Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirabbil ‘aalamiin, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT
karena rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teori
Pertumbuhan Terkait Ruang Dan Wilayah “ ini dengan lancar. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Geografi Pembangunan di jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Padang.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, masukan,
nasehat dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih kepada: Dosen pembimbing mata kuliah Geografi Pembanguan, teman-teman yang
seperjuangan yang telah memberikan masukan dan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi
materi maupun dalam hal penulisan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua.

Padang, Februari 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sehubungan dengan perumusan strategi pembangunan, maka perdebatan utama yang
muncul, khususnya pada saat-saat awal perencanaan pembangunan berkisar pada persoalan
apakah prioritas diberikan untuk pengembangan pertanian atau pengembangan industri. Dalam
kaitan ini, Forbes (1986: 65) mengemukakan, ilmu ekonomi yang muncul dalam tahun 1950-an
dan tahun 1960-an pada dasarnya memusatkan perhaian pada kebutuhan untuk memindahkan
negara-negara dengan basis pertanian yang rendah produktivitasnya ke basis industri yang tinggi
produktivitasnya. Diantara contoh-contoh yang paling menonjol dari teori modernisasi difusionis
ini adalah model pusat pinggiran (core-periphery) dari Pebrisch (1949) yang dikembangkan
kemudian oleh Friedman (1969) menjadi teori pembangunan regional, konsep kutup
pertumbuhan (growth poles), dari Perroyx (1950) dan pusat pertumbuhan (growth centres) dari
Boudeville. Banyak perencanaan yang pada mulanya tidak bersifat keruangan dan tidak
memperhitungkan lokasi pengembangan yang menjadi sasaran proyek. Keadaan ini akan
meningkatkan atau mengintensifkan pola inti-pinggiran (core-periphery), dalam suatu negara,
sehingga keuntungan pembangunan cenderung terpusat pada suatu wilayah dari pada menyebar.
Adapun wilayah yang dimaksudkan disini adalah perdesaan dan perkotaan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:

1) Apa saja teori yang terkait dengan pembangunan keruangan (Hirschaman, Myrdal,
Friedman, Perroux)?
2) Bagaimana penjelasan tentang teori friedman?

C. Tujuan
1) Untuk mengetahui teori-teori yang terkait dengan pembangunan keruangan (Hirschaman,
Myrdal, Friedman, Perroux).
2) Untuk mengetahui bagaimana penjelasan tentang teori Friedman
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Yang Terkait Dengan Pembangunan Keruangan

a. Perroux
Teori ini dicetuskan oleh ahli ekonomi kelahiran Perancis bernama Francois Perroux
(1903-1987), yang dikenal juga sebagai penganut aliran ekonomi keseimbangan umum.
Kutub pertumbuhan didifinisikan sebagai suatu gugus industri yang mampu
membangkitkan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dalam suatu sistem ekonomi
tertentu, mempunyai kaitan yang kuat melalui hubungan input – output di sekitar leading
industry (propulsive industry atau industrial matrix).
Gugus ini mempunyai sifat saling keterkaitan antar sektor yang tumbuh dengan cepat
dibanding bagian ekonomi lainnya, karena mampu menerapkan teknologi yang maju dan
tingginya laju tingkat inovasi serta tingginya elastisitas pendapatan terhadap permintaan
produk yang dihasilkannya. Kemudian produk ini dijual ke pasar nasional secara luas
dan mempunyai mutiplier effect terhadap segmen ekonomi lainnya. Industri-industri yang
dominan dan propulsif terdapat di kota-kota kutub pertumbuhan wilayah. Konsentrasi
dan saling berkaitan merupakan dua faktor penting dalam setiap pusat pengembangan
karena melalui faktorfaktor tersebut akan dapat diciptakan berbagai bentuk aglomerasi
ekonomi yang dapat menunjang pertumbuhan industri yang bersangkutan melalui
penurunan ongkos produksi. Keuntungan aglomerasi yang merupakan kekuatan utama
pengembangan wilayah dapat berupa scale economies, localization economies, atau
urbanization economies.
Teori Kutub Pertumbuhan merupakan teori yang menjadi dasar dalam strategi dan
kebijaksanaan pembangunan industri daerah yang banyak dijalankan di berbagai negara.
Pada awalnya, konsep ini dianggap penting karena memberikan kerangka rekonsialiasi
antara pembangunan ekonomi regional di wilayah pusat (kota) dan hinterland-nya Tetapi
dalam praktek tidak seperti yang diharapkan karena wilayah pusat dampak tetesan
(trickle down effect) kepada wilayah hinterlandnya ternyata jauh lebih kecil dari pada
dampak polarisasi (backwash effect) sehingga pengurasan sumberdaya hinterland oleh
pusat menjad sangat menonjol.

b. Friedmann
John Friedmann menjelaskan pandangannya mengenai transformasi sistim perkotaan di
dunia ketiga. Ia menyatakan bahwa bahwa dalam skala regional terdapat hirarki pusat –
pusat pertumbuhan adalah sebagai berikut “Pusat Pertumbuhan Primer” yang merupakan
pusat utama dari daerah yang dapat merangsang pertumbuhan pusat – pusat yang lebih
rendah tingkatannya; “Pusat Pertumbuhan Sekunder” yang berperan memperluas dampak
perambatan ke wilayah yang tidak terjangkau oleh pusat pertumbuhan primer; dan “Pusat
Pertumbuhan Tersier” sebagai titik pertumbuhan bagi daerah belakangnya.
Melalui hirarki tersebut, perkembangan sistim perkotaan akan berjalan dalam empat
tahap. Tahap pertama ditandai dengan tingginya tingkat isolasi masing-masing kota yang
ditunjukkan dengan struktur permukiman yang sangat terbatas, kecilnya skala ekonomi,
dan rendahnya mobilitas penduduk. Pada tahap berikutnya, kota-kota yang memiliki
keuntungan aksesibilitas akan mengalami proses kapitalisasi dan industrialisasi yang
lebih cepat sehingga kota-kota tersebut muncul sebagai pusat dominan. Selanjutntya,
melalui proses difusi dari pusat dominan, keuntungan industrialisasi disebarkan ke
kotakota sekitarnya sehingga memungkinkan kemunculan pusat-pusat baru yang lebih
kecil. Dan, pada tahap terakhir, keseluruhan sistim perkotaan semakin terintegrasi dan
seimbang seiring dengan terciptanya spesialsasi ekonomi pada masing-masing kota serta
berkembangnya sarana transportasi.
c. Myrdal
Pada tahun 1957, ahli ekonomi asal Swedia bernama Karl Gunnar Myrdal (1898-1987)
melalui karyanya yang berjudul “Economic Theory and Underdeveloped Regions”
mempublikasikan Teori Cummulative Causation. Di bawah paradigma „keseimbangan
ekonomi statis‟, teori tersebut memberikan gambaran yang sederhana mengenai
penjalaran dampak industrialisasi terhadap proses sosial-ekonomi yang berjalan menurut
pola sirkulatif-kumulatif. Myrdal menyatakan bahwa bahwa, apapun alasannya, ekspansi
industri yang berawal dari pusat pertumbuhan (growth centre) akan menyebabkan
meluasnya keuntungan internal dan eksternal industri bersangkutan sehingga memperkuat
pertumbuhannya, namun dengan mengorbankan daerah lain. Menurut pandangannya,
ekonomi ini tidak hanya mencakup keahlian tenaga kerja dan modal publik, tetapi juga
perasaan positif untuk tumbuh dan semangat dari pengusaha/wiraswasta baru.
Dalam analisisnya, Myrdal juga memperkenalkan konsep backwash effect dan spread
effect yang dapat diindentikkan dengan konsep polarization dan trickling down effect
milik Albert O. Hirschman. Backwash effect meliputi kegiatan kegiatan migrasi
penduduk, pola perdagangan dan pergerakan modal yang mengarah ke pusat. Migrasi
penduduk dari daerah belakang ke pusat pertumbuhan pada kenyataannya terdiri dari
orang – orang muda dan menghuni daerah – daerah yang kumuh. Hal yang sama terjadi
pada aliran modal ke pusat pertumbuhan karena meningkatnya pendapatan dan
permintaan meningkat. Suksesnya pertumbuhan wilayah menarik kelebihan aktivitas
ekonomi langsung atau tidak langsung yaitu melalui peningkatan dan inovasi yang logis
secara berkelanjutan.
d. Hirschaman
Hirscman adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak seimbang. Secara geografis,
pertumbuhan ekonomi pasti tidak seimbang. Dalam proses pertumbuhan tidak seimbang
selalu dapat dilihat bahwa kemajuan disuatu tempat (titik) menimbulkan tekanan-tekanan,
ketegangan-ketegangan, dan dorongan-dorongan kearah perkembangan pada tempat-
tempat (titik-titik) berikutnya. Hirscman, menyadari bahwa fungsi-fungsi ekonomi
berbeda tingkat intensitasnya pada tempat yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi
diutamakan pada titik originalnya sebelum disebarkan ke berbagai tempat lainnya. Ia
menggunakan istilah Titik Pertumbuhan (Growing Point) atau Pusat Pertumbuhan
(Growing Centre).
Di sutau negara terdapat beberapa titik pertumbuhan, dimana industri berkelompok
ditempat itu, karena diperoleh beberapa manfaat dalam bentuk penghematan-
penghematan dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan investasi, lapangan kerja dan
upah buruh relatif tinggi lebih banyak terdapat di pusat- pusat pertumbuhan dari pada
daerah belakang. Antara pusat dan daerah belakang terdapat ketergantungan dalam suplai
barang dan tenaga kerja. Pengaruh yang paling hebat adalah migrasi penduduk ke kota-
kota besar (urbanisasi) akan dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang trampil dan pihak
lain akan mengurangi pengangguran tidak kentara di daerah belakang. Hirschman
menyarankan agar membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat
menciptakan pengaruh-pengaruh penyebaran pembengunan yang efektif.

B. Teori Friedman ( Pusat-Pinggiran )


a. Friedman
John Friedman, Weaver, (1979) menganalisa aspek tata ruang, lokasi serta persoalan-
persoalan kebijaksanaan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup
yang lebih general. Friedman telah menampilkan teori daerah inti. Disekitar daerah inti
terdapat daerah-daerah pinggiran atau periphery region. Daerah pinggiran ini sering
disebut pula daerah pedalaman atau daerah-daerah sekitanya. Pembangunan dipandang
sebagai proses inovasi yang diskontinu tetapi komulaitif yang berasal dari sejumlah kecil
pusat-pusat perubahan, yang terletak pada titik-titik interaksi yang mempunyai potensi
tertinggi. Pembangunan inovatif cenderung menyebar kebawah dan keluar dar pusat-
pusat tersebut kedaerah yang mempunyai potensi interaksi yang lebih rendah. Pusat-pusat
besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, metropolis atau megapolis,
dikategorikan sebagai daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis sisanya
merupakan daerah pinggiran. Wilayah pusat merupakan subsistem dari kemajuan
pembangunan yang ditentukan oleh lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah
pinggiran berada dalam suatu hubungan ketergantungan yang substansial. Daerah inti dan
wilayah pinggiran bersama-sama membentuk sistem spatial yang lengkap

Proses daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah pinggiran


dilaksanakan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik pertumbuhan daerah inti, yang terdiri dari
pengaruh dominasi (melemahnya ekonomi daerah pinggiran sebagai akibat dari mengalirnya
sumberdaya alam, manusia dan modal ke wilayah inti), pengaruh informasi (peningkatan dalam
interaksi potensial untuk menunjang pembangunan inovatif), pengaruh psikilogis (penciptaan
kondisi yang menggairahkan untuk melajutkan kegiatan-kegiatan inovatif secara lebih nyata),
pengaruh mata rantai (kecenderungan inovasi untuk menghasilkan inovasi lainnya), dan
pengaruh produksi ( pencitaan sturtur balas jasa dan menarik untuk kegiatan-kegiatan inovatif ).
Friedmann sebagai ahli perencanaan yang mengembangkan teori pembangunan regional,
menggunakan konsep core-periphery untuk membuat tipologi suatu wilayah yakni:
 core-regions, sebagai ekonomi metropolitan yang terpusat. Ini identitik dengan kapitalis
modern. Sebagai contoh core-regions ini adalah wilayah perkotaan Jakarta, Indonesia;
tetapi dapat pula dengan skala internasional.
 Wilayah transisi yang berkembang (“upward-transision region”), yaitu wilayah dekat
dengan pusat dan sesuai untuk pengembangan sumber-sumber (misalnya antara daerah
perkotaan Jakarta dengan daerah perkotaan Bandung).
 Wilayah yang berdekatan dengan sumber-sumber (“resource-frontier regions”) daerah
pinggiran pemukiman baru (misalnya daerah-daerah taransmigrasi di Sumatra,
Kalimantan dan lain-lainnya).
 Wilayah transisi yang mundur (“downward-transision regions”), wilayah ini terdapat di
dalam negara(misalnya daerah-daerah yang mengalami “back wash effect”) dan di luar
negeri pada skala dunia (misalnya “sub-Saharan countries”)

Teori pusat pertumbuhan (growth poles) mula-mula dikemukakan oleh Francois Perroux
(1955). Ia menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di semua wilayah,
akan tetapi terbatas hanya pada beberapa tempat tertentu dengan variabel yang berbeda-beda
intensitasnya. Mengikuti pendapat Perroux tersebut, Hirschman mengatakan bahwa untuk
mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi, terdapat keharusan untuk membangun sebuah
atau beberapa buah pusat kekuatan ekonomi dalam wilayah suatu Negara, atau yang disebut
sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth point atau growth pole). Adapun peranan kutub
pertumbuhan dalam pengembangan wilayah adalah sebagai penggerak utama atau lokomotif
pertumbuhan, yang selanjutnya menyebarkan hasil-hasil pembangunan dan dampak
pertumbuhan ke wilayah pengaruhnya (Adisasmita, 2005). Pengalaman selama ini, teori kutub
pertumbuhan dianggap gagal karena tidak berhasil membuktikan terjadinya dampak tetesan ke
bawah secara lugas. Kegagalan teori kutub pertumbuhan dapat ditunjukkan oleh strategi
kebijaksanaan pembangunan daerah yang dilaksanakan pemerintah (pusat atau daerah) lebih
banyak diarahkan pada wilayah perkotaan. Maka akibatnya kota yang relatif sudah besar itu
ditumpuki dengan investasi prasarana perkotaan, utilitas perkotaan, dan fasilitas pelayanan
ekonomi dan sosial. Wilayah pengaruh atau wilayah belakang menjadi terabaikan dan tetap
tertinggal, akibatnya terjadi kesenjangan atau ketimpangan yang semakin tajam antara pusat
pertumbuhan dengan wilayah pengaruhnya
Gunder Frank (1969; 1970) dalam Keban (1995), membagi 4 tingkatan model evolusi
keruangan (evolusi spasial), sebagai berikut :

a. Pre-industrial phase, dicirikan oleh pusat kota tersebar pada areal yang luas,
tidak ada tingkatan kota. Kemungkinan untuk tumbuh kecil, perekonomian tidak
berkembang. Friedman berasumsi sistem dalam keadaan stabil sebab pusatnya
luas dan hanya bersifat lokal.
b. Pereode Incipient industrialization, dicirikan oleh kota primate yang mendominasi
kawasan yang luas dan menggali sumberdaya alam sekitarnya. Perekonomian
didaerah periphery bergerak menuju kota primate berupa pendatang, intektual
dan tenaga kerja. Friedman berpendapat pengelolaan ruang tidak stabil, sebab
sistem digerakkan oleh kekuatan luar.
c. Transisional stade kearah industri kota primate masih mendomisi kota yang luas,
pengembangan strategi penetapan pusat kota atau pusat pertumbuhan mengurangi
pengaruh kota yang luas, Friedman setuju bahwa tingkat ketiga masih bersifar
tidak stabil.
d. Fase kota dengan organisasi keruangan yang sempurna, kota-kota yang secara
fungsional saling tergantung. Seluruh ruang nasional terintegrasi sedemikian rupa
sehingga “tidak adalagi periphery” yang terbelakang dan belum berkembang.

Jadi menurut Friedman tingkat urbanisasi sebagai indikator tingkatan kemajuan suatau
wilayah; makin maju tingkat ekonomi suatu kota, semakin tinggi tingkatan urbanisasi, sehingga
makin terintegrasi keruangan ekonomi keruangannya, dan akhirnya makin berkurang
perbedaannya dalam pembangunan.
SUMBER

 Working Paper On Regional Development Studies Nomor: Kki-01/Kbp-Pw/2009 Konsep


Pusat – Pinggiran : Sebuah Tinjauan Teoritis Oleh Hafid Setiadi Departemen Geografi
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia
 Adityapula Nugraha.Evaluasi Pengembangan Wilayah Dalam Meningkatkan Kawasan
Agropolitan Di Kabupaten Tabalong. Jurnal Ilmu Politik Dan Pemerintahan Lokal,
Volume I Edisi 2, Juli-Desember 2012
 Putri Widyastuti. Analisis Spillover Effect Pusat Pertumbuhan Kota Makassar Terhadap
Perekonomian Kabupaten Gow. 2018. Makassar

Anda mungkin juga menyukai