Anda di halaman 1dari 212

PAPER ILMU WILAYAH

“PERAN TEORI KUTUB PERTUMBUHAN DALAM PEMBANGUNAN SUATU WILAYAH”


Dibuat untuk memenuhi tugas Mata kuliah Ilmu Wilayah
(ABKA522)
Dosen Pengampu :
Dr. NASRUDDIN, S.Pd, M.Sc.
Dr. ROSALINA KUMALAWATI, M.Si.

Disusun Oleh :

MUHAMMAD ARIQ RIFKI ( 1810115110004)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2019
A . PENDAHULUAN
Pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang (balance
development). Isu pembangunan wilayah atau daerah berimbang yaitu tidak mengharuskan adanya
kesamaan tingkat pembangunan antar daerah (equally developed), juga tidak menuntut pencapaian
tingkat industrialisasi wilayah atau daerah yang seragam, juga bentuk-bentuk keseragaman pola dan
struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (self sufficiency) setiap wilayah
atau daerah. Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensipotensi pembangunan sesuai
dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah atau daerah yang beragam(Pertumbuhan & Wilayah,
n.d.)

Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari
keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam
memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Sektor
ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan
kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya
mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan
jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah atau daerah. Sedangkan sektor non-
basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan
kapasitas ekspor daerah belum berkembang.
B . PEMBAHASAN
Konsep Pertumbuhan Wilayah Teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) diintroduksikan
oleh Francois Perroux (1956). Menurut pendapatnya, pertumbuhan atau pembangunan tidak dilakukan
di seluruh tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang
diidentifikasikan sebagai kutub-kutub atau pusat pusat, di setiap kutub mempunyai kekuatan pancaran
pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini menjelaskan tentang pertumbuhan
perusahaan dan industri-industri serta ketergantunganya, dan bukan mengenai pola geografis dan
pergeseran industry baik secara intra maupun secara inter. Pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan
mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara abstrak.
Suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan ababila di tempat tersebut terdapat industri
pendorong (propulsive industry) yang berskala besar, mempunyai kemampuan menciptakan dorongan
pertumbuhan yang kuat, dampak multiplier dan dampak polarisasi lokal yang sangat besar dan tingkat
teknologi yang maju. Lebih lanjut kutub pertumbuhan bukan hanya merupakan lokalisasi industri kunci
semata-mata, tetapi pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang luas ke daerah sekitarnya.
Konsep kutub pertumbuhan merupakan konsep sangat menarik bagi perencanaan wilayah. Persoalan
yang di hadapi dalam penerapan konsep tersebut adalah pemilihan industri pendorong ataupun industri
yang menonjol (leading industry) sebagai penggerak dinamika pertumbuhan. Menurut R. Adisasmita
(2006: 164) kutub pertumbuhan dapat ditafsirkan dalam dua pengertian, yaitu secara fungsional dan
secara geografis. Secara fungsional, menggambarkan kutub pertumbuhan sebagai suatu kelompok
perusahaan, industri atau unsure-unsur dinamik yang meningkatkan kehidupan ekonomi. Secara
geografis. Menunjukkan kutub pertumbuhan sesungguhnya lebih banyak merupakan daya tarik yang
mengundang berbagai kegiatan untuk menempatkan usahanya di suatu tempat. Lebih lanjut dikatakan
bahwa terdapat tiga ciri penting konsep kutub pertumbuhan dapat dikemukakan yaitu:
1. Terdapat keterkaitan internal berbagai industri secara teknik dan ekonomi.
2. Terdapat pengaruh multiplier.
3. Terdapat konsentrasi geografis
Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendifinisikan kutub pertumbuhan wilayah sebagai perangkat
industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan
lebih lanjut pengembangan ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized poles of development). Ia
menekankan pada aspek fungsional, tetapi juga pada aspekgeografis yang dilukiskan sebagai suatu
aglomerasi geografis. Teori Bondeville dapat di anggap telah menjembatani terhadap teori spasial
terdahulu (Christaller) dan teori kutub pertumbuhan (Perroux). Perbedaannya, teori Perroux
menganggap tata ruang secara abstrak yang menekankan cirri-ciri regional tata ruang ekonomi,
sedangkan menurut Bondeville tata ruang ekonomi tidak dapat di pisahkan daritata ruang geografis,
lebih lanjut Bondeville menekankan pada tata ruang polarisasi (Christina, Pratiwi, & Kuncoro, 2017)
Perroux berpedoman pada teori Tata Ruang Ekonomi (Economic Space Theory), dimana
industri pendorong dianggap sebagai titik awal dari sebuah pertumbuhan wilayah Perusahaan-
perusahaan yang menguasai pasar ekonomi pada umumnya adalah industri besar yang mempunyai
kedudukan oligopolitis dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kegiatan para
langganannya.
Terdapat tiga ciri dasar dari sebuah industri pendorong yaitu:

1. industri pendorog harus relatif lebih besar besar kapasitas produksinya agar memiliki pengaruh
kuat baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
2. industri pendorong harus merupakan tipe sektor strategis yang berkembang sangat cepat.
3. jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor lain harus penting sehingga besarnya
pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan pada unit ekonomi lain.

Dilihat dari sisi tata ruang geografis, industri-industri pendorong cenderung melahirkan aglomerasi
pada kutub pertumbuhan dimana mereka berada. Itulah sebabnya industri pendorong merupakan faktor
penting dari pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.

Menurut Miyoshi, sejarah konsep tentang kutub pertumbuhan dibagi ke dalam 4 tahap yaitu:

1. Tahap kelahiran growth pole


2. Tahap penerapan konsep growth pole secara geografis
3. Tahap growth pole sebagai pemicu ketidakseimbangan wilayah
4. Tahap perbaikan growth pole

Di Indonesia sendiri konsep growth pole digunakan sebagai landasan kebijakan pembangunan
daerah agar muncul unit-unit wilayah pertumbuhan baru yang nantinya diharapkan mendorong
pertumbuhan ekonomi masyarakat. pusat pertumbuhan dilaksanakan oleh Indonesia pada prinsipnya
adalah menggabungkan beberapa teori atau konsep di atas. Pembangunan di Indonesia dipusatkan di
wilayah-wilayah tertentu yang diperikirakan sebagai pusat pertumbuhan yang diperkirakan sebagai
kawasan sentral yang mampu menarik daerah-daerah di sekitarnya. Kawasan sentral yang menjadi
pusat pertumbuhan tersebut diharapkan dapat mengalirkan proses pembangunan ke wilayah-wilayah
sekitarnya, sehingga pemerataan pembangunan dapat terjadi ke seluruh pelosok wilayah negeri secara
menyeluruh.

berbagai masalah timbul dalam kaitan dengan pertumbuhan wilayah, baik yang berkaitan dengan
indikator ekonomi maupun indikator sosial dan terus mendorong perkembangan konsep-konsep
pertumbuhan ekonomi wilayah. Dalam kenyataannya, banyak fenomena tentang pertumbuhan ekonomi
wilayah. Kesenjangan wilayah dan pemerataan pembangunan menjadi permasalahan utama dalam
pertumbuhan wilayah dan hingga saat ini menjadi persoalan di negara berkembang
Pusat pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu alternatif untuk menggerakkan dan memacu
pembangunan guna meningkatkan pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi manakala diarahkan
pada daerah-daerah yang memiliki potensi dan fasilitas wilayah akan mempercepat terjadinya kemajuan
ekonomi karena secara tidak langsung kemajuan daerah akan membuat masyarakat mencari kehidupan
yang lebih layak di daerahnya, pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu
secara fungsional dan geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi
kelompok usaha yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu
menstimulasi kehidupan ekonomi, baik ke dalam maupun ke luar. Apabila dilihat secara geografis,
pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang memiliki banyak fasilitas dan kemudahan sehingga
menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai usaha tertarik untuk berlokasi
di situ dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut. Kriteria pusat
pertumbuhan, yaitu sebagai daerah cepat tumbuh, memiliki sektor unggulan, dan mempunyai interaksi
ekonomi dengan daerah belakangnya(Priyadi et al., 2017)
Penciptaan pusat pertumbuhan ekonomi dapat dimulai dari beberapa sektor yang dinamis dan
mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan
dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiplier effect) pada sektor lain dan wilayah
yang lebih luas. Kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (keseimbangan) dalam distribusi spasial
ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika
kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke
kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme,
yaitu hierarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar. Implementasi dari penciptaan pusat
pertumbuhan harus diikuti oleh trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect
(dampak penyebaran) melalui aktivitas harmonis antara pusat pertumbuhan dan basis sumber daya di
wilayah perdesaan sehingga kegiatan pusat pertumbuhan berdampak padadaerah sekitarnya yang juga
akan dapat tumbuh
C . KESIMPULAN
Dapat di simpulkan bahwa pertumbuhan atau pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang,
tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang diidentifikasikan sebagai kutub-
kutub atau pusat pusat, di setiap kutub mempunyai kekuatan pancaran pengembangan ke luar dan
kekuatan tarikan ke dalam, suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan ababila di tempat
tersebut terdapat industri pendorong (propulsive industry) yang berskala besar, mempunyai kemampuan
menciptakan dorongan pertumbuhan yang kuat, dampak multiplier dan dampak polarisasi lokal yang
sangat besar dan tingkat teknologi yang maju. Lebih lanjut kutub pertumbuhan bukan hanya merupakan
lokalisasi industri kunci semata-mata, tetapi pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang luas ke
daerah sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Christina, M., Pratiwi, Y., & Kuncoro, M. (2017). Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi
Spasial di Kalimantan : Studi Empiris di 55 Kabupaten / Kota , 2000 – 2012 Analysis of Growth
Poles and Spatial Autocorrelation in Kalimantan : An Empirical Study of 55 Districts , 2000 –
2012 Pendahuluan. 16(2), 81–104.
Pertumbuhan, I. P., & Wilayah, D. A. N. (n.d.). IDENTIFICATION OF GROWTH AND HINTERLAND
AREA IN. 37–48.
Priyadi, U., Atmadji, E., Ekonomi, P. P., Studi, P., Ekonomi, I., Indonesia, U. I., & Catur, C. (2017).
HINTERLAND DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. 02(02).
KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG INDONESIA

DI ERA OTONOMI DAERAH

Hariyanto dan Tukidi


Jurusan Geografi - FIS UNNES

Abstrak

Indonesia sebagai negara besar dengan kompleksitas yang dimiliki membutuhkan adanya suatu perencanaan
ruang yang matang dan terkoordinasi dengan baik. Konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang yang
begitu banyak,perlu dipadukan dalam implementasinya mengingat keragaman potensi fisik-sosial-ekonomi-dan
budaya.Pada bagian selanjutnya,dipaparkan isu-isu strategi penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia
kaitanya dengan pelaksanaan otonomi daerah.Pada bagian akhir dari tulisan ini disampaikan kebijakan dan
strategi penataan ruang yang dilakukan pemerintah dalam upaya mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan
wilayah sekaligus mengatasi berbagai permasalahan aktuan pembangunan

Kata kunci : Pengembangan wilayah, penataan ruang, otonomi daerah

PENDAHULUAN pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial


Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era
dari suatu proses interaktif yang menggabungkan dasar- 1950 an) yang memunculkan teori polarization effect dan
dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman- trickling down effect dengan argumentasi bahwa
pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara
dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah
wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari Myrdal (era 1950 an) dengan teori yang menjelaskan

berbagai teori dan model yang selalu berkembang yang hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya

telah diujiterapkan. Selanjutnya dirumuskan kembali dengan menggunakan istilah backwash effect dan

menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan spreadwash effect. Keempat adalah Freadmann (era 1960

kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki
guna mempermudah pengembangan sistem
Dalam sejarah perkembangannya, bongkar pasang
pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat
konsep pengembangan wilayah di Indonesia terdapat
pertumbuhan. Kelima adalah Douglass (era 70 an) yang
beberapa landasan teori yang turut mewarnai
memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa-kota
keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai
(rural-urban linkages) dalam pengembangan wilayah.
seorang pelopor ilmu wilayah yang mengkaji terjadinya
hubungan sebab dan akibat dari faktor-faktor utama Keberadaan landasan teori dan konsep
pengembangan wilayah di atas kemudian diperkaya

Jurnal Geografi 1
dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran putra- proses penataan ruang dalan rangka pencapaian tuaajuan
putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970 an) pembangunan yang berkelanjutan dalan wadah NKRI.
dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang
Berpijak pada pengertian di atas maka
intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi
pembangunan seyogyanya tidak hanya
sumberdaya alam akan mampu mempercepat
diselenggarakan untuk memenuhi tujuan sektoral yang
pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi)
bersifat parsial, namum lebih dari itu, pembangunan
memberikan kontribusi lahirnya konsep hiriarki kota-
diselenggarakan untuk memenuhi tujuan
kota dan hikarki prasarana jalan melalui orde kota.
pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif
Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980 an) yanbg
dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian
memperkenalkan konsep pola dan struktur ruang yang
antara berbagai sumberdaya sebagai unsur utama
bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No
pembentuk ruang (sumbedaya alam, buatan, manusia
24/1992 tentang penataan ruang. Pada periode 80 an ini
dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem
pula, lahir strategi nasional pembangunan perkotaan
hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.
(SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sistem kota
nasional yang efiseien dalan konteks pengembangan
KONSEP PENATAAN RUANG DI INDONESIA
wilayah nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula
menjadi cikal bakal lahirnya konsep program Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan
pembangunan prasarana kota terpadu (P3KT) sebagai wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran
upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh
fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP. Pada melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga)
era 90 an, konsep pengembangan wilayah mulai proses utama, yakni : a). proses perencanaan tata ruang
diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal wilayah, yang menghasilkan Rencana Tata Ruang
antara KTI dan KBI, antara kawasan dalam wilayah Wilayah (RTRW). Disamping sebagai “ guidance of
pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. future action” R TRW pada dasarnya merupakan bentuki
Perkembangan terakhir pada awal abad millenium intervensi yang dilakukan agar interkasi manusia/
bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah makluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan
sebagai alat untuk mewujudkan integrasi negara kesatuan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan
Republik Indonesia. manusia/ makluk hidup serta kelestarian likungan dan
keberlanjutan pembangunan (sustainability
Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman
development); b) Proses pemanfaatan ruang, yang
empiris di atas, maka secara konseptual pengertian
merupakan wujud oprasionalisasi rencana tata ruang atau
pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai
pelaksanaan pembangunan itu sendiri;
rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam
c) proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri
penggunaan berbagai sumberdaya, merekatkan dan
atas mekanisme perijinan dan penertiban terhadap
menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan
pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan
wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar
RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui

2 Volume 4 No. 1 Januari 2007


Dengan demikian, selain merupakan proses tertentu dan kawasan andalan yang diprioritaskan
untuk mewujudkan tujuan pembangunan, penataan penangananya.
ruang sekaligus juga merupakan produk yang
Aspek teknis perencanaan tata ruang wilayah
memiliki landasan hukum (legal instrumen) untuk
dibedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN
mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.
merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang
Di Indonesia, penataan ruang telah ditetapkan dengan horizon waktu hingga 25-50 tahun kedepan
melalui UU No 24/1992 yang kemudian diikuti dengan dengan menggunakan skala ketelitian 1:1.000.000.
penetapan berbagai Peraturan Pemerintah (PP) untuk RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis
operasioalisasinya. Berdasarakan UU No 24/1992, jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun peda
khususnya pasal 3, termuat tujuan penataan ruang, yakni skala ketelitian 1:250.000. Sementara itu
terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan RTRWkabupaten/kota merupakan perencanaan mikro
lindung dan budidaya. Sedanngkan sasaran penataan operasional jangka menengah (5-10) dengan skala
ruang adalah (1) Mewujudkan kehidupan bangsa yang ketelitian 1:20.000 hingga 1:100.000. Rencana detail
cerdas, berbudi luhur dan sejahtera. (2) Mewujudkan yang bersifat mikro operasional jangka pendek dengan
keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan skala ketelitian 1:5.000.
buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia. (3)
Selain penyiapan rencana untuk wilayah
Mewujudkan keseimbangan kepentingan antara
adminitratif, maka disusun pula rencana pengembangan
kesejahterraan dan keamanan. (4) Meningkatkan
(spatial development plan) untuk kawasan-kawasan
pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan
fungsional yang memiliki nilai strategis.misalnya,untuk
secara berdayaguna, berhasilguna dan tepatguna untuk
kawasan dengan nilai strategis ekonomi seperti Batam,
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. (5)
disusun rencana pengembangan kawasan pengembangan
Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah
ekonomi terpadu (KAPET). Sementara itu untuk
serta menanggulangi dampak negatif terhadap
kawasan dengan nilai strategis pertahanan keamanan
lingkungan.
(security), disusun rencana pengembangan kawasan
Sesuai dengan UU 24/1992 tentang penataan ruang, perbatasan negara, baik di darat maupun di laut. Selain
sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan itu juga disusun rencana pengembangan kawasan agro
secara berhirarkis menurut kewenangan administratif, politan (sentra produksi pertanian), serta kawasan
yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi andalan lainnya.
dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang
Dalam kitannya dengan pengembangan sitem
sifatnya lebih rinci. RTRW Nasional disusun dengan
permukiman, maka didalam RTRWN sendiri telah
memperhatikan wilayah nasional sebagai satu kesatuan
ditetapkan fungsi kota-kota secara nasional
wilayah yang lebih lanjut dijabarkan dalam strategi serta
berdasarkankriteria tertentu (administratif, ekonomi
struktur dan pola pemanfaatan ruang pada wilayah
dukungan prasarana, maupun kriteria strategis lainnya)
propinsi (RTRWP), termasuk di dalamnya penetapan
yakni sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat
sejumlah kawasan

Jurnal Geografi 3
Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal degradasi lingkungan akibat penyimpangan tata ruang,
(PKL). Untuk mewujudkan fungsi-fungsi kota baik di darat laut dan udara serta. c) dukungan terhadap
sebagai mana ditetapkan dalam RTRWN secara pengembangan wilayah belum optimal, seperti
bertahap dan sistematis, maka pada saat ini tengah diindikasikan dari minimnya dukungan kebijakan sektor
disusun review Strategi Nasional Pembangunan terhadap pengembangan kawasan-kawasan strategis
Perkotaan (SNPP). Dengan kata lain, SNPP dewasa nasional dalam RTRWN seperti kawasan perbatasan
ini merupakan bentuk penjabaran dari RTRWN. negara, kawasan andalan, dan KAPET

Pada era otonomi daerah, inisiatif untuk


ISU STRATEGI PENATAAN RUANG
meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung
Presiden Republik Indonesia dalam sambutannya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka
pada saat Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan
Ruang baru-baru ini di Surabaya menegaskan beberapa dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang.
isu strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang Konversi lahan dari kawasan lindung menjadi
nasional, yakni: a) Terjadinya konflik kepentingan antar kawasan budidaya guna meningkatkan pendapatan asli
sektor, seperti pertambangan, lingkungan hidup, daerah (PAD) adalah praktik pembangunan yang
kehutanan, prasarana wilayah dan sebagainya. b) Belum kerap terjadi. Di Pulau Jawa misalnya, hutan lindung
berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam telah terkonversi dengan laju 19.000 Ha per tahun
rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan (BPS,2001). Bahkan Badan Planologi Kehutanan
berbagai rencana dan progam sektor tadi. menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di
c) Terjadinya penyimpangan pemanfatan ruang dari Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan
ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. tersisa 23 % saja dari luas daratan pulau Jawa. Selain
Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan itu, terjadi konversi lahan pertanian untuk penggunaan
terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam non-pertanian seperti industri, permukimaan dan jasa
pengendalian pembangunan. d) Belum terserdianya di P.Jawa yang mencapai 1.002.005 ha, atau 50.000 ha
alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam RTRWN. e) per tahun antara 1979-1999 (Deptan, 2001)
Belum adanya keterbukaan dan keikhlasan dalam
Contoh lain adalah penurunan luas kawasan
menempatkan kepentingan sektor dan wilayah
resapan air pada pulau-pulau besar yang signifikan.
dalam kerangka penataan ruang. f) Kurangnya
Hutan tropis misalnya, sebagai kawasan resapan air
kemampuan menahan diri dari keinginan membela
telah berkurang luasnya baik akibat kebakaran dan
kepentingan masing-masing secara berlebihan.
penjarahan/ penggundulan hutan. Data yang dihimpun
Senada dengan isu yang dikemukakan Presiden dari Georgetown/international environmnental law
RI, Menko perekonomian pada forum yang sama review (1990) menunjukkan bahwa antara tahun 1997-
menyebutkan adanya 3 isu utama dalam 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta ha hutan terbakar
penyelenggaraan penataan ruang nassional, yang di Sumatra dan Kalimantan. Bahkan WWF (2000)
meliputi : a) konflik antar sektor dan antar wilayah, b) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 -

4 Volume 4 No. 1 Januari 2007


3,5 juta ha pada periode yang sama. Dengan kerusakan menimbulkan run-off yang besar, mengganggu siklus
hutan yang berfungsi lindung tersebut maka akan hidrologi, memperluas kelangkaan air bersih pada
jangka panjang, serta meningkatkan resiko bersifat statis, seperti kondisi geografis, topografi,
pendangkalan sungai dan banjir pada kawasan pesisir. karakterisitik sungai. b) peristiwa alam yang bersifat
dinamis, seperti : perubahan iklim (pemanasan global),
Selain itu kondisi satuan wilayah sungai (SWS) di
land subsidence, sedimentasi, dan sebagainya. c)
Indonesia telah berada pada kondisi yang
aktivitas sosial ekonomi manusia yang dinamis,
menghawatirkan. Dari keseluruhan 89 SWS di
seperti penggundulan hutan, konversi lahan pada
Indonesia, hingga tahun 1984 saja terlah terdapat 22
kawasan lindung, pemanfaatan sempadan sungai untuk
SWS yang berada dalam kondisi kritis. Pada tahun
permukiman, pemanfaatan wilayah retensi banjir,
1992, kondisi ini semakin meluas hingga menjadi 39
perilaku masyarakat dan sebagainya.
SWS. Perkembangan yang buruk terus meluas hingga
taun 1998, dimana 59 SWS di Indonesia telah berada Pada kawasan pesisir pun telah terjadi degradasi
dalam kondisi kritis, termasuk hampir seluruh SWS di kualitas lingkungan yang serius. Pertama, adalah
P. Jawa. Seluruh SWS kritis tersebut selain penurunan luas mangrove di Indonesia dari 5.209.543 ha
mendatangkan benjana banjir pada musim hujan, (1982) menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menjadi
sebaliknya juga menyebabkan kekeringan yang parah 2.496.185 ha (1993). Dalam sepuluh tahun (1982-1993)
pada musim kemarau. Dari sisi ketahanan pangan, bila telah terjadi penurunan mangrove kurang lebih 50% dari
mana kecenderungan negatif dalam pengelolaan SWS total luasan semula. Apabila mangrove tidak dapat
tersebut terus berlanjut, maka produktivitas sentra- dipertahankan maka : abrasi pantai, pencemaran dari
sentra pangan yang terletak di SWS-SWS potensial sungai ke laut, dan zona aquaculture pun akan terancam.
(seperti Citarum, Saddang, Brantas, dan sebagainya) Kedua, adanya intrusi air laut yang diakibatkan oleh
akan terancam pula. kenaikan muka air laut serta land subsidence akibat
penghisapan air tanah secara berlebihan. Ketiga, adalah
Berbagai fenomena bencana (water-related
hilangnya ekosistem terumbu karang yang merupakan
disaster) seperti banjir, longsor dan kekeringan
tempat pemijahan (breeding and nursery ground) bagi
yang terjadi secara merata di berbagai wilayah
perkembanganbiakan ikan-ikan. Keempat, adalah
Indonesia pada awal tahun 2002 dan 2003, pada
ancaman dampak pemanasan global berupa gangguan
dasarnya merupakan indikasi yang kuat terjadinya
terhadap kondisi sosial ekonomi kawasan, diantaranya
ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, antara
adalah : a) jalan lintas Pantura dan KA di Pantura Jawa,
manusia dengan alam maupun antara kepentingan
Sumatra bagian timur. b) permukiman penduduk pada
ekonomi dengan kelestarian lingkungan.
wilayah pantura Jawa, Sumatra bagian Timur,
Penyebab terjadinya bencana sendiri dapat Kalimantan selatan, Sulawesi bagian barat daya dan
dibedakan menjadi 3 hal, yakni : a) kondisi alam yang beberapa spot pesisir di Papua.
c) hilangnya sawah, payau, kolam ikan dan mangrove
seluas 3,4 juta ha, sentra produksi pangan (4%)
terancam alih fungsi lahan. d) penurunan produktivitas

Jurnal Geografi 5
sentra-sentra pangan, seperti DAS Citarum, Isu berikutnya yang sangat serius adalah mengenai
Brantas, Sadang. jumlah penduduk perkotaan sebagai wujud terjadinya
fenomena urbanisasi akibat migrasi desa-kota. Data Isu lain adalah menyangkut perkembangan
menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di kota-kota yang tidak terarah, cenderung membentuk
Indonesia menunjukkan perkembangan yang pesat konurbasi antara kota inti dengan kota-kota
dari 32,8 juta (22,3%) dari total penduduk nasional sekitarnya. Konurbasi dimaksud dicirikan dengan
(1980) meningkat menjadi 55,4 juta (30,9%) dalam munculnya 9 kota metropolitan dengan penduduk di
tahun 1990, menjadi 74 juta atau 37% (1998), menjadi atas 1 juta jiwa (Jakarta, Surabaya, Bandung,
90 juta jiwa atau 44% (2002), dan diperkirakan akan Medan, Bekasi, Tanggerang, Semarang, Palembang,
mencapai 150 juta jiwa atau 60% dari total penduduk Makasar). Disamping itu muncul pula 9 kota besar
nasional (2015). Dengan laju pertumbuhan penduduk yakni Bandar Lampung, Malang, Padang,
kota rata-rata 4,49% (1990-1995). Dengan Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo,
kecenderungan urbanisasi yang terus meningkat, Yogyakarta, dan Denpasar. Konurbasi yang terjadi
perhatian pada penataan ruang kawasan perkotaan pada kota-kota tersebut menimbulkan berbagai
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya melalui permasalahan yang kompleks seperti kemiskinan
penerapan zoning regulation, mekanisme insentif dan perkotaan, pelayanan sarana dan prasarana kota,
disinsentif dan sebaginya. kemacetan alu-lintas, dan pencemaran lingkungan.

Perkembangan kawasan perkotaan yang Pengembangan kota-kota pada kawasan


membentuk pola linear yang dikenal dengan ribbon perbatasan negara, baik yang berada di mainland
developmnet, seperti yang terjadi di pantai utara maupun di pulau-pulau kecil sebagai pusat
Jawa secara intensifpun mulai terjadi di pantai timur pertumbuhan wilayah dan beranda depan negara
Sumatra. Konsentrasi perkembangan kawasan (frontier region) pada saat ini masih jauh dari
perkotaan yang memanjang pada kedua pulau utama harapan. Ketertinggalan, keterisolasian dan
tersebut telah menimbulkan kesenjangan antar keterbatasan aksesibilitas, serta keterbatasan
wilayah yang cukup signifikan, serta inefiseinsi pelayanan merupakan kondisi yang tipikal terjadi.
pelayanan prasarana-sarana. Sebagai gambaran
Walaupun telah diatur melalui PP No69/1996
konsentrasi kegiatan ekonomi di Pantura Jawa
tentang pelaksanaan hak dan kewajiban serta bentuk
mencapai 85%, jauh meninggalkan pantai selatan
dan tatacara peran serta masyarakat yang merupakan
Jawa (15%). Hal inipun dicirikan dengan intensitas
derivasi (turunan) dari UU No 24/1992 dan karenanya
pergerakan orang dan barang yang sangat tinggi,
telah menjadi kepentingan umum, proses pelibatan
seperti pada lintas Pantura dan lintas timur Sumatra.
masyarakat sebagai subyek utama dalam penataan
ruang masihbelum menemukan bentuk terbaiknya.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa penyaluran hak-
hak masyarakat dalam penataan ruang saja belum
terjamin sepenuhnya, terlebih pelaksanaan
kewajibannya masih jauh dari harapan. Persepsi yang
beda mengenai hak dan kewajiban pada masyarakat

6 Volume 4 No. 1 Januari 2007


sringkali mengakibatkan konflik pemanfaatan ruang transaksi (transaction cost), dan kecenderungan
yang sulit dicarikan solusinya, tingginya biaya merugikan kepentingan publik. Pelibatan masyarakat
perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang desentralisasi politik, dekonsentrasi pada pengertian
disepakati bersama serta memperhatikan karakteristik desentralisasi administrasi, dan delegasi maupun
sosial-budaya setempat. privatisasi sebagai tugas/subcontracting.

Berlakunya kebijakan ekonomi daerah melalui


PENATAAN RUANG DALAM ERA
UU No 22/1999 berimplikasi pada biasnya hirarki
OTONOMI DAERAH
dalam sistem perencanaan tata ruang wilayah. Dengan
Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah dan tidak adanya hirarki antara pemerintah propinsi dan
desentralisasi fiskal di tahun 2001, mulailah era baru pemerintah kabupaten/kota, RTRW Nasional dan
dalm sistem pembangunan di daerah. Pada hakekatnya RTRW Propinsi yang sebelumnya sebelumnya
otonomi daerah mengandung makna yaitu diberikannya menjadi pedoman bagi daerah tingkat bawahnya ps. 20
wewenang (outhoruty) pada Pemerintah Daerah (Pemda) (3c) dan ps 21 (3d) UU24/1992 dapat menjadi tidak
menurut kerangka perundang-undangan yang berlaku efektif karena daerah mempunyai kewenangan penuh
untuk mengatur kepentingan (interst) daerah masing- dalam penataan ruang daerahnya . Dalam PP No
masing. Melalui kebijakan otonomi daerah ini, 25/1999 bahkan disebutkan bahwa penyusun RTRWN
pemerintah pusat mendesentralisasikan sebagian besar berdasarkan tata ruang kabupaten/kota dan propinsi
kewenangannya pada Pemda. (pasal 2 butir 13 c). Sementara penyusun RTRWP
harus berdasarkan kesepakatan antara propinsi dan
Secara konseptual, desentralisasi dapat dibedakan
kabupaten/kota (pasal 3 butir 12a). Meskipun pada
atas 4 bentuk dengan turunan yang berbeda yakni 1)
satu sisi penataan ruang yang paling fundamental
devolusi, yang merupakan penyerahan urusan fungsi-
merupakan wewenang daerah, namun pada sisi lain
fungsi pemerintahan dari pusat ke Pemerintah Daerah
RTRWP bukanlah mosaik dari kabupaten/kota.
hingga menjadi urusan rumah tangga daerah; 2)
dekonsentrasi, yang merupakan pelimpahan Dalam konteks ini, konsen pemerintah pusat dalam
kewenangan dari pemerintah pusat kepada Pemerintah bidang penataan ruang adalah untuk menjamin (a)
Daerah; 3) delegasi, yang merupakan penunjukkan tercapaianya keseimbangan pemanfaatan ruang makro
oleh pemerintah pusat atau pemerintah atasan kepada antara kawasan berfungsi lindung dan budidaya, antara
pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas kawasan perkotaan dan perdesaan, antara wilayah dan
pemerintahan dengan pertangungjawaban kepada antar sektor; (b) tercapainya pemulihan daya dukung
atasnya; 4) Privatisasi, yang merupakan pengalihan lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana yang
kewenangan dari pemerintah pusat kepada organisasi lebih besar dan menjamin keberlanjutan pebangunan;
non pemeriontah baik yang berorientasi profit maupun (c) terwujudnya keterpaduan dan kerjasama
non profit. Lazimnya prinsip devolusi mengacu pada pembangunan lintas propinsi dan lintas sektor untuk
optimasi dan sinergi struktur pemanfaatan ruang;
(d) terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat (basic
needs) akan pelayanan publik yang memadai.

Jurnal Geografi 7
Di sisi lain, menurut PP 25 Th 2000, kewenangan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro,
pusat dalam bidang tata ruang meliputi (a) Perencanaan serta (penetapan) pola dan struktur pemanfaatan ruang
nasional. (b) Fasilitasi kerjasama atau penyelesaian pengelolaan pusat pertumbuhan baru’, ‘pengembangan
masalah antar propinsi/daerah, misal melalui penyusun kawasan perbatasan’, ‘pengedalian dalam pengelolaan
RTRW pulau atau RTRW kawasan Jabodetabek. (c) tata ruang’, dan’ peningkatan aspek pertahanan dan
Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil dan kriteria keamanan dalam penataan ruang’ demi keutuhan NKRI.
penataan per wilayah ekosistem daerah tangkapan air.
Adalah menjadi tugas Ditjen penataan ruang/
(d) Penyiapan standar, kriteria dan fasilitasi
Ditkimpraswil untuk menjabarkan jiwa dan dari visi tata
kerjasama penataan ruang.
ruang ke depan tersebut ke dalam bentuk kebijakan dan
Berkenaan dengan hal tersebut, instrumen pengikat strategi penyelenggaraan penataan ruang. Selain itu
yang dapat digunakan sebagai acauan sekaligus alat perunusan kebijakan dan strategi tersebut tidak dapat
keterpaduan dan kerjasama pembangunan antar daerah pula dilepaskan dari 2 pokok kesepakatan yang dicapai
adalah melalui (a) Instrumen perundang-undangan yang dalam RAKERNAS-BKTRN, yaitu Pengaturan penataan
mengikat. (b) Kebijakan-kebijakan yang jelas dan ruang nasional dan penguatan peran daerah dalam
responsif sesuai dengan kebutuhan daerah. (c) Bantuan penataan ruang. Berpijak pada jiwa dari pada visi tata
dan kompensasi dalam bentuk fiskal. (d) Penyediaan ruang ke depan dan kesepakatan RAKERNAS-BKTRN
langsung prasarana berfungsi lintas wilayah dan tulang tersebut, maka telah dihasilkan rumusan kebijakan dan
punggung (backbone) pengembangan wilayah. (e) strategi pokok penataan ruang tahun 2004 dan pasca
Mendorong kemitraan secara vertikal dan horizontal 2004 yakni (a) Memfungsikan kembali (revitalisasi)
yang bersifat kerjasama pengelolaan (co-management) penataan ruang yang mamapu menangani agenda-agenda
dan kerjasama produksi (co-production) aktual, terbuka, akuntabel dan mengaktifkan peran
masyarakat. (b) Memantapkan RTRWN sebagai acuan
KEBIJAKAN DAN STRATEGI pengembangan wilayah, yang ditempuh melalui (1)
PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG operasionalisasi RTRWN (melalui RTRW pulau,
Propinsi, Kabupaten/Kota) sebagai produk yang
Dalam merespon berbagai isu dan tantangan
mengintegrasikan rencana pemanfaataan ruang darat,
pembangunan yang aktual dalam era otonomi daerah,
laut dan pesisir, serta udara. (2) koordinasi lintas sektor
maka keberadaan visi penyelenggaraan penataan
dan lintas daerah. (3) pengembangan sistem penataan
ruang yang tegas menjadi sangat penting. Dalam
ruang. Dalam kaitan ini RTRWN diharapkan dapat
RAKERNAS-BKTRN di Surabaya yang lalu, Menko
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
perekonomian selaku ketua BKTRN telah
perencanaan pembangunan nasional dan menjadi
menjabarkan keywords yang menjadi jiwa daripada
landasan dalam penyusunan program pembangunan lima
visi tata ruang ke depan. Adapaun keywords dimaksud
tahun. RTRWN juga digunakan sebagai acuan dalam
adalah : ‘integrasi tata ruang darat, laut, dan udara’, ‘
pengembangan sistem kot-kota yang efisien, sesuai
dengan fungsi-fungsi yang ditetapkan. (c) Meningkatkan
pembinaan pengelolaan KAPET (sebagai pusat
pertumbuhan baru) dan kawasan tertentu (sebagai

8 Volume 4 No. 1 Januari 2007


kawasan yang memiliki nilai strategis nasional, seperti kawasan metropolitan, dsb). Keduanya ditampung
kawasan perbatasan negara, kawasan kritis lingkungan, melaui upaya fasilitasi yang konsisten dan sistematis.
(d) Meningkatkan kapasitas penyelenggaraan penataan perkembangan antar wilayah serta kawasan, serta
ruang di daerah dalam rangka mempercepat pelaksnaan lemahnya koordinasi dan pengendalian pembangunan.
otonomi daerah. Adapun upaya yang ditempuh adalah Penataan ruang merupakan instrumen legal untuk
melalui: (1) penyelenggaraan Bimtek penyusun dan mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan
evaluasi RTRW propinsi, kabupaten/kota. (2) penciptaan wilayah melalui pemanfaatan sumberdaya secara
iklim yang mendorong tumbuhnya kemitraan dan peran efektif, efisien, dan terpadu sekaligus mewujuidkan
serta masyarakat dalam penataan ruang. (3) peningkatan ruang yang berkualitas. Dengan memanfaatkan
kepastian hukum dan transpansi dalam penataan ruang. berbagai teori dan konsep pengembangan wilayah
(4) penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual penataan ruang merupakan instrumen yang digunakan
(NSPM). (e) Kertkait dengan kebijakan dan strategi untuk untuk memahami interaksi 4 unsur utama pembentuk
meningkatkan kapasitas penyelenggaraan penataan ruang ruang yakni : sumberdaya alam-manusia-sumberdaya
di daerah, maka langkah strategis yang menjadi penting buatan-dan sistem aktivitasnya, secara komprehensif.
adalah : 1) memperkuat peran gubernur dalam Penataan ruang merupakan instrumen untukmengkaji
penyelenggaraan penataan ruang, khususnya untuk keterkaitan antar fenomena tersebut serta untuk
memfasilitasi kerjasama penataan ruang antar daerah dan merumuskan tujuan dan strategi pengembangan
mengendalikan pembangunan (pemanfaatan ruang) wilayah terpadu sebagai landasan pengembangan
secara lebih efektif. 2) memberdayakan tim koordinasi kebijakan pembangunan sektoral dan daerah, termasuk
penataan ruang daerah (TKPRD), baik pada tingkat sebagai landasan pengembangan sistem perkotaan
propinsi, kabupaten atau kota, dalama rangka yang efisien sesuai dengan fungsi-fungsi yang telah
menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, inisiasi, supervisi, ditetapkan. Dalam perkembangannya, kini penataan
dan mediasi (conflict resolution body). ruang memiliki peran yang strategis dalam konteks
pembangunan nasional karena diarahkan sebagai
landasan untuk mempertahankan integritas wilayah
PENUTUP NKRI. Untuk mendukung peran tersebut secara efektif
dan konsisten maka penyelenggaraan penataan ruang
Beberapa kesimpulan yang penting untuk
akan berpijak pada 2 pokok yakni : 1) pengaturan
dikemukakan berdasarkan uraian di atas adalah dalam
penataan ruang nasional khususnya melalui percepatan
era otonomi daerah dewasa ini penataan ruang memiliki
penyelesaian review PP47/1997 tentang RTRWN dan
peran penting dalam menjawab berbagai isu dan
alat operasionalisasinya. 2) penguatan peran daerah
tantangan nyata dalam pembangunan, seperti konflik
dalam penataan ruang, khususnya melalui penguatan
pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah,
peran gubernur dalam pengendalian pemanfaatan
degradasi kualitas lingkungan, kesenjangan tingkat
ruang, peningkatan kerjasama antar daerah dalam
penyelenggaraan penataan ruang serta penguatan
kelembagaan penataan ruang di daerah (TKPRD).

Jurnal Geografi 9
DAFTAR RUJUKAN

Budhy Tjahjati.S. Pembangunan Perkotaan dengan


Pendekatan Penataan Ruang: Implikasi
dan Prospeknya, sumbangan tulisan
untuk sejarah tata ruang Indonesia
1950-2000, Ditkimtaru, Jakarta.

Purnomosidhi HS. 1981. Konsepsi Dasar


Pengembangan Wilayah di Indosensia.
DPU, Jakarta.

Sjarifuddin Akil. Tujuan Umum Pengembangan


Wilayah dan Penataan Ruang. Draft 3.
Bapenas , Jakarta

Roslan Zaris. Strategi Nasional Pengembangan


Perkotaan (SNPP). Sumbangan tulisan
untuk sejarah tata ruang untuk Indonesia.

Robinson Tarigan. Perencanaan Pembangunan


Wilayah. PT Bumi Aksara, Jakarta

Walter Isard. 1960. Methods of Region Analisys-An


Introduction to Regional Science. New
York. Massachusetts institute of
technology and wiley

10 Volume 4 No. 1 Januari 2007


IDENTIFIKASI PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN DAN WILAYAH
PENDUKUNGNYA DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
KABUPATEN NIAS

IDENTIFICATION OF GROWTH AND HINTERLAND AREA IN


DEVELOPING NIAS DISTRICT
Yarman Gulo

Dinas Tata Ruang, Perumahan, dan Kebersihan Kabupaten Nias Jalan Arah Pelabuhan Udara Binaka Km. 6,4,
Gunungsitoli Selatan Pos-el: yarmangulo@gmail.com

ABSTRACT
Growth center is the area or region that is growing very rapidly because it is used as a development cen-tral
development affecting other areas in the vicinity. Given that areas be the center of that growth is expected in the
surrounding areas also affected and stimulated to advance. The aim of the research was to identify subdistricts which
have the opportunity or the potential to be the centers of economic growth in Nias District and to analyze the
interaction (correlation) between growth center and the hinterlands of supporting subdistricts. The data were
analyzed descriptive qualitatively, using skalogram analysis in order to know the centers of regional development
based on the availability of economic, social, and governmental facilities and gravitation analysis in order to estimate
the attraction of a location in the regional development, compared with the other locations or with the hinterlands.
The result of the analysis showed that the first growth center in Nias District is Gido Subdistrict, the second growth
center is Idanogawo Subdistrict, and the third growth center is Botomuzoi Subdistrict.
Keywords: Growth center, Interaction, Regional development

ABSTRAK
Pusat pertumbuhan ialah wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya sangat pesat sehingga dijadikan sebagai
pusat pembangunan yang memengaruhi kawasan-kawasan lain di sekitarnya. Dengan adanya kawasan-kawasan
yang dijadikan pusat pertumbuhan itu, diharapkan kawasan-kawasan di sekitarnya turut terpengaruh dan terpicu
untuk maju. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kecamatan-kecamatan yang berpeluang atau
berpotensi sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Nias dan menganalisis interaksi (tingkat
keter-kaitan) antara pusat pertumbuhan (growth centre) dan daerah belakangnya (hinterlands) kecamatan
pendukung. Metode analisis yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan menggunakan analisis
skalogram un-tuk mengetahui pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas ekonomi, sosial dan
pemerintahan, dan analisis gravitasi untuk memperkirakan daya tarik suatu lokasi pusat pertumbuhan wilayah
dibandingkan lokasi lain atau wilayah belakangnya (hinterlands). Hasil analisis menunjukkan bahwa pusat
pertumbuhan utama di Kabupaten Nias adalah Kecamatan Gido, pusat pertumbuhan kedua, yaitu Kecamatan
Idanogawo, dan pusat pertumbuhan ketiga adalah Kecamatan Botomuzoi.
Kata kunci: Pusat pertumbuhan, Interaksi wilayah, Pengembangan wilayah

| 37
PENDAHULUAN dalam berbagai program kegiatan yang
terkoordinasi. Pada tingkat daerah, perencanaan
Perencanaan pembangunan dapat dikatakan
pembangunan ekonomi bisa dianggap sebagai
sangat identik dengan ekonomi pembangunan.
perencanaan untuk memperbaiki penggunaan
Apabila sekiranya ruang gerak ekonomi
sumber-sumber daya publik yang tersedia di
pembangunan berusaha mencari strategi
daerah tersebut dan memperbaiki kapasitas sektor
pembangunan, peren-canaan pembangunan
swasta dalam rangka menciptakan nilai sumber-
merupakan alat yang ampuh untuk
sumber daya swasta secara bertanggung jawab.
menerjemahkan strategi pembangunan tersebut
Dengan demikian, diharapkan perekonomian ekonomi, baik ke dalam maupun ke luar. Apabila
wilayah dapat mencapai keadaan yang lebih baik dilihat secara geografis, pusat pertumbuhan
pada masa yang akan datang dibandingkan adalah suatu lokasi yang memiliki banyak fasilitas
keadaan sekarang ini, atau minimal sama dengan dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik
keadaan ekonomi sekarang.1 (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai
Menurut Sirojuzilam,2 berbagai masalah tim-bul usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan
dalam kaitan dengan pertumbuhan wilayah, baik masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas
yang berkaitan dengan indikator ekonomi maupun yang ada di lokasi tersebut. Kriteria pusat
indikator sosial dan terus mendorong pertumbuhan, yaitu sebagai daerah cepat tumbuh,
perkembangan konsep- konsep pertumbuhan memiliki sektor unggulan, dan mempunyai
ekonomi wilayah. Dalam kenyataannya, banyak interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya.
fenomena tentang pertumbuhan ekonomi wilayah. Penciptaan pusat pertumbuhan ekonomi dapat
Kesenjangan wilayah dan pemerataan pem- dimulai dari beberapa sektor yang dinamis dan
bangunan menjadi permasalahan utama dalam mampu memberikan output rasio yang tinggi dan
pertumbuhan wilayah dan hingga saat ini menjadi pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan
persoalan di negara berkembang. dampak yang luas (spread effect) dan dampak
Pusat pertumbuhan ekonomi merupakan salah ganda (multiplier effect) pada sektor lain dan
satu alternatif untuk menggerakkan dan wilayah yang lebih luas. Kekuatan pasar akan
memacu pembangunan guna meningkatkan menjamin ekuilibrium (keseimbangan) dalam
pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi distribusi spasial ekonomi dan proses trickle
manakala diarahkan pada daerah-daerah yang down effect atau centre down dengan sendirinya
memiliki potensi dan fasilitas wilayah akan akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan
mempercepat terjadinya kemajuan ekonomi tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti
karena secara tidak langsung kemajuan daerah kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah
akan membuat masyarakat mencari kehidupan seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui
yang lebih layak di daerahnya. beberapa mekanisme, yaitu hierarki perkotaan dan
Menurut Tarigan,3 pusat pertumbuhan (growth perusahaan-perusahaan besar. Implementasi dari
pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu penciptaan pusat pertumbuhan harus diikuti oleh
secara fungsional dan geografis. Secara trickle down effect (dampak penetesan ke bawah)
fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi dan spread effect (dampak penyebaran) melalui
konsentrasi kelompok usaha yang karena sifat aktivitas harmonis antara pusat pertumbuhan dan
hubungannya memiliki unsur-unsur kedina-misan basis sumber daya di wilayah perdesaan sehingga
sehingga mampu menstimulasi kehidupan kegiatan pusat pertumbuhan berdampak pada
daerah sekitarnya yang juga akan dapat tumbuh.4
Kabupaten Nias merupakan salah satu wilayah di
Provinsi Sumatra Utara dan berada di sebelah
barat Pulau Sumatra yang berjarak sekitar 86 mil
laut dari Kabupaten Tapanuli Tengah.
Aksesibilitas ke wilayah ini tergolong sulit karena
hanya dapat ditempuh dengan transportasi udara
dan laut dengan frekuensi perjalanan yang
terbatas. Hal ini sangat meme ngaruhi
perkembangan Kabupaten Nias karena
ketergantungan Kabupaten Nias dengan wilayah
luar sangat besar. Secara geografis, Kabupaten
Nias terletak di 0°53’1,5’’−1°17’16,6’’ Lintang
Utara dan 97°29’0,7’’−97°58’29’’ Bujur Timur.
Setelah pemekaran pada 2008, luas wilayah
Kabupaten Nias berkurang daripada sebelumnya

38 | Widyariset, Volume 18, Nomor 1, April 2015 37–48


3.799,80 km² menjadi sekitar 980,32 km², terdiri tertangani dengan baik; (g) masih banyaknya
dari 9 kecamatan, yakni Kecamatan Idanogawo, desa yang belum terlayani jaringan listrik dan
Bawolato, Ulugawo, Gido, Ma’u, Somolo-molo, telekomunikasi, serta jaringan jalan yang belum
Hiliserangkai, Botomuzoi, dan Hiliduho. Keselu- memadai untuk terhubung dengan daerah lain.5
ruhan kecamatan memiliki 119 desa. Memperhatikan isu-isu strategi tersebut, maka
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional(PP untuk menyelaraskan pertumbuhan eko-nomi
No. 26 Tahun 2008), Kepulauan Nias (Kota antarwilayah di Kabupaten Nias perlu
Gunungsitoli) termasuk Pusat Kegiatan Wilayah dikembangkan konsep kecamatan sebagai pusat
(PKW) sebagai kota rehabilitasi akibat bencana alam pertumbuhan ekonomi. Hingga saat ini belum ada
dan masuk percepatan pengem bangan kota-kota kajian akademis mengenai potensi kecamatan-
pusat pertumbuhan nasional. Hal ini berarti bahwa kecamatan di Kabupaten Nias sebagai pusat
Kepulauan Nias merupakan salah satu wilayah pertumbuhan ekonomi wilayah. Cakupan ruang
nasional strategis, baik dilihat dari aspek pertahanan lingkup kecamatan sebagai pusat pertumbuhan
dan keamanan maupun dalam pengembangan ekonomi dimaksudkan agar pemerataan pemba
ekonomi, terutama untuk sumber daya laut. ngunan antar-kecamatan dapat lebih merata.
Setelah pemekaran wilayah pada 2008, beberapa isu- Berdasarkan latar belakang dan perumusan
isu strategis di Kabupaten Nias hingga saat ini masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
adalah (a) belum adanya pusat pemerintahan yang penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
definitif mengakibatkan pelayanan publik belum d) mengidentifikasi kecamatan-kecamatan
maksimal (sementara administrasi pemerintahan yang berpeluang atau berpotensi sebagai
masih berpusat di Kota Gunungsitoli); (b) terjadinya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di
perkembangan wilayah yang tidak terarah sejak Kabupaten Nias, dan
terjadinya bencana alam gempa dan badai tsunami e) menganalisis interaksi (tingkat keterkaitan)
yang telah merusak struktur wilayah; (c) masih antara pusat pertumbuhan (growth centre)
adanya potensi sumber daya yang belum dan daerah sekitarnya (hinterland)
dikembangkan secara optimal sehingga belum dapat kecamatan pendukung.
mendukung upaya pengembangan wilayah secara
berkelanjut an, seperti pengembangan sumber daya
METODE PENELITIAN
perikanan tangkap dan budi daya serta
pengembangan potensi wisata bahari yang didukung Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Nias
oleh infrastruktur dan prasarana wilayah yang pada 2012. Data yang digunakan dalam penelitian
memadai; (d) adanya prioritas pengembangan ini adalah data sekunder. Pengumpulan data
wilayah, yaitu melalui pengembangan wilayah di sekunder dikumpulkan dari beberapa instansi
tingkat kecamatan dan desa di tingkat kabupaten terkait, pegawai kecamatan, pegawai Bappeda,
yang diikuti dengan pengembangan infrastruktur dan pihak-pihak terkait lainnya yang mendukung
kebutuhan dasar masyarakat; (e) perlunya dalam penulisan penelitian ini yang meliputi: data
pengembangan sentra-sentra produksi untuk fasilitas-fasilitas (ekonomi, sosial, pemerintahan),
menampung produksi yang dihasilkan dan jumlah penduduk, jarak antarkecamatan, PDRB
meningkatkan kualitas produknya dengan didukung atas dasar harga konstan 2003, peta wilayah ad-
oleh tersedianya sarana dan prasarana pendukung ministrasi dan data sekunder lainnya dari
yang dapat membawa hasil produk ke dan dari beberapa publikasi yang bersumber dari BPS,
Kabupaten Nias; (f) adanya masalah-masalah Bappeda Kabupaten Nias, dan kecamatan di
lingkungan yang terjadi di wilayah Kabupaten Nias Kabupaten Nias. Metode analisis yang digunakan
yang memerlukan penanganan prioritas agar tidak dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
menjadi kendala dalam upaya pengembangan deskriptif dengan menggunakan analisis
wilayah, yaitu ma-salah tanah longsor, banjir, dan skalogram untuk mengetahui pusat pertumbuhan
perambahan hutan lindung oleh masyarakat yang wilayah berdasar-kan ketersediaan fasilitas
selama ini belum ekonomi, sosial, dan pemerintahan. Selain itu,
analisis gravitasi untuk memperkirakan daya tarik
suatu lokasi pusat

Identifikasi Pusat-Pusat... | Yarman Gulo | 39


pertumbuhan wilayah dibandingkan lokasi lain Keterangan:
atau wilayah belakangnya (hinterland). Aij = Besarnya interaksi wilayah i dengan wilayah j
Pi = Jumlah penduduk di wilayah i, dalam
Analisis Skalogram ribuan jiwa
Dalam metode ini, semua fasilitas umum yang P = Jumlah penduduk di wilayah j, dalam
dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disu- ribuan jiwa
sun dalam suatu tabel. Metode ini bisa digunakan
dij =kmJarak dari wilayah i dengan wilayah j, dalam
untuk menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki
oleh setiap wilayah atau menuliskan ada/tidaknya k = Sebuah bilangan konstanta berdasarkan
fasilitas tersebut di suatu wilayah.6 pengalaman
Untuk menentukan orde-orde pusat pertum- b = Pangkat dari dij yang sering digunakan b=2
buhan maka digunakan metode Struges. Rumus
untuk mencari banyaknya kelas dari tiap-tiap
kecamatan sebagai pusat pertumbuhan adalah
Kebijakan Tata Ruang
sebagai berikut: Wilayah Kabupaten Nias
k = 1 + 3,3 Log n (1) Mengacu pada potensi dan kondisi yang dimiliki
oleh wilayah Kabupaten Nias, pengembangan
Keterangan: sistem perkotaan wilayahnya diarahkan sebagai
k = banyaknya kelas berikut:8
n = banyaknya kecamatan a. Pusat Kegiatan Lokal (PKL)
Selanjutnya untuk menentukan besarnya merupakan kawasan perkotaan dengan fungsi
interval kelas, dengan cara: sebagai pusat pertumbuhan utama dengan ori-
entasi kegiatan berupa pemerintahan, perda-
A−B
gangan, industri, dan pelayanan masyarakat
k (2)
serta sebagai pintu gerbang perdagangan ke
Keterangan: luar wilayah kabupaten dengan kelengkapan
A = jumlah fasilitas tertinggi sarana dan tingkat pertumbuhan penduduk
B = jumlah fasilitas terendah yang cukup tinggi. PKL di Kabupaten Nias
adalah Kecamatan Gido.
k = banyaknya kelas
b. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK)
Biasanya, peringkat/kelas disusun dari yang
terkecil ke yang terbesar, tetapi dalam menyusun merupakan kawasan perkotaan dengan fungsi
orde pusat pertumbuhan, susunan dibalik dari sebagai pusat perdagangan dan jasa, permuki
yang terbesar ke yang terkecil. man, koleksi, dan distribusi dengan skala
pelayanan beberapa kecamatan. PPK mempu
nyai kelengkapan sarana dan prasarana
Analisis Gravitasi
pengembangan wilayah lebih rendah daripada
Model Gravitasi banyak dipergunakan dalam PPK. Berdasarkan hasil analisis yang dilaku-
perencanaan wilayah. Model ini dapat membantu kan, didapatkan bahwa PPK di Kabupaten
perencana wilayah untuk memperkirakan daya Nias adalah Kecamatan Idanogawo.
tarik suatu lokasi dibandingkan lokasi lain di
Dengan pertimbangan pemerataan pem-
sekitarnya. bangunan di Kabupaten Nias, PPK di
Rumus Gravitasi secara umum adalah Kabupaten Nias akan disesuaikan dengan
sebagai berikut:7 tujuan pembangunan yang ingin dicapai,
Pi ⋅ Pj (3) yaitu pemerataan pembangunan di Kabupaten
A =k
ij dijb Nias. Kecamatan Hiliserangkai yang semula
berada pada hierarki PPL akan ditingkatkan
menjadi PPK. Perubahan ini bertujuan untuk

40 | Widyariset, Volume 18, Nomor 1, April 2015 37–48


pemerataan pembangunan di tiga kecamatan wilayah Kabupaten Nias. Selengkapnya,
yang selama ini terpisah dengan beberapa hierarki pusat pertumbuhan kecamatan
kecamatan lainnya di Kabupaten Nias, berdasarkan analisis skalogram di Kabupaten
Kecamatan Hiliserangkai akan menjadi pusat Nias Tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.
pelayanan bagi Kecamatan Hiliduho dan Dari Tabel 1 terlihat bahwa Kecamatan Gido
Botomuzoi. Untuk Kecamatan Bawolato, status merupakan kecamatan yang paling banyak
hierarkinya menjadi PPL. memiliki jumlah unit fasilitas, yakni 401 unit,
PPK di Kabupaten Nias adalah Idanogawo dan disusul Kecamatan Bawolato sebanyak 358 unit,
Hiliserangkai. dan Kecamatan Idanogawo sebanyak 349 unit.
d) Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) Akan tetapi, jika diamati dari jumlah jenis
(ragam) fasilitas, terlihat bahwa Kecamatan
merupakan kawasan perkotaan dengan fungsi
Idanogawo memiliki lebih banyak ragam
sebagai pusat produksi perkebunan dan pertanian
fasilitas, yakni sebanyak 33 jenis, menyusul
dengan skala pelayanan kecamatan serta
Kecamatan Gido sebanyak 31 jenis dan Bawolato
menunjang kota dengan hierarki di atasnya. PPL
27 jenis. Semen-tara dari jumlah penduduk
mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana
terlihat Kecamatan Gido memiliki jumlah
pengembangan wilayah lebih rendah daripada
penduduk terbanyak, yakni 31.660 jiwa,
PPK. PPL di Kabupaten Nias adalah Kecamatan
menyusul Kecamatan Idanogawo sebanyak
Ulugawo, Mau, Somolo-molo, Bawolato,
25.675 jiwa dan Bawolato sebanyak 22.965 jiwa.
Hiliduho, dan Botomuzoi.
Berdasarkan temuan hasil analisis skalogram ini,
jelaslah bahwa kecamatan yang berpotensi untuk
HASIL DAN PEMBAHASAN
dikembangkan menjadi pusat pelayanan wilayah
Kabupaten Nias adalah Kecamatan Gido. Dari
Analisis Skalogram analisis juga terlihat bahwa kaitan antara fasilitas
Untuk mengetahui pusat pertumbuhan wilayah di yang tersedia dan fungsi daerah sebagai pusat
Kabupaten Nias berdasarkan ketersediaan fasilitas pertumbuhan adalah semakin lengkap atau
ekonomi, sosial, dan pemerintahan digunakan alat semakin tinggi nilai atas fasilitas yang dimiliki
analisis skalogram. Berdasarkan perhitungan maka wilayah tersebut memiliki fungsi yang lebih
terhadap jumlah jenis fasilitas ekonomi, fasilitas besar dibandingkan wilayah lain. Semakin
sosial, dan fasilitas pemerintahan yang ada di lengkap fasilitas ekonomi dan sosial maka
tiap-tiap kecamatan, teridentifikasi bahwa semakin menarik bagi penduduk untuk
melakukan aktivitas di wilayah itu. Berdasarkan
Kecamatan Gido, Bawolato, dan Idanogawo
hal tersebut, Kecamatan Gido mampu
berturut-turut memiliki fasilitas yang lebih
menunjukkan perannya sebagai pusat
banyak dan beragam dibandingkan kecamatan-
pertumbuhan karena kemampuan-nya
kecamatan lain di
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Tabel 1. Hierarki Pusat Pertumbuhan Kecamatan berdasarkan Analisis Skalogram di Kabupaten Nias Tahun 2011

Peringkat Jumlah Jenis Jumlah Unit


Kecamatan Jumlah Penduduk Orde Kota
Hierarki Fasilitas Fasilitas
1 Gido 31.660 31 401 Orde I
2 Bawolato 22.965 27 358 Orde I
3 Idanogawo 25.675 33 349 Orde I
4 Botomuzoi 9.042 25 256 Orde III
5 Hiliduho 9.126 23 250 Orde III
6 Ulugawo 9.740 20 234 Orde III
7 Hiliserangkai 7.583 24 162 Orde IV
8 Somolo-molo 6.162 16 136 Orde IV
9 Ma’u 9.424 19 133 Orde IV
Sumber: BPS Kabupaten Nias 2012 (data diolah)9

Identifikasi Pusat-Pusat... | Yarman Gulo | 41


Tarigan10 mengemukakan salah satu tujuan satuan daya tarik kemudian Kecamatan Bawo-lato
menetapkan orde perkotaan adalah agar dapat sebesar 2.894.097 satuan daya tarik. Daya tarik
diperkirakan luas wilayah pengaruh dari kota yang tinggi atas Kecamatan Idanogawo
tersebut dan dengan demikian dapat diperkirakan disebabkan dari aspek geografis, Kecamatan
jenis dan tingkat/mutu fasilitas kepentingan Idanogawo juga cukup strategis karena berada di
umum apa saja yang perlu dibangun di kota tengah -tengah antara Kecamatan Gido dan
tersebut, baik untuk melayani penduduk kota itu Bawolato yang dihubungkan oleh jalan negara
sendiri maupun penduduk wilayah belakangnya Gunungsitoli–Teluk Dalam. Nilai interaksi ter-
yang sering datang ke kota tersebut. Di sisi lain, tinggi yang menyumbang nilai daya tarik ke
hal ini dapat dipergunakan untuk memperkirakan Kecamatan Idanogawo adalah interaksi antara
apakah fasilitas yang telah ada di kota tersebut Kecamatan Idanogawo dengan Kecamatan Gido
akan dimanfaatkan secara penuh oleh penduduk sebesar 4.147.298 satuan daya tarik dan interaksi
kota itu dan penduduk wilayah belakangnya. Orde antara Kecamatan Idanogawo dan Kecamatan
perkotaan umumnya didasarkan atas jumlah pen- Bawolato sebesar 1.819.834 satuan daya tarik.
duduk ataupun gabungan antara jumlah penduduk, Dengan demikian, Kecamatan Idanogawo dapat
jumlah fasilitas kepentingan umum, dan tingkat dipilih sebagai pusat pertumbuhan wilayah di
aksesibilitas kota tersebut terhadap kota lain yang Kabupaten Nias. Kecamatan lain yang juga nilai
ordenya lebih tinggi yang berdekatan. daya tariknya cukup tinggi adalah Kecamatan
Gido dan Bawolato. Hal ini dapat dimengerti
2. Analisis Gravitasi sebab jumlah penduduk di kedua wilayah ini
berada di urutan pertama dan ketiga.
Untuk melihat keterkaitan antarpusat pertum buhan
Dalam sistem kewilayahan, interaksi antara pusat
wilayah di Kabupaten Nias digunakan model
pertumbuhan dan wilayah belakang/hinter-land-
Gravitasi. Model ini paling banyak diguna kan
nya terdapat hubungan dan ketergantungan yang
untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi
saling membutuhkan. Keterkaitan dalam
yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering
hubungan ekonomi antara kecamatan sebagai
digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi
pusat pertumbuhan wilayah dan kecamatan
dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi
sebagai hinterland-nya adalah wilayah sebagai
tersebut.11 Hasil perhitungan dan analisis gravitasi,
sentral penyalur bahan pokok, pusat pemasaran
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
dari hasil-hasil produksi, pusat pendidikan,
Dari Tabel 2 tersebut terlihat bahwa Keca-matan
penyerap tenaga kerja, sentra perdagangan, pusat
Idanogawo memiliki nilai interaksi yang paling
pengembangan perkebunan dan pertanian, pusat
tinggi di antara kecamatan di Kabupaten Nias,
pangkalan perikanan, dan pusat perhubungan laut
yakni sebesar 7.204.952 satuan daya tarik,
dan udara. Sejalan dengan hal tersebut untuk
menyusul Kecamatan Gido sebesar 6.522.952
melihat keterkaitan atau interaksi antara

Tabel 2. Nilai Interaksi Tiap Kecamatan dengan Menggunakan Variabel Penduduk di Kabupaten Nias Tahun 2012

Nilai Interaksi
No. Kecamatan Peringkat Daya Tarik
(Satuan Daya Tarik)
1 Idanogawo 7.204.952 1
2 Bawolato 2.894.097 3
3 Ulugawo 1.334.602 6
4 Gido 6.522.952 2
5 Ma’u 817.522 9
6 Somolo-molo 1.242.237 7
7 Hiliduho 2.094.778 4
8 Hiliserangkai 1.226.666 8
9 Botomuzoi 1.976.418 5
Sumber: Hasil analisis

42 | Widyariset, Volume 18, Nomor 1, April 2015 37–48


pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya lain: (1) Keterkaitan fisik (physical link-ages),
(hinterland), Rondinelli11 mengemukakan antara yang berbentuk integrasi manusia melalui jaringan
transportasi (sungai) baik alami maupun rekayasa. linkages) dan ke belakang (backward linkages) di
Jalan-jalan baru dan rel kereta api ini dapat antara berbagai kegiatan ekonomi. (3) Keterkaitan
mengurangi waktu perjalanan, bisa memperluas pergerakan penduduk (population movement
jaringan pemasaran, memberikan peluang linkages), pola migrasi baik permanen maupun
penglaju (commuter), dan migrasi serta bisa temporer. Keterkaitan ini merupakan gambaran
memberikan pelayanan (service) yang baik. dari keterkaitan wilayah perdesaan dengan
d) Keterkaitan ekonomi (economic linkages), keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan.
berkaitan erat dengan pemasaran sehingga (d) Keterkaitan teknologi (technological linkages),
terjadi aliran komoditas berbagai jenis bahan terutama peralatan, cara dan metode produksi harus
dan barang manufaktur, modal, dan pendapatan terintegrasi secara spasial dan fungsional karena
serta keterkaitan produksi ke depan (forward inovasi teknologi saja tidak akan memacu
transformasi sosial dan ekonomi suatu wilayah jika
tidak disesuaikan dengan suatu kebutuhan.
(e) Keterkaitan sosial (social linkages) merupakan
dampak dari keterkaitan ekonomi terhadap pola

Tabel 3. Hasil Nilai Interaksi Wilayah antara Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Belakangnya (Hinterland) di
Kabupaten Nias
Kecamatan Kecamatan Penduduk Penduduk Jarak (Jarak Angka Inter-
No. Asal Tujuan Daerah Asal Daerah Tujuan i-j i-j)b aksi
(i) (j) (Pi) (Pj) (dij)/km (dij)2 (Aij)
Idanogawo 31.660 25.675 14 196 4.147.298
Bawolato 31.660 22.965 32 1.024 710.031
Ulugawo 31.660 9.740 32 1.024 301.141
Gido 31.660 31.660 0 0 0
1 Gido Ma’u 31.660 9.424 32 1.024 291.371
Somolo-molo 31.660 6.162 17 289 675.048
Hiliduho 31.660 9.126 42 1.764 163.792
Hiliserangkai 31.660 7.583 42 1.764 136.099
Botomuzoi 31.660 9.042 54 2.916 98.172
Idanogawo 25.675 25.675 0 0 0
Bawolato 25.675 22.965 18 324 1.819.834
Ulugawo 25.675 9.740 18 324 771.835
Gido 25.675 31.660 14 196 4.147.298
2 Idanogawo Ma’u 25.675 9.424 46 2.116 114.348
Somolo-molo 25.675 6.162 31 961 164.630
Hiliduho 25.675 9.126 56 3.136 74.716
Hiliserangkai 25.675 7.583 56 3.136 62.083
Botomuzoi 25.675 9.042 68 4.624 50.206
Idanogawo 9.042 25.675 68 4.624 50.206
Bawolato 9.042 22.965 86 7.396 28.076
Ulugawo 9.042 9.740 86 7.396 11.908
Gido 9.042 31.660 54 2.916 98.172
3 Botomuzoi Ma’u 9.042 9.424 86 7.396 11.521
Somolo-molo 9.042 6.162 71 5.041 11.053
Hiliduho 9.042 9.126 8 64 1.289.333
Hiliserangkai 9.042 7.583 12 144 476.149
Botomuzoi 9.042 9.042 0 0 0
Sumber: Hasil analisis

Identifikasi Pusat-Pusat... | Yarman Gulo | 43


hubungan sosial penduduk. (6) Keterkaitan pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih,
pelayanan sosial (service social linkages), seperti listrik, dan bank. (7) Keterkaitan administrasi,
politik, dan kelembagaan, misalnya pada struktur yakni Kecamatan Somolo-molo dengan nilai
pemerintahan, batas administrasi ataupun anggar interaksi 675.048 satuan daya tarik dan Ke-
an dan biaya pembangunan yang direfleksikan camatan Ma’u dengan nilai interaksi 291.371
dalam hubungan struktural pemerintahan formal. satuan daya tarik. Pusat pertumbuhan Kecamatan
Untuk mengidentifikasi pusat pertumbuhan Idanogawo mempunyai daerah belakangnya yang
wilayah dan hinterland-nya di Kabupaten Nias terdiri dari dua kecamatan, yakni Keca-matan
dapat dijelaskan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 terse- Bawolato dengan nilai interaksi sebesar 1.819.834
but dapat dijelaskan bahwa pusat pertumbuhan satuan daya tarik dan Kecamatan Ulugawo
Kecamatan Gido memiliki daerah belakangnya dengan nilai interaksi sebesar 771.835 satuan daya
(hinterland) yang terdiri dari dua kecamatan, tarik. Sementara pusat pertumbuhan Kecamatan
Botomuzoi memiliki dua kecamatan hinterland-
nya, yakni Kecamatan Hiliduho dengan nilai
interaksi 1.289.333 satuan daya tarik dan
Kecamatan Hiliserangkai sebesar 480.573

Tabel 4. Perbedaan Penentuan Pusat Pertumbuhan antara Hasil Analisis dan Kebijakan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW)
Keca- Hasil Analisis Hasil Analisis
No. Kebijakan RTRW Rekomendasi
matan Skalogram Gravitasi

Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Ter- Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Pusat Pertumbuhan
1 Gido
Utama (Orde I) tinggi (Peringkat 2) Kawasan Cepat Tumbuh Utama

Pusat Pelayanan Kawasan


(PPK)
Pusat Pertumbuhan Nilai Interksi Ter- Pusat Pertumbuhan
2 Idanogawo Kawasan Ceapat Tumbuh
Utama (Orde I) tinggi (Peringkat 1) Kedua
Kawasan Industri
Kawasan Minapolitan
Pusat Pelayanan Lingkun-
Hinterland Pusat
Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Ter- gan (PPL)
3 Bawolato Pertumbhan Kedua
Utama (Orde I) tinggi (Peringkat 3) Kawasan Cepat Tumbuh
(Idanogawo)
Kawasan Minapolitan

4 Botomuzoi Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Per- Pusat Pelayanan Lingkun- Pusat Pertumbuhan
Ketiga (Orde III) ingkat 5 gan (PPL) Ketiga

Hinterland Pusat
Hiliserang- Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Per-
5 PPK Pertumbuhan Ke-
kai Keempat (Orde IV) ingkat 8
tiga (Botomuzoi)

Hinterland Pusat
Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Per-
6 Hiliduho PPL Pertumbuhan Ke-
Keempat (Orde IV) ingkat 4
tiga (Botomuzoi)

Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Per- PPL Hinterland Pusat


7 Ulugawo Kawasan Hutan Lindung Pertumbuhan
Keempat (Orde III) ingkat 6
Kawasan Tertinggal Kedua (Idanogawo)

PPL Hinterland Pusat


Somolo- Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Per-
8 Kawasan Hutan Lindung Pertumbuhan
molo Keempat (Orde IV) ingkat 7
Kawasan Tertinggal Utama (Gido)

Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Per- PPL Hinterland Pusat


9 Ma’u Kawasan Hutan Lindung Pertumbuhan
Keempat (Orde IV) ingkat 9
Kawasan Tertinggal Utama (Gido)
Sumber: Hasil Analisis
44 | Widyariset, Volume 18, Nomor 1, April 2015 37–48
satuan daya tarik. Walaupun dari perhitungan lainnya di Kabupaten Nias dan merupakan
nilai interaksi Kecamatan Botomuzoi berada di wilayah pertumbuhan ketiga, sesungguhnya tidak
bawah Kecamatan Hiliduho, secara geografis memberikan sumbangan perekonomian bagi
Kecamatan Botomuzoi berada di tengah-tengah Kabupaten Nias secara keseluruhan karena
wilayah Kecamatan Hiliserangkai dan Hiliduho. aktivitas perekonomian ketiga wilayah tersebut
Dari analisis skalogram sebelumnya juga lebih tertarik ke Kota Gunungsitoli. Keterkaitan
terlihat bahwa fasilitas umum di Kecamatan ketiga kecamatan tersebut dengan wilayah pusat
Botomuzoi lebih lengkap dibandingkan kedua pertumbuhan utama Kecamatan Gido sebena-rnya
kecamatan lainnya. adalah hanya interaksi dari aspek urusan
pelayanan publik pemerintahan. Dari aspek kewil-
(e) Hasil Analisis Dikaitkan dengan ayahan Kecamatan Gido sangat strategis sebagai
Kebijakan RTRW Kabupaten Nias pusat pertumbuhan dibandingkan Kecamatan
Idanogawo karena jaraknya yang cukup dekat
Untuk melihat perbedaan antara hasil analisis dan
Kota Gunungsitoli. Di Kota Gunungsitoli terdapat
kebijakan dalam rencana tata ruang wilayah, ter-kait
fasilitas pelabuhan laut dan bandar udara sebagai
dengan penentuan pusat-pusat pertumbuhan di
sarana transportasi strategis untuk aktivitas per-
Kabupaten Nias, dapat dilihat pada Tabel 4. Dari
ekonomian di Kepulauan Nias. Dengan demikian,
Tabel 4, terlihat ada perbedaan antara hasil analisis
pusat pertumbuhan utama Kecamatan Gido dilihat
dan kebijakan tata ruang wilayah Kabupaten Nias.
dari pusat-pusat pertumbuhan di Kepulauan Nias
Dari hasil analisis terlihat bahwa Kecamatan
dapat dikembangkan sebagai kota transit atau kota
Botomuzoi merupakan pusat pertumbuhan orde
satelit dari Kota Gunungsitoli karena kota ini di
kedua dengan wilayah belakangnya Kecamatan
sampng berada di jalur jalan nasional yang
Hiliserangkai dan Kecamatan Hiliduho, tetapi dalam
menghubungkan Kota Gunungsitoli dengan Kota
kebijakan tata ruang wilayah Kabupaten Nias
Teluk Dalam juga wilayahnya dekat dengan Kota
terlihat bahwa kecamatan ini hanya sebagai pusat
Gunungsitoli.
pelayanan lingkungan (PPL) sedangkan Kecamatan
Sebagai implikasi penentuan Kecamatan Gido
Hiliserangkai diarahkan menjadi pusat pelayanan
sebagai pusat pertumbuhan utama (kota) di
kawasan (PPK) . Peningkatan Kecamatan
Kabupaten Nias maka untuk perencanaan wilayah
Hiliserangkai menjadi PPK bertujuan untuk
Kabupaten Nias perlu dibangun infrastruktur-
pemerataan pembangunan di tiga keca-matan yang
infrastruktur yang mendukung utamanya sarana
selama ini terpisah dengan beberapa kecamatan
transportasi yang dapat menghubungkan daerah
lainnya di Kabupaten Nias. Kecamatan
hinterland-nya dengan seluruh wilayah
Hiliserangkai akan menjadi pusat pelayanan bagi
Kabupaten Nias. Demikian juga penyediaan
Kecamatan Hiliduho dan Botomuzoi.
fasilitas-fasilitas umum lainnya dan fasilitas-
Untuk lebih jelasnya pusat-pusat pertumbuh an
fasilitas pemerintahan yang dapat melayani
wilayah hasil analisis di Kabupaten Nias dapat
penduduk Kabupaten Nias.
dilihat pada Gambar 1. Dari Gambar 1 tersebut,
Di samping itu, peningkatan kesejahteraan
dapat dilihat bahwa pusat-pusat pertumbuhan
masyarakat yang terlihat melalui angka Indeks
wilayah di Kabupaten Nias terdiri dari pusat
Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Nias
pertumbuhan utama di Kecamatan Gido dengan
perlu menjadi perhatian. Berdasarkan data BPS
daerah hinterland-nya Kecamatan Ma’u dan
Kabupaten Nias Tahun 2013, pada 2012
Somolo-molo, pusat pertumbuhan kedua adalah
pencapaian IPM Kabupaten Nias sebesar 69,55
Kecamatan Idanogawo dengan daerah hinterland-
mengalami peningkatan daripada tahun sebelum-
nya Kecamatan Ulugawo dan Bawolato, dan pusat
nya yakni 69,09. Komponen IPM yang
pertumbuhan ketiga adalah Kecamatan
mengalami peningkatan pada 2012 adalah angka
Botomuzoi dengan daerah hinterland -nya
harapan hidup dari 69,77 pada 2011 menjadi
Kecamatan Hiliserangkai dan Hiliduho. Dari
69,94 tahun 2012, rata-rata lama sekolah dari 6,42
Gambar 1 juga terlihat bahwa wilayah Kecamatan
pada 2011 menjadi 6,46 tahun 2012, angka melek
Botomuzoi, Hiliserangkai, dan Hiliduho yang
huruf dari 90,78 pada 2011 menjadi 90,79 pada
terpisah secara geografis dengan kecamatan
2012. Peningkatan ini merupakan dampak
program
Identifikasi Pusat-Pusat... | Yarman Gulo | 45
Gambar 1. Pusat-Pusat Pertumbuhan Wilayah di Kabupaten Nias

pembangunan yang dilaksanakan pemerintah KESIMPULAN


Kabupaten Nias di berbagai bidang termasuk
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
bidang sarana dan prasarana pendidikan dan
yang telah diuraikan di atas, baik dari analisis
kesehatan cukup menggembirakan sehingga akan
skalogram dan analisis gravitasi maupun kebi-
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup jakan RTRW Kabupaten Nias, dapat disimpulkan
tinggi dan diharapkan juga akan meningkatkan bahwa pusat pertumbuhan utama di Kabupaten
pendapatan per kapita masyarakat. Nias adalah Kecamatan Gido, pusat pertum buhan
Dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan tersebut kedua, yaitu Kecamatan Idanogawo, dan pusat
diharapkan memberikan pengaruh dan manfaat pertumbuhan ketiga adalah Kecamatan
bagi masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Botomuzoi. Hasil analisis interaksi (tingkat
Pengaruh-pengaruh dan manfaat tersebut keterkaitan) antara pusat pertumbuhan (growth
sebagaimana dikemukakan Nurmala Dewi,12 centre) dan daerah sekitarnya (hinterland) keca-
yakni: 1. pengaruh terhadap pemusatan dan matan pendukung adalah: (a) Pusat pertumbuhan
persebaran sumber daya, antara lain (a) pola Kecamatan Gido memiliki daerah belakangnya
mobilitas penduduk meningkat, (b) teknologi dan (hinterland) yang terdiri dari dua kecamatan,
transportasi semakin meninggi. 2. pengaruh
yakni Kecamatan Somolo-molo dan Ma’u. (b)
terhadap perkembangan ekonomi, antara lain
Pusat pertumbuhan Kecamatan Idanogawo
(e) meningkatkan kondisi ekonomi penduduk
mempunyai daerah belakangnya (hinterland) yang
sehingga kesejahteraan dan kualitas hidupnya
terdiri dari dua kecamatan, yakni Kecamatan
lebih baik, (b) menjadikannya sebagai pusat
Bawolato dan Ulugawo. (c) Pusat pertumbuhan
perdagangan. 3. pengaruh terhadap perubahan Kecamatan Botomuzoi memiliki dua kecamatan
sosial budaya masyarakat, antara lain (a) pendidi- hinterland-nya, yakni kecamatan Hiliduho dan
kan penduduk semakin meningkat, (b) masuknya Hiliserangkai.
budaya asing atau budaya luar sehingga timbulnya
asimilasi budaya di masyarakat.

46 | Widyariset, Volume 18, Nomor 1, April 2015 37–48


SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas disarankan
beberapa hal, yakni pemerintah Kabupaten Nias
perlu menindaklanjuti penetapan Kecamatan Gido 5Pemerintah Kabupaten Nias. 2011. Laporan akhir
sebagai pusat pertumbuhan utama di Kabupaten ren-cana tata ruang wilayah Kabupaten Nias tahun
Nias sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan 2011–2013. Gunungsitoli: Badan Perencanaan
pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal
Kabupaten Nias.
Kabupaten Nias semakin baik. Perlu dilakukan
6Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi regional, teori
penelitian lanjutan untuk melihat pola interaksi
dan aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
antara pusat pertumbuhan wilayah di Kabupaten
Tarigan, Robinson. 2006. Perencanaan pembangunan
7
Nias dan wilayah hinterland-nya (pola interaksi
wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.
wilayah) yang meliputi pola interaksi pelayanan
8Pemerintah Kabupaten Nias. 2011. Laporan akhir
sosial, pola interaksi fisik, dan pola interaksi ren-cana tata ruang wilayah Kabupaten Nias tahun
ekonomi. 2011–2013. Gunungsitoli: Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal
PERNYATAAN Kabupaten Nias.
9Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias. 2011. Nias
KTI ini sebagian dikutip pada tesis penulis yang dalam angka tahun 2012. Gunungsitoli: Kerja Sama
berjudul “Analisis Pusat-Pusat Pertumbuhan Badan Penelitian, Pengembangan dan Statistik
dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kabupaten Nias dengan BPS Kabupaten Nias.
Nias” di SPs Magister Perencanaan 10Tarigan, Robinson. 2006. Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pembangunan wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.
Universitas Sumatera Utara Tahun 2012. Tarigan, Robinson. 2006. Perencanaan pembangunan
11

wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.


UCAPAN TERIMA KASIH 12Rondinelli, Dennis A. 1985. Apllied methods of
regional analysis: the spatial dimensions of
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan development policy. London: Westview Press.
penghargaan kepada Drs. Mahmud Thoha, 13Dewi, Nurmala. 2009. Geografi untuk SMA dan
M.A., A.P.U. atas arahan dan bimbingan. Tak MA Kelas XII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departe-
lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada men Pendidikan Nasional.
rekan-rekan peserta Diklat Jabatan Fungsional 8Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias. 2011. Nias

Peneliti Tingkat Pertama Gelombang II Tahun dalam angka tahun 2012. Gunungsitoli: Kerja Sama
2014 atas pertemanan yang hangat selama Badan Penelitian, Pengembangan dan Statistik
Kabupaten Nias dengan BPS Kabupaten Nias.
diklat berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA PUSTAKA PENDUKUNG


Adisasmita, Raharjo. 2005. Dasar- dasar ekonomi
1Daryanto, Arief dan Yundy Hafizrianda. 2011.
Model-model kuantitatif untuk perencanaan wilayah. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
pembangunan ekonomi daerah. Bogor: Pener-bit Alkadri, Muchdie dan Suhandojo. 2001. Tiga pilar
IPB Press. pengembangan wilayah: sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan teknologi. Direktorat
Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan
2Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli. 2011. Regional:
Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan
pembangunan, perencanaan dan ekonomi. Medan:
Teknologi. Jakarta.
USU-Press.
Rustiadi Ernan, Sunsun Saefulhakim, Dyah R.
Tarigan, Robinson. 2006. Perencanaan pembangunan
3
Panuju. 2011. Perencanaan dan pengembangan
wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.
wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan
4Sugiyanto. 2010. Penelitian pengembangan pusat- Pustaka Obor Indonesia.
pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Setiono, Dedi N.S. 2011. Ekononomi pengembangan
Lamandau. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manaje-men
wilayah (Teori dan Analisis). Jakarta: Lem-baga
Bisnis, Vol. 1, No. 2, Oktober 2010, 202–215.
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Identifikasi Pusat-Pusat... | Yarman Gulo | 47


Jurnal Ekonomi (JE) Vol .1(1), April 2016
E-ISSN: 2503-1937
Page: 44-55

ANALISIS FUNGSI PELAYANAN KECAMATAN-KECAMATAN


DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN KONAWE SELATAN

1 2 3 Didi Setiawan, Zainuddin Saenong, dan Ulfa Matoka 1Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Halu
Oleo

Email: didiiesp11@gmail.com

ABSTRACT
This research aims to: (1) identify and analyze the services functions of eastern of South Konawe
Regency, (2) identify and analyze the degree of interaction between the district in eastern of South
Konawe. Methods of collecting data is documentation of secondary data for 2015 period. The
analyzed data used Schallogram and Gravity analysis. The results showed that the Ranomeeto
district is in first hierarchy, besides that Konda district in the second. Konda and Moramo district
have broader services and reach the three of the seven districts in the eastern of South Konawe as
a result more populous and close distance.

Keywords: interaction, services, distance

1. Pendahuluan
Daerah kabupatan/kota sebagai daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakatnya. Daerah otonom harus berusaha dan mampu mengoptimalkan berbagai
sumberdaya wilayah yang tersedia agar berfungsi sebagai kekuatan utama pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam upaya
menyelengarakan perkembangan dan pertumbuhan wilayah telah menempuh kebijakan
spasial dengan mengklasifikasikan daerah Sulawesi Tenggara atas tiga satuan
perwilayahan pembangunan seperti yang tertuang dalam pola dasar rencana struktur tata
ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada dasarnya pengembangan pusat
pertumbuhan merupakan pusat kegiatan untuk mempercepat pola tata kawasan dan pola
jaringan di pedesaan serta memperkuat mekanisme yang sudah ada dalam rangka
mengembangkan potensi yang sudah ada. Jadi dengan adanya kawasan pusat-pusat
pertumbuhan di harapkan dapat mendorong perkembangan daerah-daerah yang ada di
sekitarnya (hinterland).
Distribusi dan fasilitas pelayanan, sebagai fungsi dari tata ruang wilayah adalah krusial
bukan hanya untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk mencapai
pemerataan sosial dan kualitas hidup. Kesenjangan dalam kesejahtraan ekonomi dan sosial
sering di ukur melalui jumlah dan keanekaragaman fungsi-fungsi produktif dan sosial yang
berkolaborasi dalam suatu komunitas atau wilayah. Ketimpangan pertumbuhan antara
kelompok-kelompok dan paling miskin di bangsa-bangsa sedang berkembang dapat di
tandai secara luas pada perbedaan-perbedaan dalam akses terhadap aktifitas produktif dan
jasa sosial (Bank Dunia dalam Rondinelli, 1985).
Kabupaten Konawe Selatan merupakan bagian dari wilayah pembangunan
Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk melihat perbedaan pembangunan wilayah di

http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 44
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

Kabupaten Konawe Selatan pemerintah berusaha menjabarkan dalam suatu kebijaksanaan


daerah yang merangkum berbagai aspek, guna menciptakan stabilitas ekonomi yang baik
serta pertumbuhan yang tinggi dan pemerataan di berbagai sektor. Untuk itu dalam
pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Konawe Selatan di bentuk wilayah yang termuat
dalam Perda No. 19 Kabupaten Konawe Selatan, RTRW 2013-2033 yang terdiri dari:
f) Pusat Kegiatan Lokal (PKL), kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala kabupaten atau beberapa Kecamatan, yaitu yang berpusat di
Andoolo.
g) Pusat Pelayanan Kawasan (PPK), kawasan perkotaan yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala Kecamatan atau beberapa desa, yaitu tersebar di
Tinanggea, Konda, Kolono, Lalembuu, Laeya, Ranomeeto, Mowila, dan Moramo.
h) Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL), pusat pemukiman yang berfungsi untuk
melayani skala antar desa, Baito, Laonti, Basala, Benua, Angata, Buke, Wolasi,
Palangga Selatan, Palangga, Moramo Utara, Lainea, Ranomeeto- Barat, dan
Landono.
Seiring dengan perkembangan kebijakan pembangunan di Kabupaten Konawe Selatan
perkembangan jumlah penduduk ikut berperanserta dalam mendorong pembangunan di
wilayah Kabupaten Konawe Selatan, khususnya di Kecamatan-Kecamatan di Bagian
Timur Kabupaten Konawe selatan, yang setiap tahunya mengalami peningkatan. Adapun
perkembangan jumlah penduduk tersebut dapat di lihat pada tabel berikut:

Tabel 1 Perkembangan Jumlah Penduduk di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan


Luas Tahun (Jiwa)
Kecamatan Wilayah 2010 2011 2012 2013 2014
2)
(Km
Konda 132,84 18.131 18.464 18.739 19.112 19.861
Ranomeeto 96,57 16.223 16.573 17.068 17.325 17.770
Wolasi 160,28 4.730 48.15 4.885 5.016 5.181
Kolono 467,38 13.602 13.931 14.091 14.425 14.899
Laonti 406,63 9.444 9.615 9.714 9.915 10.345
Moramo 237,89 12.976 13.225 13.367 13.761 14.213
Moramo utara 189,05 7.741 7.362 7.504 7.608 7.858
Sumber: BPS ( 2015)

Tabel 1 menunjukkans bahwa Kecamatan Konda memiliki jumlah penduduk yang


2
terbanyak yaitu 19.861 Jiwa dengan luas wilayah 132,84 Km , kondisi tersebut telah
memposisikan Kecamatan Konda sebagai calon Ibu Kota Kabupaten. Namun demikian
beberapa kecamatan seperti Ranomeeto, Kolono, Moramo dan Laonti menunjukan
perkembangan penduduk yang signifikan. Kondisi tersebut menuntut kemungkinan dalam
kurun waktu yang akan datang Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten
Konawe Selatan dapat berkembang menjadi suatu wilayah pengembangan tersendiri.
Perroux (dalam Adisasmita, 2014) menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan
tidak terjadi disemua wilayah, akan tetapi terbatas pada beberapa tempat tertentu dangan
variabel yang berbeda-beda intensitasnya. Keberhasilan pembangunan yang terjadi di
pusat pertumbuhan akan disebarkan ke daerah-daerah sekitarnya yang sesuai dengan
konsep Hirschman yaitu dampak tetesan

http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 45
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

kebawah (tricking-down effect) atau konsep Myrdral yaitu dampak penyebaran (spread
effect).
Pusat-pusat pelayanan di Ibukota Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan
memperlihatkan fungsi yang berbeda-beda yang mana pusat pelayanan di Kecamatan
Konda dan Kecamatan Kolono sudah bertindak sebagai tempat sentral bagi populasi yang
berada di dalam maupun di sekitar pemukiman, sedangkan pusat-pusat pelayanan di empat
Kecamatan yaitu Wolasi, Laonti, Moramo, dan Moramo Utara belum memperlihatkan
fungsi atau peran sebagai tempat sentral bagi populasi yang berada dalam unit-unit
pemukiman desa sekitarnya. Pusat pelayanan yang teletak di ibukota Kecamatan
Ranomeeto telah cenderung memiliki fasilitas yang beragam, hal ini karena kecamatan
tersebut merupakan daerah pemukiman tertua. Berdasarkan fenomena ini, maka maka
penting untuk mengetahui bagaimana fungsi pelayanan kecamatan-kecamatan di Bagian
Timur Kabupaten Konawe Selatan, dan bagaimana tingkat interaksi antar kecamatan-
kecamatan yang ada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan.

2. Kajian Literatur
Teori Tempat Sentral (Central Palace Theory)
Lincolin Arsyad (1999) menjelaskan bahwa Teori Tempat Sentral (Central Place Theory)
memiliki pandangan bahwa ada hirarki tempat (hirarcy of place) di setiap wilayah atau
daerah. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang
menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan
suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang bersangkutan.
Teori tempat sentral ini dapat diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah, baik di
daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Misalnya, perlunya melakukan diferensiasi
fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan). Beberapa daerah dapat menjadi
wilayah penyedia jasa sedangkan daerah lainnya hanya sebagai daerah pemukiman.
Seorang ahli pembangunan ekonomi daerah dapat membantu masyarakat untuk
mengembangkan peranan fungsional mereka dalam sistem ekonomi daerah.
Teori Simpul Jasa Distribusi
Teori simpul jasa distribusi berpijak pada hasil pengenalan atau faktor penentu lokasi
“kemudahan”. Hadjisarosa menjelaskan konsepnya bahwa berkembangnya
wilayah di tandai oleh terjadinya pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat
berlangsungnya berbagai kegiatan usaha, baik sektor pemerintah maupun sektor suwasta,
yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan.
Berlangsungnya kegiatan tersebut di tunjang oleh pertumbuhan modal. Pengembangan
sumberdaya tersebut berlangsung sedemikian sehingga menimbulan arus barang. Arus
barang di anggap sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling menonjol, arus barang
merupakan suatu wujud fisik perdagangan antar daerah, antar pulau, ataupun antar Negara.
Arus barang didukung langsung oleh jasa perdagangan dan jasa pengangkutan (jasa
distribusi). Jadi jasa distribusi dan pembangunan secara fisik merupakan kegiatan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama jika di tinjau pengaruhnya dalam
penentuan lokasi tempat berkelompoknya berbagai kegiatan usaha dan kemudahan-
kemudahan sehingga dapat berfungsi sebagai proses berkembangnya wilayah (Adisasmita,
2008).
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 46
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

Konsep Ruang dan Wilayah


H.R Mulyanto (2008) mengemukakan ruang berupa bentangan geografi dengan batas-
batas jelas beserta infrastruktur didalamnya dengan udara di atasnya sesuai yang diakui
secara hukum yang beraku. Jadi wujud ruang di permukaan bumi berbentuk tiga dimensi
yaitu bentangan horizontal berupa daratan dan perairan serta bentangan vertical berupa
lapisan udara di atasnya. Menurut Hanafiah dalam Sasya Danastri (2011), unsur-unsur
ruang yang terpenting adalah, (1) Jarak; (2) Lokasi; (3) Bentuk dan (4) Ukuran atau skala.
Artinya, setiap wilayah harus memiliki keempat unsure di atas. Unsur diatas bersama-sama
membentuk/menyusun suatu unit ruang yang disebut wilayah yang dapat dibedakan dari
wilayah lain. Glasson dalam Tarigan (2009) mengatakan wilayah dapat dibedakan
berdasarkan kondisinya atau berdasarkan fungsinya. Berdasarkan kondisinya, wilayah
dapat dikelompokkan atas keseragaman isinya (homogeneity) misalnya wilayah
perkebunan, wilayah peternakan, wilayah industri, dan lain-lain. Berdasarkan fungsinya,
wilayah dapat dibedakan misalnya kota dengan wilayah belakangnya, lokasi produksi dan
wilayah pemasarannya, susunan orde perkotaan, hierarki jalur transportasi, dan lain-lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, wilayah adalah
ruang yang merupakan satuan geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya dan
batas dan sistemnya di tentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek
fungsional. Menurut Rustiadi, dkk. (2006) wilayah dapat didefenisikan sebagai unit
geografis dengan batas-bats sepsifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah
tersebut di mana satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batas
wilayah tidak selalu bersifat fisik dan bersifat pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.
Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan
(infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah
wilayah menekankan interaksi manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainya yang ada
di batasan unit geografis tertentu.
Glasson dalam Tarigan (2009) mengemukakan bahwa ada dua cara pandang yang berbeda
tentang wilayah. Yaitu subjektif dan objektif. Cara pandang subjektif yaitu wilayah adalah
alat untuk mengidentifikasikan suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria tertentu atau
tujuan tertentu. Pandangan objektif menyatakan wilayah itu benar-benar ada dan dapat
dibedakan dari ciri-ciri/gejala alam di setiap wilayah. Wilayah dapat dibedakan
berdasarkan musim/temperatur yang dimilikinya, atau berdasarkan konfigurasi lahan, jenis
tumbuh-tumbuhan, dan kepadatan penduduk.
Konsep Kecamatan Sebagai Pusat Pelayanan
Dusseldrop (Padangarang, 2008) mengemukakan bahwa salah satu faktor penting dalam
pembangunan wilayah adalah aspek ruang yaitu suatu yang tepat dari suatu fasilitas
pelayanan sehingga dapat memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada
masyarakat yang membutuhkannya.
Teori pusat pelayanan (central palace theory) yang di kemukakan oleh craistaller di
defenisikan sebagai suatu kesatuan unit dasar pemukiman dengan di lengkapi pusat-pusat
pelayanan di dalamnya. Unit pemukiman yanga di maksud dapat berupa suatu kota besar,
kota-kota kecil, wilayah kota atau satuan lingkungan hunian tertentu. Cirri dari pusat
pelayanan adalah bahwa pusat tersebut menyediakan pelayanan (komoditas dan jasa)
untuk wilayah pemukiman itu sendiri dan daerah sekitarnya yang lebih besar (Daljoeni,
1997)
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 47
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

Menurut United Nation (1978), Hirarki pusat pelayanan akan mempengaruhi fungsi kota.
Hirarki tersebut terdiri beberapa tipe sesuai dengan indikator ketersediaan fasilitas
pelayanan. Di antaranya tipe district town yang merupakan pusat terbesar dari rural
(pedesaan) yang merupakan lokasi pusat pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, dan
kenyamanan dengan jumlah penduduk yang lebih besar. Sedangkan locality towns
merupakan lokasi penyedia kebutuhan dasar sehari-hari, dan pelayanan kesehatan untuk
pencegahan.
Dusseldrop (Padangarang, 2008) mengemukakan bahwa masalah fasilitas pelayanan baik
yang menyangkut lokasi maupun kualitas dan jumlahnya, erat kaitanya dengan tingkat
kesejahtraan masyarakat. Pembangunan tidak dapat berjalan dengan lancar jika fasilitas
pelayanan tidak tersedia dengan baik. Jadi fasilitas pelayanan dapat di anggap sebagai
faktor potensial dalam menentukan masa depan dari perkembangan suatu wilayah baik
perkotaan maupun perdesaan sehingga upaya peningkatan pembangunan kegiatan ekonomi
harus terus ditingkatkan terutama di suatu wilayah.
Fasilitas pelayanan dapat dikelompokkan menurut fungsi yang sangat berguna bagi seluruh
kebudayaan, baik dalam kehidupan ekonomi maupun kehidupan sosial. Kebudayaan yang
dimaksud disini adalah kehidupan dalam arti luas. Dalam kegiatan sosial ekonomi terdapat
suatu istilah yaitu ambang yang berarti jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk
menunjang supaya suatu fungsi tertentu dapat berjalan lancar. Misalnya suatu macam
pelayanan yang lebih tinggi fungsinya, atau yang diperlukan oleh jumlah penduduk yang
besar jumlahnya (pasar, sekolah menengah dan sebagainya), harus terletak di wilayah
jangkauan pelayanan yang lebih luas. Fasilitas budaya tersebut dapat dibedakan menurut
fungsinya dalam dua kelompok, yaitu :
e) Pelayanan sosial (yang berbentuk jaringan dan berbentuk ruang/bangunan) terdapat
dalam kegiatan : kekeluargaan, pemerintahan, agama, kesehatan, pendidikan,
rekreasi, jaminan/bantuan sosial, pertahanan dan keamanan, perhubungan dan
komunukasi, informasi dan data.
f) Pelayanan ekonomi (yang terbentuk jaringan atau ruang/bangunan) terdapat dalam
kegiatan: pertanian/perkebunan/kehutanan, industri, konstruksi bangunan,
pariwisata dan perhotelan, perdagangan dan perusahaan jasa lain, perhubungan dan
komunikasi serta informasi dan data.
Penelitian Sebelumnya
Herman (2004) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Interaksi Sosial Ekonomi
Antara Desa/Kelurahan Di Kecamatan Pasar Wajo Kabupaten Buton”. Hasil
penelitian menunjukan bahwa interaksi sosial ekonomi masyarakat antar desa atau
kelurahan di Kecamatan Pasar Wajo di lakukan melalui proses timbal-balik. Kecamatn
Pasar Wajo sebagai ibukota kabupaten telah memenuhi fungsi sebagai pusat pelayanan
sosial ekonomi bagi masyarakat desa/kelurahan sekitarnya.
Dita Hestudiputri (2007) dengan penelitiannya yang berjudul “Peran dan Fungsi Ibu Kota
Kecamatan Lasem Sebagai Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Rembang”
menunjukkan (1) analisis wilayah pengaruh dan analisis interaksi pusat pertumbuhan
dengan wilayah belakangnya menunjukkan bahwa peran IKK (Ibu Kota Kecamatan)
Lasem sebagai pusat pertumbuhan telah mamapu menjadi penarik bagi pusat pertumbuhan
di Kebupaten Rembang, (2) dengan adanya kegiatan perkotaan di IKK Lasem yang
didukung oleh aksesbilitas yang tinggi antara IKK Lasem dan daerah belakangnya
membawa pengaruh dan membuat peran IKK Lasem sebagai pusat pertumbuhan
terpenuhi, (3) berdasarkan hasil analisis IKK Lasem telah mempunyai
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 48
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

pelayanan fasilitas yang lengkap dengan jangkauan funsi dan pelayanan yang luas dari
mulai kecamatan hingga kabupaten (terutama fasilitas transportasi) sehingga fungsi IKK
Lasem sebagai pusat pertumbuhan telah terpenuhi, (4) IKK Lasem memiliki potensi untuk
dikembangkan lebih, melihat posisinya yang strategis. Sehingga dapat dikembangkan lebih
lanjut.

3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan skunder yang bersumber dari hasil publikasi Badan Pusat
Statistik (BPS), Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Kecamatan, desa/kelurahan
setempat serta instansi terkait lain. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis
secara kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan teknik analisis Skalogram dan
Gravitasi. Analisis skalogram digunakan untuk menjawab permasalahan pertama yaitu
berapa besar fungsi pelayanan pada Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten
Konawe Selatan. Analisis gravitasi digunakan untuk menjawab permasalahan ke dua yaitu
berapa besar tingkat interaksi antar Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten
Konawe Selatan berdasarkan besarnya jarak antar pusat pelayanan (kecamatan) dan data
jumlah penduduk dengan asumsi, semakin banyak jumlah penduduk suatu Kecamatan
serta semakin dekat jarak dengan Kecamatan lainnya, maka semakin besar daya tarik
Kecamatan tersebut dan semakin tinggi pula tingkat interaksinya dengan Kecamatan lain.
Penentuan wilayah pengaruh menggunakan teori gravitasi menggunakan rumus (Warpani,
1984:113) :

P1 P2
I12 = -------------
(d12)²

Keterangan:
I12 = Interaksi antara kecamatan 1 dengan kecamatan 2 (indeks gravitasi)
P1 = Jumlah penduduk pada wilayah pertama (ribuan jiwa)
P2 = Jumlah penduduk pada wilayah kedua (ribuan jiwa)
d12 = Jarak ibukota kecamatan 1 dengan kecamatan 2 (km)

Perhitungan seberapa jauh jarak batas gaya tarik suatu pusat yang menggambarkan
jangkauan pelayanan terhadap pusat lainnya menggunakan elaborasi rumus gravitasi
sebagai berikut:
d
AB

DAB = -------------
1+

Dimana :
DAB = Jarak batas gaya tarik dari pusat A ke pusat B (Km)
dAB = Jarak ibu kota kecamatan A ke kecamatan B (Km)
PA = Jumlah penduduk pusat A (ribuan jiwa)
PB = Jumlah penduduk pusat B (ribuan jiwa)

http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 49
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

4. Hasil dan Pembahasan

Analisis Fungsi Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan


Hasil penelitian memberikan informasi bahwa ada 3 (tiga) jenis fasilitas yang di jadikan
indikator dalam menentukan besarnya fungsi pelayanan kecamatan namun tidak terdapat
pada seluruh kecamatan yang berada di bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan yaitu
Radio swasta, PDAM dan Media Cetak. dengan demikian jumlah fasilitas pelayanan yang
di jadikan indikator yang tadinya 26 (duapuluh enam) fasilitas sehingga menjadi 23
(duapuluh tiga) jenis fasilitas pelayanan.

Tabel 2 Hasil Tabulasi Skalogram Fasilitas Pelayanan Kecamatan-Kecamatan di Bagian


Timur Kabupaten Konawe Selatan
Jumlah
No Kecamatan Jumlah Fasilitas Hirarki
Penduduk
1 Ranomeeto 17.770 21 I
2 Konda 19.861 19 II
3 Moramo 14.213 18 III
4 Kolono 14.899 16 IV
5 Mor. Utara 7.858 13 V
6 Wolasi 5.181 10 VI
7 Laonti 10.345 8 VII
Sumber: Hasil olahan data skalogram
Kecamatan Ranomeeto dengan jumlah penduduk 17.770 Jiwa dengan luas wilayah 96,57
2
Km berada pada hirarki I (pertama) dengan jumlah fasilitas lebih besar yaitu sebanyak 21
fasilitas pelayanan yang di jadikan indikator besarnya fungsi pelayanan kecamatan.
Dengan demikian secara hirarki Kecamatan Ranomeeto merupakan pusat orientasi
pelayanan masyarakat di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan. Penyebaran fasilitas
pelayanan pada setiap kecamatan mengambarkan kemampuan kecamatan dalam
pengembangan wilayah tersebut. Hal ini di sebabkan semakin besar fungsi pelayanan yang
dicapai setiap kecamatan maka semakin besar orientasi geografis penduduk untuk
memperoleh pelayanan, atau semakin besar daya tarik geografis kecamatan tersebut
terhadap daerah sekitarnya dan semakin besar keterkaitan pelayanan yang terjadi.
Berdasarkan tabel diatas, kondisi yang berbeda terjadi di Kecamatan Laonti dengan jumlah
penduduk yang cukup besar di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan yaitu 10,345
Jiwa, dari 23 (dua puluh tiga) kategori jenis fasilitas pelayanan hanya memiliki sejumlah 8
(delapan) jenis fasilitas pelayanan. Jika di bandingkan dengan Kecamatan Moramo Utara
dan Wolasi yang masing-masing memiliki jumlah penduduk 7.858 dan 5.181 Jiwa,
meskipun memiliki jumlah penduduk yang lebih kecil dari pada Kecamatan Laonti tetapi
fasilitas yang ada di kecamatan tersebut lebih besar keberadaanya. Hal tersebut memberi
gambaran bahwa betapa lemahnya kecamatan tersebut untuk berkembang. Artinya bahwa
daya dukung penduduk dalam pengembangan wilayah di kecamatan tersebut tidak mampu
memberikan daya pengembangan pada wilayah tersebut. Oleh sebab itu di perlukan upaya-
upaya dari pemerintah daerah Kabupaten Konawe Selatan untuk medorong pertumbuhan
modal
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 50
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

distribusi barang dan jasa untuk berbagai aktifitas penduduk dalam pengembangan wilayah
tersebut.

Fungsi Kecamatan Berdasarkan Sentralitas Fasilitas Pelayanan


Berdasarkan hasil perhitungan indeks sentralitas terbobot diperoleh informasi bahwa ada 1
(satu) jenis fasilitas yang memiliki nilai bobot 100, yaitu tempat karaoke/studio musik
yang merupakan fasilitas jasa perorangan yang hanya ada di Kecamatan Ranomeeto.
Sedangkan fasilitas pelayanan yang memiliki nilai bobot 50 adalah Penginapan, salon
kecantikan serta PPAT fasilitas jasa perorangan lain yang hanya ada di Kecamatan
Ranomeeto dan Kecamatan Konda. Fasilitas pelayanan seperti pasar tradisional, toko/kios,
puskesmas, lapangan sepak bola, bengkel mobil/motor, foto copy, koperasi yaitu tersebar
merata di setiap kecamatan di wilayah penelitian. Hasil perhitungan indeks sentralitas
terbobot di sajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil Tabulasi Indeks Sentralitas Pelayanan Kecamatan-Kecamatan Bagian Timur


Kabupaten Konawe Selatan

No Kecamatan Jumlah Penduduk IST Hirarki


1 Ranomeeto 17.770 537,8 I
2 Konda 19.861 437,8 II
3 Moramo 14.213 237,8 III
4 Kolono 14.899 237,8 III
5 Mor. Utara 7.858 187,8 IV
6 Wolasi 5.181 147,8 V
7 Laonti 10.345 114,4 VI
Sumber: Hasil olahan data Skalogram

Tabel 3 juga menunjukan bahwa Kecamatan yang memiliki skor kedua tertinggi adalah
Kecamatan Konda dengan nilai skor 437,8 kemudian di ikuti oleh Kecamatan Moramo dan
Kolono dengan nilai skor 237,8 kecamatan-kecamatan tersebut memiliki fasilitas
pelayanan untuk kegiatan ekonomi yaitu pasar, toko bahan pertanian, toko bahan
bangunan, dan industri. Artinya kecamatan-kecamatan ini berpotensi sebagai pusat yang
efisien bagi pertumbuhan modal dalam pengembangan wilayah di Bagian Timur
Kabupaten Konawe Selatan. Kecamatan Moramo Utara, Wolasi, dan Laonti merupakan
kecamatan-kecamatan yang mempunyai skor terendah dibanding kecamatan-kecamatan
lainya secara berturut-turut nilai skor untuk masing-masing kecamatan adalah (187,8;
147,8; dan 114,4).
Rendahnya skor kecamatan-kecamatan tersebut di sebabkan karena fasilitas pelayanan
yang ada di masing-masing kecamatan tersebut juga tersebar merata di kecamatan-
kecamatan lainya. Namun demikian tidak berarti bahwa kecamatan-kecamatan tersebut
tidak mempunyai kemampuan (potensi) untuk lebih berkembang di banding dengan
kecamatan yang memiliki skor tertinggi. Sebagai contoh, Kecamatan Laonti merupakan
kecamatan yang memiliki skor paling rendah tetapi kecamatan tersebut mempunyai
potensi perikanan, perkebunan dan kehutanan yang cukup besar untuk dikembangkan.
Untuk itu di perlukan upaya-upaya dan langkah yang konkrit dari pemerintah daerah utuk
mendorong pertumbuhan modal distribusi barang dan jasa untuk berbagai aktifitas
penduduk dalam pengembangan wilayah tersebut.
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 51
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

Analisis Interaksi Antar Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan


Interaksi Geografis
Tabel 4 Interaksi Antar Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan

Antar Kecamatn
Jumlah Jumlah Jarak
No Interaksi = (I)
Kecamatan Penduduk Kecamatan Penduduk (Km) = (D)
(jiwa) = (Pi) (jiwa) = (Pj)
1 Konda 19.861 Ranomeeto 17.770 16,9 1.235.706
Wolasi 5.181 16,2 392.089
Kolono 14.899 70,8 59.033
Laonti 10.345 65,0 48.630
Moramo 14.213 39,1 184.643
Mor. Utara 7.858 29,7 176.929
2 Ranomeeto 17.770 Konda 19.861 16,9 1.235.706
Wolasi 5.181 33,1 84.032
Kolono 14.899 87,7 34.423
Laonti 10.345 81,9 27.406
Moramo 14.213 56,0 80.537
Mor. Utara 7.858 46,6 64.302
3 Wolasi 5.181 Konda 19.861 16,2 392.089
Ranomeeto 17.770 33,1 84.032
Kolono 14.899 78,7 12.463
Laonti 10.345 74,0 9.788
Moramo 14.213 47,7 32.364
Mor. Utara 7.858 37,6 28.797
4 Kolono 14.899 Konda 19.861 70,8 59.033
Ranomeeto 17.770 87,7 34.423
Wolasi 5.181 78,7 12.463
Laonti 10.345 58,7 44.731
Moramo 14.213 31,7 210.729
Mor. Utara 7.858 60,8 31.671
5 Laonti 10.345 Konda 19.861 65,0 48.630
Ranomeeto 17.770 81,9 27.406
Wolasi 5.181 74,0 9.788
Kolono 14.899 58,7 44.731
Moramo 14.213 27,0 201.692
Mor. Utara 7.858 56,1 25.830
6 Moramo 14.213 Konda 19.861 39,1 184.643
Ranomeeto 17.770 56,0 80.537
Wolasi 5.181 47,7 32.364
Kolono 14.899 31,7 210.729
Laonti 10.345 27,0 201.692
Mor. Utara 7.858 29,1 131.890
7 Mor. Utara 7.858 Konda 19.861 29,7 176.929
Ranomeeto 17.770 46,6 64.302
Wolasi 5.181 37,6 28.797
Kolono 14.899 60,8 31.671
Laonti 10.345 56,1 25.830
Moramo 14.213 29,1 131.890
Sumber: data sekunder, diolah

Hasil perhitungan matriks jarak dan jumlah penduduk kecamatan-kecamatan yang berada
di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan yaitu Konda, Ranomeeto, Wolasi, Kolono,
Laonti, Moramo, dan Moramo Utara secara geografis dapat di lihat pada Tabel 4.
Berdasarkan perhitungan Tabel 4 di peroleh gambaran bahwa interaksi tertinggi terjadi
antara Kecamatan Konda dengan Kecamatan Ranomeeto yaitu sebesar 1.235.706.
Tingginya interaksi ini terjadi di pengaruhi oleh faktor jumlah penduduk yang cukup besar
dan jarak yang cukup dekat yaitu 16,9 Km. Kuatnya interaksi ini ditunjang pula dengan
ketersediaan fasilitas pelayanan yang ada, dimana Kecamatan
Ranomeeto mempunyai fasilitas yang lebih tinggi keberadaanya di banding Kecamatan

http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 52
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

Konda Terutama fasilita pelayanan seperti bank, terminal dan studio musik. Hal ini sejalan
dengan hasil perhitungan Indeks Sentralitas Terbobot dimana Kecamatan Ranomeeto
mempunyai skor yang lebih tinggi yaitu 537,8 sedangkan Kecamatan Konda mempunyai
skor 437,8.
Interaksi yang besar kedua terjadi pada Kecamatan Konda dengan Kecamatan Wolasi
yaitu sebesar 392.089. kuatnya hubungan ini di pengaruhi oleh dekatnya jarak tempuh dari
Kecamatan Konda ke Kecamatan Wolasi 16,2 Km. Begitu juga yang terjadi dengan
Kecamatan Moramo dengan Kecamatan Kolono memiliki interaksi yang cukup kuat yaitu
210.729. kuatnya hubungan antar kedua kecamatan tersebut di pengaruhi dengan besarnya
jumlah penduduk dan jarak tempuh yang cukup dekat yaitu 31,7 Km. Kuatnya interaksi
yang terjadi antara kedua kecamatan ini didukung pula oleh ketersediaan fasilitas
pelayanan, dimana Kecamatan Moramo dan Kecamatan Kolono dalam hal Fasilitas
pelayanan, ini di buktikan dengan nilai IST yang sama yaitu 237,8.
Interaksi yang rendah terjadi pada Kecamatan Kolono dengan Kecamatan Wolasi yaitu
sebesar 12.463. Rendahnya interaksi yang terjadi antara ke dua kecamatan tersebut di
sebabkan karena faktor jarak yang relatif cukup jauh yaitu dengen jarak tempuh 78,7 Km.
Serta interaksi yang paling rendah terjadi pada Kecamatan Wolasi dan Kecamatan Laonti
yaitu sebesar 9.788. Rendahnya interaksi ini disebabkan karena jarak tempuh ke dua
kecamatan tersebut yang cukup jauh yaitu 74,0 Km. Demikian pula hubungan yang tidak
langsung juga terjadi pada kedua kecamatan tersebut. Sebab bila dari pusat Kecamatan
Wolasi ke pusat Kecamatan Laonti harus melewati Kecamatan Moramo terlebih dahulu.
Sedangkan jika di bandingkan dengan Kecamatan Wolasi, Kecamatan Moramo lebih
memiliki fasilitas yang cukup beragam, jika berdasarkan kompleksitas/keberadaan fasilitas
pelayanan kedua kecamatan tersebut itu di tunjukan dengan Indeks Sentralitas Terbobot
(IST) kedua kecamatan tersebut yang tergolong sangat rendah di bandingkan dengan
kecamatn lainya, yaitu skor untu Kecamatan Wolasi yaitu 147,8 dan Kecamatan Laonti
114,4.

Tabel 5 Matriks Batas Gaya Tarik Geografis Antar Kecamatan di Bagian Timur
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2015

N0 Kecamatan

e) Konda
f) Ranomeeto
g) Wolasi
h) Kolono
i) Laonti
j) Moramo
k) Mor. Utara
Rata-rata
Jarak
Jarak antar Kecamatan
Jumlah penduduk

Mor. Utara
Ranomeeto

Moramo
Kolono
Wolasi
Konda

Laonti
19.861 0 8,69 10,72 37,94 37,75 21,18 18,23 19,22
17.770 8,21 0 21,49 45,78 46,45 29,56 27,99 24,47
5.181 5,48 11,61 0 29,19 30,67 17,96 16,85 15,97
14.899 32,86 41,92 49,51 0 32,02 16,04 35,22 29,65
10.345 27,25 35,45 43,33 26,68 0 12,43 29,97 25,02
14.213 17,92 26,44 29,74 15,66 14,57 0 16,69 17,29
7.858 11,47 18,61 20,75 25,58 26,13 12,41 0 16,42
Sumber: Data yang di olah

Berdasarkan data jumlah penduduk dan jarak antar kecamatan serta dihitung dengan
mengunakan elaborasi rumus gravitasi sehingga dapat dihitung batas gaya tarik geografis
antar kecamatan, yang disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 maka
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 53
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

dapat di ketahui bahwa Kecamatan Konda dan Kecamatan Moramo memiliki jangkauan
pelayanan secara geografis meliputi 3 (tiga) kecamatan. Artinya secara geografis
Kecamatan Konda dan Kecamatan Moramo memiliki jangkauan pelayanan yang lebih luas
terhadap kecamatan-kecamatan lainya khususnya di Bagian Timur Kabupaten Konawe
Selatan, Jangkauan pelayanan Kecamatan Konda mencapai radius jarak rata-rata 19,22
Km, menjangkau sampai Kecamatan Ranomeeto, Kecamatan Wolasi, dan Kecamatan
Moramo Utara dan Kecamatan Moramo mencapai radius jarak rata-rata 17,29 Km,
menjangkau sampai Kecamatan Moramo Utara, Laonti, dan Kolono. Sedangkan
kecamatan yang paling rendah batas gaya tarik geografisnya adalah Kecamatan Kolono
dan Laonti yang hanya mampu menjangkau sampai Kecamatan Moramo dengan radius
jarak rata-rata 29,65 dan 25,02 Km. Artinya kecamatan tersebut bila berdasarkan batas
gaya tarik geografisnya hanya mampu melayani penduduk di wiayah tersebut.

(f) Simpulan
(f) Kemampuan Fungsi pelayanan sosial ekonomi kecamatan-kecamatan di Bagian
Timur Kabupaten Konawe Selatan menunjukkan bahwa Kecamatan Ranomeeto
berada pada hrarki pertama, di ukur dari penyebaran jumlah dan keragaman fasilitas
pelayanan. Sedangkan Kecamatan Konda, Moramo, Kolono, Moramo Utara,
Wolasi dan Laonti masing-masing berada pada hirarki kedua, ketiga, keempat,
kelima, dan keenam.
(g) Tingkat interaksi antar kecamatan-kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe
Selatan menunjukan bahwa Kecamatan Konda dan Kecamatan Moramo memiliki
jangkauan pelayanan lebih luas karena dapat menjangkau sejumlah tiga kecamatan
dari tujuh kecamatan yang berada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan, hal
tersebut di dominasi karena jumlah penduduk yang banyak dan keterdekatan jarak
antar pusat ibukota kecamatan sehingga gaya tarik wilayahnya tinggi. Ditinjau dari
Pusat pelayananya Kecamatan Ranomeeto sebagai pusat utama yaitu dengan IST
tertinggi. Kecamatan Konda sebagai pusat utama berdasarkan IST urutan kedua dan
jangkauan pelayanan yang lebih luas di bandingkan dengan kecamatan-kecamatan
lainya.

Daftar Pustaka
Adisasmita, Raharjo, 2005. Dasar-dasar ekonomi wilayah. Penerbit Geraha Ilmu.
Yogyakarta

Arsyad, lincolin. 1999 Pengantar Perencanaan Dan Pembagunan Ekonomi Daerah.


Yogyakarta: BPFE.
Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Konawe Selatan Dalam Angka 2015 Bintarto, R.
1997. Interaksi Desa/Kota Dan Permasalahanya, Jakarta Ghalia Indonesia. Budiharsojo,
Sugeng, 2001. Perencanaan Pembangunan Wilayah: Teori Model Dan
Perencanaan Wilayah.
Depdikbud. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Djojodipuro,
Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit, Jakarta : FE UI. Herman, 2004. Analisis
Interaksi Sosial Ekonomi Antara Desa Kelurahan Di
Kecamatan Pasar Wajo Kabupaten Buton. Skripsi FE Universitas Halu Oleo program
sarjana Tidak Diterbitkan.
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 54
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......

Hestudiputri, Dita (2007). Peran dan Fungsi Ibu Kota Kecamatan Lasem Sebagai Pusat
Pertumbuhan di Kabupaten Rembang. Skripsi Universitas Negri Sumatra Utara.
Hizaruddin, La Ode, 2014. Analisis Fungsi Pelayanan Kecamatan Kulisusus Sebagai
Pusat Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Buton Utara. Skripsi FE Universitas Halu
Oleo program sarjana Tidak Diterbitkan.
Kamaludindin, Rustian, 1993. Beberapa Aspek Pembangunan Nasional Dan Daerah,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mahi, La. 2009, Analisis Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan Pada Perwilayahan
Pembanguan Di Kabupaten Muna. (Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Halu Oleo;
Kendari.
Matoka, Ulfa. 1994. Studi Jangkauan Pelayanan Pusat-Pusat Pertumbuhan di Sulawesi
Tenggara. (Tessis, Program Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah Pasca Sarjana
UNHAS, tidak di publikasikan).
Misriatun, 2009. Analisis Pusat-Pusat Pelayanan di Kabupaten Kolaka Bagian Timur.
(Tesis, Program Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah Pasca Sarjana Universitas
Haluoleo, tidak dipublikasikan.
Mulyanto, H.R. 2008. Prinsip-Prinsip Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Geraha.
Nas, PJM, 1999. Kota di Dunia Ketiga, Jakarta: Bharata.
Nurjanah. 2006. Studi Pengembangan Wilayah Kecamatan Sorawolio Sebagai Sub Pusat
Pertumbuhan Ekonomi Kota Bau-Bau. Skripsi FE Universitas Halu Oleo: Kendari
Padangarang, 2008. Teknik Analisis Kuantitatif Wilayah. Program Pasca Sarjana
Universitas Halu Oleo Kendari.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,dan
R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Syamsul, La Ode. 2013. Analisis Fungsi Kecamatan di Bagian Barat Kabupaten Muna.
(Tesis, Program Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah Pasca Sarjana Universitas
Haluoleo, tidak dipublikasikan.
Taringan, R. 2006, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Jakarta PT Bumi Aksara.
Undang-undang. 1999. Undang-Undang Nomor 22, Tahun 1999, tentang Pemerintah
Daerah.
Warpani, S. 1984, Analisa kota dan Daerah, Penerbit ITB: Bandung
_______________, 2008. Pengembangan Wilayah Konsep Dan Teori. Penerbit Geraha
Ilmu. Yogyakarta

http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE
AJIE - Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship (e-ISSN: 2477- 0574 ; p-ISSN:
2477-3824) Vol. 02, No. 02, May 2017
IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN DAN WILAYAH
HINTERLAND
DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Unggul Priyadi, Eko Atmadji

Pusat Pengkajian Ekonomi, Program Studi Ilmu Ekonomi


Universitas Islam Indonesia
Jl. Prawiro Kuat, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta
Email: unggul.priyadi@uii.ac.id

ABSTRACT

In a local government, it is important to know the areas that have the potential to be the center of
growth. Because with the determination of the growth center, it will be easier in accelerating
regional development. The more advanced the growth center area hinterland area or support area
will also progress. This study aims to analyze the districts / city that became the center of growth and
hinterland area in the province of Yogyakarta Special Region. It can be analyzed using regional
concentration analysis, scalogram analysis and gravity analysis. The results of the research show
that in 2013 it was found Sleman Regency, Bantul Regency, Gunungkidul Regency, and Yogyakarta
City as the center of growth. While in the year 2016 which became the center of growth is Sleman
Regency, Bantul Regency and Yogyakarta City. In the analysis of geographical concentrations it is
known that the facilities have been equally distributed in the districts / city of the Special Province of
Yogyakarta. The research results have been in accordance with the Spatial Plan (RTRW) of
Yogyakarta Province.
Keywords: Growth Center, Hinterland, Geography Concentration, Skalogram, Gravity

ABSTRAK

Dalam suatu pemerintahan daerah, penting untuk mengetahui daerah yang memiliki potensi untuk
dijadikan pusat pertumbuhan. Karena dengan ditentukannya pusat pertumbuhan, maka akan lebih
mudah dalam mempercepat pembangunan daerah. Semakin majunya wilayah pusat pertumbuhan
maka wilayah hinterland atau wilayah pendukung juga akan semakin maju. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis kabupaten / kota yang menjadi pusat pertumbuhan dan wilayah hinterland di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut dapat dianalisis menggunakan analisis
konsentrasi daerah, analisis skalogram dan analisis gravitasi. Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa pada tahun 2013 didapati Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul,
dan Kota Yogyakarta sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan pada tahun 2016 yang menjadi pusat
pertumbuhan adalah Kabupaten Sleman, kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Dalam analisis
konsentrasi geografi diketahui bahwa fasilitas-fasilitas telah terdistribusi secara merata di kabupaten
/ kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian telah sesuai dengan RTRW (Rencana
Tata Ruang Wilayah) Provinsi Yogyakarta.
Kata Kunci : Pusat Pertumbuhan, Hinterland, Konsentrasi Geografi, Skalogram, Gravitasi.

193
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 PENDAHULUAN
Hampir semua negara berkembang
memiliki permasalahan yang sama seperti
masalah kemiskinan, pengangguran,
Pasal 1 tentang Pemerintahan Daerah,
tingkat kesehatan, rendahnya tingkat
desentralisasi merupakan penyerahan
pendidikan, ketimpangan distribusi
wewenang pemerintahan ke pemerintah
pendapatan, dan kriminalitas (Todaro dan
daerah otonom guna mengatur dan
Smith, 2009). Untuk meningkatkan
mengurus segala urusan pemerintah dalam
kualitas negara, pertumbuhan ekonomi dan
sistem NKRI.
perkembangan wilayah, diperlukan usaha
Data dalam LKJ Daerah Istimewa
dan perencanaan yang matang dan
Yogyakarta 2014 menunjukkan bahwa
terencana. Menurut UU No. 32 tahun 2004
indeks gini dari tahun ke tahun cendenrung
mengalami peningkatan. Hal ini dapat
diartikan bahwa kesenjangan pendapatan
di masyarakat semakin melebar.

Indeks gini menunjukkan capaian yang


belum optimal. Hal tersebut dipengaruhi
oleh belum meratanya distribusi
pendapatan masyarakat. Pelambatan
pertumbuhan, dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa
pembangunannya, bisa berupa
Yogyakarta tahun 2014 turut
pelengkapan fasilitas dan perbaikan
mempengaruhi pendapatatan masyarakat
infrastruktur. Diharapkan daerah pusat
terutama masyarakat berpendapatan
pertumbuhan dapat menimbulkan spillover
rendah. Pada tahun 2016 nilai indeks gini
effect positif pada daerah hinterland dari
sebesar 0,45 yang terus meningkat sejak
daerah pusat pertumbuhan. Pusat
tahun 2007 yang nilainya sebesar 0,36.
pertumbuhan merupakan wilayah yang
Solusi untuk mempercepat pembangunan
dijadikan pusat perdagangan, pusat
adalah dengan menetapkan pusat
industri, pusat pelayanan, dan pusat
pertumbuhan pada wilayah tersebut. Hal
perekonomian.
tersebut dapat mengatasi keterbatasan dana
Infrastruktur dan fasilitas sangatlah
dalam melaksanakan pembangunan dengan
berperan dalam peningkatan perekonomian
berfokus pada satu wilayah, yaitu daerah
masyarakat maupun pembangunan
yang berperan sebagai pusat
wilayah. Juga berpengaruh terhadap
kesejahteraan masyarakat dan kesenjangan
antar wilayah. Semakin lengkap fasilitas
yang dimiliki oleh suatu daerah maka

194
Priyadi, Atmadji
masyarakat dapat lebih mudah dalam
mengaksesnya sehingga dapat pertumbuhan dengan kabupaten / kota
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai hinterland.
dan kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan yang ada. Pertumbuhan Perumusan Masalah
ekonomi di wilayah pusat pertumbuhan i) Bagaimana kesesuaian penetapan
dapat memberikan manfaat atau spillover Rencana Tata Ruang Wilayah
effect positif terhadap hinterland, sehingga (RTRW)DaerahIstimewa
gap yang ada tidak terlalu besar. Dengan Yogyakarta di masing-masing kabupaten /
menentukan pusat pertumbuhan dengan kota dalam penetapan sebagai pusat
memfokuskan pertumbuhan terutama pertumbuhan ekonomi di Daerah Istimewa
perekonomian pada daerah tersebut, akan Yogyakarta.
menyebarkan efek yang menguntungkan j) Bagaimanatingkatpersebaran
bagi wilayah-wilayah disekitarnya. geografisketersediaanfasilitas
Perkembangan wilayah pusat pertumbuhan publik pada masing-masing kabupaten /
akan meningkatkan produksi daerah kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
hinterland sehingga daerah hinterland juga
akan mengalami perkembangan.
Banyaknya jumlah perguruan tinggi Tujuan Penelitian
di Daerah Istimewa Yogyakarta g) Menganalisis kesesuaian penetapan
menimbulkan tingginya tingkat imigran Rencana Tata Ruang Wilayah
yang datang untuk berkuliah di universitas- (RTRW)DaerahIstimewa
universitas di Daerah Istimewa Yogyakarta di masing-masing kabupaten /
Yogyakarta. Dengan makin banyaknya kota dalam penetapan sebagai pusat
jumlah penduduk di Daerah Istimewa pertumbuhan ekonomi di Daerah Istimewa
Yogyakarta, perlu untuk melakukan Yogyakarta.
peningkatan fasilitas sebagai pendorong h) Menganalisis tingkat persebaran
kegiatan ekonomi maupun pelayanan geografisketersediaanfasilitas
terhadap masyarakat. Fasilitas yang publik pada masing-masing kabupaten /
dimiliki oleh tiap kabupaten / kota pasti kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
berbeda-beda. Perbedaan fasilitas tersebut
akan menjadi hierarki penentuan wilayah
pusat pertumbuhan. Kabupaten / kota yang KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN
memiliki fasilitas yang paling lengkap TEORI
akan menjadi wilayah pusat pertumbuhan. Kajian Pustaka
Dan kabupaten / kota yang fasilitasnya Dalam melakukan penelitian, selain
kurang, akan menjadi hinterland atau menggunakan teori-teori, juga digunakan
wilayah pendukung bagi wilayah pusat. hasil-hasil penelitian sebelumnya sebagai
Penentuan wilayah pusat pertumbuhan dan acuan dan gambaran dalam melakukan
hinterland dapat diketahui dengan penelitian ini.
menggunakan analisis skalogram. Serta Penelitian yang dilakukan oleh Gulo
analisis gravitasi digunakan untuk melihat (2015). Penelitian tersebut bertujuan untuk
keterkaitan atau interaksi pada tiap-tiap mengidentifikasi kecamatan-kecamatan
kabupaten / kota yang menjadi pusat
195
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 yang berada di Kabupaten Nias. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan hasil dari
analisis dengan menggunalan skalogram
bahwa di Kabupaten Nias yang menjadi
pusat pertumbuhan utama adalah
kelengkapan fasilitas yang tersedia yang
Kecamatan Gido, pusat pertumbuhan
disesuaikan dengan pusat pertumbuhan
kedua adalah Kecamatan Idanogawo dan
Kota Yogyakarta. Penelitian menggunakan
pusat pertumbuhan ketiga yaitu Kecamatan alat analsisi skalogram. Dari hasil
Botomuzoi. Kecamatan Gido dapat
penelitian menunjukkan terdapat
dikatakan sebagai pusat pertumbuhan
ketidaksesuaian hasil analisis skalogram
utama karena memiliki fasilitas yang
dengan kecamatan yang diproyeksikan
paling lengkap serta memiliki fungsi yang
untuk menjadi pusat kota dalam RTRW
lebih besar dibandingkan dengan Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota
kecamatan-kecamatan lain. Semakin Yogyakarta memroyeksikan Kecamatan
lengkap fasilitas ekonomi dan sosial yang Gedongtengen, Kecamatan Gondomanan
dimiliki maka akan menarik minat dan Kecamatan Danurejan sebagai pusat
masyarakat untuk untuk beraktivitas di pertumbuhan. Namun hasil analisis
wilayah tersebut.
menunjukkan bahwa Kecamatan
Penelitian oleh Nainggolan (2013),
Umbulharjo dan Kecamatan
bertujuan untuk menemukan pusat
Gondokusuman memiliki fasilitas yang
pertumbuhan di Kabupaten Simalungun
lebih baik daripada kecamatan-kecamatan
dan melihat hubungan antara daerah pusat
lain walaupun Kecamatan Umbulharjo dan
bertumbuhan dengan daerah pinggirannya
Kecamatan Gondokusuman bukanlah
(hinterland). Hasil dari analisis skalogram
kecamatan yang diproyeksikan untuk
didapatkan 30 jenis fasilitas dari
menjadi pusat pertumbuhan di Kota
keseluruhan fasilitas yang berada di
Yogyakarta.
Kabupaten Simalungan. Hasil analisis
Penelitian oleh Danastri (2011), bertujuan
yang digunakan dalam penelitian tersebut
untuk mengetahui kekuatan interaksi antar
menunjukkan ada 5 kecamatan yang
daerah di Kecamatan Harjamukti,
menjadi pusat pertumbuhan yaitu
menganalisis kebutuhan-
Kecamatan Siantar dengan Kecamatan
kebutuhan yang diperlukan dalam
Gunung Malela sebagai hinterlandnya,
mengembangkan pusat pertumbuhan, serta
Kecamatan Bandar dengan hinterlandnya
untuk mengetahui wilayah pembangunan
Kecamatan Pematang Bandar, Kecamatan
mana saja yang dapat ditetapkan sebagai
Tanah Jawa dengan hinterlandnya
kutub pertumbuhan untuk mendorong
Kecamatan Hatonduhan, Kecamatan Raya
pembangunan wilayah Kecamatan
dengan Kecamatan Panei sebagai daerah
Harjamukti. Metode analisis yang
hinterland, dan Kecamatan Bosar Maligas
digunakan dengan analisis basis ekonomi
dengan Kecamatan Bandar.
secara survey primer, analisis gravitasi,
Penelitian lain yang dilakukan oleh Utari analisis skalogram, dan metode overlay.
(2015), bertujuan untuk mengetahui
Dari hasil analisis menggunakan gravitasi,
karakteristik Kota Yogyakarta dan
dapat diketahui bahwa semua kelurahan
mengetahui kecamatan-kecamatan yang
yang ada di Kecamatan Harjamukti
menjadi pusat pertumbuhan dilihat dari
memiliki interaksi kuat dengan pusat
Kecamatan Harjamukti, yaitu Kelurahan
Kalijaga. Dengan analisis skalogram, dapat
diurutkan kelurahan dengan fasilitas
terlengkap adalah Kelurahan Kecapi,

196
Priyadi, Atmadji
Kelurahan Harjamukti, Kelurahan
Kalijaga, Kelurahan Larangan, dan daerah perkotaan dan mendorong
Kelurahan Argasunya sebagai kelurahan perkembangan lanjut dari kegiatan
dengan jumlah fasilitas paling sedikit. ekonomi melalui daerah pengaruhnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Habib Juga dikatakan bahwa “growth does not
(2016), bertujuan untuk mengetahui growth”, hal tersebut ditemukannya dalam
kecamatan mana yang menjadi pusat analisisnya terhadap industri kendaraan
pertumbuhan di Kabupaten Tulang yang cenderung terkelompok pada daerah
Bawang Barat dan hubungan interkasi tertentu. Dengan begitu pertumbuhan
antara pusat pertumbuhan dengan kawasan ekonomi cenderung terkonsentrasi pada
hinterland. Penelitian dilakukan dengan daerah tertentu yang didorong oleh adanya
menggunakan skala ordinal dan indeks keuntungan aglomerasi (Aglomeration
gravitasi. Hasil yang dapat adalah Economies) yang timbul karena adanya
Kecamatan Tulang Bawang Tengah konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut.
sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Munculnya beberapa konsentrasi tersebut
dari Kabupaten Tulang Bawang Barat, kegiatan ekonomi tersebut selanjutnya
menjadi pusat pertumbuhan dengan tiga mendorong pula pada peningkatan
daerah hinterland yaitu Kecamatan Tulang efisiensi kegiatan ekonomi yang
Bawang Udik, Kecamatan Tumijajar dan berdampak positif pada pembangunan
Kecamatan Pagara Dewa. Interkasi paling ekonomi nasional.
kuat dengan pusat pertumbuhan
didapatkan dari Kecamatan Tulang Bwang Teori Tempat Sentral
Udik yang lokasinya lebih dekat dengan Teori tempat sentral dikemukakan oleh
Kecamatan Tulang Bawang Tengah, seorang ahli geografi Jerman yaitu Walter
dengan nilai interaksi sebesar Christaller. Hartono (2007) menjelaskan
6.943.036,09. Sedangakn kekuatan teori Christaller tentang kota sentral yang
interkasi dengan Kecamatan Tulang merupakan pusat bagi daerah sekitarnya
Bawang Tengah dengan Kecamatan yang menjadi penghubung perdagangan
Tumijajar sebesar 5.084.954,9, dan dengan wilayah lainnya. Menurut
kekuatan interaksi dengan Kecamatan Christaller setiap orde memiliki wilayah
Pagar Dewa sebesar 51.360,47. heksagonal sendiri-sendiri. Bentuk pola
pelayanan heksagonal ini secara teoritis
mampu memperoleh optimasi dalam hal
Landasan Teori efisiensi transportasi, pemasaran dan
Teori Pusat Pertumbuhan administrasi (Hagget, 2001). Kota sebagai
Teori pusat pertumbuhan atau Growth pusat pelayanan diharapkan memiliki
Poles Theory diperkenalkan oleh ekonom fasilitas pelayanan seperti,
asal Perancis, Francis Perroux. Sjafrizal l) Pusat dan pertokoan sebagai fokus
(2008) menjelaskan teori Perroux tentang point dari suatu kota.
pole croisanse atau pole de m) Saranan dan prasarana transportasi.
development yang artinya pusat n) Tempat rekreasi dan olahraga.
pertumbuhan sebagai perangkat industri- o) Sarana pendidikan, kesehatan, obyek
industri yang sedang mengalami wisata.
perkembangan dan berlokasi di suatu Dengan demikian kota menyediakan
segala fasilitas bagi kehidupan baik sosial
197
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
maupun ekonomi, sehingga baik tempat
tinggal maupun bekerja dan berkreasi
dapat dilakukan didalam kota (Jayadinata,
suatu wilayah sebagai benda dan jumlah
1992).
penduduk dari wilayah yang bersangkutan
sebagai massanya. Besarnya kekuatan
Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional
interaksi dapat diwujudkan dalam bentuk
Konsep teori Hirschman yang
besarnya perpindahan atau transportasi dan
dipaparkan oleh Sjafrizal (2008),
komunikasi antara dua wilayah. Wujud
menyatakan bahwa lebih mengutamakan
dari perpindahan tersebut dapat berbentuk
perhatiannya pada pertumbuhan wilayah
orang, barang, jasa, ataupun berupa
tidak seimbang. Dimana secara geografis
informasi (Hartono, 2007).
pertumbuhan ekonomi wilayah akan
dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan di
Otonomi Daerah
suatu wilayah pada satu titik tempat yang
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 Pasal
menimbulkan dorongan ke arah
1 angka 5, otonomi daerah adalah hak,
perkembangan titik-titik atau tempat-
wewenang dan kewajiban daerah otonom
tempat berikutnya. Teori Hirschman
untuk mengatur dan mengurus
melihat tingkat pembangunan di suatu
sendiri urusan pemerintahan dan
wilayah cenderung tercapai pada beberapa
kepentingan masyarakat setempat sesuai
titik pertumbuhan. Dimana kegiatan atau
dengan peraturan perundang-undangan.
aktivitas ekonomi lebih lebih berpusat
Haris memaparkan peranan Smith tentang
pada daerah tersebut karena ketersediaan
pemerintah di daerah yang dijalankan
dan kelengkapan fasilitas pelayanan
secara demokratis akan memberikan ruang
dibandingkan tempat lainnya. Dampaknya
yang lebih besar kepada masyarakat untuk
akan terjadi peningkatan migrasi dari
ikut menuangkan kedaulatannya. Hal ini
daerah luar ke daerah growing center.
bukan saja akan memperkuat proses
demokrasi lokal, tetapi
Teori Gravitasi
juga memberikan kontribusi bagi
Teori gravitasi pertama kali diperkenalkan
demokrasi dan integrasi nasional (Haris
dalam ilmu fisika oleh Sir Issac Newton.
dkk, 2006).
Utoyo (2007) memaparkan inti dari teori
gravitasi bahwa dua buah benda yang
Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
memiliki massa tertentu akan memiliki
Istimewa Yogyakarta
gaya tarik menarik antara keduanya yang
Menurut Peraturan Daerah Provinsi
dikenal sebagai gaya gravitasi. W. J. Reilly
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2
berpendapat bahwa bahwa kekuatan
tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang
interaksi antara dua wilayah yang berbeda
Wilayah Provinsi Daerah Iatimewa
dapat diukur dengan memerhatikan faktor
Yogyakarta Tahun 2009 – 2029, bertujuan
jumlah penduduk dan jarak antara kedua
untuk:
wilayah tersebut.
a. Terselenggaranya pemanfaatan
Teori gravitasi ini dapat digunakan untuk
ruang yang berlandaskan wawasan
menganalisis besarnya pengaruh interaksi
nusantara dan ketahanan nasional.
antar wilayah yang berdekatan secara
b. Terselenggaranya pengaturan
kuantitatif, dengan asumsi bahwa
pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budidaya.

198

(g) Tercapainya pemanfaatan ruang


yang berkualitas untuk mewujudkan Priyadi, Atmadji
kehidupan bangsa yang cerdas dan
sejahtera dan berkelanjutan. Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang,
(h) Mewujudkan perlindungan fungsi Panjatan, Lendah, Pajangan, Pandak,
ruang dan mengurangi dampak Bambanglipuro, Sanden, Pundong,
negatif terhadap lingkungan. Jetis, Pleret, Seyegan, Turi,
(i) Meningkatkan pemanfaatan sumber Cangkringan, Patuk, Dlingo,
daya alam dan sumber daya buatan Panggang, Paliyan, Ngawen, Tepus,
secara berdaya guna, berhasil guna Ponjong, Mlati, Ngaglik,
dan tepat guna.
Prambanan, Piyungan, Srandakan, Godean.
(j) Mencegah benturan kepentingan
dalam penggunaan sumber daya.
(k) Meningkatkan kondisi alam dan METODE PENELITIAN
prasarana untuk mengembangkan Jenis dan Pengumpulan Data
pariwisata Pada penelitian ini digunakan metode
(l) Meningkatkan prasarana dan sarana analisis deskriptif untuk melihat wilayah
untuk mengembangkan kabupaten / kota yang menjadi pusat
pendidikan dan kebudayaan. pertumbuhan di Provinsi Daerah Istimewa
Arahan pengembangan sistem perkotaan Yogyakarta, serta menganalisis fasilitas-
dalam sistem pelayanan Wilayah fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing
direncanakan sebagai berikut : kabupaten / kota di Provinsi Daerah
(h) Pusat Kegiatan Nasional (PKN) : Istimewa Yogyakarta. Jenis data yang
Kawasan Perkotaan Yogyakarta diteliti adalah data sekunder, yaitu data
(Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta), yang didapatkan dari sumber lain. Dalam
meliputi Kota Yogyakarta, Kabupaten / penelitian ini data yang didapatkan berasal
kota Depok, sebagian Kabupaten / kota dari Badan Pusat
Ngaglik, sebagian Kabupaten / kota Mlati, Statistik (BPS) Daerah Istimewa
sebagian Kabupaten / kota Godean, Yogyakarta dengan media internet. Untuk
sebagian Kabupaten / kota Gamping, melakukan analisis pada penelitian ini,
sebagian Kabupaten / kota Ngemplak, data yang digunakan adalah data tentang
sebagian Kabupaten / kota Kasihan, jumlah fasilitas-fasilitas sosial dan
sebagian Kabupaten / kota Sewon, ekonomi yang dimiliki oleh 5 kabupaten /
sebagian Kabupaten / kota Banguntapan. kota yang berada di Provinsi Daerah
(i) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) : Istimewa Yogyakarta. Nama kabupaten /
Kawasan Perkotaan Sleman, Bantul. kota tersebut yaitu,
(j) Pusat Kegiatan Wilayah Promosi : (f) Kabupaten Kulonprogo
Kawasan Perkotaan Wates dan (g) Kabupaten Bantul
Wonosari. (PKWp). (h) Kabupaten Gunungkidul
(k) Pusat Kegiatan Lokal (PKL) : (i) Kabupaten Sleman
KawasanPerkotaanKokap, (j) Kota Yogyakarta

Dari tiap kabupaten / kota akan dilihat apa


saja fasilitas yang tersedia, serta berapa
banyak jumlahnya. Jenis-jenis fasilitas
yang dilihat antara lain,

199
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 2. Sarana kesehatan
3. Tempat ibadah
1. Sarana pendidikan 4. Sarana perekonomian
Metode Analisis
Analisis Konsentrasi Geografi Analisis Skalogram
Konsentrasi geografis mengukur tingkat Alat analisis yang digunakan dalam
persebaran fasilitas pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. penelitian ini adalah model skalogram.
Formulasi perhitungannya adalah sebagai Skalogram adalah alat analisis untuk
berikut=100√∑ mengidentifikasi pusat pertumbuhan
Keterangan:
wilayah berdasarkan fasilitas yang
GC : tingkat konsentrasi geografis
dimiliki, sehingga dapat ditentukan
xi : jumlah fasilitas pertumbuhan ekonomi
hierarki pusat-pusat pertumbuhan dan
di tiap kabupaten / kota
aktivitas pelayanan suatu wilayah
xt : jumlah keseluruhan fasilitas
(Rondinelli, 1985).
pertumbuhan di Kabupaten Sleman
Analisis ini digunakan untuk melihat
jumlah dan jenis fasilitas yang berada pada
Setelah dilakukan perhitungan GC,
tiap kecamatan di Kabupaten Sleman. Dari
dilanjutkan dengan membandingkan nilai
jumlah ketersediaan fasilitas tersebut dapat
GC batas tengah. Adapun GC batas tengah
ditentukan kecamatan yang menjadi pusat
(GCBT) merupakan penjumlahan GC batas
pertumbuhan di Kabupaten Sleman adalah
atas dan batas bawah dibagi dua.
kecamatan yang paling lengkap
Nilai GC batas atas ( GCBA) merupakan
fasilitasnya. Sedangkan kecamatan yang
besaran konsentrasi geografis yang
ketersediaan fasilitasnya kurang lengkap
diasumsikan komoditi ekspor hanya tertuju
akan menjadi wilayah hinterland atau
di satu wilayah. Adapun konsentrasi
wilayah pendukung. Rumus yang
geografis batas bawah (GCBB) menunjukan
digunakan untuk mencari banyak kelas
besaran konsentrasi geografis
pada setiap kecamatan sebagai pusat
yang diasumsikan komoditi ekspor
pertumbuhan sebagai berikut,
tersebar secara merata.
( +
)
k = 1 + 3,3 log n
Secara ringkas perhitungan GCBT adalah:
Keterangan:
menentukan suatu sarana k = banyak kelas
Untuk 2
n = banyak kecamatan
terkonsentrasi atau terdistribusi dilakukan
dengan cara membandingkan perhitungan selanjutnya menentukan besarnya interval
nilai GC dibandingkan nilai GCBT. kelas atau range dengan rumus sebagai
berikut,

Range =

Keterangan:
A = jumlah fasilitas tertinggi
B = jumlah fasilitas terendah
k = banyak kelas

Langkah terakhir dalam melakukan


analisis skalogram adalah dengan
menghitung Coeffisien of Reproducibility

200
Priyadi, Atmadji
atau COR, yang memiliki fungsi untuk
menguji kelayakan analisis skalogram.
Penelitian dengan analisis skalogram dapat HASIL DAN ANALISIS
dikatakan layak jika nilai COR sebesar 0,9
sampai dengan 1. Cor dihitung dengan rumus
seperti dibawah,= 1 − ∑ Peran Danais (Dana Istimewa) dalam
(CR) Menggerakkan Ekonomi
Keterangan: Gambaran Umum Pelaksanaan Perdais
∑CR : tingkat kesalahan
: Jumlah kesalahan 1. Arah Kebijakan Dana Keistimewaan
N : Jumlah fasilitas DIY Tahun 2017
K: Jumlah kecamatan a) Meningkatkan kualitas perencanaan
Dana Keistimewaan DI Yogyakarta.aa
Analisis Gravitasi b) Meningkatkan pemantauan dan
Analisis gravitasi digunakan untuk melihat evaluasi sesuai dengan peraturan
besarnya daya tarik suatu potensi yang perundang-undangan.
berada pada suatu lokasi, kaitan potensi c) Mendorongpelaporanatas
suatu lokasi dengan besarnya wilayah pelaksanaan kegiatan oleh Pemerintah
pengaruh dari potensi tersebut (Utoyo, Daerah.
2007). d) Mewujudkan ketepatan penggunaan
Rumus gravitasi adalah sebagai dana keistimewaan DI Yogyakarta
berikut, = . dalam rangka mendukung efektivitas
penyelenggaraan keistimewaan DIY.
2. Dana Keistimewaan DIY (UU No.13
Tahun 2012)

Keterangan : Kewenangan dalam urusan Keistimewaan


Aij = Besarnya interaksi wilayah i dengan yang dimiliki DIY:
wilayah j a) Tata cara pengisian jabatan,
Pi = Jumlah penduduk di wilayah i, dalam kedudukan, tugas, dan wewenang
ribuan jiwa Gubernur dan Wakil Gubernur.
Pj = jumlah penduduk di wilayah j, dalam b) Kelembagaan
ribuan jiwa c) Kebudayaan
dij = Jarak dari wilayah i dengan wilayah j, d) Pertanahan
dalam kilometer e) Tata Ruang.
k = Angka konstanta empiris, bernilai 1
b = Pangkat dari dij yang sering digunakan Analisis Konsentrasi Geografi
b=2 Konsentrasi geografis mengukur tingkat
Untuk melihat keterkaitan atau interaksi persebaran fasilitas pertumbuhan ekonomi
antara kecamatan sebagai pusat di Provinsi Daerah Istimewa
pertumbuhan dengan kecamatan yang Yogyakarta.Perhitungan dengan analisis
menjadi hinterland atau wilayah konsentrasi geografi dipaparkan dalam
pendukungnya. tabel. Dari analisis GC pada tabel
ditemukan bahwa nilai perhitungn GC
lebih kecil dari nilai batas tengah. Dengan
nilai GC sebesar 141,4214, dan nilai batas
tengah sebesar 72,36068, dengan nilai GC

201
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 lebih besar dari nilai tengah, berarti
fasilitas yang tersedia untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi sudah terdistribusi
secara merata di 5 kabupaten / kota yang
ada di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sehingga jika akan
adalah Kabupaten Bantul yang memiliki
menambahkan fasilitas yang sudah ada di
19 jenis fasilitas dan 11.983 unit fasilitas.
pusat pertumbuhan, jika ingin ditambahkan Pusat pertumbuhan kedua yaitu Kabupaten
di masing-masing kabupaten
Sleman dengan 19 jenis fasilitas dan unit
/ kota, maka penambahan tersebut fasilitas sebanyak 10.681. Dan pusat
sebaiknya dilakukan secara proporsional.
pertumbuhan ketiga adalah Kota
Yogyakarta dengan 19 jenis fasilitas dan
Analisis Skalogram 4.682 unit fasilitas. Kabupaten / kota yang
Analisis skalogram digunakan untuk masuk dalam orde I merupakan kabupaten
menganalisis dan menentukan hierarki atau / kota dengan jumlah penduduk yang lebih
kelasnya. Jumlah fasilitas tersebut banyak dibandingkan kabupaten pada orde
digunakan sebagai penentuan dalam II dan III.
menempatkan suatu lokasi menjadi pusat
Pada orde II terdapat Kabupaten
pertumbuhan dan lokasi sebagai daerah
Gunungkidul dengan jumlah jenis fasilitas
hinterland atau daerah belakangnya.
sebanyak 18 jenis, dan jumlah unit
Setelah didapatkan jumlah total dari semua
sebanyak 10.244 buah, namun terdapat
fasilitas yang ada pada tiap kabupaten /
ketidaklengkapan data pada kategori
kota, selanjutnya adalah membuat tabel sarana pendidikan yaitu tidak diketahuinya
perhitungan yang memberikan angka “1” jumlah perguruan tinggi yang terdapat di
pada jenis fasilitas yang dimiliki oleh Kabupaten Gunungkidul. Jumlah unit
kabupaten / kota, dan memberikan angka fasilitas yang dimiliki Kabupaten
“0” pada fasilitas yang tidak tersedia pada Gunungkidul lebih banyak daripada
kabupaten / kota tersebut.
jumlah unit yang dimiliki oleh Kota
Dari tabel hasil analisis dapat dilihat Yogyakarta. Namun karena jenis fasilitas
jumlah fasilitas dari masing-masing yang dimiliki Kota Yogyakarta lebih
kabupaten / kota pada empat kelompok banyak daripada jenis fasilitas yang
fasilitas yang berbeda, serta jumlah total dimiliki Kabupaten Gunungkidul, maka
dari semua unit fasilitas tiap kabupaten / Kota Yogyakarta berada pada orde I
kota. Dapat diketahui yang termasuk sedangkan Kabupaten Gunungkidul berada
dalam orde I adalah kabupaten / kota di orde II. Karena untuk menentukan
dengan jumlah unit fasilitas terbanyak daerah pusat pertumbuhan adalah dengan
sehingga dapat dijadikan sebagai pusat melihat banyaknya jenis fasilitas yang
pertumbuhan. Dalam hasil analisis dimiliki oleh daerah tersebut, bukan hanya
skalogram dalam tabel diketahui terdapat 3 dari jumlah unit yang dimilikinya. Jika
kabupaten / kota yang memenuhi syarat melihat jumlah penduduk pada Kabupaten
untuk masuk dalam orde I sebagai Gunungkidul, maka jumlah unit fasilitas
kabupaten / kota pusat pertumbuhan di yang dimiliki sudah cukup banyak untuk
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. memenuhi kebutuhan penduduk.
Sebagai pusat pertumbuhan pertama
Orde III diisi oleh Kabupaten Kulonprogo
dengan jumlah jenis 17 fasilitas, dan
jumlah unit sebanyak 3.783. Kabupaten
Kulonprogo memiliki jumlah penduduk
sebanyak 412.198 jiwa, merupakan jumlah
penduduk paling

202
Priyadi, Atmadji
sedikit dibandingkan dengan kabupaten /
kota lainnya. Jumlah tersebut terpaut tidak Yogyakarta dengan 19 jenis fasilitas dan
terlalu jauh dengan jumlah penduduk Kota jumlah unit fasilitas sebanyak 7.400 unit.
Yogyakarta, namun jumlah unit fasilitas Pada hasil analisis skalogram tahun 2013
yang dimiliki oleh Kabupaten Kulonprogo ini tidak terdapat kabupaten / kota yang
jauh lebih sedikit daripada Kota masuk dalam orde II. Sedangkan pada orde
Yogyakarta. Begitu pula dengan jenis III terdapat Kabupaten Kulonprogo dengan
fasilitas yang dimilikinya. jumlah jenis fasilitas sebanyak 18 jenis,
Dari tabel hierarki pusat pertumbuhan dan jumlah unit fasilitas yang dimiliki ada
kabupaten / kota berdasarkan analisis 6.198 unit. Jumlah unit
skalogram di provinsi daerah istimewa fasilitas yang dimiliki Kabupaten
yogyakarta tahun 2013, dapat dilihat Kulonprogo tidak terlalu berbeda dengan
jumlah fasilitas dari masing-masing jumlah unit fasilitas yang dimiliki oleh
kabupaten / kota pada empat kelompok Kota Yogyakarta. Namun karena
fasilitas yang berbeda, serta jumlah total perbedaan jumlah jenis fasilitas, maka
dari semua unit fasilitas tiap kabupaten / Kabupaten Kulonprogo masuk dalam orde
kota di Provinsi Daerah Istimewa III. Terdapat banyak perbedaan antara
Yogyakarta pada tahun 2013. Dapat hasil analisis skalogram untuk melihat
diketahui yang termasuk dalam orde I daerah pusat pertumbuhan di Provinsi
adalah kabupaten / kota dengan jumlah daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun
unit fasilitas terbanyak sehingga dapat 2013 dan tahun 2016.
dijadikan sebagai pusat pertumbuhan. Di amati dari tabel kesimpulan hasil
Dalam hasil analisis skalogram dalam analisis skalogram, pada segi jumlah
Tabel 4.19 diketahui bahwa terdapat 4 penduduk, semua kabupaten / kota
kabupaten / kota yang memenuhi syarat mengalami kenaikan jumlah penduduk dari
untuk masuk dalam orde I sebagai daerah tahun 2013 ke tahun 2016. Dengana
pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan bertambahnya jumlah penduduk maka
pertama adalah Kabupaten Sleman dengan diperlukan peningkatan jumlah unit
jumlah jenis fasilitas ada 19, dan jumlah fasilitass maupun jumlah jenis fasilitas
unit fasilitas sebanyak 15.665 unit. Pusat untuk melengkapi kebutuhan masyarakat.
pertumbuhan kedua adalah Kabupaten Namun hal tersebut berbanding negatif
Bantul dengan memiliki jenis fasilitas terhadap jumlah unit fasilitas pada tiap-tiap
berjumlah 19, dan unit fasilitas yang kabupaten / kota. Semua kabupaten / kota
dimiliki sebannyak 12.404 unit. Kabupaten mengalami penurunan jumlah unit fasilitas
Gunungkidul sebagai pusat pertumbuhan yang dimiliki. Seperti Kabupaten Sleman
ketiga dengan jumlah jenis fasilitas ada 19 yang jumlahnya turun dari 15.665 menjadi
jenis, dan jumlah unit fasilitas sebanyak 10.681, Kabupaten Bantul dengan unit
11.480. Namun jumlah unit tersebut belum fasilitas sebanyak 12.404 turun menjadi
lengkap karena terdapat ketidaklengkapan 11.983. Kabupaten Gunungkidul memiliki
data yaitu pada sarana pendidikan, tidak unit fasilitas 11.480 dengan
diketahui jumlah perguruan tinggi yang ketidaklengkapan data, namun turun
berada di Kabupaten Gunungkidul. Dan
menjadi 10.244 unit dengan
pusat pertumbuhan ke empat adalah Kota ketidaklengkapan data. Kota Yogyakarta
juga mengalami penurunan jumlah unit
fasilitas dari 7.400 menjadi 4.682 un it.
203
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
Begitu pula dengan Kabupaten
Kulonprogo yang jumlah unitnya turun
dari 6.198 menjadi 3.783. Dalam
Analisis Gravitasi
penelitian ini tidak diketahui penyebab
Dalam melakukan pengamatan dengan
turunnya jumlah unit fasilitas pada
menggunakan analisis gravitasi dapat
kabupaten / kota di Provinsi Daerah
dilihat bahwa Kabupaten Bantul sebagai
Istimewa Yogyakarta.
pusat pertumbuhan pertama memiliki nilai
Pada jumlah jenis fasilitas, Kabupaten interaksi yang paling besar terhadap
Sleman, kabupaten Bantul dan Kota Kabupaten Gunungkidul dan
Yogyakarta memiliki jumlah yang tetap,
Kabupaten Kulonprogo. Sehingga
yaitu 19 jenis fasilitas. Namun pada
Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten
kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten
Kulonprogo merupakan hinterland bagi
Kulonprogo terjadi penurunan jumlah jenis
Kabupaten Bantul. Nilai interaksi
fasilitas. Pada tahun 2013 jumlah jenis
Kabupaten Gunungkidul dengan
fasilitas di Kabupaten Gunungkidul adalah
Kabupaten Bantul sebesar 407.568.522,
19 jenis fasilitas, tetapi pada tahun 2016
sedangkan dengan Kabupaten Sleman
jumlah jenis fasilitas turun menjadi 18
hanya sebesar 286.377.964, dan interaksi
jenis saja. Hal serupa juga terjadi pada
dengan Kota Yogyakarta sebesar
Kabupaten Kulonprogo dengan jumlah
199.190.109. Nilai interaksi Kabupaten
jenis fasilitas pada tabun 2013 sebanyak 18
Kulonprogo dengan Kabupaten Bantul
jenis, pada tahun 2016 jumlah tersebut
sebesar 620.706.322, dengan Kabupaten
turun menjadi 17 jenis fasilitas.
Sleman sebesar 293.434.959, dan dengan
Hasil analisis menunjukkan perubahan
Kota Yogyakarta sebesar 156.212.822.
orde pada dua kabupaten yaitu Kabupaten
Untuk melihat wilayah hinterland dari
Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo.
kabupaten / kota yang menjadi pusat
Sedangkan untuk Kabupaten Sleman,
pertumbuhan pada tahun 2013, yaitu
Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta
Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman,
berada pada orde yang sama pada dua
Kabupaten Gunungkidul, dan Kota
periode tahun yang berbeda yaitu berada
Yogyakarta dapat dijelaskan pada tabel.
pada orde I. Pata tahun 2013, Kabupaten
Hasil analisis skalogram menyatakan
Gunungkidul berada pada orde I dan dapat
bahwa pada tahun 2013 terdapat empat
menjadi daerahh pusat pertumbuhan di
kabupaten / kota yang menjadi wilayah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
pusat pertumbuhan, sehingga hanya ada
Dengan terjadinya penurunan jumlah jenis
satu kabupaten yang menjadi wilayah
fasilitas, maka pada tahun 2016 Kabupaten
hinterland, yaitu Kabupaten Kulonprogo.
Gununkidul menempati orde II dan lepas
Pada diketahui bahwa nilai interaksi
dari daerah pusat pertumbuhan. Kabupaten
tertinggi dari Kabupaten Kulonprogo
Kulonprogo pada tahun 2013 berada pada
terhadap kabupaten / kota sebagai pusat
orde II, tetapi penurunan yang terjadi pada
pertumbuhan adalah dengan Kabupaten
jumlah jenis
Bantul. Sehingga Kabupaten Kulonprogo
fasilitas menyebabkan Kabupaten
adalah wilayah hinterland bagi Kabupaten
Kulonprogo menempati orde III pada
Bantul. Nilai interaksi Kabupaten
tahun 2016.
Kulonprogo dengan Kabupaten Bantul
adalah sebesar 591.883.954. angka tersebut
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai interaksi dengan Kabupaten

204
Priyadi, Atmadji
Sleman yaitu sebesar 280.689.276, dengan
Kota Yogyakarta sebesar 149.103.284, dan Kecamatan Depok, sebagian
nilai interaksi terendah adalah dengan Kecamatan Ngaglik, sebagian
Kabupaten Gunungkidul yaitu sebesar Kecamatan Mlati, sebagian
80.022.538. Kecamatan Godean, sebagian
Jika mengamati kedua periode dari Kecamatan Gamping, sebagian Kecamatan
analisis, yaitu periode tahun 2013 dan Ngemplak, sebagian
tahun 2016, terjadi perubahan pada nilai Kecamatan Kasihan, sebagian
interaksi antara kabupaten / kota sebagai Kecamatan Sewon, sebagian Kecamatan
pusat pertumbuhan dengan kabupaten Banguntapan.
sebagai hinterland. Pada periode tahun b. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) :
2013 terdapat empat pusat pertumbuhan Kawasan Perkotaan Sleman, Bantul.
yaitu Kabupaten Bantul, kabupaten c. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) :
Sleman, Kabupaten Gunungkidul, dan Kawasan Perkotaan Kokap, Girimulyo,
Kota Yogyakarta, dengan Kabupaten Samigaluh, Kalibawang, Panjatan, Lendah,
Kulonprogo sebagai wilayah hinterland Pajangan, Pandak, Bambanglipuro,
bagi Kabupaten Bantul. Namun pada tahun Sanden, Pundong,
2016, jumlah kabupaten / kota sebagai Jetis,Pleret,Seyegan,Turi,
pusat pertumbuhan menurun menjadi tiga Cangkringan, Patuk, Dlingo, Panggang,
kabupaten / kota, yaitu Kabupaten Bantul, Paliyan, Ngawen, Tepus,
Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Ponjong, Mlati, Ngaglik, Prambanan,
Kabupaten Gunungkidul berpindah Piyungan, Srandakan, Godean.
menjadi wilayah hinterland bagi Pada dapat dilihat perbandingan hasil dari
Kabupaten Bantul bersama dengan analisis skalogram, analisis gravitasi, dan
Kabupaten Kulonprogo yang dari tahun kebijakan RTRW.
2013 tetap menjadi wilayah hinterland Dari tabel hasil analisis dibandingkan
bagi Kabupaten Bantul. kebijakan rtrw dengan data tahun 2015,
dapat diketahui pencapaian dari kondisi
sebenarnya di masing-masing kabupaten /
Perbandingan dengan RTRW Provinsi kota jika dibandingkan dengn Rencana
Daerah Istimewa Yogyakarta Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 hasil analisis, terdapat kesesuaian analisis
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang setelah dibandingkan dengan Rencana Tata
Wilayah Provinsi Daerah Iatimewa Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah
Yogyakarta Tahun 2009 – 2029, arahan Istimewa Yogyakarta. Kabupaten / kota
pengembangan sistem perkotaan dalam yang dianalisis masuk dalam orde I yaitu
sistem pelayanan wilayah direncanakan sebagai wilayah pusat pertumbuhan,
sebagai berikut : seperti Kabupaten Bantul, Kabupaten
a. Pusat Kegiatan Nasional (PKN) : Sleman dan Kota Yogyakarta, telah
Kawasan Perkotaan Yogyakarta diproyeksikan untuk masuk dalam wilayah
(Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta), Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat
meliputiKotaYogyakarta, Kegiatan Wilayah (PKW). Sedangkan
untuk wilayah hinterland yaitu

205
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten
Kulonprogo, dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta masuk pada wilayah
Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Hal tersebut
telah sesuai dengan hasil analisis
masing-masing kabupaten / kota jika
menggunakan skalogram dan analisis
dibandingkan dengan Rencana Tata Ruang
gravitasi.
Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, terdapat kesesuaian
antara proyeksi dengan hasil analisis
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI skalogram dan analisis gravitasi.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari analisis konsentrasi Implikasi
geografis Provinsi Daerah Istimewa Berdasarkan dari hasil analisis, terdapat
Yogyakarta, diperoleh hasil bahwa sarana beberapa hal yang bisa dijadikan masukan
– sarana yang tersedia untuk mendukung bagi pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
pertumbuhan ekonomi telah terdistribusi Yogyakarta. Keadaan tiap kabupaten / kota
secara merata di 5 kabupaten / kota yang telah sesuai dengan proyeksi Rencana Tata
berada di Provinsi Daerah Istimewa Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah
Yogyakarta. Istimewa Yogyakarta, akan lebih baik jika
Untuk analisis skalogram, analisis gravitasi menambahkan fasilitas-fasilitas pada
dan kesesuaian pencapaian dengan kabupaten yang menjadi wilayah
Rencata Tata Ruang Wilayah (RTRW) hinterland agar tidak terjadi kesenjangan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan wilayah kabupaten / kota sebagai
dapat disimpulan bahwa adanya perbedaan pusat pertumbuhan.
kabupaten / kota yang menjadi pusat
pertumbuhan. Pada tahun 2013 terdapat DAFTAR PUSTAKA
empat kabupaten kota yang Danastri, S. (2011). "Analisis Penetapan
menjadi pusat pertumbuhan yaitu Pusat-Pusat Pertumbuhan Baru di
Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten / kota Harjamukti,
Kabupaten Gunungkidul, dan Kota Cirebon Selatan". Skripsi Sarjana,
Yogyakarta, dengan Kabupaten Fakultas Ekonomi, Universitas
Kulonprogo sebagai hinterland Kabupaten Diponegoro, Semarang.
Bantul memiliki nilai interaksi 591.883.954.
Sedangkan tahun 2016 ada tiga kabupaten Gulo, Y. (2015). "Identifikasi Pusat
/ kota yang menjadi pusat pertumbuhan Pertumbuhan dan Hinterland Dalam
yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Pengembangan Wilayah Kabupaten Nias".
Sleman dan Kota Yogyakarta, dengan Widyariset, Volume 18 Nomor 1, Halaman
hinterland dari Kabupaten Bantul adalah 37-48.
Kabupaten Gunungkidul yang memiliki
Habib, S. (2016). "Analisis Kabupaten /
nilai interaksi 407.568.522, dan Kabupaten
kota Dalam Rangka Penentuan
Kulonprogo dengan nilai interaksi
Kabupaten / kota Pusat
620.706.322. Untuk melihat pencapaian
Pertumbuhan Ekonomi di
Kabupaten Tulang Bawang Barat".
Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi

206
dan Bisnis, Universitas Bandar Lampung,
Lampung.

Hagget. (2001). Geography: A Global


Synthesis. New Jersey: Pearson Priyadi, Atmadji
Education Ltd.

Haris, S., Pabottingi, M., Hidayat, S., Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal
Salamm, A., Ratnawati, T., & 1 Tentang otonomi Daerah. (t.thn.).
Romli, L. (2006). Membangun Departemen Dalam Negeri
Format Baru Otonomi Daerah. Republik Indonesia.
Jakarta: LIPI Press. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Hartono. (2007). Geografi: Jelajah Bumi Tentang Pemerintahan Daerah.
dan Alam Semesta. Bandung: Citra (t.thn.). Departemen Dalam Negeri
Raya. Republik Indonesia.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974


Jayadinata, J. (1992). Tata Guna Tanah
Dalam Perancanaan Pedesaan Perkotaan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
dan Wilayah Bandung. Bandung: ITB. Daerah. (t.thn.).
Departemen Dalam Negeri Indonesia.
Nainggolan, P. T. (2013). "Analisis
Penentuan Pusat-Pusat Utari, E. S. (2015). "Analisis Sistem Pusat
Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Pelayanan Pemukiman di Kota
Simalungun". Jurnal Ekonomi dan Yogyakarta Tahun 2014". Journal
Keuangan, Volume 1 Nomer 12, Halaman of Economics and Policy, Volume
15-26. 8 Nomor 1, Halaman 1-88.

Rondinelli, D. A. (1985). Applied Methods Utoyo, B. (2007). Geografi: Membuka


of Regional Analysis, The Spatial Cakrawala Dunia. Bandung: PT.
Dimensions of Development Setia Purna Inves.
Policy. Colorado: Westview Press. Yani, A., & Ruhimat, M. (2007).
Sjafrizal. (2008). Ekonomi Regional Teori Geografi: Menyingkap Fenomena
dan Terapan. Padang: Baduose Geosfer. Bandung: Grafindo Media
Media. Pratama.

Tarigan, R. (2005). Ekonomi Regional:


Teori dan Aplikasi. Jakarta: Aksara Bumi.

Todaro, & Smith. (2006). Pembangunan


Ekonomi. Jakarta: Erlangga.

207
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017

LAMPIRAN

Lampiran 1
Alokasi dan Usulan
Dana Keistimewaan di Yogyakarta

No. Bidang Kewenangan Alokasi (miliar Rupiah) Usulan (miliar


Rupiah)

2013 2014 2015 2016 2017

1. Tata Cara Pengisian Jabatan - 0,4 - - 3,8


Gubernur & Wakil
Gubernur

2. Kebudayaan 212,5 375,1 420,8 179,1 603,5

3. Pertanahan 6,3 23,0 10,6 13,9 15,2

4. Kelembagaan Pemerintahan 2,5 1,6 1,7 1,8 34,7

5. Tata Ruang 10.0 123,6 114,4 352,7 916,4

Jumlah 231,3 523,8 547,5 547,5 1.573,8

Lampiran 2

Usulan, Alokasi dan Realisasi Dana Keistimewaan DIY Tahun 2013 – 2017

TA USULAN ALOKASI REALISASI % Real thd


Alokasi
2013 535.214.033.670 231.392.653.500 54.562.180.053 23,58%
2014 787.703.769.500 523.874.719.000 272.056.608.289 51,93%
2015 1.023.273.302.700 547.450.000.000 477.494.515.166 87,22%
2016 1.397.466.516.999 547.450.000.000 ??? ???
2017 1.573.834.354.400 ??? ??? ???

208
Priyadi, Atmadji

Lampiran 3

Tabel Perhitungan Analisis Konsentrasi Geografis


Kabupaten / kota Jumlah GC Batas Batas Atas Nilai
Unit Bawah Tengah

Kabupaten 44,72136 100 72,36068


Kulonprogo 3783 0,182944

Kabupaten Bantul 11983 0,579491

Kabupaten
Gunungkidul 10244 0,495394

Kabupaten Sleman 10681 0,516527

Kota Yogyakarta 4666 0,225645

Jumlah 41357 2

Akar 1,414214

x100 141,4214

209
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017

Lampiran 4

Tabel Kesimpulan Data Jumlah Fasilitas Provinsi Daerah Istimewa yogyakarta Tahun 2015

Kabupaten / Jumlah Unit Fasilitas Jumlah


Kota Total
Pendidikan Kesehatan Ibadah Perekonomian

Kabupaten 792 187 1144 1660


3783
Kulonprogo

Kabupaten 1075 249 1860 8799


11983
Bantul

Kabupaten 1238* 251 1992 6763


10244*
Gunungkidul

Kabupaten 1259 238 2125 7059


10681
Sleman

Kota 549 145 490 3498


4682
Yogyakarta

Sumber: Kabupaten / kota dalam Angka 2015, diolah


BPS Kabupaten Sleman

Keterangan *: Terdapat ketidaklengkapan data

210
Priyadi, Atmadji

Lampiran 5
Tahun 2015

Kabupaten / Jenis Fasilitas Jumlah


Kota
Pendidikan Kesehatan Tempat Ibadah Perekonomian

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 17
Kulonprogo

Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Bantul

Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18
Gunungkidul

Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Sleman

Kota 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Yogyakarta

211
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017

Keterangan Tabel:
Sarana Pendidikan
1 : TK
2 : SD
3 : SLTP
4 : SMA
5 : Perguruan Tinggi
Sarana Kesehatan
6 : Rumah Sakit
7 : Puskesmas
8 : Puskesmas Pembantu
9 : RS. Bersalin
10 : Poliklinik
11 : Pos KB Desa
Tempat Ibadah
12 : Masjid
13 : Gereja Katolik
14 : Gereja Kristen
15 : Pura
16 : Wihara
Sarana Ekonomi
17 : Pasar Umum
18 : Pertokoan Kios / Warung
19 : KUD, Bank, BPR

Dari perhitungan tersebut menunjukkan tingkat kesalahan sebesar 0,936, berada diantara 0,9
– 1 atau lebih dari 90%, sehingga analisis skalogram pada fasilitas-fasilitas di tiap
kabupaten / kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2016 ini dianggap
sudah layak.

Lampiran 6

Hierarki Pusat Pertumbuhan Kabupaten / Kota berdasarkan Analisis Skalogram di Provinsi


Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2015

Peringkat Kabupaten / Jumlah Jumlah Jumlah Orde Kota


Hierarki kota Penduduk Jenis Unit
Fasilitas Fasilitas

1 Kabupaten
11983
Bantul 971.511 19 Orde I

2 Kabupaten
10681 Orde I
Sleman 1.167.481 19

212
Priyadi, Atmadji

3 Kota 4682 Orde I


Yogyakarta 412.704 19

4 Kabupaten 10244* Orde II


Gunungkidul 715.282 18

5 Kabupaten 3783
Kulonprogo 412.198 17 Orde III
Keterangan *: Terdapat ketidaklengkapan data

Lampiran 7

Tabel Kesimpulan Data Jumlah Fasilitas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013

Kabupaten / Jumlah Unit Fasilitas Jumlah


Kota Total
Pendidikan Kesehatan Ibadah Perekonomian

Kabupaten 788 183 1110 4117


6198
Kulonprogo

Kabupaten 1062 214 1721 9407


12404
Bantul

Kabupaten 1235* 239 1896 8110


11480*
Gunungkidul

Kabupaten 1249 230 2064 12122


15665
Sleman

Kota 555 142 548 6155


7400
Yogyakarta

Sumber: Kabupaten / kota dalam Angka 2015, diolah


BPS Kabupaten Sleman
Keterangan *: Terdapat ketidaklengkapan data

213
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017

Lampiran 8
Tabel Skalogram Tahun 2013
Kabupaten / Jenis Fasilitas Jumlah
Kota
Pendidikan Kesehatan Tempat Ibadah Perekonomian

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 18
Kulonprogo

Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Bantul

Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Gunungkidul

Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Sleman

Kota 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Yogyakarta

214
Priyadi, Atmadji

Keterangan Tabel:
Sarana Pendidikan 11 : Pos KB Desa
1 : TK Tempat Ibadah
2 : SD 12 : Masjid
3 : SLTP 13 : Gereja Katolik
4 : SMA 14 : Gereja Kristen
5 : Perguruan Tinggi 15 : Pura
Sarana Kesehatan 16 : Wihara
6 : Rumah Sakit Sarana Ekonomi
7 : Puskesmas 17 : Pasar Umum
8 : Puskesmas Pembantu 18 : Pertokoan Kios / Warung
9 : RS. Bersalin 19 : KUD, Bank, BPR
10 : Poliklinik

Selanjutnya adalah menghitung dengan menggunakan metode Struges untuk


menentukan orde-orde dari pusat pertumbuhan.

Jumlah Orde = 1 + 3,3 log n

= 1 + 3,3 log 5

= 1 + 3,3 (0,6989700043)

= 1 + 2,3066010143

= 3,306601014

Jumlah orde dalam penelitian ini sebesar 3,3066010143 yang dibulatkan menjadi 3 kelas atau
orde untuk kabupaten / kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya adalah
menentukan interval kelas atau range untuk 3 orde yang telah dihitung sebelumnya. Yaitu
dengan rumus,

Range =

Range =

Range = 0,3

Didapatkan interval kelas atau range sebesar 0,3, dengan jumlah kelas atau orde sebanyak 3,
maka dapat dibuat tabel orde seperti dibawah,

215
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017

Tabel Orde dan Range

Orde Range

Orde I 18,7 - 19

Orde II 18,3 – 18,6

Orde III 17,9 – 18,2

Langkah terakhir dalam melakukan analisis skalogram adalah dengan menghitung tingkat= kesalahan1−∑ atau disebut Coefficient of Redductbility (COR).
(CR) 1 −
(CR) =
(CR) = 1 – 0,021
(CR) = 0,979

Dari perhitungan tersebut menunjukkan tingkat kesalahan sebesar 0,979, berada diantara 0,9
– 1 atau lebih dari 90%, sehingga analisis skalogram pada fasilitas-fasilitas di tiap
kabupaten / kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini dianggap sudah layak.

216
Priyadi, Atmadji

Lampiran 9

Hierarki Pusat Pertumbuhan Kabupaten / kota berdasarkan Analisis Skalogram di Provinsi


Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013

Peringkat Kabupaten / Jumlah Jumlah Jumlah Orde Kota


Hierarki kota Penduduk Jenis Unit
Fasilitas Fasilitas

1 Kabupaten 15665 Orde I


Sleman 1.141.684 19

2 Kabupaten 12404 Orde I


Bantul 947.066 19

3 Kabupaten 11480* Orde I


Gunungkidul 700.192 19

4 Kota 7400 Orde I


Yogyakarta 402.709 19

5 Kabupaten 6198
Orde III
Kulonprogo 403.203 18

Keterangan *: Terdapat ketidaklengkapan data

Lampiran 10

Kesimpulan Hasil Analisis Skalogram

Kabupaten / Tahun 2013 Tahun 2016


Kota
Jumla Jumla Jumlah Orde Jumlah Jumlah Jumlah Orde
h h Unit Kota Pendudu Jenis Unit Kota
Pendu Jenis Fasilita k Fasilita Fasilita
duk Fasilit s s s
as

Kabupaten 1.141. Orde 1.167.48


15665 10681
Sleman 684 19 I 1 19 Orde I

Kabupaten 947.0 Orde


12404 11983
Bantul 66 19 I 971.511 19 Orde I

Kota 402.7 Orde


7400 4682 Orde I
Yogyakarta 09 19 I 412.704 19

Kabupaten 700.1 Orde 10244 Orde


11480*
Gunungkidul 92 19 I 715.282 18 * II

217
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017

Kabupaten 403.2 Orde Orde


6198 3783
Kulonprogo 03 18 III 412.198 17 III

Keterangan *: Terdapat ketidaklengkapan data

Lampiran 11

Hasil Nilai Interaksi Wilayah antara Pusat Pertumbuhan dan


Hinterland Tahun 2015

Kabupaten / Kabupaten / Penduduk Penduduk Jarak (Jarak i- Angka


Kota Asal KotaTujuan daerah asal daerah j)b Interaksi
Tujuan i-j

(i) (j) (Pi) (Pj) (dij)/km (dij)2 (Aij)

Kabupaten Kabupaten 971.511 41,3 1.705 407.568.522


Bantul Gunungkidul 715.282

Kabupaten 971.511 25,4 645,16 620.706.322


Kulonprogo 412.198

Kabupaten Kabupaten 1.167.481 54 2.916 286.377.964


Sleman Gunungkidul 715.282

Kabupaten 1.167.481 40,5 1.640 293.434.959


Kulonprogo 412.198

Kota Kabupaten 412.704 38,5 1.482 199.190.109


Yogyakarta Gunungkidul 715.282

Kabupaten 412.704 33 1.089 156.212.822


Kulonprogo 412.198

218
Priyadi, Atmadji

Lampiran 12

Hasil Nilai Interaksi Wilayah antara Pusat Pertumbuhan dan Hinterland

Kabupaten / Kabupaten / Penduduk Penduduk Jarak (Jarak i- Angka


Kota Asal KotaTujuan daerah asal daerah j)b Interaksi
Tujuan i-j

(i) (j) (Pi) (Pj) (dij)/km (dij)2 (Aij)

Kabupaten Kabupaten 403.203 40,5 1.640 280.689.276


Sleman Kulonprogo 1.141.684

Kabupaten Kabupaten 403.203 25,4 645,16 591.883.954


Bantul Kulonprogo 947.066

Kota Kabupaten 403.203 33 1.089 149.103.284


Yogyakarta Kulonprogo 402.709

Kabupaten Kabupaten 403.203 59,4 3.528 80.022.538


Gunungkidul Kulonprogo 700.192

Lampiran 13

Tabel Hasil Analisis dibandingkan Kebijakan RTRW dengan Data Tahun 2015

No. Kecamatan Hasil Analisis Hasil Analisis Kebijakan RTRW


Skalogram Gravitasi

1. Kabupaten Orde III Hinterland Pusat PKL


Kulonprogo Pertumbuhan (Bantul)

2. Kabupaten Orde I Pusat Pertumbuhan PPK, PKW, PKL


Bantul Pertama

3. Kabupaten Orde II Hinterland Pusat PKL


Gunungkidul Pertumbuhan (Bantul)

4. Kabupaten Orde I Pusat Pertumbuhan PKN, PKW, PKL


Sleman Kedua

5. Kota Orde I Pusat Pertumbuhan PKN, PKL


Yogyakarta Ketiga
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia
Vol. 16 No. 2 Januari 2016: 81-104
p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280
DOI: http://dx.doi.org/10.21002/jepi.v16i2.574 81

Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial di Kalimantan:


Studi Empiris di 55 Kabupaten/Kota, 2000–2012 Analysis of Growth
Poles and Spatial Autocorrelation in Kalimantan: An Empirical Study of
55 Districts, 2000–2012
a, b
Maria Christina Yuli Pratiwi , Mudrajad Kuncoro
a
Bappeda Kabupaten Kotawaringin Timur
i) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

[diterima: 7 Juli 2015 — disetujui: 6 Oktober 2016 — terbit daring: 3 Januari 2017]

Abstract
The paper identifies which districts in Kalimantan that become the growth poles and whether there has been spatial autocorrelation in
55 districts during 2000–2012. This study also explores which economic sectors will be leading sectors. The social-economic data
were collected for 55 districts using quantitative methods, in particular: typology of Regent/City, spatial autocorrelation, overlay
analysis, and structural transformation. The study finds: (1) there are 4 cities as the growth pole; (2) the economics growth
concentration concentrated geographically in the eastern and western;
p) the mining sector is a leading and competitive sector; and (4) structural transformation does not occur
in all districts. Keywords: Growth Pole; Typology of Regent/City; Spatial Autocorrelation (Moran’s I and G
Statistics); Overlay Analysis; Structural Transformation

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kabupaten/kota di Pulau Kalimantan yang akan menjadi pusat
pertumbuhan dan apakah terdapat autokorelasi spasial di 55 kabupaten/kota selama periode 2000–2012. Data
dalam penelitian ini berupa data sekunder yang dikumpulkan dari data sosial ekonomi 55 kabupaten/kota
menggunakan metode kuantitatif deskriptif dan alat analisis: tipologi Kabupaten/Kota, autokorelasi spasial,
analisis overlay, dan transformasi struktural. Hasil penelitian menunjukkan: (1) terdapat empat kota sebagai
pusat pertumbuhan; (2) konsentrasi pertumbuhan ekonomi tersebar di bagian timur dan barat Pulau
Kalimantan; (3) sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor unggulan dan kompetitif; dan (4)
transformasi struktural tidak terjadi di seluruh kabupaten/kota.
Kata kunci: Pusat Pertumbuhan; Tipologi Kabupaten/Kota; Autokorelasi Spasial (Moran’s I dan Statistik G);
Analisis Overlay; Transformasi Struktural

Kode Klasifikasi JEL: R11; R12

Pendahuluan yang dilakukan secara terencana. Todaro & Smith


(2006: 22) mendefiniskan pembangunan ekonomi
Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah se- adalah suatu proses yang bersifat multidimensio-
kedar fenomena ekonomi semata. Pembangunan nal, melibatkan perubahan-perubahan besar, baik
tidak sekedar ditunjukkan oleh prestasi pertumbuh- terhadap perubahan struktur ekonomi, perubah-
an ekonomi yang dicapai oleh suatu negara, namun an sosial, mengurangi kemiskinan, ketimpangan,
lebih dari itu, pembangunan memiliki perspektif yang dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan
luas. Pembangunan adalah proses perubah-an ke ekonomi.
arah kondisi yang lebih baik melalui upaya
Tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu da-
erah dapat dilihat dari pencapaian pertumbuhan
(m) Alamat Korespondensi: Bappeda Kotawaringin ekonomi yang tinggi dan kesenjangan pendapatan
Timur, Jl. Jend. Sudirman Km. 5,5 Sampit, Kalimantan
Tengah. E-mail: mcy.pratiwi@yahoo.co.id. antar-penduduk dan antar-sektor yang semakin ke-
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
82 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

cil. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi spasial pembangunan ekonomi Indonesia.


suatu daerah ditunjukkan oleh pertumbuhan eko-
nomi. Pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan Pulau Kalimantan merupakan pusat pembangun-an
pendapatan masyarakat secara keseluruhan seba- di Wilayah Timur Indonesia yang memiliki posi-si
gai cerminan kenaikan seluruh nilai tambah (value strategis bagi kerja sama antar-daerah. Dengan
added) yang tercipta di suatu wilayah. Suatu pereko- potensi sumber daya alam yang besar berupa ke-
nomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau unggulan kompetitif pada sektor pertambangan,
perkembangan jika tingkat kegiatan perekonomian- kehutanan, perkebunan, serta perikanan laut dan
nya meningkat atau lebih tinggi dibanding dengan darat, membuat Pulau Kalimantan dianggap seba-
tahun sebelumnya. Kebijakan pemerintah dalam gai kekuatan ekonomi dan sosial di Kawasan Timur
meningkatkan pertumbuhan ekonomi seringkali tidak Indonesia. Walaupun sumbangan Produk Domes-tik
diimbangi pemerataan sehingga menimbul-kan Regional Bruto (PDRB) Kalimantan terhadap produk
berbagai dilema dalam pembangunan nasional dan domestik bruto (PDB) Indonesia lebih ting-gi
justru memperlebar kesenjangan antar-wilayah serta dibanding tiga wilayah lain di Kawasan Timur
menimbulkan permasalahan ekonomi yang berlapis- Indonesia, tetapi hasil pembangunan di Pulau Ka-
lapis. limantan belum mampu meningkatkan kesejahte-
Pertumbuhan ekonomi yang diarahkan pada daerah- raan masyarakatnya, sebagaimana tercermin dari
daerah yang memiliki potensi dan fasili-tas wilayah masih banyaknya keluarga miskin, penganggur-an,
akan mempercepat terjadinya kemaju-an ekonomi. dan meningkatnya ketimpangan antar-daerah
Salah satu kebijakan pemerintah da-lam (Kuncoro & Idris, 2010: 173).
meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah melalui
pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah Berdasarkan keadaan tersebut, beberapa perta-
merupakan upaya pembangunan suatu wilayah nyaan akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: (1)
untuk memeratakan pertumbuhan wila-yah dan sejauh mana perkembangan perekonomian wila-yah
mengurangi kesenjangan antar-wilayah dengan Kalimantan selama periode 2000–2012? (2) di mana
memanfaatkan berbagai sumber daya alam, sumber lokasi pusat-pusat pertumbuhan menurut
daya manusia, sumber daya kelembagaan, sumber kabupaten/kota? (3) di mana letak konsentrasi per-
daya teknologi dan prasarana fisik seca-ra efektif, tumbuhan di sekitar pusat-pusat pertumbuhan? (4)
optimal, dan berkelanjutan. Pendekatan sektor-sektor apakah yang menjadi sektor unggul-an
pembangunan pengembangan wilayah dapat di- dan kompetitif di kabupaten/kota? (5) apakah terjadi
lakukan dengan menetapkan kota atau wilayah transformasi struktural atau tidak di seluruh
tertentu menjadi pusat pertumbuhan (growth po-le). kabupaten/kota? dan (6) masukan kebijakan apa
Pusat pertumbuhan merupakan salah satu cara yang diperlukan dalam peningkatan pertumbuhan
untuk menggerakkan dan memacu pembangunan ekonomi dan percepatan pembangunan di wilayah
guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kalimantan?
Penerapan konsep pusat pertumbuhan secara mikro
untuk wilayah tertentu telah berkembang dengan Penelitian ini secara teknis bertujuan: (a) meng-
pesat. Perkembangan ini terlihat dengan makin identifikasi pusat-pusat pertumbuhan di wilayah
banyaknya daerah-daerah di Indonesia me- Kalimantan menurut kabupaten/kota; (b) mengeta-
nerapkan kegiatan pembangunan wilayah, seper-ti hui konsentrasi pertumbuhan yang terjadi di sekitar
pola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpa-du daerah pusat-pusat pertumbuhan; (c) mengiden-
(KAPET), Kawasan Sentra Produksi (KSP), Ka- tifikasi potensi pengembangan perekonomian di
wasan Masyarakat Industri dan Perkebunan (KIM- wilayah Kalimantan; (d) mengetahui sektor-sektor
BUN), dan yang terbaru yaitu Masterplan Perce- unggulan dan kompetitif di kabupaten/kota; (e)
patan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indo- mengetahui kesesuaian penentuan rencana pem-
nesia (MP3EI). Percepatan dan Perluasan Pemba- bangunan koridor ekonomi (KE) dalam naskah
ngunan Ekonomi Indonesia diselenggarakan ber- Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangun-
dasarkan pendekatan pengembangan pusat-pusat an Ekonomi Indonesia (MP3EI); dan (f) memberi-kan
pertumbuhan ekonomi, baik yang telah ada mau-pun arah kebijakan pembangunan ekonomi di ting-kat
yang baru. Bertujuan untuk memaksimalkan regional (Kalimantan) dalam kaitannya dengan
keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan ke- upaya mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan
unggulan daerah, serta memperbaiki ketimpangan mengurangi kesenjangan antar-daerah.
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 83

Tabel 1: Peran Wilayah/Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional Tahun 1978–2012 (dalam persen)

Pulau 1978 1983 1988 1993 1998 2003 2008 2012


Sumatera 27,6 28S,7 24,9 22,8 22 22,4 21,4 20,9
Jawa 50,6 53,8 57,4 58,6 58 59,3 60,9 61,4
Kalimantan 10,2 8,7 8,9 9,2 9,9 9,3 8,8 8,4
Sulawesi 5,5 4,2 4,1 4,1 4,6 4,2 4,6 5,0
Bali dan Nusa Tenggara 3,1 2,8 3,0 3,3 2,9 2,8 2,7 2,6
Maluku dan Papua 2,9 1,8 1,7 2,0 2,5 2,0 1,6 1,7
Sumber: BPS (1978–2012), diolah

Tinjauan Literatur serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih


bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Teori
Perroux (1950) dalam Muta’ali (1999: 3) mengemu- Lewis diakui sebagai teori umum yang mem-bahas
kakan sebuah Teori Pusat Pertumbuhan (Growth proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga
Pole) yang menjadi dasar dari strategi kebijakan yang mengalami kelebihan penawaran tena-ga kerja
pembangunan yang banyak dipakai di berbagai (Todaro & Smith, 2003: 116).
negara dewasa ini. Pusat pertumbuhan berawal dari Diduga, terjadi transformasi struktur ekonomi di
fakta bahwa pertumbuhan tidak muncul di berbagai Pulau Kalimantan. Hal ini dapat dilihat dari
daerah dalam waktu yang sama, tetapi hanya terjadi perubahan sumbangan sektor industri pengolah-an
di beberapa tempat yang disebut seba-gai pusat ke sektor keuangan/persewaan dan jasa peru-
pertumbuhan dengan intensitas berbeda. Konsep sahaan terhadap PDRB Pulau Kalimantan. Tabel 3
dasar dari teori ini adalah bahwa kegiatan ekonomi menunjukkan bahwa selama kurun waktu ta-hun
di suatu daerah cenderung beraglomerasi atau 2000–2012, pertumbuhan sektor industri pe-
terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu yang ngolahan kalah cepat dibandingkan dengan sektor
mempunyai keuntungan lokal. keuangan/persewaan yang cenderung naik. Sum-
Berdasarkan interpretasi spasial yang dikemukan bangan sektor industri pengolahan yang semula
beberapa ahli terhadap konsep pusat pertumbuh-an sebesar 32,84% pada tahun 2000 turun sekitar 45%
(seperti Myrdal (1957), Boudville (1966), dan menjadi 17,96% pada tahun 2012. Sektor keuang-
Friedmann (1972) dalam Muta’ali (1999: 3)), da-pat an/persewaan dan jasa perusahaan yang semula
disimpulkan bahwa pusat pertumbuhan dapat menyumbang 2,61% pada tahun 2000 naik 74%
mendorong spread e ect atau trickling down e ect menjadi 4,53% pada tahun 2012.
dan backwash e ect atau polarization e ect terhadap
daerah di sekitarnya. Pengaruh tersebut dapat ber-
upa pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif Metode
terhadap perkembangan daerah sekitarnya disebut
spread e ect. Contohnya, seperti terbukanya kesem- Penelitian ini dilakukan di Pulau Kalimantan yang
patan kerja, banyaknya investasi yang masuk, upah mencakup 4 provinsi, 9 kota, dan 46 kabupaten
buruh semakin tinggi, dan penduduk dapat mema- dengan periode amatan tahun 2000–2012. Varia-
sarkan bahan mentah. Sedangkan pengaruh negatif bel yang digunakan pada penelitian ini meliputi
disebut backwash e ect. Contohnya, adalah adanya tiga indikator sosial ekonomi kabupaten/kota,
ketimpangan wilayah, kriminalitas dan kerusakan yaitu PDRB non-minyak dan gas (non-migas),
lingkungan meningkat. pertum-buhan ekonomi, dan jumlah penduduk.
Penelitian tentang kutub pertumbuhan telah ba- Data dalam penelitian ini berupa data sekunder
nyak dilakukan. Sebagai pembanding, diuraikan yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dengan
beberapa penelitian terdahulu yang relevan rentang waktu tahun 2000–2012.
dengan penelitian ini dalam Tabel 2.
Menurut Lewis dalam teorinya, yaitu model dua
Metode Analisis Data
sektor Lewis (Lewis two-sector model), di negara
ber-kembang terjadi transformasi struktur perekono- Teknik analisis data yang digunakan dalam pene-
mian dari pola perekonomian pertanian subsisten litian ini adalah analisis kuantitatif deskriptif de-ngan
tradisional ke perekonomian yang lebih modern, dan beberapa alat analisis, yaitu Tipologi Kabupa-
lebih berorientasi pada kehidupan perkotaan, ten/Kota, Analisis Overlay, Transformasi Struktural,
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
84 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

Tabel 2: Hasil Penelitian tentang Kutub dan Pusat Pertumbuhan

No. Peneliti/Tahun Alat Analisis Hasil Penelitian


Penelitian di Luar Negeri
1 Sridhar (2006) Analisis Regresi Linier Berganda Di India, jumlah penduduk di provinsi dan poten-
si pertumbuhannya signifikan terhadap status aktual
dari kutub pertumbuhan.
2 Kubis et al. (2007) Analisis Cluster, Cross-Sectional Models, Spatial Models, Daerah metropolitan Jerman dan 22 daerah NUTS3
Treatment E ect Models (Nomenclature des Unites Territoriales Statistiques: ka-
bupaten, kabupaten-kota bebas, dan negara-negara
bagian Berlina dan Hamburg) adalah kutub pertum-
buhan terkuat. Sektor sekunder memberi efek spillo-
ver tinggi bagi daerah tetangga.
3 Adams-Kane & Lim (2011) Regresi OLS dan GMM Polaritas pertumbuhan merupakan variabel penjelas
dalam pertumbuhan lintas negara untuk menguji se-
jauh mana limpahan pertumbuhan yang dihasilkan
dari kutub pertumbuhan dunia.
4 Ogunleye (2011) Polaritas Pertumbuhan dan Analisis Cluster Afrika Selatan, Botswana, Nigeria, Angola, dan Ke-
nya merupakan kutub-kutub pertumbuhan yang pa-
ling konsisten di Sub Sahara Afrika. Ghana, Kame-
run, Ethiopia, Tanzania, dan Guinea adalah daerah-
daerah pusat pertumbuhan potensial di Sub-Saharan
Africa (SSA).
5 Mushuku & Takuva (2013) Kuesioner, Wawancara, Observasi Lapangan, dan Do- Pertumbuhan industri di Nemamwa-Zimbabwe (ti-
kumen tik pertumbuhan) berjalan lambat yang disebabkan
oleh kurangnya modal, informasi, area kerja, tingkat
kepemilikan, dan sewa yang tinggi.
Penelitian di Dalam Negeri
6 Muta’ali (2003) Teknik pembobotan, Analisis Guttman, Skalogram Desa-desa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Indeks Sentralitas. Analisis Location Quotient, dan memiliki aksesibilitas lokasi cukup baik, dengan sis-
Analisis Statistik Korelasi Spearmann tem spasial hirarki pelayanan yang menunjukkan ge-
jala primasi dan kesenjangan. Basis kegiatan
ekonomi terletak pada sektor pertanian dengan
dukungan sek-tor jasa, perdagangan, dan industri.
7 Sugiyanto (2010) Perhitungan nilai/score terhadap Variabel/sub- Dipilih 5 kecamatan yang potensial dikembangkan
variabel dan Indikator sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, yaitu Kecamat-an
Bulik, Kecamatan Lamandau, Kecamatan Delang,
Kecamatan Belantikan Raya, dan Kecamatan Sematu
Jaya. Sektor ekonomi yang potensial di Kabupaten La-
mandau adalah perkebunan, khususnya perkebunan
kelapa sawit, hasil hutan, serta pertambangan (mine-ral
dan batu bara).
8 Danastri (2011) Analisis Basis Ekonomi, Analisis Gravitasi, Analisis Kelurahan Kecapi, Kelurahan Harjamukti, dan Kelu-
Skalogram, dan Metode Overlay rahan Larangan berpotensi sebagai pusat
perdagang-an dan jasa, pendidikan, pemukiman,
dan kesehatan. Kelurahan Kalijaga berpotensi
sebagai pusat pelayan-an pemerintah. Kelurahan
Argasunya berpotensi se-bagai pusat pemukiman.
9 Ardila (2012) Analisis Skalogram dan Indeks Sentralitas, Metode Diperoleh 6 kecamatan di Kabupaten Banjarnegara
Gravitasi, Analisis Tipologi Klassen, dan Analisis Lo- sebagai pusat pertumbuhan yang saling berinterak-
cation Quotient si dengan kecamatan di sekitarnya. Kondisi pereko-
nomian dan sektor basis di tiap kecamatan berbeda-
beda.
10 Pamungkas (2013) Autokorelasi Spasial (Moran’s I) dan Spillover E ects Kutub-kutub pertumbuhan di Koridor Ekonomi (KE)
Sulawesi tidak selalu berada di pusat ibukota pro-
vinsi sebagaimana ditetapkan dalam MP3EI. Kutub-
kutub pertumbuhan terdapat di Makasaar,
Sidenreng, Rappang, Wajo, Soppeng, Pinrang,
Jeneponto, Banta-eng, Selayar, Gorontalo,
Morowali, Banggai, Buton, dan Wakatobi .
11 Rahayu & Santoso (2014) Analisis Scalogram dan Tipologi Klassen Terdapat 4 kecamatan sebagai pusat pertumbuhan
di Kabupaten Gunung Kidul, yaitu Kecamatan
Wonosa-ri, Playen, Semanu, dan Karangmojo.

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104


Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 85

Tabel 3: Perbandingan Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Pulau Kalimantan
Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2000–2012 (dalam persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2004 2008 2012


1 Pertanian 14,87 15,13 14,89 14,58
2 Pertambangan dan Penggalian 25,89 26,61 28,12 29,37
3 Industri Pengolahan 32,84 28,9 22,77 17,96
4 Listrik, Gas, dan Air 0,31 0,35 0,38 0,41
5 Bangunan 3,74 4,07 4,93 5,63
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 10,48 11,54 12,5 13,69
7 Pengangkutan dan Komunikasi 4,99 5,45 6,82 7,61
8 Keuangan/Persewaan dan Jasa Perusahaan 2,61 2,97 3,88 4,53
9 Jasa-jasa 4,27 4,97 5,71 6,23
Sumber: BPS (2000–2012), diolah

dan Autokorelasi Spasial (Moran’s I dan statistik G). sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasi-
al. Adanya autokorelasi spasial mengindikasikan
bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh
Tipologi Kabupaten/Kota nilai atribut tersebut pada daerah lain yang letaknya
Tipologi kabupaten/kota merupakan salah satu alat berdekatan (bertetangga). Dalam ruang lingkup
analisis ekonomi regional yang digunakan untuk analisis spasial, keterkaitan antar-wilayah dapat
mengetahui gambaran tentang pola dan struktur dipandang sebagai hubungan positif atau negatif.
pertumbuhan suatu daerah. Daerah dapat diklasi- Hubungan positif terjadi bila wilayah de-ngan
fikasikan berdasarkan dua indikator utama, yaitu karasteristik tertentu berada pada lingkungan yang
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan (PDRB) per memiliki karasteristik sama dengan wilayah tersebut.
kapita suatu daerah dengan menentukan rata-rata Sementara hubungan negatif terjadi bila wilayah
pertumbuhan ekonomi pada sumbu vertikal dan rata- dengan karasteristik tertentu berada pa-da
rata PDRB per kapita pada sumbu horizon-tal. Ada lingkungan dengan karasteristik yang berbeda
empat klasifikasi daerah dalam tipologi dengan wilayah tersebut.
kabupaten/kota yaitu: (1) daerah cepat maju dan Autokorelasi spasial adalah suatu penaksiran ko-
tumbuh, yaitu daerah yang memiliki tingkat per- relasi antara suatu variabel terhadap dirinya dalam
tumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang suatu wilayah. Suatu variabel dikatakan autokore-lasi
tinggi; (2) daerah berkembang cepat, yaitu daerah jika suatu variabel spasial X dengan observasi x1;
yang memilik tingkat pertumbuhan ekono-mi tinggi, x2; : : : ; xn terbukti saling memengaruhi antar-
tetapi pendapatan per kapitanya rendah; wilayah. Karakteristik dari autokorelasi spasial ada-
(l) daerah maju tapi tertekan, yaitu daerah yang lah sebagai berikut. Pertama, jika terdapat pola sis-
memiliki pendapatan per kapita yang tinggi, tetapi tematis pada distribusi spasial dari variabel yang
tingkat pertumbuhan ekonominya rendah; dan (4) diamati, maka terdapat autokorelasi spasial. Kedua,
daerah daerah tertinggal, yaitu daerah yang jika variabel daerah terdekat (neighboring regions)
memi-liki tingkat pertumbuhan ekonomi dan memiliki kemiripan karakteristik, maka terdapat
pendapatan per kapita yang rendah. autokorelasi spasial positif. Ketiga, jika variabel da-
erah terdekat (neighboring regions) tidak memiliki
kemiripan karakteristik, maka terdapat autokore-lasi
Autokorelasi Spasial spasial negatif. Dan keempat, pola random/acak
Menurut Lembo (2006) dalam Kartika (2007: 1), menunjukkan bahwa tidak ada autokorelasi spasial.
ke-terkaitan spasial atau autokorelasi spasial Sebagai ilustrasi dapat terlihat pada Gambar 1.
terjadi karena adanya interaksi antar-wilayah atau Moran’s I merupakan metode yang digunakan
sua-tu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu sebagai identifikasi karakteristik pola spasial dalam
ruang (jarak, waktu, dan wilayah). Interaksi ini me- tiga bentuk meliputi pemusatan (clustering), acak
refleksikan kondisi yang mana nilai pengamatan (random), dan terpisah (uniform). Moran’s I diguna-
di wilayah i dipengaruhi oleh nilai pengamatan di kan untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi
wilayah sekitarnya, misalnya wilayah j (i j). Jika spasial suatu wilayah. Metode Moran’s I terdiri dari
terdapat pola sistematik di dalam penyebaran dua cara, yaitu Moran’s I global dan Moran’s I
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
86 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

Gambar 1: Pola Spasial dari Variabel Kewilayahan


Sumber: Kosfeld (2006)

lokal. Moran’s I global adalah analisis spasial tunjukkan melalui overlay antara Rasio Pertumbuh-
pada skala yang luas, sedangkan Moran’s I lokal an Wilayah Referensi (RPR), Rasio Pertumbuhan
atau Local Indicator of Spatial Autocorrelation Wilayah Studi (RPs), dan LQ. Koefisien dari ketiga
(LISA) adalah kuantifikasi autokorelasi dalam komponen tersebut disamakan satuannya dengan
wilayah yang lebih kecil. Pada penelitian ini diberikan notasi positif (+) yang berarti koefisien
penulis menggunakan metode Moran’s I lokal. komponen bernilai lebih dari satu dan negatif (-)
LISA menyediakan informasi detail dalam klas-terisasi berarti kurang dari satu.
spasial terkait dengan nilai Moran’s I lokal dan statistik
Getis-Ord G (Kosfeld, 2006: 55; Kosfeld, 2011). Identifikasi sektor-sektor unggulan dari hasil over-
Dengan menggunakan program Open GeoDa diperoleh lay, yang dibedakan dalam tiga kriteria, adalah se-
informasi mengenai klasterisasi spasial di tingkat lokal bagai berikut. Pertama, RPR, RPs, dan Static
(antar-daerah yang berdekatan). Out-put yang Location Qoutient (SLQ) ketiganya bernilai positif
dihasilkan berupa LISA cluster map atau peta klaster (+), berarti sektor tersebut mempunyai pertumbuhan
spasial yang menunjukkan adanya klas-ter spasial sektoral tinggi di wilayah referensi dan pertumbuhan
dengan konsentrasi tinggi atau rendah. Sedangkan G ser-ta kontribusi sektoral di wilayah penelitian juga
statistics atau statistik G merupakan suatu ukuran dari lebih tinggi dari wilayah referensi, artinya sektor ini di
konsentrasi lokal spasial yang mengindikasikan adanya wilayah penelitian memiliki potensi daya saing
klasterisasi spasial ting-gi (hot spot) atau klasterisasi kompetitif dan komparatif yang lebih unggul
spasial rendah (cold spot), serta untuk melihat dibandingkan dengan kegiatan yang sama di wi-
kekuatan atau konsentrasi pertumbuhan pada klaster layah referensi. Dengan kata lain, sektor tersebut
yang terbentuk. menonjol baik di wilayah referensi maupun di wila-
yah penelitian. Kedua, hasil overlay yang menunjuk-
kan nilai negatif (-) pada RPR sedangkan RPs dan
Analisis Overlay SLQ bernilai positif (+), artinya bahwa kegiatan
sektoral di wilayah penelitian lebih unggul dari ke-
Model ini digunakan untuk menentukan sektor-sektor giatan yang sama di wilayah referensi, baik dari sisi
unggulan dengan menggabungkan pende-katan alat pertumbuhan maupun kontribusinya, tetapi per-
analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) dan tumbuhan sektoralnya rendah atau tidak menonjol di
Location Qoutient (LQ). Tujuannya adalah untuk wilayah referensi. Dengan kata lain bahwa sektor
melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang poten-sial tersebut merupakan sektor spesialis di wilayah pe-
berdasarkan kriteria kontribusi (analisis LQ) dan nelitian. Dan ketiga, RPR, RPs, dan SLQ ketiganya
kriteria rasio pertumbuhan wilayah (analisis MRP). bernilai negatif (-), artinya bahwa sektor tersebut
Identifikasi kegiatan-kegiatan unggulan di- kurang memiliki daya saing kompetitif maupun

JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104


Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 87

komparatif yang unggul dibandingkan kegiatan ekonomi yang terjadi secara terus-menerus dapat
yang sama di wilayah referensi. menyebabkan terjadinya perubahan dalam struk-tur
Metode LQ terdiri dari 2 jenis yaitu: SLQ dan perekonomian wilayah. Perubahan struktural dalam
Dynamic Location Qoutient (DLQ). Rumus SLQ pertumbuhan ekonomi modern atau transfor-masi
(Kun-coro & Idris, 2010: 177) adalah: struktural dapat diartikan sebagai suatu pro-ses
perubahan struktur perekonomian dari sektor
qi{qr
pertanian ke sektor non-pertanian atau dari sektor
SLQ industri ke sektor jasa, yang mana masing-masing
Qi{Qn (1)
sektor akan mengalami proses transformasi yang
dengan:
berbeda-beda. Proses perubahan struktur ekonomi
SLQ : koefisien SLQ; terkadang diartikan sebagai proses industrialisa-si.
qi : nilai output (PDRB) sektor i daerah r (kabupa- Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui
ten/kota); kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur da-
qr : PDRB total semua sektor di daerah r (provinsi); lam permintaan konsumen, total PDRB, ekspor, dan
Qi : nilai output (PDRB) sektor i nasional; kesempatan kerja.
Qn : PDRB total di semua sektor secara nasional. Untuk mengukur seberapa cepat suatu dae-rah
mengalami transformasi perekonomian, da-pat
Sedangkan DLQ adalah modifikasi dari SLQ de-
menggunakan Indeks Transformasi Struktu-ral
ngan mengakomodir laju pertumbuhan keluaran (ITS) (Hill et al. (2009) dalam Kuncoro & Idris,
sektor ekonomi dari waktu ke waktu. Rumus DLQ 2010: 179). ITS digunakan untuk melihat
(Kuncoro & Idris, 2010: 178): pergeser-an peran masing-masing sektor
p1 gi jq{p1 gjq IPPSi j terhadap PDRB kabupaten/kota.
Rumus ITS (Kuncoro & Idris, 2010: 179) adalah:
DLQi j p1 Giq{p1 Gjq IPPSi (2)
dengan: ITS ¸|shareitahun terakhir shareitahun awal| (3)
dengan:
DLQi j : indeks potensi sektor i di regional;
gi j : laju pertumbuhan sektor i di regional; 5. : 9 sektor
(k) j : rata-rata laju pertumbuhan sektor di ekonomi; ° : jumlah;
regional; Gi : laju pertumbuhan sektor i di sharei : sumbangan sektor ke-i.
nasional;
G : rata-rata laju pertumbuhan sektor nasional di
nasional;
Hasil dan Analisis
IPPSi j : indeks potensi pengembangan sektor i di
regional;
IPPSj : indeks potensi pengembangan sektor i di
Capaian Pembangunan Pulau
nasional. Kaliman-tan
Pulau Kalimantan adalah sebuah pulau yang ter-
Tabel 4: Klasifikasi Sektor Berdasarkan Gabungan letak di bagian tengah Indonesia dan merupakan
Nilai SLQ dan DLQ pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland
dan Papua. Pulau Kalimantan merupakan pulau ter-
Kriteria SLQ ¡ 1 SLQ 1 besar kedua di Indonesia dengan luas seluruhnya
DLQ ¡ 1 Unggulan Andalan 2
DLQ 1 Prospektif Tertinggal 546.559,76 km atau 29,38% luas wilayah Indone-
Sumber: Kuncoro & Idris (2010: 178) sia. Secara administratif, Pulau Kalimantan terbagi
dalam 4 provinsi dengan 48 kabupaten dan 9 kota.
Perkembangan pembangunan di Pulau Kaliman-tan
dapat diukur melalui perbandingan bebera-pa
Transformasi Struktural
indikator ekonomi sosial seperti Indeks Pemba-
Pembangunan merupakan suatu proses transfor- ngunan Manusia (IPM), laju pertumbuhan ekonomi,
masi yang ditandai dengan perubahan struktural, angka penggangguran, dan angka kemiskinan. Ki-
yakni perubahan yang terjadi pada landasan kegi- nerja pembangunan ekonomi di Pulau Kalimantan
atan ekonomi dan pada kerangka susunan ekono- JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
mi masyarakat yang bersangkutan. Pertumbuhan
88 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

Gambar 2: Perbandingan Tiga Indikator Sosial Ekonomi Pulau Kalimanta Tahun 2008–2012
Sumber: BPS (2008–2012), diolah

Gambar 3: Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Pulau Kalimantan Tahun 2008–2012


Sumber: BPS (2008–2012), diolah

JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104


Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 89

selama lima tahun terakhir menunjukkan perubah-an Klasifikasi Wilayah dan Penentuan
yang cukup baik (Gambar 2 dan Gambar 3). Hal ini Pusat Pertumbuhan
ditunjukkan dari nilai pertumbuhan ekono-mi yang
mengalami perubahan cukup signifikan, namun nilai Tipologi Kabupaten/Kota
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) cenderung
Berdasarkan hasil analisis Tipologi Kabupaten/Kota
meningkat, sedangkan angka penggang-guran
(non-migas) di Pulau Kalimantan (Gambar 5) di-
(Tingkat Pengangguran Terbuka/TPT) dan angka
peroleh bahwa 14 kabupaten/kota termasuk dalam
kemiskinan cenderung menurun.
daerah cepat maju dan tumbuh, 8 kabupaten/kota
merupakan daerah berkembang cepat, 5 kabupa-
ten/kota termasuk dalam daerah maju tertekan, dan
Pulau Kalimantan memiliki posisi yang cukup 28 daerah merupakan daerah tertinggal. Mayori-tas
strategis di koridor nasional, regional ASEAN, dan kabupaten/kota yang termasuk dalam daerah maju
global. Dalam konteks nasional, Pulau Kalimantan cepat tumbuh berasal dari Provinsi Kaliman-tan
memiliki potensi sumber daya alam yang cukup Timur, sedangkan mayoritas daerah tertinggal
besar dengan keunggulan kompetitif pada sektor berasal dari Provinsi Kalimantan Tengah.
pertambangan (minyak, gas, emas, batu bara), ke- Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah su-atu
hutanan (kayu), perkebunan (sawit, karet), serta lokasi yang memiliki banyak fasilitas dan ke-
perikanan laut dan darat. Pulau Kalimatan juga mudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of
memiliki kekayaan cadangan minyak bumi, gas, batu attraction), yang menyebabkan berbagai macam
bara, dan biji besi terbesar di Indonesia, serta usaha tertarik untuk melakukan kegiatan ekonomi di
kawasan hutan produksi terluas di Indonesia. Dari tempat tersebut dan masyarakat senang datang
produktivitasnya, wilayah Kalimantan berada di untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di kota ter-
nomor empat sebagai produsen bauksit terbesar di sebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi
dunia dan pengekspor batu bara di beberapa nega- antara usaha-usaha (Tarigan (2005) dalam Sugiyan-
ra ASEAN. Hasil perkebunan kelapa sawit wilayah to, 2010: 204). Sebagaimana data yang diperoleh
Kalimantan menjadi salah satu potensi yang da-pat dari Bappenas (2012), pusat-pusat pertumbuhan
memberikan kontribusi pada tingkat nasional ekonomi di Pulau Kalimantan terdapat di empat ibu
maupun ASEAN. kota provinsi, yaitu kota Pontianak, Palangka-raya,
Banjarmasin, dan Samarinda. Keempat kota
tersebut merupakan pusat kegiatan-kegiatan eko-
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 32 Tahun nomi utama di KE Kalimantan dan Pusat Kegiatan
2011, Pemerintah Indonesia menyusun Masterplan Nasional (PKN). PKN adalah kawasan perkotaan
Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala inter-
Indonesia (MP3EI). Masterplan ini berisi arahan nasional, nasional, atau beberapa provinsi. Selain
strategis dalam percepatan dan perluasan ekonomi itu, terkait dengan naskah MP3EI 2011–2015,
Indonesia untuk periode 15 tahun dari tahun 2011 Peme-rintah telah menetapkan ibu kota-ibu kota
sampai 2025. Berkaitan dengan MP3EI tersebut, se- provinsi di Indonesia sebagai pusat pertumbuhan
suai dengan kondisi sumber daya dan geografis ekonomi di masing-masing koridor ekonomi. Hal ini
Pulau Kalimantan, tema pengembangan Koridor sema-kin menguatkan bahwa pusat-pusat
Ekonomi Kalimantan dalam MP3EI adalah sebagai pertumbuhan ekonomi di Pulau Kalimantan terdapat
”Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan di empat ibukota Provinsi (Gambar 6).
Lumbung Energi Nasional”. Penetapan Kori-dor
Ekonomi (KE) Kalimantan sebagai pilar energi Autokorelasi Spasial
nasional tidak terlepas dari potensi migas dan ba-tu
bara. Tahun 2008, cadangan minyak mentah dan Moran’s Scatterplot menunjukkan pola hubungan
batu bara di Pulau Kalimantan masing-masing pendapatan per kapita antar-kabupaten/kota. Un-tuk
mencapai 9,3% dan 49,6% dari cadangan batu bara melihat adanya autokorelasi spasial kabupa-ten/kota
nasional. Kegiatan-kegiatan ekonomi utama di Ko- di Pulau Kalimantan, dapat dilihat dari hasil
ridor Ekonomi Kalimantan berpusat di empat kota perhitungan nilai Moran’s I variabel PDRB per
pusat ekonomi, yaitu kota Pontianak, Palangkaraya, kapita. Nilai Moran’s I dalam penelitian ini dihitung
Banjarmasin, dan Samarinda. menggunakan matrik penimbang dengan metoda
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
90 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

Gambar 4: Peta Daya Saing Posisi Strategis Wilayah Pulau Kalimantan di Koridor Nasional, Regional, dan Global
Sumber: Bappenas (2011)

Gambar 5: Tipologi Kabupaten/Kota di Pulau Kalimantan Menurut PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tanpa
Migas Tahun 2000–2012
Sumber: BPS (2000–2012), diolah

JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104


Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 91

Gambar 6: Sebaran Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kalimantan


Sumber: Bappenas (2012)

Gambar 7: Moran’s Scatterplot PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012


Sumber: Hasil Pengolahan dengan GeoDa

JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104


92 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

queen contiquity orde 3. Perlakuan khusus diberikan ten ini bertumpu pada sektor pertambangan dan
pada kabupaten/kota yang tidak memiliki daerah penggalian dengan kontribusi terhadap PDRB Ka-
tetangga (neighborless), yaitu Kota Tarakan. Di kota bupaten Kutai Timur berkisar antara 81% sampai
ini diberikan penambahan daerah terdekat pada 89% selama kurun waktu tahun 2000–2012.
matriks penimbang wilayahnya. Seperti dijelaskan sebelumnya, pusat pertumbuh-an
Berdasarkan hasil Moran’s Scatterplot, diperoleh dapat mendorong spread e ect (pengaruh positif) dan
bahwa terdapat 12 kabupaten/kota termasuk dalam backwash e ect (pengaruh negatif) terhadap dae-rah di
kuadran I (high-high) dan 34 kabupaten/kota dalam sekitarnya. Kabupaten Kutai Timur merupa-kan pusat
kuadran III (low-low). Daerah-daerah yang terma-suk pertumbuhan baru di Provinsi Kalimant-an Timur.
dalam kuadran I dan kuadran III memiliki arti bahwa Kabupaten tersebut mampu memberi pengaruh positif
daerah-daerah dengan PDRB per kapita ting-gi akan atau spread e ect terhadap daerah di sekitarnya,
dikelilingi daerah-daerah dengan PDRB per kapita seperti Kabupaten Berau yang berba-tasan langsung
yang juga tinggi, dan daerah-daerah dengan PDRB dengan Kabupaten Kutai Timur. Hal ini terlihat dari
per kapita rendah akan dikelilingi daerah-daerah PDRB per kapita Kabupaten Berau merupakan tertinggi
dengan PDRB per kapita yang juga rendah. kedua se-Kalimantan setelah Kabupaten Kutai Timur
Kabupaten/kota yang termasuk dalam kuadran I selama periode tahun 2000– 2012. Kontribusi tertinggi
didominasi kabupaten/kota dari Provinsi Kaliman-tan terhadap PDRB berasal dari sektor pertambangan dan
Timur dengan rata-rata PDRB per kapitanya di atas penggalian, yaitu sebesar 60,68% pada tahun 2012.
rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota se- Hal ini didukung pula dengan keberadaan PT. Berau
Kalimantan. Coal, salah satu perusahaan penambangan batu bara
Nilai Moran’s I diperoleh sebesar 0,342711 (po- terbesar di In-donesia. Tiga kabupaten lain yang juga
sitif), artinya terdapat autokorelasi spasial po-sitif berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur dan
antar-kabupaten/kota. Autokorelasi spasi-al positif memiliki nilai LISA tinggi adalah Kabupaten Malinau,
tersebut menunjukkan bahwa antar- Kabupa-ten Kutai Kartanegara, dan Kota Bontang.
kabupaten/kota di Pulau Kalimantan memiliki kee- PDRB per kapita ketiga kabupaten ini masih di bawah
ratan hubungan berdasarkan variabel PDRB per PDRB per kapita Kabupaten Berau. Perekonomi-an
kapitanya. 9 kabupaten/kota di Pulau Kaliman-tan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Malinau
memiliki autokorelasi spasial dan 46 kabupa- bertumpu pada sektor pertambangan dan penggalian,
ten/kota lainnya tidak terdapat autokorelasi sedangkan sektor industri pengolahan merupakan
spasial (Gambar 8). sektor unggulan di Kota Bontang.
Untuk melihat klasterisasi spasial di Pulau Kali-
mantan, digunakanlah LISA Cluster Map. Dari hasil Kabupaten/kota yang memiliki nilai LISA rendah
LISA Cluster Map (Gambar 8) diperoleh dua klaster adalah daerah-daerah yang terletak di bagian timur
yang terbentuk, yaitu di bagian timur dan barat Pulau Provinsi Kalimantan Barat, meliputi Kabupaten Se-
Kalimantan. Hasil ini akan digabung dengan peta kadau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Melawi.
percentil pada Gambar 9 dan diperoleh pusat Kabupaten Sekadau merupakan kabupaten peme-
pertumbuhan baru di Provinsi Kalimantan Timur, karan dari Kabupaten Sanggau, sedangkan Kabu-
yaitu Kabupaten Kutai Timur. Letak geografis Kabu- paten Melawi merupakan kabupaten pemekaran dari
paten Kutai Timur cukup strategis berada pada jalur Kabupaten Sintang. Tiga kabupaten tersebut
poros regional lintas Trans-Kalimantan dan poros memiliki PDRB per kapita terendah se-Kalimantan.
segitiga pertumbuhan BONSA SEMAWA (Bontang- Rendahnya PDRB per kapita daerah-daerah terse-
Samarinda-Sebulu-Muara Wahau), TANRE MAWA but dipengaruhi oleh letak geografis wilayah yang
(Tanjung Redeb-Muara Wahau), dan PANDARONG mana kondisi topografi ketiga wilayah tersebut
(Balikpapan-Samarinda-Tenggarong). Kabupaten sebagian besar berupa perbukitan.
Kutai Timur dikenal sebagai penghasil batu bara Dari hasil G* Cluster Map (Gambar 10) diperoleh
terbesar di Indonesia. Kebutuhan dunia terhadap bahwa klaster di bagian timur Pulau Kalimantan,
sumber daya mineral dan migas yang cukup ting-gi, yang terdiri dari Kabupaten Malinau, Kabupaten
ditambah dengan mulai berkurangnya sumber- Kutai Kartanegara, Kota Bontang, Kabupaten Kutai
sumber mineral dan migas di wilayah lain men- Timur, dan Kabupaten Berau merupakan daerah hot
jadikan Kabupaten Kutai Timur berpeluang besar spot, artinya terdapat konsentrasi pertumbuhan yang
terhadap pasar internasional. Besarnya potensi ba- tinggi di lima daerah tersebut. Klaster yang terdiri
han tambang membuat struktur ekonomi kabupa- dari 3 kabupaten di Provinsi Kalimantan
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 93

Gambar 8: LISA Cluster Map PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012
Sumber: Hasil Pengolahan dengan GeoDa

Gambar 9: Pola Spasial PDRB per Kapita Non-Migas Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012
Sumber: Hasil Pengolahan dengan GeoDa

JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104


94 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

Gambar 10: G* Cluster Map PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012
Sumber: Hasil Pengolahan dengan GeoDa

Barat, meliputi Kabupaten Sekadau, Kabupaten Beberapa sektor ekonomi yang tidak menonjol di Pulau
Sintang, dan Kabupaten Melawi, serta 2 kabupaten Kalimantan akan tetapi di tingkat nasional menonjol,
di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu Kabupaten seperti sektor listrik, gas, dan air bersih serta sektor
Tapin dan Kabupaten Balangan merupakan daerah pengangkutan dan komunikasi yang mana kedua sektor
cold spot, artinya kelima daerah tersebut memiliki tersebut kurang menonjol di Pulau Kalimantan akan
konsentrasi pertumbuhan yang rendah. tetapi di tingkat nasional menonjol. Sektor yang dapat
dipacu menjadi kegi-atan yang dominan adalah sektor
bangunan, sektor perdagangan, sektor keuangan, dan
Analisis Overlay sektor jasa-jasa.
Berdasarkan hasil analisis overlay, Pulau Kaliman- Dari hasil analisis overlay kabupaten/kota diper-
tan sebagaimana ditunjukkan oleh nilai indeks LQ oleh bahwa sektor pertambangan dan penggalian
(yaitu SLQ, rasio pertumbuhan wilayah (RPs), dan bernotasi positif untuk ketiga komponen di lima
rasio pertumbuhan referensi (RPR)) diperoleh bah- kabupaten, artinya sektor ini mempunyai pertum-
wa tidak ada satupun sektor ekonomi di Pulau buhan sektoral yang tinggi di Pulau Kalimantan.
Kalimantan termasuk dalam kriteria pertama yang Pertumbuhan dan kontribusi sektoral di lima kabu-
bernotasi positif untuk ketiga komponen (+++), arti- paten ini juga lebih tinggi (lihat Tabel 7). Dengan
nya bahwa Pulau Kalimantan tidak memiliki sektor kata lain, sektor ini memiliki potensi daya saing
yang mempunyai pertumbuhan dan kontribusi sek- kompetitif dan komparatif yang lebih unggul hanya
toral yang lebih tinggi dari tingkat nasional (Tabel 5). di lima kabupaten, yaitu di Kabupaten Lamandau
Dengan kata lain bahwa Pulau Kalimantan tidak (Provinsi Kalimantan Tengah), Kabupaten Paser,
memiliki sektor dengan potensi daya saing kompe- Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai
titif dan komparatif yang lebih unggul dibanding Timur, dan Kabupaten Berau (Provinsi Kalimantan
kegiatan yang sama di tingkat nasional. Timur).
Perekonomian Pulau Kalimantan ditopang oleh dua
sektor spesialis, yaitu sektor pertanian dan sektor Transformasi Struktural
pertambangan, yang mana kedua sektor ini hanya
menonjol di Pulau Kalimantan. Sektor indus-tri Transformasi struktural merupakan proses peru-
pengolahan merupakan sektor yang memiliki notasi bahan struktur perekonomian dari sektor pertanian
negatif pada ketiga komponen, artinya, sek-tor ini ke sektor industri, perdagangan, dan jasa, yang
tidak potensial di Pulau Kalimantan baik dari kriteria mana masing-masing perekonomian akan menga-
pertumbuhan maupun kriteria kontribusi. lami transformasi yang berbeda-beda. Indeks tran-
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 95

Tabel 5: Hasil Analisis Overlay Pulau Kalimantan (Non-Migas) Tahun 2000–2012

No. Sektor RPR RPs SLQ DLQ Notasi Overlay


1 Pertanian 0,577 1,076 1,395 0,968 -++
2 Pertambangan dan Penggalian 0,908 1,987 4,909 1,399 -++
3 Industri Pengolahan 0,883 0,467 0,471 0,496 ---
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 1,254 0,932 0,699 0,856 +- -
5 Bangunan 1,154 1,105 0,969 1,003 ++-
6 Perdagangan, Hotel, dan restoran 1,043 1,28 0,934 1,048 ++-
7 Pengangkutan dan Komunikasi 2,093 0,637 1,162 0,607 +-+
8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 1,092 1,392 0,484 1,22 ++-
9 Jasa-jasa 0,91 1,409 0,749 1,256 -+-
Sumber: BPS (2000–2012); BPS (2008); BPS (2012), diolah

Gambar 11: Perubahan Struktural Sektoral Kabupaten/Kota di Pulau Kalimantan Tahun 2000–2012
Sumber: Hasil Pengolahan dengan SPSS

JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104


96 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

sformasi struktural (ITS) digunakan untuk melihat komunikasi, sektor keuangan, dan sektor jasa-jasa.
pergeseran peran masing-masing sektor terhadap
PDRB kabupaten/kota. Gambar 11 menunjukkan
bahwa transformasi struktural di Pulau Kaliman-tan Kesimpulan
terjadi di 10 kabupaten/kota yang tersebar di 3
provinsi, kecuali Provinsi Kalimantan Tengah. Ke- Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil
sepuluh kabupaten tersebut adalah Kabupaten Pon- analisis dalam penelitian ini adalah sebagai ber-ikut.
tianak, Kabupaten Melawi, Kota Pontianak, Kabu- Pertama, berdasarkan hasil analisis tipologi
paten Barito Kuala, Kota Banjarmasin, Kabupaten kabupaten/kota dan autokorelasi spasial Moran’s I
Kutai Kartanegara, Kabupaten Malinau, Kabupaten diperoleh bahwa sebagian besar kabupaten/kota di
Bulungan, Kabupaten Nunukan, dan Kota Samarin- bagian timur Pulau Kalimantan termasuk dalam
da. Perubahan struktural tercepat terjadi di Kabu- daerah cepat maju tumbuh. Konsentrasi pertum-
paten Malinau (Provinsi Kalimantan Timur). Hal ini buhan ekonomi di Pulau Kalimantan tersebar di
terlihat dari nilai ITS-nya tertinggi dibandingkan bagian timur dan barat. Klaster di bagian timur Pulau
dengah kabupaten lainnya. Struktur perekonomi-an Kalimantan, meliputi Kabupaten Malinau, Kabupaten
Kabupaten Malinau menunjukkan transformasi dari Kutai Kartanegara, Kota Bontang, Kabu-paten Kutai
sektor pertanian ke sektor pertambangan dan Timur, dan Kabupaten Berau memiliki konsentrasi
penggalian. pertumbuhan hot spot (klasterisasi ting-gi).
Berdasarkan hasil analisis LQ (SLQ dan DLQ) Pulau Sedangkan kabupaten/kota yang terdapat di klaster
Kalimantan tahun 2000–2012 (Tabel 6) diper-oleh bagian barat Pulau Kalimantan, meliputi Kabupaten
bahwa terjadi perubahan kategori beberapa sektor. Sekadau, Kabupaten Sintang, dan Kabu-paten
Nilai SLQ dan DLQ digunakan untuk meli-hat Melawi memiliki konsentrasi pertumbuhan cold spot
apakah sektor-sektor ekonomi termasuk dalam (klasterisasi rendah).
kategori sektor unggulan, prospektif, andalan, atau Kedua, Kota Pontianak, Kota Palangkaraya, Ko-ta
tertinggal. Sektor pertanian mengalami despesi- Banjarmasin, dan Kota Samarinda merupakan pusat
alisasi (penurunan) kategori sektoral dari sektor pertumbuhan ekonomi di Pulau Kalimantan
unggulan menjadi sektor prospektif. Hal ini dise- sebagaimana ditetapkan dalam MP3EI. Pusat-pusat
babkan selama periode tahun 2000–2012, kontribusi pertumbuhan di Pulau Kalimantan tidak selalu bera-
sektor ini menurun sekitar 9,4% di hampir selu-ruh da di pusat ibu kota provinsi. Dua ibu kota provinsi,
kabupaten/kota di Pulau Kalimantan kecuali di Kota yaitu Kota Palangkaraya dan Kota Samarinda mam-
Pontianak (Provinsi Kalimantan Barat). pu menghasilkan spread e ect bagi daerah
Sektor pertambangan dan penggalian mengala-mi sekitarnya dan mendorong munculnya pusat
spesialisasi (peningkatan) kategori sektoral dari pertumbuhan baru, yaitu Kabupaten Kotawaringin
sektor prospektif menjadi sektor unggulan. Dari Barat, Kota Ba-likpapan, dan Kabupaten Kutai
enam kabupaten/kota penyumbang terbesar di sek- Timur, yang mana ketiga kota tersebut termasuk
tor ini, hanya Kabupaten Lamandau dan Kabupaten dalam daerah cepat maju dan tumbuh.
Kutai Kartanegara yang mengalami peningkatan Ketiga, Kabupaten Kotawaringin Barat dalam ska-la
pangsa. Sektor ini mengalami penurunan dalam nasional dan regional mempunyai fungsi sebagai
penyerapan tenaga kerja yang mana rata-rata te- pusat kegiatan disribusi barang dan jasa untuk wi-
naga kerja beralih ke sektor sekunder dan sektor layah sekitarnya sehingga memiliki daya tarik yang
tersier. Walaupun penyerapan tenaga kerja sektor tinggi bagi daerah lain. Kabupaten ini berkembang,
primer mengalami penurunan, tetapi sektor primer selain karena sektor industri pengolahan juga di-
masih merupakan sektor unggulan dan dominan dukung oleh sektor pertanian terutama subsektor
bagi perekonomian Pulau Kalimantan. perkebunan. Keberadaan perkebunan besar kelapa
Sektor bangunan juga mengalami spesialisasi ka- sawit dan dua perusahaan kilang minyak sawit, serta
tegori dari kategori sektor tertinggal menjadi sektor didukung beberapa kawasan strategis, seperti Pusat
andalan. Aktivitas sektor ini berlokasi di Kota Ba- Kegiatan Wilayah (PKW) di Kota Pangkal-an Bun
likpapan dan Kota Bontang (Provinsi Kalimantan dan Kawasan Strategis Ekonomi Sektor Unggulan
Timur). Sektor-sektor yang tidak mengalami peru- Agropolitan (pusat pertanian dan per-ikanan darat) di
bahan kategori adalah sektor industri pengolahan, Kecamatan Pangkalan Lada dan Kumai membuat
sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagang- kabupaten ini layak dijadikan pu-sat pertumbuhan
an, hotel, dan restoran, sektor pengangkutan dan baru. Kota Balikpapan tumbuh
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 97

Tabel 6: Klasifikasi Kategori Sektor Non-Migas Pulau Kalimantan (Berdasarkan Hasil LQ), 2000–2012

No. Sektor Kategori Sektor


2000–2006 2007–2012
1 Pertanian Unggulan Prospektif
2 Pertambangan dan Penggalian Prospektif Unggulan
3 Industri Pengolahan Tertinggal Tertinggal
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih Tertinggal Tertinggal
5 Bangunan Tertinggal Andalan
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran Andalan Andalan
7 Pengangkutan dan Komunikasi Prospektif Prospektif
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Andalan Andalan
9 Jasa-jasa Andalan Andalan
Sumber: BPS (2000–2012); BPS (2008); BPS (2012), diolah

lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain ka-rena dan Lumbung Energi Nasional”.
didukung oleh pertumbuhan koridor ke Kota Samarinda, Dan kelima, transformasi struktural tidak terjadi di
ke selatan melalui Kabupaten Penajam Paser Utara seluruh kabupaten/kota di Pulau Kalimantan. Hal
dan Kabupaten Paser, penambangan ba-tu bara yang ini disebabkan karena tidak semua kabupa-
semakin meningkat, investasi penting untuk pelabuhan ten/kota memiliki potensi sumber daya alam yang
batu bara, dan Kawasan Industri Kariangau di Teluk melimpah. Perubahan struktural tercepat terjadi di
Balikpapan. Kota Balikpapan merupakan salah satu Kabupaten Malinau (Provinsi Kalimantan Timur).
kota tujuan pengembangan PKN di Pulau Kalimantan Perkembangan ekonomi di kabupaten tersebut
yang akan difokuskan sebagai kota perdagangan atau me-nunjukkan transformasi dari sektor pertanian
jasa dengan opti-malisasi infrastruktur udara dan ke sektor pertambangan dan penggalian.
dikembangkan sebagai pusat pelayanan primer di Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan,
samping Kota Banjarmasin dan Kota Pontianak, maka saran yang dapat penulis sampaikan seba-gai
sedangkan Kota Pangkalan Bun (Kabupaten berikut. Pertama, perlu dilakukan evaluasi dan
Kotawaringin Barat) a-kan dikembangkan sebagai pusat penelitian lebih lanjut tentang penetapan ibu kota-ibu
pelayanan tersier. Kabupaten Kutai Timur telah menjadi kota provinsi sebagai pusat pertumbuhan di Koridor
the gateway to north Indonesia dengan didukung Ekonomi Kalimantan mengingat pusat-pusat
pembangunan pelabuhan regional dan internasional pertumbuhan tidak selalu berada di pusat ibu kota
Maloy. Selain itu terdapat Maloy Trans-Kalimantan provinsi sebagaimana ditetapkan dalam MP3EI.
Economic Zo-ne (MTKZ) seluas 32.800 hektar yang Juga perlu mengkaji kembali tentang pene-tapan
merupakan bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus pengembangan kawasan andalan yang be-lum
(KEK) Ma-loy dan salah satu lokus atau pusat optimal dan penetapan daerah tertinggal. Tin-dak
pembangunan dalam pelaksanaan MP3EI Koridor lanjut dari saran ini terkait dengan instansi-
Kalimantan. instansi: Kementerian Koordinator Bidang Pere-
Keempat, berdasarkan hasil analisis overlay Pulau konomian, Bappenas, Kementerian Pembangun-
Kalimantan diperoleh bahwa tidak ada satupun an Daerah Tertinggal.
sektor di Pulau Kalimantan tergolong dalam sek-tor Kedua, tema pembangunan Koridor Ekonomi (KE)
unggulan yang kompetitif dan komparatif di tingkat Kalimantan dalam naskah MP3EI sebagai sen-tra
nasional. Hanya dua sektor yang menonjol di Pulau produksi dan pengolahan hasil tambang dan
Kalimantan dan tergolong dalam sektor spesialis, lumbung energi nasional perlu dievaluasi kembali,
yaitu sektor pertanian dan sektor per-tambangan. mengingat konsentrasi pertumbuhan di Pulau Kali-
Sedangkan dari hasil analisis overlay kabupaten/kota mantan lebih dominan di bagian timur Kalimantan.
diperoleh bahwa sektor pertam-bangan dan Provinsi Kalimantan Timur memang terkenal kaya
penggalian merupakan sektor potensi-al karena akan migas, batu bara, dan industri besar, dan hal ini
memiliki keunggulan-kompetitif, baik di Pulau tidak terjadi bagi daerah-daerah lain seperti di bagian
Kalimantan maupun di lima kabupaten/kota. Hal ini barat dan tengah. Tindak lanjut dari saran ini
sesuai dengan tema pembangunan Koridor Ekonomi terkait dengan instansi-instansi: Kementerian
Kalimantan dalam naskah MP3EI yaitu ”Pusat Koordinator Bidang Perekonomian, Bappenas.
Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang Ketiga, konektivitas di KE Kalimantan masih ter-JEPI

Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104


98 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

kendala dengan belum tersedianya infrastuktur jalan Kotawaringin Barat, Kota Balikpapan, dan Kabupa-ten
yang memadai yang menghubungkan satu da-erah Kutai Timur, dapat diberikan perlakuan khusus seperti
dengan daerah lainnya. Salah satunya adalah meningkatkan pendanaan pembangunan dengan
pembangunan jalan Trans-Kalimantan perbatasan melengkapi sarana dan prasarana di pu-sat
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kaliman- pertumbuhan baru tersebut dan perluasan ja-ringan
tan Tengah yang mengalami kendala terkait dengan transportasi, sehingga para investor swasta dapat
permasalahan tumpang tindih jalan dan ketidakpas- tertarik untuk menanamkan modalnya di wi-layah
tian tentang proses percepatan pembangunan jalur tersebut. Tindak lanjut dari saran ini terkait dengan
rel Kereta Api (KA) Lintas Kalimantan Tengah dan instansi-instansi: Kementerian Koordina-tor Bidang
Kalimantan Timur. Untuk itu, perlu dilakukan pe- Perekonomian, Bappenas, Pemerintah Provinsi,
nataan status lahan dan kebijakan penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten/Kota.
penataan ruang melalui penyusunan tata aturan Keenam, program pembangunan di Pulau Ka-
yang terkait dengan perizinan pemanfaatan ruang limantan harus lebih diarahkan pada program-
yang disepakati oleh semua pihak, baik Pemerintah program yang mendorong kinerja sektor pertanian
1
Pusat, Kementerian sektoral , maupun Pemerintah sehingga tidak mengandalkan pada sektor pertam-
Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tindak lan- bangan dan penggalian mengingat nilai produksi
jut dari saran ini terkait dengan instansi-instansi: sektor migas di Pulau Kalimantan dari tahun ke
Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan tahun cenderung menurun. Penataan dasar yang
Umum, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabu- dapat dilakukan pemerintah daerah adalah mening-
paten/Kota. katkan peran sektor pertanian secara luas melalui
Keempat, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Ko-ta pengembangan komoditas yang memiliki peluang
Balikpapan dapat diusulkan untuk ditetapkan se-bagai ekspor, promosi investasi dan perdagangan, serta
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Koridor Ekonomi mengembangkan kawasan ekonomi terpadu atau-
Kalimantan. Posisi kedua daerah ini sa-ngat strategis pun kawasan ekonomi yang didasarkan pada ke-
berada di jalur jalan Trans-Kalimantan dan memiliki terkaitan antar-sektor ekonomi dan kawasan sentra
beberapa kawasan strategis, seperti Pusat Kegiatan produksi melalui pengembangan sektor unggulan
Wilayah (PKW) di Kota Pangkalan Bun dan Kawasan dan potensial. Pembangunan pertanian di Pulau
Strategis Ekonomi Sektor Ung-gulan Agropolitan (pusat Kalimantan ke depan tidak lagi dilakukan secara
pertanian dan perikanan darat) di Kecamatan tradisional, akan tetapi harus lebih diarahkan kepa-
Pangkalan Lada dan Kumai, serta Kawasan Industri da upaya-upaya untuk peningkatan produktivitas,
Kariangau (KIK) di Balik-papan. Selain itu, kedua mutu, nilai tambah produk (value added), dan daya
daerah tersebut memiliki bandara udara dan pelabuhan saing produk (competitiveness). Selanjutnya secara
yang memudahkan dalam mobilisasi barang untuk proposional, peran migas, pertambangan, dan ke-
tujuan domestik maupun mancanegara (ekspor-impor). hutanan sebagai penopang utama perekonomian
Selain itu, terdapat potensi wisata di Kabupaten dikurangi secara bertahap melalui pengembang-an
Kotawaringin Barat, seperti kawasan suaka alam secara intensif sektor-sektor lainnya sehingga
Taman Nasional Tanjung Puting, Tanjung Keluang, perekonomian wilayah Kalimantan dapat terjamin
Suaka Marga Satwa Sungai Lamandau, dan Hutan keberlanjutannya. Tindak lanjut dari saran ini ter-
Lindung. Bali-kpapan adalah pintu gerbang Provinsi kait dengan instansi-instansi: Pemerintah
Kalimantan Timur dengan potensi daya tarik wisata Provin-si dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
yang tinggi. Dalam lingkup nasional. Kota Balikpapan Ketujuh, memperkuat kemitraan dan koordina-si antar-
ditetap-kan sebagai kota Meeting, Incentive, lembaga pemerintah melalui penyusunan regulasi
Convention, and Exhibition (MICE). Tindak lanjut dari untuk mengatur kerja sama antar-sektor pembangunan
saran ini ter-kait dengan instansi-instansi: dan antar-daerah (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota).
Kementerian Koo-rdinator Bidang Perekonomian, Kerja sama tersebut harus didasari dengan
Bappenas, Peme-rintah Provinsi, Pemerintah kesukarelaan dan tidak cenderung mengedepankan
Kabupaten/Kota. ego kewilayahan. Salah satu kegi-atan yang dilakukan
Kelima, untuk mendukung pembangunan di para Gubernur se-Kalimantan pada tahun 2011 hingga
pusat-pusat pertumbuhan baru, yaitu Kabupaten sekarang adalah Forum Kerja sama Revitalisasi dan
Percepatan Pembangun-an Regional Kalimantan
(FKRP2RK). Dalam forum tersebut telah disepakati
O Kementerian yang membidangi urusan/sektor tertentu. Program Pembangunan
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 99

Bersama Kalimantan yang meliputi bidang infra- di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2003–2007. Jakarta:
struktur, tata ruang, dan sumber daya manusia. Tin- Badan Pusat Statistik.
f) BPS. (2008–2012). Produk Domestik Regional Bruto Tanpa
dak lanjut dari saran ini terkait dengan instansi- Mi-gas Atas Dasar Harga Konstan, Tingkat Kemiskinan,
instansi: Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dan Indeks
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembangunan Ma-nusia (IPM) Menurut Kabupaten/Kota,
Kedelapan, meningkatkan daya tarik investasi da- 2000–2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
g) BPS. (2012). Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-
lam pengembangan komoditi unggulan di daerah Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2008–
tertinggal melalui pemberian insentif dan kemudah- 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
an perizinan, kemudahan akses terhadap lahan bagi h) Danastri, S. (2011). Analisis Penetapan Pusat-Pusat Pertum-
buhan Baru di Kecamatan Harjamukti, Cirebon Selatan.
investor, serta peningkatan ketersediaan infrastruk-
Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
tur. Tindak lanjut dari saran ini terkait dengan i) Kartika, Y. (2007). Pola Penyebaran Spasial Demam
instansi-instansi: Badan Koordinasi Penanaman Berda-rah Dengue di Kota Bogor Tahun 2005. Skripsi.
Modal, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabu- Departemen Stastistika. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
paten/Kota.
Kesembilan, meningkatkan aksesbilitas antar- j) Kosfeld, R. (2006). Spatial Econometrics. Germany: Uni-
versity of Kassel. Diakses dari https://www.uni-kassel.
daerah, khususnya bagi daerah tertinggal dan da- de/fb07/fileadmin/datas/fb07/5-Institute/IVWL/
erah perbatasan melalui peningkatan penyediaan Kosfeld/lehre/spatial/SpatialEconometrics1.pdf. Tanggal
infrastruktur transportasi, penyediaan moda trans- akses 13 Oktober 2014.
portasi perintis pada daerah-daerah yang tidak k) Kosfeld, R. (2011). Data Management and Basic
dapat dijangkau transportasi umum, dan pengem- Mapping with GeoDa. Institut of Economics, University of
Kas-sel. Diakses dari http://studylib.net/doc/6888625/
bangan kerja sama antar-daerah dalam pengem- data-management-and-basic-mapping-with-geoda.
bangan transportasi. Tindak lanjut dari saran ini Tanggal akses 13 Oktober 2014.
terkait dengan instansi-instansi: Kementerian l) Kubis, A., Titze, M., & Ragnitz, J. (2007). Spillover E ects
Pe-kerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, of Spatial Growth Poles - a Reconciliation of Conflicting
Ke-menterian Dalam Negeri, Kementerian Policy Targets?. IWH Discussion Papers Nr. 8/2007. Ger-
Pemba-ngunan Daerah Tertinggal, Badan many: Institut fur¨ Wirtschaftsforschung Halle. Diakses
da-ri http://www.iwh-halle.de/fileadmin/user_upload/
Nasional Pe-ngelola Perbatasan, Pemerintah publications/iwh_discussion_papers/8-07.pdf. Tang-gal
Provinsi, Peme-rintah Kabupaten/Kota. akses 13 Oktober 2014.
m) Kuncoro, M., & Idris, A. N. (2010). Mengapa Terjadi
Grow-th Without Development di Provinsi Kalimantan
Timur?. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 11(2), 172–190.
Daftar Pustaka n) Mushuku, A. & Takuva, R. (2013). Growth Points or
Ghost Towns? Post Independence Experiences of the
Industriali-sation Process at Nemamwa Growth Points in
3. Adams-Kane, J., & Lim, J. J. (2011). Growth Poles and Mul-
Zimbabwe. International Journal of Politics and Good
tipolarity. World Bank Policy Research Working Paper Series,
Governance, 4 (4.4) Quarter IV, 1–27.
5712. The World Bank. Development Economics. Prospect
o) Muta’ali, L. (2003). Studi Penentuan Desa-Desa Pusat
Group. Diakses dari http://documents.worldbank.org/
Per-tumbuhan Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
curated/en/896081468128113149/pdf/WPS5712.pdf.
Maja-lah Geografi Indonesia, 17(1), 33–51.
Tanggal akses 10 September 2014.
4. Ardila, R. (2012). Analisis pengembangan pusat pertum- p) Ogunleye, E. K. (2011). Structural Transformation in Sub-
buhan ekonomi di Kabupaten Banjarnegara. Economics Saharan Africa: The Regional Growth Poles Strategy.
Development Analysis Journal, 1(2), 1–9. Conference Papers. African Economic Confe-rence, 26–
28 October 2011, Addis Ababa, Ethiopia. Diakses dari
5. Bappenas. (2011). Masterplan Percepatan dan Perluasan http://www.uneca.org/sites/default/ files/uploaded-
Pem-bangunan Ekonomi Indonesia 2011–2025. Jakarta: documents/AEC/2011/ogunleye-ssa_
Bappe-nas. Diakses dari http://bappenas.go.id/index.php/ economic_transformation_through_growth_poles_1. pdf.
download_file/view/11060/3437/. Tanggal akses 10 De- Tanggal akses 10 September 2014.
sember 2004. q) Pamungkas, P. B. (2013). Efek Limpahan dari Kutub-
6. Bappenas. (2012). Paparan Deputi Bidang Pengembangan Kutub Pertumbuhan Wilayah Kabupaten dan Kota di
Regional dan Otonomi Daerah Kementerian PPN/Bappenas: Koridor Ekonomi Sulawesi. Tesis. Fakultas Ekonomika
Arah Pengembangan Wilayah Pulau Kalimantan, RPJMN dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
2015– 2019. Jakarta: Bappenas. r) Rahayu, E., & Santoso, E. B. (2014). Penentuan Pusat-Pusat
7. BPS. (1978–2012). Produk Domestik Regional Bruto Pertumbuhan dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten
Atas Dasar Harga Konstan Menurut Provinsi, 1978– Gunungkidul. Jurnal Teknik ITS, 3(2), C290–C295.
2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik. s) Sridhar, K. S. (2006). Local Employment Impact of
8. BPS. (2000–2012). Produk Domestik Regional Bruto Tanpa Growth Centres: Evidence from India. Urban Studies,
Migas Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/Kota, 43(12), 2205– 2235.
2000–2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. t) Sugiyanto. (2010). Penelitian Pengembangan Pusat-Pusat
9. BPS. (2008). Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia Merupakan Negara Kepulauan yang sangat luas dan mempunyai jumlah penduduk
terbesar keempat di dunia. Wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi, kabupaten, dan kota
otonom. Secara teknis, kabupaten dan kota mempunyai level yang sama dalam pemerintahan.
Pembagian tersebut berdasarkan atas apakah administrasi pemerintahan berlokasi di wilayah
pedesaan atau di wilayah perkotaan. Di dalam kabupaten dan kota terdapat kecamatan yang
merupakan unit pemerintahan administrasi yang lebih kecil. Setiap kecamatan dibagi menjadi
desa. Desa di wilayah pedesaan disebut desa, sedangkan wilayah perkotaan disebut kelurahan
(Kuncoro, 2014: 28). Sebagai sebuah Negara kepulauan yang sangat besar, Indonesia
memerlukan sebuah strategi pembangunan nasional dan regional yang sesuai dengan karakter
dan keunggulan masing-masing wilayah.
Konsep pembangunan desentralisasi adalah konsep pembangunan yang cocok untuk
dikembangkan di Indonesia saat ini melalui otonomi daerah. Dalam upaya mengoptimalkan
pelaksanaan pembangunan yang terdesentralisasi ini, maka pelaksanaan pembangunan disetiap
daerah otonomi perlu dipersiapkan dengan penyusunan konsep pembangunan yang lebih
matang yang sesuai dengan potensi, kendala dan kesempatan yang dimiliki oleh setiap daerah
otonom tersebut. Maka dari itu setiap daerah akan memiliki prinsip yang berbeda dalam
mengimplementasikan konsep dan strategi pembangunannya. Pada akhirnya pembangunan
yang dilaksanakan di suatu wilayah akan bersifat spesifik dan diharapkan unggul secara
kompetitif (unggul dalam harga) maupun komparatif (unggul dalam sumberdaya) di bidang-
bidang perekonomian tertentu (Adisasmita, 2011: 32).
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001,
Pemerintah Republik Indonesia secara resmi telah menyatakan dimulainya pelaksanaan
otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor

1
2

22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yang kemudian
direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi tersebut, beberapa peraturan
Pemerintah sudah pula dikeluarkan. Sejak saat itu, pemerintah dan pembangunan daerah di
seluruh Nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal (Sjafrizal, 2014: 14).
Dengan adanya otonomi daerah menimbulkan perubahan yang cukup mendasar dalam
perencanaan pembangunan daerah. Sistem perencanaan pembangunan yang selama ini
cenderung seragam, kemudian mulai berubah dan cenderung bervariasi tergantung pada
potensi dan permasalahan pokok yang dialami oleh daerah yang bersangkutan dan
disesuaikan dengan keinginan aspirasi yang berkembang di daerah.
Menurut Sjafrizal (2014: 14) Perubahan yang terjadi dengan adanya otonomi daerah pada
dasarnya menyangkut dua hal pokok, yaitu: pertama, pemerintah daerah diberikan
wewenangan lebih besar dalam melakukan pengelolaan pembangunan (Desentralisasi
Pembangunan). Kedua, pemerintah daerah diberikan sumber keuangan baru dan
kewenangan pengelolaan keuangan yang lebih besar (Desentralisasi Fiskal). Kesemuanya
ini dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat lebih diperdayakan dan dapat melakukan
kreasi dan terobosan baru dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah
masing-masing sesuai potensi dan aspirasi masyarakat daerah bersangkutan. Hal ini berarti
daerah harus lebih mampu menetapkan skala prioritas yang tepat untuk memanfaatkan
potensi daerahnya masing-masing.
Kabupaten Balangan merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan yang lahir
dari sebuah proses perjalanan panjang dari aspirasi masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan publik yang lebih baik di masa yang akan datang. Wilayah Kabupaten Balangan
dewasa ini tengah berubah dan berkembang cukup pesat. Perubahan yang terjadi antara
lain terlihat di sepanjang kawasan jalur lintas Kalimantan Selatan, termasuk di Kota
Paringin, yang di tandai antara lain oleh
3

terjadinya pertumbuhan penduduk dan kawasan terbangun yang relatif tinggi di wilayah
ini jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Apabila mencermati data kependudukan pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014,
jumlah penduduk kabupaten Balangan bertambah dari 117.088 jiwa (2012) menjadi
119.171 jiwa (2013) atau meningkat sebesar 2 persen. Jumlah penduduk Kabupaten
Balangan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Balangan Tahun 2012 - 2013


N0 Tahun Jumlah Penduduk

1 2012 117.088

2 2013 119.171
Sumber: BPS Kabupaten Balangan 2014
Sedangkan perubahan fungsi lahan seiring dengan perubahan/perpindahan pemukiman
penduduk dari luar daerah (migrasi) ke Kabupaten Balangan maupun dalam lingkungan
daerah itu sendiri, banyak di temukan pada beberapa kawasan disepanjang sisi kanan dan
kiri jalur lintas Kalimantan Selatan dengan bermunculannya kawasan-kawasan pemukiman
baru, baik yang di bangun melalui pengembang berupa komplek perumahan, maupun
berupa deretan bangunan tempat tinggal atau ruko (rumah toko) baru milik penduduk yang
di bangun secara perorangan. Perkembangan fisik kawasan dan pertambahan penduduk ini
akan berdampak pada kebutuhan ruang dan aktifitas kebutuhan lainnya di wilayah
kabupaten Balangan. Hal ini menunjukkan cukup pesatnya pertumbuhan dan
perkembangan wilayah di Kabupaten Balangan.
Berdasarkan kecenderungan perkembangan terakhir, maka Kabupaten Balangan di masa
akan datang berpeluang untuk terus berkembang dan lebih maju apabila semua potensi
wilayah yang di miliki kabupaten Balangan dapat di mamfaatkan secara optimal untuk
membangun wilayah, antara lain seperti potensi sumber daya alam yang cukup besar.
Diantara potensi yang menonjol di Kabupaten Balangan disamping sejumlah lahan
pertanian dan industri pengolahan gula merah, adanya deposit pertambangan batu bara dan
penggalian, ada beberapa lokasi di Kabupaten Balangan.
4

Jika dilihat dari keberadaan keberadaan dan kelengkapan sarana prasarana pembangunan
di wilayah Kabupaten Balangan termasuk memadai, tetapi akses masyarakat terhadap
sarana prasarana tersebut masih sangat terbatas, terutama untuk masyarakat pedesaan. Ini
disebabkan karena sebagian besar sarana prasarana tersebut masih terakumulasi di daerah-
daerah perkotaan yakni Kota Paringin sebagai pusat pemerintahan, sehingga daerah sentra
produksi pertanian yang umumnya berada di pedesaan cenderung mengalami kesulitan
dalam memperoleh pelayanan dari fasilitas-fasilitas tersebut, karena interaksinya sangat
terbatas ke pusat-pusat pelayanan tersebut. Hal ini kemudian berdampak pada terjadinya
kesenjangan antar daerah perkotaan dan pedesaan sebagai daerah belakangnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik menganalisis potensi wilayah Kabupaten
Balangan Propinsi Kalimantan Selatan yang dituangkan dalam usulan penelitian yang
berjudul “ANALISIS POTENSI WILAYAH SEBAGAI
PUSAT PERTUMBUHAN DAN PELAYANAN DI KABUPATEN BALANGAN
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka permasalahan yang coba diangkat dalam
penelitian ini adalah:
a) Kecamatan manakah yang paling optimal sebagai pusat pertumbuhan yang
mampu menggerakkan kawasan sekitarnya di Kabupaten Balangan
Provinsi Kalimantan Selatan?
b) Kecamatan manakah yang paling optimal sebagai pusat pelayanan di
Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan?
5

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
a) Mengkaji kecamatan yang paling optimal sebagai pusat pertumbuhan yang
mampu menggerakkan kawasan sekitarnya di Kabupaten Balangan
Provinsi Kalimantan Selatan.
b) Mengkaji kecamatan yang paling optimal sebagai pusat pelayanan di
Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
a) Memberikan sumbangan pemikiran bagi kebijakan pembangunan di
Kabupaten Balangan Propinsi Kalimantan Selatan.
b) Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya


1.5.1. Telaah Pustaka
1.5.1.1. Geografi
Geografi adalah ilmu yang mempelajari timbal balik antara bumi dan manusia. Bumi dan
manusia di situ dapat di tafsirkan sebagai alam dan manusia, atau lingkungan alam dan
pendududk. Manusia di situ bukanlah manusia sebagai individu melainkan sebagai
kelompok, karena adaptasinya terhadap lingkungan alamnya di laksanakan secara kolektif.
Misalnya sebagai penghuni desa, penduduk wilayah, sebagai bangsa (Djaljoeni, 1997: 12).
Menurut Djaljoeni (1997: 2) geografi menelaah bumi dalam hubungannya dengan
manusia. Arti geografi sebenarnya adalah uraian (grafein artinya menguraikan atau
melukiskan) tentang bumi (geos) dengan segenap isinya, yakni manusia, yang kemudian di
tambah lagi dengan dunia hewan dan dunia tumbuhan. Tentu saja geografi membutuhkan
berbagai hasil telaah geologi, misalnya untuk membicarakan vulkanisme, gempa bumi,
pertambangan, dan jenis batuan. Pembicaran tersebut dimasukkan dalam pembelajaran
geografi fisis yang
6

pemberiannya di sekolah dimaksudkan untuk mendasari pengajaran geografi sosial.


Lebih lanjut di katakan berhubung kehidupan manusia, hewan dan tetumbuhan itu
bertempat di bagian permukaan kulit bumi yang merupakan daratan dan lautan di tambah
lagi udara di atasnya, maka pokok-pokok yang di bahas dalam geografi fisis terdiri atas
lithosfera, hidrosfera, dan atmosfera. Dengan urutan-urutan itu lalu di perkenalkan aneka
hasil telaah geologi, geomorfologi, oseanografi, meteorologi, dan klimatologi.
Dari penjelasan di atas, dengan sederhana dapatlah di katakan bahwa geografi merupakan
suatu ilmu yang dapat di pelajari seluk-beluk permukaan bumi serta hubungan timbal balik
antara manusia dan lingkunganya.
Menurut H.S.Yunus (2010: 41) dalam ilmu geografi terdapat 3 pendekatan utama yaitu
pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologi (ecological approach), dan
pendekatan regional (region complex approach). Lebih lanjut, ketiga pendekatan tersebut
dianggap sebagai pendekatan utama geografi yang tidak muncul secara instan, namun
melalui proses perkembangan ilmu pengetahuan geografi itu sendiri yang terjadi dalam
waktu yang lama. Menurut Berdasarkan perkembangan paradigma keilmuan geografi, di
kenal ada 4 macam paradigma dengan karakteristik masing-masing dan hal inilah yang
mendasari karakteristik pendekatan geografi, keempat paradigma keilmuan keilmuam
geografi tersebut adalah:
(a) Paradigma eksplorasi (exploration paradigm)
(b) Paradigma lingkungan (environmentalism paradigm)
(c) Paradigma kewilayahan (regionalism paradigm)
(d) Paradigma keruangan (spatial paradigm)
Keempat jenis paradigma keilmuan geografi tersebut mempunyai cirri-ciri
yang berbeda satu sama lain dan hal inilah yang kemudian mendasari kemunculan
pendekatan-pendekatan geografi yang di kenal saat ini (Tabel 1.1)
7

Tabel 1.2 Keterkaitan Paradigma Keilmuan Geografi dengan Pendekatannya


Paradigm Karakteristik Pendekatannya
Paradigm Pemetaan dan Belum mempunyai ciri
Eksplorasi penggambaran daerah baru khusus karena belum di
(Exploration yang memotivasi penelitian anggap belum berupa
Paradigm) dan menghasislkan tulisan- metode ilmiah
tulisan sederhana tentang
daerah baru

Paradigma Analisis yang lebih Ecological Approach


Environmetalisme sistematik tentang peranan
(Environmentalism elemen lingkungan terhadap
Paradigm) pola kegiatan manusia.
Analisis morfometrik dan
kausalitas mendominasi dan
di fokuskanhanya pada
wilayah tertentu.

Paradigm Analisis lebih mendalam Regional Complex


regionalisme dan lebih luas dengan Approach
(Regionalism membandingkan wilayah
Paradigm) satu dengan lainnya dalam
penekanan pada keterkaitan
antara elemen lingkungan
dengan kegiatan
manusianya

Paradigm AnalisisAnalisis pada ruang yang Spatial Approach


Spasial (spatial lebih khusus di mna space
Analysis Paradigm) dianggap sebagai variable
utama di samping variable
lain yang banyak dilibatkan.
Teknik-teknik analisis
kuantitatif mendominasi
pada awalnya dan kemudian
terjadi penggabungan teknik
analisis kuantitatif dan
kualitatis.

Sumber: Herbert & Thomas, 1982; Johnston, et al., 2000 dalam H.S. Yunus
(2010: 42)
8

1.5.1.2. Konsep Wilayah Dalam Pembangunan


Wilayah/region dapat diartikan sebagai permukaan yang luas, yang di huni manusia yang
melakukan interaksi kegiatan dengan sumberdaya alam, sumberdaya modal, sumberdaya
teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan sumberdaya pembangunan lainnya, untuk
mencapain kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi masyarakat (Adisasmita, 2011: 59).
Menurut H.S. Yunus (2010: 124) dalam pengertian wilayah/region didalamnya
mengandung beberapa esensi yaitu:
(a) Suatu wilayah mempunyai batas-batas tertentu yang dapat digunakan
untuk mengenali karakteristinya sehingga dapat dibedakan dengan wilayah
tetangganya/wilayah lainnya.
(b) Suatu wilayah mempunyai karakteristik tertentu yang mengindikasikan
kesatuan internalnya.
(c) Karakteristik mana menunjukkan keseragaman yang dapat di amati dalam
lingkup satuan daerah di mana atribut tersebut berada.
(d) Karakteristik wilayah dapat merupakan fenomena alami seperti wilayah
tanah, wilayah geomorfologi, wilayah hidrologi dan wilayah lain
sejenisnya. Karakteristik wilayah yang mendasarkan pada fenomena non
alami atau artifisial misalnya wilayah budaya, wilayah industri, wilayah
ekonomi, dan lain sejenisnnya.
(e) Suatu wilayah tidak ditentukan oleh luas atau tidaknya wilayah mulai
beberapa meter persegi saja sampai wilayah benua.
(f) Suatu wilayah mempunyai batas-batas yang dapat berubah oleh karena
sebab-sebab tertentu, seperti pengubahan batas administrasi, batas wilayah
yang berubah karena perkembangan kota.
(g) Suatu wilayah dapat mempunyai batas-batas fisik yang jelas seperti
sungai, jalan, tepi danau, tepi laut, batas tipe penggunaan lahan, namun
dapat pula mempunyai batas maya yang tidak dapat dilihat di lapangan
seperti batas administrasi, batas wilayah etnik, batas wilayah budaya,
wilayah baghasa dan sejenisnya. Untuk maksud penelitian pada suatu
wilayah yang mempunyai batas-batas yang bersifat maya, perlu di buat
batas konseptual atas pertimbangan tertentu dan untuk menelitinya
9

penelliti harus mampu menentukan lokasi sampel yang benar-benar mewakili sifat
khas/karakteristik wilayahnya. Hal ini akan dibahas dalam hal regionalisasi/pewilayahan.
Menurut P. Hdjisarosa, 1980 dalam Adisasmita (2011: 60) konsep wilayah dapat
dibedakan ke dalam: (1) wilayah administrasi dan (2) wilayah pengembangan. Wilayah
administrasi adalah wilayah yang mempunyai batas wilayah pemerintahan daerah, yang di
tetapkan dengan peraturan pemerintah/ peraturan daerah, yang dikelompokkan dalam
wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang masing-masing memiliki
ibukota pemerintahan, di mana kedudukan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota)
dan Dewan Perrwakilan Daerah (DPR). Sedangkan, wilayah pengembangan adalah
wilayah, yang luasan wilayahnya tidak ditetapkan bardasarkan batas wilayah administrasi,
atau tidak menggunakan batas wilayah administrasi, tetapi batas-batasnya adalah secara
fungsional, bardasarkan kegiatan interaksi sumberdaya manusia (penduduk), sumberdaya
Alam, sumberdaya modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan
sumberdaya pembangunan lainnya.
Dengan demikian luasan wilayah pengembangan tidak terlalu sama besar dengan wilayah
administrasi, mungkin lebih kecil karena sebagian wilayahnya merupakan pegunungan
yang tinggi atau jurang yang dalam, sehingga tidak dihuni oleh penduduk dan tidak
terjangkau oleh pelayanan jasa distribusi karena belum tersedia fasilitas transportasi.

1.5.1.3. Konsep Pertumbuhan Wilayah


Teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) diintroduksikan oleh Francois Perroux
(1956). Menurut pendapatnya, pertumbuhan atau pembangunan tidak dilakukan di seluruh
tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang
diidentifikasikan sebagai kutub-kutub atau pusat pusat, di setiap kutub mempunyai
kekuatan pancaran pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini
menjelaskan tentang pertumbuhan perusahaan dan industri-industri serta
ketergantunganya, dan bukan mengenai pola geografis dan pergeseran industry baik secara
intra maupun secara inter. Pada
10

dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara
abstrak.
Menurut R. Adisasmita (2006: 163), suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan
ababila di tempat tersebut terdapat industri pendorong (propolsive industry) yang berskala
besar, mempunyai kemampuan menciptakan dorongan pertumbuhan yang kuat, dampak
multiplier dan dampak polarisasi lokal yang sangat besar dan tingkat teknologi yang maju.
Lebih lanjut kutub pertumbuhan bukan hanya merupakan lokalisasi industri kunci semata-
mata, tetapi pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang luas ke daerah sekitarnya.
Konsep kutub pertumbuhan merupakan konsep sangat menarik bagi perencanaan wilayah.
Persoalan yang di hadapi dalam penerapan konsep tersebut adalah pemilihan industri
pendorong ataupun industri yang menonjol (leading industry) sebagai penggerak dinamika
pertumbuhan.
Menurut R. Adisasmita (2006: 164) kutub pertumbuhan dapat ditafsirkan dalam dua
pengertian, yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional,
menggambarkan kutub pertumbuhan sebagai suatu kelompok perusahaan, industri atau
unsure-unsur dinamik yang meningkatkan kehidupan ekonomi. Secara geografis.
Menunjukkan kutub pertumbuhan sesungguhnya lebih banyak merupakan daya tarik yang
mengundang berbagai kegiatan untuk menempatkan usahanya di suatu tempat.
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat tiga ciri penting konsep kutub pertumbuhan dapat
dikemukakan yaitu:
(a) Terdapat keterkaitan internal berbagai industri secara teknik dan ekonomi.
(b) Terdapat pengaruh multiplier.
(c) Terdapat konsentrasi geografis
Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendifinisikan kutub
pertumbuhan wilayah sebagai perangkat industri sedang berkembang yang berlokasi di
suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lebih lanjut pengembangan
ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized poles of development). Ia menekankan
pada aspek fungsional, tetapi juga pada aspek geografis yang dilukiskan sebagai suatu
aglomerasi geografis. Teori Bondeville
11

dapat di anggap telah menjembatani terhadap teori spasial terdahulu (Christaller) dan teori
kutub pertumbuhan (Perroux). Perbedaannya, teori Perroux menganggap tata ruang secara
abstrak yang menekankan cirri-ciri regional tata ruang ekonomi, sedangkan menurut
Bondeville tata ruang ekonomi tidak dapat di pisahkan dari tata ruang geografis, lebih
lanjut Bondeville menekankan pada tata ruang polarisasi (R. Adisasmita, 2006: 165).

1.5.1.4. Prasarana Sebagai Penunjang Pembangunan


Ketersedian fasilitas pelayanan sosial ekonomi turut berpengaruh terhadap kemajuan suatu
wilayah. Evaluasi fasilitas terhadap fasilitas herarki pelayanan merupakan bagian dari
analisis regional, khususnya yang menyangkut tentang sentralisasi regional. Metode
pengukuran fasilitas pelayanan sosial ekonomi diklasifikasikan ke dalam tiga kategori
(Muta’ali, 2000, dalam Haryanto, A.T, 2006).
1. Ketersedian pelayanan (service availibility) adalah mengukur ada atau
tidaknya suatu fasilitas pelayanan
2. Tingkat pelayanan (size of availability) adalah mengukur suatu jumlah
fasilitas pelayanan.
3. Fungsi ketersedian adalah perbandingan antara ketersedian fasilitas
pelayanan dengan variable perbandingan standar.
Huisman (1989) mengungkapkan bahwa pelayanan merupakan salah satu kebijakan
pembangunan keruangan untuk meningkatkan pertumbuhan pusat-pusat pelayanan yang
dapat menghubungkat pusat kota dengan daerah hinterlandnya. Dalam rangka
meningkatkan perkembangan kegiatan sosial dan kegiatan ekonomi, fasilitas pelayanan
merupakan hal yang sangat penting. Pembangunan tidak dapat berjalan dengan lancar
apabila prasarana kurang memadai. Dengan demikian prasarana dianggap sebagai faktor
yang potensial dalam menentukan masa depan perkembangan suatu wilayah perkotaan dan
pedesaan.
Jayadinata (1986) mengklasifikasikan prasarana sebagai berikut :
A Prasarana menurut bentuk, macam dan fungsinya.
a. Bentuk prasarana
12

Prasarana yang berbentuk ruang atau bangunan (space)


Prasarana yang berbentuk jaringan (network)
Macam prasarana
Prasarana berbentuk ruang meliputi :
Perlindungan, yaitu rumah,Pelayanan umum (sosial), misalnya rumah sakit,
perumahan,dan sebagainya.
Kehidupan ekonomi, misalnya bank, toko, sawah, pasar dan sebagainya.
Kebudayaan, misalnya bangunan pemerintah, sekolah, museum, lapangan olahraga, dan
sebagainya.
Prasarana berbentuk jaringan, meliputi :
Sistem pengangkutan, misalnya jaringan jalan, jaringan sungai dan sebagainya.
Utilitas umum (publi utility), misalnya jaringan pipa air minum, jaringan kawat listrik, dan
sebagainya.
Sistem komunikasi, misalnya jaringan kabel telpon, dan sebagainya.
Prasarana menurut fungsi, meliputi :
Prasarana sosial (yang berbentuk jaringan atau ruaang) terdapat
dalam kegiatan kekeluargaan, pemerintahan, agama, kesehatan,
pendidikan, perhubungan, komunikasi serta informasi.
Prasarana ekonomi (yang berbentuk jaringan atau ruang) terdapat
dalam kegiatan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
perikanan, industri, pariwisata, perhotelan,bank, perdagangan dan
perusahaan jara serta informasi data.
/ Pembiayaan dan pembuatan serta pemeliharaan prasarana.
pembiayaan, pertumbuhan dan pemeliharaan prasarana meliputi :
Masyarakat
Badan Hukum
Pemerintah
Cara pembuatan prasarana
13

/ Teknologi sederhana
/ Teknologi madya
/ Teknologi tinggi
Menurut Huisman (1989) penyediaan pelayanan secara efisiensi dan efektif dalam
pembangunan karena dalam perencanaan fisik memberikan kerangka keruangan kegiatan
sosial dan ekonomi. Dengan demikian pelayanan sosial ekonomi masyarakat sangat
diperlukan dalam mendukung pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada kegiatan
sosial ekonomi.
Adapun metode yang dapat digunakan untuk ,menilai tingkat ketersediaan dan fungsi
pelayanan adalah sebagai berikut:
A. Besarnya ketersediaan fasilitas pelayanan dinilai melalui jumlah pelayanan
yang ada di setiap daerah, menggunakan metode skalogram.
B. Fungsi pelayanan merupakan perbandingan antara ketersediaan fasilitas
dengan berbagai standar minimum untuk setiap pelayanan. Informasi-
informasi lain yang diperlukan pada penilaian fungsi pelayanan antara lain
mencakup rasio pelayanan terhadap standar, rasio terhadap pengguna
aktual, rasio terhadap pengguna potensial,dan rasio terhadap penduduk.

1.5.2. Penelitian Sebelumnya


Untuk menghindari terjadinya kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya,
peyusun telah melakukan beberapa penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang terkait
dengan pembentukan daerah otonom, diantaranya sebagai berikut:
Sri Purwaningsih (2014) “Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Di Kabupaten
Wonogiri Tahun 2007-2011” yang mengkaji tentang pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Wonogiri pada tahun 2007-2011 dan menganalisa tentang pertumbuhan ekonomi di
Wonogiri. Dalam penelitian ini terdapat tiga tujuan dilakukan penelitian yaitu: (1)
mengetahui pertumbuhan antarkecamatan yang di klasifikasikan menjadi hierarki tinggi,
sedang, rendah, (2) mengetahui struktur ruang wilayah berdasarkan system pusat kegiatan
perkotaan dengan hierarki pertumbuhan ekonomi wilayah kecamatan, dan (3) mengetahui
sektor apa yang
14

menunjang pertumbuhan ekonomi wilayah di Kabupaten Wonogiri. Metode yang di


gunakan dalam penilitian ini adalah metode analisis data sekunder. Analisis data tersebut
menggunakan metode Sturgess, uji Chi square, dan metode Location Quotient. Hasil
penelitian yaitu hierarki tinggi terdapat pada satu kecamatan yaitu Kecamatan Baturetno,
dan hierarki sedang terdapat pada Kecamatan Pracimantoro, Kecamatan Tirtomoyo,
Kecamatan Wuryantoro, Kecamatan Selogiri, Kecamatan Wonogiri, Kecamatan
Ngadirojo, Kecamatan Sidoharjo, Kecamatan Purwantoro, Kecamatan Bulokerto,
Kecamatan Slogohimo, dan Kecamatan Jatisrono. Sedangkan hierarki rendah terdapat di
kecamatan Paranggupito, Kecamatan Giritontro, Kecamatan Giriwoyo, Kecamatan
Batuwarno, Kecamatan Karangtengah, Kecamatan Nguntorongadi, Kecamatan Eromoko,
kecamatan Manyaran, Kecamatan Jatiroto, Kecamatan kismantoro, Kecamatan Pehpelem,
Kecamatan Jatipurno, dan Kecamatan Girimarto. Hasil penentuan hierarki menunjukkan
adanya ketimpangan antarwilayah kecamatan di Kabupaten Wonogiri karena jumlah
kecamatan yang termasuk hierarki rendah jumlahnya paling banyak. Tingkat hierarki
pertumbuhan ekonomi wilayah antarkecamatan tidak memiliki ruang struktur wilayah
berdasarkan system pusat kegiatan perkotaan artinya semakin tinggi derajat perkotaan
suatu kecamatan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertumbuhan
wilayah ekonomi yang tinggi terbentuk oleh sektor unggulan yaitu sektor pertanian.
Imam Zunaidi (2007) “Peranan Pusat Pertumbuhan Dan Kesenjangan Pendapatan Antar
Wilayah di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII Propinsi Jawa Timur Tahun 2000-
2005”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar peranan pusat
pertumbuhan dalam memberikan spread effect melalui kekuatan daya tariknya bagi
wilayah hinterland, pergeseran total pertumbuhan ekonomi antar wilayah dan kesenjangan
pendapatan antar wilayah pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Alat analisis yang
digunakan untuk mengolah data adalah analisis Indeks Gravitasi untuk mengetahui daya
tarik pusat pertumbuhan dengan hinterland, analisis Shift Share digunakan untuk
mengetahui kontribusi pertumbuhan ekonomi dan analisis Indeks Williamson untuk
mengetahui kesenjangan pendapatan. Data yang digunakan merupakan data
15

sekunder yang dikutip dari kantor Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur dan studi
literatur. Hasil analisis Indeks Gravitasi menunjukkan nilai diatas enam digit yaitu
266.533.959,60 sampai dengan 2.369.861.018,67, hal ini menunjukkan bahwa sarana-
sarana yang tersedia di pusat pertumbuhan digunakan oleh daerah hinterland dan besar
pula fungsi pusat pertumbuhan sebagai pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Hasil
analisis dengan menggunakan analisis Shift Share menunjukan daerah yang termasuk
pergeseran pertumbuhan ekonominya maju adalah Kota/Kabupaten Kediri 0,71% (maju),
Kota/Kabupaten Blitar 87,56% (maju), Kabupaten Nganjuk 12,25% (maju), Kabupaten
Tulungagung 0,39% (maju) dan Kabupaten Trenggalek 12,32% (maju), sedangkan
Kabupaten Jombang sebesar -25,15% (lambat). Hasil analisis Indeks Williamson
menunjukkan angka kurang mendekati satu yaitu 0,41 sampai dengan 0,62, yang berarti
kesenjangan pendapatan antara pusat pertumbuhan dengan hinterland relatif kecil. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.2. dibawah ini.

Tabel 1.3. Perbandingan Penelitian Penulis dengan Penelitian Sebelumnya


Peneliti/Tahun Sri Purwaningsih Imam Zunaidi Akhmad Hermawan
(2014) (2007) Saputra
(2014)

Judul Analisis Pertumbuhan Ekonomi Peranan Pusat Pertumbuhan Analisis Potensi Wilayah
Wilayah Di Kabupaten Wonogiri Dan Kesenjangan Pendapatan Sebagai Pusat
Tahun 2007-2011 Antar Wilayah di Satuan Pertumbuhan dan
Wilayah Pembangunan Pelayanan di Kabupaten
(SWP) VII Propinsi Jawa Balangan Provinsi
Timur Tahun 2000-2005 Kalimantan Selatan

Tujuan mengkaji tentang pertumbuhan untuk mengetahui seberapa (1) mengetahui kecamatan
ekonomi di Kabupaten Wonogiri besar peranan pusat yang paling optimal
pada tahun 2007-2011 dan pertumbuhan dalam sebagai pusat pelayanan di
menganalisa tentang pertumbuhan memberikan spread effect Kabupaten Balangan
ekonomi di Wonogiri melalui kekuatan daya Provinsi Kalimantan
tariknya bagi wilayah Selatan.
hinterland, pergeseran total (2) mengetahui Kecamatan
pertumbuhan ekonomi antar yang paling optimal
wilayah dan kesenjangan sebagai pusat pertumbuhan
pendapatan antar wilayah yang mampu
pada tahun 2000 sampai menggerakkan kawasan
dengan tahun 2005 sekitarnya di Kabupaten
Balangan Provinsi
Kalimantan Selatan.

Unit Penelitian Wilayah Wilayah Wilayah


16

Metode dan metode Sturgess, uji Chi square, Analisis Indeks Gravitasi Analisis Gravitasi dan
Analisis dan metode Location Quotient. untuk mengetahui daya tarik Skalogram untuk
Variabel pusat pertumbuhan dengan menentukan kecamatan
hinterland, analisis Shift yang paling optimal
Share digunakan untuk sebagai pusat pertumbuhan
mengetahui kontribusi dan pusat pelayanan dalam
pertumbuhan ekonomi dan kerangka perencanaan
analisis Indeks Williamson pembangunan wilayah di
untuk mengetahui Kabupaten Balamgn
kesenjangan pendapatan Provinsi Kalimantan
Selatan
Hasil Hierarki tinggi terdapat pada satu Hasil analisis Indeks
kecamatan yaitu Kecamatan Gravitasi menunjukkan nilai
Baturetno, dan hierarki sedang diatas enam digit yaitu
terdapat pada Kecamatan 266.533.959,60 sampai
Pracimantoro, Kecamatan dengan 2.369.861.018,67, hal
Tirtomoyo, Kecamatan ini menunjukkan bahwa
Wuryantoro, Kecamatan Selogiri, sarana-sarana yang tersedia
Kecamatan Wonogiri, Kecamatan di pusat pertumbuhan
Ngadirojo, Kecamatan Sidoharjo, digunakan oleh daerah
Kecamatan Purwantoro, hinterland dan besar pula
Kecamatan Bulokerto, Kecamatan fungsi pusat pertumbuhan
Slogohimo, dan Kecamatan sebagai pusat pelayanan bagi
Jatisrono. Sedangkan hierarki daerah sekitarnya. Hasil
rendah terdapat di kecamatan analisis dengan
Paranggupito, Kecamatan menggunakan analisis Shift
Giritontro, Kecamatan Giriwoyo, Share menunjukan daerah
Kecamatan Batuwarno, yang termasuk pergeseran
Kecamatan Karangtengah, pertumbuhan ekonominya
Kecamatan Nguntorongadi, maju adalah Kota/Kabupaten
Kecamatan Eromoko, kecamatan Kediri 0,71% (maju),
Manyaran, Kecamatan Jatiroto, Kota/Kabupaten Blitar
Kecamatan kismantoro, 87,56% (maju), Kabupaten
Kecamatan Pehpelem, Kecamatan Nganjuk 12,25% (maju),
Jatipurno, dan Kecamatan Kabupaten Tulungagung
Girimarto. 0,39% (maju) dan Kabupaten
Trenggalek 12,32% (maju),
sedangkan Kabupaten
Jombang sebesar -25,15%
(lambat). Hasil analisis
Indeks Williamson
menunjukkan angka kurang
mendekati satu yaitu 0,41
sampai dengan 0,62, yang
berarti kesenjangan
pendapatan antara pusat
pertumbuhan dengan
hinterland relatif kecil
Sumber: Penulis, 2015

1.6. Kerangka Penelitian


Untuk menganalisis potensi wilayah Sebagai pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan di
Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan digunakan metode analisis gravitasi dan analisis
skalogram.
17

Dalam hal menentukan pusat pertumbuhan ekonomi yang optimal di Kabupaten Balangan,
digunakan metode analisis model gravitasi dan analisis skalogram. Analisis model
gravitasi digunakan terhadap data sekunder berupa jumlah penduduk pada masing-masing
kecamatan/subwilayah dalam Kabupaten Balangan, sedangkan analisis skalogram
digunakan terhadap data sekunder berupa tingkat perekonomian wilayah tersebut dengan
menggunakan variabel luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah pasar, jumlah bank, jumlah
koperasi, produksi pertanian, produksi perkebunan, populasi ternak, dan produksi
perikanan. Di sini, temuan hasil analisis model gravitasi akan dibandingkan dan hasil
analisis skalogram, sehingga diketahui subwilayah/ kecamatan mana yang optimal sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi, karena memiliki daya tarik wilayah yang tinggi atau menjadi
tujuan perpindahan penduduk dan pergerakan arus barang/jasa, disamping juga sekaligus
memiliki potensi ekonomi yang tinggi dalam mengemban fungsi perekonomian suatu
ibukota.
Adapun untuk menentukan pusat pelayanan masyarakat yang optimal, digunakan metode
analisis skalogram terhadap data sekunder berupa sejumlah data potensi sumberdaya
manusia meliputi; variabel jumlah guru, murid, dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis,
bidan, perawat, dukun bayi/dukun kampung, potensi sumberdaya buatan meliputi; variabel
sekolah (fasilitas pendidikan), fasilitas kesehatan, tempat ibadah, fasilitas air bersih
(kapasitas PDAM terpasang), fasilitas energi/penerangan (daya listrik terpasang), dan
fasilitas komunikasi (kantor pos dan telekomunikasi), antar kecamatan dalam wilayah
Kabupaten Balangan.
Kemudian, dilakukan pendekatan analisis kualitatif. Setelah melakukan analisis dan
pembahasan secara berurutan dari tujuan satu dan dua, maka dilakukan proses sintesis
terhadap interpretasi atas temuan hasil analisis dan pembahasan pada tujuan satu dan dua,
sehingga akhirnya dapat memberikan jawaban permasalahan ketiga sebagai objective hasil
penelitian ini. Kerangka pemikiran penelitian konseptual dapat dilihat pada gambar 1.1.
berikut.
18

Gambar 1.1. Kerangka Penelitian

Perencanaan Pembangunan Wilayah di


Kabupaten Balangan

Identifikasi Potensi Wilayah


Kabupaten Balangan

Indentifikasi Daya Tarik Wilayah Identifikasi Potensi Wilayah Sebagai


Sebagai Pusat Pertumbuhan Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan

Analisis Gravitasi Analisis Skalogram

Peta Hirarki Pusat


Peta Rangking
Pertumbuhan dan Pelayanan
Daya tarik wilayah
Kabupaten Balangan

Rekomendasi

Sumber: Penulis, 2015


19

1.7. Metodologi Penelitian


1.7.1. Penentuan Daerah Penelitian
Penentuan daerah penelitian dilakukan secara puposive atau berdasarkan tujuan. Daerah
yang dijadikan lokasi penelitian adalah Kabupaten Balangan Propinsi Kalimantan Selatan,
yang meliputi delapan kecamatan, yakni:
a. Kecamatan Lampihung
b. Kecamatan Batu Mandi
c. Kecamatan Awayan
d. Kecamatan Tebing Tinggi
e. Kecamatan Paringin
f. Kecamatan Paringin Selatan
g. Kecamatan Juai
h. Kecamatan Halong

1.7.2. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh
dari suatu dokumentasi yang sudah ada atau sudah jadi yakni berasal dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Balangan. Data-data sekunder yang dikumpulkan adalah
sebagai berikut:
a. Data jumlah penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Balangan tahun
2014
b. Data Luas Wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Balangan tahun
2014
c. Data sarana dan prasarana menurut kecamatan di Kabupaten Balangan
tahun 2014 yaitu sarana perkonimian antara lain; bank, koperasi, pasar dan
fasilitas pelayanan antara lain; sekolahan, fasilitas kesehatan, tempat
ibadah, PDAM terpasang, jaringan jalan, kantor pos dan fasilitas rekreasi.

1.7.3. Analisis Data


Untuk menganalisis strategi pengembangan wilayah Kabupaten Balangan, yakni
menentukan lokasi kecamatan yang paling optimal sebagai pusat
20

pertumbuhan wilayah dan pusat pelayanan masyarakat, digunakan pendekatan analisis


kuantitatif dan kualitatif.

1.7.3.1. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pusat Pertumbuhan


Dalam penelitian ini untuk menentukan posisi lokasi yang paling optimal sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi dalam kerangka perencanaan pembangunan wilayah Kabupaten
Balangan digunakan pendekatan model gravitasi dan analisis skalogram.
Salah satu alat analisis yang kemungkinan kita menjelaskan keberadaan kegiatan pada
lokasi tersebut adalah model gravitasi. Menurut Tarigan (2010:105) model gravitasi adalah
model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu
besarnya potensi yang berada pada suatu lokasi. Lebih lanjut daya tarik ini kemudian
mendorong berbagai kegiatan lain untuk berlokasi di dekat kegiatan yang telah ada terlebih
dahulu. Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya
wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Dalam perencanaan wilayah, model ini sering di
jadikan alat untuk melihat apakah lokasi berbagai fasilitas kepentingan umum telah berada
pada tempat yang benar. Rumus gravitasi secara umum adalah sebagai berikut :
=

Keterangan :
Tij = Daya tarik atau banyaknya trip dari sub-wilayah i ke
sub-wilayah j,
Pi = Penduduk subwilayah i ,
Pj = Penduduk subwilayah j,
dij = Jarak antara subwilayah i dengan subwilayah j,
/ = Pangkat dari dij menggambarkan cepatnya jumlah trip menurun
seiring dengan pertambahan jarak. Nilai b dapat dihitung tetapi bila tidak maka
sering digunakan b = 2,
11 = Sebuah bilangan konstanta berdasarkan pengalaman, juga dapat
dihitung seperti b (Tarigan, 2010:105).
21

1.7.3.2. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pusat Pelayanan Masyarakat


Untuk menentukan posisi lokasi yang paling optimal sebagai pusat pelayanan masyarakat
dalam kerangka perencanaan pembangunan wilayah Kabupaten Balangan digunakan
pendekatan analisis skalogram. Analisis ini digunakan untuk menyusun struktur dan
organisasi tata ruang suatu wilayah. Dengan metode analisis skalogram dapat ditentukan
hirarki atau ranking/tingkatan kota kecil dan kecamatan di wilayah Kabupaten Balangan
berdasarkan fasilitas/sarana pelayanan yang tersedia, disamping berdasarkan kapasitas
sumberdaya manusia (fungsi administrasi) dan analisis aksesibilitas (jarak antar ibu kota
kecamatan). Ranking (tingkatan) kota kecil ditentukan berdasarkan jumlah jenis dan
jumlah unit fasilitas sosial dan fasilitas lain yang dimilikinya. Dari gabungan ketiga
analisis ini, akan dapat diketahui distribusi wilayah-wilayah kecamatan yang dapat
dikembangkan menjadi pusat pelayanan utama (PPU), pusat pelayanan menengah (PPM),
dan pusat pelayanan kecil (PPK) untuk Kabupaten Balangan.
Cara menyusun dan menetapkan ranking atau tingkatan kota-kota tersebut adalah sebagai
berikut:
1 Wilayah kecamatan disusun urutannya berdasarkan jumlah penduduk.
2 Kemudian kecamatan tersebut disusun urutannya berdasarkan atas jumlah
Jenis fasilitas sarana dan prasarana yang tersedia.
3 Masing-masing jenis sarana dan prasarana tersebut disusun urutannya pada
semua wilayah yang memiliki jenis fasilitas tertentu.
4 Ranking atau peringkat fasilitas sarana dan prasarana disusun urutannya
berdasarkan atas jumlah unit fasilitas sarana dan prasarana tersebut.
5 Ranking kota kecamatan/wilayah ditentukan berdasarkan jumlah jenis dan
jumlah unit sarana dan prasarana yang dimiliki oleh masing-masing unit.
Dalam studi ini tingkatan tiap-tiap objek penelitian terhadap variabel-variabelnya dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat tinggi, tingkat sedang, dan tingkat rendah. Adapun
untuk menghitung tingkatan atau hierarki digunakan rumus sebagai berikut.
22

Interval Nilai =
Nilai Tertinggi − Nilai Terendah
3

Adapun matriks skalogram dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.4. Matriks Skalogram


Jumlah Jenis Sarana dan Prasarana Hierarki
No Kecamatan
Penduduk SD RS ... ...
1
2
....
dst
Frekuensi (F)
Diolah Dari Berbagai Sumber

1.8. Batasan Operasional

= Wilayah adalah suatu permukaan yang luas, yang dihuni manusia yang
melakukan interaksi kegiatan dengan sumberdaya alam,sumberdaya
modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan sumberdaya
pembangunan lainnya, untuk mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi dan
sosial bagi masyarakat (Adisasmita, 2011: 59)

= Potensi wilayah adalah segala sesuatu yang dimiliki suatu wilayah yang
memungkinkan untuk dikembangkan sehingga mampu memberi nilai
tambah pada daerah tersebut

= Potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk


dikembangkan, kekuatan, kesanggupan.
= Skalogram adalah untuk mengidentifikasi atau mengetahui pusat
pelayanan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimiliki,dengan demikian

dapat ditentukan hierarki pusat pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah.
23
 Gravitasi adalah salah satu model yang digunakan untuk
menghitung interaksi antar kota

 Pengembangan Wilayah adalah merupakan suatu usaha-usaha


tertentu untuk mengubah kondisi yang ada menjadi suatu kondisi lebih
baik (Luthfi
Muta’ali, 2011: 1)
Pusat Pertumbuhan adalah suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan apabila di
tempat tersebut terdapat industry pendorong (propolsive industry) yang berskala besar,
mempunyai kemampuan menciptakan dorongan pertumbuhan yang kuat, dampak multiolier
dan dampak polarisasi local yang sangat besar dan tingkat teknologi maju (Adisasmita, 2006:
163
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang (balance


development). Isu pembangunan wilayah atau daerah berimbang yaitu tidak mengharuskan
adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daerah (equally developed), juga tidak
menuntut pencapaian tingkat industrialisasi wilayah atau daerah yang seragam, juga bentuk-
bentuk keseragaman pola dan struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan
kebutuhan dasar (self sufficiency) setiap wilayah atau daerah. Pembangunan yang berimbang
adalah terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan
setiap wilayah atau daerah yang beragam (Murry, 2000).

Dalam proses pembangunan ekonomi nasional, tidak terlepas dari pembangunan ekonomi
daerah atau regional. Pembangunan ekonomi daerah adalah proses yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan
pemerintah daerah dan sektor swasta dalam menciptakan lapangan kerja baru dan perangsang
pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi daerah dipengaruhi
oleh keunggulan komparatif suatu daerah, spesialisasi wilayah, serta potensi ekonomi yang
dimiliki oleh daerah tersebut (Arsyad, 1999).

Istilah pola keruangan erat kaitannya dengan istilah-istilah seperti pemusatan, penyebaran,
pencampuran dan keterkaitan, serta posisi atau lokasi dan lain-lain. Istilah pola pemanfaatan
ruang berkaitan dengan aspek-aspek distribusi spasial sumberdaya dan aktivitas
pemanfatannya menurut lokasi, setiap jenis aktivitas menyebar dengan luas yang berbeda-
beda dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula. Dalam cara pandang yang lain,
sumberdaya dan aktivitas manusia yang memanfaatkannya terkonsentrasi dengan tingkat
yang berbeda-

1
2

beda. Secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya digambarkan dalam berbagai
bentuk peta (Ernan Rustiadi, Sunsun Saefulhakim, Dyah R. 2009).

Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari keunggulan
atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam
memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda.
Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana
kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini
akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar
wilayah atau daerah. Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang
hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang.

Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial, serta keterpaduan


antar pelaku (institutions) pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral
menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan, sehingga
setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka
pembangunan wilayah. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan anatara
sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor
yang sangat dinamis (Ernan Rustiadi,Sunsun Saefulhakim dan Dyah R. 2009)

Kondisi topografi di Kabupaten Ngawi cukup bervariasi yaitu topografi datar, bergelombang,
berbukit dan pegunungan tinggi dengan ketinggian 40 – 3.3031 meter dari atas permukaan air
laut. Secara umum, di bagian tengah adalah derah dataran yang merupakan pertanian subur.
Kabupaten Ngawi termasuk daerah yang beriklim tropis, dan hanya mengenal dua musim yaitu
musim kemarau dan musim penghujan. Kabupaten Ngawi merupakan Kabupaten yang
3

memiliki banyak sungai. Sungai besar maupun kecil mengelilingi seluruh daerah Ngawi. Ada 2
(dua) sungai besar yang melewati Ngawi yaitu Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun
sebagai pendukung dalam pengairan pertanian. Jenis tanah didominasi oleh jenis tanah Grumusol
sekitar 43% yang merupakan tanah subur dan sesuai untuk pertanian. Jumlah penduduk
Kabupaten Ngawi akhir tahun 2013 adalah 915.493 jiwa, terdiri dari 449.947 penduduk laki-laki
dan 465.546 penduduk perempuan.

Prioritas pengembangan sektor ekonomi di Kabupaten Ngawi adalah sektor pertanian yang
merupakan kategori sektor unggulan dan berpotensi untuk mengembangkan sektor ekonomi
wilayah. Sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi Kabupaten Ngawi. Dari 129.598
ha luas wilayah Kabupaten Ngawi 72% diantaranya berupa lahan sawah, hutan dan tanah
perkebunan. Sektor ini menyerap sekitar 76% dari total tenaga kerja yang ada. Dari 5 subsektor
pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan), subsektor
tanaman pangan khususnya komoditi padi merupakan penyumbang terbesar terhadap total nilai
produksi pertanian. Sumbangan PDRB terbesar pertama tahun 2009 di Kabupaten Ngawi adalah
sektor pertanian sebesar 36,91% (SPKD Ngawi, 2010). Sektor pertanian masih menjadi sektor
utama yang menyerap tenaga kerja di kabupaten ngawi. berdasarkan sakernas tahun 2012,
lapangan pekerjaan masyarakat ngawi di sektor pertanian sebesar 58,53%.

Angka PDRB Ngawi atas dasar harga berlaku tahun 2013 mencapai 10.331,39 milyar rupiah
naik sekitar 12,77 persen dari tahun 2012 yang mencapai 9.161,12 milyar rupiah. Sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan (2000) tahun 2013 mencapai 3.784,07 milyar rupiah, naik sekitar
6,97 % dari tahun sebelumnya yang mencapai 3.537,19 milyar rupiah. Sampai dengan tahun
2013 perekonomian Kabupaten Ngawi masih didominasi sektor pertanian. Sumbangan sektor ini
terhadap total PDRB sampai dengan 2013 sekitar 36,33 persen (tabel
4

1.1). Sektor pertanian menjadi sektor unggulan bagi Kabupaten Ngawi, sumbangan pertanian
pada PDRB Atas Dasar Harga Berlaku terhadap total PDRB selalu diatas 30 persen.
Tabel 1.1 Sumbangan PDRB Kabupaten Ngawi Menurut Lapangan Usaha Atas
Dasar Harga Berlaku Tahun 2009-2013
Lapangan usaha 2009 2010 2011 2012 2013
Pertanian 36,91 36,63 35,72 36,27 36,33
Pertambangan dan penggalian 0,54 0,50 0,49 0,47 0,45
Industri pengolahan 6,20 6,28 6,57 6,59 6,67
Listrik, gas dan air bersih 0,83 0,83 0,85 0,88 0,87
Bangunan 4,73 4,97 5,33 5,24 5,34
Perdagangan, hotel dan restoran 28,05 28,66 29,20 29,29 29,38
Pengangkutan dan komunikasi 2,87 2,87 2,88 2,83 2,85
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 5,56 5,52 5,50 5,52 5,50
Jasa-jasa 14,31 13,73 13,45 12,92 12,61
PDRB 100 100 100 100 100
Sumber : Kabupaten Ngawi Dalam Angka 2014

Berdasarkan sumbangan sektor pertanian pada PDRB dari tahun 2009 sampai 2013 selalu berada
di atas 35% atau sepertiga dari total PDRB merupakan sebagai landasan untuk penelitian ini.
Maka penelitian ini bertujuan untuk menggali potensi pada sektor pertanian. Untuk itu perlu
dilakukan kajian yang lebih terperinci hingga pada tingkat subsektor atau bahkan komoditas
yang menjadi kontribusi terbesar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi
Sehingga dalam penelitian yang berjudul “ANALISIS SPASIAL PERKEMBANGAN SEKTOR
PERTANIAN DI KABUPATEN
NGAWI TAHUN 2004 - 2013” untuk mengetahui bagaimana perkembangan
sektor dan sub-sub sektor pertanian di Kabupaten Ngawi.
5

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
k) Bagaimana perkembangan kegiatan sektor pertanian di Kabupaten Ngawi
dari tahun 2004 – 2013 ?
l) Subsektor pertanian manakah yang memiliki keunggulan dan kontribusi
besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi ?
m) Bagaimana distribusi spasial subsektor pertanian yang memiliki
keunggulan dan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Ngawi ?

1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah :
j) Mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian dari tahun 2004 –
2013 di Kabupaten Ngawi
k) Mengetahui subsektor unggulan pertanian yang memiliki kontribusi besar
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi.
l) Mengetahui distribusi spasial subsektor unggulan pertanian di Kabupaten
Ngawi.

1.4 Kegunaan Penelitian


q) Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi Pemda Ngawi
untuk pengambilan kebijakan dalam pengembangan wilayah khususnya di
sektor pertanian.
r) Sebagai bahan referensi studi lebih lanjut mengenai perkembangan sektor
pertanian di Kabupaten Ngawi

1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya


Menurut Bintarto (1977), Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan
fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan, kelingkungan dan kompleks wilayah.
obyek kajian geografi yaitu obyek material
6

dan obyek formal. Obyek material pertama adalah kaitannya dengan beberapa aspek kehidupan
manusia, lingkungan dan aspek pembangunan, sedangkan obyek formal adalah cara memandang
dan cara berfikir terhadap obyek material tersebut dari segi keruangan yang meliputi pola,
system dan proses.

Parr (1999) mengemukakan bahwa wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori
sektor (sector theory) dan tahapan perkembangan (development stages theory). Teori sektor
diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa perkembangan wilayah dihubungkan
dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni primer (pertanian,
kehutanan, perikanan), sekunder (pertambangan, manufaktur, konstruksi, publik utilities) dan
tersier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ditandai oleh penggunaan
sumberdaya (dan manfaatnya) yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tersier dan
meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.

Rondinelli (1995) mengungkapkan indeks perkembangan wilayah dapat dilihat secara sederhana
dalam tiga indikator, yatu :
a. Karakteristik sosial ekonomi dan demografi diukur melalui pendapatan
perkapita, kebutuhan fisik minimum, Produk Domestik Regional Bruto, investasi jumlah
penduduk, pertumbuhan penduduk, jumlah usia harapan hidup, tingkat kematian bayi per 100
penduduk, jumlah fasilitas kesehatan.
b. Kontribusi industri dan produksi pertanian diukur melalui persentase
penyerapan tenaga kerja jumlah perusahaan komersial, luas total lahan pertanian dan
produktivitas pertanian, luas lahan sawah, luas lahan pertanian untuk hidup layak.
(n) Transportasi diukur melalui kualitas jalan, kepadatan jalan, tipe jalan dan
panjang jalan.
7

Ibery (1985) mengungkapkan bahwa geografi pertanian merupakan usaha untuk menjelaskan
mengenai variasi aktivitas pertanian secara spasial pada suatu wilayah di permukaan bumi.
Geografi pertanian merupakan satu bidang yang mengkaji dan menguraikan perbedaan kawasan-
kawasan yang diliputi oleh tanaman di permukaan bumi dan boleh dikatakan "ilmu pertanian
permukaan bumi berubah, dengan segala keterkaitan alam, ekonomi, dan sosial yang terkait
sebagaimana tercermin spasial". Geografi pertanian merupakan gabungan dari kegiatan
ekonomi, sosial dan alam yang saling berkaitan dan berkesinambungan.

Tujuan geografi pertanian menurut Singh dan Dhilon (1984 : 7 ) yaitu :


a. Perbedaan macam-macam pertanian yang tersebar di muka bumi dan
fungsinya dalam spasial.
(m)Tipe-tipe pertanian yang dikembangkan di daerah tertentu, persamaan dan
perbedaan dengan daerah lain.
(n) Menganalisa pelaksanaan sistem pertanian dan proses perubahannya.
(o) Arah dan isi perubahan dalam pertanian.
(p) Batas wilayah-wilayah produksi hasil panen dan kombinasi hasil panen atau
perusahaan pertanian
(q) Menghitung dan menguji tingkat perbedaan antar wilayah
(r) Identifikasi wilayah yang produktivitas pertaniannya lemah; dan
(s) Mengungkap wilayah pertanian yang stagnasi, transisi, dan dinamis.

Pembangunan pertanian pada dasarnya adalah proses transformasi pertanian. Transformasi


pertanian yaitu suatu proses perubahan pada berbagai aspek di bidang pertanian. Perubahan yang
dimaksud bukan hanya pada teknologi namun lebih jauh lagi pada kelembagaan ekonomi dan
sosial pertanian. Modernisasi pertanian dalam sistem perekonomian campuran di beberapa
negara berkembang juga dapat katakan sebagai suatu proses transisi yang berlangsung secara
bertahap tetapi berkesinambungan, yakni pola produksi yang subsistem menjadi sistem pertanian
yang terdiversifikasi dan terspesialisasi (Todaro, 2006).
8

Soekartawi (1996), Proses transformasi ekonomi nasional dimana peranan sektor pertanian
tergeser oleh sektor ekonomi yang lain seperti industri, perdagangan dan konstruksi adalah wajar
terjadi di Negara yang sedang membangun. Proses transformasi ini berjalan secara alami dan
terjadi dimana-mana termasuk pengalaman di negara maju. Ciri transformasi struktural ini dapat
dilihat pada peran relatif sektor pertanian dan sumbangannya pada PDB serta penyerapan tenaga
kerja. Ada 4 hal yang dapat dicatat sehubungan dengan adanya proses transformasi antara sektor
pertanian dan nonpertanian yaitu

(l) Adanya indikasi kekakuan di bidang teknologi, investasi dan tingkat


ketrampilan tenaga kerja di sektor pertanian; sehingga sektor ini tidak mampu
bersaing dengan sektor nonpertanian.
(m)Sektor nonpertanian khususnya industri, perdagangan dan konstruksi yang
kontribusinya naik begitu cepat terhadap PDB, ternyata tidak mampu banyak
menyerap tenaga kerja; yang memberikan indikasi bahwa kegiatan industri
yang ada selama ini lebih banyak berorientasi pada industri padat modal.
(n) Sebagian besar poduktivitas tenaga kerja di sektor pertanian yang rendah
karena tingkat pendidikan mereka yang rendah pula; sehingga terjadi stagnasi
tenaga kerja di sektor pertanian; sehingga perpindahan tenaga kerja di sektor
nonpertanian relative lama.
(o) Sektor pertanian diperlukan untuk mencukupi kebutuhan pangan
(swasembada pangan) dan untuk meningkatkan penerimaan devisa melalui
ekspor. Namun nilai tukar produk pertanian masih begitu rendah bila
dibandingkan dengan nilai tukar produk sektor nonpertanian khususnya
industri.

Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, maka dalam suatu perencanaan pembangunan
diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu
skala prioritas didasarkan atas pemahaman bahwa pertama, setiap sektor memiliki sumbangan
langsung dan
9

tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan


tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain). Kedua, setiap sektor memiliki keterkaitan
dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda. Ketiga, aktivitas sektoral
tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang
terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan (infrastruktur) dan sosial yang ada.

Atas dasar pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa di setiap wilayah selalu terdapat sektor-
sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian
wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut
memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung akibat
perkembangan suatu sektor berpengaruh terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya, dan
secara spasial berpengaruh secara luas di seluruh wilayah sasaran.

Didit Hasto hendratmoko (2005) dalam penelitiannya yang berjudul


“Kajian Tingkat Perkembangan Wilayah Untuk Pemilihan Wilayah Prioritas
Pengembangan di Kabupaten Wonogiri”, bertujuan untuk mengetahui derajat kesenjangan
perkembangan wilayah, mengetahui pola sebaran serta menentukan wilayah prioritas
pembangunan di Kabupaten Wonogiri. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode analisa sekunder dengan teknik analisis scalling, klasifikasi serta penggunaan
analisis tetangga terdekat. Untuk mengukur perkembangan suatu wilayah digunakan variabel-
variabel berikut :
6. Indikator Sosial Ekonomi dan Demografi. Indikator yang diukur adalah
kepadatan penduduk, PDRB wilayah serta jumlah penduduk tamatan
perguruan tinggi.
7. Indikator Aksesibilitas Wilayah dan Komunikasi. Indikator yang diukur
adalah kepemilikan telepon dan wartel serta kepemilikan sarana transportasi.
10

P Indikator Pelayanan Sosial Ekonomi. Indikator yang diukur adalah pelayanan


kesehatan (RS, Puskesmas), pelayanan perekonomian pasar (umum, desa dan
hewan) serta pelayanan pendidikan (SD, SMP, SMU, PT/Akademik).

Rahmi Dwi Pertiwi (2002) dalam penelitian yang berjudul “Analisis


Tingkat Perkembangan Wilayah di Kecamatan Aek Kanopan Kabupaten
Labuhan Ratu Sumatra Utara” menggunakan metode penelitian skalogram. Penelitian ini
bertujuan mengetahui ketersediaan fasilitas sesial ekonomi. Analisis faktor untuk mengetahui
ketersediaan fasilitas sosial ekonomi. Analisis faktor untuk mengetahui kontribusi variabel-
variabel tingkat perkembangan wilayah di Kecamatan Aek Kanopan. Variabel tersebut adalah
jumlah penduduk, jumlah keluarga prasejahtera, jumlah keluarga pengguna litrik, jumlah
pengguna televisi, jumlah rumah permanen dan luas lahan bangunan. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara ketersediaan fasilitas sosial dengan tingkat
perkembangan wilayah yang ditunjukkan dari analisis korelasi diperoleh angka korelasi
ketersediaan fasilitas pelayanan sosial ekonomi dengan tingkat perkembangan wilayah 0,783 dan
nilai probalitas 0,000 dengan derajat signifikansi 0,01. Sedangkan koefisien korelasi antardaya
layan di Kecamatan Aek Kanopan sebesar 0,551 dan nilai probabilitas 0,004 dengan derajat
signifikansi 0,01. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara daya layan dengan
perkembangan wilayah di Kecamatan Aek Kanopan.

Hal-hal yang dapat diacu oleh penulis dari penelitian di atas adalah sebagian tujuan, pengenalan
terhadap variable penelitian yang digunakan serta analisis yang digunakan sebagaimana yang
ditunjukkan pada table 1.2.
11

Tabel 1.2 Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Dilakukan

Nama Judul penelitian Tujuan penelitian Metode Hasil penelitian


peneliti penelitian

Didit Hasto Kajian Tingkat Perkembangan - Mengukur derajat kesenjangan Analisis - Terjadi kesenjangan
Hendratmok Wilayah Untuk Pemilihan perkembangan wilayah data wilayah di
o (2005) Wilayah Prioritas - Mengetahui pola sebaran sekunder Kabupaten
Pengembangan di Kabupaten - Menentukan wilayah prioritas Wonogiri
Wonogiri pembangunan - Pola persebaran dari
wilayah yang tidak
tertinggal adalah
cenderung acak.
Rahmi Dwi Analisi Tingkat - Mengukur derajat kesenjangan Analisis Terjadi perbedaan yang
Pratiwi Perkembangan Wilayah dan wilayah data signifikan pada masing-
(2002) Arahan Prioritas - Menentukan wilayah prioritas sekunder masing kelurahan di
Pengembangan di Kecamatan pengembangan Kecamatan Aek
AekKanopan Kabupaten Kanopan
Labohan Ratu Sumatra Utara
Yesi Analisis Spasial - Mengetahui tingkat Analisis - Tiap-tiap kecamatan
Nofitasari Perkembangan Sektor perkembangan sektor pertanian data memiliki perbedaan
(2015) Pertanian di Kabupaten Ngawi dari tahun 2004 – 2013 di sekunder potensi dalam sektor
Kabupaten Ngawi pertanian.
Tahun 2004 - 2013
- Mengetahui subsektor unggulan - Potensi unggulan
pertanian yang memiliki sektor pertanian di
kontribusi besar terhadap Kabupaten Ngawi
pertumbuhan ekonomi di tahun 2013 adalah
Kabupaten Ngawi. subsektor tanaman
- Mengetahui distribusi spasial pangan, peternakan
subsektor unggulan pertanian di dan kehutanan
Kabupaten Ngawi.

Perbandingan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang lain di atas adalah


10. Mengukur perkembangan kegiatan sektor pertanian melalui trend PDRB
selama tahun 2004-2013, sedangkan penelitian lain di atas untuk mengetahui
kesenjangan perkembangan wilayah.
11. Menentukan subsektor pertanian manakah yang menjadi subsektor unggulan
pertanian sehingga dapat dilakukan pengembangan produksi dan
produktivitas.
12

u) Mengetahui distribusi spasial subsektor unggulan pertanian sehingga dapat


diketahui wilayah mana saja yang memiliki potensi untuk kegiatan sektor
pertanian dan dapat dilakukan pengembangan berkelanjutan, sedangkan
penelitian lain di atas untuk menentukan wilayah prioritas pengembangan.

1.6 Kerangka Penelitian


Tingkat perkembangan wilayah merupakan cerminan dari pembangunan yang ada pada suatu
wilayah yang salah satu ukuran untuk mengetahui adanya perkembangan pada sektor pertanian
setiap tahunnya, subsektor unggulan yang menjadi primadona dan daya saing antar wilayah di
Kabupaten Ngawi yang ditunjukkan dengan tingkat perkembangannya (Level Of Development).
Tingkat perkembangan wilayah sendiri merupakan ukuran peringkat secara relatif yang
menyatakan kemajuan yang dicapai oleh wilayah sebagai hasil aktivitas pembangunan
dibandingkan dengan wilayah lain.

Pertanian berkelanjutan yang diidamkan pemerintah Kabupaten Ngawi memang sangat tepat jika
dijadikan potensi unggulan daerah. Perencanaan pembangunan di sektor pertanian meliputi 5
(lima) subsektor penting yaitu pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan
kehutanan. Hal ini harus dilakukan secara seksama. PDRB merupakan indikator kemajuan
ekonomi daerah, dan dapat memberikan gambaran mengenai kinerja suatu daerah, yang dalam
hal ini adalah kemajuan ekonomi daerah Kabupaten Ngawi.

Indikator untuk mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian di dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :

/ Indikator Ekonomi, yang terdiri dari :


Kontribusi sektor pertanian pada PDRB
Kontribusi subsektor pertanian pada PDRB
/ Indikator Pertanian, yang terdiri dari :
Luas Lahan Pertanian
13

/ Produksi Pertanian
/ Produksi Subsektor Pertanian

Tabel 1.3 Indikator Ekonomi


No Indikator Variabel Asumsi Thd Perkem. wilayah
1. PDRB Nilai PDRB wilayah Makin tinggi nilai PDRB
menunjukkan wilayah tersebut
semakin berkembang

Tabel 1.4 Indikator Pertanian


No Indikator variabel Asumsi Thd Perkem. wilayah
1 Luas Lahan - Sawah Semakin luas lahan sawah
Pertanian - Non sawah daripada non sawah maka
semakin berpotensi untuk
perkembangan dalam bidang
pertanian
2 Produksi - Luas panen dan hasil - Semakin luas lahan pertanian
Pertanian produksi pertanian maka semakin luas peluang
dalam sektor pertanain
- Semakin besar produksi
pertanian maka semakin
besar kontribusi terhadap
PDRB
3 Produksi - Tanaman pangan Subsektor pertanian yang
Subsektor - Perkebunan memberikan kontribusi terbesar
pertanian - Peternakan terhadap PDRB akan menjadi
- Perikanan subsektor unggulan sehingga
- kehutanan dapat dilakukan pengembangan
yang berkelanjutan
Sumber : BPS (dari berbagai sumber)
14

Di dalam penelitian ini data yang digunakan di ambil dari Bappeda dan Dinas Pertanian
Kabupaten Ngawi dari tahun 2004 sampai 2013. Alasan penulis mengambil dari data tersebut
dikarenakan bahwa dua kali pentahapan pembangunan di Indonesia adalah dalam jangka waktu
sepuluh tahun. Unit analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah subsektor dan
kecamatan. Dengan menggunakan unit analisis ini maka perbedaan tingkat perkembangan
wilayah di Kabupaten Ngawi akan lebih terlihat nyata wilayah yang memproduksi hasil
pertanian terbesar sehingga dapat dilakukan pengembangan wilayah yang berkelanjutan dalam
mendukung pembangunan sektoral sesuai kebijakan yang ada di Kabupaten Ngawi.

Selanjutnya untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap penjelasan pada kerangka


pemikiran dapat dilihat dalam diagram alir penelitian berikut (gambar 1.)
15

INPUT PROSES OUTPUT

POTENSI SEKTOR
 Evaluasi makro DAN SUBSEKTOR

Kabupaten Ngawi potensi daerah UNGGULAN
Dalam Angka
PERTANIAN KAB.
  Evaluasi makro NGAWI
Produk Regional
sektor pertanian
Domestik Bruto
 b. Analisis
Peta Ekonomi
perkembangan
Daerah Kabupaten Ngawi
PDRBdan
JJJ. Status kontribusi sektor
pertanian 10 tahun
Lingkungan
Hidup Daerah Kabupaten
Ngawi c. Analisis
perkembangan
KKK. PertanianTanam kontribusi subsektor BAHAN
pertanian MASUKAN BAGI
Pangan dan Hortikultura
PEMERINTAH
d. Identifikasi dan DAERAH KAB.
LLL. Strategi evaluasi subsektor NGAWI
Penanggulangan unggulan pertanian
Kemiskinan Daerah

e. Analisis spasial
MMM. Rencana Tata
Ruang Wilayah
f. Visualisasi distribusi
pada peta

Sumber : penulis

Gambar 1. Diagram Alir Pemikiran


16

Selanjutnya, berikut ini secara singkat disajikan tahapan pekerjaan untuk analisis penyusunan
peta sektor pertanian Kabupaten Ngawi.

identifikasi
sektor pertanian

identifikasi
peta distribusi subsektor
sektor pertanian unggulan
daerah pertanian per
kecamatan

penentuan
subsektor
unggulan
pertanian per
kecamatan

Sumber : penulis

Gambar 2. bagan tahapan analisis penyusunan peta distribusi sektor pertanian


17

Selanjutnya dalam pembuatan peta spasial distribusi sektor pertanian dilakukan tahapan secara
singkat antara lain :

Sumber Data Spasial Data Sekunder

Data Ekonomi
Peta Rupa Bumi Indonesia
Data Pertanian
Peta RTRW Kab.Ngawi
Data Subsektor Pertanian
Data Komoditas Unggulan
Pertanian
Digitasi PETA DASAR
Batas Administrasi
Jaringan Jalan
Jaringan Sungai Pengolahan Data
Titik Ibukota
Analisis Hasil

DATA SPASIAL POTENSI


SEKTOR PERTANIAN

Sumber : Penulis

Gambar 3. Alur Pengolahan Data Spasial


18

1.7 Metode Penelitian


Metode penelitian menurut jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kuantitatif yaitu mengolah data yang berbentuk angka dengan menggunakan
pendekatan keruangan yang dimanfaatkan untuk mengetahui distribusi spasial potensi sektor
pertanian di Kabupaten Ngawi.
1.7.1 Pemilihan Daerah Penelitian
Penelitian ini mengambil daerah Penelitian Kabupaten Ngawi yang memiliki 19 kecamatan
(Sine, Ngrambe, Jogorogo, Kendal, Geneng, Gerih, Kwadungan, Pangkur, Karangjati, Bringin,
Padas, Kasreman, Ngawi, Paron, Kedunggalar, Pitu, Widodaren, Mantingan, Karanganyar)
dengan tingkat perkembangan pada sektor pertanian yang berbeda. Pertimbangan-pertimbangan
yang melatarbelakangi pemilihan Kabupaten Ngawi sebagai daerah penelitian adalah sebagai
berikut :
d. Perkembangan wilayah di Kabupaten Ngawi menarik untuk dikaji karena
terlihat adanya potensi dalam sektor pertanian yang mempunyai peluang
terutama dengan melihat pada sumbangan PDRB Kabupaten.
e. Kondisi geografis yang terletak di Provinsi Jawa Timur paling barat yaitu
perbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, dengan kondisi seperti itulah
Kabupaten Ngawi sebagai kota transit jalur utama antara Jawa timur dan Jawa
Tengah. Disamping itu, Kabupaten Ngawi mempunyai lahan pertanian yang
masih cukup luas sehingga menjadi lumbung pangan di Provinsi Jawa Timur.
1.7.2 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa
instansi, seperti Dinas Pertanian, Bappeda dan lembaga-lembaga terkait. Data-data tersebut
antara lain :
1.Data PDRB 4.Data Produksi Pertanian
2.Kabupaten Ngawi Dalam 5.Data produksi Subsektor
Angka Pertanian
3.Peta Ekonomi Daerah 6.Luas Lahan Pertanian
19

1.7.3 Analisis Data


Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk
dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
menemukan jawaban dari tujuan penelitian yang ada.
Untuk mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian maka digunakan analisis LQ (location
Quotient). Alat analisis LQ merupakan sebuah alat analisis sederhana yang berguna untuk
mengidentifikasi kemampuan ekspor suatu sektor ekonomi di suatu wilayah. Suatu sektor
ekonomi yang memiliki kemampuan ekspor atau disebut sebagai sektor basis pada hakikatnya
merupakan sektor yang mampu memenuhi kebutuhan domestik (subsistence) dan memiliki
surplus produksi sehingga mampu memasok produk barang/jasanya untuk penduduk di
perekonomian lainnya. Sektor seperti itu dicirikan dengan proporsi yang lebih tinggi
dibandingkan proporsi sektor yang sama di perekonomian yang lebih luas. Kegiatan ekspor
secara simultan akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya menciptakan
lapangan kerja baru serta menarik investasi.

Seperti disinggung dalam paragraf sebelumnya bahwa LQ didapat atas dasar perhitungan output
(PDRB/value added based) atau tenaga kerja yang digunakan (employment based). Kajian ini
menggunakan value added based sesuai ketersediaan data yang diolah menggunakan formula
sebagai berikut. Nilai LQ merupakan besaran tanpa satuan (dimensionless). Dari nilai tersebut
dapat didekati berapa kemampuan ekspor suatu sektor/sub-sektor atau derajat subsistensinya.
20

Dimana:
LQ(x)Kab : Angka LQ sektor x di Kabupaten Ngawi
q(x)Kab : Nilai tambah bruto sektor x di Kabupaten Ngawi
Q(x)Provinsi : Nilai tambah bruto sektor x dalam Provinsi Jawa Timur
PDRBProvinsi : PDRB Provinsi Jawa Timur

Kriteria untuk menentukan dan menginterpretasikan nilai location quotient sebagaimana


dijelaskan Bendavid-Val (1991:74) sebagai berikut:
/ Jika nilai LQ > 1, kemampuan kontribusi sektor/sub sektor terhadap PDRB
lebih besar dibanding kemampuan rata-rata sektor/sub sektor sejenis di
wilayah referensi, sehingga merupakan sektor/sub sektor potensial,
/ Jika nilai LQ = 1, kemampuan kontribusi sektor/sub sektor tersebut terhadap
PDRB sama dengan rata-rata kemampuan sektor/sub sektor sejenis di wilayah
referensi, sehingga hanya dapat mencukupi kebutuhan di dalam daerah
sendiri,
/ Jika nilai LQ < 1, kemampuan kontribusi sektor/sub sektor lebih kecil
dibandingkan kemampuan rata-rata wilayah referensi sehingga bukan
merupakan sektor unggulan.
Subsektor yang mampu menjadi motor penggerak utama perekonomian Kabupaten Ngawi
ditunjukkan dengan nilai LQ ≥ 1 atau disebut sebagai sektor basis. Subsektor ini selain mampu
memenuhi kebutuhan perekonomian Kabupaten Ngawi juga mampu mengekspor output
produksinya ke wilayah lain. Subsektor ini secara implisit adalah subsektor yang memiliki
kontribusi tinggi atau sangat tinggi (share) jika dibandingkan kontribusi subsektor yang sama
terhadap perekonomian Provinsi Jawa Timur atau dengan kata lain peranan relatif subsektor
yang bersangkutan dalam daerah adalah sama dengan peranan relatif industri sejenis dalam
perekonomian provinsi.

Sistem Informasi Geografis digunakan sebagai alat analisis keruangan yang mampu
menggambarkan hubungan berbagai fenomena spasial baik fisik
21

maupun sosial yang terjadi di suatu wilayah. Pemetaan eksisting kondisi fisik (bentuk lahan,
jenis tanah, cuaca/iklim, litologi, topografi, bencana, dan lain-lain) dan kondisi sosial-ekonomi
suatu wilayah meliputi kependudukan, aktivitas ekonomi, jaringan keluar dan masuk komoditas,
dan lain-lain adalah kegiatan awal dari analisis spasial.

Berbagai tema pemetaan tersebut diproses dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) atau
Geographic Information System (GIS) menggunakan aplikasi ArcGIS dengan peta administrasi
Kabupaten Ngawi dan Peta RBI Kabupaten Ngawi. Metode overlay dengan penilaian scoring
maupun matching. Hasilnya merupakan peta wilayah-wilayah dengan potensi yang dimiliki.

17 Subsektor tanaman pangan

Luas panen (padi 20 Luas lahan sawah dan


& palawija) non sawah
21 Luas lahan pengembangan
Jumlah produksi
per kecamatan
(padi & palawija)

Peta distribusi
Peta distribusi Peta distribusi
potensi subsektor
potensi potensi
tanaman pangan
komoditas padi komoditas
2013
2013 palawija 2013

perbandingan

Produksi x harga
22

= Subsektor Perkebunan Subsektor Peternakan

Luas area tanaman Jumlah populasi


perkebunan ternak
Jumlah produksi Produksi Telur
Produksi daging

Peta distribusi potensi Peta distribusi


subsektor perkebunan potensi subsektor
2013 peternakan 2013

4. Subsektor Perikanan

- Luas area perikanan


- Jumlah produksi
- Impor ikan

Peta distribusi potensi


subsektor perikanan
2013
23

1.7.4 Langkah-Langkah Penelitian


Langkah-langkah penelitian adalah suatu usaha atau tindakan operasional yang dilakukan agar
tujuan penelitian dapat tercapai, meliputi :
1. Tahap persiapan
Tahap persiapan dalam penelitian meliputi :
a. Studi Pustaka
Kegiatan ini dilakukan untuk mempelajari literatur, laporan, majalah dan brosur-brosur yang ada
hubungannya dengan penelitian.
b. Studi peta
Studi peta dilakukan dalam rangka mempelajari peta-peta daerah penelitian yang nantinya akan
digunakan untuk menyiapkan peta dasar guna penempatan data.
2. Tahap pelaksanaan
Tahap ini merupakan tahap pengumpulan data sekunder dan data primer untuk melengkapi data-
data yang kurang lengkap. Data sekunder diperoleh dengan cara mencatat data yang ada di
instansi terkait dan data primer diperoleh dengan cara pengecekan langsung ke lapangan.
a. Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian meliputi :
1. Variabel pengaruh, yaitu :
- PDRB
- Produksi pertanian
- Produksi sub-subsektor pertanian
- Luas lahan
2. Variabel Terpengaruh, yaitu perkembangan dan distribusi subsektor
pertanian.
3. Tahap analisis data
Tahap ini menggunakan analisis sebagai berikut :
a. Analisis kuantitatif
24

Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui potensi sektor pertanian, proyeksi


perkembangan subsektor pertanian dan pola spasial atau persebaran.
b. Analisis peta
Analisis peta digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian dengan melihat aspek keruangan dari
daerah yang diteliti.
c. Analisis deskriptif kualitatif
Analisis ini digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian yang telah dilakukan dari data
kuanitatif maupun data yang tidak dapat dikuantitatifkan. Analisis ini diharapkan dapat
mendukung dua analisis sebelumnya.

1.8 Batasan Operasional

1. Analisis spasial adalah analisis yang menyangkut obyek-obyek dalam system


keruangan, dengan input utama adalah data dan informasi spasial (Ernan
Rustiadi,dkk. 2009).
2. Geografi Pertanian yaitu bahwa geografi pertanian merupakan deskripsi
tentang seni mengolah tanah dalam skala luas dengan memperhatikan
kondisi lingkungan alam dan manusia (Singh dan Dhilon, 1984 : 3 )
3. Pola spasial adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi
budidaya (Ernan Rustiadi,dkk. 2009).
4. Perkembangan wilayah adalah kemajuan yang dicapai oleh suatu wilayah
sebagai hasil aktivitas pembangunan (Hadi Sabari Yunus, 1991).
5. Pembangunan Ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan
kerja, memeratakan distribusi pendapatan masyarakat, meningkatkan
hubungan ekonomi regional dan melalui pergeseran kegiatan ekonomi dari
sektor primer ke sektor sekunder dan tersier (BPS Ngawi, 2014).
25
6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan nilai tambah bruto
seluruh barang dan jasa yang tercipta atau dihasilkan di wilayah domestik
suatu negara yang timbul akibat berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu
periode tertentu tanpa memperhatikan apakah faktor produksi yang dimiliki
residen atau non-residen (BPS Ngawi, 2014).
7. Sektor Pertanian adalah sektor yang melakukan kegiatan pemanfaatan
sumberdaya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan
pangan, bahan baku industry atau sumber energi serta untuk mengelola
lingkungan hidupnya (Wikipedia,2015).
8. SIG adalah sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang
tereferensi secara spasial atau koordinat-koordinat geografi. Dengan kata
lain, SIG merupakan system basisdata dengan kemampuan-kemampuan
khusus untuk data yang tereferensi secara geografis (Foote, dalam Eddy
Prahasta,2005).
9. Transformasi pertanian yaitu sutu proses perubahan pada berbagai aspek di
bidang pertanian. Perubahan yang dimaksud bukan hanya pada teknologi
namun lebih jauh lagi pada kelembagaan ekonomi dan sosial pertanian
(Todaro, 2006).
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang (balance development).


Isu pembangunan wilayah atau daerah berimbang yaitu tidak mengharuskan adanya kesamaan
tingkat pembangunan antar daerah (equally developed), juga tidak menuntut pencapaian tingkat
industrialisasi wilayah atau daerah yang seragam, juga bentuk-bentuk keseragaman pola dan
struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (self sufficiency) setiap
wilayah atau daerah. Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensi-potensi
pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah atau daerah yang beragam
(Murry, 2000).

Dalam proses pembangunan ekonomi nasional, tidak terlepas dari pembangunan ekonomi daerah
atau regional. Pembangunan ekonomi daerah adalah proses yang dilakukan oleh pemerintah
daerah dalam mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan pemerintah
daerah dan sektor swasta dalam menciptakan lapangan kerja baru dan perangsang pertumbuhan
ekonomi dalam wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi daerah dipengaruhi oleh keunggulan
komparatif suatu daerah, spesialisasi wilayah, serta potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah
tersebut (Arsyad, 1999).

Istilah pola keruangan erat kaitannya dengan istilah-istilah seperti pemusatan, penyebaran,
pencampuran dan keterkaitan, serta posisi atau lokasi dan lain-lain. Istilah pola pemanfaatan
ruang berkaitan dengan aspek-aspek distribusi spasial sumberdaya dan aktivitas pemanfatannya
menurut lokasi, setiap jenis aktivitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat
penyebaran yang berbeda-beda pula. Dalam cara pandang yang lain, sumberdaya dan aktivitas
manusia yang memanfaatkannya terkonsentrasi dengan tingkat yang berbeda-

1
2

beda. Secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya digambarkan dalam berbagai
bentuk peta (Ernan Rustiadi, Sunsun Saefulhakim, Dyah R. 2009).

Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari keunggulan
atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam
memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda.
Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana
kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini
akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar
wilayah atau daerah. Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang
hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang.

Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial, serta keterpaduan


antar pelaku (institutions) pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral
menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan, sehingga
setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka
pembangunan wilayah. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan anatara
sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor
yang sangat dinamis (Ernan Rustiadi,Sunsun Saefulhakim dan Dyah R. 2009)

Kondisi topografi di Kabupaten Ngawi cukup bervariasi yaitu topografi datar, bergelombang,
berbukit dan pegunungan tinggi dengan ketinggian 40 – 3.3031 meter dari atas permukaan air
laut. Secara umum, di bagian tengah adalah derah dataran yang merupakan pertanian subur.
Kabupaten Ngawi termasuk daerah yang beriklim tropis, dan hanya mengenal dua musim yaitu
musim kemarau dan musim penghujan. Kabupaten Ngawi merupakan Kabupaten yang
3

memiliki banyak sungai. Sungai besar maupun kecil mengelilingi seluruh daerah Ngawi. Ada 2
(dua) sungai besar yang melewati Ngawi yaitu Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun
sebagai pendukung dalam pengairan pertanian. Jenis tanah didominasi oleh jenis tanah Grumusol
sekitar 43% yang merupakan tanah subur dan sesuai untuk pertanian. Jumlah penduduk
Kabupaten Ngawi akhir tahun 2013 adalah 915.493 jiwa, terdiri dari 449.947 penduduk laki-laki
dan 465.546 penduduk perempuan.

Prioritas pengembangan sektor ekonomi di Kabupaten Ngawi adalah sektor pertanian yang
merupakan kategori sektor unggulan dan berpotensi untuk mengembangkan sektor ekonomi
wilayah. Sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi Kabupaten Ngawi. Dari 129.598
ha luas wilayah Kabupaten Ngawi 72% diantaranya berupa lahan sawah, hutan dan tanah
perkebunan. Sektor ini menyerap sekitar 76% dari total tenaga kerja yang ada. Dari 5 subsektor
pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan), subsektor
tanaman pangan khususnya komoditi padi merupakan penyumbang terbesar terhadap total nilai
produksi pertanian. Sumbangan PDRB terbesar pertama tahun 2009 di Kabupaten Ngawi adalah
sektor pertanian sebesar 36,91% (SPKD Ngawi, 2010). Sektor pertanian masih menjadi sektor
utama yang menyerap tenaga kerja di kabupaten ngawi. berdasarkan sakernas tahun 2012,
lapangan pekerjaan masyarakat ngawi di sektor pertanian sebesar 58,53%.

Angka PDRB Ngawi atas dasar harga berlaku tahun 2013 mencapai 10.331,39 milyar rupiah
naik sekitar 12,77 persen dari tahun 2012 yang mencapai 9.161,12 milyar rupiah. Sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan (2000) tahun 2013 mencapai 3.784,07 milyar rupiah, naik sekitar
6,97 % dari tahun sebelumnya yang mencapai 3.537,19 milyar rupiah. Sampai dengan tahun
2013 perekonomian Kabupaten Ngawi masih didominasi sektor pertanian. Sumbangan sektor ini
terhadap total PDRB sampai dengan 2013 sekitar 36,33 persen (tabel
4

1.1). Sektor pertanian menjadi sektor unggulan bagi Kabupaten Ngawi, sumbangan pertanian
pada PDRB Atas Dasar Harga Berlaku terhadap total PDRB selalu diatas 30 persen.
Tabel 1.1 Sumbangan PDRB Kabupaten Ngawi Menurut Lapangan Usaha Atas
Dasar Harga Berlaku Tahun 2009-2013
Lapangan usaha 2009 2010 2011 2012 2013
Pertanian 36,91 36,63 35,72 36,27 36,33
Pertambangan dan penggalian 0,54 0,50 0,49 0,47 0,45
Industri pengolahan 6,20 6,28 6,57 6,59 6,67
Listrik, gas dan air bersih 0,83 0,83 0,85 0,88 0,87
Bangunan 4,73 4,97 5,33 5,24 5,34
Perdagangan, hotel dan restoran 28,05 28,66 29,20 29,29 29,38
Pengangkutan dan komunikasi 2,87 2,87 2,88 2,83 2,85
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 5,56 5,52 5,50 5,52 5,50
Jasa-jasa 14,31 13,73 13,45 12,92 12,61
PDRB 100 100 100 100 100
Sumber : Kabupaten Ngawi Dalam Angka 2014

Berdasarkan sumbangan sektor pertanian pada PDRB dari tahun 2009 sampai 2013 selalu berada
di atas 35% atau sepertiga dari total PDRB merupakan sebagai landasan untuk penelitian ini.
Maka penelitian ini bertujuan untuk menggali potensi pada sektor pertanian. Untuk itu perlu
dilakukan kajian yang lebih terperinci hingga pada tingkat subsektor atau bahkan komoditas
yang menjadi kontribusi terbesar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi
Sehingga dalam penelitian yang berjudul “ANALISIS SPASIAL PERKEMBANGAN SEKTOR
PERTANIAN DI KABUPATEN
NGAWI TAHUN 2004 - 2013” untuk mengetahui bagaimana perkembangan
sektor dan sub-sub sektor pertanian di Kabupaten Ngawi.
5

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
n) Bagaimana perkembangan kegiatan sektor pertanian di Kabupaten Ngawi
dari tahun 2004 – 2013 ?
o) Subsektor pertanian manakah yang memiliki keunggulan dan kontribusi
besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi ?
p) Bagaimana distribusi spasial subsektor pertanian yang memiliki
keunggulan dan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Ngawi ?

1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah :
m) Mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian dari tahun 2004 –
2013 di Kabupaten Ngawi
n) Mengetahui subsektor unggulan pertanian yang memiliki kontribusi besar
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi.
o) Mengetahui distribusi spasial subsektor unggulan pertanian di Kabupaten
Ngawi.

1.4 Kegunaan Penelitian


s) Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi Pemda Ngawi
untuk pengambilan kebijakan dalam pengembangan wilayah khususnya di
sektor pertanian.
t) Sebagai bahan referensi studi lebih lanjut mengenai perkembangan sektor
pertanian di Kabupaten Ngawi

1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya


Menurut Bintarto (1977), Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan
fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan, kelingkungan dan kompleks wilayah.
obyek kajian geografi yaitu obyek material
6

dan obyek formal. Obyek material pertama adalah kaitannya dengan beberapa aspek kehidupan
manusia, lingkungan dan aspek pembangunan, sedangkan obyek formal adalah cara memandang
dan cara berfikir terhadap obyek material tersebut dari segi keruangan yang meliputi pola,
system dan proses.

Parr (1999) mengemukakan bahwa wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori
sektor (sector theory) dan tahapan perkembangan (development stages theory). Teori sektor
diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa perkembangan wilayah dihubungkan
dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni primer (pertanian,
kehutanan, perikanan), sekunder (pertambangan, manufaktur, konstruksi, publik utilities) dan
tersier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ditandai oleh penggunaan
sumberdaya (dan manfaatnya) yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tersier dan
meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.

Rondinelli (1995) mengungkapkan indeks perkembangan wilayah dapat dilihat secara sederhana
dalam tiga indikator, yatu :
a. Karakteristik sosial ekonomi dan demografi diukur melalui pendapatan
perkapita, kebutuhan fisik minimum, Produk Domestik Regional Bruto, investasi jumlah
penduduk, pertumbuhan penduduk, jumlah usia harapan hidup, tingkat kematian bayi per 100
penduduk, jumlah fasilitas kesehatan.
b. Kontribusi industri dan produksi pertanian diukur melalui persentase
penyerapan tenaga kerja jumlah perusahaan komersial, luas total lahan pertanian dan
produktivitas pertanian, luas lahan sawah, luas lahan pertanian untuk hidup layak.
(o) Transportasi diukur melalui kualitas jalan, kepadatan jalan, tipe jalan dan
panjang jalan.
7

Ibery (1985) mengungkapkan bahwa geografi pertanian merupakan usaha untuk menjelaskan
mengenai variasi aktivitas pertanian secara spasial pada suatu wilayah di permukaan bumi.
Geografi pertanian merupakan satu bidang yang mengkaji dan menguraikan perbedaan kawasan-
kawasan yang diliputi oleh tanaman di permukaan bumi dan boleh dikatakan "ilmu pertanian
permukaan bumi berubah, dengan segala keterkaitan alam, ekonomi, dan sosial yang terkait
sebagaimana tercermin spasial". Geografi pertanian merupakan gabungan dari kegiatan
ekonomi, sosial dan alam yang saling berkaitan dan berkesinambungan.

Tujuan geografi pertanian menurut Singh dan Dhilon (1984 : 7 ) yaitu :


a. Perbedaan macam-macam pertanian yang tersebar di muka bumi dan
fungsinya dalam spasial.
(t) Tipe-tipe pertanian yang dikembangkan di daerah tertentu, persamaan dan
perbedaan dengan daerah lain.
(u) Menganalisa pelaksanaan sistem pertanian dan proses perubahannya.
(v) Arah dan isi perubahan dalam pertanian.
(w) Batas wilayah-wilayah produksi hasil panen dan kombinasi hasil panen atau
perusahaan pertanian
(x) Menghitung dan menguji tingkat perbedaan antar wilayah
(y) Identifikasi wilayah yang produktivitas pertaniannya lemah; dan
(z) Mengungkap wilayah pertanian yang stagnasi, transisi, dan dinamis.

Pembangunan pertanian pada dasarnya adalah proses transformasi pertanian. Transformasi


pertanian yaitu suatu proses perubahan pada berbagai aspek di bidang pertanian. Perubahan yang
dimaksud bukan hanya pada teknologi namun lebih jauh lagi pada kelembagaan ekonomi dan
sosial pertanian. Modernisasi pertanian dalam sistem perekonomian campuran di beberapa
negara berkembang juga dapat katakan sebagai suatu proses transisi yang berlangsung secara
bertahap tetapi berkesinambungan, yakni pola produksi yang subsistem menjadi sistem pertanian
yang terdiversifikasi dan terspesialisasi (Todaro, 2006).
8

Soekartawi (1996), Proses transformasi ekonomi nasional dimana peranan sektor pertanian
tergeser oleh sektor ekonomi yang lain seperti industri, perdagangan dan konstruksi adalah wajar
terjadi di Negara yang sedang membangun. Proses transformasi ini berjalan secara alami dan
terjadi dimana-mana termasuk pengalaman di negara maju. Ciri transformasi struktural ini dapat
dilihat pada peran relatif sektor pertanian dan sumbangannya pada PDB serta penyerapan tenaga
kerja. Ada 4 hal yang dapat dicatat sehubungan dengan adanya proses transformasi antara sektor
pertanian dan nonpertanian yaitu

(p) Adanya indikasi kekakuan di bidang teknologi, investasi dan tingkat


ketrampilan tenaga kerja di sektor pertanian; sehingga sektor ini tidak mampu
bersaing dengan sektor nonpertanian.
(q) Sektor nonpertanian khususnya industri, perdagangan dan konstruksi yang
kontribusinya naik begitu cepat terhadap PDB, ternyata tidak mampu banyak
menyerap tenaga kerja; yang memberikan indikasi bahwa kegiatan industri
yang ada selama ini lebih banyak berorientasi pada industri padat modal.
(r) Sebagian besar poduktivitas tenaga kerja di sektor pertanian yang rendah
karena tingkat pendidikan mereka yang rendah pula; sehingga terjadi stagnasi
tenaga kerja di sektor pertanian; sehingga perpindahan tenaga kerja di sektor
nonpertanian relative lama.
(s) Sektor pertanian diperlukan untuk mencukupi kebutuhan pangan
(swasembada pangan) dan untuk meningkatkan penerimaan devisa melalui
ekspor. Namun nilai tukar produk pertanian masih begitu rendah bila
dibandingkan dengan nilai tukar produk sektor nonpertanian khususnya
industri.

Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, maka dalam suatu perencanaan pembangunan
diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu
skala prioritas didasarkan atas pemahaman bahwa pertama, setiap sektor memiliki sumbangan
langsung dan
9

tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan


tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain). Kedua, setiap sektor memiliki keterkaitan
dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda. Ketiga, aktivitas sektoral
tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang
terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan (infrastruktur) dan sosial yang ada.

Atas dasar pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa di setiap wilayah selalu terdapat sektor-
sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian
wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut
memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung akibat
perkembangan suatu sektor berpengaruh terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya, dan
secara spasial berpengaruh secara luas di seluruh wilayah sasaran.

Didit Hasto hendratmoko (2005) dalam penelitiannya yang berjudul


“Kajian Tingkat Perkembangan Wilayah Untuk Pemilihan Wilayah Prioritas
Pengembangan di Kabupaten Wonogiri”, bertujuan untuk mengetahui derajat kesenjangan
perkembangan wilayah, mengetahui pola sebaran serta menentukan wilayah prioritas
pembangunan di Kabupaten Wonogiri. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode analisa sekunder dengan teknik analisis scalling, klasifikasi serta penggunaan
analisis tetangga terdekat. Untuk mengukur perkembangan suatu wilayah digunakan variabel-
variabel berikut :
8. Indikator Sosial Ekonomi dan Demografi. Indikator yang diukur adalah
kepadatan penduduk, PDRB wilayah serta jumlah penduduk tamatan
perguruan tinggi.
9. Indikator Aksesibilitas Wilayah dan Komunikasi. Indikator yang diukur
adalah kepemilikan telepon dan wartel serta kepemilikan sarana transportasi.
10

Q Indikator Pelayanan Sosial Ekonomi. Indikator yang diukur adalah pelayanan


kesehatan (RS, Puskesmas), pelayanan perekonomian pasar (umum, desa dan
hewan) serta pelayanan pendidikan (SD, SMP, SMU, PT/Akademik).

Rahmi Dwi Pertiwi (2002) dalam penelitian yang berjudul “Analisis


Tingkat Perkembangan Wilayah di Kecamatan Aek Kanopan Kabupaten
Labuhan Ratu Sumatra Utara” menggunakan metode penelitian skalogram. Penelitian ini
bertujuan mengetahui ketersediaan fasilitas sesial ekonomi. Analisis faktor untuk mengetahui
ketersediaan fasilitas sosial ekonomi. Analisis faktor untuk mengetahui kontribusi variabel-
variabel tingkat perkembangan wilayah di Kecamatan Aek Kanopan. Variabel tersebut adalah
jumlah penduduk, jumlah keluarga prasejahtera, jumlah keluarga pengguna litrik, jumlah
pengguna televisi, jumlah rumah permanen dan luas lahan bangunan. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara ketersediaan fasilitas sosial dengan tingkat
perkembangan wilayah yang ditunjukkan dari analisis korelasi diperoleh angka korelasi
ketersediaan fasilitas pelayanan sosial ekonomi dengan tingkat perkembangan wilayah 0,783 dan
nilai probalitas 0,000 dengan derajat signifikansi 0,01. Sedangkan koefisien korelasi antardaya
layan di Kecamatan Aek Kanopan sebesar 0,551 dan nilai probabilitas 0,004 dengan derajat
signifikansi 0,01. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara daya layan dengan
perkembangan wilayah di Kecamatan Aek Kanopan.

Hal-hal yang dapat diacu oleh penulis dari penelitian di atas adalah sebagian tujuan, pengenalan
terhadap variable penelitian yang digunakan serta analisis yang digunakan sebagaimana yang
ditunjukkan pada table 1.2.
11

Tabel 1.2 Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Dilakukan

Nama Judul penelitian Tujuan penelitian Metode Hasil penelitian


peneliti penelitian

Didit Hasto Kajian Tingkat Perkembangan - Mengukur derajat kesenjangan Analisis - Terjadi kesenjangan
Hendratmok Wilayah Untuk Pemilihan perkembangan wilayah data wilayah di
o (2005) Wilayah Prioritas - Mengetahui pola sebaran sekunder Kabupaten
Pengembangan di Kabupaten - Menentukan wilayah prioritas Wonogiri
Wonogiri pembangunan - Pola persebaran dari
wilayah yang tidak
tertinggal adalah
cenderung acak.
Rahmi Dwi Analisi Tingkat - Mengukur derajat kesenjangan Analisis Terjadi perbedaan yang
Pratiwi Perkembangan Wilayah dan wilayah data signifikan pada masing-
(2002) Arahan Prioritas - Menentukan wilayah prioritas sekunder masing kelurahan di
Pengembangan di Kecamatan pengembangan Kecamatan Aek
AekKanopan Kabupaten Kanopan
Labohan Ratu Sumatra Utara
Yesi Analisis Spasial - Mengetahui tingkat Analisis - Tiap-tiap kecamatan
Nofitasari Perkembangan Sektor perkembangan sektor pertanian data memiliki perbedaan
(2015) Pertanian di Kabupaten Ngawi dari tahun 2004 – 2013 di sekunder potensi dalam sektor
Kabupaten Ngawi pertanian.
Tahun 2004 - 2013
- Mengetahui subsektor unggulan - Potensi unggulan
pertanian yang memiliki sektor pertanian di
kontribusi besar terhadap Kabupaten Ngawi
pertumbuhan ekonomi di tahun 2013 adalah
Kabupaten Ngawi. subsektor tanaman
- Mengetahui distribusi spasial pangan, peternakan
subsektor unggulan pertanian di dan kehutanan
Kabupaten Ngawi.

Perbandingan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang lain di atas adalah


12. Mengukur perkembangan kegiatan sektor pertanian melalui trend PDRB
selama tahun 2004-2013, sedangkan penelitian lain di atas untuk mengetahui
kesenjangan perkembangan wilayah.
13. Menentukan subsektor pertanian manakah yang menjadi subsektor unggulan
pertanian sehingga dapat dilakukan pengembangan produksi dan
produktivitas.
12

v) Mengetahui distribusi spasial subsektor unggulan pertanian sehingga dapat


diketahui wilayah mana saja yang memiliki potensi untuk kegiatan sektor
pertanian dan dapat dilakukan pengembangan berkelanjutan, sedangkan
penelitian lain di atas untuk menentukan wilayah prioritas pengembangan.

1.6 Kerangka Penelitian


Tingkat perkembangan wilayah merupakan cerminan dari pembangunan yang ada pada suatu
wilayah yang salah satu ukuran untuk mengetahui adanya perkembangan pada sektor pertanian
setiap tahunnya, subsektor unggulan yang menjadi primadona dan daya saing antar wilayah di
Kabupaten Ngawi yang ditunjukkan dengan tingkat perkembangannya (Level Of Development).
Tingkat perkembangan wilayah sendiri merupakan ukuran peringkat secara relatif yang
menyatakan kemajuan yang dicapai oleh wilayah sebagai hasil aktivitas pembangunan
dibandingkan dengan wilayah lain.

Pertanian berkelanjutan yang diidamkan pemerintah Kabupaten Ngawi memang sangat tepat jika
dijadikan potensi unggulan daerah. Perencanaan pembangunan di sektor pertanian meliputi 5
(lima) subsektor penting yaitu pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan
kehutanan. Hal ini harus dilakukan secara seksama. PDRB merupakan indikator kemajuan
ekonomi daerah, dan dapat memberikan gambaran mengenai kinerja suatu daerah, yang dalam
hal ini adalah kemajuan ekonomi daerah Kabupaten Ngawi.

Indikator untuk mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian di dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :

/ Indikator Ekonomi, yang terdiri dari :


Kontribusi sektor pertanian pada PDRB
Kontribusi subsektor pertanian pada PDRB
/ Indikator Pertanian, yang terdiri dari :
Luas Lahan Pertanian
13

/ Produksi Pertanian
/ Produksi Subsektor Pertanian

Tabel 1.3 Indikator Ekonomi


No Indikator Variabel Asumsi Thd Perkem. wilayah
1. PDRB Nilai PDRB wilayah Makin tinggi nilai PDRB
menunjukkan wilayah tersebut
semakin berkembang

Tabel 1.4 Indikator Pertanian


No Indikator variabel Asumsi Thd Perkem. wilayah
1 Luas Lahan - Sawah Semakin luas lahan sawah
Pertanian - Non sawah daripada non sawah maka
semakin berpotensi untuk
perkembangan dalam bidang
pertanian
2 Produksi - Luas panen dan hasil - Semakin luas lahan pertanian
Pertanian produksi pertanian maka semakin luas peluang
dalam sektor pertanain
- Semakin besar produksi
pertanian maka semakin
besar kontribusi terhadap
PDRB
3 Produksi - Tanaman pangan Subsektor pertanian yang
Subsektor - Perkebunan memberikan kontribusi terbesar
pertanian - Peternakan terhadap PDRB akan menjadi
- Perikanan subsektor unggulan sehingga
- kehutanan dapat dilakukan pengembangan
yang berkelanjutan
Sumber : BPS (dari berbagai sumber)
14

Di dalam penelitian ini data yang digunakan di ambil dari Bappeda dan Dinas Pertanian
Kabupaten Ngawi dari tahun 2004 sampai 2013. Alasan penulis mengambil dari data tersebut
dikarenakan bahwa dua kali pentahapan pembangunan di Indonesia adalah dalam jangka waktu
sepuluh tahun. Unit analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah subsektor dan
kecamatan. Dengan menggunakan unit analisis ini maka perbedaan tingkat perkembangan
wilayah di Kabupaten Ngawi akan lebih terlihat nyata wilayah yang memproduksi hasil
pertanian terbesar sehingga dapat dilakukan pengembangan wilayah yang berkelanjutan dalam
mendukung pembangunan sektoral sesuai kebijakan yang ada di Kabupaten Ngawi.

Selanjutnya untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap penjelasan pada kerangka


pemikiran dapat dilihat dalam diagram alir penelitian berikut (gambar 1.)
15

INPUT PROSES OUTPUT

POTENSI SEKTOR
 Evaluasi makro DAN SUBSEKTOR

Kabupaten Ngawi potensi daerah UNGGULAN
Dalam Angka
PERTANIAN KAB.
  Evaluasi makro NGAWI
Produk Regional
sektor pertanian
Domestik Bruto
 g. Analisis
Peta Ekonomi
perkembangan
Daerah Kabupaten Ngawi
PDRBdan
NNN. Status kontribusi sektor
pertanian 10 tahun
Lingkungan
Hidup Daerah Kabupaten
Ngawi h. Analisis
perkembangan
OOO. PertanianTanam kontribusi subsektor BAHAN
pertanian MASUKAN BAGI
Pangan dan Hortikultura
PEMERINTAH
i. Identifikasi dan DAERAH KAB.
PPP. Strategi evaluasi subsektor NGAWI
Penanggulangan unggulan pertanian
Kemiskinan Daerah

j. Analisis spasial
QQQ. Rencana Tata
Ruang Wilayah
k. Visualisasi distribusi
pada peta

Sumber : penulis

Gambar 1. Diagram Alir Pemikiran


16

Selanjutnya, berikut ini secara singkat disajikan tahapan pekerjaan untuk analisis penyusunan
peta sektor pertanian Kabupaten Ngawi.

identifikasi
sektor pertanian

identifikasi
peta distribusi subsektor
sektor pertanian unggulan
daerah pertanian per
kecamatan

penentuan
subsektor
unggulan
pertanian per
kecamatan

Sumber : penulis

Gambar 2. bagan tahapan analisis penyusunan peta distribusi sektor pertanian


17

Selanjutnya dalam pembuatan peta spasial distribusi sektor pertanian dilakukan tahapan secara
singkat antara lain :

Sumber Data Spasial Data Sekunder

Data Ekonomi
Peta Rupa Bumi Indonesia
Data Pertanian
Peta RTRW Kab.Ngawi
Data Subsektor Pertanian
Data Komoditas Unggulan
Pertanian
Digitasi PETA DASAR
Batas Administrasi
Jaringan Jalan
Jaringan Sungai Pengolahan Data
Titik Ibukota
Analisis Hasil

DATA SPASIAL POTENSI


SEKTOR PERTANIAN

Sumber : Penulis

Gambar 3. Alur Pengolahan Data Spasial


18

1.7 Metode Penelitian


Metode penelitian menurut jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kuantitatif yaitu mengolah data yang berbentuk angka dengan menggunakan
pendekatan keruangan yang dimanfaatkan untuk mengetahui distribusi spasial potensi sektor
pertanian di Kabupaten Ngawi.
1.7.1 Pemilihan Daerah Penelitian
Penelitian ini mengambil daerah Penelitian Kabupaten Ngawi yang memiliki 19 kecamatan
(Sine, Ngrambe, Jogorogo, Kendal, Geneng, Gerih, Kwadungan, Pangkur, Karangjati, Bringin,
Padas, Kasreman, Ngawi, Paron, Kedunggalar, Pitu, Widodaren, Mantingan, Karanganyar)
dengan tingkat perkembangan pada sektor pertanian yang berbeda. Pertimbangan-pertimbangan
yang melatarbelakangi pemilihan Kabupaten Ngawi sebagai daerah penelitian adalah sebagai
berikut :
f. Perkembangan wilayah di Kabupaten Ngawi menarik untuk dikaji karena
terlihat adanya potensi dalam sektor pertanian yang mempunyai peluang
terutama dengan melihat pada sumbangan PDRB Kabupaten.
g. Kondisi geografis yang terletak di Provinsi Jawa Timur paling barat yaitu
perbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, dengan kondisi seperti itulah
Kabupaten Ngawi sebagai kota transit jalur utama antara Jawa timur dan Jawa
Tengah. Disamping itu, Kabupaten Ngawi mempunyai lahan pertanian yang
masih cukup luas sehingga menjadi lumbung pangan di Provinsi Jawa Timur.
1.7.2 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa
instansi, seperti Dinas Pertanian, Bappeda dan lembaga-lembaga terkait. Data-data tersebut
antara lain :
1.Data PDRB 4.Data Produksi Pertanian
2.Kabupaten Ngawi Dalam 5.Data produksi Subsektor
Angka Pertanian
3.Peta Ekonomi Daerah 6.Luas Lahan Pertanian
19

1.7.3 Analisis Data


Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk
dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
menemukan jawaban dari tujuan penelitian yang ada.
Untuk mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian maka digunakan analisis LQ (location
Quotient). Alat analisis LQ merupakan sebuah alat analisis sederhana yang berguna untuk
mengidentifikasi kemampuan ekspor suatu sektor ekonomi di suatu wilayah. Suatu sektor
ekonomi yang memiliki kemampuan ekspor atau disebut sebagai sektor basis pada hakikatnya
merupakan sektor yang mampu memenuhi kebutuhan domestik (subsistence) dan memiliki
surplus produksi sehingga mampu memasok produk barang/jasanya untuk penduduk di
perekonomian lainnya. Sektor seperti itu dicirikan dengan proporsi yang lebih tinggi
dibandingkan proporsi sektor yang sama di perekonomian yang lebih luas. Kegiatan ekspor
secara simultan akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya menciptakan
lapangan kerja baru serta menarik investasi.

Seperti disinggung dalam paragraf sebelumnya bahwa LQ didapat atas dasar perhitungan output
(PDRB/value added based) atau tenaga kerja yang digunakan (employment based). Kajian ini
menggunakan value added based sesuai ketersediaan data yang diolah menggunakan formula
sebagai berikut. Nilai LQ merupakan besaran tanpa satuan (dimensionless). Dari nilai tersebut
dapat didekati berapa kemampuan ekspor suatu sektor/sub-sektor atau derajat subsistensinya.
20

Dimana:
LQ(x)Kab : Angka LQ sektor x di Kabupaten Ngawi
q(x)Kab : Nilai tambah bruto sektor x di Kabupaten Ngawi
Q(x)Provinsi : Nilai tambah bruto sektor x dalam Provinsi Jawa Timur
PDRBProvinsi : PDRB Provinsi Jawa Timur

Kriteria untuk menentukan dan menginterpretasikan nilai location quotient sebagaimana


dijelaskan Bendavid-Val (1991:74) sebagai berikut:
/ Jika nilai LQ > 1, kemampuan kontribusi sektor/sub sektor terhadap PDRB
lebih besar dibanding kemampuan rata-rata sektor/sub sektor sejenis di
wilayah referensi, sehingga merupakan sektor/sub sektor potensial,
/ Jika nilai LQ = 1, kemampuan kontribusi sektor/sub sektor tersebut terhadap
PDRB sama dengan rata-rata kemampuan sektor/sub sektor sejenis di wilayah
referensi, sehingga hanya dapat mencukupi kebutuhan di dalam daerah
sendiri,
/ Jika nilai LQ < 1, kemampuan kontribusi sektor/sub sektor lebih kecil
dibandingkan kemampuan rata-rata wilayah referensi sehingga bukan
merupakan sektor unggulan.
Subsektor yang mampu menjadi motor penggerak utama perekonomian Kabupaten Ngawi
ditunjukkan dengan nilai LQ ≥ 1 atau disebut sebagai sektor basis. Subsektor ini selain mampu
memenuhi kebutuhan perekonomian Kabupaten Ngawi juga mampu mengekspor output
produksinya ke wilayah lain. Subsektor ini secara implisit adalah subsektor yang memiliki
kontribusi tinggi atau sangat tinggi (share) jika dibandingkan kontribusi subsektor yang sama
terhadap perekonomian Provinsi Jawa Timur atau dengan kata lain peranan relatif subsektor
yang bersangkutan dalam daerah adalah sama dengan peranan relatif industri sejenis dalam
perekonomian provinsi.

Sistem Informasi Geografis digunakan sebagai alat analisis keruangan yang mampu
menggambarkan hubungan berbagai fenomena spasial baik fisik
21

maupun sosial yang terjadi di suatu wilayah. Pemetaan eksisting kondisi fisik (bentuk lahan,
jenis tanah, cuaca/iklim, litologi, topografi, bencana, dan lain-lain) dan kondisi sosial-ekonomi
suatu wilayah meliputi kependudukan, aktivitas ekonomi, jaringan keluar dan masuk komoditas,
dan lain-lain adalah kegiatan awal dari analisis spasial.

Berbagai tema pemetaan tersebut diproses dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) atau
Geographic Information System (GIS) menggunakan aplikasi ArcGIS dengan peta administrasi
Kabupaten Ngawi dan Peta RBI Kabupaten Ngawi. Metode overlay dengan penilaian scoring
maupun matching. Hasilnya merupakan peta wilayah-wilayah dengan potensi yang dimiliki.

18 Subsektor tanaman pangan

Luas panen (padi 22 Luas lahan sawah dan


& palawija) non sawah
23 Luas lahan pengembangan
Jumlah produksi
per kecamatan
(padi & palawija)

Peta distribusi
Peta distribusi Peta distribusi
potensi subsektor
potensi potensi
tanaman pangan
komoditas padi komoditas
2013
2013 palawija 2013

perbandingan

Produksi x harga
22

= Subsektor Perkebunan Subsektor Peternakan

Luas area tanaman Jumlah populasi


perkebunan ternak
Jumlah produksi Produksi Telur
Produksi daging

Peta distribusi potensi Peta distribusi


subsektor perkebunan potensi subsektor
2013 peternakan 2013

5. Subsektor Perikanan

- Luas area perikanan


- Jumlah produksi
- Impor ikan

Peta distribusi potensi


subsektor perikanan
2013
23

1.7.4 Langkah-Langkah Penelitian


Langkah-langkah penelitian adalah suatu usaha atau tindakan operasional yang dilakukan agar
tujuan penelitian dapat tercapai, meliputi :
3. Tahap persiapan
Tahap persiapan dalam penelitian meliputi :
a. Studi Pustaka
Kegiatan ini dilakukan untuk mempelajari literatur, laporan, majalah dan brosur-brosur yang ada
hubungannya dengan penelitian.
b. Studi peta
Studi peta dilakukan dalam rangka mempelajari peta-peta daerah penelitian yang nantinya akan
digunakan untuk menyiapkan peta dasar guna penempatan data.
4. Tahap pelaksanaan
Tahap ini merupakan tahap pengumpulan data sekunder dan data primer untuk melengkapi data-
data yang kurang lengkap. Data sekunder diperoleh dengan cara mencatat data yang ada di
instansi terkait dan data primer diperoleh dengan cara pengecekan langsung ke lapangan.
b. Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian meliputi :
1. Variabel pengaruh, yaitu :
- PDRB
- Produksi pertanian
- Produksi sub-subsektor pertanian
- Luas lahan
2. Variabel Terpengaruh, yaitu perkembangan dan distribusi subsektor
pertanian.
4. Tahap analisis data
Tahap ini menggunakan analisis sebagai berikut :
a. Analisis kuantitatif
24

Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui potensi sektor pertanian, proyeksi


perkembangan subsektor pertanian dan pola spasial atau persebaran.
d. Analisis peta
Analisis peta digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian dengan melihat aspek keruangan dari
daerah yang diteliti.
e. Analisis deskriptif kualitatif
Analisis ini digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian yang telah dilakukan dari data
kuanitatif maupun data yang tidak dapat dikuantitatifkan. Analisis ini diharapkan dapat
mendukung dua analisis sebelumnya.

1.8 Batasan Operasional

6. Analisis spasial adalah analisis yang menyangkut obyek-obyek dalam system


keruangan, dengan input utama adalah data dan informasi spasial (Ernan
Rustiadi,dkk. 2009).
7. Geografi Pertanian yaitu bahwa geografi pertanian merupakan deskripsi
tentang seni mengolah tanah dalam skala luas dengan memperhatikan
kondisi lingkungan alam dan manusia (Singh dan Dhilon, 1984 : 3 )
8. Pola spasial adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi
budidaya (Ernan Rustiadi,dkk. 2009).
9. Perkembangan wilayah adalah kemajuan yang dicapai oleh suatu wilayah
sebagai hasil aktivitas pembangunan (Hadi Sabari Yunus, 1991).
10. Pembangunan Ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan
kerja, memeratakan distribusi pendapatan masyarakat, meningkatkan
hubungan ekonomi regional dan melalui pergeseran kegiatan ekonomi dari
sektor primer ke sektor sekunder dan tersier (BPS Ngawi, 2014).
25
10. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan nilai tambah bruto
seluruh barang dan jasa yang tercipta atau dihasilkan di wilayah domestik
suatu negara yang timbul akibat berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu
periode tertentu tanpa memperhatikan apakah faktor produksi yang dimiliki
residen atau non-residen (BPS Ngawi, 2014).
11. Sektor Pertanian adalah sektor yang melakukan kegiatan pemanfaatan
sumberdaya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan
pangan, bahan baku industry atau sumber energi serta untuk mengelola
lingkungan hidupnya (Wikipedia,2015).
12. SIG adalah sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang
tereferensi secara spasial atau koordinat-koordinat geografi. Dengan kata
lain, SIG merupakan system basisdata dengan kemampuan-kemampuan
khusus untuk data yang tereferensi secara geografis (Foote, dalam Eddy
Prahasta,2005).
13. Transformasi pertanian yaitu sutu proses perubahan pada berbagai aspek di
bidang pertanian. Perubahan yang dimaksud bukan hanya pada teknologi
namun lebih jauh lagi pada kelembagaan ekonomi dan sosial pertanian
(Todaro, 2006).
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia Merupakan Negara Kepulauan yang sangat luas dan mempunyai jumlah penduduk
terbesar keempat di dunia. Wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi, kabupaten, dan kota
otonom. Secara teknis, kabupaten dan kota mempunyai level yang sama dalam pemerintahan.
Pembagian tersebut berdasarkan atas apakah administrasi pemerintahan berlokasi di wilayah
pedesaan atau di wilayah perkotaan. Di dalam kabupaten dan kota terdapat kecamatan yang
merupakan unit pemerintahan administrasi yang lebih kecil. Setiap kecamatan dibagi menjadi
desa. Desa di wilayah pedesaan disebut desa, sedangkan wilayah perkotaan disebut kelurahan
(Kuncoro, 2014: 28). Sebagai sebuah Negara kepulauan yang sangat besar, Indonesia
memerlukan sebuah strategi pembangunan nasional dan regional yang sesuai dengan karakter
dan keunggulan masing-masing wilayah.
Konsep pembangunan desentralisasi adalah konsep pembangunan yang cocok untuk
dikembangkan di Indonesia saat ini melalui otonomi daerah. Dalam upaya mengoptimalkan
pelaksanaan pembangunan yang terdesentralisasi ini, maka pelaksanaan pembangunan
disetiap daerah otonomi perlu dipersiapkan dengan penyusunan konsep pembangunan yang
lebih matang yang sesuai dengan potensi, kendala dan kesempatan yang dimiliki oleh setiap
daerah otonom tersebut. Maka dari itu setiap daerah akan memiliki prinsip yang berbeda
dalam mengimplementasikan konsep dan strategi pembangunannya. Pada akhirnya
pembangunan yang dilaksanakan di suatu wilayah akan bersifat spesifik dan diharapkan
unggul secara kompetitif (unggul dalam harga) maupun komparatif (unggul dalam
sumberdaya) di bidang-bidang perekonomian tertentu (Adisasmita, 2011: 32).
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001,
Pemerintah Republik Indonesia secara resmi telah menyatakan dimulainya pelaksanaan
otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor

1
2

22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yang kemudian
direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi tersebut, beberapa peraturan
Pemerintah sudah pula dikeluarkan. Sejak saat itu, pemerintah dan pembangunan daerah di
seluruh Nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal (Sjafrizal, 2014: 14).
Dengan adanya otonomi daerah menimbulkan perubahan yang cukup mendasar dalam
perencanaan pembangunan daerah. Sistem perencanaan pembangunan yang selama ini
cenderung seragam, kemudian mulai berubah dan cenderung bervariasi tergantung pada
potensi dan permasalahan pokok yang dialami oleh daerah yang bersangkutan dan
disesuaikan dengan keinginan aspirasi yang berkembang di daerah.
Menurut Sjafrizal (2014: 14) Perubahan yang terjadi dengan adanya otonomi daerah pada
dasarnya menyangkut dua hal pokok, yaitu: pertama, pemerintah daerah diberikan
wewenangan lebih besar dalam melakukan pengelolaan pembangunan (Desentralisasi
Pembangunan). Kedua, pemerintah daerah diberikan sumber keuangan baru dan
kewenangan pengelolaan keuangan yang lebih besar (Desentralisasi Fiskal). Kesemuanya
ini dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat lebih diperdayakan dan dapat melakukan
kreasi dan terobosan baru dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah
masing-masing sesuai potensi dan aspirasi masyarakat daerah bersangkutan. Hal ini berarti
daerah harus lebih mampu menetapkan skala prioritas yang tepat untuk memanfaatkan
potensi daerahnya masing-masing.
Kabupaten Balangan merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan yang lahir
dari sebuah proses perjalanan panjang dari aspirasi masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan publik yang lebih baik di masa yang akan datang. Wilayah Kabupaten Balangan
dewasa ini tengah berubah dan berkembang cukup pesat. Perubahan yang terjadi antara
lain terlihat di sepanjang kawasan jalur lintas Kalimantan Selatan, termasuk di Kota
Paringin, yang di tandai antara lain oleh
3

terjadinya pertumbuhan penduduk dan kawasan terbangun yang relatif tinggi di wilayah
ini jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Apabila mencermati data kependudukan pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014,
jumlah penduduk kabupaten Balangan bertambah dari 117.088 jiwa (2012) menjadi
119.171 jiwa (2013) atau meningkat sebesar 2 persen. Jumlah penduduk Kabupaten
Balangan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Balangan Tahun 2012 - 2013


N0 Tahun Jumlah Penduduk

1 2012 117.088

2 2013 119.171
Sumber: BPS Kabupaten Balangan 2014
Sedangkan perubahan fungsi lahan seiring dengan perubahan/perpindahan pemukiman
penduduk dari luar daerah (migrasi) ke Kabupaten Balangan maupun dalam lingkungan
daerah itu sendiri, banyak di temukan pada beberapa kawasan disepanjang sisi kanan dan
kiri jalur lintas Kalimantan Selatan dengan bermunculannya kawasan-kawasan pemukiman
baru, baik yang di bangun melalui pengembang berupa komplek perumahan, maupun
berupa deretan bangunan tempat tinggal atau ruko (rumah toko) baru milik penduduk yang
di bangun secara perorangan. Perkembangan fisik kawasan dan pertambahan penduduk ini
akan berdampak pada kebutuhan ruang dan aktifitas kebutuhan lainnya di wilayah
kabupaten Balangan. Hal ini menunjukkan cukup pesatnya pertumbuhan dan
perkembangan wilayah di Kabupaten Balangan.
Berdasarkan kecenderungan perkembangan terakhir, maka Kabupaten Balangan di masa
akan datang berpeluang untuk terus berkembang dan lebih maju apabila semua potensi
wilayah yang di miliki kabupaten Balangan dapat di mamfaatkan secara optimal untuk
membangun wilayah, antara lain seperti potensi sumber daya alam yang cukup besar.
Diantara potensi yang menonjol di Kabupaten Balangan disamping sejumlah lahan
pertanian dan industri pengolahan gula merah, adanya deposit pertambangan batu bara dan
penggalian, ada beberapa lokasi di Kabupaten Balangan.
4

Jika dilihat dari keberadaan keberadaan dan kelengkapan sarana prasarana pembangunan
di wilayah Kabupaten Balangan termasuk memadai, tetapi akses masyarakat terhadap
sarana prasarana tersebut masih sangat terbatas, terutama untuk masyarakat pedesaan. Ini
disebabkan karena sebagian besar sarana prasarana tersebut masih terakumulasi di daerah-
daerah perkotaan yakni Kota Paringin sebagai pusat pemerintahan, sehingga daerah sentra
produksi pertanian yang umumnya berada di pedesaan cenderung mengalami kesulitan
dalam memperoleh pelayanan dari fasilitas-fasilitas tersebut, karena interaksinya sangat
terbatas ke pusat-pusat pelayanan tersebut. Hal ini kemudian berdampak pada terjadinya
kesenjangan antar daerah perkotaan dan pedesaan sebagai daerah belakangnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik menganalisis potensi wilayah Kabupaten
Balangan Propinsi Kalimantan Selatan yang dituangkan dalam usulan penelitian yang
berjudul “ANALISIS POTENSI WILAYAH SEBAGAI
PUSAT PERTUMBUHAN DAN PELAYANAN DI KABUPATEN BALANGAN
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka permasalahan yang coba diangkat dalam
penelitian ini adalah:
q) Kecamatan manakah yang paling optimal sebagai pusat pertumbuhan yang
mampu menggerakkan kawasan sekitarnya di Kabupaten Balangan
Provinsi Kalimantan Selatan?
r) Kecamatan manakah yang paling optimal sebagai pusat pelayanan di
Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan?
5

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
p) Mengkaji kecamatan yang paling optimal sebagai pusat pertumbuhan yang
mampu menggerakkan kawasan sekitarnya di Kabupaten Balangan
Provinsi Kalimantan Selatan.
q) Mengkaji kecamatan yang paling optimal sebagai pusat pelayanan di
Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
u) Memberikan sumbangan pemikiran bagi kebijakan pembangunan di
Kabupaten Balangan Propinsi Kalimantan Selatan.
v) Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya


1.5.1. Telaah Pustaka
1.5.1.1. Geografi
Geografi adalah ilmu yang mempelajari timbal balik antara bumi dan manusia. Bumi dan
manusia di situ dapat di tafsirkan sebagai alam dan manusia, atau lingkungan alam dan
pendududk. Manusia di situ bukanlah manusia sebagai individu melainkan sebagai
kelompok, karena adaptasinya terhadap lingkungan alamnya di laksanakan secara kolektif.
Misalnya sebagai penghuni desa, penduduk wilayah, sebagai bangsa (Djaljoeni, 1997: 12).
Menurut Djaljoeni (1997: 2) geografi menelaah bumi dalam hubungannya dengan
manusia. Arti geografi sebenarnya adalah uraian (grafein artinya menguraikan atau
melukiskan) tentang bumi (geos) dengan segenap isinya, yakni manusia, yang kemudian di
tambah lagi dengan dunia hewan dan dunia tumbuhan. Tentu saja geografi membutuhkan
berbagai hasil telaah geologi, misalnya untuk membicarakan vulkanisme, gempa bumi,
pertambangan, dan jenis batuan. Pembicaran tersebut dimasukkan dalam pembelajaran
geografi fisis yang
6

pemberiannya di sekolah dimaksudkan untuk mendasari pengajaran geografi sosial.


Lebih lanjut di katakan berhubung kehidupan manusia, hewan dan tetumbuhan itu
bertempat di bagian permukaan kulit bumi yang merupakan daratan dan lautan di tambah
lagi udara di atasnya, maka pokok-pokok yang di bahas dalam geografi fisis terdiri atas
lithosfera, hidrosfera, dan atmosfera. Dengan urutan-urutan itu lalu di perkenalkan aneka
hasil telaah geologi, geomorfologi, oseanografi, meteorologi, dan klimatologi.
Dari penjelasan di atas, dengan sederhana dapatlah di katakan bahwa geografi merupakan
suatu ilmu yang dapat di pelajari seluk-beluk permukaan bumi serta hubungan timbal balik
antara manusia dan lingkunganya.
Menurut H.S.Yunus (2010: 41) dalam ilmu geografi terdapat 3 pendekatan utama yaitu
pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologi (ecological approach), dan
pendekatan regional (region complex approach). Lebih lanjut, ketiga pendekatan tersebut
dianggap sebagai pendekatan utama geografi yang tidak muncul secara instan, namun
melalui proses perkembangan ilmu pengetahuan geografi itu sendiri yang terjadi dalam
waktu yang lama. Menurut Berdasarkan perkembangan paradigma keilmuan geografi, di
kenal ada 4 macam paradigma dengan karakteristik masing-masing dan hal inilah yang
mendasari karakteristik pendekatan geografi, keempat paradigma keilmuan keilmuam
geografi tersebut adalah:
(p) Paradigma eksplorasi (exploration paradigm)
(q) Paradigma lingkungan (environmentalism paradigm)
(r) Paradigma kewilayahan (regionalism paradigm)
(s) Paradigma keruangan (spatial paradigm)
Keempat jenis paradigma keilmuan geografi tersebut mempunyai cirri-ciri
yang berbeda satu sama lain dan hal inilah yang kemudian mendasari kemunculan
pendekatan-pendekatan geografi yang di kenal saat ini (Tabel 1.1)
7

Tabel 1.2 Keterkaitan Paradigma Keilmuan Geografi dengan Pendekatannya


Paradigm Karakteristik Pendekatannya
Paradigm Pemetaan dan Belum mempunyai ciri
Eksplorasi penggambaran daerah baru khusus karena belum di
(Exploration yang memotivasi penelitian anggap belum berupa
Paradigm) dan menghasislkan tulisan- metode ilmiah
tulisan sederhana tentang
daerah baru

Paradigma Analisis yang lebih Ecological Approach


Environmetalisme sistematik tentang peranan
(Environmentalism elemen lingkungan terhadap
Paradigm) pola kegiatan manusia.
Analisis morfometrik dan
kausalitas mendominasi dan
di fokuskanhanya pada
wilayah tertentu.

Paradigm Analisis lebih mendalam Regional Complex


regionalisme dan lebih luas dengan Approach
(Regionalism membandingkan wilayah
Paradigm) satu dengan lainnya dalam
penekanan pada keterkaitan
antara elemen lingkungan
dengan kegiatan
manusianya

Paradigm AnalisisAnalisis pada ruang yang Spatial Approach


Spasial (spatial lebih khusus di mna space
Analysis Paradigm) dianggap sebagai variable
utama di samping variable
lain yang banyak dilibatkan.
Teknik-teknik analisis
kuantitatif mendominasi
pada awalnya dan kemudian
terjadi penggabungan teknik
analisis kuantitatif dan
kualitatis.

Sumber: Herbert & Thomas, 1982; Johnston, et al., 2000 dalam H.S. Yunus
(2010: 42)
8

1.5.1.2. Konsep Wilayah Dalam Pembangunan


Wilayah/region dapat diartikan sebagai permukaan yang luas, yang di huni manusia yang
melakukan interaksi kegiatan dengan sumberdaya alam, sumberdaya modal, sumberdaya
teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan sumberdaya pembangunan lainnya, untuk
mencapain kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi masyarakat (Adisasmita, 2011: 59).
Menurut H.S. Yunus (2010: 124) dalam pengertian wilayah/region didalamnya
mengandung beberapa esensi yaitu:
(aa) Suatu wilayah mempunyai batas-batas tertentu yang dapat
digunakan untuk mengenali karakteristinya sehingga dapat dibedakan
dengan wilayah tetangganya/wilayah lainnya.
(bb) Suatu wilayah mempunyai karakteristik tertentu yang
mengindikasikan kesatuan internalnya.
(cc) Karakteristik mana menunjukkan keseragaman yang dapat di amati
dalam lingkup satuan daerah di mana atribut tersebut berada.
(dd) Karakteristik wilayah dapat merupakan fenomena alami seperti
wilayah tanah, wilayah geomorfologi, wilayah hidrologi dan wilayah lain
sejenisnya. Karakteristik wilayah yang mendasarkan pada fenomena non
alami atau artifisial misalnya wilayah budaya, wilayah industri, wilayah
ekonomi, dan lain sejenisnnya.
(ee) Suatu wilayah tidak ditentukan oleh luas atau tidaknya wilayah
mulai beberapa meter persegi saja sampai wilayah benua.
(ff) Suatu wilayah mempunyai batas-batas yang dapat berubah oleh karena
sebab-sebab tertentu, seperti pengubahan batas administrasi, batas wilayah
yang berubah karena perkembangan kota.
(gg) Suatu wilayah dapat mempunyai batas-batas fisik yang jelas seperti
sungai, jalan, tepi danau, tepi laut, batas tipe penggunaan lahan, namun
dapat pula mempunyai batas maya yang tidak dapat dilihat di lapangan
seperti batas administrasi, batas wilayah etnik, batas wilayah budaya,
wilayah baghasa dan sejenisnya. Untuk maksud penelitian pada suatu
wilayah yang mempunyai batas-batas yang bersifat maya, perlu di buat
batas konseptual atas pertimbangan tertentu dan untuk menelitinya
9

penelliti harus mampu menentukan lokasi sampel yang benar-benar mewakili sifat
khas/karakteristik wilayahnya. Hal ini akan dibahas dalam hal regionalisasi/pewilayahan.
Menurut P. Hdjisarosa, 1980 dalam Adisasmita (2011: 60) konsep wilayah dapat
dibedakan ke dalam: (1) wilayah administrasi dan (2) wilayah pengembangan. Wilayah
administrasi adalah wilayah yang mempunyai batas wilayah pemerintahan daerah, yang di
tetapkan dengan peraturan pemerintah/ peraturan daerah, yang dikelompokkan dalam
wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang masing-masing memiliki
ibukota pemerintahan, di mana kedudukan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota)
dan Dewan Perrwakilan Daerah (DPR). Sedangkan, wilayah pengembangan adalah
wilayah, yang luasan wilayahnya tidak ditetapkan bardasarkan batas wilayah administrasi,
atau tidak menggunakan batas wilayah administrasi, tetapi batas-batasnya adalah secara
fungsional, bardasarkan kegiatan interaksi sumberdaya manusia (penduduk), sumberdaya
Alam, sumberdaya modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan
sumberdaya pembangunan lainnya.
Dengan demikian luasan wilayah pengembangan tidak terlalu sama besar dengan wilayah
administrasi, mungkin lebih kecil karena sebagian wilayahnya merupakan pegunungan
yang tinggi atau jurang yang dalam, sehingga tidak dihuni oleh penduduk dan tidak
terjangkau oleh pelayanan jasa distribusi karena belum tersedia fasilitas transportasi.

1.5.1.3. Konsep Pertumbuhan Wilayah


Teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) diintroduksikan oleh Francois Perroux
(1956). Menurut pendapatnya, pertumbuhan atau pembangunan tidak dilakukan di seluruh
tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang
diidentifikasikan sebagai kutub-kutub atau pusat pusat, di setiap kutub mempunyai
kekuatan pancaran pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini
menjelaskan tentang pertumbuhan perusahaan dan industri-industri serta
ketergantunganya, dan bukan mengenai pola geografis dan pergeseran industry baik secara
intra maupun secara inter. Pada
10

dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara
abstrak.
Menurut R. Adisasmita (2006: 163), suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan
ababila di tempat tersebut terdapat industri pendorong (propolsive industry) yang berskala
besar, mempunyai kemampuan menciptakan dorongan pertumbuhan yang kuat, dampak
multiplier dan dampak polarisasi lokal yang sangat besar dan tingkat teknologi yang maju.
Lebih lanjut kutub pertumbuhan bukan hanya merupakan lokalisasi industri kunci semata-
mata, tetapi pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang luas ke daerah sekitarnya.
Konsep kutub pertumbuhan merupakan konsep sangat menarik bagi perencanaan wilayah.
Persoalan yang di hadapi dalam penerapan konsep tersebut adalah pemilihan industri
pendorong ataupun industri yang menonjol (leading industry) sebagai penggerak dinamika
pertumbuhan.
Menurut R. Adisasmita (2006: 164) kutub pertumbuhan dapat ditafsirkan dalam dua
pengertian, yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional,
menggambarkan kutub pertumbuhan sebagai suatu kelompok perusahaan, industri atau
unsure-unsur dinamik yang meningkatkan kehidupan ekonomi. Secara geografis.
Menunjukkan kutub pertumbuhan sesungguhnya lebih banyak merupakan daya tarik yang
mengundang berbagai kegiatan untuk menempatkan usahanya di suatu tempat.
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat tiga ciri penting konsep kutub pertumbuhan dapat
dikemukakan yaitu:
(t) Terdapat keterkaitan internal berbagai industri secara teknik dan ekonomi.
(u) Terdapat pengaruh multiplier.
(v) Terdapat konsentrasi geografis
Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendifinisikan kutub
pertumbuhan wilayah sebagai perangkat industri sedang berkembang yang berlokasi di
suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lebih lanjut pengembangan
ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized poles of development). Ia menekankan
pada aspek fungsional, tetapi juga pada aspek geografis yang dilukiskan sebagai suatu
aglomerasi geografis. Teori Bondeville
11

dapat di anggap telah menjembatani terhadap teori spasial terdahulu (Christaller) dan teori
kutub pertumbuhan (Perroux). Perbedaannya, teori Perroux menganggap tata ruang secara
abstrak yang menekankan cirri-ciri regional tata ruang ekonomi, sedangkan menurut
Bondeville tata ruang ekonomi tidak dapat di pisahkan dari tata ruang geografis, lebih
lanjut Bondeville menekankan pada tata ruang polarisasi (R. Adisasmita, 2006: 165).

1.5.1.4. Prasarana Sebagai Penunjang Pembangunan


Ketersedian fasilitas pelayanan sosial ekonomi turut berpengaruh terhadap kemajuan suatu
wilayah. Evaluasi fasilitas terhadap fasilitas herarki pelayanan merupakan bagian dari
analisis regional, khususnya yang menyangkut tentang sentralisasi regional. Metode
pengukuran fasilitas pelayanan sosial ekonomi diklasifikasikan ke dalam tiga kategori
(Muta’ali, 2000, dalam Haryanto, A.T, 2006).
10. Ketersedian pelayanan (service availibility) adalah mengukur ada atau
tidaknya suatu fasilitas pelayanan
11. Tingkat pelayanan (size of availability) adalah mengukur suatu jumlah
fasilitas pelayanan.
12. Fungsi ketersedian adalah perbandingan antara ketersedian fasilitas
pelayanan dengan variable perbandingan standar.
Huisman (1989) mengungkapkan bahwa pelayanan merupakan salah satu kebijakan
pembangunan keruangan untuk meningkatkan pertumbuhan pusat-pusat pelayanan yang
dapat menghubungkat pusat kota dengan daerah hinterlandnya. Dalam rangka
meningkatkan perkembangan kegiatan sosial dan kegiatan ekonomi, fasilitas pelayanan
merupakan hal yang sangat penting. Pembangunan tidak dapat berjalan dengan lancar
apabila prasarana kurang memadai. Dengan demikian prasarana dianggap sebagai faktor
yang potensial dalam menentukan masa depan perkembangan suatu wilayah perkotaan dan
pedesaan.
Jayadinata (1986) mengklasifikasikan prasarana sebagai berikut :
R Prasarana menurut bentuk, macam dan fungsinya.
a. Bentuk prasarana
12

Prasarana yang berbentuk ruang atau bangunan (space)


Prasarana yang berbentuk jaringan (network)
Macam prasarana
Prasarana berbentuk ruang meliputi :
Perlindungan, yaitu rumah,Pelayanan umum (sosial), misalnya rumah sakit,
perumahan,dan sebagainya.
Kehidupan ekonomi, misalnya bank, toko, sawah, pasar dan sebagainya.
Kebudayaan, misalnya bangunan pemerintah, sekolah, museum, lapangan olahraga, dan
sebagainya.
Prasarana berbentuk jaringan, meliputi :
Sistem pengangkutan, misalnya jaringan jalan, jaringan sungai dan sebagainya.
Utilitas umum (publi utility), misalnya jaringan pipa air minum, jaringan kawat listrik, dan
sebagainya.
Sistem komunikasi, misalnya jaringan kabel telpon, dan sebagainya.
Prasarana menurut fungsi, meliputi :
Prasarana sosial (yang berbentuk jaringan atau ruaang) terdapat
dalam kegiatan kekeluargaan, pemerintahan, agama, kesehatan,
pendidikan, perhubungan, komunikasi serta informasi.
Prasarana ekonomi (yang berbentuk jaringan atau ruang) terdapat
dalam kegiatan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
perikanan, industri, pariwisata, perhotelan,bank, perdagangan dan
perusahaan jara serta informasi data.
/ Pembiayaan dan pembuatan serta pemeliharaan prasarana.
pembiayaan, pertumbuhan dan pemeliharaan prasarana meliputi :
Masyarakat
Badan Hukum
Pemerintah
Cara pembuatan prasarana
13

/ Teknologi sederhana
/ Teknologi madya
/ Teknologi tinggi
Menurut Huisman (1989) penyediaan pelayanan secara efisiensi dan efektif dalam
pembangunan karena dalam perencanaan fisik memberikan kerangka keruangan kegiatan
sosial dan ekonomi. Dengan demikian pelayanan sosial ekonomi masyarakat sangat
diperlukan dalam mendukung pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada kegiatan
sosial ekonomi.
Adapun metode yang dapat digunakan untuk ,menilai tingkat ketersediaan dan fungsi
pelayanan adalah sebagai berikut:
RRR. Besarnya ketersediaan fasilitas pelayanan dinilai melalui jumlah
pelayanan yang ada di setiap daerah, menggunakan metode skalogram.
SSS. Fungsi pelayanan merupakan perbandingan antara ketersediaan
fasilitas dengan berbagai standar minimum untuk setiap pelayanan.
Informasi-informasi lain yang diperlukan pada penilaian fungsi pelayanan
antara lain mencakup rasio pelayanan terhadap standar, rasio terhadap
pengguna aktual, rasio terhadap pengguna potensial,dan rasio terhadap
penduduk.

1.5.2. Penelitian Sebelumnya


Untuk menghindari terjadinya kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya,
peyusun telah melakukan beberapa penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang terkait
dengan pembentukan daerah otonom, diantaranya sebagai berikut:
Sri Purwaningsih (2014) “Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Di Kabupaten
Wonogiri Tahun 2007-2011” yang mengkaji tentang pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Wonogiri pada tahun 2007-2011 dan menganalisa tentang pertumbuhan ekonomi di
Wonogiri. Dalam penelitian ini terdapat tiga tujuan dilakukan penelitian yaitu: (1)
mengetahui pertumbuhan antarkecamatan yang di klasifikasikan menjadi hierarki tinggi,
sedang, rendah, (2) mengetahui struktur ruang wilayah berdasarkan system pusat kegiatan
perkotaan dengan hierarki pertumbuhan ekonomi wilayah kecamatan, dan (3) mengetahui
sektor apa yang
14

menunjang pertumbuhan ekonomi wilayah di Kabupaten Wonogiri. Metode yang di


gunakan dalam penilitian ini adalah metode analisis data sekunder. Analisis data tersebut
menggunakan metode Sturgess, uji Chi square, dan metode Location Quotient. Hasil
penelitian yaitu hierarki tinggi terdapat pada satu kecamatan yaitu Kecamatan Baturetno,
dan hierarki sedang terdapat pada Kecamatan Pracimantoro, Kecamatan Tirtomoyo,
Kecamatan Wuryantoro, Kecamatan Selogiri, Kecamatan Wonogiri, Kecamatan
Ngadirojo, Kecamatan Sidoharjo, Kecamatan Purwantoro, Kecamatan Bulokerto,
Kecamatan Slogohimo, dan Kecamatan Jatisrono. Sedangkan hierarki rendah terdapat di
kecamatan Paranggupito, Kecamatan Giritontro, Kecamatan Giriwoyo, Kecamatan
Batuwarno, Kecamatan Karangtengah, Kecamatan Nguntorongadi, Kecamatan Eromoko,
kecamatan Manyaran, Kecamatan Jatiroto, Kecamatan kismantoro, Kecamatan Pehpelem,
Kecamatan Jatipurno, dan Kecamatan Girimarto. Hasil penentuan hierarki menunjukkan
adanya ketimpangan antarwilayah kecamatan di Kabupaten Wonogiri karena jumlah
kecamatan yang termasuk hierarki rendah jumlahnya paling banyak. Tingkat hierarki
pertumbuhan ekonomi wilayah antarkecamatan tidak memiliki ruang struktur wilayah
berdasarkan system pusat kegiatan perkotaan artinya semakin tinggi derajat perkotaan
suatu kecamatan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertumbuhan
wilayah ekonomi yang tinggi terbentuk oleh sektor unggulan yaitu sektor pertanian.
Imam Zunaidi (2007) “Peranan Pusat Pertumbuhan Dan Kesenjangan Pendapatan Antar
Wilayah di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII Propinsi Jawa Timur Tahun 2000-
2005”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar peranan pusat
pertumbuhan dalam memberikan spread effect melalui kekuatan daya tariknya bagi
wilayah hinterland, pergeseran total pertumbuhan ekonomi antar wilayah dan kesenjangan
pendapatan antar wilayah pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Alat analisis yang
digunakan untuk mengolah data adalah analisis Indeks Gravitasi untuk mengetahui daya
tarik pusat pertumbuhan dengan hinterland, analisis Shift Share digunakan untuk
mengetahui kontribusi pertumbuhan ekonomi dan analisis Indeks Williamson untuk
mengetahui kesenjangan pendapatan. Data yang digunakan merupakan data
15

sekunder yang dikutip dari kantor Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur dan studi
literatur. Hasil analisis Indeks Gravitasi menunjukkan nilai diatas enam digit yaitu
266.533.959,60 sampai dengan 2.369.861.018,67, hal ini menunjukkan bahwa sarana-
sarana yang tersedia di pusat pertumbuhan digunakan oleh daerah hinterland dan besar
pula fungsi pusat pertumbuhan sebagai pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Hasil
analisis dengan menggunakan analisis Shift Share menunjukan daerah yang termasuk
pergeseran pertumbuhan ekonominya maju adalah Kota/Kabupaten Kediri 0,71% (maju),
Kota/Kabupaten Blitar 87,56% (maju), Kabupaten Nganjuk 12,25% (maju), Kabupaten
Tulungagung 0,39% (maju) dan Kabupaten Trenggalek 12,32% (maju), sedangkan
Kabupaten Jombang sebesar -25,15% (lambat). Hasil analisis Indeks Williamson
menunjukkan angka kurang mendekati satu yaitu 0,41 sampai dengan 0,62, yang berarti
kesenjangan pendapatan antara pusat pertumbuhan dengan hinterland relatif kecil. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.2. dibawah ini.

Tabel 1.3. Perbandingan Penelitian Penulis dengan Penelitian Sebelumnya


Peneliti/Tahun Sri Purwaningsih Imam Zunaidi Akhmad Hermawan
(2014) (2007) Saputra
(2014)

Judul Analisis Pertumbuhan Ekonomi Peranan Pusat Pertumbuhan Analisis Potensi Wilayah
Wilayah Di Kabupaten Wonogiri Dan Kesenjangan Pendapatan Sebagai Pusat
Tahun 2007-2011 Antar Wilayah di Satuan Pertumbuhan dan
Wilayah Pembangunan Pelayanan di Kabupaten
(SWP) VII Propinsi Jawa Balangan Provinsi
Timur Tahun 2000-2005 Kalimantan Selatan

Tujuan mengkaji tentang pertumbuhan untuk mengetahui seberapa (1) mengetahui kecamatan
ekonomi di Kabupaten Wonogiri besar peranan pusat yang paling optimal
pada tahun 2007-2011 dan pertumbuhan dalam sebagai pusat pelayanan di
menganalisa tentang pertumbuhan memberikan spread effect Kabupaten Balangan
ekonomi di Wonogiri melalui kekuatan daya Provinsi Kalimantan
tariknya bagi wilayah Selatan.
hinterland, pergeseran total (2) mengetahui Kecamatan
pertumbuhan ekonomi antar yang paling optimal
wilayah dan kesenjangan sebagai pusat pertumbuhan
pendapatan antar wilayah yang mampu
pada tahun 2000 sampai menggerakkan kawasan
dengan tahun 2005 sekitarnya di Kabupaten
Balangan Provinsi
Kalimantan Selatan.

Unit Penelitian Wilayah Wilayah Wilayah


16

Metode dan metode Sturgess, uji Chi square, Analisis Indeks Gravitasi Analisis Gravitasi dan
Analisis dan metode Location Quotient. untuk mengetahui daya tarik Skalogram untuk
Variabel pusat pertumbuhan dengan menentukan kecamatan
hinterland, analisis Shift yang paling optimal
Share digunakan untuk sebagai pusat pertumbuhan
mengetahui kontribusi dan pusat pelayanan dalam
pertumbuhan ekonomi dan kerangka perencanaan
analisis Indeks Williamson pembangunan wilayah di
untuk mengetahui Kabupaten Balamgn
kesenjangan pendapatan Provinsi Kalimantan
Selatan
Hasil Hierarki tinggi terdapat pada satu Hasil analisis Indeks
kecamatan yaitu Kecamatan Gravitasi menunjukkan nilai
Baturetno, dan hierarki sedang diatas enam digit yaitu
terdapat pada Kecamatan 266.533.959,60 sampai
Pracimantoro, Kecamatan dengan 2.369.861.018,67, hal
Tirtomoyo, Kecamatan ini menunjukkan bahwa
Wuryantoro, Kecamatan Selogiri, sarana-sarana yang tersedia
Kecamatan Wonogiri, Kecamatan di pusat pertumbuhan
Ngadirojo, Kecamatan Sidoharjo, digunakan oleh daerah
Kecamatan Purwantoro, hinterland dan besar pula
Kecamatan Bulokerto, Kecamatan fungsi pusat pertumbuhan
Slogohimo, dan Kecamatan sebagai pusat pelayanan bagi
Jatisrono. Sedangkan hierarki daerah sekitarnya. Hasil
rendah terdapat di kecamatan analisis dengan
Paranggupito, Kecamatan menggunakan analisis Shift
Giritontro, Kecamatan Giriwoyo, Share menunjukan daerah
Kecamatan Batuwarno, yang termasuk pergeseran
Kecamatan Karangtengah, pertumbuhan ekonominya
Kecamatan Nguntorongadi, maju adalah Kota/Kabupaten
Kecamatan Eromoko, kecamatan Kediri 0,71% (maju),
Manyaran, Kecamatan Jatiroto, Kota/Kabupaten Blitar
Kecamatan kismantoro, 87,56% (maju), Kabupaten
Kecamatan Pehpelem, Kecamatan Nganjuk 12,25% (maju),
Jatipurno, dan Kecamatan Kabupaten Tulungagung
Girimarto. 0,39% (maju) dan Kabupaten
Trenggalek 12,32% (maju),
sedangkan Kabupaten
Jombang sebesar -25,15%
(lambat). Hasil analisis
Indeks Williamson
menunjukkan angka kurang
mendekati satu yaitu 0,41
sampai dengan 0,62, yang
berarti kesenjangan
pendapatan antara pusat
pertumbuhan dengan
hinterland relatif kecil
Sumber: Penulis, 2015

1.6. Kerangka Penelitian


Untuk menganalisis potensi wilayah Sebagai pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan di
Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan digunakan metode analisis gravitasi dan analisis
skalogram.
17

Dalam hal menentukan pusat pertumbuhan ekonomi yang optimal di Kabupaten Balangan,
digunakan metode analisis model gravitasi dan analisis skalogram. Analisis model
gravitasi digunakan terhadap data sekunder berupa jumlah penduduk pada masing-masing
kecamatan/subwilayah dalam Kabupaten Balangan, sedangkan analisis skalogram
digunakan terhadap data sekunder berupa tingkat perekonomian wilayah tersebut dengan
menggunakan variabel luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah pasar, jumlah bank, jumlah
koperasi, produksi pertanian, produksi perkebunan, populasi ternak, dan produksi
perikanan. Di sini, temuan hasil analisis model gravitasi akan dibandingkan dan hasil
analisis skalogram, sehingga diketahui subwilayah/ kecamatan mana yang optimal sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi, karena memiliki daya tarik wilayah yang tinggi atau menjadi
tujuan perpindahan penduduk dan pergerakan arus barang/jasa, disamping juga sekaligus
memiliki potensi ekonomi yang tinggi dalam mengemban fungsi perekonomian suatu
ibukota.
Adapun untuk menentukan pusat pelayanan masyarakat yang optimal, digunakan metode
analisis skalogram terhadap data sekunder berupa sejumlah data potensi sumberdaya
manusia meliputi; variabel jumlah guru, murid, dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis,
bidan, perawat, dukun bayi/dukun kampung, potensi sumberdaya buatan meliputi; variabel
sekolah (fasilitas pendidikan), fasilitas kesehatan, tempat ibadah, fasilitas air bersih
(kapasitas PDAM terpasang), fasilitas energi/penerangan (daya listrik terpasang), dan
fasilitas komunikasi (kantor pos dan telekomunikasi), antar kecamatan dalam wilayah
Kabupaten Balangan.
Kemudian, dilakukan pendekatan analisis kualitatif. Setelah melakukan analisis dan
pembahasan secara berurutan dari tujuan satu dan dua, maka dilakukan proses sintesis
terhadap interpretasi atas temuan hasil analisis dan pembahasan pada tujuan satu dan dua,
sehingga akhirnya dapat memberikan jawaban permasalahan ketiga sebagai objective hasil
penelitian ini. Kerangka pemikiran penelitian konseptual dapat dilihat pada gambar 1.1.
berikut.
18

Gambar 1.1. Kerangka Penelitian

Perencanaan Pembangunan Wilayah di


Kabupaten Balangan

Identifikasi Potensi Wilayah


Kabupaten Balangan

Indentifikasi Daya Tarik Wilayah Identifikasi Potensi Wilayah Sebagai


Sebagai Pusat Pertumbuhan Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan

Analisis Gravitasi Analisis Skalogram

Peta Hirarki Pusat


Peta Rangking
Pertumbuhan dan Pelayanan
Daya tarik wilayah
Kabupaten Balangan

Rekomendasi

Sumber: Penulis, 2015


19

1.7. Metodologi Penelitian


1.7.1. Penentuan Daerah Penelitian
Penentuan daerah penelitian dilakukan secara puposive atau berdasarkan tujuan. Daerah
yang dijadikan lokasi penelitian adalah Kabupaten Balangan Propinsi Kalimantan Selatan,
yang meliputi delapan kecamatan, yakni:
l. Kecamatan Lampihung
m. Kecamatan Batu Mandi
n. Kecamatan Awayan
o. Kecamatan Tebing Tinggi
p. Kecamatan Paringin
q. Kecamatan Paringin Selatan
r. Kecamatan Juai
s. Kecamatan Halong

1.7.2. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh
dari suatu dokumentasi yang sudah ada atau sudah jadi yakni berasal dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Balangan. Data-data sekunder yang dikumpulkan adalah
sebagai berikut:
h. Data jumlah penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Balangan tahun
2014
i. Data Luas Wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Balangan tahun
2014
j. Data sarana dan prasarana menurut kecamatan di Kabupaten Balangan
tahun 2014 yaitu sarana perkonimian antara lain; bank, koperasi, pasar dan
fasilitas pelayanan antara lain; sekolahan, fasilitas kesehatan, tempat
ibadah, PDAM terpasang, jaringan jalan, kantor pos dan fasilitas rekreasi.

1.7.3. Analisis Data


Untuk menganalisis strategi pengembangan wilayah Kabupaten Balangan, yakni
menentukan lokasi kecamatan yang paling optimal sebagai pusat
20

pertumbuhan wilayah dan pusat pelayanan masyarakat, digunakan pendekatan analisis


kuantitatif dan kualitatif.

1.7.3.1. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pusat Pertumbuhan


Dalam penelitian ini untuk menentukan posisi lokasi yang paling optimal sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi dalam kerangka perencanaan pembangunan wilayah Kabupaten
Balangan digunakan pendekatan model gravitasi dan analisis skalogram.
Salah satu alat analisis yang kemungkinan kita menjelaskan keberadaan kegiatan pada
lokasi tersebut adalah model gravitasi. Menurut Tarigan (2010:105) model gravitasi adalah
model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu
besarnya potensi yang berada pada suatu lokasi. Lebih lanjut daya tarik ini kemudian
mendorong berbagai kegiatan lain untuk berlokasi di dekat kegiatan yang telah ada terlebih
dahulu. Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya
wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Dalam perencanaan wilayah, model ini sering di
jadikan alat untuk melihat apakah lokasi berbagai fasilitas kepentingan umum telah berada
pada tempat yang benar. Rumus gravitasi secara umum adalah sebagai berikut :
=

Keterangan :
Tij = Daya tarik atau banyaknya trip dari sub-wilayah i ke
sub-wilayah j,
Pi = Penduduk subwilayah i ,
Pj = Penduduk subwilayah j,
dij = Jarak antara subwilayah i dengan subwilayah j,
/ = Pangkat dari dij menggambarkan cepatnya jumlah trip menurun
seiring dengan pertambahan jarak. Nilai b dapat dihitung tetapi bila tidak maka
sering digunakan b = 2,
19 = Sebuah bilangan konstanta berdasarkan pengalaman, juga dapat
dihitung seperti b (Tarigan, 2010:105).
21

1.7.3.2. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pusat Pelayanan Masyarakat


Untuk menentukan posisi lokasi yang paling optimal sebagai pusat pelayanan masyarakat
dalam kerangka perencanaan pembangunan wilayah Kabupaten Balangan digunakan
pendekatan analisis skalogram. Analisis ini digunakan untuk menyusun struktur dan
organisasi tata ruang suatu wilayah. Dengan metode analisis skalogram dapat ditentukan
hirarki atau ranking/tingkatan kota kecil dan kecamatan di wilayah Kabupaten Balangan
berdasarkan fasilitas/sarana pelayanan yang tersedia, disamping berdasarkan kapasitas
sumberdaya manusia (fungsi administrasi) dan analisis aksesibilitas (jarak antar ibu kota
kecamatan). Ranking (tingkatan) kota kecil ditentukan berdasarkan jumlah jenis dan
jumlah unit fasilitas sosial dan fasilitas lain yang dimilikinya. Dari gabungan ketiga
analisis ini, akan dapat diketahui distribusi wilayah-wilayah kecamatan yang dapat
dikembangkan menjadi pusat pelayanan utama (PPU), pusat pelayanan menengah (PPM),
dan pusat pelayanan kecil (PPK) untuk Kabupaten Balangan.
Cara menyusun dan menetapkan ranking atau tingkatan kota-kota tersebut adalah sebagai
berikut:
24 Wilayah kecamatan disusun urutannya berdasarkan jumlah penduduk.
25 Kemudian kecamatan tersebut disusun urutannya berdasarkan atas jumlah
Jenis fasilitas sarana dan prasarana yang tersedia.
26 Masing-masing jenis sarana dan prasarana tersebut disusun urutannya pada
semua wilayah yang memiliki jenis fasilitas tertentu.
27 Ranking atau peringkat fasilitas sarana dan prasarana disusun urutannya
berdasarkan atas jumlah unit fasilitas sarana dan prasarana tersebut.
28 Ranking kota kecamatan/wilayah ditentukan berdasarkan jumlah jenis dan
jumlah unit sarana dan prasarana yang dimiliki oleh masing-masing unit.
Dalam studi ini tingkatan tiap-tiap objek penelitian terhadap variabel-variabelnya dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat tinggi, tingkat sedang, dan tingkat rendah. Adapun
untuk menghitung tingkatan atau hierarki digunakan rumus sebagai berikut.
22

Interval Nilai =
Nilai Tertinggi − Nilai Terendah
3

Adapun matriks skalogram dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.4. Matriks Skalogram


Jumlah Jenis Sarana dan Prasarana Hierarki
No Kecamatan
Penduduk SD RS ... ...
1
2
....
dst
Frekuensi (F)
Diolah Dari Berbagai Sumber

1.8. Batasan Operasional

= Wilayah adalah suatu permukaan yang luas, yang dihuni manusia yang
melakukan interaksi kegiatan dengan sumberdaya alam,sumberdaya
modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan sumberdaya
pembangunan lainnya, untuk mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi dan
sosial bagi masyarakat (Adisasmita, 2011: 59)

= Potensi wilayah adalah segala sesuatu yang dimiliki suatu wilayah yang
memungkinkan untuk dikembangkan sehingga mampu memberi nilai
tambah pada daerah tersebut

= Potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk


dikembangkan, kekuatan, kesanggupan.
= Skalogram adalah untuk mengidentifikasi atau mengetahui pusat
pelayanan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimiliki,dengan demikian

dapat ditentukan hierarki pusat pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah.
23
 Gravitasi adalah salah satu model yang digunakan untuk
menghitung interaksi antar kota

 Pengembangan Wilayah adalah merupakan suatu usaha-usaha


tertentu untuk mengubah kondisi yang ada menjadi suatu kondisi lebih
baik (Luthfi
Muta’ali, 2011: 1)
Pusat Pertumbuhan adalah suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan apabila di
tempat tersebut terdapat industry pendorong (propolsive industry) yang berskala besar,
mempunyai kemampuan menciptakan dorongan pertumbuhan yang kuat, dampak multiolier
dan dampak polarisasi local yang sangat besar dan tingkat teknologi maju (Adisa
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66

JURNAL
EKONOMI
PEMBANGUNAN
Journal of Economic & Development
HAL: 54 - 66

IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN DAN DAERAH HINTERLAND KOTA


PALEMBANG

IMELDA
Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Jalan Palembang-Indralaya,
Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia

ABSTRACT

Many reason had been delivered for split policy implementation on a region. Started from economic growth
does not appear everywhere and all at once; it appear in points or development poles with variable intensities.
The development gap between Palembang Seberang Ulu and Palembang Seberang Hilir is still an unsolved
problem. Therefore, need a way out in resolving this problem, that is establish new growth centers in the
Palembang city.
Base on the focus point, this research purposed to identify the growth center and hinterland on Palembang City
at South Sumatera. The data obtain from Central Board of Statistics by using Scalogram analysis to determine
the services center based on number and type of units of facilities that exist in any area. The conclusion is the
sub-district as the center of economy growth interacting each other with the surrounding sub-district as
hinterland.

Keywords: Growth Center, Hinterland, Scalogram analysis.

PENDAHULUAN

Semakin menggeliatnya pertumbuhan ekonomi Kota Palembang merupakan upaya


pemerintah kota untuk terus menerus meningkatkan kemajuan daerahnya menjadi kota
metropolis dan internasional. Hal ini berkaitan dengan adanya kewenangan yang diberikan
kepada daerah semenjak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi
(economic growth) merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Hasil pertumbuhan
ekonomi diharapkan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik
dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. Pertumbuhan ekonomi harus
berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan
dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan lebih merata.
Pusat pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu alternatif untuk menggerakkan pembangunan.
Dengan adanya pusat pertumbuhan ekonomi maka pembangunan akan diarahkan pada daerah-
daerah yang memiliki potensi dan fasilitas wilayah sehingga akan mempercepat terjadinya
kemajuan ekonomi, karena secara tidak langsung kemajuan daerah akan membuat masyarakat
untuk mencari kehidupan yang lebih layak di daerahnya. Tidak hanya pertumbuhan ekonomi,
pembangunan juga harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur, transportasi, komunikasi dan
kelembagaan sosial yang secara alami dapat meningkatkan daya tarik investasi.
54
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843

Munculnya pusat pertumbuhan ekonomi daerah dapat dilihat dari beberapa sektor yang dinamis
dan mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tersebut, yang dapat
memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect) pada sektor lain
dan wilayah yang lebih luas. Dalam pendistribusian secara spasial ekonomi, kekuatan pasar akan
dijamin keseimbangannya. Selain itu, proses trickle down effect atau centre down dengan
sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang
tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan
perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan munculnya perusahaan--
perusahaan besar. Implementasi dari penciptaan pusat pertumbuhan harus diikuti oleh trickle
down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) melalui
aktivitas harmonis antara pusat pertumbuhan dengan basis sumberdaya di wilayah pedesaan,
sehingga kegiatan pusat pertumbuhan berdampak pada daerah sekitarnya juga akan dapat tumbuh.
Dengan kata lain, adanya pusat pertumbuhan ekonomi berimplikasi terhadap kegiatan
ekonomi yang terjadi di masyarakat yaitu, bagaimana hasil produksi dari pusat-pusat
pertumbuhan tersebut, dapat dipakai untuk menunjang pelaksanaan kegiatan ekonomi yang
berada di daerah sekitar pusat pertumbuhan (hinterland), sedangkan sisi lainnya adalah
produksi hasil daerah hinterland tersebut juga dipakai untuk menunjang kegiatan ekonomi
yang ada di pusat pertumbuhan. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil di pusat
pertumbuhan tersebut menjadi generator untuk mendukung kegiatan ekonomi daerah sekitar.
Palembang sebagai ibukota Sumatera Selatan menjadi pusat pertumbuhan daerah merupakan
salah satu kota metropolis di Indonesia. Secara geografis, di sebelah utara, timur dan barat
Palembang berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin sedangkan di sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Ogan Ilir. Kota Palembang sebagai pusat
pertumbuhan berdasarkan letaknya memiliki lokasi yang strategis secara internasional. Jarak
tempuh Palembang dengan Singapura sebagai salah satu pusat bisnis dunia sama dengan jarak
tempuh Palembang menuju Jakarta, ibukota Negara. Sebagai salah satu pusat pertumbuhan
diharapkan Palembang dapat memberikan spread effect bagi daerah belakangnya (hinterland)
di Sumatera Selatan terutama bagi daerah yang berbatasan langsung dengan Palembang yang
dikenal dengan istilah Patung Sang Jaya, yaitu akronim dari Palembang, Betung, Sungsang,
Jejawi, dan Indralaya.
Dengan peranan strategisnya sebagai salah satu penggerak roda perekonomian regional
kawasan barat Indonesia maka menarik untuk mengkaji dan menganalisis interaksi ekonomi
Kota Palembang sebagai pusat pertumbuhan dengan mengidentifikasi kecamatan-kecamatan
yang menjadi pusat pertumbuhan tersebut dan kecamatan-kecamatan hinterlandnya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini akan membahas tentang kecamatan
manakah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan dan hinterland di Palembang ?

TINJAUAN PUSTAKA
Secara konsepsi wilayah didefinisikan sebagai ruang yang memiliki kesatuan geografis beserta
segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional (Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang
Penataan Ruang). Demikian pula defenisi wilayah menurut Rustiadi, et al. (2006), bahwa wilayah
merupakan unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen
wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Berdasarkan batasan
tersebut, maka wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti, tetapi seringkali bersifat dinamis.
Karakteristik wilayah mencakup komponen: biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur),
manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian, pemahaman terhadap wilayah pada
hakekatnya merupakan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada
di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

55
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66

Ada beberapa cara untuk menetapkan suatu perwilayahan. Menurut Tarigan (2005), suatu
perwilayahan dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembentukan wilayah itu sendiri.
Dasar perwilayahan dibedakan menjadi :
c) Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan. Di Indonesia dikenal wilayah kekuasaan
pemerintahan, seperti propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, dan
dusun/lingkungan.
d) Berdasarkan kesamaan kondisi (homogeneity). Contoh yang paling umum adalah
kesamaan kondisi fisik.
e) Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. Ditetapkan terlebih dahulu beberapa pusat
pertumbuhan (growth centre) yang sama besar/rankingnya, kemudian ditetapkan batas
pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan.

Perkembangan modern konsep atau pusat pertumbuhan (growth point concept) terutama
berasal dari teori kutub pertumbuhan pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Perancis yaitu
Francis Perroux dengan teorinya pole croisanse atau pole de development. Pemikiran dasar
teori ini adalah kegiatan ekonomi di dalam suatu daerah cenderung terpusat pada satu titik
lokal (pusat). Kegiatan ekonomi tersebut akan semakin berkurang pengaruhnya jika semakin
menjauh dari pusat pertumbuhan tersebut. Akhirnya, pusat tersebut dapat dikatakan sebagai
titik pertumbuhan sedangkan daerah sekitarnya yang masih terpengaruh adalah daerah
pengaruhnya.
Menurut Sihotang (2001), semakin kuat ciri-ciri nodal dari daerah yang bersangkutan, akan
semakin tinggi tingkat pertumbuhannya dan perkembangan ekonomi sosialnya. Dengan
demikian, kebijakan regional yang diterapkan akan berhasil jika kebijakan tersebut
mendukung ciri-ciri nodal alami yang sudah terbentuk pada daerah tersebut. Selain itu, pusat-
pusat penduduk yang besar mempunyai potensi pasar yang tinggi dan secara kultural dan
sosial lebih menarik untuk dikembangkan. Dengan demikian, titik pertumbuhan biasanya
terjadi secara alami dan kemudian dikembangkan sehingga peningkatan ekonomi pada pusat
pertumbuhan tersebut amat tergantung dari penggunaan sumber daya yang digunakan pada
titik dan daerah pengaruhnya.
Pemusatan industri pada suatu daearah akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Konsep
titik pertumbuhan (growth point concept) adalah merupakan mata rantai antara struktur
daerah-daerah nodal yang berkembang dengan sendirinya dan perencanaan fisik dan regional.
Sebagaimana telah diketahui, keuntungan-keuntungan aglomerasi menyebabkan konsentrasi
produksi lebih efisien dari pada yang terpencar-pencar, sedangkan keseimbangan antara
keuntungankeuntungan skala dalam penyediaan pelayanan-pelayanan sentral dan keinginan
akan kemudahan hubungan telah mengakibatkan konsentrasi penduduk yang tersusun dalam
suatu hirarki difokuskannya pusat-pusat sub-regional bagi pertumbuhan telah membantu
menjembatani celah antara teori lokasi dan teori ekonomi regional. Selain itu juga
memasukkan unsur kesatuan dan pengarahan ke dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan regional
seperti: pembuatan prasarana pada titik-titik pertumbuhan, lokasi perumahan baru, dan
penggairahan migrasi intra-regional dan perjalanan ke tempat kerja ke pusat-pusat yang
direncanakan.
Pemikiran dasar dari titik pertumbuhan adalah bahwa kegiatan ekonomi di dalam suatu
wilayah cenderung beraglomerasi di sekitar sejumlah titik-titik tokal. Di dalam suatu wilayah,
arus polarisasi akan bergravitasi ke arah titik-titik tokal ini, walaupun kepadatan dari arus
tersebut akan berkurang karena jarak. Di sekitar titik tokal (pusat dominan) kita dapat
menentukan garis perbatasan dimana kepadatan arus turun sampai suatu tingkat kritis
minimum, pusat tersebut dapat dinamakan sebagai titik pertumbuhan, sedangkan wilayah di
dalam garis perbatasan merupakan wilayah pengaruhnya (wilayah pertumbuhan).
Berdasarkan penafsiran di atas, distribusi penduduk secara spasial tersusun dalam sistem pusat
hirarki dan kaitan-kaitan fungsional. Semakin kuat ciri-ciri nodal dari wilayah-wilayah yang
bersangkutan semakin tinggi tingkat pertumbuhannya dan demikian juga halnya
56
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843

dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosialnya. Dengan demikian rencana


pengembangan wilayah akan lebih berhasil jika rencana tersebut diarahkan untuk memperkuat
ciri-ciri titik pertumbuhan alamiah yang terdapat di masing-masing wilayah. Strategi titik
pertumbuhan dapat ditafsirkan sebagai upaya mengkombinasikan ciri-ciri tempat sentral yang
mempunyai orde tinggi dan lokasi potensial yang akan memberikan keuntungan-keuntungan
aglomerasi.
Teori Tempat Sentral menyatakan fungsi pokok suatu pusat kota adalah sebagai pusat
pelayanan bagi daerah-daerah belakangnya yang mengemban fungsi sosial-ekonomi bertindak
untuk melayani daerah hinterlandnya (desa atau kota lainnya yang mempunyai pengaruh
hubungan yang kuat). Kota yang mampu melayani masyarakat kota sering disebut fungsi kota,
yang selalu dikaitkan dengan sosial ekonomi utama suatu kota. Fungsi kota dicerminkan oleh
kelengkapan dan kualitas fasilitas pelayanan perkotaan yang dimilikinya, disamping itu kota
ditinjau dari segi aksesibilitasnya ke kota-kota lain atau wilayah belakangnya. Pola ideal yang
diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat
ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola pelayanan seperti
jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu
memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett,
2001).
Kota sebagai pusat pelayanan juga, diharapkan memiliki fasilitas pelayanan seperti; (1) pusat
dan pertokoan sebagai fokus point dari suatu kota, (2) sarana dan prasarana transportasi, (3)
tempat rekreasi dan oleh raga, dan (4) sarana pendidikan, kesehatan dan obyek wisata.
Dengan demikian kota menyediakan segala fasilitas bagi kehidupan baik sosial maupun
ekonomi, sehingga baik tempat tinggal maupun bekerja dan berkreasi dapat dilakukan dalam
kota (Jayadinata, 1992).
Fasilitas-fasilitas tersebut merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan
penduduk. Semakin lengkap penyediaan fasilitas-fasilitas di suatu tempat berarti semakin kuat
daya tarik mengundang penduduk dan kegiatan-kegiatan produktif untuk datang ke tempat
tersebut. Dalam meningkatkan pembangunan wilayah harus diupayakan untuk memanfaatkan
peran kota-kota sebagai pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan. Ada dua faktor penting yang
perlu diperhatikan sehubungan dengan peran pusat-pusat dan hirarki dari masing-masing
pusat. Pusat-pusat pelayanan yang lebih kecil adalah penghubung antara pusat-pusat
pelayanan yang lebih besar dengan daerah pedesaan.
John Friedman, Weaver, (1979) menganalisa aspek tata ruang, lokasi serta persoalan-
persoalan kebijaksanaan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup yang
lebih general. Friedman telah menampilkan teori daerah inti. Di sekitar daerah inti terdapat
daerah-daerah pinggiran atau periphery region. Daerah pinggiran ini sering disebut pula
daerah pedalaman atau daerah-daerah sekitanya.
Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, metropolis atau megapolis,
dikategorikan sebagai daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis sisanya merupakan
daerah pinggiran. Wilayah pusat merupakan subsistem dari kemajuan pembangunan yang
ditentukan oleh lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah pinggiran berada dalam suatu
hubungan ketergantungan yang sub stansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersama-sama
membentuk sistem spasial yang lengkap (Indra Catri, 1993, Murtomo, 1988). Dalam
pengembangan daerah melalui pusat-pusat pertumbuhan, kegiatan akan disebar ke beberapa
pusat-pusat pertumbuhan sesuai dengan hirarki dan fungsinya. Pada skala regional dikenal
tiga orde, yaitu: 1) Pusat pertumbuhan primer (utama)
Pusat pertumbuhan primer atau pusat utama orde satu ialah pusat utama dari keseluruhan
daerah, pusat ini dapat merangsang pusat pertumbuhan lain yang lebih bawah tingkatannya.
Biasanya pusat pertumbuhan orde satu ini dihubungkan dengan tempat pemusatan penduduk
terbesar, kelengkapan fasilitas dan potensi aksesibilitas terbaik, mempunyai daerah belakang
terluas serta lebih multi fungsi dibandingkan dengan pusat-pusat lainnya. 2) Pusat
pertumbuhan sekunder (kedua). Pusat pertumbuhan sekunder ini adalah pusat dari sub-
57
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66

daerah, seringkali pusat ini diciptakan untuk mengembangkan sub-daerah yang jauh dari
pusat utamanya. Perambatan perkembangan yang tidak terjangkau oleh pusat utamanya dapat
dikembangkan oleh pusat pertumbuhan sekunder ini. 3) Pusat pertumbuhan tersier (ketiga).
Pusat pertumbuhan tersier ini merupakan titik pertumbuhan bagi daerah pengaruhnya. Fungsi
pusat tersier ini ialah menumbuhkan dan memelihara kedinamisan terhadap daerah pengaruh
yang dipengaruhinya (Friedmann, 1966).

METODE PENELITIAN

Ruang lingkup pembahasan penelitian ini adalah identifikasi kecamatan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi serta interaksi kecamatan-kecamatan sebagai pusat pertumbuhan
dengan kecamatan lainnya sebagai pendukungnya (hinterland) di Kota Palembang. Periode
penelitian pada satu titik waktu yaitu kondisi Kota Palembang tahun 2011-2012. Metode
analisis yang digunakan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu dengan
mengidentifikasi indikator suatu daerah dikategorikan sebagai pusat kegiatan ekonomi dari
adanya keuntungan konsentrasi perkotaan yang meliputi diantaranya fasilitas-fasilitas
komersial, perbankan dan finansial, transportasi, komunikasi, adanya fasilitas-fasilitas sosial,
hiburan dan keuntungan skala dalam pelayanan umum oleh pemerintah (Sitohang, 2001).
Dengan menggunakan analisis Scalogram dapat diidentifikasi kecamatan yang dapat
dikelompokan sebagai pusat-pusat petumbuhan berdasarkan pada fasilitas perkotaan yang
dimiliki. Mampu tidaknya suatu kecamatan dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan dapat
dilihat dari fasilitas perkotaan yang dimilikinya (Blakely, 1999).
Analisis Scalogram bertujuan untuk mengidentifikasikan peranan suatu kota berdasarkan pada
kemampuan kota tersebut memberikan pelayanan kepada masyarakat. Semakin lengkap
pelayanan yang diberikan, menunjukan bahwa kota tersebut mempunyai tingkatan yang tinggi
dan dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan. Stone dalam Kodoatie (2003)
mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan atau
dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air,
tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk
memfasilitasi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial. Sistem Infrastruktur merupakan pendukung
utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitasfasilitas atau struktur-
struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan
untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg dalam Kodoatie,
2003). The World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1) infrastruktur
ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi,
meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan,
bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan
terbang dan sebagainya). 2) Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan
dan rekreas. 3) Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi
dan koordinasi.
Fasilitas kota selain mampu membentuk struktur fisik kota, juga dibutuhkan sebagai wadah
aktivitas baik ekonomi maupun sosial sehari-hari bagi masyarakat setempat (Morris, 2000).
Menurut United Nations (1979), fasilitas yang harus tersedia diantaranya adalah fasilitas:
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, olah raga, keagamaan, rekreasi, kebudayaan,
administrasi, keamanan, komersial, keuangan, pertanian, peternakan, industri, transportasi,
pos dan telekomunikasi, perumahan, persampahan, drainase, listrik, serta jalan. Fasilitas harus
merinci ruang lingkup pelayanan, jumlah dan kualitas fasilitas untuk masing-masing
kelompok umur, kebutuhan ruang, dan lain sebagainya. Pendekatannya dilakukan atas satuan
penduduk yang dapat mendukung adanya fasilitas tersebut. Fasilitas
58
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843

yang dibutuhkan dalam suatu kota kecamatan menurut standar DPU dapat dilihat pada tabel
1.
Metode skalogram dilakukan untuk mengetahui pusat pelayanan berdasarkan jumlah dan jenis
unit fasilitas pelayanan yang ada dalam setiap daerah. Asumsi yang dipakai adalah bahwa
wilayah yang memiliki ranking tertinggi adalah lokasi yang dapat ditetapkan menjadi pusat
pertumbuhan (Amas Yamin, dkk dalam Pardede, 2008). Dalam analisis skalogram ini subjek
diganti dengan pusat permukiman (settlement). Sedangkan objek diganti dengan fungsi atau
kegiatan. Indikator yang digunakan adalah jumlah penduduk, jumlah jenis jumlah unit.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam metode skalogram adalah (Pardede, 2008) : 1)


Daerah-daerah di kecamatan yang ada di Palembang disusun berdasarkan peringkat jumlah
penduduk. 2) Daearah-daerah tersebut disusun urutannya berdasarkan jumlah dan jenis
fasilitas yang dimiliki. 3) Fasilitas-fasilitas disusun urutannya berdasarkan jumlah wilayah
yang memiliki fasilitas tersebut. Peringkat jenis fasilitas tersebut disusun urutannya
berdasarkan jumlah total unit fasilitas.

Tabel 1. Fasilitas Yang Dibutuhkan Dalam Kecamatan

Minimum Penduduk Radius


No Jenis Fasilitas
Pendukung Pencapaian
1 Pendidikan SD/MI 1.600 jiwa 1.000 m
SMP/MTs 4.800 jiwa -
SMA/MA 4.800 jiwa -
2 Kesehatan Praktek dokter 5.000 jiwa 1.500 m
Puskesmas pembantu 3 0.000 jiwa -
Puskesmas + rawat inap 120.000 jiwa -
Rumah sakit bersalin/BKIA 10.000 jiwa 2000 m
Apotek 10.000 jiwa -
3 Perekonomian Pusat perbelanjaan dan niaga 120.000 jiwa -
(pertokoan, pasar, bank, kantor,
industri kecil)
4 Pemerintahan Kantor kecamatan, kantor 120.000 jiwa -
dan pelayanan polisi, kantor pos cabang,
kantor telepon, pemadam
umum
kebakaran
6 Peribadatan *) Musholla 300 jiwa -
Masjid 1.750 jiwa
Masjid Besar 120.000 jiwa -
Gereja 1.750 jiwa -
Pura 120.000 jiwa -
Wihara 120.000 jiwa -
7 Olah raga dan Taman dan lapangan terbuka 120.000 jiwa -
daerah terbuka
8 Kebudayaan dan Gedung serba guna 120.000 jiwa -
rekreasi
9 Transportasi Terminal 120.000 jiwa -
Sumber: Pedoman Perencanaan Lingkungan Pemukiman Kota
*) Tergantung dari kondisi setempat (jumlah dan jenis agama yang dianut)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


0 0
Secara geografis Kota Palembang terletak pada posisi antara 2 52' sampai 3 5' Lintang Selatan
0 0
dan 104 37' sampai 104 52' Bujur Timur. Berdasarkan Peraturan Pemerintah

59
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66

2
Nomor 23 tahun 1988 luas wilayah Kota Palembang adalah 400.61 km atau 40.061 Ha.

Secara administrasi Kota Palembang berbatasan dengan:


Sebelah Utara : Kabupaten Banyuasin.
Sebelah Timur : Kabupaten Banyuasin.
Sebelah Barat : Kabupaten Banyuasin
Sebelah Selatan : Kabupaten Ogan Ilir dan Muara Enim.
Apabila dilihat secara topografi, Kota Palembang terletak pada posisi belahan Timur Pulau
Sumatera yang merupakan dataran rendah dan berawa, serta terdapat perbedaan karakter
topografi antara seberang ulu dengan seberang ilir. Pada bagian wilayah Seberang Ilir adanya
variasi topografi (ketinggian) 4 sampai dengan 20 meter di atas permukaan laut dan lembah–
lembah yang kontinyu serta tidak terdapat topografi yang terjal. Sampai dengan jarak 5 km ke
arah Utara Sungai Musi kondisi topografi relatif menaik dan setelah itu semakin ke Utara
menurun kembali. Sebaliknya, Seberang Ulu umumnya mempunyai topografi yang relatif
datar dan sebagian besar dengan tanah asli berada di bawah permukaan air pasang maksimum
Sungai Musi (+ 3,5 M sampai 4,12 M di atas permukaan laut) kecuali lahan yang telah di
bangun dan akan dibangun, dimana permukaan tanah telah mengalami penimbunan
(reklamasi). Dengan demikian, aspek topografi pada prinsipnya tidak ada faktor pembatas
untuk pengembangan ruang, baik berupa kelerengan atau kemiringan yang besar.
Jumlah Penduduk Kota Palembang pada Januari 2013 sebanyak 1.703.740 yang terdiri dari
868.197 laki-laki dan 840.216 perempuan, sedangkan jumlah penduduk pertengahan tahun
2010 berdasarkan hasil SP2010 dari Badan Statistik berjumlah 1.455.284 dengan laju
pertumbuhan penduduk berdasarkan SP 2010 terhadap jumlah penduduk tahun 2012 sebesar
1.70%. Penyebaran penduduk Kota Palembang tidak merata. Konsentrasi penduduk masih
bertumpu di Kecamatan Ilir Timur II, Kecamatan Seberang Ulu I dan Kecamatan Sukarami.
Rincian jumlah penduduk Kota Palembang per kecamatan dapat dilihat dari Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2012
Penduduk
No Kecamatan
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Ilir Barat II 37.918 36.761 74.679
2 Seberang Ulu I 94.867 92.183 187.050
3 Seberang Ulu II 53.166 51.202 104.368
4 Ilir Barat I 74.040 72.755 146.795
5 Ilir Timur I 39.387 40.267 79.654
6 Ilir Timur II 98.773 96.087 194.860
7 Sukarami 79.543 76.966 156.509
8 Sako 48.548 46.931 95.479
g Kemuning 47.415 46.319 93.734
10 Kalidoni 62.596 59.409 122.005
11 Bukit Kecil 25.248 25.243 50.491
12 Gandus 34.600 32.876 67.476
13 Kertapati 50.911 48.666 99.577
14 Plaju 48.880 47.394 96.274
15 Alang-Alang Lebar 48.307 47.091 95.398
16 Sematang Borang 20.087 19.304 39.391
Total 864.286 839.454 1.703.740
Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palembang

60
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843

Sarana pendidikan merupakan bidang yang akan sangat mempengaruhi kualitas sumber daya
manusia di masa depan. Sarana Pendidikan seperti jumlah Sekolah di Kota Palembang baik
Negeri maupun Swasta pada tahun ajaran 2011/2012 sebanyak 1.142 sarana pendidikan yang
terdiri dari 294 sekolah taman kanak-kanak, 358 Sekolah Dasar/Madarasah ibtidaiyah
(SD/MI), 198 Sekolah Menegah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), 162 Sekolah
Menegah Umum/ Madrasah Aliyah (SMU/MA), 63 Sekolah Menegah Kejuruan (SMK),
Sebanyak 62 Perguruan Tinggi/ Universitas.
Dengan besarnya jumlah penduduk maka ketersediaan sarana kesehatan menjadi penting.
Jumlah fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Klinik
bersalin dan puskesmas keliling pada tahun 2011 masing-masing berjumlah 26 unit, 39 Unit,
70 Unit, 32 unit dan 20 unit dari fasilitas tersebut diharapkan peningkatan kesehatan
masyarakat kota Palembang semakin meningkat.
Selain sarana kesehatan juga dibutuhkan fasilitas sosial lainnya. Salah satu fasilitas sosial
tersebut adalah panti asuhan. Jumlah panti asuhan yang dikelola swasta dan pemerintah di
Kota Palembang sebanyak 7 (tujuh) panti dengan jumlah penghuni sebanyak 431 orang.
Rincian masing-masing panti asuhan dapat dilihat pada Tabel 3berikut ini.

Tabel 3. Jumlah Panti Asuhan dan Jumlah Penghuni


Berdasarkan Jenis kelamin Tahun 2012

Jenis Kelamin
No Jenis Panti Jumlah
Laki-laki Perempuan
1 Panti Sosial Bina Anak Remaja - 20
20
(PSBAR)
2 Panti sosial rehabilitasi tresna Werdha 31 41
72
Teratai (PTWT)
3 Panti Rehabilitasi Pengemis, 88 68
156
Gelandangan dan orang telantar
4 Panti Rehabilisasi penderita cacat Netra 25 20
45
(PRPCN)
5 Panti rehabilitasi anak-anak Nusantara 19 1 20

Jumlah 163 150 313


Sumber : Dinas Sosial Kota Palembang

Secara administratif Kota Palembang sejak tahun 2007dibagi menjadi 16 Kecamatan dan 107
Kelurahan.
1. Kecamatan Ilir Timur I :11 Kelurahan
2. Kecamatan Kemuning :6 Kelurahan
3. Kecamatan Ilir Timur II :12 Kelurahan
4. Kecamatan Kalidoni :5 Kelurahan
5. Kecamatan Ilir Barat I :6 Kelurahan
6. Kecamatan Bukit Kecil :6 Kelurahan
7. Kecamatan Ilir Barat II :7 Kelurahan
8. Kecamatan Gandus :5 Kelurahan
9. Kecamatan Seberang Ulu I :10 Kelurahan
10.Kecamatan Kertapati :6 Kelurahan
61
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66

11.Kecamatan Seberang Ulu II : 7 Kelurahan


12.Kecamatan Plaju : 7 Kelurahan
13.Kecamatan Sako : 4 Kelurahan
14.Kecamatan Sukarami : 7 Kelurahan
15.Kecamatan Alang-Alang Lebar : 4 Kelurahan
16.Kecamatan Sematang Borang : 4 Kelurahan

Sebagai implementasi dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, Kota
Palembang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan,
Susunan dan Struktur Organisasi Pemerintah Kota Palembang yang terdiri dari Sekretaris
Daerah, 4 Asisten, 11 Bagian, Sekretariat DPRD, Inspektur, 17 Dinas, 1 Satuan, 9 badan, 3
BUMD dan 1 kantor sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Palembang.

Profil Ekonomi
Dengan semakin membaiknya perekonomian global, maka kondisi perekonomian Kota
Palembang di tahun 2012 pada dasarnya juga stabil. Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) sebagai indikator yang mencerminkan gambaran penciptaan nilai tambah bruto dari
berbagai aktivitas ekonomi di Kota Palembang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto Kota Palembang


Tahun 2012 (Dalam Juta Rupiah)

Sektor ADH Berlaku ADH Konstan


Pertanian 290.729 134.197
Pertambangan dan Penggalian 0 0
Industri Pengolahan 29.661.198 7.352.747
Listrik, Gas dan Air Bersih 803.952 295.031
Bangunan 4.985.935 1.894.580
Perdagangan, Hotel dan Restoran 11.223.737 4.149.525
Pengangkutan dan Komunikasi 7.398.356 3.537.820
Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 3.996.915 1.517.537
9. Jasa-jasa lainnya 8.574.395 2.542.643
PDRB dengan Migas 66.935.210 21 .424.079
PDRB tanpa Migas 51 .433.657 19.493.524
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palemnbang (angka sangat- sangat sementara Per 11
Maret 2013 belum di publikasikan dan masih akan berubah)

Berdasarkan kontribusi atau peranan masing-masing sektor dalam pembentukan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) yang dalam konteks yang lebih jauh akan memperlihatkan bagaimana
suatu daerah terhadap kemampuan produksi dari masing-masing sektor perekonomian dapat
dilihat struktur ekonomi Kota Palembang. Berdasarkan pendekatan produksi, seluruh sektor
lapangan usaha yang ada di suatu wilayah biasanya di kelompokan dalam 9 sektor. Kesembilan
sektor tersebut dapat diklasifikasikan kembali dalam tiga sektor utama, yaitu Sektor Primer,
Sekunder, Tersier. Sektor Primer mencakup kegiatan pertanian, Pertambangan, dan penggalian.
Sektor Sekunder meliputi kegiatan industri

62
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843

pengolahan, listrik, Gas dan air bersih serta bangunan. Sektor Tersier mencakup kegiatan
Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan
jasa perusahaan serta jasa-jasa lainnya. Adapun struktur Ekonomi Kota Palembang masih
didominasi oleh sektor sekunder. Tabel 5 menyajikan struktur ekonomi menurut sektor
Primer, Sekunder dan Tersier.

Tabel 5. Persentase Struktur Ekonomi Kota Palembang Menurut Sektor


Primer, Sekunder dan Tersier Tahun 2012

Sektor Persentase
Primer 0.43
Sekunder 52.96
Tersier 46.7
Jumlah 100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palembang (angka sangat-sangat sementara)

Laju pertumbuhan ekonomi merupakan tolok ukur keberhasilan kinerja ekonomi daerah serta
dapat menunjukkan arah kebijakan pembangunan suatu wilayah pada kurun waktu tertentu.
Pertumbuhan tersebut merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam
sektor ekonomi, yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang
terjadi. Krisis global yang terjadi di tahun 2008 cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi Kota Palembang. Pada beberapa sektor ekonomi laju pertumbuhan melambat dari
tahun sebelumnya, yang pada akhirnya mengakibatkan total pertumbuhan ekonomi Kota
Palembang lebih kecil. Laju pertumbuhan tertinggi PDRB Kota Palembang Tahun 2012
adalah sektor Pengangkutan dan Komunikasi dengan pertumbuhan sebesar 12.11%.

Tabel 6. Laju Pertumbuhan PDRB Berdasarkan Sektor Tahun 2009-2012

Sektor 2009 2010 2011 2012*


Pertanian 3.12 2.30 2.77 2.86
Pertambangan dan Penggalian 0.00 0.00 0.00 0.00
Industri Pengolahan 4.02 4.44 5.89 7.17
Listrik, Gas dan Air Bersih 3.53 6.22 8.35 8.57
Bangunan 7.12 8.03 18.46 10.73
Perdagangan, Hotel dan Restoran 2.79 6.67 7.84 7.11
Pengangkutan dan Komunikasi 11.63 11.23 14.71 12.11
Keuangan, Persewaan dan JasaPerusahaan 8.57 7.79 16.34 4.27
9. Jasa-jasa lainnya 6.10 6.10 9.43 7.68
PDRB dengan Migas 5.60 6.60 9.79 8.09
PDRB tanpa Migas 6.42 7.37 10.85 8.92
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palembang (*angka sangat sementara per Maret 2012)

Pendapatan perkapita adalah jumlah seluruh balas jasa faktor produksi yang diterima setiap
penduduk secara rata-rata dalam keterlibatannya pada faktor produksi dalam proses produksi
sehingga sering digunakan sebagai indikator dalam melihat kesejahteraan atau kemakmuran
masyarakat secara umum. Berdasarkan harga konstan dengan migas,
63
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66

pendapatan perkapita penduduk Kota Palembang di tahun 2012 naik sebesar Rp 606.656,00
atau naik dari Rp 11.051.444,00 tahun 2011 menjadi Rp11.658.100,00 di tahun 2012. Apabila
unsur migas Dikeluarkan, maka pendapatan perkapita penduduk Kota Palembang naik sebesar
Rp628.155,00 atau naik dari Rp9.979.416,00 di tahun 2011 menjadi Rp10.607.571 .00 pada
tahun 2012. Pendapatan regional perkapita Kota Palembang dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.

Tabel 7. Pendapatan Regional Perkapita Kota Palembang Tahun 2007-2012

Dengan Harga Berlaku Dengan Harga Konstan


Tahun
Dengan Migas Tanpa Migas Dengan Migas Tanpa Migas
2007 20.230.261 14.109.410 8.813.166 7.710.612
2008r 24.462.150 16.543.143 9.276.634 8.173.198
r
2009 25.918.790 18.288.409 9.647.392 8.565.981
2010* 29.520.621 20.794.780 10.168.303 9.093.569
2011** 32.670.008 25.273.653 11.051.444 9.979.416
2012*** 36.423.380 27.988.074 11.658.100 10.607.571
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palembang
Ket: r. Angka revisi, *angka sementara, ** angka sangat sementara,
***angka sangatsangat sementara, per Maret 2012)

Pusat Pertumbuhan Kota Palembang

Berdasarkan konsentrasi penduduk dapat dilihat bahwa persebaran penduduk tidak merata dan
terpusat di Kecamatan ilir timur II (194860 orang, 11,45 persen), diikuti oleh Kecamatan
Seberang Ulu i (187.050 orang, 10,97 persen) dan Sukarami (156.509 orang, 9,2 persen).
Tingginya penduduk di tiga Kecamatan ini karena di Kecamatan tersebut merupakan sentra
industri dan sentra Pendidikan serta dipengaruhi perbatasan dengan Kabupaten lain atau
daerah pinggiran Kota. Tabel 4.7 menyajikan informasi tentang persebaran UKM di Kota
Palembang menurut kecamatan tahun 2012 yang memperlihatkan bahwa letak UKM paling
banyak ada di Kecamatan Ilir Timur II dan Sukarami. Jumlah UKM berdasarkan kelompok
industri yang terbesar sebarannya di Kecamatan Gandus, Kertapati, Ilir Timur I, Ilir Timur II,
Sako dan Sukarami. Dengan kelompok industri terbesar adalah kelompok UKM industri
logam, mesin, kimia dan aneka industri (89 unit usaha); dan UKM industri hasil hutan dan
perkebunan (10 unit usaha).
Tingginya konsentrasi penduduk tersebut menyebabkan tingginya permintaan ketersediaan
fasilitas umum baik sosial, ekonomi dan pemerintahan. Selain itu, jumlah penduduk yang
banyak juga menjadi pasar potensial sehingga pasar dan sentra produksi pun akan meletakkan
lokasi mendekati konsentrasi penduduk.
Jika dibagi menurut lokasi wilayah, maka pusat pertumbuhan Kota Palembang adalah
Kecamatan Ilir Timur I dan II, Sukarami, Seberang Ulu II, Kalidoni dan Ilir Barat dan II. Hal
ini ditunjukkan oleh nilai dari metode Scalogram pada Tabel 8. Ketersediaan fasilitas sosial
paling banyak di Kecamatan Ilir barat I, untuk fasilitas ekonomi di Ilir Timur I dan
pemerintahan di Ilir Timur II. Namun, dari tabel tersebut terlihat bahwa pusat pertumbuhan di
Kota Palembang masih terkonsentrasi (primer) di dua kecamatan saja yaitu Ilir Timur I dan II
dibandingkan 16 kecamatan yang ada. Baru kemudian diikuti pusat pertumbuhan kedua
(sekunder) oleh Kecamatan Ilir Barat 1 dan II (sebelah barat Palembang), Sukarami (Sebelah
Utara Palembang), Kalidoni (Sebelah Timur), dan Seberang Ulu 2 (Sebelah Selatan
64
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843

Palembang) dan Sako (Sebelah Timur Palembang), sedangkan yang lainnya menjadi daerah
hinterland di Kota Palembang. Dilihat dari perkembangan dari daerah sekunder, maka
Kecamatan Ilir Barat 1 dan II, Sukarami, Kalidoni, dan Seberang Ulu 2 akan dapat menjadi
daerah primer berikutnya.

Tabel 8. Nilai Fasilitas Metode Scalogram

Kecamatan Sosial Ekonomi Pemerintahan Jumlah Rerata


Ilir Barat II 1522 457 257 2236 1118
Gandus 1049 129 225 1403 701,5
Seberang Ulu I 1003 220 267 1490 795
Kertapati 922 184 256 1362 681
Seberang Ulu II 1086 156 287 1529 764,5
Plaju 919 121 257 1297 648,5
Ilir Barat I 1719 606 287 2612 1306
Bukit Kecil 1039 241 236 1516 758
Ilir Timur I 1341 1024 341 2706 1353
Kemuning 765 364 256 1385 692,5
Ilir Timur II 1362 789 362 2513 1256,5
Kalidoni 687 263 245 1195 597,5
Sako 473 128 255 856 428
Sematang Borang 309 50 240 599 299,5
Sukarami 1216 636 274 2126 1063
Alang-alang Lebar 530 533 234 1297 648,5
Sumber: Data diolah, 2013

Yang berpotensi menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru pada bagian wilayah utara
Palembang Kecamatan Seberang Ulu I dan II (wilayah Jakabaring), sebelah timur Palembang
adalah Kalidoni dan Sako, sebelah utara Palembang adalah Sukarami dan Alang-Alang Lebar,
serta sebelah Barat Palembang adalah Gandus.

PENUTUP
Kesimpulan

Pusat pertumbuhan primer di Kota Palembang adalah Kecamatan Ilir Timur I dan II, Sekunder
adalah Kecamatan Ilir Barat 1 dan II (sebelah barat Palembang), Sukarami (Sebelah Utara
Palembang), Kalidoni (Sebelah Timur), dan Seberang Ulu 2 (Sebelah Selatan Palembang) dan
Sako (Sebelah Timur Palembang) sedangkan kecamatan lainnya adalah hinterland Kota
Palembang.

DAFTAR RUJUKAN

Blakeley, Edward J. 1994. Planning Local Economic Development, Theory and Practice, USA,
Second edition, : SAGE Publication Inc.
BPS Sumatera Selatan, Palembang Dalam Angka 2011.
BPS Sumatera Selatan, Palembang Dalam Angka 2012.
65
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66

BPS, Sumatera Selatan Dalam Angka 2011.


BPS, Sumatera Selatan Dalam Angka 2012.
Djojodipuro, Marsudi. 1994. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Glasson, J. 1974. An Introduction to Regional Planning. Hutchinson Educational, London Harahap,
Erwin, 2009. Kecamatan Perbaungan Sebagai Pusat Pertumbuhan di kabupaten
Serdang Bedagai. Tesis. Sekolah Pascasarjana Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayaj dan
Perdesaan Universitas Sumatera Utara.
Hestuadiputri, Dita. 2007. Peran dan Fungsi Kota Kecamatan Lasem Sebagai Pusat Pertumbuhan di
Kabupaten Rembang. Tesis. Program Pascasarjana, Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan kota,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Kodoatie, RJ. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Pustaka Pelajar, Yogyakarta Myrdal, G.
1968. Asian Drama-An Inquiry into The Poverty of Natios, Penguin,
Harmondsworth.
Perroux, F. 1950. Note Sur La Motion de Pole la Groisance. Economic Applioq-uce, Vol. 8. Prasetyo,
2009. Rindang Bangun dan Muhammad Firdaus, Pengaruh Infrastruktur pada
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Indonesia, Jurnal Ekonomi Pembangunan 2 (2) 222-236.

Richardson, H.W., 1977. Dasar-dasar Ekonomi Regional. LPFEUI, Jakarta.


Rustiadi E, Hadi S. 2006. Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan
Pembangunan Berimbang dalam Kawasan Agropolitan Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang,
Crestpent Press, P4W-LPPM IPB, Bogor
Sibarani, M.H.M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
Tesis Magister Sains. Program Pascarsarjana, universitas Indonesia, Jakarta.
Sitohang, Paul. 2001. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional, Edisi Revisi, Penerbit FE-UI, Jakarta.
Sugiyanto dan Sukesi, 2010. Penelitian Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi di
Kabupaten Lamansu, Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol. 1 No. 2 Okotober
2010, 222-215
Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara
. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara, Jakarta
United Nations. 1978. Guidelines for Rural Centre Plalnning Economic and Social Comissions for
Asia and The Pasific. New York.
Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Output serta
Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia. Tesis Magsiter Sains. Program Pascasarjana IPB,
JEP nak
Tabel 7: Hasil Analisis Overlay Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012 – Bagian 1 14 Kota Singka- 0
I wang
Vol. 15 Kab. Tanah La- 0
1 2 3
16 No. Kabupaten/Kota RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR
ut
No.

100
1 Kab. Sambas 0,57 1,46 2,21 ++ 1,64 0,78 0,01 0,37 1,59 0,77 0,63
2 2 Kab. Bengka- 0,57 2,40 2,10 ++ 1,64 0,75 0,08 0,37 2,98 0,41 0,63
yang
Jan 3 Kab. Landak 0,57 3,30 2,33 ++ 1,64 -0,61 0,06 0,37 3,40 0,85 0,63
uari 4 Kab. Pontia- 0,57 -1,09 1,07 1,64 -0,49 0,01 0,37 -1,80 2,45 0,63
201 nak
5 Kab. Sanggau 0,57 1,27 1,69 ++ 1,64 0,22 0,07 0,37 1,16 2,22 ++ 0,63
6, 6 Kab. Keta- 0,57 1,24 1,64 ++ 1,64 1,77 0,50 0,37 4,84 1,60 ++ 0,63
hlm. pang
81– 7 Kab. Sintang 0,57 0,90 1,87 1,64 0,31 0,17 0,37 3,33 0,78 0,63
104 8 Kab. Kapuas 0,57 0,42 2,10 1,64 8,59 0,05 0,37 -3,07 0,36 --- 0,63
Hulu
9 Kab. Sekadau 0,57 1,45 2,3 ++ 1,64 0,17 0,12 0,37 1,24 1,05 ++ 0,63
10 Kab. Melawi 0,57 0,35 1,62 1,64 0,41 0,20 0,37 3,22 0,81 0,63
11 Kab. Kayong 0,57 1,15 2,20 ++ 1,64 0,98 0,09 0,37 3,18 1,57 ++ 0,63
Utara

Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...


12 Kab. Kubu Ra- 0,57 1,69 0,91 1,64 0,76 0,02 0,37 0,95 4,08 0,63
ya
13 Kota Pontia- 0,57 4,46 0,05 1,64 0 0 0,37 1,86 0,68 0,63
nak
14 Kota Singka- 0,57 1,23 0,66 1,64 0,46 0,08 0,37 1,83 0,67 0,63
wang
15 Kab. Tanah La- 0,57 1,11 1,51 ++ 1,64 0,75 0,40 0,37 2,85 1,62 ++ 0,63
ut
6 7 8
No. Kabupaten/Kota RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR
1 Kab. Sambas 0,92 1,05 1,61 ++ 1,20 0,52 0,43 1,4 0,39 0,94 1,07
2 Kab. Bengka- 0,92 0,85 1,62 1,20 0,79 0,31 1,4 0,48 1,03 1,07
yang
3 Kab. Landak 0,92 2,89 1,39 ++ 1,20 2,80 0,32 1,4 1,53 0,85 1,07
4 Kab. Pontia- 0,92 -0,51 1,15 1,20 -0,44 0,41 1,4 -0,24 0,67 1,07
nak
5 Kab. Sanggau 0,92 1,38 1,00 ++ 1,20 0,86 0,26 1,4 0,54 0,61 1,07
6 Kab. Keta- 0,92 1,35 0,99 1,20 1,02 0,34 1,4 0,78 0,95 1,07
pang
7 Kab. Sintang 0,92 1,10 1,35 ++ 1,20 0,81 0,35 1,4 0,62 0,76 1,07
8 Kab. Kapuas 0,92 0,76 1,04 1,20 0,51 0,45 1,4 0,47 1,06 1,07
Hulu
9 Kab. Sekadau 0,92 1,21 1,08 ++ 1,20 0,66 0,26 1,4 0,65 0,94 1,07
10 Kab. Melawi 0,92 1,08 1,86 ++ 1,20 0,45 0,19 1,4 0,85 0,68 1,07
11 Kab. Kayong 0,92 1,16 0,71 1,2 1,11 0,34 1,4 0,86 0,91 1,07
Utara
12 Kab. Kubu Ra- 0,92 0,62 1,03 1,20 2,56 0,66 1,4 0,62 0,47 1,07
ya
13 Kota Pontia- 0,92 1,19 1,31 ++ 1,20 0,6 2,24 1,4 0,51 2,23 1,07
bersambung...
Tab
el 8: 17
Hasi Kab. Banjar
0,57
l 0,96
Anal 1,35
isis
1,64
Ove 0,53
rlay 0,87
Men
0,37
urut 2,86
Kab 0,53
upat
0,63
en/ 0,65
Kot 1,26
a
1,25
Tah 1,06
un 0,83
200
0– 18
201 Kab.
2– Barito
0,57
Bagi 0,92
an 2 1,37

1,64
No. 0
Kabu 0
paten
/Kota 0,37
-3,24
2,74
1
0,63
1,12
0,23
2
1,25
2,04
0,94
3

4 Kuala

5 ++

RPR
RPs
SLQ
Tand
a
RPR
RPs
SLQ
Tand
a
RPR
RPs
SLQ
Tand
a 19
RPR Kab. Tapin
R 0,57
Ps 1,06
SLQ 2,13
Tand
a 1,64
RPR
RPs 4,48
SLQ 0,55
Tand
a 0,37
4,22
16 0,33
Kab.
Kota
baru 0,63
0,57 0,88
1,46
1,73 0,77
++ ---
1,64 1,25
0,49 0,35
1,06
0,9
0,37
1,81
0,60
20
0,63 Kab. Hulu Su-
0,50 0,57
0,30
--- 0,78
1,25 1,89
0,95
0,69
1,64 0
2,33
0,09 0,37
0,88
0,37 0,87
1,70 ---
0,57 0,63
0,85
0,63 1,00
0,79
0,59 1,25
--- 0,78
1,25 0,94
0,43
0,72

ngai Utara

ngai
Selat
an

++

23
Kab. Tabalong
0,57
0,82
21 0,82
Kab. ---
Hulu 1,64
Su- 0,69
0,57 2,96
1,46
1,83 0,37
2,54
1,64 0,11
0,33
0,02 0,63
0,26
0,37 0,22
2,81 ---
0,71 1,25
0,64
0,63 0,35
1,13
0,51
24
1,25 Kab.
0,74 Tanah
0,64 0,57
1,65
0,79

ngai 1,64
Teng 0,51
ah 2,25

0,37
1,50
++ 0,71

0,63
0,50
0,51
---
1,25
0,97
0,75

Bumbu

++
22
Kab.
Hulu
Su-
0,57
1,29
1,56

1,64
0,44
3,36

1,25
0,96
2,33
25
Kab.
28
Balan
Kab.
gan
Kotawa-
0,57
0,57
1,01
1,48
1,06
2,12
1,64 ++
0,54 1,64
3,21 1,41
0,05
0,37
2,39 0,37
0,02 2,58
1,24
0,63 ++
1,51 0,63
0,18 1,89
0,57
1,25
1,09 1,25
0,25 0,74
0,57
P ,
26
Kota
Banj
ar-
0,57
2,14
0,05

1,64
0
0

0,37
-0,87
1,81

0,63 .M
0,98
2,99 ringin Barat

1,25
0,94
1,33

ratiwi
ru

masi
n

29
Kab.
Kotawa-
0,57
1,57
1,83
++
1,64
++ 0,91
0,04

0,37
1,94
27 1,31
Kota ++
Banja 0,63
rba- 1,35
0,57 0,60
1,03
0,25 1,25
1,18
1,64 0,55
0,16
0,43 C
ringin Timur
0,37
0,97
1,28

0,63 .
1,01
SLQ
Tanda

++

16
Kab. Kotabaru
0,92
1,19
0,99
++
1,20
0,47
0,94
1,40
1,27
.Y 0,22
30
1,07
Kab. 1,10
Kapu 0,51
as
0,57
1,41
2,54
1,64
0,79
0,02 17
Kab. Banjar
0,37 0,92
0,45 1,31
0,50 1,31
---
0,63 1,20
0,32 0,74
0,50 0,59
---
1,25 1,40
0,75 1,08
1,2 0,76

1,07
0,97
1,28

18
Kab. Batola
0,92
2,2
& 0,61

1,20
-0,10
0,18

No. 1,40
Kabu 1,03
paten 0,48
/Kota
1,07
0,81
6 0,90

8 19
Kab. Tapin
0,92
9 0,62
0,58
---
1,20
0,47
0,25
,
uncoro 1,4 0
K 0,35
0,87
RPR 1,07
RPs 0,059
SLQ
Tand 2,07
a
RPR
RPs
SLQ
Tand
a .M
RPR 20
RPs
SLQ Kab. Hulu Su-
Tand 0,92
a 0,78
RPR 1,12
R
Ps
1,20 1,40
0,57 0,75
0,61 0,83

1,40 1,07
0,75 0,83
0,75 2,43

1,07
0,87
2,32

ngai Utara

ngai
Selat
an

23
Kab. Tabalong
0,92
0,79
0,39
21 ---
Kab. 1,20
Hulu 0,90
Su- 0,19
0,92 +++
1,04 1,40
0,85 0,69
0,56
1,20
0,78 1,07
0,76 1,21
1,00
1,40
0,84
1,21

1,07
0,73
2,72 24
Kab.
Tanah
0,92
1,41
0,59

1,20
ngai 1,84
Teng 1,11
ah
1,40
1,86
0,24

1,07
1,41
0,43

Bumbu

22
Kab.
Hulu
Su-
0,92
0,84
1,17

1,20
0,65
0,81
ru
25
Kab.
Balan
gan
0,92
1,67
0,19
++
1,20
0,82
0,27

1,40
0,83
0,20
+++
1,07
1,01
0,57
+++

28
Kab.
Kotawa-
0,92
26 1,22
Kota 0,96
Banj
ar- 1,20
0,92 0,86
1,63 0,89
1,13
1,40
1,20 1,24
0,73 0,58
2,94
1,07
1,40 1,22
1,93 0,96
1,91

1,07
1,1
1,49

ringin Barat

++
masi
n

++

29
Kab.
Kotawa-
0,92
1,56
1,20

27 1,20
Kota 0,60
Banja 1,21
rba-
0,92 1,40
1,16 1,08
1,39 0,60

1,20 1,07
0,69 0,73
0,88 0,83

1,40
1,38
0,81

1,07
0,99
2,39 ringin Timur
bersambung...

30
Kab.
Kapu
as
0,92
1,21
0,86

1,20
0,28
0,43

1,40
0,90
1,01

1,07
0,47
1,08

101

JEP 42 Kab. Paser


43 Kab. Kutai Ba-
I Tabel 9: Hasil Analisis Overlay Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012 – Bagian 3 rat
Vol. 44 Kab. Kutai Kar-
16 tanegara
No. Kabupaten/Kota 1 2 3
No.

102
RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda
2 31 Kab. Barito Se- 0,57 0,92 1,84 1,64 0,73 0,02 0,37 2,81 0,46
latan
Jan 32 Kab. Barito Uta- 0,57 0,15 1,47 1,64 0,79 0,91 0,37 0,26 0,44 ---
uari ra
201 33 Kab. Sukamara 0,57 1,19 3,38 ++ 1,64 0,46 0,02 0,37 2,36 0,19
34 Kab. Lamandau 0,57 1,30 1,88 ++ 1,64 3,88 3,11 +++ 0,37 3,12 0,04
6, 35 Kab. Seruyan 0,57 0,95 2,64 1,64 0,33 0,07 0,37 1,71 0,61
hlm. 36 Kab. Katingan 0,57 0,94 2,18 1,64 0,27 0,21 0,37 1,23 0,54
81– 37 Kab. Pulang Pi- 0,57 1,49 2,55 ++ 1,64 0,49 0,01 0,37 1,51 0,51
104 sau
38 Kab. Gunung 0,57 1,26 2,43 ++ 1,64 0,51 0,50 0,37 0,33 0,22
Mas
39 Kab. Barito Ti- 0,57 0,98 2,49 1,64 1,71 0,03 0,37 1,39 0,35
mur
40 Kab. Murung 0,57 0,44 1,52 1,64 0,23 1,78 0,37 3,34 0,24
Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

Raya
41 Kota Palangka- 0,57 1,50 0,27 1,64 0,48 0,08 0,37 2,75 0,43
raya
42 Kab. Paser 0,57 1,19 0,80 1,64 1,17 3,41 +++ 0,37 2,59 0,15
43 Kab. Kutai Ba- 0,57 0,19 0,91 --- 1,64 0,87 2,46 0,37 3,6 0,18
rat
44 Kab. Kutai Kar- 0,57 0,47 1,25 1,64 1,72 1,42 +++ 0,37 2,26 0,62
tanegara
No. Kabupaten/Kota 6 7 8
RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda
31 Kab. Barito Se- 0,92 1,27 0,87 1,20 0,59 1,48 1,40 0,97 0,98
latan
32 Kab. Barito Uta- 0,92 0,91 0,91 --- 1,20 0,77 0,85 1,40 1,07 0,66
ra
33 Kab. Sukamara 0,92 1,23 0,86 1,20 0,46 0,17 1,40 1,49 0,41
34 Kab. Lamandau 0,92 1,24 0,04 1,20 1,03 0,93 1,40 0,83 0,40
35 Kab. Seruyan 0,92 1,56 0,96 1,20 0,53 0,81 1,40 0,62 0,42
36 Kab. Katingan 0,92 0,88 1,05 1,20 0,72 1,25 1,40 0,70 0,37
37 Kab. Pulang Pi- 0,92 0,98 1,04 1,20 0,08 0,26 1,40 7,36 0,73
sau
38 Kab. Gunung 0,92 1,33 0,74 1,20 0,02 0,28 1,40 0,39 0,34
Mas
39 Kab. Barito Ti- 0,92 0,96 0,66 --- 1,20 1,57 0,65 1,40 1,12 0,75
mur
40 Kab. Murung 0,92 0,85 0,50 --- 1,20 0 0,50 0,60 1,40 0,94 0,38
Raya
41 Kota Palangka- 0,92 1,73 1,01 ++ 1,20 0,38 2,16 1,40 1,25 1,20 +++
raya
bersambung...

Tabel 10: Hasil Analisis Overlay Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012 – Bagian 4

1 2 3 4
No. Kabupaten/Kota RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tand
45 Kab. Kutai Ti- 0,57 1,05 0,21 1,64 1,06 4,26 +++ 0,37 1,02 0,03 0,63 0,94 0,14 -
mur
46 Kab. Berau 0,57 0,77 0,91 --- 1,64 2,05 2,20 +++ 0,37 3,50 1,01 ++ 0,63 0,69 0,19 -
47 Kab. Malinau 0,57 -1,42 1,93 1,64 7,15 0,71 0,37 5,80 0,01 0,63 2,28 0,65
48 Kab. Bulung- 0,57 1,54 1,62 ++ 1,64 0,45 0,06 0,37 0,93 2,53 0,63 0,83 1,89
an
49 Kab. Nunuk- 0,57 0,45 2,03 1,64 10,18 0,76 0,37 16,94 0,02 0,63 1,23 1,67 +
an
50 Kab. Penajam 0,57 1,68 1,09 ++ 1,64 0,20 0,06 0,37 2,14 2,80 ++ 0,63 1,31 0,61
Paser Utara
51 Kab. Tana Ti-
kpapan
0,57 0,98 1,88 1,64 0,53 1,69 0,37 0,62 0,02 --- 0,63 0,79 2,82
dung
52 Kota Bali- 0,57 1,53 0,21 1,64 0,60 0 0,37 2,35 0,26 0,63 0,88 2,51

53 Kota Samarin- 0,57 0,96 0,10 --- 1,64 1,65 0,30 0,37 1,39 1,91 ++ 0,63 0,56 2,46
da
54 Kota Tarakan 0,57 1,32 0,51 1,64 0,54 0,04 0,37 2,82 0,95 0,63 1,69 3,99 +
55 Kota Bontang 0,57 0,05 0,06 --- 1,64 -0,96 0,09 0,37 3,18 2,98 ++ 0,63 1,62 0,88
6 7 8 9
No. Kabupaten/Kota RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tand
45 Kab. Kutai Ti- 0,92 2,16 0,22 1,20 0,76 0,16 1,40 0,49 0,19 1,07 0,69 0,10
mur
46 Kab. Berau 0,92 0,97 0,66 --- 1,20 0,60 0,72 1,40 0,37 0,11 1,07 0,56 0,36
47 Kab. Malinau 0,92 1,39 1,04 ++ 1,20 2,20 0,26 1,40 3,74 0,06 1,07 1,15 0,57
48 Kab. Bulung- 0,92 1,44 0,98 1,20 1,02 0,85 1,40 0,84 0,08 1,07 0,70 0,94
an
49 Kab. Nunuk- 0,92 2,63 0,93 1,20 1,19 0,39 1,40 1,13 0,05 1,07 1,42 0,90
an
50 Kab. Penajam 0,92 1,30 1,34 ++ 1,20 0,90 0,25 1,40 0,81 0,93 1,07 1,14 0,77
Paser Utara
51 Kab. Tana Ti- 0,92 0,84 0,68 --- 1,20 0,29 0,28 1,40 0,39 0,04 1,07 2,02 0,89
dung
52 Kota Bali- 0,92 1,07 2,57 ++ 1,20 1,27 1,91 +++ 1,40 0,70 0,96 1,07 0,65 0,63
kpapan
53 Kota Samarin- 0,92 1,41 1,47 ++ 1,20 0,83 1,28 1,40 0,68 2,48 1,07 0,82 1,66
da
54 Kota Tarakan 0,92 1,35 2,53 ++ 1,20 1,36 1,28 +++ 1,40 0,80 2,13 1,07 1,72 0,73
55 Kota Bontang 0,92 0,64 0,94 --- 1,20 0,73 0,44 1,40 0,30 0,95 1,07 0,65 0,44
Keterangan: 1. Pertanian. 2. Pertambangan dan Penggalian. 3. Industri Pengolahan. 4. Listrik, Gas dan Air Bersih. 5.
Bangunan. 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran.
7. Pengangkutan dan Komunikasi. 8. Keuangan,Persewaan, dan Jasa Perusahaan. 9. Jasa jasa.
104 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...

Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 1 (2), 202–215.


/ Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2003). Economic Development, 8th
Edition. United Kingdom: Pearson Education Limited.
/ Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2006). Economic Development,
Edisi Kesembilan, Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104

Anda mungkin juga menyukai