. Agregat keluaran ini kemudian akan membentuk
pendapatan regional/nasional (Tambunan, 2000). Daryanto (2010) menjelaskan bahwa
dampak suatu kebijakan ekonomi daerah lebih tepat dianalisis berdasarkan teori
keseimbangan umum (general equilibrium) dibandingkan dengan teori keseimbangan parsial
(partial equilibrium

Teori Pertumbuhan Berimbang


Teori keseimbangan umum menjelaskan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari
beberapa macam pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar modal) yang
saling terkait. Sebaliknya, teori keseimbangan parsial biasanya hanya mengarahkan
perhatiannya pada keseimbangan disatu sektor saja.
Berbagai argumentasi mengenai pertumbuhan ekonomi yang berimbang (balanced growth)
dan tidak berimbang (unbalanced growth) telah memberikan kontribusi dalam pemikiran
studi ilmu ekonomi pembangunan. Pendukung teori balanced growth antara lain seperti;
Rosenstein R (1943), Nurkse (1953), dan Lewis (1954), adapun para pendukung unbalanced
growth diantaranya adalah Hirschman (1958) dan Rostow (1960).
Dalam pandangan para penganut teori pertumbuhan berimbang (balanced growth), negara
harus membangun berbagai sentra industri secara simultan jika menginginkan pertumbuhan
yang simultan. Nafziger (1997) menegaskan sebagai cara untuk keluar dari lingkaran-setan
kemiskinan, teori ini mengandaikan perlunya pengerahan modal secara serentak dalam
berbagai industri.
Menurut Resenstein-Rodan (1943), pembangunan tidak bisa diserahkan ke pasar karena
kurangnya informasi dan ketidaktepatan investasi (eksternalitas). Pemerintah perlu
menjalankan dan mengkoordinasikan program big push atau critical minimum effor.
Program ini menuntut adanya intervensi pemerintah dalam bentuk sebuah “investasi yang
terkoordinasi” agar dapat mengatasi masalah. Caranya adalah dengan jalan; a).
Mengkoordinasikan industri yang saling melengkapi; b). Melihat eksternalitas sebagai
keuntungan, dan c). Mengumpulkan
informasi yang cukup untuk memperhitungkan risiko. Sehingga saat titik-imbang bagi
industrialisasi tercapai, insentif swasta yang normal dapat berlangsung dengan baik dan pada
akhirnya investasi dapat diambil-alih oleh swasta. Dengan demikian, sebuah dorongan besar
ini akan dapat mengeluarkan ekonomi dari lingkaran-setan (viciouscircle) keterbelakangan
dan memungkinkan terciptanya lingkaran-malaikat (virtuous-circle) pertumbuhan.
Sepaham dengan tesis Rosenstein-Rodan tentang teori big push, Nurkse (1953) menyarankan
beberapa perbaikan, yaitu koordinasi juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta,
misalnya oleh perbankan. Kontribusi teoretisnya ialah penekanan pada pentingnya mencapai
keseimbangan diantara berbagai sektor di dalam ekonomi. Selain itu, diperlukan adanya
perhatian terhadap jalur-jalur arah pembangunan dan pola investasi. Arah pembangunan perlu
dibuat sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan diantara berbagai sektor dan tidak
ada penghambat maupun ekses kapasitas, dan selain itu hal yang paling penting adalah
proposisi sektor agraris dan sektor industri juga harus diseimbangkan.
Hukum dasar yang digunakan Nurkse (1953) adalah apa yang dikenal sebagai Hukum Say;
supply creates its own demand. Dengan pijakan itu, ia merekomendasikan satu model
pembangunan berimbang yang digerakkan oleh penanaman modal pada semua sektor
sehingga terjadi perluasan pasar secara serentak dan menyeluruh. Logikanya, satu sektor
yang memproduksi output tertentu dan bersifat komplementer dengan output sektor lain akan
bekerja saling mendorong dan menciptakan daya beli.
Seperti halnya Nurkse (1953), Lewis (1954) melihat pentingnya keseimbangan agraris-
industri. Konsep teori Lewis menggunakan asumsi dasar bahwa negara berkembang
kemudian menjadi negara maju ditentukan oleh dua sektor, yaitu sektor agraris dan sektor
industri. Keberadaan kedua sektor tersebut mendorong terjadinya perpindahan tenaga kerja
dari sektor agraris ke sektor industri, dan proses ini pada akhirnya akan meningkatkan
permintaan akan tenaga kerja (tenaga kerja harus terus surplus). Disisi lain, keuntungan dari
industri akan mendorong terjadinya saving dan investasi. Akan tetapi sektor industri dituntut
untuk menjaga agar jumlah saving dan investasi senantiasa lebih besar dari jumlah inflasi dan
upah.
Dengan demikian, teori pertumbuhan berimbang (balanced growth) yang dipromosikan oleh
Rosenstein-Rodan, Nurkse maupun Arthur Lewis menggariskan
19 agar sektor modern tidak boleh terlalu jauh meninggalkan sektor tradisional. Jika semua
kondisi yang diidealkan Nurkse terjadi, maka apa yang ia sebut sebagai vicious circle of
poverty tidak akan menjadi masalah lagi dalam proses capital formation.
Teori balanced growth ternyata mendapatkan beberapa kritik, seperti dari Solow-Swan
(1956) dengan menyatakan; a). Percepatan pertumbuhan bisa terjadi karena meningkatnya
tabungan/investasi, b). Teori Lewis hanya berlaku untuk jangka pendek, dan c). Pertumbuhan
jangka panjang akan kembali ke tingkat yang sebelumnya. Selain itu teori balanced growth
juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain; a). Dorongan besar (big push) dalam praktik
sulit dilakukan, b). Perencana harus berkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu saja, c).
Prioritas dapat dilakukan berdasarkan kaitan-kaitan antar industri (linkages), d). Kaitan antar
industri itu yang sering tidak jelas di negara-negara berkembang, dan e). Pergeseran ke
industrialisasi tetap bisa membantu.
Teori Pertumbuhan Tidak Berimbang
Dalam berbagai diskusi dan pembahasan mengenai pembangunan, sangat sulit menemukan
bukti bahwa semua negara mengikuti pola yang sama dan tertentu. Kebijakan pembangunan
di beberapa negara menunjukan fakta adanya pemberian tekanan pada beberapa sektor
industri tertentu, dan sektor-sektor industri yang menjadi sasaran penekanan juga berbeda-
beda satu negara dengan negara lain. Sehingga lahirlah beberapa pendukung teori unbalanced
growth, seperti Hirschman (1958), Rostow (1960), dan Perkins et.al.(2001).
Terhadap gagasan teori balanced growth itu, Hirchman (1958) menilai banyak hal yang tidak
masuk akal dan teori tersebut dianggap gagal sebagai sebuah teori pembangunan. Satu yang
terpenting dari kritik Hirchman adalah; model perekonomian dualistik yang menjadi pijakan
teori dorongan besar (big push) dipaksakan untuk sebuah proses pencangkokan sektor
modern yang sama sekali baru dan lengkap (self-contained) di atas sektor tradisional yang
lengkap namun macet. Bagi Hirchman, dorongan besar yang dimaksud para eksponennya
tidak akan menciptakan pembangunan (development) yang berarti perkembangan (progress).
Bertolak dari kritik terhadap model pertumbuhan berimbang (balanced growth),
Hirchman (1958) yang kemudian didukung juga oleh Rostow (1960), mengajukan argumen
pertumbuhan tidak berimbang (unbalanced growth).
Bagi Hirchman, pembangunan pada dasarnya adalah rangkaian ketidakseimbangan
(disequilibrium). Secara sederhana, doktrin perkembangan tidak berimbang ini menolak
keharusan investasi secara besar besaran untuk memompa setiap sektor ekonomi yang
memiliki pola hubungan komplementer. Dengan membuat skala prioritas investasi yang
tepat, perekonomian akan berputar terus dan proyek-proyek baru yang ia sebut sebagai
induced investment akan berjalan memanfaatkan eksternalitas ekonomi maupun social
overhead capital dari proyek sebelumnya.
Hirschman (1958) menyadari perbedaan tersebut dan menggunakannya untuk mengusulkan
pola pembangunan industrial yang berbeda, yaitu suatu negara dapat mengkonsentrasikan
energinya hanya untuk beberapa sektor pada tahap awal pembangunannya. Hal ini
disebabkan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kendala sumberdaya di negara berkembang membutuhkan skala prioritas. Ke mana
investasi harus dilakukan terlebih dahulu?
b. Big push harus ditujukan kepada beberapa industri saja, karena itu penting merumuskan
“pertumbuhan tak berimbang”.
c. Selalu ada kecenderungan tak berimbang. Misalnya, beberapa sektor yang didorong
investasi mungkin mengalami overcapacity, yaitu outputnya menjadi makin murah karena
economies of scale.
d. Akibat selanjutnya adalah peralihan investasi ke sektor hulu (upstream investments).
Misalnya, oversupply listrik; karena listrik makin murah, ada kebutuhan pembangkit listrik
di banyak sektor yang menyedot listrik dalam jumlah besar.
e. Sektor kunci (keysector) bagi investasi awal harus ditentukan berdasarkan kaitan industrial
ke depan maupun ke belakang (backward dan forward linkages).
Dua tahun setelah Hirchman (1958) menerbitkan The Strategy of Economic Development,
Rostow (1960) menerbitkan The Stages of Economic Growth yang bisa dikatakan sebagai
pendukung doktrin pertumbuhan tidak berimbang. Seperti Hirchman, Rostow membuat
sebuah idealisasi pembangunan yang bersifat self- propelling dan bertumpu pada dua sektor;
tradisional dan modern. Rostow sebagai ahli sejarah ekonomi kemudian membangun
konstruksi teoritik dengan
21 menunjukkan bahwa semua negara akan berkembang dalam sebuah rentetan fase yang
sama. Bagian terpenting dari teori Rostow adalah bahwa perkembangan ekonomi
berlangsung dalam lima tahap; tahap masyarakat tradisional, tahap prakondisi menuju lepas
landas, tahap lepas landas, tahap dorongan menuju kematangan, dan terakhir adalah tahap
konsumsi massa tinggi.
Rostow mengklaim bahwa teorinya tentang lima tahap perkembangan masyarakat tersebut
lebih dari sebuah teori ekonomi dan sejarah masyarakat modern secara keseluruhan. Klaim
tersebut berangkat dari argumen mengenai ciri masyarakat pada masing-masing tahap yang
memiliki beberapa indikator ekonomi dan sosial serta budaya. Hal penting lainnya adalah
sebuah kerangka besar pengganti marxisme seperti tercermin dari sub-judul bukunya; a
noncommunist manifesto, sebagai tonggak baru pengganti manifesto komunis yang ditulis
Marx dan Engels.
Pada bagian akhir The Stages of Economic Growth, Rostow mengakui sejumlah kesamaan
antara analisis tahapan pertumbuhannya dengan argumentasi Marx mengenai tahapan menuju
masyarakat komunis. Beberapa yang perlu diperhatikan adalah; Pertama, Marx dan Rostow
mengakui bahwa perubahan ekonomi membawa dampak pada struktur sosial dan politik;
mengubah budaya dan perilaku. Kedua, sama-sama mengakui realitas adanya kepentingan
kelompok dan kelas dalam proses sosial politik yang berkait dengan keuntungan ekonomi.
Ketiga, keduanya melihat adanya motif-motif ekonomi dibalik formasi konflik
politik. Keempat, meski memiliki struktur pemikiran yang berbeda, Marx maupun
Rostow mempercayai adanya satu tujuan akhir masyarakat yang benar-benar sejahtera
(true affluence).

Anda mungkin juga menyukai