Disusun Oleh :
BANJARMASIN
2019
A . PENDAHULUAN
Pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang (balance
development). Isu pembangunan wilayah atau daerah berimbang yaitu tidak mengharuskan adanya
kesamaan tingkat pembangunan antar daerah (equally developed), juga tidak menuntut pencapaian
tingkat industrialisasi wilayah atau daerah yang seragam, juga bentuk-bentuk keseragaman pola dan
struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (self sufficiency) setiap wilayah
atau daerah. Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensipotensi pembangunan sesuai
dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah atau daerah yang beragam(Pertumbuhan & Wilayah,
n.d.)
Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari
keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam
memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Sektor
ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan
kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya
mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan
jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah atau daerah. Sedangkan sektor non-
basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan
kapasitas ekspor daerah belum berkembang.
B . PEMBAHASAN
Konsep Pertumbuhan Wilayah Teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) diintroduksikan
oleh Francois Perroux (1956). Menurut pendapatnya, pertumbuhan atau pembangunan tidak dilakukan
di seluruh tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang
diidentifikasikan sebagai kutub-kutub atau pusat pusat, di setiap kutub mempunyai kekuatan pancaran
pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini menjelaskan tentang pertumbuhan
perusahaan dan industri-industri serta ketergantunganya, dan bukan mengenai pola geografis dan
pergeseran industry baik secara intra maupun secara inter. Pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan
mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara abstrak.
Suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan ababila di tempat tersebut terdapat industri
pendorong (propulsive industry) yang berskala besar, mempunyai kemampuan menciptakan dorongan
pertumbuhan yang kuat, dampak multiplier dan dampak polarisasi lokal yang sangat besar dan tingkat
teknologi yang maju. Lebih lanjut kutub pertumbuhan bukan hanya merupakan lokalisasi industri kunci
semata-mata, tetapi pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang luas ke daerah sekitarnya.
Konsep kutub pertumbuhan merupakan konsep sangat menarik bagi perencanaan wilayah. Persoalan
yang di hadapi dalam penerapan konsep tersebut adalah pemilihan industri pendorong ataupun industri
yang menonjol (leading industry) sebagai penggerak dinamika pertumbuhan. Menurut R. Adisasmita
(2006: 164) kutub pertumbuhan dapat ditafsirkan dalam dua pengertian, yaitu secara fungsional dan
secara geografis. Secara fungsional, menggambarkan kutub pertumbuhan sebagai suatu kelompok
perusahaan, industri atau unsure-unsur dinamik yang meningkatkan kehidupan ekonomi. Secara
geografis. Menunjukkan kutub pertumbuhan sesungguhnya lebih banyak merupakan daya tarik yang
mengundang berbagai kegiatan untuk menempatkan usahanya di suatu tempat. Lebih lanjut dikatakan
bahwa terdapat tiga ciri penting konsep kutub pertumbuhan dapat dikemukakan yaitu:
1. Terdapat keterkaitan internal berbagai industri secara teknik dan ekonomi.
2. Terdapat pengaruh multiplier.
3. Terdapat konsentrasi geografis
Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendifinisikan kutub pertumbuhan wilayah sebagai perangkat
industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan
lebih lanjut pengembangan ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized poles of development). Ia
menekankan pada aspek fungsional, tetapi juga pada aspekgeografis yang dilukiskan sebagai suatu
aglomerasi geografis. Teori Bondeville dapat di anggap telah menjembatani terhadap teori spasial
terdahulu (Christaller) dan teori kutub pertumbuhan (Perroux). Perbedaannya, teori Perroux
menganggap tata ruang secara abstrak yang menekankan cirri-ciri regional tata ruang ekonomi,
sedangkan menurut Bondeville tata ruang ekonomi tidak dapat di pisahkan daritata ruang geografis,
lebih lanjut Bondeville menekankan pada tata ruang polarisasi (Christina, Pratiwi, & Kuncoro, 2017)
Perroux berpedoman pada teori Tata Ruang Ekonomi (Economic Space Theory), dimana
industri pendorong dianggap sebagai titik awal dari sebuah pertumbuhan wilayah Perusahaan-
perusahaan yang menguasai pasar ekonomi pada umumnya adalah industri besar yang mempunyai
kedudukan oligopolitis dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kegiatan para
langganannya.
Terdapat tiga ciri dasar dari sebuah industri pendorong yaitu:
1. industri pendorog harus relatif lebih besar besar kapasitas produksinya agar memiliki pengaruh
kuat baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
2. industri pendorong harus merupakan tipe sektor strategis yang berkembang sangat cepat.
3. jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor lain harus penting sehingga besarnya
pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan pada unit ekonomi lain.
Dilihat dari sisi tata ruang geografis, industri-industri pendorong cenderung melahirkan aglomerasi
pada kutub pertumbuhan dimana mereka berada. Itulah sebabnya industri pendorong merupakan faktor
penting dari pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Menurut Miyoshi, sejarah konsep tentang kutub pertumbuhan dibagi ke dalam 4 tahap yaitu:
Di Indonesia sendiri konsep growth pole digunakan sebagai landasan kebijakan pembangunan
daerah agar muncul unit-unit wilayah pertumbuhan baru yang nantinya diharapkan mendorong
pertumbuhan ekonomi masyarakat. pusat pertumbuhan dilaksanakan oleh Indonesia pada prinsipnya
adalah menggabungkan beberapa teori atau konsep di atas. Pembangunan di Indonesia dipusatkan di
wilayah-wilayah tertentu yang diperikirakan sebagai pusat pertumbuhan yang diperkirakan sebagai
kawasan sentral yang mampu menarik daerah-daerah di sekitarnya. Kawasan sentral yang menjadi
pusat pertumbuhan tersebut diharapkan dapat mengalirkan proses pembangunan ke wilayah-wilayah
sekitarnya, sehingga pemerataan pembangunan dapat terjadi ke seluruh pelosok wilayah negeri secara
menyeluruh.
berbagai masalah timbul dalam kaitan dengan pertumbuhan wilayah, baik yang berkaitan dengan
indikator ekonomi maupun indikator sosial dan terus mendorong perkembangan konsep-konsep
pertumbuhan ekonomi wilayah. Dalam kenyataannya, banyak fenomena tentang pertumbuhan ekonomi
wilayah. Kesenjangan wilayah dan pemerataan pembangunan menjadi permasalahan utama dalam
pertumbuhan wilayah dan hingga saat ini menjadi persoalan di negara berkembang
Pusat pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu alternatif untuk menggerakkan dan memacu
pembangunan guna meningkatkan pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi manakala diarahkan
pada daerah-daerah yang memiliki potensi dan fasilitas wilayah akan mempercepat terjadinya kemajuan
ekonomi karena secara tidak langsung kemajuan daerah akan membuat masyarakat mencari kehidupan
yang lebih layak di daerahnya, pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu
secara fungsional dan geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi
kelompok usaha yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu
menstimulasi kehidupan ekonomi, baik ke dalam maupun ke luar. Apabila dilihat secara geografis,
pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang memiliki banyak fasilitas dan kemudahan sehingga
menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai usaha tertarik untuk berlokasi
di situ dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut. Kriteria pusat
pertumbuhan, yaitu sebagai daerah cepat tumbuh, memiliki sektor unggulan, dan mempunyai interaksi
ekonomi dengan daerah belakangnya(Priyadi et al., 2017)
Penciptaan pusat pertumbuhan ekonomi dapat dimulai dari beberapa sektor yang dinamis dan
mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan
dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiplier effect) pada sektor lain dan wilayah
yang lebih luas. Kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (keseimbangan) dalam distribusi spasial
ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika
kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke
kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme,
yaitu hierarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar. Implementasi dari penciptaan pusat
pertumbuhan harus diikuti oleh trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect
(dampak penyebaran) melalui aktivitas harmonis antara pusat pertumbuhan dan basis sumber daya di
wilayah perdesaan sehingga kegiatan pusat pertumbuhan berdampak padadaerah sekitarnya yang juga
akan dapat tumbuh
C . KESIMPULAN
Dapat di simpulkan bahwa pertumbuhan atau pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang,
tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang diidentifikasikan sebagai kutub-
kutub atau pusat pusat, di setiap kutub mempunyai kekuatan pancaran pengembangan ke luar dan
kekuatan tarikan ke dalam, suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan ababila di tempat
tersebut terdapat industri pendorong (propulsive industry) yang berskala besar, mempunyai kemampuan
menciptakan dorongan pertumbuhan yang kuat, dampak multiplier dan dampak polarisasi lokal yang
sangat besar dan tingkat teknologi yang maju. Lebih lanjut kutub pertumbuhan bukan hanya merupakan
lokalisasi industri kunci semata-mata, tetapi pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang luas ke
daerah sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Christina, M., Pratiwi, Y., & Kuncoro, M. (2017). Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi
Spasial di Kalimantan : Studi Empiris di 55 Kabupaten / Kota , 2000 – 2012 Analysis of Growth
Poles and Spatial Autocorrelation in Kalimantan : An Empirical Study of 55 Districts , 2000 –
2012 Pendahuluan. 16(2), 81–104.
Pertumbuhan, I. P., & Wilayah, D. A. N. (n.d.). IDENTIFICATION OF GROWTH AND HINTERLAND
AREA IN. 37–48.
Priyadi, U., Atmadji, E., Ekonomi, P. P., Studi, P., Ekonomi, I., Indonesia, U. I., & Catur, C. (2017).
HINTERLAND DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. 02(02).
KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG INDONESIA
Abstrak
Indonesia sebagai negara besar dengan kompleksitas yang dimiliki membutuhkan adanya suatu perencanaan
ruang yang matang dan terkoordinasi dengan baik. Konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang yang
begitu banyak,perlu dipadukan dalam implementasinya mengingat keragaman potensi fisik-sosial-ekonomi-dan
budaya.Pada bagian selanjutnya,dipaparkan isu-isu strategi penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia
kaitanya dengan pelaksanaan otonomi daerah.Pada bagian akhir dari tulisan ini disampaikan kebijakan dan
strategi penataan ruang yang dilakukan pemerintah dalam upaya mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan
wilayah sekaligus mengatasi berbagai permasalahan aktuan pembangunan
berbagai teori dan model yang selalu berkembang yang hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya
telah diujiterapkan. Selanjutnya dirumuskan kembali dengan menggunakan istilah backwash effect dan
menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan spreadwash effect. Keempat adalah Freadmann (era 1960
kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki
guna mempermudah pengembangan sistem
Dalam sejarah perkembangannya, bongkar pasang
pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat
konsep pengembangan wilayah di Indonesia terdapat
pertumbuhan. Kelima adalah Douglass (era 70 an) yang
beberapa landasan teori yang turut mewarnai
memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa-kota
keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai
(rural-urban linkages) dalam pengembangan wilayah.
seorang pelopor ilmu wilayah yang mengkaji terjadinya
hubungan sebab dan akibat dari faktor-faktor utama Keberadaan landasan teori dan konsep
pengembangan wilayah di atas kemudian diperkaya
Jurnal Geografi 1
dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran putra- proses penataan ruang dalan rangka pencapaian tuaajuan
putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970 an) pembangunan yang berkelanjutan dalan wadah NKRI.
dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang
Berpijak pada pengertian di atas maka
intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi
pembangunan seyogyanya tidak hanya
sumberdaya alam akan mampu mempercepat
diselenggarakan untuk memenuhi tujuan sektoral yang
pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi)
bersifat parsial, namum lebih dari itu, pembangunan
memberikan kontribusi lahirnya konsep hiriarki kota-
diselenggarakan untuk memenuhi tujuan
kota dan hikarki prasarana jalan melalui orde kota.
pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif
Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980 an) yanbg
dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian
memperkenalkan konsep pola dan struktur ruang yang
antara berbagai sumberdaya sebagai unsur utama
bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No
pembentuk ruang (sumbedaya alam, buatan, manusia
24/1992 tentang penataan ruang. Pada periode 80 an ini
dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem
pula, lahir strategi nasional pembangunan perkotaan
hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.
(SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sistem kota
nasional yang efiseien dalan konteks pengembangan
KONSEP PENATAAN RUANG DI INDONESIA
wilayah nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula
menjadi cikal bakal lahirnya konsep program Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan
pembangunan prasarana kota terpadu (P3KT) sebagai wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran
upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh
fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP. Pada melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga)
era 90 an, konsep pengembangan wilayah mulai proses utama, yakni : a). proses perencanaan tata ruang
diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal wilayah, yang menghasilkan Rencana Tata Ruang
antara KTI dan KBI, antara kawasan dalam wilayah Wilayah (RTRW). Disamping sebagai “ guidance of
pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. future action” R TRW pada dasarnya merupakan bentuki
Perkembangan terakhir pada awal abad millenium intervensi yang dilakukan agar interkasi manusia/
bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah makluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan
sebagai alat untuk mewujudkan integrasi negara kesatuan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan
Republik Indonesia. manusia/ makluk hidup serta kelestarian likungan dan
keberlanjutan pembangunan (sustainability
Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman
development); b) Proses pemanfaatan ruang, yang
empiris di atas, maka secara konseptual pengertian
merupakan wujud oprasionalisasi rencana tata ruang atau
pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai
pelaksanaan pembangunan itu sendiri;
rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam
c) proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri
penggunaan berbagai sumberdaya, merekatkan dan
atas mekanisme perijinan dan penertiban terhadap
menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan
pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan
wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar
RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui
Jurnal Geografi 3
Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal degradasi lingkungan akibat penyimpangan tata ruang,
(PKL). Untuk mewujudkan fungsi-fungsi kota baik di darat laut dan udara serta. c) dukungan terhadap
sebagai mana ditetapkan dalam RTRWN secara pengembangan wilayah belum optimal, seperti
bertahap dan sistematis, maka pada saat ini tengah diindikasikan dari minimnya dukungan kebijakan sektor
disusun review Strategi Nasional Pembangunan terhadap pengembangan kawasan-kawasan strategis
Perkotaan (SNPP). Dengan kata lain, SNPP dewasa nasional dalam RTRWN seperti kawasan perbatasan
ini merupakan bentuk penjabaran dari RTRWN. negara, kawasan andalan, dan KAPET
Jurnal Geografi 5
sentra-sentra pangan, seperti DAS Citarum, Isu berikutnya yang sangat serius adalah mengenai
Brantas, Sadang. jumlah penduduk perkotaan sebagai wujud terjadinya
fenomena urbanisasi akibat migrasi desa-kota. Data Isu lain adalah menyangkut perkembangan
menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di kota-kota yang tidak terarah, cenderung membentuk
Indonesia menunjukkan perkembangan yang pesat konurbasi antara kota inti dengan kota-kota
dari 32,8 juta (22,3%) dari total penduduk nasional sekitarnya. Konurbasi dimaksud dicirikan dengan
(1980) meningkat menjadi 55,4 juta (30,9%) dalam munculnya 9 kota metropolitan dengan penduduk di
tahun 1990, menjadi 74 juta atau 37% (1998), menjadi atas 1 juta jiwa (Jakarta, Surabaya, Bandung,
90 juta jiwa atau 44% (2002), dan diperkirakan akan Medan, Bekasi, Tanggerang, Semarang, Palembang,
mencapai 150 juta jiwa atau 60% dari total penduduk Makasar). Disamping itu muncul pula 9 kota besar
nasional (2015). Dengan laju pertumbuhan penduduk yakni Bandar Lampung, Malang, Padang,
kota rata-rata 4,49% (1990-1995). Dengan Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo,
kecenderungan urbanisasi yang terus meningkat, Yogyakarta, dan Denpasar. Konurbasi yang terjadi
perhatian pada penataan ruang kawasan perkotaan pada kota-kota tersebut menimbulkan berbagai
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya melalui permasalahan yang kompleks seperti kemiskinan
penerapan zoning regulation, mekanisme insentif dan perkotaan, pelayanan sarana dan prasarana kota,
disinsentif dan sebaginya. kemacetan alu-lintas, dan pencemaran lingkungan.
Jurnal Geografi 7
Di sisi lain, menurut PP 25 Th 2000, kewenangan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro,
pusat dalam bidang tata ruang meliputi (a) Perencanaan serta (penetapan) pola dan struktur pemanfaatan ruang
nasional. (b) Fasilitasi kerjasama atau penyelesaian pengelolaan pusat pertumbuhan baru’, ‘pengembangan
masalah antar propinsi/daerah, misal melalui penyusun kawasan perbatasan’, ‘pengedalian dalam pengelolaan
RTRW pulau atau RTRW kawasan Jabodetabek. (c) tata ruang’, dan’ peningkatan aspek pertahanan dan
Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil dan kriteria keamanan dalam penataan ruang’ demi keutuhan NKRI.
penataan per wilayah ekosistem daerah tangkapan air.
Adalah menjadi tugas Ditjen penataan ruang/
(d) Penyiapan standar, kriteria dan fasilitasi
Ditkimpraswil untuk menjabarkan jiwa dan dari visi tata
kerjasama penataan ruang.
ruang ke depan tersebut ke dalam bentuk kebijakan dan
Berkenaan dengan hal tersebut, instrumen pengikat strategi penyelenggaraan penataan ruang. Selain itu
yang dapat digunakan sebagai acauan sekaligus alat perunusan kebijakan dan strategi tersebut tidak dapat
keterpaduan dan kerjasama pembangunan antar daerah pula dilepaskan dari 2 pokok kesepakatan yang dicapai
adalah melalui (a) Instrumen perundang-undangan yang dalam RAKERNAS-BKTRN, yaitu Pengaturan penataan
mengikat. (b) Kebijakan-kebijakan yang jelas dan ruang nasional dan penguatan peran daerah dalam
responsif sesuai dengan kebutuhan daerah. (c) Bantuan penataan ruang. Berpijak pada jiwa dari pada visi tata
dan kompensasi dalam bentuk fiskal. (d) Penyediaan ruang ke depan dan kesepakatan RAKERNAS-BKTRN
langsung prasarana berfungsi lintas wilayah dan tulang tersebut, maka telah dihasilkan rumusan kebijakan dan
punggung (backbone) pengembangan wilayah. (e) strategi pokok penataan ruang tahun 2004 dan pasca
Mendorong kemitraan secara vertikal dan horizontal 2004 yakni (a) Memfungsikan kembali (revitalisasi)
yang bersifat kerjasama pengelolaan (co-management) penataan ruang yang mamapu menangani agenda-agenda
dan kerjasama produksi (co-production) aktual, terbuka, akuntabel dan mengaktifkan peran
masyarakat. (b) Memantapkan RTRWN sebagai acuan
KEBIJAKAN DAN STRATEGI pengembangan wilayah, yang ditempuh melalui (1)
PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG operasionalisasi RTRWN (melalui RTRW pulau,
Propinsi, Kabupaten/Kota) sebagai produk yang
Dalam merespon berbagai isu dan tantangan
mengintegrasikan rencana pemanfaataan ruang darat,
pembangunan yang aktual dalam era otonomi daerah,
laut dan pesisir, serta udara. (2) koordinasi lintas sektor
maka keberadaan visi penyelenggaraan penataan
dan lintas daerah. (3) pengembangan sistem penataan
ruang yang tegas menjadi sangat penting. Dalam
ruang. Dalam kaitan ini RTRWN diharapkan dapat
RAKERNAS-BKTRN di Surabaya yang lalu, Menko
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
perekonomian selaku ketua BKTRN telah
perencanaan pembangunan nasional dan menjadi
menjabarkan keywords yang menjadi jiwa daripada
landasan dalam penyusunan program pembangunan lima
visi tata ruang ke depan. Adapaun keywords dimaksud
tahun. RTRWN juga digunakan sebagai acuan dalam
adalah : ‘integrasi tata ruang darat, laut, dan udara’, ‘
pengembangan sistem kot-kota yang efisien, sesuai
dengan fungsi-fungsi yang ditetapkan. (c) Meningkatkan
pembinaan pengelolaan KAPET (sebagai pusat
pertumbuhan baru) dan kawasan tertentu (sebagai
Jurnal Geografi 9
DAFTAR RUJUKAN
Dinas Tata Ruang, Perumahan, dan Kebersihan Kabupaten Nias Jalan Arah Pelabuhan Udara Binaka Km. 6,4,
Gunungsitoli Selatan Pos-el: yarmangulo@gmail.com
ABSTRACT
Growth center is the area or region that is growing very rapidly because it is used as a development cen-tral
development affecting other areas in the vicinity. Given that areas be the center of that growth is expected in the
surrounding areas also affected and stimulated to advance. The aim of the research was to identify subdistricts which
have the opportunity or the potential to be the centers of economic growth in Nias District and to analyze the
interaction (correlation) between growth center and the hinterlands of supporting subdistricts. The data were
analyzed descriptive qualitatively, using skalogram analysis in order to know the centers of regional development
based on the availability of economic, social, and governmental facilities and gravitation analysis in order to estimate
the attraction of a location in the regional development, compared with the other locations or with the hinterlands.
The result of the analysis showed that the first growth center in Nias District is Gido Subdistrict, the second growth
center is Idanogawo Subdistrict, and the third growth center is Botomuzoi Subdistrict.
Keywords: Growth center, Interaction, Regional development
ABSTRAK
Pusat pertumbuhan ialah wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya sangat pesat sehingga dijadikan sebagai
pusat pembangunan yang memengaruhi kawasan-kawasan lain di sekitarnya. Dengan adanya kawasan-kawasan
yang dijadikan pusat pertumbuhan itu, diharapkan kawasan-kawasan di sekitarnya turut terpengaruh dan terpicu
untuk maju. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kecamatan-kecamatan yang berpeluang atau
berpotensi sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Nias dan menganalisis interaksi (tingkat
keter-kaitan) antara pusat pertumbuhan (growth centre) dan daerah belakangnya (hinterlands) kecamatan
pendukung. Metode analisis yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan menggunakan analisis
skalogram un-tuk mengetahui pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas ekonomi, sosial dan
pemerintahan, dan analisis gravitasi untuk memperkirakan daya tarik suatu lokasi pusat pertumbuhan wilayah
dibandingkan lokasi lain atau wilayah belakangnya (hinterlands). Hasil analisis menunjukkan bahwa pusat
pertumbuhan utama di Kabupaten Nias adalah Kecamatan Gido, pusat pertumbuhan kedua, yaitu Kecamatan
Idanogawo, dan pusat pertumbuhan ketiga adalah Kecamatan Botomuzoi.
Kata kunci: Pusat pertumbuhan, Interaksi wilayah, Pengembangan wilayah
| 37
PENDAHULUAN dalam berbagai program kegiatan yang
terkoordinasi. Pada tingkat daerah, perencanaan
Perencanaan pembangunan dapat dikatakan
pembangunan ekonomi bisa dianggap sebagai
sangat identik dengan ekonomi pembangunan.
perencanaan untuk memperbaiki penggunaan
Apabila sekiranya ruang gerak ekonomi
sumber-sumber daya publik yang tersedia di
pembangunan berusaha mencari strategi
daerah tersebut dan memperbaiki kapasitas sektor
pembangunan, peren-canaan pembangunan
swasta dalam rangka menciptakan nilai sumber-
merupakan alat yang ampuh untuk
sumber daya swasta secara bertanggung jawab.
menerjemahkan strategi pembangunan tersebut
Dengan demikian, diharapkan perekonomian ekonomi, baik ke dalam maupun ke luar. Apabila
wilayah dapat mencapai keadaan yang lebih baik dilihat secara geografis, pusat pertumbuhan
pada masa yang akan datang dibandingkan adalah suatu lokasi yang memiliki banyak fasilitas
keadaan sekarang ini, atau minimal sama dengan dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik
keadaan ekonomi sekarang.1 (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai
Menurut Sirojuzilam,2 berbagai masalah tim-bul usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan
dalam kaitan dengan pertumbuhan wilayah, baik masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas
yang berkaitan dengan indikator ekonomi maupun yang ada di lokasi tersebut. Kriteria pusat
indikator sosial dan terus mendorong pertumbuhan, yaitu sebagai daerah cepat tumbuh,
perkembangan konsep- konsep pertumbuhan memiliki sektor unggulan, dan mempunyai
ekonomi wilayah. Dalam kenyataannya, banyak interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya.
fenomena tentang pertumbuhan ekonomi wilayah. Penciptaan pusat pertumbuhan ekonomi dapat
Kesenjangan wilayah dan pemerataan pem- dimulai dari beberapa sektor yang dinamis dan
bangunan menjadi permasalahan utama dalam mampu memberikan output rasio yang tinggi dan
pertumbuhan wilayah dan hingga saat ini menjadi pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan
persoalan di negara berkembang. dampak yang luas (spread effect) dan dampak
Pusat pertumbuhan ekonomi merupakan salah ganda (multiplier effect) pada sektor lain dan
satu alternatif untuk menggerakkan dan wilayah yang lebih luas. Kekuatan pasar akan
memacu pembangunan guna meningkatkan menjamin ekuilibrium (keseimbangan) dalam
pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi distribusi spasial ekonomi dan proses trickle
manakala diarahkan pada daerah-daerah yang down effect atau centre down dengan sendirinya
memiliki potensi dan fasilitas wilayah akan akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan
mempercepat terjadinya kemajuan ekonomi tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti
karena secara tidak langsung kemajuan daerah kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah
akan membuat masyarakat mencari kehidupan seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui
yang lebih layak di daerahnya. beberapa mekanisme, yaitu hierarki perkotaan dan
Menurut Tarigan,3 pusat pertumbuhan (growth perusahaan-perusahaan besar. Implementasi dari
pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu penciptaan pusat pertumbuhan harus diikuti oleh
secara fungsional dan geografis. Secara trickle down effect (dampak penetesan ke bawah)
fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi dan spread effect (dampak penyebaran) melalui
konsentrasi kelompok usaha yang karena sifat aktivitas harmonis antara pusat pertumbuhan dan
hubungannya memiliki unsur-unsur kedina-misan basis sumber daya di wilayah perdesaan sehingga
sehingga mampu menstimulasi kehidupan kegiatan pusat pertumbuhan berdampak pada
daerah sekitarnya yang juga akan dapat tumbuh.4
Kabupaten Nias merupakan salah satu wilayah di
Provinsi Sumatra Utara dan berada di sebelah
barat Pulau Sumatra yang berjarak sekitar 86 mil
laut dari Kabupaten Tapanuli Tengah.
Aksesibilitas ke wilayah ini tergolong sulit karena
hanya dapat ditempuh dengan transportasi udara
dan laut dengan frekuensi perjalanan yang
terbatas. Hal ini sangat meme ngaruhi
perkembangan Kabupaten Nias karena
ketergantungan Kabupaten Nias dengan wilayah
luar sangat besar. Secara geografis, Kabupaten
Nias terletak di 0°53’1,5’’−1°17’16,6’’ Lintang
Utara dan 97°29’0,7’’−97°58’29’’ Bujur Timur.
Setelah pemekaran pada 2008, luas wilayah
Kabupaten Nias berkurang daripada sebelumnya
Tabel 2. Nilai Interaksi Tiap Kecamatan dengan Menggunakan Variabel Penduduk di Kabupaten Nias Tahun 2012
Nilai Interaksi
No. Kecamatan Peringkat Daya Tarik
(Satuan Daya Tarik)
1 Idanogawo 7.204.952 1
2 Bawolato 2.894.097 3
3 Ulugawo 1.334.602 6
4 Gido 6.522.952 2
5 Ma’u 817.522 9
6 Somolo-molo 1.242.237 7
7 Hiliduho 2.094.778 4
8 Hiliserangkai 1.226.666 8
9 Botomuzoi 1.976.418 5
Sumber: Hasil analisis
Tabel 3. Hasil Nilai Interaksi Wilayah antara Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Belakangnya (Hinterland) di
Kabupaten Nias
Kecamatan Kecamatan Penduduk Penduduk Jarak (Jarak Angka Inter-
No. Asal Tujuan Daerah Asal Daerah Tujuan i-j i-j)b aksi
(i) (j) (Pi) (Pj) (dij)/km (dij)2 (Aij)
Idanogawo 31.660 25.675 14 196 4.147.298
Bawolato 31.660 22.965 32 1.024 710.031
Ulugawo 31.660 9.740 32 1.024 301.141
Gido 31.660 31.660 0 0 0
1 Gido Ma’u 31.660 9.424 32 1.024 291.371
Somolo-molo 31.660 6.162 17 289 675.048
Hiliduho 31.660 9.126 42 1.764 163.792
Hiliserangkai 31.660 7.583 42 1.764 136.099
Botomuzoi 31.660 9.042 54 2.916 98.172
Idanogawo 25.675 25.675 0 0 0
Bawolato 25.675 22.965 18 324 1.819.834
Ulugawo 25.675 9.740 18 324 771.835
Gido 25.675 31.660 14 196 4.147.298
2 Idanogawo Ma’u 25.675 9.424 46 2.116 114.348
Somolo-molo 25.675 6.162 31 961 164.630
Hiliduho 25.675 9.126 56 3.136 74.716
Hiliserangkai 25.675 7.583 56 3.136 62.083
Botomuzoi 25.675 9.042 68 4.624 50.206
Idanogawo 9.042 25.675 68 4.624 50.206
Bawolato 9.042 22.965 86 7.396 28.076
Ulugawo 9.042 9.740 86 7.396 11.908
Gido 9.042 31.660 54 2.916 98.172
3 Botomuzoi Ma’u 9.042 9.424 86 7.396 11.521
Somolo-molo 9.042 6.162 71 5.041 11.053
Hiliduho 9.042 9.126 8 64 1.289.333
Hiliserangkai 9.042 7.583 12 144 476.149
Botomuzoi 9.042 9.042 0 0 0
Sumber: Hasil analisis
Tabel 4. Perbedaan Penentuan Pusat Pertumbuhan antara Hasil Analisis dan Kebijakan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW)
Keca- Hasil Analisis Hasil Analisis
No. Kebijakan RTRW Rekomendasi
matan Skalogram Gravitasi
Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Ter- Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Pusat Pertumbuhan
1 Gido
Utama (Orde I) tinggi (Peringkat 2) Kawasan Cepat Tumbuh Utama
4 Botomuzoi Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Per- Pusat Pelayanan Lingkun- Pusat Pertumbuhan
Ketiga (Orde III) ingkat 5 gan (PPL) Ketiga
Hinterland Pusat
Hiliserang- Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Per-
5 PPK Pertumbuhan Ke-
kai Keempat (Orde IV) ingkat 8
tiga (Botomuzoi)
Hinterland Pusat
Pusat Pertumbuhan Nilai Interaksi Per-
6 Hiliduho PPL Pertumbuhan Ke-
Keempat (Orde IV) ingkat 4
tiga (Botomuzoi)
Peneliti Tingkat Pertama Gelombang II Tahun dalam angka tahun 2012. Gunungsitoli: Kerja Sama
2014 atas pertemanan yang hangat selama Badan Penelitian, Pengembangan dan Statistik
Kabupaten Nias dengan BPS Kabupaten Nias.
diklat berlangsung.
1 2 3 Didi Setiawan, Zainuddin Saenong, dan Ulfa Matoka 1Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Halu
Oleo
Email: didiiesp11@gmail.com
ABSTRACT
This research aims to: (1) identify and analyze the services functions of eastern of South Konawe
Regency, (2) identify and analyze the degree of interaction between the district in eastern of South
Konawe. Methods of collecting data is documentation of secondary data for 2015 period. The
analyzed data used Schallogram and Gravity analysis. The results showed that the Ranomeeto
district is in first hierarchy, besides that Konda district in the second. Konda and Moramo district
have broader services and reach the three of the seven districts in the eastern of South Konawe as
a result more populous and close distance.
1. Pendahuluan
Daerah kabupatan/kota sebagai daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakatnya. Daerah otonom harus berusaha dan mampu mengoptimalkan berbagai
sumberdaya wilayah yang tersedia agar berfungsi sebagai kekuatan utama pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam upaya
menyelengarakan perkembangan dan pertumbuhan wilayah telah menempuh kebijakan
spasial dengan mengklasifikasikan daerah Sulawesi Tenggara atas tiga satuan
perwilayahan pembangunan seperti yang tertuang dalam pola dasar rencana struktur tata
ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada dasarnya pengembangan pusat
pertumbuhan merupakan pusat kegiatan untuk mempercepat pola tata kawasan dan pola
jaringan di pedesaan serta memperkuat mekanisme yang sudah ada dalam rangka
mengembangkan potensi yang sudah ada. Jadi dengan adanya kawasan pusat-pusat
pertumbuhan di harapkan dapat mendorong perkembangan daerah-daerah yang ada di
sekitarnya (hinterland).
Distribusi dan fasilitas pelayanan, sebagai fungsi dari tata ruang wilayah adalah krusial
bukan hanya untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk mencapai
pemerataan sosial dan kualitas hidup. Kesenjangan dalam kesejahtraan ekonomi dan sosial
sering di ukur melalui jumlah dan keanekaragaman fungsi-fungsi produktif dan sosial yang
berkolaborasi dalam suatu komunitas atau wilayah. Ketimpangan pertumbuhan antara
kelompok-kelompok dan paling miskin di bangsa-bangsa sedang berkembang dapat di
tandai secara luas pada perbedaan-perbedaan dalam akses terhadap aktifitas produktif dan
jasa sosial (Bank Dunia dalam Rondinelli, 1985).
Kabupaten Konawe Selatan merupakan bagian dari wilayah pembangunan
Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk melihat perbedaan pembangunan wilayah di
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 44
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 45
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......
kebawah (tricking-down effect) atau konsep Myrdral yaitu dampak penyebaran (spread
effect).
Pusat-pusat pelayanan di Ibukota Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan
memperlihatkan fungsi yang berbeda-beda yang mana pusat pelayanan di Kecamatan
Konda dan Kecamatan Kolono sudah bertindak sebagai tempat sentral bagi populasi yang
berada di dalam maupun di sekitar pemukiman, sedangkan pusat-pusat pelayanan di empat
Kecamatan yaitu Wolasi, Laonti, Moramo, dan Moramo Utara belum memperlihatkan
fungsi atau peran sebagai tempat sentral bagi populasi yang berada dalam unit-unit
pemukiman desa sekitarnya. Pusat pelayanan yang teletak di ibukota Kecamatan
Ranomeeto telah cenderung memiliki fasilitas yang beragam, hal ini karena kecamatan
tersebut merupakan daerah pemukiman tertua. Berdasarkan fenomena ini, maka maka
penting untuk mengetahui bagaimana fungsi pelayanan kecamatan-kecamatan di Bagian
Timur Kabupaten Konawe Selatan, dan bagaimana tingkat interaksi antar kecamatan-
kecamatan yang ada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan.
2. Kajian Literatur
Teori Tempat Sentral (Central Palace Theory)
Lincolin Arsyad (1999) menjelaskan bahwa Teori Tempat Sentral (Central Place Theory)
memiliki pandangan bahwa ada hirarki tempat (hirarcy of place) di setiap wilayah atau
daerah. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang
menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan
suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang bersangkutan.
Teori tempat sentral ini dapat diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah, baik di
daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Misalnya, perlunya melakukan diferensiasi
fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan). Beberapa daerah dapat menjadi
wilayah penyedia jasa sedangkan daerah lainnya hanya sebagai daerah pemukiman.
Seorang ahli pembangunan ekonomi daerah dapat membantu masyarakat untuk
mengembangkan peranan fungsional mereka dalam sistem ekonomi daerah.
Teori Simpul Jasa Distribusi
Teori simpul jasa distribusi berpijak pada hasil pengenalan atau faktor penentu lokasi
“kemudahan”. Hadjisarosa menjelaskan konsepnya bahwa berkembangnya
wilayah di tandai oleh terjadinya pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat
berlangsungnya berbagai kegiatan usaha, baik sektor pemerintah maupun sektor suwasta,
yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan.
Berlangsungnya kegiatan tersebut di tunjang oleh pertumbuhan modal. Pengembangan
sumberdaya tersebut berlangsung sedemikian sehingga menimbulan arus barang. Arus
barang di anggap sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling menonjol, arus barang
merupakan suatu wujud fisik perdagangan antar daerah, antar pulau, ataupun antar Negara.
Arus barang didukung langsung oleh jasa perdagangan dan jasa pengangkutan (jasa
distribusi). Jadi jasa distribusi dan pembangunan secara fisik merupakan kegiatan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama jika di tinjau pengaruhnya dalam
penentuan lokasi tempat berkelompoknya berbagai kegiatan usaha dan kemudahan-
kemudahan sehingga dapat berfungsi sebagai proses berkembangnya wilayah (Adisasmita,
2008).
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 46
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......
Menurut United Nation (1978), Hirarki pusat pelayanan akan mempengaruhi fungsi kota.
Hirarki tersebut terdiri beberapa tipe sesuai dengan indikator ketersediaan fasilitas
pelayanan. Di antaranya tipe district town yang merupakan pusat terbesar dari rural
(pedesaan) yang merupakan lokasi pusat pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, dan
kenyamanan dengan jumlah penduduk yang lebih besar. Sedangkan locality towns
merupakan lokasi penyedia kebutuhan dasar sehari-hari, dan pelayanan kesehatan untuk
pencegahan.
Dusseldrop (Padangarang, 2008) mengemukakan bahwa masalah fasilitas pelayanan baik
yang menyangkut lokasi maupun kualitas dan jumlahnya, erat kaitanya dengan tingkat
kesejahtraan masyarakat. Pembangunan tidak dapat berjalan dengan lancar jika fasilitas
pelayanan tidak tersedia dengan baik. Jadi fasilitas pelayanan dapat di anggap sebagai
faktor potensial dalam menentukan masa depan dari perkembangan suatu wilayah baik
perkotaan maupun perdesaan sehingga upaya peningkatan pembangunan kegiatan ekonomi
harus terus ditingkatkan terutama di suatu wilayah.
Fasilitas pelayanan dapat dikelompokkan menurut fungsi yang sangat berguna bagi seluruh
kebudayaan, baik dalam kehidupan ekonomi maupun kehidupan sosial. Kebudayaan yang
dimaksud disini adalah kehidupan dalam arti luas. Dalam kegiatan sosial ekonomi terdapat
suatu istilah yaitu ambang yang berarti jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk
menunjang supaya suatu fungsi tertentu dapat berjalan lancar. Misalnya suatu macam
pelayanan yang lebih tinggi fungsinya, atau yang diperlukan oleh jumlah penduduk yang
besar jumlahnya (pasar, sekolah menengah dan sebagainya), harus terletak di wilayah
jangkauan pelayanan yang lebih luas. Fasilitas budaya tersebut dapat dibedakan menurut
fungsinya dalam dua kelompok, yaitu :
e) Pelayanan sosial (yang berbentuk jaringan dan berbentuk ruang/bangunan) terdapat
dalam kegiatan : kekeluargaan, pemerintahan, agama, kesehatan, pendidikan,
rekreasi, jaminan/bantuan sosial, pertahanan dan keamanan, perhubungan dan
komunukasi, informasi dan data.
f) Pelayanan ekonomi (yang terbentuk jaringan atau ruang/bangunan) terdapat dalam
kegiatan: pertanian/perkebunan/kehutanan, industri, konstruksi bangunan,
pariwisata dan perhotelan, perdagangan dan perusahaan jasa lain, perhubungan dan
komunikasi serta informasi dan data.
Penelitian Sebelumnya
Herman (2004) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Interaksi Sosial Ekonomi
Antara Desa/Kelurahan Di Kecamatan Pasar Wajo Kabupaten Buton”. Hasil
penelitian menunjukan bahwa interaksi sosial ekonomi masyarakat antar desa atau
kelurahan di Kecamatan Pasar Wajo di lakukan melalui proses timbal-balik. Kecamatn
Pasar Wajo sebagai ibukota kabupaten telah memenuhi fungsi sebagai pusat pelayanan
sosial ekonomi bagi masyarakat desa/kelurahan sekitarnya.
Dita Hestudiputri (2007) dengan penelitiannya yang berjudul “Peran dan Fungsi Ibu Kota
Kecamatan Lasem Sebagai Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Rembang”
menunjukkan (1) analisis wilayah pengaruh dan analisis interaksi pusat pertumbuhan
dengan wilayah belakangnya menunjukkan bahwa peran IKK (Ibu Kota Kecamatan)
Lasem sebagai pusat pertumbuhan telah mamapu menjadi penarik bagi pusat pertumbuhan
di Kebupaten Rembang, (2) dengan adanya kegiatan perkotaan di IKK Lasem yang
didukung oleh aksesbilitas yang tinggi antara IKK Lasem dan daerah belakangnya
membawa pengaruh dan membuat peran IKK Lasem sebagai pusat pertumbuhan
terpenuhi, (3) berdasarkan hasil analisis IKK Lasem telah mempunyai
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 48
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......
pelayanan fasilitas yang lengkap dengan jangkauan funsi dan pelayanan yang luas dari
mulai kecamatan hingga kabupaten (terutama fasilitas transportasi) sehingga fungsi IKK
Lasem sebagai pusat pertumbuhan telah terpenuhi, (4) IKK Lasem memiliki potensi untuk
dikembangkan lebih, melihat posisinya yang strategis. Sehingga dapat dikembangkan lebih
lanjut.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan skunder yang bersumber dari hasil publikasi Badan Pusat
Statistik (BPS), Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Kecamatan, desa/kelurahan
setempat serta instansi terkait lain. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis
secara kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan teknik analisis Skalogram dan
Gravitasi. Analisis skalogram digunakan untuk menjawab permasalahan pertama yaitu
berapa besar fungsi pelayanan pada Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten
Konawe Selatan. Analisis gravitasi digunakan untuk menjawab permasalahan ke dua yaitu
berapa besar tingkat interaksi antar Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten
Konawe Selatan berdasarkan besarnya jarak antar pusat pelayanan (kecamatan) dan data
jumlah penduduk dengan asumsi, semakin banyak jumlah penduduk suatu Kecamatan
serta semakin dekat jarak dengan Kecamatan lainnya, maka semakin besar daya tarik
Kecamatan tersebut dan semakin tinggi pula tingkat interaksinya dengan Kecamatan lain.
Penentuan wilayah pengaruh menggunakan teori gravitasi menggunakan rumus (Warpani,
1984:113) :
P1 P2
I12 = -------------
(d12)²
Keterangan:
I12 = Interaksi antara kecamatan 1 dengan kecamatan 2 (indeks gravitasi)
P1 = Jumlah penduduk pada wilayah pertama (ribuan jiwa)
P2 = Jumlah penduduk pada wilayah kedua (ribuan jiwa)
d12 = Jarak ibukota kecamatan 1 dengan kecamatan 2 (km)
Perhitungan seberapa jauh jarak batas gaya tarik suatu pusat yang menggambarkan
jangkauan pelayanan terhadap pusat lainnya menggunakan elaborasi rumus gravitasi
sebagai berikut:
d
AB
DAB = -------------
1+
Dimana :
DAB = Jarak batas gaya tarik dari pusat A ke pusat B (Km)
dAB = Jarak ibu kota kecamatan A ke kecamatan B (Km)
PA = Jumlah penduduk pusat A (ribuan jiwa)
PB = Jumlah penduduk pusat B (ribuan jiwa)
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 49
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......
distribusi barang dan jasa untuk berbagai aktifitas penduduk dalam pengembangan wilayah
tersebut.
Tabel 3 juga menunjukan bahwa Kecamatan yang memiliki skor kedua tertinggi adalah
Kecamatan Konda dengan nilai skor 437,8 kemudian di ikuti oleh Kecamatan Moramo dan
Kolono dengan nilai skor 237,8 kecamatan-kecamatan tersebut memiliki fasilitas
pelayanan untuk kegiatan ekonomi yaitu pasar, toko bahan pertanian, toko bahan
bangunan, dan industri. Artinya kecamatan-kecamatan ini berpotensi sebagai pusat yang
efisien bagi pertumbuhan modal dalam pengembangan wilayah di Bagian Timur
Kabupaten Konawe Selatan. Kecamatan Moramo Utara, Wolasi, dan Laonti merupakan
kecamatan-kecamatan yang mempunyai skor terendah dibanding kecamatan-kecamatan
lainya secara berturut-turut nilai skor untuk masing-masing kecamatan adalah (187,8;
147,8; dan 114,4).
Rendahnya skor kecamatan-kecamatan tersebut di sebabkan karena fasilitas pelayanan
yang ada di masing-masing kecamatan tersebut juga tersebar merata di kecamatan-
kecamatan lainya. Namun demikian tidak berarti bahwa kecamatan-kecamatan tersebut
tidak mempunyai kemampuan (potensi) untuk lebih berkembang di banding dengan
kecamatan yang memiliki skor tertinggi. Sebagai contoh, Kecamatan Laonti merupakan
kecamatan yang memiliki skor paling rendah tetapi kecamatan tersebut mempunyai
potensi perikanan, perkebunan dan kehutanan yang cukup besar untuk dikembangkan.
Untuk itu di perlukan upaya-upaya dan langkah yang konkrit dari pemerintah daerah utuk
mendorong pertumbuhan modal distribusi barang dan jasa untuk berbagai aktifitas
penduduk dalam pengembangan wilayah tersebut.
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 51
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......
Antar Kecamatn
Jumlah Jumlah Jarak
No Interaksi = (I)
Kecamatan Penduduk Kecamatan Penduduk (Km) = (D)
(jiwa) = (Pi) (jiwa) = (Pj)
1 Konda 19.861 Ranomeeto 17.770 16,9 1.235.706
Wolasi 5.181 16,2 392.089
Kolono 14.899 70,8 59.033
Laonti 10.345 65,0 48.630
Moramo 14.213 39,1 184.643
Mor. Utara 7.858 29,7 176.929
2 Ranomeeto 17.770 Konda 19.861 16,9 1.235.706
Wolasi 5.181 33,1 84.032
Kolono 14.899 87,7 34.423
Laonti 10.345 81,9 27.406
Moramo 14.213 56,0 80.537
Mor. Utara 7.858 46,6 64.302
3 Wolasi 5.181 Konda 19.861 16,2 392.089
Ranomeeto 17.770 33,1 84.032
Kolono 14.899 78,7 12.463
Laonti 10.345 74,0 9.788
Moramo 14.213 47,7 32.364
Mor. Utara 7.858 37,6 28.797
4 Kolono 14.899 Konda 19.861 70,8 59.033
Ranomeeto 17.770 87,7 34.423
Wolasi 5.181 78,7 12.463
Laonti 10.345 58,7 44.731
Moramo 14.213 31,7 210.729
Mor. Utara 7.858 60,8 31.671
5 Laonti 10.345 Konda 19.861 65,0 48.630
Ranomeeto 17.770 81,9 27.406
Wolasi 5.181 74,0 9.788
Kolono 14.899 58,7 44.731
Moramo 14.213 27,0 201.692
Mor. Utara 7.858 56,1 25.830
6 Moramo 14.213 Konda 19.861 39,1 184.643
Ranomeeto 17.770 56,0 80.537
Wolasi 5.181 47,7 32.364
Kolono 14.899 31,7 210.729
Laonti 10.345 27,0 201.692
Mor. Utara 7.858 29,1 131.890
7 Mor. Utara 7.858 Konda 19.861 29,7 176.929
Ranomeeto 17.770 46,6 64.302
Wolasi 5.181 37,6 28.797
Kolono 14.899 60,8 31.671
Laonti 10.345 56,1 25.830
Moramo 14.213 29,1 131.890
Sumber: data sekunder, diolah
Hasil perhitungan matriks jarak dan jumlah penduduk kecamatan-kecamatan yang berada
di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan yaitu Konda, Ranomeeto, Wolasi, Kolono,
Laonti, Moramo, dan Moramo Utara secara geografis dapat di lihat pada Tabel 4.
Berdasarkan perhitungan Tabel 4 di peroleh gambaran bahwa interaksi tertinggi terjadi
antara Kecamatan Konda dengan Kecamatan Ranomeeto yaitu sebesar 1.235.706.
Tingginya interaksi ini terjadi di pengaruhi oleh faktor jumlah penduduk yang cukup besar
dan jarak yang cukup dekat yaitu 16,9 Km. Kuatnya interaksi ini ditunjang pula dengan
ketersediaan fasilitas pelayanan yang ada, dimana Kecamatan
Ranomeeto mempunyai fasilitas yang lebih tinggi keberadaanya di banding Kecamatan
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 52
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......
Konda Terutama fasilita pelayanan seperti bank, terminal dan studio musik. Hal ini sejalan
dengan hasil perhitungan Indeks Sentralitas Terbobot dimana Kecamatan Ranomeeto
mempunyai skor yang lebih tinggi yaitu 537,8 sedangkan Kecamatan Konda mempunyai
skor 437,8.
Interaksi yang besar kedua terjadi pada Kecamatan Konda dengan Kecamatan Wolasi
yaitu sebesar 392.089. kuatnya hubungan ini di pengaruhi oleh dekatnya jarak tempuh dari
Kecamatan Konda ke Kecamatan Wolasi 16,2 Km. Begitu juga yang terjadi dengan
Kecamatan Moramo dengan Kecamatan Kolono memiliki interaksi yang cukup kuat yaitu
210.729. kuatnya hubungan antar kedua kecamatan tersebut di pengaruhi dengan besarnya
jumlah penduduk dan jarak tempuh yang cukup dekat yaitu 31,7 Km. Kuatnya interaksi
yang terjadi antara kedua kecamatan ini didukung pula oleh ketersediaan fasilitas
pelayanan, dimana Kecamatan Moramo dan Kecamatan Kolono dalam hal Fasilitas
pelayanan, ini di buktikan dengan nilai IST yang sama yaitu 237,8.
Interaksi yang rendah terjadi pada Kecamatan Kolono dengan Kecamatan Wolasi yaitu
sebesar 12.463. Rendahnya interaksi yang terjadi antara ke dua kecamatan tersebut di
sebabkan karena faktor jarak yang relatif cukup jauh yaitu dengen jarak tempuh 78,7 Km.
Serta interaksi yang paling rendah terjadi pada Kecamatan Wolasi dan Kecamatan Laonti
yaitu sebesar 9.788. Rendahnya interaksi ini disebabkan karena jarak tempuh ke dua
kecamatan tersebut yang cukup jauh yaitu 74,0 Km. Demikian pula hubungan yang tidak
langsung juga terjadi pada kedua kecamatan tersebut. Sebab bila dari pusat Kecamatan
Wolasi ke pusat Kecamatan Laonti harus melewati Kecamatan Moramo terlebih dahulu.
Sedangkan jika di bandingkan dengan Kecamatan Wolasi, Kecamatan Moramo lebih
memiliki fasilitas yang cukup beragam, jika berdasarkan kompleksitas/keberadaan fasilitas
pelayanan kedua kecamatan tersebut itu di tunjukan dengan Indeks Sentralitas Terbobot
(IST) kedua kecamatan tersebut yang tergolong sangat rendah di bandingkan dengan
kecamatn lainya, yaitu skor untu Kecamatan Wolasi yaitu 147,8 dan Kecamatan Laonti
114,4.
Tabel 5 Matriks Batas Gaya Tarik Geografis Antar Kecamatan di Bagian Timur
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2015
N0 Kecamatan
e) Konda
f) Ranomeeto
g) Wolasi
h) Kolono
i) Laonti
j) Moramo
k) Mor. Utara
Rata-rata
Jarak
Jarak antar Kecamatan
Jumlah penduduk
Mor. Utara
Ranomeeto
Moramo
Kolono
Wolasi
Konda
Laonti
19.861 0 8,69 10,72 37,94 37,75 21,18 18,23 19,22
17.770 8,21 0 21,49 45,78 46,45 29,56 27,99 24,47
5.181 5,48 11,61 0 29,19 30,67 17,96 16,85 15,97
14.899 32,86 41,92 49,51 0 32,02 16,04 35,22 29,65
10.345 27,25 35,45 43,33 26,68 0 12,43 29,97 25,02
14.213 17,92 26,44 29,74 15,66 14,57 0 16,69 17,29
7.858 11,47 18,61 20,75 25,58 26,13 12,41 0 16,42
Sumber: Data yang di olah
Berdasarkan data jumlah penduduk dan jarak antar kecamatan serta dihitung dengan
mengunakan elaborasi rumus gravitasi sehingga dapat dihitung batas gaya tarik geografis
antar kecamatan, yang disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 maka
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE 53
Didi Setiawan, Zainuddin Saenong dan Ulfa Matoka: Analisis Fungsi.......
dapat di ketahui bahwa Kecamatan Konda dan Kecamatan Moramo memiliki jangkauan
pelayanan secara geografis meliputi 3 (tiga) kecamatan. Artinya secara geografis
Kecamatan Konda dan Kecamatan Moramo memiliki jangkauan pelayanan yang lebih luas
terhadap kecamatan-kecamatan lainya khususnya di Bagian Timur Kabupaten Konawe
Selatan, Jangkauan pelayanan Kecamatan Konda mencapai radius jarak rata-rata 19,22
Km, menjangkau sampai Kecamatan Ranomeeto, Kecamatan Wolasi, dan Kecamatan
Moramo Utara dan Kecamatan Moramo mencapai radius jarak rata-rata 17,29 Km,
menjangkau sampai Kecamatan Moramo Utara, Laonti, dan Kolono. Sedangkan
kecamatan yang paling rendah batas gaya tarik geografisnya adalah Kecamatan Kolono
dan Laonti yang hanya mampu menjangkau sampai Kecamatan Moramo dengan radius
jarak rata-rata 29,65 dan 25,02 Km. Artinya kecamatan tersebut bila berdasarkan batas
gaya tarik geografisnya hanya mampu melayani penduduk di wiayah tersebut.
(f) Simpulan
(f) Kemampuan Fungsi pelayanan sosial ekonomi kecamatan-kecamatan di Bagian
Timur Kabupaten Konawe Selatan menunjukkan bahwa Kecamatan Ranomeeto
berada pada hrarki pertama, di ukur dari penyebaran jumlah dan keragaman fasilitas
pelayanan. Sedangkan Kecamatan Konda, Moramo, Kolono, Moramo Utara,
Wolasi dan Laonti masing-masing berada pada hirarki kedua, ketiga, keempat,
kelima, dan keenam.
(g) Tingkat interaksi antar kecamatan-kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe
Selatan menunjukan bahwa Kecamatan Konda dan Kecamatan Moramo memiliki
jangkauan pelayanan lebih luas karena dapat menjangkau sejumlah tiga kecamatan
dari tujuh kecamatan yang berada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan, hal
tersebut di dominasi karena jumlah penduduk yang banyak dan keterdekatan jarak
antar pusat ibukota kecamatan sehingga gaya tarik wilayahnya tinggi. Ditinjau dari
Pusat pelayananya Kecamatan Ranomeeto sebagai pusat utama yaitu dengan IST
tertinggi. Kecamatan Konda sebagai pusat utama berdasarkan IST urutan kedua dan
jangkauan pelayanan yang lebih luas di bandingkan dengan kecamatan-kecamatan
lainya.
Daftar Pustaka
Adisasmita, Raharjo, 2005. Dasar-dasar ekonomi wilayah. Penerbit Geraha Ilmu.
Yogyakarta
Hestudiputri, Dita (2007). Peran dan Fungsi Ibu Kota Kecamatan Lasem Sebagai Pusat
Pertumbuhan di Kabupaten Rembang. Skripsi Universitas Negri Sumatra Utara.
Hizaruddin, La Ode, 2014. Analisis Fungsi Pelayanan Kecamatan Kulisusus Sebagai
Pusat Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Buton Utara. Skripsi FE Universitas Halu
Oleo program sarjana Tidak Diterbitkan.
Kamaludindin, Rustian, 1993. Beberapa Aspek Pembangunan Nasional Dan Daerah,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mahi, La. 2009, Analisis Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan Pada Perwilayahan
Pembanguan Di Kabupaten Muna. (Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Halu Oleo;
Kendari.
Matoka, Ulfa. 1994. Studi Jangkauan Pelayanan Pusat-Pusat Pertumbuhan di Sulawesi
Tenggara. (Tessis, Program Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah Pasca Sarjana
UNHAS, tidak di publikasikan).
Misriatun, 2009. Analisis Pusat-Pusat Pelayanan di Kabupaten Kolaka Bagian Timur.
(Tesis, Program Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah Pasca Sarjana Universitas
Haluoleo, tidak dipublikasikan.
Mulyanto, H.R. 2008. Prinsip-Prinsip Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Geraha.
Nas, PJM, 1999. Kota di Dunia Ketiga, Jakarta: Bharata.
Nurjanah. 2006. Studi Pengembangan Wilayah Kecamatan Sorawolio Sebagai Sub Pusat
Pertumbuhan Ekonomi Kota Bau-Bau. Skripsi FE Universitas Halu Oleo: Kendari
Padangarang, 2008. Teknik Analisis Kuantitatif Wilayah. Program Pasca Sarjana
Universitas Halu Oleo Kendari.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,dan
R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Syamsul, La Ode. 2013. Analisis Fungsi Kecamatan di Bagian Barat Kabupaten Muna.
(Tesis, Program Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah Pasca Sarjana Universitas
Haluoleo, tidak dipublikasikan.
Taringan, R. 2006, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Jakarta PT Bumi Aksara.
Undang-undang. 1999. Undang-Undang Nomor 22, Tahun 1999, tentang Pemerintah
Daerah.
Warpani, S. 1984, Analisa kota dan Daerah, Penerbit ITB: Bandung
_______________, 2008. Pengembangan Wilayah Konsep Dan Teori. Penerbit Geraha
Ilmu. Yogyakarta
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JE
AJIE - Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship (e-ISSN: 2477- 0574 ; p-ISSN:
2477-3824) Vol. 02, No. 02, May 2017
IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN DAN WILAYAH
HINTERLAND
DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
ABSTRACT
In a local government, it is important to know the areas that have the potential to be the center of
growth. Because with the determination of the growth center, it will be easier in accelerating
regional development. The more advanced the growth center area hinterland area or support area
will also progress. This study aims to analyze the districts / city that became the center of growth and
hinterland area in the province of Yogyakarta Special Region. It can be analyzed using regional
concentration analysis, scalogram analysis and gravity analysis. The results of the research show
that in 2013 it was found Sleman Regency, Bantul Regency, Gunungkidul Regency, and Yogyakarta
City as the center of growth. While in the year 2016 which became the center of growth is Sleman
Regency, Bantul Regency and Yogyakarta City. In the analysis of geographical concentrations it is
known that the facilities have been equally distributed in the districts / city of the Special Province of
Yogyakarta. The research results have been in accordance with the Spatial Plan (RTRW) of
Yogyakarta Province.
Keywords: Growth Center, Hinterland, Geography Concentration, Skalogram, Gravity
ABSTRAK
Dalam suatu pemerintahan daerah, penting untuk mengetahui daerah yang memiliki potensi untuk
dijadikan pusat pertumbuhan. Karena dengan ditentukannya pusat pertumbuhan, maka akan lebih
mudah dalam mempercepat pembangunan daerah. Semakin majunya wilayah pusat pertumbuhan
maka wilayah hinterland atau wilayah pendukung juga akan semakin maju. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis kabupaten / kota yang menjadi pusat pertumbuhan dan wilayah hinterland di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut dapat dianalisis menggunakan analisis
konsentrasi daerah, analisis skalogram dan analisis gravitasi. Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa pada tahun 2013 didapati Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul,
dan Kota Yogyakarta sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan pada tahun 2016 yang menjadi pusat
pertumbuhan adalah Kabupaten Sleman, kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Dalam analisis
konsentrasi geografi diketahui bahwa fasilitas-fasilitas telah terdistribusi secara merata di kabupaten
/ kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian telah sesuai dengan RTRW (Rencana
Tata Ruang Wilayah) Provinsi Yogyakarta.
Kata Kunci : Pusat Pertumbuhan, Hinterland, Konsentrasi Geografi, Skalogram, Gravitasi.
193
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 PENDAHULUAN
Hampir semua negara berkembang
memiliki permasalahan yang sama seperti
masalah kemiskinan, pengangguran,
Pasal 1 tentang Pemerintahan Daerah,
tingkat kesehatan, rendahnya tingkat
desentralisasi merupakan penyerahan
pendidikan, ketimpangan distribusi
wewenang pemerintahan ke pemerintah
pendapatan, dan kriminalitas (Todaro dan
daerah otonom guna mengatur dan
Smith, 2009). Untuk meningkatkan
mengurus segala urusan pemerintah dalam
kualitas negara, pertumbuhan ekonomi dan
sistem NKRI.
perkembangan wilayah, diperlukan usaha
Data dalam LKJ Daerah Istimewa
dan perencanaan yang matang dan
Yogyakarta 2014 menunjukkan bahwa
terencana. Menurut UU No. 32 tahun 2004
indeks gini dari tahun ke tahun cendenrung
mengalami peningkatan. Hal ini dapat
diartikan bahwa kesenjangan pendapatan
di masyarakat semakin melebar.
194
Priyadi, Atmadji
masyarakat dapat lebih mudah dalam
mengaksesnya sehingga dapat pertumbuhan dengan kabupaten / kota
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai hinterland.
dan kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan yang ada. Pertumbuhan Perumusan Masalah
ekonomi di wilayah pusat pertumbuhan i) Bagaimana kesesuaian penetapan
dapat memberikan manfaat atau spillover Rencana Tata Ruang Wilayah
effect positif terhadap hinterland, sehingga (RTRW)DaerahIstimewa
gap yang ada tidak terlalu besar. Dengan Yogyakarta di masing-masing kabupaten /
menentukan pusat pertumbuhan dengan kota dalam penetapan sebagai pusat
memfokuskan pertumbuhan terutama pertumbuhan ekonomi di Daerah Istimewa
perekonomian pada daerah tersebut, akan Yogyakarta.
menyebarkan efek yang menguntungkan j) Bagaimanatingkatpersebaran
bagi wilayah-wilayah disekitarnya. geografisketersediaanfasilitas
Perkembangan wilayah pusat pertumbuhan publik pada masing-masing kabupaten /
akan meningkatkan produksi daerah kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
hinterland sehingga daerah hinterland juga
akan mengalami perkembangan.
Banyaknya jumlah perguruan tinggi Tujuan Penelitian
di Daerah Istimewa Yogyakarta g) Menganalisis kesesuaian penetapan
menimbulkan tingginya tingkat imigran Rencana Tata Ruang Wilayah
yang datang untuk berkuliah di universitas- (RTRW)DaerahIstimewa
universitas di Daerah Istimewa Yogyakarta di masing-masing kabupaten /
Yogyakarta. Dengan makin banyaknya kota dalam penetapan sebagai pusat
jumlah penduduk di Daerah Istimewa pertumbuhan ekonomi di Daerah Istimewa
Yogyakarta, perlu untuk melakukan Yogyakarta.
peningkatan fasilitas sebagai pendorong h) Menganalisis tingkat persebaran
kegiatan ekonomi maupun pelayanan geografisketersediaanfasilitas
terhadap masyarakat. Fasilitas yang publik pada masing-masing kabupaten /
dimiliki oleh tiap kabupaten / kota pasti kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
berbeda-beda. Perbedaan fasilitas tersebut
akan menjadi hierarki penentuan wilayah
pusat pertumbuhan. Kabupaten / kota yang KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN
memiliki fasilitas yang paling lengkap TEORI
akan menjadi wilayah pusat pertumbuhan. Kajian Pustaka
Dan kabupaten / kota yang fasilitasnya Dalam melakukan penelitian, selain
kurang, akan menjadi hinterland atau menggunakan teori-teori, juga digunakan
wilayah pendukung bagi wilayah pusat. hasil-hasil penelitian sebelumnya sebagai
Penentuan wilayah pusat pertumbuhan dan acuan dan gambaran dalam melakukan
hinterland dapat diketahui dengan penelitian ini.
menggunakan analisis skalogram. Serta Penelitian yang dilakukan oleh Gulo
analisis gravitasi digunakan untuk melihat (2015). Penelitian tersebut bertujuan untuk
keterkaitan atau interaksi pada tiap-tiap mengidentifikasi kecamatan-kecamatan
kabupaten / kota yang menjadi pusat
195
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 yang berada di Kabupaten Nias. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan hasil dari
analisis dengan menggunalan skalogram
bahwa di Kabupaten Nias yang menjadi
pusat pertumbuhan utama adalah
kelengkapan fasilitas yang tersedia yang
Kecamatan Gido, pusat pertumbuhan
disesuaikan dengan pusat pertumbuhan
kedua adalah Kecamatan Idanogawo dan
Kota Yogyakarta. Penelitian menggunakan
pusat pertumbuhan ketiga yaitu Kecamatan alat analsisi skalogram. Dari hasil
Botomuzoi. Kecamatan Gido dapat
penelitian menunjukkan terdapat
dikatakan sebagai pusat pertumbuhan
ketidaksesuaian hasil analisis skalogram
utama karena memiliki fasilitas yang
dengan kecamatan yang diproyeksikan
paling lengkap serta memiliki fungsi yang
untuk menjadi pusat kota dalam RTRW
lebih besar dibandingkan dengan Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota
kecamatan-kecamatan lain. Semakin Yogyakarta memroyeksikan Kecamatan
lengkap fasilitas ekonomi dan sosial yang Gedongtengen, Kecamatan Gondomanan
dimiliki maka akan menarik minat dan Kecamatan Danurejan sebagai pusat
masyarakat untuk untuk beraktivitas di pertumbuhan. Namun hasil analisis
wilayah tersebut.
menunjukkan bahwa Kecamatan
Penelitian oleh Nainggolan (2013),
Umbulharjo dan Kecamatan
bertujuan untuk menemukan pusat
Gondokusuman memiliki fasilitas yang
pertumbuhan di Kabupaten Simalungun
lebih baik daripada kecamatan-kecamatan
dan melihat hubungan antara daerah pusat
lain walaupun Kecamatan Umbulharjo dan
bertumbuhan dengan daerah pinggirannya
Kecamatan Gondokusuman bukanlah
(hinterland). Hasil dari analisis skalogram
kecamatan yang diproyeksikan untuk
didapatkan 30 jenis fasilitas dari
menjadi pusat pertumbuhan di Kota
keseluruhan fasilitas yang berada di
Yogyakarta.
Kabupaten Simalungan. Hasil analisis
Penelitian oleh Danastri (2011), bertujuan
yang digunakan dalam penelitian tersebut
untuk mengetahui kekuatan interaksi antar
menunjukkan ada 5 kecamatan yang
daerah di Kecamatan Harjamukti,
menjadi pusat pertumbuhan yaitu
menganalisis kebutuhan-
Kecamatan Siantar dengan Kecamatan
kebutuhan yang diperlukan dalam
Gunung Malela sebagai hinterlandnya,
mengembangkan pusat pertumbuhan, serta
Kecamatan Bandar dengan hinterlandnya
untuk mengetahui wilayah pembangunan
Kecamatan Pematang Bandar, Kecamatan
mana saja yang dapat ditetapkan sebagai
Tanah Jawa dengan hinterlandnya
kutub pertumbuhan untuk mendorong
Kecamatan Hatonduhan, Kecamatan Raya
pembangunan wilayah Kecamatan
dengan Kecamatan Panei sebagai daerah
Harjamukti. Metode analisis yang
hinterland, dan Kecamatan Bosar Maligas
digunakan dengan analisis basis ekonomi
dengan Kecamatan Bandar.
secara survey primer, analisis gravitasi,
Penelitian lain yang dilakukan oleh Utari analisis skalogram, dan metode overlay.
(2015), bertujuan untuk mengetahui
Dari hasil analisis menggunakan gravitasi,
karakteristik Kota Yogyakarta dan
dapat diketahui bahwa semua kelurahan
mengetahui kecamatan-kecamatan yang
yang ada di Kecamatan Harjamukti
menjadi pusat pertumbuhan dilihat dari
memiliki interaksi kuat dengan pusat
Kecamatan Harjamukti, yaitu Kelurahan
Kalijaga. Dengan analisis skalogram, dapat
diurutkan kelurahan dengan fasilitas
terlengkap adalah Kelurahan Kecapi,
196
Priyadi, Atmadji
Kelurahan Harjamukti, Kelurahan
Kalijaga, Kelurahan Larangan, dan daerah perkotaan dan mendorong
Kelurahan Argasunya sebagai kelurahan perkembangan lanjut dari kegiatan
dengan jumlah fasilitas paling sedikit. ekonomi melalui daerah pengaruhnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Habib Juga dikatakan bahwa “growth does not
(2016), bertujuan untuk mengetahui growth”, hal tersebut ditemukannya dalam
kecamatan mana yang menjadi pusat analisisnya terhadap industri kendaraan
pertumbuhan di Kabupaten Tulang yang cenderung terkelompok pada daerah
Bawang Barat dan hubungan interkasi tertentu. Dengan begitu pertumbuhan
antara pusat pertumbuhan dengan kawasan ekonomi cenderung terkonsentrasi pada
hinterland. Penelitian dilakukan dengan daerah tertentu yang didorong oleh adanya
menggunakan skala ordinal dan indeks keuntungan aglomerasi (Aglomeration
gravitasi. Hasil yang dapat adalah Economies) yang timbul karena adanya
Kecamatan Tulang Bawang Tengah konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut.
sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Munculnya beberapa konsentrasi tersebut
dari Kabupaten Tulang Bawang Barat, kegiatan ekonomi tersebut selanjutnya
menjadi pusat pertumbuhan dengan tiga mendorong pula pada peningkatan
daerah hinterland yaitu Kecamatan Tulang efisiensi kegiatan ekonomi yang
Bawang Udik, Kecamatan Tumijajar dan berdampak positif pada pembangunan
Kecamatan Pagara Dewa. Interkasi paling ekonomi nasional.
kuat dengan pusat pertumbuhan
didapatkan dari Kecamatan Tulang Bwang Teori Tempat Sentral
Udik yang lokasinya lebih dekat dengan Teori tempat sentral dikemukakan oleh
Kecamatan Tulang Bawang Tengah, seorang ahli geografi Jerman yaitu Walter
dengan nilai interaksi sebesar Christaller. Hartono (2007) menjelaskan
6.943.036,09. Sedangakn kekuatan teori Christaller tentang kota sentral yang
interkasi dengan Kecamatan Tulang merupakan pusat bagi daerah sekitarnya
Bawang Tengah dengan Kecamatan yang menjadi penghubung perdagangan
Tumijajar sebesar 5.084.954,9, dan dengan wilayah lainnya. Menurut
kekuatan interaksi dengan Kecamatan Christaller setiap orde memiliki wilayah
Pagar Dewa sebesar 51.360,47. heksagonal sendiri-sendiri. Bentuk pola
pelayanan heksagonal ini secara teoritis
mampu memperoleh optimasi dalam hal
Landasan Teori efisiensi transportasi, pemasaran dan
Teori Pusat Pertumbuhan administrasi (Hagget, 2001). Kota sebagai
Teori pusat pertumbuhan atau Growth pusat pelayanan diharapkan memiliki
Poles Theory diperkenalkan oleh ekonom fasilitas pelayanan seperti,
asal Perancis, Francis Perroux. Sjafrizal l) Pusat dan pertokoan sebagai fokus
(2008) menjelaskan teori Perroux tentang point dari suatu kota.
pole croisanse atau pole de m) Saranan dan prasarana transportasi.
development yang artinya pusat n) Tempat rekreasi dan olahraga.
pertumbuhan sebagai perangkat industri- o) Sarana pendidikan, kesehatan, obyek
industri yang sedang mengalami wisata.
perkembangan dan berlokasi di suatu Dengan demikian kota menyediakan
segala fasilitas bagi kehidupan baik sosial
197
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
maupun ekonomi, sehingga baik tempat
tinggal maupun bekerja dan berkreasi
dapat dilakukan didalam kota (Jayadinata,
suatu wilayah sebagai benda dan jumlah
1992).
penduduk dari wilayah yang bersangkutan
sebagai massanya. Besarnya kekuatan
Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional
interaksi dapat diwujudkan dalam bentuk
Konsep teori Hirschman yang
besarnya perpindahan atau transportasi dan
dipaparkan oleh Sjafrizal (2008),
komunikasi antara dua wilayah. Wujud
menyatakan bahwa lebih mengutamakan
dari perpindahan tersebut dapat berbentuk
perhatiannya pada pertumbuhan wilayah
orang, barang, jasa, ataupun berupa
tidak seimbang. Dimana secara geografis
informasi (Hartono, 2007).
pertumbuhan ekonomi wilayah akan
dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan di
Otonomi Daerah
suatu wilayah pada satu titik tempat yang
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 Pasal
menimbulkan dorongan ke arah
1 angka 5, otonomi daerah adalah hak,
perkembangan titik-titik atau tempat-
wewenang dan kewajiban daerah otonom
tempat berikutnya. Teori Hirschman
untuk mengatur dan mengurus
melihat tingkat pembangunan di suatu
sendiri urusan pemerintahan dan
wilayah cenderung tercapai pada beberapa
kepentingan masyarakat setempat sesuai
titik pertumbuhan. Dimana kegiatan atau
dengan peraturan perundang-undangan.
aktivitas ekonomi lebih lebih berpusat
Haris memaparkan peranan Smith tentang
pada daerah tersebut karena ketersediaan
pemerintah di daerah yang dijalankan
dan kelengkapan fasilitas pelayanan
secara demokratis akan memberikan ruang
dibandingkan tempat lainnya. Dampaknya
yang lebih besar kepada masyarakat untuk
akan terjadi peningkatan migrasi dari
ikut menuangkan kedaulatannya. Hal ini
daerah luar ke daerah growing center.
bukan saja akan memperkuat proses
demokrasi lokal, tetapi
Teori Gravitasi
juga memberikan kontribusi bagi
Teori gravitasi pertama kali diperkenalkan
demokrasi dan integrasi nasional (Haris
dalam ilmu fisika oleh Sir Issac Newton.
dkk, 2006).
Utoyo (2007) memaparkan inti dari teori
gravitasi bahwa dua buah benda yang
Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
memiliki massa tertentu akan memiliki
Istimewa Yogyakarta
gaya tarik menarik antara keduanya yang
Menurut Peraturan Daerah Provinsi
dikenal sebagai gaya gravitasi. W. J. Reilly
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2
berpendapat bahwa bahwa kekuatan
tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang
interaksi antara dua wilayah yang berbeda
Wilayah Provinsi Daerah Iatimewa
dapat diukur dengan memerhatikan faktor
Yogyakarta Tahun 2009 – 2029, bertujuan
jumlah penduduk dan jarak antara kedua
untuk:
wilayah tersebut.
a. Terselenggaranya pemanfaatan
Teori gravitasi ini dapat digunakan untuk
ruang yang berlandaskan wawasan
menganalisis besarnya pengaruh interaksi
nusantara dan ketahanan nasional.
antar wilayah yang berdekatan secara
b. Terselenggaranya pengaturan
kuantitatif, dengan asumsi bahwa
pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budidaya.
198
199
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 2. Sarana kesehatan
3. Tempat ibadah
1. Sarana pendidikan 4. Sarana perekonomian
Metode Analisis
Analisis Konsentrasi Geografi Analisis Skalogram
Konsentrasi geografis mengukur tingkat Alat analisis yang digunakan dalam
persebaran fasilitas pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. penelitian ini adalah model skalogram.
Formulasi perhitungannya adalah sebagai Skalogram adalah alat analisis untuk
berikut=100√∑ mengidentifikasi pusat pertumbuhan
Keterangan:
wilayah berdasarkan fasilitas yang
GC : tingkat konsentrasi geografis
dimiliki, sehingga dapat ditentukan
xi : jumlah fasilitas pertumbuhan ekonomi
hierarki pusat-pusat pertumbuhan dan
di tiap kabupaten / kota
aktivitas pelayanan suatu wilayah
xt : jumlah keseluruhan fasilitas
(Rondinelli, 1985).
pertumbuhan di Kabupaten Sleman
Analisis ini digunakan untuk melihat
jumlah dan jenis fasilitas yang berada pada
Setelah dilakukan perhitungan GC,
tiap kecamatan di Kabupaten Sleman. Dari
dilanjutkan dengan membandingkan nilai
jumlah ketersediaan fasilitas tersebut dapat
GC batas tengah. Adapun GC batas tengah
ditentukan kecamatan yang menjadi pusat
(GCBT) merupakan penjumlahan GC batas
pertumbuhan di Kabupaten Sleman adalah
atas dan batas bawah dibagi dua.
kecamatan yang paling lengkap
Nilai GC batas atas ( GCBA) merupakan
fasilitasnya. Sedangkan kecamatan yang
besaran konsentrasi geografis yang
ketersediaan fasilitasnya kurang lengkap
diasumsikan komoditi ekspor hanya tertuju
akan menjadi wilayah hinterland atau
di satu wilayah. Adapun konsentrasi
wilayah pendukung. Rumus yang
geografis batas bawah (GCBB) menunjukan
digunakan untuk mencari banyak kelas
besaran konsentrasi geografis
pada setiap kecamatan sebagai pusat
yang diasumsikan komoditi ekspor
pertumbuhan sebagai berikut,
tersebar secara merata.
( +
)
k = 1 + 3,3 log n
Secara ringkas perhitungan GCBT adalah:
Keterangan:
menentukan suatu sarana k = banyak kelas
Untuk 2
n = banyak kecamatan
terkonsentrasi atau terdistribusi dilakukan
dengan cara membandingkan perhitungan selanjutnya menentukan besarnya interval
nilai GC dibandingkan nilai GCBT. kelas atau range dengan rumus sebagai
berikut,
Range =
Keterangan:
A = jumlah fasilitas tertinggi
B = jumlah fasilitas terendah
k = banyak kelas
200
Priyadi, Atmadji
atau COR, yang memiliki fungsi untuk
menguji kelayakan analisis skalogram.
Penelitian dengan analisis skalogram dapat HASIL DAN ANALISIS
dikatakan layak jika nilai COR sebesar 0,9
sampai dengan 1. Cor dihitung dengan rumus
seperti dibawah,= 1 − ∑ Peran Danais (Dana Istimewa) dalam
(CR) Menggerakkan Ekonomi
Keterangan: Gambaran Umum Pelaksanaan Perdais
∑CR : tingkat kesalahan
: Jumlah kesalahan 1. Arah Kebijakan Dana Keistimewaan
N : Jumlah fasilitas DIY Tahun 2017
K: Jumlah kecamatan a) Meningkatkan kualitas perencanaan
Dana Keistimewaan DI Yogyakarta.aa
Analisis Gravitasi b) Meningkatkan pemantauan dan
Analisis gravitasi digunakan untuk melihat evaluasi sesuai dengan peraturan
besarnya daya tarik suatu potensi yang perundang-undangan.
berada pada suatu lokasi, kaitan potensi c) Mendorongpelaporanatas
suatu lokasi dengan besarnya wilayah pelaksanaan kegiatan oleh Pemerintah
pengaruh dari potensi tersebut (Utoyo, Daerah.
2007). d) Mewujudkan ketepatan penggunaan
Rumus gravitasi adalah sebagai dana keistimewaan DI Yogyakarta
berikut, = . dalam rangka mendukung efektivitas
penyelenggaraan keistimewaan DIY.
2. Dana Keistimewaan DIY (UU No.13
Tahun 2012)
201
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 lebih besar dari nilai tengah, berarti
fasilitas yang tersedia untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi sudah terdistribusi
secara merata di 5 kabupaten / kota yang
ada di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sehingga jika akan
adalah Kabupaten Bantul yang memiliki
menambahkan fasilitas yang sudah ada di
19 jenis fasilitas dan 11.983 unit fasilitas.
pusat pertumbuhan, jika ingin ditambahkan Pusat pertumbuhan kedua yaitu Kabupaten
di masing-masing kabupaten
Sleman dengan 19 jenis fasilitas dan unit
/ kota, maka penambahan tersebut fasilitas sebanyak 10.681. Dan pusat
sebaiknya dilakukan secara proporsional.
pertumbuhan ketiga adalah Kota
Yogyakarta dengan 19 jenis fasilitas dan
Analisis Skalogram 4.682 unit fasilitas. Kabupaten / kota yang
Analisis skalogram digunakan untuk masuk dalam orde I merupakan kabupaten
menganalisis dan menentukan hierarki atau / kota dengan jumlah penduduk yang lebih
kelasnya. Jumlah fasilitas tersebut banyak dibandingkan kabupaten pada orde
digunakan sebagai penentuan dalam II dan III.
menempatkan suatu lokasi menjadi pusat
Pada orde II terdapat Kabupaten
pertumbuhan dan lokasi sebagai daerah
Gunungkidul dengan jumlah jenis fasilitas
hinterland atau daerah belakangnya.
sebanyak 18 jenis, dan jumlah unit
Setelah didapatkan jumlah total dari semua
sebanyak 10.244 buah, namun terdapat
fasilitas yang ada pada tiap kabupaten /
ketidaklengkapan data pada kategori
kota, selanjutnya adalah membuat tabel sarana pendidikan yaitu tidak diketahuinya
perhitungan yang memberikan angka “1” jumlah perguruan tinggi yang terdapat di
pada jenis fasilitas yang dimiliki oleh Kabupaten Gunungkidul. Jumlah unit
kabupaten / kota, dan memberikan angka fasilitas yang dimiliki Kabupaten
“0” pada fasilitas yang tidak tersedia pada Gunungkidul lebih banyak daripada
kabupaten / kota tersebut.
jumlah unit yang dimiliki oleh Kota
Dari tabel hasil analisis dapat dilihat Yogyakarta. Namun karena jenis fasilitas
jumlah fasilitas dari masing-masing yang dimiliki Kota Yogyakarta lebih
kabupaten / kota pada empat kelompok banyak daripada jenis fasilitas yang
fasilitas yang berbeda, serta jumlah total dimiliki Kabupaten Gunungkidul, maka
dari semua unit fasilitas tiap kabupaten / Kota Yogyakarta berada pada orde I
kota. Dapat diketahui yang termasuk sedangkan Kabupaten Gunungkidul berada
dalam orde I adalah kabupaten / kota di orde II. Karena untuk menentukan
dengan jumlah unit fasilitas terbanyak daerah pusat pertumbuhan adalah dengan
sehingga dapat dijadikan sebagai pusat melihat banyaknya jenis fasilitas yang
pertumbuhan. Dalam hasil analisis dimiliki oleh daerah tersebut, bukan hanya
skalogram dalam tabel diketahui terdapat 3 dari jumlah unit yang dimilikinya. Jika
kabupaten / kota yang memenuhi syarat melihat jumlah penduduk pada Kabupaten
untuk masuk dalam orde I sebagai Gunungkidul, maka jumlah unit fasilitas
kabupaten / kota pusat pertumbuhan di yang dimiliki sudah cukup banyak untuk
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. memenuhi kebutuhan penduduk.
Sebagai pusat pertumbuhan pertama
Orde III diisi oleh Kabupaten Kulonprogo
dengan jumlah jenis 17 fasilitas, dan
jumlah unit sebanyak 3.783. Kabupaten
Kulonprogo memiliki jumlah penduduk
sebanyak 412.198 jiwa, merupakan jumlah
penduduk paling
202
Priyadi, Atmadji
sedikit dibandingkan dengan kabupaten /
kota lainnya. Jumlah tersebut terpaut tidak Yogyakarta dengan 19 jenis fasilitas dan
terlalu jauh dengan jumlah penduduk Kota jumlah unit fasilitas sebanyak 7.400 unit.
Yogyakarta, namun jumlah unit fasilitas Pada hasil analisis skalogram tahun 2013
yang dimiliki oleh Kabupaten Kulonprogo ini tidak terdapat kabupaten / kota yang
jauh lebih sedikit daripada Kota masuk dalam orde II. Sedangkan pada orde
Yogyakarta. Begitu pula dengan jenis III terdapat Kabupaten Kulonprogo dengan
fasilitas yang dimilikinya. jumlah jenis fasilitas sebanyak 18 jenis,
Dari tabel hierarki pusat pertumbuhan dan jumlah unit fasilitas yang dimiliki ada
kabupaten / kota berdasarkan analisis 6.198 unit. Jumlah unit
skalogram di provinsi daerah istimewa fasilitas yang dimiliki Kabupaten
yogyakarta tahun 2013, dapat dilihat Kulonprogo tidak terlalu berbeda dengan
jumlah fasilitas dari masing-masing jumlah unit fasilitas yang dimiliki oleh
kabupaten / kota pada empat kelompok Kota Yogyakarta. Namun karena
fasilitas yang berbeda, serta jumlah total perbedaan jumlah jenis fasilitas, maka
dari semua unit fasilitas tiap kabupaten / Kabupaten Kulonprogo masuk dalam orde
kota di Provinsi Daerah Istimewa III. Terdapat banyak perbedaan antara
Yogyakarta pada tahun 2013. Dapat hasil analisis skalogram untuk melihat
diketahui yang termasuk dalam orde I daerah pusat pertumbuhan di Provinsi
adalah kabupaten / kota dengan jumlah daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun
unit fasilitas terbanyak sehingga dapat 2013 dan tahun 2016.
dijadikan sebagai pusat pertumbuhan. Di amati dari tabel kesimpulan hasil
Dalam hasil analisis skalogram dalam analisis skalogram, pada segi jumlah
Tabel 4.19 diketahui bahwa terdapat 4 penduduk, semua kabupaten / kota
kabupaten / kota yang memenuhi syarat mengalami kenaikan jumlah penduduk dari
untuk masuk dalam orde I sebagai daerah tahun 2013 ke tahun 2016. Dengana
pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan bertambahnya jumlah penduduk maka
pertama adalah Kabupaten Sleman dengan diperlukan peningkatan jumlah unit
jumlah jenis fasilitas ada 19, dan jumlah fasilitass maupun jumlah jenis fasilitas
unit fasilitas sebanyak 15.665 unit. Pusat untuk melengkapi kebutuhan masyarakat.
pertumbuhan kedua adalah Kabupaten Namun hal tersebut berbanding negatif
Bantul dengan memiliki jenis fasilitas terhadap jumlah unit fasilitas pada tiap-tiap
berjumlah 19, dan unit fasilitas yang kabupaten / kota. Semua kabupaten / kota
dimiliki sebannyak 12.404 unit. Kabupaten mengalami penurunan jumlah unit fasilitas
Gunungkidul sebagai pusat pertumbuhan yang dimiliki. Seperti Kabupaten Sleman
ketiga dengan jumlah jenis fasilitas ada 19 yang jumlahnya turun dari 15.665 menjadi
jenis, dan jumlah unit fasilitas sebanyak 10.681, Kabupaten Bantul dengan unit
11.480. Namun jumlah unit tersebut belum fasilitas sebanyak 12.404 turun menjadi
lengkap karena terdapat ketidaklengkapan 11.983. Kabupaten Gunungkidul memiliki
data yaitu pada sarana pendidikan, tidak unit fasilitas 11.480 dengan
diketahui jumlah perguruan tinggi yang ketidaklengkapan data, namun turun
berada di Kabupaten Gunungkidul. Dan
menjadi 10.244 unit dengan
pusat pertumbuhan ke empat adalah Kota ketidaklengkapan data. Kota Yogyakarta
juga mengalami penurunan jumlah unit
fasilitas dari 7.400 menjadi 4.682 un it.
203
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
Begitu pula dengan Kabupaten
Kulonprogo yang jumlah unitnya turun
dari 6.198 menjadi 3.783. Dalam
Analisis Gravitasi
penelitian ini tidak diketahui penyebab
Dalam melakukan pengamatan dengan
turunnya jumlah unit fasilitas pada
menggunakan analisis gravitasi dapat
kabupaten / kota di Provinsi Daerah
dilihat bahwa Kabupaten Bantul sebagai
Istimewa Yogyakarta.
pusat pertumbuhan pertama memiliki nilai
Pada jumlah jenis fasilitas, Kabupaten interaksi yang paling besar terhadap
Sleman, kabupaten Bantul dan Kota Kabupaten Gunungkidul dan
Yogyakarta memiliki jumlah yang tetap,
Kabupaten Kulonprogo. Sehingga
yaitu 19 jenis fasilitas. Namun pada
Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten
kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten
Kulonprogo merupakan hinterland bagi
Kulonprogo terjadi penurunan jumlah jenis
Kabupaten Bantul. Nilai interaksi
fasilitas. Pada tahun 2013 jumlah jenis
Kabupaten Gunungkidul dengan
fasilitas di Kabupaten Gunungkidul adalah
Kabupaten Bantul sebesar 407.568.522,
19 jenis fasilitas, tetapi pada tahun 2016
sedangkan dengan Kabupaten Sleman
jumlah jenis fasilitas turun menjadi 18
hanya sebesar 286.377.964, dan interaksi
jenis saja. Hal serupa juga terjadi pada
dengan Kota Yogyakarta sebesar
Kabupaten Kulonprogo dengan jumlah
199.190.109. Nilai interaksi Kabupaten
jenis fasilitas pada tabun 2013 sebanyak 18
Kulonprogo dengan Kabupaten Bantul
jenis, pada tahun 2016 jumlah tersebut
sebesar 620.706.322, dengan Kabupaten
turun menjadi 17 jenis fasilitas.
Sleman sebesar 293.434.959, dan dengan
Hasil analisis menunjukkan perubahan
Kota Yogyakarta sebesar 156.212.822.
orde pada dua kabupaten yaitu Kabupaten
Untuk melihat wilayah hinterland dari
Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo.
kabupaten / kota yang menjadi pusat
Sedangkan untuk Kabupaten Sleman,
pertumbuhan pada tahun 2013, yaitu
Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta
Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman,
berada pada orde yang sama pada dua
Kabupaten Gunungkidul, dan Kota
periode tahun yang berbeda yaitu berada
Yogyakarta dapat dijelaskan pada tabel.
pada orde I. Pata tahun 2013, Kabupaten
Hasil analisis skalogram menyatakan
Gunungkidul berada pada orde I dan dapat
bahwa pada tahun 2013 terdapat empat
menjadi daerahh pusat pertumbuhan di
kabupaten / kota yang menjadi wilayah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
pusat pertumbuhan, sehingga hanya ada
Dengan terjadinya penurunan jumlah jenis
satu kabupaten yang menjadi wilayah
fasilitas, maka pada tahun 2016 Kabupaten
hinterland, yaitu Kabupaten Kulonprogo.
Gununkidul menempati orde II dan lepas
Pada diketahui bahwa nilai interaksi
dari daerah pusat pertumbuhan. Kabupaten
tertinggi dari Kabupaten Kulonprogo
Kulonprogo pada tahun 2013 berada pada
terhadap kabupaten / kota sebagai pusat
orde II, tetapi penurunan yang terjadi pada
pertumbuhan adalah dengan Kabupaten
jumlah jenis
Bantul. Sehingga Kabupaten Kulonprogo
fasilitas menyebabkan Kabupaten
adalah wilayah hinterland bagi Kabupaten
Kulonprogo menempati orde III pada
Bantul. Nilai interaksi Kabupaten
tahun 2016.
Kulonprogo dengan Kabupaten Bantul
adalah sebesar 591.883.954. angka tersebut
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai interaksi dengan Kabupaten
204
Priyadi, Atmadji
Sleman yaitu sebesar 280.689.276, dengan
Kota Yogyakarta sebesar 149.103.284, dan Kecamatan Depok, sebagian
nilai interaksi terendah adalah dengan Kecamatan Ngaglik, sebagian
Kabupaten Gunungkidul yaitu sebesar Kecamatan Mlati, sebagian
80.022.538. Kecamatan Godean, sebagian
Jika mengamati kedua periode dari Kecamatan Gamping, sebagian Kecamatan
analisis, yaitu periode tahun 2013 dan Ngemplak, sebagian
tahun 2016, terjadi perubahan pada nilai Kecamatan Kasihan, sebagian
interaksi antara kabupaten / kota sebagai Kecamatan Sewon, sebagian Kecamatan
pusat pertumbuhan dengan kabupaten Banguntapan.
sebagai hinterland. Pada periode tahun b. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) :
2013 terdapat empat pusat pertumbuhan Kawasan Perkotaan Sleman, Bantul.
yaitu Kabupaten Bantul, kabupaten c. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) :
Sleman, Kabupaten Gunungkidul, dan Kawasan Perkotaan Kokap, Girimulyo,
Kota Yogyakarta, dengan Kabupaten Samigaluh, Kalibawang, Panjatan, Lendah,
Kulonprogo sebagai wilayah hinterland Pajangan, Pandak, Bambanglipuro,
bagi Kabupaten Bantul. Namun pada tahun Sanden, Pundong,
2016, jumlah kabupaten / kota sebagai Jetis,Pleret,Seyegan,Turi,
pusat pertumbuhan menurun menjadi tiga Cangkringan, Patuk, Dlingo, Panggang,
kabupaten / kota, yaitu Kabupaten Bantul, Paliyan, Ngawen, Tepus,
Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Ponjong, Mlati, Ngaglik, Prambanan,
Kabupaten Gunungkidul berpindah Piyungan, Srandakan, Godean.
menjadi wilayah hinterland bagi Pada dapat dilihat perbandingan hasil dari
Kabupaten Bantul bersama dengan analisis skalogram, analisis gravitasi, dan
Kabupaten Kulonprogo yang dari tahun kebijakan RTRW.
2013 tetap menjadi wilayah hinterland Dari tabel hasil analisis dibandingkan
bagi Kabupaten Bantul. kebijakan rtrw dengan data tahun 2015,
dapat diketahui pencapaian dari kondisi
sebenarnya di masing-masing kabupaten /
Perbandingan dengan RTRW Provinsi kota jika dibandingkan dengn Rencana
Daerah Istimewa Yogyakarta Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 hasil analisis, terdapat kesesuaian analisis
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang setelah dibandingkan dengan Rencana Tata
Wilayah Provinsi Daerah Iatimewa Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah
Yogyakarta Tahun 2009 – 2029, arahan Istimewa Yogyakarta. Kabupaten / kota
pengembangan sistem perkotaan dalam yang dianalisis masuk dalam orde I yaitu
sistem pelayanan wilayah direncanakan sebagai wilayah pusat pertumbuhan,
sebagai berikut : seperti Kabupaten Bantul, Kabupaten
a. Pusat Kegiatan Nasional (PKN) : Sleman dan Kota Yogyakarta, telah
Kawasan Perkotaan Yogyakarta diproyeksikan untuk masuk dalam wilayah
(Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta), Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat
meliputiKotaYogyakarta, Kegiatan Wilayah (PKW). Sedangkan
untuk wilayah hinterland yaitu
205
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017 Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten
Kulonprogo, dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta masuk pada wilayah
Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Hal tersebut
telah sesuai dengan hasil analisis
masing-masing kabupaten / kota jika
menggunakan skalogram dan analisis
dibandingkan dengan Rencana Tata Ruang
gravitasi.
Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, terdapat kesesuaian
antara proyeksi dengan hasil analisis
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI skalogram dan analisis gravitasi.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari analisis konsentrasi Implikasi
geografis Provinsi Daerah Istimewa Berdasarkan dari hasil analisis, terdapat
Yogyakarta, diperoleh hasil bahwa sarana beberapa hal yang bisa dijadikan masukan
– sarana yang tersedia untuk mendukung bagi pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
pertumbuhan ekonomi telah terdistribusi Yogyakarta. Keadaan tiap kabupaten / kota
secara merata di 5 kabupaten / kota yang telah sesuai dengan proyeksi Rencana Tata
berada di Provinsi Daerah Istimewa Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah
Yogyakarta. Istimewa Yogyakarta, akan lebih baik jika
Untuk analisis skalogram, analisis gravitasi menambahkan fasilitas-fasilitas pada
dan kesesuaian pencapaian dengan kabupaten yang menjadi wilayah
Rencata Tata Ruang Wilayah (RTRW) hinterland agar tidak terjadi kesenjangan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan wilayah kabupaten / kota sebagai
dapat disimpulan bahwa adanya perbedaan pusat pertumbuhan.
kabupaten / kota yang menjadi pusat
pertumbuhan. Pada tahun 2013 terdapat DAFTAR PUSTAKA
empat kabupaten kota yang Danastri, S. (2011). "Analisis Penetapan
menjadi pusat pertumbuhan yaitu Pusat-Pusat Pertumbuhan Baru di
Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten / kota Harjamukti,
Kabupaten Gunungkidul, dan Kota Cirebon Selatan". Skripsi Sarjana,
Yogyakarta, dengan Kabupaten Fakultas Ekonomi, Universitas
Kulonprogo sebagai hinterland Kabupaten Diponegoro, Semarang.
Bantul memiliki nilai interaksi 591.883.954.
Sedangkan tahun 2016 ada tiga kabupaten Gulo, Y. (2015). "Identifikasi Pusat
/ kota yang menjadi pusat pertumbuhan Pertumbuhan dan Hinterland Dalam
yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Pengembangan Wilayah Kabupaten Nias".
Sleman dan Kota Yogyakarta, dengan Widyariset, Volume 18 Nomor 1, Halaman
hinterland dari Kabupaten Bantul adalah 37-48.
Kabupaten Gunungkidul yang memiliki
Habib, S. (2016). "Analisis Kabupaten /
nilai interaksi 407.568.522, dan Kabupaten
kota Dalam Rangka Penentuan
Kulonprogo dengan nilai interaksi
Kabupaten / kota Pusat
620.706.322. Untuk melihat pencapaian
Pertumbuhan Ekonomi di
Kabupaten Tulang Bawang Barat".
Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi
206
dan Bisnis, Universitas Bandar Lampung,
Lampung.
Haris, S., Pabottingi, M., Hidayat, S., Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal
Salamm, A., Ratnawati, T., & 1 Tentang otonomi Daerah. (t.thn.).
Romli, L. (2006). Membangun Departemen Dalam Negeri
Format Baru Otonomi Daerah. Republik Indonesia.
Jakarta: LIPI Press. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Hartono. (2007). Geografi: Jelajah Bumi Tentang Pemerintahan Daerah.
dan Alam Semesta. Bandung: Citra (t.thn.). Departemen Dalam Negeri
Raya. Republik Indonesia.
207
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
LAMPIRAN
Lampiran 1
Alokasi dan Usulan
Dana Keistimewaan di Yogyakarta
Lampiran 2
Usulan, Alokasi dan Realisasi Dana Keistimewaan DIY Tahun 2013 – 2017
208
Priyadi, Atmadji
Lampiran 3
Kabupaten
Gunungkidul 10244 0,495394
Jumlah 41357 2
Akar 1,414214
x100 141,4214
209
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
Lampiran 4
Tabel Kesimpulan Data Jumlah Fasilitas Provinsi Daerah Istimewa yogyakarta Tahun 2015
210
Priyadi, Atmadji
Lampiran 5
Tahun 2015
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 17
Kulonprogo
Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Bantul
Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18
Gunungkidul
Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Sleman
Kota 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Yogyakarta
211
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
Keterangan Tabel:
Sarana Pendidikan
1 : TK
2 : SD
3 : SLTP
4 : SMA
5 : Perguruan Tinggi
Sarana Kesehatan
6 : Rumah Sakit
7 : Puskesmas
8 : Puskesmas Pembantu
9 : RS. Bersalin
10 : Poliklinik
11 : Pos KB Desa
Tempat Ibadah
12 : Masjid
13 : Gereja Katolik
14 : Gereja Kristen
15 : Pura
16 : Wihara
Sarana Ekonomi
17 : Pasar Umum
18 : Pertokoan Kios / Warung
19 : KUD, Bank, BPR
Dari perhitungan tersebut menunjukkan tingkat kesalahan sebesar 0,936, berada diantara 0,9
– 1 atau lebih dari 90%, sehingga analisis skalogram pada fasilitas-fasilitas di tiap
kabupaten / kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2016 ini dianggap
sudah layak.
Lampiran 6
1 Kabupaten
11983
Bantul 971.511 19 Orde I
2 Kabupaten
10681 Orde I
Sleman 1.167.481 19
212
Priyadi, Atmadji
5 Kabupaten 3783
Kulonprogo 412.198 17 Orde III
Keterangan *: Terdapat ketidaklengkapan data
Lampiran 7
Tabel Kesimpulan Data Jumlah Fasilitas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013
213
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
Lampiran 8
Tabel Skalogram Tahun 2013
Kabupaten / Jenis Fasilitas Jumlah
Kota
Pendidikan Kesehatan Tempat Ibadah Perekonomian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 18
Kulonprogo
Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Bantul
Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Gunungkidul
Kabupaten 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Sleman
Kota 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
Yogyakarta
214
Priyadi, Atmadji
Keterangan Tabel:
Sarana Pendidikan 11 : Pos KB Desa
1 : TK Tempat Ibadah
2 : SD 12 : Masjid
3 : SLTP 13 : Gereja Katolik
4 : SMA 14 : Gereja Kristen
5 : Perguruan Tinggi 15 : Pura
Sarana Kesehatan 16 : Wihara
6 : Rumah Sakit Sarana Ekonomi
7 : Puskesmas 17 : Pasar Umum
8 : Puskesmas Pembantu 18 : Pertokoan Kios / Warung
9 : RS. Bersalin 19 : KUD, Bank, BPR
10 : Poliklinik
= 1 + 3,3 log 5
= 1 + 3,3 (0,6989700043)
= 1 + 2,3066010143
= 3,306601014
Jumlah orde dalam penelitian ini sebesar 3,3066010143 yang dibulatkan menjadi 3 kelas atau
orde untuk kabupaten / kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya adalah
menentukan interval kelas atau range untuk 3 orde yang telah dihitung sebelumnya. Yaitu
dengan rumus,
Range =
Range =
Range = 0,3
Didapatkan interval kelas atau range sebesar 0,3, dengan jumlah kelas atau orde sebanyak 3,
maka dapat dibuat tabel orde seperti dibawah,
215
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
Orde Range
Orde I 18,7 - 19
Langkah terakhir dalam melakukan analisis skalogram adalah dengan menghitung tingkat= kesalahan1−∑ atau disebut Coefficient of Redductbility (COR).
(CR) 1 −
(CR) =
(CR) = 1 – 0,021
(CR) = 0,979
Dari perhitungan tersebut menunjukkan tingkat kesalahan sebesar 0,979, berada diantara 0,9
– 1 atau lebih dari 90%, sehingga analisis skalogram pada fasilitas-fasilitas di tiap
kabupaten / kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini dianggap sudah layak.
216
Priyadi, Atmadji
Lampiran 9
5 Kabupaten 6198
Orde III
Kulonprogo 403.203 18
Lampiran 10
217
AJIE – Vol. 02, No. 02, May 2017
Lampiran 11
218
Priyadi, Atmadji
Lampiran 12
Lampiran 13
Tabel Hasil Analisis dibandingkan Kebijakan RTRW dengan Data Tahun 2015
[diterima: 7 Juli 2015 — disetujui: 6 Oktober 2016 — terbit daring: 3 Januari 2017]
Abstract
The paper identifies which districts in Kalimantan that become the growth poles and whether there has been spatial autocorrelation in
55 districts during 2000–2012. This study also explores which economic sectors will be leading sectors. The social-economic data
were collected for 55 districts using quantitative methods, in particular: typology of Regent/City, spatial autocorrelation, overlay
analysis, and structural transformation. The study finds: (1) there are 4 cities as the growth pole; (2) the economics growth
concentration concentrated geographically in the eastern and western;
p) the mining sector is a leading and competitive sector; and (4) structural transformation does not occur
in all districts. Keywords: Growth Pole; Typology of Regent/City; Spatial Autocorrelation (Moran’s I and G
Statistics); Overlay Analysis; Structural Transformation
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kabupaten/kota di Pulau Kalimantan yang akan menjadi pusat
pertumbuhan dan apakah terdapat autokorelasi spasial di 55 kabupaten/kota selama periode 2000–2012. Data
dalam penelitian ini berupa data sekunder yang dikumpulkan dari data sosial ekonomi 55 kabupaten/kota
menggunakan metode kuantitatif deskriptif dan alat analisis: tipologi Kabupaten/Kota, autokorelasi spasial,
analisis overlay, dan transformasi struktural. Hasil penelitian menunjukkan: (1) terdapat empat kota sebagai
pusat pertumbuhan; (2) konsentrasi pertumbuhan ekonomi tersebar di bagian timur dan barat Pulau
Kalimantan; (3) sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor unggulan dan kompetitif; dan (4)
transformasi struktural tidak terjadi di seluruh kabupaten/kota.
Kata kunci: Pusat Pertumbuhan; Tipologi Kabupaten/Kota; Autokorelasi Spasial (Moran’s I dan Statistik G);
Analisis Overlay; Transformasi Struktural
Tabel 1: Peran Wilayah/Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional Tahun 1978–2012 (dalam persen)
Tabel 3: Perbandingan Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Pulau Kalimantan
Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2000–2012 (dalam persen)
dan Autokorelasi Spasial (Moran’s I dan statistik G). sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasi-
al. Adanya autokorelasi spasial mengindikasikan
bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh
Tipologi Kabupaten/Kota nilai atribut tersebut pada daerah lain yang letaknya
Tipologi kabupaten/kota merupakan salah satu alat berdekatan (bertetangga). Dalam ruang lingkup
analisis ekonomi regional yang digunakan untuk analisis spasial, keterkaitan antar-wilayah dapat
mengetahui gambaran tentang pola dan struktur dipandang sebagai hubungan positif atau negatif.
pertumbuhan suatu daerah. Daerah dapat diklasi- Hubungan positif terjadi bila wilayah de-ngan
fikasikan berdasarkan dua indikator utama, yaitu karasteristik tertentu berada pada lingkungan yang
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan (PDRB) per memiliki karasteristik sama dengan wilayah tersebut.
kapita suatu daerah dengan menentukan rata-rata Sementara hubungan negatif terjadi bila wilayah
pertumbuhan ekonomi pada sumbu vertikal dan rata- dengan karasteristik tertentu berada pa-da
rata PDRB per kapita pada sumbu horizon-tal. Ada lingkungan dengan karasteristik yang berbeda
empat klasifikasi daerah dalam tipologi dengan wilayah tersebut.
kabupaten/kota yaitu: (1) daerah cepat maju dan Autokorelasi spasial adalah suatu penaksiran ko-
tumbuh, yaitu daerah yang memiliki tingkat per- relasi antara suatu variabel terhadap dirinya dalam
tumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang suatu wilayah. Suatu variabel dikatakan autokore-lasi
tinggi; (2) daerah berkembang cepat, yaitu daerah jika suatu variabel spasial X dengan observasi x1;
yang memilik tingkat pertumbuhan ekono-mi tinggi, x2; : : : ; xn terbukti saling memengaruhi antar-
tetapi pendapatan per kapitanya rendah; wilayah. Karakteristik dari autokorelasi spasial ada-
(l) daerah maju tapi tertekan, yaitu daerah yang lah sebagai berikut. Pertama, jika terdapat pola sis-
memiliki pendapatan per kapita yang tinggi, tetapi tematis pada distribusi spasial dari variabel yang
tingkat pertumbuhan ekonominya rendah; dan (4) diamati, maka terdapat autokorelasi spasial. Kedua,
daerah daerah tertinggal, yaitu daerah yang jika variabel daerah terdekat (neighboring regions)
memi-liki tingkat pertumbuhan ekonomi dan memiliki kemiripan karakteristik, maka terdapat
pendapatan per kapita yang rendah. autokorelasi spasial positif. Ketiga, jika variabel da-
erah terdekat (neighboring regions) tidak memiliki
kemiripan karakteristik, maka terdapat autokore-lasi
Autokorelasi Spasial spasial negatif. Dan keempat, pola random/acak
Menurut Lembo (2006) dalam Kartika (2007: 1), menunjukkan bahwa tidak ada autokorelasi spasial.
ke-terkaitan spasial atau autokorelasi spasial Sebagai ilustrasi dapat terlihat pada Gambar 1.
terjadi karena adanya interaksi antar-wilayah atau Moran’s I merupakan metode yang digunakan
sua-tu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu sebagai identifikasi karakteristik pola spasial dalam
ruang (jarak, waktu, dan wilayah). Interaksi ini me- tiga bentuk meliputi pemusatan (clustering), acak
refleksikan kondisi yang mana nilai pengamatan (random), dan terpisah (uniform). Moran’s I diguna-
di wilayah i dipengaruhi oleh nilai pengamatan di kan untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi
wilayah sekitarnya, misalnya wilayah j (i j). Jika spasial suatu wilayah. Metode Moran’s I terdiri dari
terdapat pola sistematik di dalam penyebaran dua cara, yaitu Moran’s I global dan Moran’s I
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
86 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...
lokal. Moran’s I global adalah analisis spasial tunjukkan melalui overlay antara Rasio Pertumbuh-
pada skala yang luas, sedangkan Moran’s I lokal an Wilayah Referensi (RPR), Rasio Pertumbuhan
atau Local Indicator of Spatial Autocorrelation Wilayah Studi (RPs), dan LQ. Koefisien dari ketiga
(LISA) adalah kuantifikasi autokorelasi dalam komponen tersebut disamakan satuannya dengan
wilayah yang lebih kecil. Pada penelitian ini diberikan notasi positif (+) yang berarti koefisien
penulis menggunakan metode Moran’s I lokal. komponen bernilai lebih dari satu dan negatif (-)
LISA menyediakan informasi detail dalam klas-terisasi berarti kurang dari satu.
spasial terkait dengan nilai Moran’s I lokal dan statistik
Getis-Ord G (Kosfeld, 2006: 55; Kosfeld, 2011). Identifikasi sektor-sektor unggulan dari hasil over-
Dengan menggunakan program Open GeoDa diperoleh lay, yang dibedakan dalam tiga kriteria, adalah se-
informasi mengenai klasterisasi spasial di tingkat lokal bagai berikut. Pertama, RPR, RPs, dan Static
(antar-daerah yang berdekatan). Out-put yang Location Qoutient (SLQ) ketiganya bernilai positif
dihasilkan berupa LISA cluster map atau peta klaster (+), berarti sektor tersebut mempunyai pertumbuhan
spasial yang menunjukkan adanya klas-ter spasial sektoral tinggi di wilayah referensi dan pertumbuhan
dengan konsentrasi tinggi atau rendah. Sedangkan G ser-ta kontribusi sektoral di wilayah penelitian juga
statistics atau statistik G merupakan suatu ukuran dari lebih tinggi dari wilayah referensi, artinya sektor ini di
konsentrasi lokal spasial yang mengindikasikan adanya wilayah penelitian memiliki potensi daya saing
klasterisasi spasial ting-gi (hot spot) atau klasterisasi kompetitif dan komparatif yang lebih unggul
spasial rendah (cold spot), serta untuk melihat dibandingkan dengan kegiatan yang sama di wi-
kekuatan atau konsentrasi pertumbuhan pada klaster layah referensi. Dengan kata lain, sektor tersebut
yang terbentuk. menonjol baik di wilayah referensi maupun di wila-
yah penelitian. Kedua, hasil overlay yang menunjuk-
kan nilai negatif (-) pada RPR sedangkan RPs dan
Analisis Overlay SLQ bernilai positif (+), artinya bahwa kegiatan
sektoral di wilayah penelitian lebih unggul dari ke-
Model ini digunakan untuk menentukan sektor-sektor giatan yang sama di wilayah referensi, baik dari sisi
unggulan dengan menggabungkan pende-katan alat pertumbuhan maupun kontribusinya, tetapi per-
analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) dan tumbuhan sektoralnya rendah atau tidak menonjol di
Location Qoutient (LQ). Tujuannya adalah untuk wilayah referensi. Dengan kata lain bahwa sektor
melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang poten-sial tersebut merupakan sektor spesialis di wilayah pe-
berdasarkan kriteria kontribusi (analisis LQ) dan nelitian. Dan ketiga, RPR, RPs, dan SLQ ketiganya
kriteria rasio pertumbuhan wilayah (analisis MRP). bernilai negatif (-), artinya bahwa sektor tersebut
Identifikasi kegiatan-kegiatan unggulan di- kurang memiliki daya saing kompetitif maupun
komparatif yang unggul dibandingkan kegiatan ekonomi yang terjadi secara terus-menerus dapat
yang sama di wilayah referensi. menyebabkan terjadinya perubahan dalam struk-tur
Metode LQ terdiri dari 2 jenis yaitu: SLQ dan perekonomian wilayah. Perubahan struktural dalam
Dynamic Location Qoutient (DLQ). Rumus SLQ pertumbuhan ekonomi modern atau transfor-masi
(Kun-coro & Idris, 2010: 177) adalah: struktural dapat diartikan sebagai suatu pro-ses
perubahan struktur perekonomian dari sektor
qi{qr
pertanian ke sektor non-pertanian atau dari sektor
SLQ industri ke sektor jasa, yang mana masing-masing
Qi{Qn (1)
sektor akan mengalami proses transformasi yang
dengan:
berbeda-beda. Proses perubahan struktur ekonomi
SLQ : koefisien SLQ; terkadang diartikan sebagai proses industrialisa-si.
qi : nilai output (PDRB) sektor i daerah r (kabupa- Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui
ten/kota); kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur da-
qr : PDRB total semua sektor di daerah r (provinsi); lam permintaan konsumen, total PDRB, ekspor, dan
Qi : nilai output (PDRB) sektor i nasional; kesempatan kerja.
Qn : PDRB total di semua sektor secara nasional. Untuk mengukur seberapa cepat suatu dae-rah
mengalami transformasi perekonomian, da-pat
Sedangkan DLQ adalah modifikasi dari SLQ de-
menggunakan Indeks Transformasi Struktu-ral
ngan mengakomodir laju pertumbuhan keluaran (ITS) (Hill et al. (2009) dalam Kuncoro & Idris,
sektor ekonomi dari waktu ke waktu. Rumus DLQ 2010: 179). ITS digunakan untuk melihat
(Kuncoro & Idris, 2010: 178): pergeser-an peran masing-masing sektor
p1 gi jq{p1 gjq IPPSi j terhadap PDRB kabupaten/kota.
Rumus ITS (Kuncoro & Idris, 2010: 179) adalah:
DLQi j p1 Giq{p1 Gjq IPPSi (2)
dengan: ITS ¸|shareitahun terakhir shareitahun awal| (3)
dengan:
DLQi j : indeks potensi sektor i di regional;
gi j : laju pertumbuhan sektor i di regional; 5. : 9 sektor
(k) j : rata-rata laju pertumbuhan sektor di ekonomi; ° : jumlah;
regional; Gi : laju pertumbuhan sektor i di sharei : sumbangan sektor ke-i.
nasional;
G : rata-rata laju pertumbuhan sektor nasional di
nasional;
Hasil dan Analisis
IPPSi j : indeks potensi pengembangan sektor i di
regional;
IPPSj : indeks potensi pengembangan sektor i di
Capaian Pembangunan Pulau
nasional. Kaliman-tan
Pulau Kalimantan adalah sebuah pulau yang ter-
Tabel 4: Klasifikasi Sektor Berdasarkan Gabungan letak di bagian tengah Indonesia dan merupakan
Nilai SLQ dan DLQ pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland
dan Papua. Pulau Kalimantan merupakan pulau ter-
Kriteria SLQ ¡ 1 SLQ 1 besar kedua di Indonesia dengan luas seluruhnya
DLQ ¡ 1 Unggulan Andalan 2
DLQ 1 Prospektif Tertinggal 546.559,76 km atau 29,38% luas wilayah Indone-
Sumber: Kuncoro & Idris (2010: 178) sia. Secara administratif, Pulau Kalimantan terbagi
dalam 4 provinsi dengan 48 kabupaten dan 9 kota.
Perkembangan pembangunan di Pulau Kaliman-tan
dapat diukur melalui perbandingan bebera-pa
Transformasi Struktural
indikator ekonomi sosial seperti Indeks Pemba-
Pembangunan merupakan suatu proses transfor- ngunan Manusia (IPM), laju pertumbuhan ekonomi,
masi yang ditandai dengan perubahan struktural, angka penggangguran, dan angka kemiskinan. Ki-
yakni perubahan yang terjadi pada landasan kegi- nerja pembangunan ekonomi di Pulau Kalimantan
atan ekonomi dan pada kerangka susunan ekono- JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
mi masyarakat yang bersangkutan. Pertumbuhan
88 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...
Gambar 2: Perbandingan Tiga Indikator Sosial Ekonomi Pulau Kalimanta Tahun 2008–2012
Sumber: BPS (2008–2012), diolah
selama lima tahun terakhir menunjukkan perubah-an Klasifikasi Wilayah dan Penentuan
yang cukup baik (Gambar 2 dan Gambar 3). Hal ini Pusat Pertumbuhan
ditunjukkan dari nilai pertumbuhan ekono-mi yang
mengalami perubahan cukup signifikan, namun nilai Tipologi Kabupaten/Kota
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) cenderung
Berdasarkan hasil analisis Tipologi Kabupaten/Kota
meningkat, sedangkan angka penggang-guran
(non-migas) di Pulau Kalimantan (Gambar 5) di-
(Tingkat Pengangguran Terbuka/TPT) dan angka
peroleh bahwa 14 kabupaten/kota termasuk dalam
kemiskinan cenderung menurun.
daerah cepat maju dan tumbuh, 8 kabupaten/kota
merupakan daerah berkembang cepat, 5 kabupa-
ten/kota termasuk dalam daerah maju tertekan, dan
Pulau Kalimantan memiliki posisi yang cukup 28 daerah merupakan daerah tertinggal. Mayori-tas
strategis di koridor nasional, regional ASEAN, dan kabupaten/kota yang termasuk dalam daerah maju
global. Dalam konteks nasional, Pulau Kalimantan cepat tumbuh berasal dari Provinsi Kaliman-tan
memiliki potensi sumber daya alam yang cukup Timur, sedangkan mayoritas daerah tertinggal
besar dengan keunggulan kompetitif pada sektor berasal dari Provinsi Kalimantan Tengah.
pertambangan (minyak, gas, emas, batu bara), ke- Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah su-atu
hutanan (kayu), perkebunan (sawit, karet), serta lokasi yang memiliki banyak fasilitas dan ke-
perikanan laut dan darat. Pulau Kalimatan juga mudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of
memiliki kekayaan cadangan minyak bumi, gas, batu attraction), yang menyebabkan berbagai macam
bara, dan biji besi terbesar di Indonesia, serta usaha tertarik untuk melakukan kegiatan ekonomi di
kawasan hutan produksi terluas di Indonesia. Dari tempat tersebut dan masyarakat senang datang
produktivitasnya, wilayah Kalimantan berada di untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di kota ter-
nomor empat sebagai produsen bauksit terbesar di sebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi
dunia dan pengekspor batu bara di beberapa nega- antara usaha-usaha (Tarigan (2005) dalam Sugiyan-
ra ASEAN. Hasil perkebunan kelapa sawit wilayah to, 2010: 204). Sebagaimana data yang diperoleh
Kalimantan menjadi salah satu potensi yang da-pat dari Bappenas (2012), pusat-pusat pertumbuhan
memberikan kontribusi pada tingkat nasional ekonomi di Pulau Kalimantan terdapat di empat ibu
maupun ASEAN. kota provinsi, yaitu kota Pontianak, Palangka-raya,
Banjarmasin, dan Samarinda. Keempat kota
tersebut merupakan pusat kegiatan-kegiatan eko-
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 32 Tahun nomi utama di KE Kalimantan dan Pusat Kegiatan
2011, Pemerintah Indonesia menyusun Masterplan Nasional (PKN). PKN adalah kawasan perkotaan
Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala inter-
Indonesia (MP3EI). Masterplan ini berisi arahan nasional, nasional, atau beberapa provinsi. Selain
strategis dalam percepatan dan perluasan ekonomi itu, terkait dengan naskah MP3EI 2011–2015,
Indonesia untuk periode 15 tahun dari tahun 2011 Peme-rintah telah menetapkan ibu kota-ibu kota
sampai 2025. Berkaitan dengan MP3EI tersebut, se- provinsi di Indonesia sebagai pusat pertumbuhan
suai dengan kondisi sumber daya dan geografis ekonomi di masing-masing koridor ekonomi. Hal ini
Pulau Kalimantan, tema pengembangan Koridor sema-kin menguatkan bahwa pusat-pusat
Ekonomi Kalimantan dalam MP3EI adalah sebagai pertumbuhan ekonomi di Pulau Kalimantan terdapat
”Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan di empat ibukota Provinsi (Gambar 6).
Lumbung Energi Nasional”. Penetapan Kori-dor
Ekonomi (KE) Kalimantan sebagai pilar energi Autokorelasi Spasial
nasional tidak terlepas dari potensi migas dan ba-tu
bara. Tahun 2008, cadangan minyak mentah dan Moran’s Scatterplot menunjukkan pola hubungan
batu bara di Pulau Kalimantan masing-masing pendapatan per kapita antar-kabupaten/kota. Un-tuk
mencapai 9,3% dan 49,6% dari cadangan batu bara melihat adanya autokorelasi spasial kabupa-ten/kota
nasional. Kegiatan-kegiatan ekonomi utama di Ko- di Pulau Kalimantan, dapat dilihat dari hasil
ridor Ekonomi Kalimantan berpusat di empat kota perhitungan nilai Moran’s I variabel PDRB per
pusat ekonomi, yaitu kota Pontianak, Palangkaraya, kapita. Nilai Moran’s I dalam penelitian ini dihitung
Banjarmasin, dan Samarinda. menggunakan matrik penimbang dengan metoda
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
90 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...
Gambar 4: Peta Daya Saing Posisi Strategis Wilayah Pulau Kalimantan di Koridor Nasional, Regional, dan Global
Sumber: Bappenas (2011)
Gambar 5: Tipologi Kabupaten/Kota di Pulau Kalimantan Menurut PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tanpa
Migas Tahun 2000–2012
Sumber: BPS (2000–2012), diolah
queen contiquity orde 3. Perlakuan khusus diberikan ten ini bertumpu pada sektor pertambangan dan
pada kabupaten/kota yang tidak memiliki daerah penggalian dengan kontribusi terhadap PDRB Ka-
tetangga (neighborless), yaitu Kota Tarakan. Di kota bupaten Kutai Timur berkisar antara 81% sampai
ini diberikan penambahan daerah terdekat pada 89% selama kurun waktu tahun 2000–2012.
matriks penimbang wilayahnya. Seperti dijelaskan sebelumnya, pusat pertumbuh-an
Berdasarkan hasil Moran’s Scatterplot, diperoleh dapat mendorong spread e ect (pengaruh positif) dan
bahwa terdapat 12 kabupaten/kota termasuk dalam backwash e ect (pengaruh negatif) terhadap dae-rah di
kuadran I (high-high) dan 34 kabupaten/kota dalam sekitarnya. Kabupaten Kutai Timur merupa-kan pusat
kuadran III (low-low). Daerah-daerah yang terma-suk pertumbuhan baru di Provinsi Kalimant-an Timur.
dalam kuadran I dan kuadran III memiliki arti bahwa Kabupaten tersebut mampu memberi pengaruh positif
daerah-daerah dengan PDRB per kapita ting-gi akan atau spread e ect terhadap daerah di sekitarnya,
dikelilingi daerah-daerah dengan PDRB per kapita seperti Kabupaten Berau yang berba-tasan langsung
yang juga tinggi, dan daerah-daerah dengan PDRB dengan Kabupaten Kutai Timur. Hal ini terlihat dari
per kapita rendah akan dikelilingi daerah-daerah PDRB per kapita Kabupaten Berau merupakan tertinggi
dengan PDRB per kapita yang juga rendah. kedua se-Kalimantan setelah Kabupaten Kutai Timur
Kabupaten/kota yang termasuk dalam kuadran I selama periode tahun 2000– 2012. Kontribusi tertinggi
didominasi kabupaten/kota dari Provinsi Kaliman-tan terhadap PDRB berasal dari sektor pertambangan dan
Timur dengan rata-rata PDRB per kapitanya di atas penggalian, yaitu sebesar 60,68% pada tahun 2012.
rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota se- Hal ini didukung pula dengan keberadaan PT. Berau
Kalimantan. Coal, salah satu perusahaan penambangan batu bara
Nilai Moran’s I diperoleh sebesar 0,342711 (po- terbesar di In-donesia. Tiga kabupaten lain yang juga
sitif), artinya terdapat autokorelasi spasial po-sitif berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur dan
antar-kabupaten/kota. Autokorelasi spasi-al positif memiliki nilai LISA tinggi adalah Kabupaten Malinau,
tersebut menunjukkan bahwa antar- Kabupa-ten Kutai Kartanegara, dan Kota Bontang.
kabupaten/kota di Pulau Kalimantan memiliki kee- PDRB per kapita ketiga kabupaten ini masih di bawah
ratan hubungan berdasarkan variabel PDRB per PDRB per kapita Kabupaten Berau. Perekonomi-an
kapitanya. 9 kabupaten/kota di Pulau Kaliman-tan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Malinau
memiliki autokorelasi spasial dan 46 kabupa- bertumpu pada sektor pertambangan dan penggalian,
ten/kota lainnya tidak terdapat autokorelasi sedangkan sektor industri pengolahan merupakan
spasial (Gambar 8). sektor unggulan di Kota Bontang.
Untuk melihat klasterisasi spasial di Pulau Kali-
mantan, digunakanlah LISA Cluster Map. Dari hasil Kabupaten/kota yang memiliki nilai LISA rendah
LISA Cluster Map (Gambar 8) diperoleh dua klaster adalah daerah-daerah yang terletak di bagian timur
yang terbentuk, yaitu di bagian timur dan barat Pulau Provinsi Kalimantan Barat, meliputi Kabupaten Se-
Kalimantan. Hasil ini akan digabung dengan peta kadau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Melawi.
percentil pada Gambar 9 dan diperoleh pusat Kabupaten Sekadau merupakan kabupaten peme-
pertumbuhan baru di Provinsi Kalimantan Timur, karan dari Kabupaten Sanggau, sedangkan Kabu-
yaitu Kabupaten Kutai Timur. Letak geografis Kabu- paten Melawi merupakan kabupaten pemekaran dari
paten Kutai Timur cukup strategis berada pada jalur Kabupaten Sintang. Tiga kabupaten tersebut
poros regional lintas Trans-Kalimantan dan poros memiliki PDRB per kapita terendah se-Kalimantan.
segitiga pertumbuhan BONSA SEMAWA (Bontang- Rendahnya PDRB per kapita daerah-daerah terse-
Samarinda-Sebulu-Muara Wahau), TANRE MAWA but dipengaruhi oleh letak geografis wilayah yang
(Tanjung Redeb-Muara Wahau), dan PANDARONG mana kondisi topografi ketiga wilayah tersebut
(Balikpapan-Samarinda-Tenggarong). Kabupaten sebagian besar berupa perbukitan.
Kutai Timur dikenal sebagai penghasil batu bara Dari hasil G* Cluster Map (Gambar 10) diperoleh
terbesar di Indonesia. Kebutuhan dunia terhadap bahwa klaster di bagian timur Pulau Kalimantan,
sumber daya mineral dan migas yang cukup ting-gi, yang terdiri dari Kabupaten Malinau, Kabupaten
ditambah dengan mulai berkurangnya sumber- Kutai Kartanegara, Kota Bontang, Kabupaten Kutai
sumber mineral dan migas di wilayah lain men- Timur, dan Kabupaten Berau merupakan daerah hot
jadikan Kabupaten Kutai Timur berpeluang besar spot, artinya terdapat konsentrasi pertumbuhan yang
terhadap pasar internasional. Besarnya potensi ba- tinggi di lima daerah tersebut. Klaster yang terdiri
han tambang membuat struktur ekonomi kabupa- dari 3 kabupaten di Provinsi Kalimantan
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 93
Gambar 8: LISA Cluster Map PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012
Sumber: Hasil Pengolahan dengan GeoDa
Gambar 9: Pola Spasial PDRB per Kapita Non-Migas Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012
Sumber: Hasil Pengolahan dengan GeoDa
Gambar 10: G* Cluster Map PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012
Sumber: Hasil Pengolahan dengan GeoDa
Barat, meliputi Kabupaten Sekadau, Kabupaten Beberapa sektor ekonomi yang tidak menonjol di Pulau
Sintang, dan Kabupaten Melawi, serta 2 kabupaten Kalimantan akan tetapi di tingkat nasional menonjol,
di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu Kabupaten seperti sektor listrik, gas, dan air bersih serta sektor
Tapin dan Kabupaten Balangan merupakan daerah pengangkutan dan komunikasi yang mana kedua sektor
cold spot, artinya kelima daerah tersebut memiliki tersebut kurang menonjol di Pulau Kalimantan akan
konsentrasi pertumbuhan yang rendah. tetapi di tingkat nasional menonjol. Sektor yang dapat
dipacu menjadi kegi-atan yang dominan adalah sektor
bangunan, sektor perdagangan, sektor keuangan, dan
Analisis Overlay sektor jasa-jasa.
Berdasarkan hasil analisis overlay, Pulau Kaliman- Dari hasil analisis overlay kabupaten/kota diper-
tan sebagaimana ditunjukkan oleh nilai indeks LQ oleh bahwa sektor pertambangan dan penggalian
(yaitu SLQ, rasio pertumbuhan wilayah (RPs), dan bernotasi positif untuk ketiga komponen di lima
rasio pertumbuhan referensi (RPR)) diperoleh bah- kabupaten, artinya sektor ini mempunyai pertum-
wa tidak ada satupun sektor ekonomi di Pulau buhan sektoral yang tinggi di Pulau Kalimantan.
Kalimantan termasuk dalam kriteria pertama yang Pertumbuhan dan kontribusi sektoral di lima kabu-
bernotasi positif untuk ketiga komponen (+++), arti- paten ini juga lebih tinggi (lihat Tabel 7). Dengan
nya bahwa Pulau Kalimantan tidak memiliki sektor kata lain, sektor ini memiliki potensi daya saing
yang mempunyai pertumbuhan dan kontribusi sek- kompetitif dan komparatif yang lebih unggul hanya
toral yang lebih tinggi dari tingkat nasional (Tabel 5). di lima kabupaten, yaitu di Kabupaten Lamandau
Dengan kata lain bahwa Pulau Kalimantan tidak (Provinsi Kalimantan Tengah), Kabupaten Paser,
memiliki sektor dengan potensi daya saing kompe- Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai
titif dan komparatif yang lebih unggul dibanding Timur, dan Kabupaten Berau (Provinsi Kalimantan
kegiatan yang sama di tingkat nasional. Timur).
Perekonomian Pulau Kalimantan ditopang oleh dua
sektor spesialis, yaitu sektor pertanian dan sektor Transformasi Struktural
pertambangan, yang mana kedua sektor ini hanya
menonjol di Pulau Kalimantan. Sektor indus-tri Transformasi struktural merupakan proses peru-
pengolahan merupakan sektor yang memiliki notasi bahan struktur perekonomian dari sektor pertanian
negatif pada ketiga komponen, artinya, sek-tor ini ke sektor industri, perdagangan, dan jasa, yang
tidak potensial di Pulau Kalimantan baik dari kriteria mana masing-masing perekonomian akan menga-
pertumbuhan maupun kriteria kontribusi. lami transformasi yang berbeda-beda. Indeks tran-
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 95
Gambar 11: Perubahan Struktural Sektoral Kabupaten/Kota di Pulau Kalimantan Tahun 2000–2012
Sumber: Hasil Pengolahan dengan SPSS
sformasi struktural (ITS) digunakan untuk melihat komunikasi, sektor keuangan, dan sektor jasa-jasa.
pergeseran peran masing-masing sektor terhadap
PDRB kabupaten/kota. Gambar 11 menunjukkan
bahwa transformasi struktural di Pulau Kaliman-tan Kesimpulan
terjadi di 10 kabupaten/kota yang tersebar di 3
provinsi, kecuali Provinsi Kalimantan Tengah. Ke- Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil
sepuluh kabupaten tersebut adalah Kabupaten Pon- analisis dalam penelitian ini adalah sebagai ber-ikut.
tianak, Kabupaten Melawi, Kota Pontianak, Kabu- Pertama, berdasarkan hasil analisis tipologi
paten Barito Kuala, Kota Banjarmasin, Kabupaten kabupaten/kota dan autokorelasi spasial Moran’s I
Kutai Kartanegara, Kabupaten Malinau, Kabupaten diperoleh bahwa sebagian besar kabupaten/kota di
Bulungan, Kabupaten Nunukan, dan Kota Samarin- bagian timur Pulau Kalimantan termasuk dalam
da. Perubahan struktural tercepat terjadi di Kabu- daerah cepat maju tumbuh. Konsentrasi pertum-
paten Malinau (Provinsi Kalimantan Timur). Hal ini buhan ekonomi di Pulau Kalimantan tersebar di
terlihat dari nilai ITS-nya tertinggi dibandingkan bagian timur dan barat. Klaster di bagian timur Pulau
dengah kabupaten lainnya. Struktur perekonomi-an Kalimantan, meliputi Kabupaten Malinau, Kabupaten
Kabupaten Malinau menunjukkan transformasi dari Kutai Kartanegara, Kota Bontang, Kabu-paten Kutai
sektor pertanian ke sektor pertambangan dan Timur, dan Kabupaten Berau memiliki konsentrasi
penggalian. pertumbuhan hot spot (klasterisasi ting-gi).
Berdasarkan hasil analisis LQ (SLQ dan DLQ) Pulau Sedangkan kabupaten/kota yang terdapat di klaster
Kalimantan tahun 2000–2012 (Tabel 6) diper-oleh bagian barat Pulau Kalimantan, meliputi Kabupaten
bahwa terjadi perubahan kategori beberapa sektor. Sekadau, Kabupaten Sintang, dan Kabu-paten
Nilai SLQ dan DLQ digunakan untuk meli-hat Melawi memiliki konsentrasi pertumbuhan cold spot
apakah sektor-sektor ekonomi termasuk dalam (klasterisasi rendah).
kategori sektor unggulan, prospektif, andalan, atau Kedua, Kota Pontianak, Kota Palangkaraya, Ko-ta
tertinggal. Sektor pertanian mengalami despesi- Banjarmasin, dan Kota Samarinda merupakan pusat
alisasi (penurunan) kategori sektoral dari sektor pertumbuhan ekonomi di Pulau Kalimantan
unggulan menjadi sektor prospektif. Hal ini dise- sebagaimana ditetapkan dalam MP3EI. Pusat-pusat
babkan selama periode tahun 2000–2012, kontribusi pertumbuhan di Pulau Kalimantan tidak selalu bera-
sektor ini menurun sekitar 9,4% di hampir selu-ruh da di pusat ibu kota provinsi. Dua ibu kota provinsi,
kabupaten/kota di Pulau Kalimantan kecuali di Kota yaitu Kota Palangkaraya dan Kota Samarinda mam-
Pontianak (Provinsi Kalimantan Barat). pu menghasilkan spread e ect bagi daerah
Sektor pertambangan dan penggalian mengala-mi sekitarnya dan mendorong munculnya pusat
spesialisasi (peningkatan) kategori sektoral dari pertumbuhan baru, yaitu Kabupaten Kotawaringin
sektor prospektif menjadi sektor unggulan. Dari Barat, Kota Ba-likpapan, dan Kabupaten Kutai
enam kabupaten/kota penyumbang terbesar di sek- Timur, yang mana ketiga kota tersebut termasuk
tor ini, hanya Kabupaten Lamandau dan Kabupaten dalam daerah cepat maju dan tumbuh.
Kutai Kartanegara yang mengalami peningkatan Ketiga, Kabupaten Kotawaringin Barat dalam ska-la
pangsa. Sektor ini mengalami penurunan dalam nasional dan regional mempunyai fungsi sebagai
penyerapan tenaga kerja yang mana rata-rata te- pusat kegiatan disribusi barang dan jasa untuk wi-
naga kerja beralih ke sektor sekunder dan sektor layah sekitarnya sehingga memiliki daya tarik yang
tersier. Walaupun penyerapan tenaga kerja sektor tinggi bagi daerah lain. Kabupaten ini berkembang,
primer mengalami penurunan, tetapi sektor primer selain karena sektor industri pengolahan juga di-
masih merupakan sektor unggulan dan dominan dukung oleh sektor pertanian terutama subsektor
bagi perekonomian Pulau Kalimantan. perkebunan. Keberadaan perkebunan besar kelapa
Sektor bangunan juga mengalami spesialisasi ka- sawit dan dua perusahaan kilang minyak sawit, serta
tegori dari kategori sektor tertinggal menjadi sektor didukung beberapa kawasan strategis, seperti Pusat
andalan. Aktivitas sektor ini berlokasi di Kota Ba- Kegiatan Wilayah (PKW) di Kota Pangkal-an Bun
likpapan dan Kota Bontang (Provinsi Kalimantan dan Kawasan Strategis Ekonomi Sektor Unggulan
Timur). Sektor-sektor yang tidak mengalami peru- Agropolitan (pusat pertanian dan per-ikanan darat) di
bahan kategori adalah sektor industri pengolahan, Kecamatan Pangkalan Lada dan Kumai membuat
sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagang- kabupaten ini layak dijadikan pu-sat pertumbuhan
an, hotel, dan restoran, sektor pengangkutan dan baru. Kota Balikpapan tumbuh
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 97
Tabel 6: Klasifikasi Kategori Sektor Non-Migas Pulau Kalimantan (Berdasarkan Hasil LQ), 2000–2012
lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain ka-rena dan Lumbung Energi Nasional”.
didukung oleh pertumbuhan koridor ke Kota Samarinda, Dan kelima, transformasi struktural tidak terjadi di
ke selatan melalui Kabupaten Penajam Paser Utara seluruh kabupaten/kota di Pulau Kalimantan. Hal
dan Kabupaten Paser, penambangan ba-tu bara yang ini disebabkan karena tidak semua kabupa-
semakin meningkat, investasi penting untuk pelabuhan ten/kota memiliki potensi sumber daya alam yang
batu bara, dan Kawasan Industri Kariangau di Teluk melimpah. Perubahan struktural tercepat terjadi di
Balikpapan. Kota Balikpapan merupakan salah satu Kabupaten Malinau (Provinsi Kalimantan Timur).
kota tujuan pengembangan PKN di Pulau Kalimantan Perkembangan ekonomi di kabupaten tersebut
yang akan difokuskan sebagai kota perdagangan atau me-nunjukkan transformasi dari sektor pertanian
jasa dengan opti-malisasi infrastruktur udara dan ke sektor pertambangan dan penggalian.
dikembangkan sebagai pusat pelayanan primer di Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan,
samping Kota Banjarmasin dan Kota Pontianak, maka saran yang dapat penulis sampaikan seba-gai
sedangkan Kota Pangkalan Bun (Kabupaten berikut. Pertama, perlu dilakukan evaluasi dan
Kotawaringin Barat) a-kan dikembangkan sebagai pusat penelitian lebih lanjut tentang penetapan ibu kota-ibu
pelayanan tersier. Kabupaten Kutai Timur telah menjadi kota provinsi sebagai pusat pertumbuhan di Koridor
the gateway to north Indonesia dengan didukung Ekonomi Kalimantan mengingat pusat-pusat
pembangunan pelabuhan regional dan internasional pertumbuhan tidak selalu berada di pusat ibu kota
Maloy. Selain itu terdapat Maloy Trans-Kalimantan provinsi sebagaimana ditetapkan dalam MP3EI.
Economic Zo-ne (MTKZ) seluas 32.800 hektar yang Juga perlu mengkaji kembali tentang pene-tapan
merupakan bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus pengembangan kawasan andalan yang be-lum
(KEK) Ma-loy dan salah satu lokus atau pusat optimal dan penetapan daerah tertinggal. Tin-dak
pembangunan dalam pelaksanaan MP3EI Koridor lanjut dari saran ini terkait dengan instansi-
Kalimantan. instansi: Kementerian Koordinator Bidang Pere-
Keempat, berdasarkan hasil analisis overlay Pulau konomian, Bappenas, Kementerian Pembangun-
Kalimantan diperoleh bahwa tidak ada satupun an Daerah Tertinggal.
sektor di Pulau Kalimantan tergolong dalam sek-tor Kedua, tema pembangunan Koridor Ekonomi (KE)
unggulan yang kompetitif dan komparatif di tingkat Kalimantan dalam naskah MP3EI sebagai sen-tra
nasional. Hanya dua sektor yang menonjol di Pulau produksi dan pengolahan hasil tambang dan
Kalimantan dan tergolong dalam sektor spesialis, lumbung energi nasional perlu dievaluasi kembali,
yaitu sektor pertanian dan sektor per-tambangan. mengingat konsentrasi pertumbuhan di Pulau Kali-
Sedangkan dari hasil analisis overlay kabupaten/kota mantan lebih dominan di bagian timur Kalimantan.
diperoleh bahwa sektor pertam-bangan dan Provinsi Kalimantan Timur memang terkenal kaya
penggalian merupakan sektor potensi-al karena akan migas, batu bara, dan industri besar, dan hal ini
memiliki keunggulan-kompetitif, baik di Pulau tidak terjadi bagi daerah-daerah lain seperti di bagian
Kalimantan maupun di lima kabupaten/kota. Hal ini barat dan tengah. Tindak lanjut dari saran ini
sesuai dengan tema pembangunan Koridor Ekonomi terkait dengan instansi-instansi: Kementerian
Kalimantan dalam naskah MP3EI yaitu ”Pusat Koordinator Bidang Perekonomian, Bappenas.
Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang Ketiga, konektivitas di KE Kalimantan masih ter-JEPI
kendala dengan belum tersedianya infrastuktur jalan Kotawaringin Barat, Kota Balikpapan, dan Kabupa-ten
yang memadai yang menghubungkan satu da-erah Kutai Timur, dapat diberikan perlakuan khusus seperti
dengan daerah lainnya. Salah satunya adalah meningkatkan pendanaan pembangunan dengan
pembangunan jalan Trans-Kalimantan perbatasan melengkapi sarana dan prasarana di pu-sat
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kaliman- pertumbuhan baru tersebut dan perluasan ja-ringan
tan Tengah yang mengalami kendala terkait dengan transportasi, sehingga para investor swasta dapat
permasalahan tumpang tindih jalan dan ketidakpas- tertarik untuk menanamkan modalnya di wi-layah
tian tentang proses percepatan pembangunan jalur tersebut. Tindak lanjut dari saran ini terkait dengan
rel Kereta Api (KA) Lintas Kalimantan Tengah dan instansi-instansi: Kementerian Koordina-tor Bidang
Kalimantan Timur. Untuk itu, perlu dilakukan pe- Perekonomian, Bappenas, Pemerintah Provinsi,
nataan status lahan dan kebijakan penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten/Kota.
penataan ruang melalui penyusunan tata aturan Keenam, program pembangunan di Pulau Ka-
yang terkait dengan perizinan pemanfaatan ruang limantan harus lebih diarahkan pada program-
yang disepakati oleh semua pihak, baik Pemerintah program yang mendorong kinerja sektor pertanian
1
Pusat, Kementerian sektoral , maupun Pemerintah sehingga tidak mengandalkan pada sektor pertam-
Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tindak lan- bangan dan penggalian mengingat nilai produksi
jut dari saran ini terkait dengan instansi-instansi: sektor migas di Pulau Kalimantan dari tahun ke
Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan tahun cenderung menurun. Penataan dasar yang
Umum, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabu- dapat dilakukan pemerintah daerah adalah mening-
paten/Kota. katkan peran sektor pertanian secara luas melalui
Keempat, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Ko-ta pengembangan komoditas yang memiliki peluang
Balikpapan dapat diusulkan untuk ditetapkan se-bagai ekspor, promosi investasi dan perdagangan, serta
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Koridor Ekonomi mengembangkan kawasan ekonomi terpadu atau-
Kalimantan. Posisi kedua daerah ini sa-ngat strategis pun kawasan ekonomi yang didasarkan pada ke-
berada di jalur jalan Trans-Kalimantan dan memiliki terkaitan antar-sektor ekonomi dan kawasan sentra
beberapa kawasan strategis, seperti Pusat Kegiatan produksi melalui pengembangan sektor unggulan
Wilayah (PKW) di Kota Pangkalan Bun dan Kawasan dan potensial. Pembangunan pertanian di Pulau
Strategis Ekonomi Sektor Ung-gulan Agropolitan (pusat Kalimantan ke depan tidak lagi dilakukan secara
pertanian dan perikanan darat) di Kecamatan tradisional, akan tetapi harus lebih diarahkan kepa-
Pangkalan Lada dan Kumai, serta Kawasan Industri da upaya-upaya untuk peningkatan produktivitas,
Kariangau (KIK) di Balik-papan. Selain itu, kedua mutu, nilai tambah produk (value added), dan daya
daerah tersebut memiliki bandara udara dan pelabuhan saing produk (competitiveness). Selanjutnya secara
yang memudahkan dalam mobilisasi barang untuk proposional, peran migas, pertambangan, dan ke-
tujuan domestik maupun mancanegara (ekspor-impor). hutanan sebagai penopang utama perekonomian
Selain itu, terdapat potensi wisata di Kabupaten dikurangi secara bertahap melalui pengembang-an
Kotawaringin Barat, seperti kawasan suaka alam secara intensif sektor-sektor lainnya sehingga
Taman Nasional Tanjung Puting, Tanjung Keluang, perekonomian wilayah Kalimantan dapat terjamin
Suaka Marga Satwa Sungai Lamandau, dan Hutan keberlanjutannya. Tindak lanjut dari saran ini ter-
Lindung. Bali-kpapan adalah pintu gerbang Provinsi kait dengan instansi-instansi: Pemerintah
Kalimantan Timur dengan potensi daya tarik wisata Provin-si dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
yang tinggi. Dalam lingkup nasional. Kota Balikpapan Ketujuh, memperkuat kemitraan dan koordina-si antar-
ditetap-kan sebagai kota Meeting, Incentive, lembaga pemerintah melalui penyusunan regulasi
Convention, and Exhibition (MICE). Tindak lanjut dari untuk mengatur kerja sama antar-sektor pembangunan
saran ini ter-kait dengan instansi-instansi: dan antar-daerah (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota).
Kementerian Koo-rdinator Bidang Perekonomian, Kerja sama tersebut harus didasari dengan
Bappenas, Peme-rintah Provinsi, Pemerintah kesukarelaan dan tidak cenderung mengedepankan
Kabupaten/Kota. ego kewilayahan. Salah satu kegi-atan yang dilakukan
Kelima, untuk mendukung pembangunan di para Gubernur se-Kalimantan pada tahun 2011 hingga
pusat-pusat pertumbuhan baru, yaitu Kabupaten sekarang adalah Forum Kerja sama Revitalisasi dan
Percepatan Pembangun-an Regional Kalimantan
(FKRP2RK). Dalam forum tersebut telah disepakati
O Kementerian yang membidangi urusan/sektor tertentu. Program Pembangunan
JEPI Vol. 16 No. 2 Januari 2016, hlm. 81–104
Pratiwi, M. C. Y. & Kuncoro, M. 99
Bersama Kalimantan yang meliputi bidang infra- di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2003–2007. Jakarta:
struktur, tata ruang, dan sumber daya manusia. Tin- Badan Pusat Statistik.
f) BPS. (2008–2012). Produk Domestik Regional Bruto Tanpa
dak lanjut dari saran ini terkait dengan instansi- Mi-gas Atas Dasar Harga Konstan, Tingkat Kemiskinan,
instansi: Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dan Indeks
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembangunan Ma-nusia (IPM) Menurut Kabupaten/Kota,
Kedelapan, meningkatkan daya tarik investasi da- 2000–2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
g) BPS. (2012). Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-
lam pengembangan komoditi unggulan di daerah Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2008–
tertinggal melalui pemberian insentif dan kemudah- 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
an perizinan, kemudahan akses terhadap lahan bagi h) Danastri, S. (2011). Analisis Penetapan Pusat-Pusat Pertum-
buhan Baru di Kecamatan Harjamukti, Cirebon Selatan.
investor, serta peningkatan ketersediaan infrastruk-
Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
tur. Tindak lanjut dari saran ini terkait dengan i) Kartika, Y. (2007). Pola Penyebaran Spasial Demam
instansi-instansi: Badan Koordinasi Penanaman Berda-rah Dengue di Kota Bogor Tahun 2005. Skripsi.
Modal, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabu- Departemen Stastistika. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
paten/Kota.
Kesembilan, meningkatkan aksesbilitas antar- j) Kosfeld, R. (2006). Spatial Econometrics. Germany: Uni-
versity of Kassel. Diakses dari https://www.uni-kassel.
daerah, khususnya bagi daerah tertinggal dan da- de/fb07/fileadmin/datas/fb07/5-Institute/IVWL/
erah perbatasan melalui peningkatan penyediaan Kosfeld/lehre/spatial/SpatialEconometrics1.pdf. Tanggal
infrastruktur transportasi, penyediaan moda trans- akses 13 Oktober 2014.
portasi perintis pada daerah-daerah yang tidak k) Kosfeld, R. (2011). Data Management and Basic
dapat dijangkau transportasi umum, dan pengem- Mapping with GeoDa. Institut of Economics, University of
Kas-sel. Diakses dari http://studylib.net/doc/6888625/
bangan kerja sama antar-daerah dalam pengem- data-management-and-basic-mapping-with-geoda.
bangan transportasi. Tindak lanjut dari saran ini Tanggal akses 13 Oktober 2014.
terkait dengan instansi-instansi: Kementerian l) Kubis, A., Titze, M., & Ragnitz, J. (2007). Spillover E ects
Pe-kerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, of Spatial Growth Poles - a Reconciliation of Conflicting
Ke-menterian Dalam Negeri, Kementerian Policy Targets?. IWH Discussion Papers Nr. 8/2007. Ger-
Pemba-ngunan Daerah Tertinggal, Badan many: Institut fur¨ Wirtschaftsforschung Halle. Diakses
da-ri http://www.iwh-halle.de/fileadmin/user_upload/
Nasional Pe-ngelola Perbatasan, Pemerintah publications/iwh_discussion_papers/8-07.pdf. Tang-gal
Provinsi, Peme-rintah Kabupaten/Kota. akses 13 Oktober 2014.
m) Kuncoro, M., & Idris, A. N. (2010). Mengapa Terjadi
Grow-th Without Development di Provinsi Kalimantan
Timur?. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 11(2), 172–190.
Daftar Pustaka n) Mushuku, A. & Takuva, R. (2013). Growth Points or
Ghost Towns? Post Independence Experiences of the
Industriali-sation Process at Nemamwa Growth Points in
3. Adams-Kane, J., & Lim, J. J. (2011). Growth Poles and Mul-
Zimbabwe. International Journal of Politics and Good
tipolarity. World Bank Policy Research Working Paper Series,
Governance, 4 (4.4) Quarter IV, 1–27.
5712. The World Bank. Development Economics. Prospect
o) Muta’ali, L. (2003). Studi Penentuan Desa-Desa Pusat
Group. Diakses dari http://documents.worldbank.org/
Per-tumbuhan Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
curated/en/896081468128113149/pdf/WPS5712.pdf.
Maja-lah Geografi Indonesia, 17(1), 33–51.
Tanggal akses 10 September 2014.
4. Ardila, R. (2012). Analisis pengembangan pusat pertum- p) Ogunleye, E. K. (2011). Structural Transformation in Sub-
buhan ekonomi di Kabupaten Banjarnegara. Economics Saharan Africa: The Regional Growth Poles Strategy.
Development Analysis Journal, 1(2), 1–9. Conference Papers. African Economic Confe-rence, 26–
28 October 2011, Addis Ababa, Ethiopia. Diakses dari
5. Bappenas. (2011). Masterplan Percepatan dan Perluasan http://www.uneca.org/sites/default/ files/uploaded-
Pem-bangunan Ekonomi Indonesia 2011–2025. Jakarta: documents/AEC/2011/ogunleye-ssa_
Bappe-nas. Diakses dari http://bappenas.go.id/index.php/ economic_transformation_through_growth_poles_1. pdf.
download_file/view/11060/3437/. Tanggal akses 10 De- Tanggal akses 10 September 2014.
sember 2004. q) Pamungkas, P. B. (2013). Efek Limpahan dari Kutub-
6. Bappenas. (2012). Paparan Deputi Bidang Pengembangan Kutub Pertumbuhan Wilayah Kabupaten dan Kota di
Regional dan Otonomi Daerah Kementerian PPN/Bappenas: Koridor Ekonomi Sulawesi. Tesis. Fakultas Ekonomika
Arah Pengembangan Wilayah Pulau Kalimantan, RPJMN dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
2015– 2019. Jakarta: Bappenas. r) Rahayu, E., & Santoso, E. B. (2014). Penentuan Pusat-Pusat
7. BPS. (1978–2012). Produk Domestik Regional Bruto Pertumbuhan dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten
Atas Dasar Harga Konstan Menurut Provinsi, 1978– Gunungkidul. Jurnal Teknik ITS, 3(2), C290–C295.
2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik. s) Sridhar, K. S. (2006). Local Employment Impact of
8. BPS. (2000–2012). Produk Domestik Regional Bruto Tanpa Growth Centres: Evidence from India. Urban Studies,
Migas Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/Kota, 43(12), 2205– 2235.
2000–2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. t) Sugiyanto. (2010). Penelitian Pengembangan Pusat-Pusat
9. BPS. (2008). Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yang kemudian
direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi tersebut, beberapa peraturan
Pemerintah sudah pula dikeluarkan. Sejak saat itu, pemerintah dan pembangunan daerah di
seluruh Nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal (Sjafrizal, 2014: 14).
Dengan adanya otonomi daerah menimbulkan perubahan yang cukup mendasar dalam
perencanaan pembangunan daerah. Sistem perencanaan pembangunan yang selama ini
cenderung seragam, kemudian mulai berubah dan cenderung bervariasi tergantung pada
potensi dan permasalahan pokok yang dialami oleh daerah yang bersangkutan dan
disesuaikan dengan keinginan aspirasi yang berkembang di daerah.
Menurut Sjafrizal (2014: 14) Perubahan yang terjadi dengan adanya otonomi daerah pada
dasarnya menyangkut dua hal pokok, yaitu: pertama, pemerintah daerah diberikan
wewenangan lebih besar dalam melakukan pengelolaan pembangunan (Desentralisasi
Pembangunan). Kedua, pemerintah daerah diberikan sumber keuangan baru dan
kewenangan pengelolaan keuangan yang lebih besar (Desentralisasi Fiskal). Kesemuanya
ini dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat lebih diperdayakan dan dapat melakukan
kreasi dan terobosan baru dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah
masing-masing sesuai potensi dan aspirasi masyarakat daerah bersangkutan. Hal ini berarti
daerah harus lebih mampu menetapkan skala prioritas yang tepat untuk memanfaatkan
potensi daerahnya masing-masing.
Kabupaten Balangan merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan yang lahir
dari sebuah proses perjalanan panjang dari aspirasi masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan publik yang lebih baik di masa yang akan datang. Wilayah Kabupaten Balangan
dewasa ini tengah berubah dan berkembang cukup pesat. Perubahan yang terjadi antara
lain terlihat di sepanjang kawasan jalur lintas Kalimantan Selatan, termasuk di Kota
Paringin, yang di tandai antara lain oleh
3
terjadinya pertumbuhan penduduk dan kawasan terbangun yang relatif tinggi di wilayah
ini jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Apabila mencermati data kependudukan pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014,
jumlah penduduk kabupaten Balangan bertambah dari 117.088 jiwa (2012) menjadi
119.171 jiwa (2013) atau meningkat sebesar 2 persen. Jumlah penduduk Kabupaten
Balangan dapat dilihat pada tabel berikut.
1 2012 117.088
2 2013 119.171
Sumber: BPS Kabupaten Balangan 2014
Sedangkan perubahan fungsi lahan seiring dengan perubahan/perpindahan pemukiman
penduduk dari luar daerah (migrasi) ke Kabupaten Balangan maupun dalam lingkungan
daerah itu sendiri, banyak di temukan pada beberapa kawasan disepanjang sisi kanan dan
kiri jalur lintas Kalimantan Selatan dengan bermunculannya kawasan-kawasan pemukiman
baru, baik yang di bangun melalui pengembang berupa komplek perumahan, maupun
berupa deretan bangunan tempat tinggal atau ruko (rumah toko) baru milik penduduk yang
di bangun secara perorangan. Perkembangan fisik kawasan dan pertambahan penduduk ini
akan berdampak pada kebutuhan ruang dan aktifitas kebutuhan lainnya di wilayah
kabupaten Balangan. Hal ini menunjukkan cukup pesatnya pertumbuhan dan
perkembangan wilayah di Kabupaten Balangan.
Berdasarkan kecenderungan perkembangan terakhir, maka Kabupaten Balangan di masa
akan datang berpeluang untuk terus berkembang dan lebih maju apabila semua potensi
wilayah yang di miliki kabupaten Balangan dapat di mamfaatkan secara optimal untuk
membangun wilayah, antara lain seperti potensi sumber daya alam yang cukup besar.
Diantara potensi yang menonjol di Kabupaten Balangan disamping sejumlah lahan
pertanian dan industri pengolahan gula merah, adanya deposit pertambangan batu bara dan
penggalian, ada beberapa lokasi di Kabupaten Balangan.
4
Jika dilihat dari keberadaan keberadaan dan kelengkapan sarana prasarana pembangunan
di wilayah Kabupaten Balangan termasuk memadai, tetapi akses masyarakat terhadap
sarana prasarana tersebut masih sangat terbatas, terutama untuk masyarakat pedesaan. Ini
disebabkan karena sebagian besar sarana prasarana tersebut masih terakumulasi di daerah-
daerah perkotaan yakni Kota Paringin sebagai pusat pemerintahan, sehingga daerah sentra
produksi pertanian yang umumnya berada di pedesaan cenderung mengalami kesulitan
dalam memperoleh pelayanan dari fasilitas-fasilitas tersebut, karena interaksinya sangat
terbatas ke pusat-pusat pelayanan tersebut. Hal ini kemudian berdampak pada terjadinya
kesenjangan antar daerah perkotaan dan pedesaan sebagai daerah belakangnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik menganalisis potensi wilayah Kabupaten
Balangan Propinsi Kalimantan Selatan yang dituangkan dalam usulan penelitian yang
berjudul “ANALISIS POTENSI WILAYAH SEBAGAI
PUSAT PERTUMBUHAN DAN PELAYANAN DI KABUPATEN BALANGAN
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN”.
Sumber: Herbert & Thomas, 1982; Johnston, et al., 2000 dalam H.S. Yunus
(2010: 42)
8
penelliti harus mampu menentukan lokasi sampel yang benar-benar mewakili sifat
khas/karakteristik wilayahnya. Hal ini akan dibahas dalam hal regionalisasi/pewilayahan.
Menurut P. Hdjisarosa, 1980 dalam Adisasmita (2011: 60) konsep wilayah dapat
dibedakan ke dalam: (1) wilayah administrasi dan (2) wilayah pengembangan. Wilayah
administrasi adalah wilayah yang mempunyai batas wilayah pemerintahan daerah, yang di
tetapkan dengan peraturan pemerintah/ peraturan daerah, yang dikelompokkan dalam
wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang masing-masing memiliki
ibukota pemerintahan, di mana kedudukan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota)
dan Dewan Perrwakilan Daerah (DPR). Sedangkan, wilayah pengembangan adalah
wilayah, yang luasan wilayahnya tidak ditetapkan bardasarkan batas wilayah administrasi,
atau tidak menggunakan batas wilayah administrasi, tetapi batas-batasnya adalah secara
fungsional, bardasarkan kegiatan interaksi sumberdaya manusia (penduduk), sumberdaya
Alam, sumberdaya modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan
sumberdaya pembangunan lainnya.
Dengan demikian luasan wilayah pengembangan tidak terlalu sama besar dengan wilayah
administrasi, mungkin lebih kecil karena sebagian wilayahnya merupakan pegunungan
yang tinggi atau jurang yang dalam, sehingga tidak dihuni oleh penduduk dan tidak
terjangkau oleh pelayanan jasa distribusi karena belum tersedia fasilitas transportasi.
dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara
abstrak.
Menurut R. Adisasmita (2006: 163), suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan
ababila di tempat tersebut terdapat industri pendorong (propolsive industry) yang berskala
besar, mempunyai kemampuan menciptakan dorongan pertumbuhan yang kuat, dampak
multiplier dan dampak polarisasi lokal yang sangat besar dan tingkat teknologi yang maju.
Lebih lanjut kutub pertumbuhan bukan hanya merupakan lokalisasi industri kunci semata-
mata, tetapi pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang luas ke daerah sekitarnya.
Konsep kutub pertumbuhan merupakan konsep sangat menarik bagi perencanaan wilayah.
Persoalan yang di hadapi dalam penerapan konsep tersebut adalah pemilihan industri
pendorong ataupun industri yang menonjol (leading industry) sebagai penggerak dinamika
pertumbuhan.
Menurut R. Adisasmita (2006: 164) kutub pertumbuhan dapat ditafsirkan dalam dua
pengertian, yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional,
menggambarkan kutub pertumbuhan sebagai suatu kelompok perusahaan, industri atau
unsure-unsur dinamik yang meningkatkan kehidupan ekonomi. Secara geografis.
Menunjukkan kutub pertumbuhan sesungguhnya lebih banyak merupakan daya tarik yang
mengundang berbagai kegiatan untuk menempatkan usahanya di suatu tempat.
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat tiga ciri penting konsep kutub pertumbuhan dapat
dikemukakan yaitu:
(a) Terdapat keterkaitan internal berbagai industri secara teknik dan ekonomi.
(b) Terdapat pengaruh multiplier.
(c) Terdapat konsentrasi geografis
Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendifinisikan kutub
pertumbuhan wilayah sebagai perangkat industri sedang berkembang yang berlokasi di
suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lebih lanjut pengembangan
ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized poles of development). Ia menekankan
pada aspek fungsional, tetapi juga pada aspek geografis yang dilukiskan sebagai suatu
aglomerasi geografis. Teori Bondeville
11
dapat di anggap telah menjembatani terhadap teori spasial terdahulu (Christaller) dan teori
kutub pertumbuhan (Perroux). Perbedaannya, teori Perroux menganggap tata ruang secara
abstrak yang menekankan cirri-ciri regional tata ruang ekonomi, sedangkan menurut
Bondeville tata ruang ekonomi tidak dapat di pisahkan dari tata ruang geografis, lebih
lanjut Bondeville menekankan pada tata ruang polarisasi (R. Adisasmita, 2006: 165).
/ Teknologi sederhana
/ Teknologi madya
/ Teknologi tinggi
Menurut Huisman (1989) penyediaan pelayanan secara efisiensi dan efektif dalam
pembangunan karena dalam perencanaan fisik memberikan kerangka keruangan kegiatan
sosial dan ekonomi. Dengan demikian pelayanan sosial ekonomi masyarakat sangat
diperlukan dalam mendukung pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada kegiatan
sosial ekonomi.
Adapun metode yang dapat digunakan untuk ,menilai tingkat ketersediaan dan fungsi
pelayanan adalah sebagai berikut:
A. Besarnya ketersediaan fasilitas pelayanan dinilai melalui jumlah pelayanan
yang ada di setiap daerah, menggunakan metode skalogram.
B. Fungsi pelayanan merupakan perbandingan antara ketersediaan fasilitas
dengan berbagai standar minimum untuk setiap pelayanan. Informasi-
informasi lain yang diperlukan pada penilaian fungsi pelayanan antara lain
mencakup rasio pelayanan terhadap standar, rasio terhadap pengguna
aktual, rasio terhadap pengguna potensial,dan rasio terhadap penduduk.
sekunder yang dikutip dari kantor Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur dan studi
literatur. Hasil analisis Indeks Gravitasi menunjukkan nilai diatas enam digit yaitu
266.533.959,60 sampai dengan 2.369.861.018,67, hal ini menunjukkan bahwa sarana-
sarana yang tersedia di pusat pertumbuhan digunakan oleh daerah hinterland dan besar
pula fungsi pusat pertumbuhan sebagai pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Hasil
analisis dengan menggunakan analisis Shift Share menunjukan daerah yang termasuk
pergeseran pertumbuhan ekonominya maju adalah Kota/Kabupaten Kediri 0,71% (maju),
Kota/Kabupaten Blitar 87,56% (maju), Kabupaten Nganjuk 12,25% (maju), Kabupaten
Tulungagung 0,39% (maju) dan Kabupaten Trenggalek 12,32% (maju), sedangkan
Kabupaten Jombang sebesar -25,15% (lambat). Hasil analisis Indeks Williamson
menunjukkan angka kurang mendekati satu yaitu 0,41 sampai dengan 0,62, yang berarti
kesenjangan pendapatan antara pusat pertumbuhan dengan hinterland relatif kecil. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.2. dibawah ini.
Judul Analisis Pertumbuhan Ekonomi Peranan Pusat Pertumbuhan Analisis Potensi Wilayah
Wilayah Di Kabupaten Wonogiri Dan Kesenjangan Pendapatan Sebagai Pusat
Tahun 2007-2011 Antar Wilayah di Satuan Pertumbuhan dan
Wilayah Pembangunan Pelayanan di Kabupaten
(SWP) VII Propinsi Jawa Balangan Provinsi
Timur Tahun 2000-2005 Kalimantan Selatan
Tujuan mengkaji tentang pertumbuhan untuk mengetahui seberapa (1) mengetahui kecamatan
ekonomi di Kabupaten Wonogiri besar peranan pusat yang paling optimal
pada tahun 2007-2011 dan pertumbuhan dalam sebagai pusat pelayanan di
menganalisa tentang pertumbuhan memberikan spread effect Kabupaten Balangan
ekonomi di Wonogiri melalui kekuatan daya Provinsi Kalimantan
tariknya bagi wilayah Selatan.
hinterland, pergeseran total (2) mengetahui Kecamatan
pertumbuhan ekonomi antar yang paling optimal
wilayah dan kesenjangan sebagai pusat pertumbuhan
pendapatan antar wilayah yang mampu
pada tahun 2000 sampai menggerakkan kawasan
dengan tahun 2005 sekitarnya di Kabupaten
Balangan Provinsi
Kalimantan Selatan.
Metode dan metode Sturgess, uji Chi square, Analisis Indeks Gravitasi Analisis Gravitasi dan
Analisis dan metode Location Quotient. untuk mengetahui daya tarik Skalogram untuk
Variabel pusat pertumbuhan dengan menentukan kecamatan
hinterland, analisis Shift yang paling optimal
Share digunakan untuk sebagai pusat pertumbuhan
mengetahui kontribusi dan pusat pelayanan dalam
pertumbuhan ekonomi dan kerangka perencanaan
analisis Indeks Williamson pembangunan wilayah di
untuk mengetahui Kabupaten Balamgn
kesenjangan pendapatan Provinsi Kalimantan
Selatan
Hasil Hierarki tinggi terdapat pada satu Hasil analisis Indeks
kecamatan yaitu Kecamatan Gravitasi menunjukkan nilai
Baturetno, dan hierarki sedang diatas enam digit yaitu
terdapat pada Kecamatan 266.533.959,60 sampai
Pracimantoro, Kecamatan dengan 2.369.861.018,67, hal
Tirtomoyo, Kecamatan ini menunjukkan bahwa
Wuryantoro, Kecamatan Selogiri, sarana-sarana yang tersedia
Kecamatan Wonogiri, Kecamatan di pusat pertumbuhan
Ngadirojo, Kecamatan Sidoharjo, digunakan oleh daerah
Kecamatan Purwantoro, hinterland dan besar pula
Kecamatan Bulokerto, Kecamatan fungsi pusat pertumbuhan
Slogohimo, dan Kecamatan sebagai pusat pelayanan bagi
Jatisrono. Sedangkan hierarki daerah sekitarnya. Hasil
rendah terdapat di kecamatan analisis dengan
Paranggupito, Kecamatan menggunakan analisis Shift
Giritontro, Kecamatan Giriwoyo, Share menunjukan daerah
Kecamatan Batuwarno, yang termasuk pergeseran
Kecamatan Karangtengah, pertumbuhan ekonominya
Kecamatan Nguntorongadi, maju adalah Kota/Kabupaten
Kecamatan Eromoko, kecamatan Kediri 0,71% (maju),
Manyaran, Kecamatan Jatiroto, Kota/Kabupaten Blitar
Kecamatan kismantoro, 87,56% (maju), Kabupaten
Kecamatan Pehpelem, Kecamatan Nganjuk 12,25% (maju),
Jatipurno, dan Kecamatan Kabupaten Tulungagung
Girimarto. 0,39% (maju) dan Kabupaten
Trenggalek 12,32% (maju),
sedangkan Kabupaten
Jombang sebesar -25,15%
(lambat). Hasil analisis
Indeks Williamson
menunjukkan angka kurang
mendekati satu yaitu 0,41
sampai dengan 0,62, yang
berarti kesenjangan
pendapatan antara pusat
pertumbuhan dengan
hinterland relatif kecil
Sumber: Penulis, 2015
Dalam hal menentukan pusat pertumbuhan ekonomi yang optimal di Kabupaten Balangan,
digunakan metode analisis model gravitasi dan analisis skalogram. Analisis model
gravitasi digunakan terhadap data sekunder berupa jumlah penduduk pada masing-masing
kecamatan/subwilayah dalam Kabupaten Balangan, sedangkan analisis skalogram
digunakan terhadap data sekunder berupa tingkat perekonomian wilayah tersebut dengan
menggunakan variabel luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah pasar, jumlah bank, jumlah
koperasi, produksi pertanian, produksi perkebunan, populasi ternak, dan produksi
perikanan. Di sini, temuan hasil analisis model gravitasi akan dibandingkan dan hasil
analisis skalogram, sehingga diketahui subwilayah/ kecamatan mana yang optimal sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi, karena memiliki daya tarik wilayah yang tinggi atau menjadi
tujuan perpindahan penduduk dan pergerakan arus barang/jasa, disamping juga sekaligus
memiliki potensi ekonomi yang tinggi dalam mengemban fungsi perekonomian suatu
ibukota.
Adapun untuk menentukan pusat pelayanan masyarakat yang optimal, digunakan metode
analisis skalogram terhadap data sekunder berupa sejumlah data potensi sumberdaya
manusia meliputi; variabel jumlah guru, murid, dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis,
bidan, perawat, dukun bayi/dukun kampung, potensi sumberdaya buatan meliputi; variabel
sekolah (fasilitas pendidikan), fasilitas kesehatan, tempat ibadah, fasilitas air bersih
(kapasitas PDAM terpasang), fasilitas energi/penerangan (daya listrik terpasang), dan
fasilitas komunikasi (kantor pos dan telekomunikasi), antar kecamatan dalam wilayah
Kabupaten Balangan.
Kemudian, dilakukan pendekatan analisis kualitatif. Setelah melakukan analisis dan
pembahasan secara berurutan dari tujuan satu dan dua, maka dilakukan proses sintesis
terhadap interpretasi atas temuan hasil analisis dan pembahasan pada tujuan satu dan dua,
sehingga akhirnya dapat memberikan jawaban permasalahan ketiga sebagai objective hasil
penelitian ini. Kerangka pemikiran penelitian konseptual dapat dilihat pada gambar 1.1.
berikut.
18
Rekomendasi
Keterangan :
Tij = Daya tarik atau banyaknya trip dari sub-wilayah i ke
sub-wilayah j,
Pi = Penduduk subwilayah i ,
Pj = Penduduk subwilayah j,
dij = Jarak antara subwilayah i dengan subwilayah j,
/ = Pangkat dari dij menggambarkan cepatnya jumlah trip menurun
seiring dengan pertambahan jarak. Nilai b dapat dihitung tetapi bila tidak maka
sering digunakan b = 2,
11 = Sebuah bilangan konstanta berdasarkan pengalaman, juga dapat
dihitung seperti b (Tarigan, 2010:105).
21
Interval Nilai =
Nilai Tertinggi − Nilai Terendah
3
= Wilayah adalah suatu permukaan yang luas, yang dihuni manusia yang
melakukan interaksi kegiatan dengan sumberdaya alam,sumberdaya
modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan sumberdaya
pembangunan lainnya, untuk mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi dan
sosial bagi masyarakat (Adisasmita, 2011: 59)
= Potensi wilayah adalah segala sesuatu yang dimiliki suatu wilayah yang
memungkinkan untuk dikembangkan sehingga mampu memberi nilai
tambah pada daerah tersebut
dapat ditentukan hierarki pusat pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah.
23
Gravitasi adalah salah satu model yang digunakan untuk
menghitung interaksi antar kota
PENDAHULUAN
Dalam proses pembangunan ekonomi nasional, tidak terlepas dari pembangunan ekonomi
daerah atau regional. Pembangunan ekonomi daerah adalah proses yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan
pemerintah daerah dan sektor swasta dalam menciptakan lapangan kerja baru dan perangsang
pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi daerah dipengaruhi
oleh keunggulan komparatif suatu daerah, spesialisasi wilayah, serta potensi ekonomi yang
dimiliki oleh daerah tersebut (Arsyad, 1999).
Istilah pola keruangan erat kaitannya dengan istilah-istilah seperti pemusatan, penyebaran,
pencampuran dan keterkaitan, serta posisi atau lokasi dan lain-lain. Istilah pola pemanfaatan
ruang berkaitan dengan aspek-aspek distribusi spasial sumberdaya dan aktivitas
pemanfatannya menurut lokasi, setiap jenis aktivitas menyebar dengan luas yang berbeda-
beda dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula. Dalam cara pandang yang lain,
sumberdaya dan aktivitas manusia yang memanfaatkannya terkonsentrasi dengan tingkat
yang berbeda-
1
2
beda. Secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya digambarkan dalam berbagai
bentuk peta (Ernan Rustiadi, Sunsun Saefulhakim, Dyah R. 2009).
Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari keunggulan
atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam
memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda.
Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana
kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini
akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar
wilayah atau daerah. Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang
hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang.
Kondisi topografi di Kabupaten Ngawi cukup bervariasi yaitu topografi datar, bergelombang,
berbukit dan pegunungan tinggi dengan ketinggian 40 – 3.3031 meter dari atas permukaan air
laut. Secara umum, di bagian tengah adalah derah dataran yang merupakan pertanian subur.
Kabupaten Ngawi termasuk daerah yang beriklim tropis, dan hanya mengenal dua musim yaitu
musim kemarau dan musim penghujan. Kabupaten Ngawi merupakan Kabupaten yang
3
memiliki banyak sungai. Sungai besar maupun kecil mengelilingi seluruh daerah Ngawi. Ada 2
(dua) sungai besar yang melewati Ngawi yaitu Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun
sebagai pendukung dalam pengairan pertanian. Jenis tanah didominasi oleh jenis tanah Grumusol
sekitar 43% yang merupakan tanah subur dan sesuai untuk pertanian. Jumlah penduduk
Kabupaten Ngawi akhir tahun 2013 adalah 915.493 jiwa, terdiri dari 449.947 penduduk laki-laki
dan 465.546 penduduk perempuan.
Prioritas pengembangan sektor ekonomi di Kabupaten Ngawi adalah sektor pertanian yang
merupakan kategori sektor unggulan dan berpotensi untuk mengembangkan sektor ekonomi
wilayah. Sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi Kabupaten Ngawi. Dari 129.598
ha luas wilayah Kabupaten Ngawi 72% diantaranya berupa lahan sawah, hutan dan tanah
perkebunan. Sektor ini menyerap sekitar 76% dari total tenaga kerja yang ada. Dari 5 subsektor
pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan), subsektor
tanaman pangan khususnya komoditi padi merupakan penyumbang terbesar terhadap total nilai
produksi pertanian. Sumbangan PDRB terbesar pertama tahun 2009 di Kabupaten Ngawi adalah
sektor pertanian sebesar 36,91% (SPKD Ngawi, 2010). Sektor pertanian masih menjadi sektor
utama yang menyerap tenaga kerja di kabupaten ngawi. berdasarkan sakernas tahun 2012,
lapangan pekerjaan masyarakat ngawi di sektor pertanian sebesar 58,53%.
Angka PDRB Ngawi atas dasar harga berlaku tahun 2013 mencapai 10.331,39 milyar rupiah
naik sekitar 12,77 persen dari tahun 2012 yang mencapai 9.161,12 milyar rupiah. Sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan (2000) tahun 2013 mencapai 3.784,07 milyar rupiah, naik sekitar
6,97 % dari tahun sebelumnya yang mencapai 3.537,19 milyar rupiah. Sampai dengan tahun
2013 perekonomian Kabupaten Ngawi masih didominasi sektor pertanian. Sumbangan sektor ini
terhadap total PDRB sampai dengan 2013 sekitar 36,33 persen (tabel
4
1.1). Sektor pertanian menjadi sektor unggulan bagi Kabupaten Ngawi, sumbangan pertanian
pada PDRB Atas Dasar Harga Berlaku terhadap total PDRB selalu diatas 30 persen.
Tabel 1.1 Sumbangan PDRB Kabupaten Ngawi Menurut Lapangan Usaha Atas
Dasar Harga Berlaku Tahun 2009-2013
Lapangan usaha 2009 2010 2011 2012 2013
Pertanian 36,91 36,63 35,72 36,27 36,33
Pertambangan dan penggalian 0,54 0,50 0,49 0,47 0,45
Industri pengolahan 6,20 6,28 6,57 6,59 6,67
Listrik, gas dan air bersih 0,83 0,83 0,85 0,88 0,87
Bangunan 4,73 4,97 5,33 5,24 5,34
Perdagangan, hotel dan restoran 28,05 28,66 29,20 29,29 29,38
Pengangkutan dan komunikasi 2,87 2,87 2,88 2,83 2,85
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 5,56 5,52 5,50 5,52 5,50
Jasa-jasa 14,31 13,73 13,45 12,92 12,61
PDRB 100 100 100 100 100
Sumber : Kabupaten Ngawi Dalam Angka 2014
Berdasarkan sumbangan sektor pertanian pada PDRB dari tahun 2009 sampai 2013 selalu berada
di atas 35% atau sepertiga dari total PDRB merupakan sebagai landasan untuk penelitian ini.
Maka penelitian ini bertujuan untuk menggali potensi pada sektor pertanian. Untuk itu perlu
dilakukan kajian yang lebih terperinci hingga pada tingkat subsektor atau bahkan komoditas
yang menjadi kontribusi terbesar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi
Sehingga dalam penelitian yang berjudul “ANALISIS SPASIAL PERKEMBANGAN SEKTOR
PERTANIAN DI KABUPATEN
NGAWI TAHUN 2004 - 2013” untuk mengetahui bagaimana perkembangan
sektor dan sub-sub sektor pertanian di Kabupaten Ngawi.
5
1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah :
j) Mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian dari tahun 2004 –
2013 di Kabupaten Ngawi
k) Mengetahui subsektor unggulan pertanian yang memiliki kontribusi besar
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi.
l) Mengetahui distribusi spasial subsektor unggulan pertanian di Kabupaten
Ngawi.
dan obyek formal. Obyek material pertama adalah kaitannya dengan beberapa aspek kehidupan
manusia, lingkungan dan aspek pembangunan, sedangkan obyek formal adalah cara memandang
dan cara berfikir terhadap obyek material tersebut dari segi keruangan yang meliputi pola,
system dan proses.
Parr (1999) mengemukakan bahwa wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori
sektor (sector theory) dan tahapan perkembangan (development stages theory). Teori sektor
diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa perkembangan wilayah dihubungkan
dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni primer (pertanian,
kehutanan, perikanan), sekunder (pertambangan, manufaktur, konstruksi, publik utilities) dan
tersier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ditandai oleh penggunaan
sumberdaya (dan manfaatnya) yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tersier dan
meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.
Rondinelli (1995) mengungkapkan indeks perkembangan wilayah dapat dilihat secara sederhana
dalam tiga indikator, yatu :
a. Karakteristik sosial ekonomi dan demografi diukur melalui pendapatan
perkapita, kebutuhan fisik minimum, Produk Domestik Regional Bruto, investasi jumlah
penduduk, pertumbuhan penduduk, jumlah usia harapan hidup, tingkat kematian bayi per 100
penduduk, jumlah fasilitas kesehatan.
b. Kontribusi industri dan produksi pertanian diukur melalui persentase
penyerapan tenaga kerja jumlah perusahaan komersial, luas total lahan pertanian dan
produktivitas pertanian, luas lahan sawah, luas lahan pertanian untuk hidup layak.
(n) Transportasi diukur melalui kualitas jalan, kepadatan jalan, tipe jalan dan
panjang jalan.
7
Ibery (1985) mengungkapkan bahwa geografi pertanian merupakan usaha untuk menjelaskan
mengenai variasi aktivitas pertanian secara spasial pada suatu wilayah di permukaan bumi.
Geografi pertanian merupakan satu bidang yang mengkaji dan menguraikan perbedaan kawasan-
kawasan yang diliputi oleh tanaman di permukaan bumi dan boleh dikatakan "ilmu pertanian
permukaan bumi berubah, dengan segala keterkaitan alam, ekonomi, dan sosial yang terkait
sebagaimana tercermin spasial". Geografi pertanian merupakan gabungan dari kegiatan
ekonomi, sosial dan alam yang saling berkaitan dan berkesinambungan.
Soekartawi (1996), Proses transformasi ekonomi nasional dimana peranan sektor pertanian
tergeser oleh sektor ekonomi yang lain seperti industri, perdagangan dan konstruksi adalah wajar
terjadi di Negara yang sedang membangun. Proses transformasi ini berjalan secara alami dan
terjadi dimana-mana termasuk pengalaman di negara maju. Ciri transformasi struktural ini dapat
dilihat pada peran relatif sektor pertanian dan sumbangannya pada PDB serta penyerapan tenaga
kerja. Ada 4 hal yang dapat dicatat sehubungan dengan adanya proses transformasi antara sektor
pertanian dan nonpertanian yaitu
Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, maka dalam suatu perencanaan pembangunan
diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu
skala prioritas didasarkan atas pemahaman bahwa pertama, setiap sektor memiliki sumbangan
langsung dan
9
Atas dasar pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa di setiap wilayah selalu terdapat sektor-
sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian
wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut
memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung akibat
perkembangan suatu sektor berpengaruh terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya, dan
secara spasial berpengaruh secara luas di seluruh wilayah sasaran.
Hal-hal yang dapat diacu oleh penulis dari penelitian di atas adalah sebagian tujuan, pengenalan
terhadap variable penelitian yang digunakan serta analisis yang digunakan sebagaimana yang
ditunjukkan pada table 1.2.
11
Didit Hasto Kajian Tingkat Perkembangan - Mengukur derajat kesenjangan Analisis - Terjadi kesenjangan
Hendratmok Wilayah Untuk Pemilihan perkembangan wilayah data wilayah di
o (2005) Wilayah Prioritas - Mengetahui pola sebaran sekunder Kabupaten
Pengembangan di Kabupaten - Menentukan wilayah prioritas Wonogiri
Wonogiri pembangunan - Pola persebaran dari
wilayah yang tidak
tertinggal adalah
cenderung acak.
Rahmi Dwi Analisi Tingkat - Mengukur derajat kesenjangan Analisis Terjadi perbedaan yang
Pratiwi Perkembangan Wilayah dan wilayah data signifikan pada masing-
(2002) Arahan Prioritas - Menentukan wilayah prioritas sekunder masing kelurahan di
Pengembangan di Kecamatan pengembangan Kecamatan Aek
AekKanopan Kabupaten Kanopan
Labohan Ratu Sumatra Utara
Yesi Analisis Spasial - Mengetahui tingkat Analisis - Tiap-tiap kecamatan
Nofitasari Perkembangan Sektor perkembangan sektor pertanian data memiliki perbedaan
(2015) Pertanian di Kabupaten Ngawi dari tahun 2004 – 2013 di sekunder potensi dalam sektor
Kabupaten Ngawi pertanian.
Tahun 2004 - 2013
- Mengetahui subsektor unggulan - Potensi unggulan
pertanian yang memiliki sektor pertanian di
kontribusi besar terhadap Kabupaten Ngawi
pertumbuhan ekonomi di tahun 2013 adalah
Kabupaten Ngawi. subsektor tanaman
- Mengetahui distribusi spasial pangan, peternakan
subsektor unggulan pertanian di dan kehutanan
Kabupaten Ngawi.
Pertanian berkelanjutan yang diidamkan pemerintah Kabupaten Ngawi memang sangat tepat jika
dijadikan potensi unggulan daerah. Perencanaan pembangunan di sektor pertanian meliputi 5
(lima) subsektor penting yaitu pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan
kehutanan. Hal ini harus dilakukan secara seksama. PDRB merupakan indikator kemajuan
ekonomi daerah, dan dapat memberikan gambaran mengenai kinerja suatu daerah, yang dalam
hal ini adalah kemajuan ekonomi daerah Kabupaten Ngawi.
Indikator untuk mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian di dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
/ Produksi Pertanian
/ Produksi Subsektor Pertanian
Di dalam penelitian ini data yang digunakan di ambil dari Bappeda dan Dinas Pertanian
Kabupaten Ngawi dari tahun 2004 sampai 2013. Alasan penulis mengambil dari data tersebut
dikarenakan bahwa dua kali pentahapan pembangunan di Indonesia adalah dalam jangka waktu
sepuluh tahun. Unit analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah subsektor dan
kecamatan. Dengan menggunakan unit analisis ini maka perbedaan tingkat perkembangan
wilayah di Kabupaten Ngawi akan lebih terlihat nyata wilayah yang memproduksi hasil
pertanian terbesar sehingga dapat dilakukan pengembangan wilayah yang berkelanjutan dalam
mendukung pembangunan sektoral sesuai kebijakan yang ada di Kabupaten Ngawi.
POTENSI SEKTOR
Evaluasi makro DAN SUBSEKTOR
Kabupaten Ngawi potensi daerah UNGGULAN
Dalam Angka
PERTANIAN KAB.
Evaluasi makro NGAWI
Produk Regional
sektor pertanian
Domestik Bruto
b. Analisis
Peta Ekonomi
perkembangan
Daerah Kabupaten Ngawi
PDRBdan
JJJ. Status kontribusi sektor
pertanian 10 tahun
Lingkungan
Hidup Daerah Kabupaten
Ngawi c. Analisis
perkembangan
KKK. PertanianTanam kontribusi subsektor BAHAN
pertanian MASUKAN BAGI
Pangan dan Hortikultura
PEMERINTAH
d. Identifikasi dan DAERAH KAB.
LLL. Strategi evaluasi subsektor NGAWI
Penanggulangan unggulan pertanian
Kemiskinan Daerah
e. Analisis spasial
MMM. Rencana Tata
Ruang Wilayah
f. Visualisasi distribusi
pada peta
Sumber : penulis
Selanjutnya, berikut ini secara singkat disajikan tahapan pekerjaan untuk analisis penyusunan
peta sektor pertanian Kabupaten Ngawi.
identifikasi
sektor pertanian
identifikasi
peta distribusi subsektor
sektor pertanian unggulan
daerah pertanian per
kecamatan
penentuan
subsektor
unggulan
pertanian per
kecamatan
Sumber : penulis
Selanjutnya dalam pembuatan peta spasial distribusi sektor pertanian dilakukan tahapan secara
singkat antara lain :
Data Ekonomi
Peta Rupa Bumi Indonesia
Data Pertanian
Peta RTRW Kab.Ngawi
Data Subsektor Pertanian
Data Komoditas Unggulan
Pertanian
Digitasi PETA DASAR
Batas Administrasi
Jaringan Jalan
Jaringan Sungai Pengolahan Data
Titik Ibukota
Analisis Hasil
Sumber : Penulis
Seperti disinggung dalam paragraf sebelumnya bahwa LQ didapat atas dasar perhitungan output
(PDRB/value added based) atau tenaga kerja yang digunakan (employment based). Kajian ini
menggunakan value added based sesuai ketersediaan data yang diolah menggunakan formula
sebagai berikut. Nilai LQ merupakan besaran tanpa satuan (dimensionless). Dari nilai tersebut
dapat didekati berapa kemampuan ekspor suatu sektor/sub-sektor atau derajat subsistensinya.
20
Dimana:
LQ(x)Kab : Angka LQ sektor x di Kabupaten Ngawi
q(x)Kab : Nilai tambah bruto sektor x di Kabupaten Ngawi
Q(x)Provinsi : Nilai tambah bruto sektor x dalam Provinsi Jawa Timur
PDRBProvinsi : PDRB Provinsi Jawa Timur
Sistem Informasi Geografis digunakan sebagai alat analisis keruangan yang mampu
menggambarkan hubungan berbagai fenomena spasial baik fisik
21
maupun sosial yang terjadi di suatu wilayah. Pemetaan eksisting kondisi fisik (bentuk lahan,
jenis tanah, cuaca/iklim, litologi, topografi, bencana, dan lain-lain) dan kondisi sosial-ekonomi
suatu wilayah meliputi kependudukan, aktivitas ekonomi, jaringan keluar dan masuk komoditas,
dan lain-lain adalah kegiatan awal dari analisis spasial.
Berbagai tema pemetaan tersebut diproses dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) atau
Geographic Information System (GIS) menggunakan aplikasi ArcGIS dengan peta administrasi
Kabupaten Ngawi dan Peta RBI Kabupaten Ngawi. Metode overlay dengan penilaian scoring
maupun matching. Hasilnya merupakan peta wilayah-wilayah dengan potensi yang dimiliki.
Peta distribusi
Peta distribusi Peta distribusi
potensi subsektor
potensi potensi
tanaman pangan
komoditas padi komoditas
2013
2013 palawija 2013
perbandingan
Produksi x harga
22
4. Subsektor Perikanan
PENDAHULUAN
Dalam proses pembangunan ekonomi nasional, tidak terlepas dari pembangunan ekonomi daerah
atau regional. Pembangunan ekonomi daerah adalah proses yang dilakukan oleh pemerintah
daerah dalam mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan pemerintah
daerah dan sektor swasta dalam menciptakan lapangan kerja baru dan perangsang pertumbuhan
ekonomi dalam wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi daerah dipengaruhi oleh keunggulan
komparatif suatu daerah, spesialisasi wilayah, serta potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah
tersebut (Arsyad, 1999).
Istilah pola keruangan erat kaitannya dengan istilah-istilah seperti pemusatan, penyebaran,
pencampuran dan keterkaitan, serta posisi atau lokasi dan lain-lain. Istilah pola pemanfaatan
ruang berkaitan dengan aspek-aspek distribusi spasial sumberdaya dan aktivitas pemanfatannya
menurut lokasi, setiap jenis aktivitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat
penyebaran yang berbeda-beda pula. Dalam cara pandang yang lain, sumberdaya dan aktivitas
manusia yang memanfaatkannya terkonsentrasi dengan tingkat yang berbeda-
1
2
beda. Secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya digambarkan dalam berbagai
bentuk peta (Ernan Rustiadi, Sunsun Saefulhakim, Dyah R. 2009).
Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari keunggulan
atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam
memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda.
Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana
kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini
akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar
wilayah atau daerah. Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang
hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang.
Kondisi topografi di Kabupaten Ngawi cukup bervariasi yaitu topografi datar, bergelombang,
berbukit dan pegunungan tinggi dengan ketinggian 40 – 3.3031 meter dari atas permukaan air
laut. Secara umum, di bagian tengah adalah derah dataran yang merupakan pertanian subur.
Kabupaten Ngawi termasuk daerah yang beriklim tropis, dan hanya mengenal dua musim yaitu
musim kemarau dan musim penghujan. Kabupaten Ngawi merupakan Kabupaten yang
3
memiliki banyak sungai. Sungai besar maupun kecil mengelilingi seluruh daerah Ngawi. Ada 2
(dua) sungai besar yang melewati Ngawi yaitu Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun
sebagai pendukung dalam pengairan pertanian. Jenis tanah didominasi oleh jenis tanah Grumusol
sekitar 43% yang merupakan tanah subur dan sesuai untuk pertanian. Jumlah penduduk
Kabupaten Ngawi akhir tahun 2013 adalah 915.493 jiwa, terdiri dari 449.947 penduduk laki-laki
dan 465.546 penduduk perempuan.
Prioritas pengembangan sektor ekonomi di Kabupaten Ngawi adalah sektor pertanian yang
merupakan kategori sektor unggulan dan berpotensi untuk mengembangkan sektor ekonomi
wilayah. Sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi Kabupaten Ngawi. Dari 129.598
ha luas wilayah Kabupaten Ngawi 72% diantaranya berupa lahan sawah, hutan dan tanah
perkebunan. Sektor ini menyerap sekitar 76% dari total tenaga kerja yang ada. Dari 5 subsektor
pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan), subsektor
tanaman pangan khususnya komoditi padi merupakan penyumbang terbesar terhadap total nilai
produksi pertanian. Sumbangan PDRB terbesar pertama tahun 2009 di Kabupaten Ngawi adalah
sektor pertanian sebesar 36,91% (SPKD Ngawi, 2010). Sektor pertanian masih menjadi sektor
utama yang menyerap tenaga kerja di kabupaten ngawi. berdasarkan sakernas tahun 2012,
lapangan pekerjaan masyarakat ngawi di sektor pertanian sebesar 58,53%.
Angka PDRB Ngawi atas dasar harga berlaku tahun 2013 mencapai 10.331,39 milyar rupiah
naik sekitar 12,77 persen dari tahun 2012 yang mencapai 9.161,12 milyar rupiah. Sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan (2000) tahun 2013 mencapai 3.784,07 milyar rupiah, naik sekitar
6,97 % dari tahun sebelumnya yang mencapai 3.537,19 milyar rupiah. Sampai dengan tahun
2013 perekonomian Kabupaten Ngawi masih didominasi sektor pertanian. Sumbangan sektor ini
terhadap total PDRB sampai dengan 2013 sekitar 36,33 persen (tabel
4
1.1). Sektor pertanian menjadi sektor unggulan bagi Kabupaten Ngawi, sumbangan pertanian
pada PDRB Atas Dasar Harga Berlaku terhadap total PDRB selalu diatas 30 persen.
Tabel 1.1 Sumbangan PDRB Kabupaten Ngawi Menurut Lapangan Usaha Atas
Dasar Harga Berlaku Tahun 2009-2013
Lapangan usaha 2009 2010 2011 2012 2013
Pertanian 36,91 36,63 35,72 36,27 36,33
Pertambangan dan penggalian 0,54 0,50 0,49 0,47 0,45
Industri pengolahan 6,20 6,28 6,57 6,59 6,67
Listrik, gas dan air bersih 0,83 0,83 0,85 0,88 0,87
Bangunan 4,73 4,97 5,33 5,24 5,34
Perdagangan, hotel dan restoran 28,05 28,66 29,20 29,29 29,38
Pengangkutan dan komunikasi 2,87 2,87 2,88 2,83 2,85
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 5,56 5,52 5,50 5,52 5,50
Jasa-jasa 14,31 13,73 13,45 12,92 12,61
PDRB 100 100 100 100 100
Sumber : Kabupaten Ngawi Dalam Angka 2014
Berdasarkan sumbangan sektor pertanian pada PDRB dari tahun 2009 sampai 2013 selalu berada
di atas 35% atau sepertiga dari total PDRB merupakan sebagai landasan untuk penelitian ini.
Maka penelitian ini bertujuan untuk menggali potensi pada sektor pertanian. Untuk itu perlu
dilakukan kajian yang lebih terperinci hingga pada tingkat subsektor atau bahkan komoditas
yang menjadi kontribusi terbesar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi
Sehingga dalam penelitian yang berjudul “ANALISIS SPASIAL PERKEMBANGAN SEKTOR
PERTANIAN DI KABUPATEN
NGAWI TAHUN 2004 - 2013” untuk mengetahui bagaimana perkembangan
sektor dan sub-sub sektor pertanian di Kabupaten Ngawi.
5
1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah :
m) Mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian dari tahun 2004 –
2013 di Kabupaten Ngawi
n) Mengetahui subsektor unggulan pertanian yang memiliki kontribusi besar
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ngawi.
o) Mengetahui distribusi spasial subsektor unggulan pertanian di Kabupaten
Ngawi.
dan obyek formal. Obyek material pertama adalah kaitannya dengan beberapa aspek kehidupan
manusia, lingkungan dan aspek pembangunan, sedangkan obyek formal adalah cara memandang
dan cara berfikir terhadap obyek material tersebut dari segi keruangan yang meliputi pola,
system dan proses.
Parr (1999) mengemukakan bahwa wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori
sektor (sector theory) dan tahapan perkembangan (development stages theory). Teori sektor
diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa perkembangan wilayah dihubungkan
dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni primer (pertanian,
kehutanan, perikanan), sekunder (pertambangan, manufaktur, konstruksi, publik utilities) dan
tersier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ditandai oleh penggunaan
sumberdaya (dan manfaatnya) yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tersier dan
meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.
Rondinelli (1995) mengungkapkan indeks perkembangan wilayah dapat dilihat secara sederhana
dalam tiga indikator, yatu :
a. Karakteristik sosial ekonomi dan demografi diukur melalui pendapatan
perkapita, kebutuhan fisik minimum, Produk Domestik Regional Bruto, investasi jumlah
penduduk, pertumbuhan penduduk, jumlah usia harapan hidup, tingkat kematian bayi per 100
penduduk, jumlah fasilitas kesehatan.
b. Kontribusi industri dan produksi pertanian diukur melalui persentase
penyerapan tenaga kerja jumlah perusahaan komersial, luas total lahan pertanian dan
produktivitas pertanian, luas lahan sawah, luas lahan pertanian untuk hidup layak.
(o) Transportasi diukur melalui kualitas jalan, kepadatan jalan, tipe jalan dan
panjang jalan.
7
Ibery (1985) mengungkapkan bahwa geografi pertanian merupakan usaha untuk menjelaskan
mengenai variasi aktivitas pertanian secara spasial pada suatu wilayah di permukaan bumi.
Geografi pertanian merupakan satu bidang yang mengkaji dan menguraikan perbedaan kawasan-
kawasan yang diliputi oleh tanaman di permukaan bumi dan boleh dikatakan "ilmu pertanian
permukaan bumi berubah, dengan segala keterkaitan alam, ekonomi, dan sosial yang terkait
sebagaimana tercermin spasial". Geografi pertanian merupakan gabungan dari kegiatan
ekonomi, sosial dan alam yang saling berkaitan dan berkesinambungan.
Soekartawi (1996), Proses transformasi ekonomi nasional dimana peranan sektor pertanian
tergeser oleh sektor ekonomi yang lain seperti industri, perdagangan dan konstruksi adalah wajar
terjadi di Negara yang sedang membangun. Proses transformasi ini berjalan secara alami dan
terjadi dimana-mana termasuk pengalaman di negara maju. Ciri transformasi struktural ini dapat
dilihat pada peran relatif sektor pertanian dan sumbangannya pada PDB serta penyerapan tenaga
kerja. Ada 4 hal yang dapat dicatat sehubungan dengan adanya proses transformasi antara sektor
pertanian dan nonpertanian yaitu
Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, maka dalam suatu perencanaan pembangunan
diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu
skala prioritas didasarkan atas pemahaman bahwa pertama, setiap sektor memiliki sumbangan
langsung dan
9
Atas dasar pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa di setiap wilayah selalu terdapat sektor-
sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian
wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut
memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung akibat
perkembangan suatu sektor berpengaruh terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya, dan
secara spasial berpengaruh secara luas di seluruh wilayah sasaran.
Hal-hal yang dapat diacu oleh penulis dari penelitian di atas adalah sebagian tujuan, pengenalan
terhadap variable penelitian yang digunakan serta analisis yang digunakan sebagaimana yang
ditunjukkan pada table 1.2.
11
Didit Hasto Kajian Tingkat Perkembangan - Mengukur derajat kesenjangan Analisis - Terjadi kesenjangan
Hendratmok Wilayah Untuk Pemilihan perkembangan wilayah data wilayah di
o (2005) Wilayah Prioritas - Mengetahui pola sebaran sekunder Kabupaten
Pengembangan di Kabupaten - Menentukan wilayah prioritas Wonogiri
Wonogiri pembangunan - Pola persebaran dari
wilayah yang tidak
tertinggal adalah
cenderung acak.
Rahmi Dwi Analisi Tingkat - Mengukur derajat kesenjangan Analisis Terjadi perbedaan yang
Pratiwi Perkembangan Wilayah dan wilayah data signifikan pada masing-
(2002) Arahan Prioritas - Menentukan wilayah prioritas sekunder masing kelurahan di
Pengembangan di Kecamatan pengembangan Kecamatan Aek
AekKanopan Kabupaten Kanopan
Labohan Ratu Sumatra Utara
Yesi Analisis Spasial - Mengetahui tingkat Analisis - Tiap-tiap kecamatan
Nofitasari Perkembangan Sektor perkembangan sektor pertanian data memiliki perbedaan
(2015) Pertanian di Kabupaten Ngawi dari tahun 2004 – 2013 di sekunder potensi dalam sektor
Kabupaten Ngawi pertanian.
Tahun 2004 - 2013
- Mengetahui subsektor unggulan - Potensi unggulan
pertanian yang memiliki sektor pertanian di
kontribusi besar terhadap Kabupaten Ngawi
pertumbuhan ekonomi di tahun 2013 adalah
Kabupaten Ngawi. subsektor tanaman
- Mengetahui distribusi spasial pangan, peternakan
subsektor unggulan pertanian di dan kehutanan
Kabupaten Ngawi.
Pertanian berkelanjutan yang diidamkan pemerintah Kabupaten Ngawi memang sangat tepat jika
dijadikan potensi unggulan daerah. Perencanaan pembangunan di sektor pertanian meliputi 5
(lima) subsektor penting yaitu pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan
kehutanan. Hal ini harus dilakukan secara seksama. PDRB merupakan indikator kemajuan
ekonomi daerah, dan dapat memberikan gambaran mengenai kinerja suatu daerah, yang dalam
hal ini adalah kemajuan ekonomi daerah Kabupaten Ngawi.
Indikator untuk mengetahui tingkat perkembangan sektor pertanian di dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
/ Produksi Pertanian
/ Produksi Subsektor Pertanian
Di dalam penelitian ini data yang digunakan di ambil dari Bappeda dan Dinas Pertanian
Kabupaten Ngawi dari tahun 2004 sampai 2013. Alasan penulis mengambil dari data tersebut
dikarenakan bahwa dua kali pentahapan pembangunan di Indonesia adalah dalam jangka waktu
sepuluh tahun. Unit analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah subsektor dan
kecamatan. Dengan menggunakan unit analisis ini maka perbedaan tingkat perkembangan
wilayah di Kabupaten Ngawi akan lebih terlihat nyata wilayah yang memproduksi hasil
pertanian terbesar sehingga dapat dilakukan pengembangan wilayah yang berkelanjutan dalam
mendukung pembangunan sektoral sesuai kebijakan yang ada di Kabupaten Ngawi.
POTENSI SEKTOR
Evaluasi makro DAN SUBSEKTOR
Kabupaten Ngawi potensi daerah UNGGULAN
Dalam Angka
PERTANIAN KAB.
Evaluasi makro NGAWI
Produk Regional
sektor pertanian
Domestik Bruto
g. Analisis
Peta Ekonomi
perkembangan
Daerah Kabupaten Ngawi
PDRBdan
NNN. Status kontribusi sektor
pertanian 10 tahun
Lingkungan
Hidup Daerah Kabupaten
Ngawi h. Analisis
perkembangan
OOO. PertanianTanam kontribusi subsektor BAHAN
pertanian MASUKAN BAGI
Pangan dan Hortikultura
PEMERINTAH
i. Identifikasi dan DAERAH KAB.
PPP. Strategi evaluasi subsektor NGAWI
Penanggulangan unggulan pertanian
Kemiskinan Daerah
j. Analisis spasial
QQQ. Rencana Tata
Ruang Wilayah
k. Visualisasi distribusi
pada peta
Sumber : penulis
Selanjutnya, berikut ini secara singkat disajikan tahapan pekerjaan untuk analisis penyusunan
peta sektor pertanian Kabupaten Ngawi.
identifikasi
sektor pertanian
identifikasi
peta distribusi subsektor
sektor pertanian unggulan
daerah pertanian per
kecamatan
penentuan
subsektor
unggulan
pertanian per
kecamatan
Sumber : penulis
Selanjutnya dalam pembuatan peta spasial distribusi sektor pertanian dilakukan tahapan secara
singkat antara lain :
Data Ekonomi
Peta Rupa Bumi Indonesia
Data Pertanian
Peta RTRW Kab.Ngawi
Data Subsektor Pertanian
Data Komoditas Unggulan
Pertanian
Digitasi PETA DASAR
Batas Administrasi
Jaringan Jalan
Jaringan Sungai Pengolahan Data
Titik Ibukota
Analisis Hasil
Sumber : Penulis
Seperti disinggung dalam paragraf sebelumnya bahwa LQ didapat atas dasar perhitungan output
(PDRB/value added based) atau tenaga kerja yang digunakan (employment based). Kajian ini
menggunakan value added based sesuai ketersediaan data yang diolah menggunakan formula
sebagai berikut. Nilai LQ merupakan besaran tanpa satuan (dimensionless). Dari nilai tersebut
dapat didekati berapa kemampuan ekspor suatu sektor/sub-sektor atau derajat subsistensinya.
20
Dimana:
LQ(x)Kab : Angka LQ sektor x di Kabupaten Ngawi
q(x)Kab : Nilai tambah bruto sektor x di Kabupaten Ngawi
Q(x)Provinsi : Nilai tambah bruto sektor x dalam Provinsi Jawa Timur
PDRBProvinsi : PDRB Provinsi Jawa Timur
Sistem Informasi Geografis digunakan sebagai alat analisis keruangan yang mampu
menggambarkan hubungan berbagai fenomena spasial baik fisik
21
maupun sosial yang terjadi di suatu wilayah. Pemetaan eksisting kondisi fisik (bentuk lahan,
jenis tanah, cuaca/iklim, litologi, topografi, bencana, dan lain-lain) dan kondisi sosial-ekonomi
suatu wilayah meliputi kependudukan, aktivitas ekonomi, jaringan keluar dan masuk komoditas,
dan lain-lain adalah kegiatan awal dari analisis spasial.
Berbagai tema pemetaan tersebut diproses dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) atau
Geographic Information System (GIS) menggunakan aplikasi ArcGIS dengan peta administrasi
Kabupaten Ngawi dan Peta RBI Kabupaten Ngawi. Metode overlay dengan penilaian scoring
maupun matching. Hasilnya merupakan peta wilayah-wilayah dengan potensi yang dimiliki.
Peta distribusi
Peta distribusi Peta distribusi
potensi subsektor
potensi potensi
tanaman pangan
komoditas padi komoditas
2013
2013 palawija 2013
perbandingan
Produksi x harga
22
5. Subsektor Perikanan
1
2
22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yang kemudian
direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi tersebut, beberapa peraturan
Pemerintah sudah pula dikeluarkan. Sejak saat itu, pemerintah dan pembangunan daerah di
seluruh Nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal (Sjafrizal, 2014: 14).
Dengan adanya otonomi daerah menimbulkan perubahan yang cukup mendasar dalam
perencanaan pembangunan daerah. Sistem perencanaan pembangunan yang selama ini
cenderung seragam, kemudian mulai berubah dan cenderung bervariasi tergantung pada
potensi dan permasalahan pokok yang dialami oleh daerah yang bersangkutan dan
disesuaikan dengan keinginan aspirasi yang berkembang di daerah.
Menurut Sjafrizal (2014: 14) Perubahan yang terjadi dengan adanya otonomi daerah pada
dasarnya menyangkut dua hal pokok, yaitu: pertama, pemerintah daerah diberikan
wewenangan lebih besar dalam melakukan pengelolaan pembangunan (Desentralisasi
Pembangunan). Kedua, pemerintah daerah diberikan sumber keuangan baru dan
kewenangan pengelolaan keuangan yang lebih besar (Desentralisasi Fiskal). Kesemuanya
ini dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat lebih diperdayakan dan dapat melakukan
kreasi dan terobosan baru dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah
masing-masing sesuai potensi dan aspirasi masyarakat daerah bersangkutan. Hal ini berarti
daerah harus lebih mampu menetapkan skala prioritas yang tepat untuk memanfaatkan
potensi daerahnya masing-masing.
Kabupaten Balangan merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan yang lahir
dari sebuah proses perjalanan panjang dari aspirasi masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan publik yang lebih baik di masa yang akan datang. Wilayah Kabupaten Balangan
dewasa ini tengah berubah dan berkembang cukup pesat. Perubahan yang terjadi antara
lain terlihat di sepanjang kawasan jalur lintas Kalimantan Selatan, termasuk di Kota
Paringin, yang di tandai antara lain oleh
3
terjadinya pertumbuhan penduduk dan kawasan terbangun yang relatif tinggi di wilayah
ini jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Apabila mencermati data kependudukan pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014,
jumlah penduduk kabupaten Balangan bertambah dari 117.088 jiwa (2012) menjadi
119.171 jiwa (2013) atau meningkat sebesar 2 persen. Jumlah penduduk Kabupaten
Balangan dapat dilihat pada tabel berikut.
1 2012 117.088
2 2013 119.171
Sumber: BPS Kabupaten Balangan 2014
Sedangkan perubahan fungsi lahan seiring dengan perubahan/perpindahan pemukiman
penduduk dari luar daerah (migrasi) ke Kabupaten Balangan maupun dalam lingkungan
daerah itu sendiri, banyak di temukan pada beberapa kawasan disepanjang sisi kanan dan
kiri jalur lintas Kalimantan Selatan dengan bermunculannya kawasan-kawasan pemukiman
baru, baik yang di bangun melalui pengembang berupa komplek perumahan, maupun
berupa deretan bangunan tempat tinggal atau ruko (rumah toko) baru milik penduduk yang
di bangun secara perorangan. Perkembangan fisik kawasan dan pertambahan penduduk ini
akan berdampak pada kebutuhan ruang dan aktifitas kebutuhan lainnya di wilayah
kabupaten Balangan. Hal ini menunjukkan cukup pesatnya pertumbuhan dan
perkembangan wilayah di Kabupaten Balangan.
Berdasarkan kecenderungan perkembangan terakhir, maka Kabupaten Balangan di masa
akan datang berpeluang untuk terus berkembang dan lebih maju apabila semua potensi
wilayah yang di miliki kabupaten Balangan dapat di mamfaatkan secara optimal untuk
membangun wilayah, antara lain seperti potensi sumber daya alam yang cukup besar.
Diantara potensi yang menonjol di Kabupaten Balangan disamping sejumlah lahan
pertanian dan industri pengolahan gula merah, adanya deposit pertambangan batu bara dan
penggalian, ada beberapa lokasi di Kabupaten Balangan.
4
Jika dilihat dari keberadaan keberadaan dan kelengkapan sarana prasarana pembangunan
di wilayah Kabupaten Balangan termasuk memadai, tetapi akses masyarakat terhadap
sarana prasarana tersebut masih sangat terbatas, terutama untuk masyarakat pedesaan. Ini
disebabkan karena sebagian besar sarana prasarana tersebut masih terakumulasi di daerah-
daerah perkotaan yakni Kota Paringin sebagai pusat pemerintahan, sehingga daerah sentra
produksi pertanian yang umumnya berada di pedesaan cenderung mengalami kesulitan
dalam memperoleh pelayanan dari fasilitas-fasilitas tersebut, karena interaksinya sangat
terbatas ke pusat-pusat pelayanan tersebut. Hal ini kemudian berdampak pada terjadinya
kesenjangan antar daerah perkotaan dan pedesaan sebagai daerah belakangnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik menganalisis potensi wilayah Kabupaten
Balangan Propinsi Kalimantan Selatan yang dituangkan dalam usulan penelitian yang
berjudul “ANALISIS POTENSI WILAYAH SEBAGAI
PUSAT PERTUMBUHAN DAN PELAYANAN DI KABUPATEN BALANGAN
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN”.
Sumber: Herbert & Thomas, 1982; Johnston, et al., 2000 dalam H.S. Yunus
(2010: 42)
8
penelliti harus mampu menentukan lokasi sampel yang benar-benar mewakili sifat
khas/karakteristik wilayahnya. Hal ini akan dibahas dalam hal regionalisasi/pewilayahan.
Menurut P. Hdjisarosa, 1980 dalam Adisasmita (2011: 60) konsep wilayah dapat
dibedakan ke dalam: (1) wilayah administrasi dan (2) wilayah pengembangan. Wilayah
administrasi adalah wilayah yang mempunyai batas wilayah pemerintahan daerah, yang di
tetapkan dengan peraturan pemerintah/ peraturan daerah, yang dikelompokkan dalam
wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang masing-masing memiliki
ibukota pemerintahan, di mana kedudukan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota)
dan Dewan Perrwakilan Daerah (DPR). Sedangkan, wilayah pengembangan adalah
wilayah, yang luasan wilayahnya tidak ditetapkan bardasarkan batas wilayah administrasi,
atau tidak menggunakan batas wilayah administrasi, tetapi batas-batasnya adalah secara
fungsional, bardasarkan kegiatan interaksi sumberdaya manusia (penduduk), sumberdaya
Alam, sumberdaya modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan
sumberdaya pembangunan lainnya.
Dengan demikian luasan wilayah pengembangan tidak terlalu sama besar dengan wilayah
administrasi, mungkin lebih kecil karena sebagian wilayahnya merupakan pegunungan
yang tinggi atau jurang yang dalam, sehingga tidak dihuni oleh penduduk dan tidak
terjangkau oleh pelayanan jasa distribusi karena belum tersedia fasilitas transportasi.
dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara
abstrak.
Menurut R. Adisasmita (2006: 163), suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan
ababila di tempat tersebut terdapat industri pendorong (propolsive industry) yang berskala
besar, mempunyai kemampuan menciptakan dorongan pertumbuhan yang kuat, dampak
multiplier dan dampak polarisasi lokal yang sangat besar dan tingkat teknologi yang maju.
Lebih lanjut kutub pertumbuhan bukan hanya merupakan lokalisasi industri kunci semata-
mata, tetapi pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang luas ke daerah sekitarnya.
Konsep kutub pertumbuhan merupakan konsep sangat menarik bagi perencanaan wilayah.
Persoalan yang di hadapi dalam penerapan konsep tersebut adalah pemilihan industri
pendorong ataupun industri yang menonjol (leading industry) sebagai penggerak dinamika
pertumbuhan.
Menurut R. Adisasmita (2006: 164) kutub pertumbuhan dapat ditafsirkan dalam dua
pengertian, yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional,
menggambarkan kutub pertumbuhan sebagai suatu kelompok perusahaan, industri atau
unsure-unsur dinamik yang meningkatkan kehidupan ekonomi. Secara geografis.
Menunjukkan kutub pertumbuhan sesungguhnya lebih banyak merupakan daya tarik yang
mengundang berbagai kegiatan untuk menempatkan usahanya di suatu tempat.
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat tiga ciri penting konsep kutub pertumbuhan dapat
dikemukakan yaitu:
(t) Terdapat keterkaitan internal berbagai industri secara teknik dan ekonomi.
(u) Terdapat pengaruh multiplier.
(v) Terdapat konsentrasi geografis
Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendifinisikan kutub
pertumbuhan wilayah sebagai perangkat industri sedang berkembang yang berlokasi di
suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lebih lanjut pengembangan
ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized poles of development). Ia menekankan
pada aspek fungsional, tetapi juga pada aspek geografis yang dilukiskan sebagai suatu
aglomerasi geografis. Teori Bondeville
11
dapat di anggap telah menjembatani terhadap teori spasial terdahulu (Christaller) dan teori
kutub pertumbuhan (Perroux). Perbedaannya, teori Perroux menganggap tata ruang secara
abstrak yang menekankan cirri-ciri regional tata ruang ekonomi, sedangkan menurut
Bondeville tata ruang ekonomi tidak dapat di pisahkan dari tata ruang geografis, lebih
lanjut Bondeville menekankan pada tata ruang polarisasi (R. Adisasmita, 2006: 165).
/ Teknologi sederhana
/ Teknologi madya
/ Teknologi tinggi
Menurut Huisman (1989) penyediaan pelayanan secara efisiensi dan efektif dalam
pembangunan karena dalam perencanaan fisik memberikan kerangka keruangan kegiatan
sosial dan ekonomi. Dengan demikian pelayanan sosial ekonomi masyarakat sangat
diperlukan dalam mendukung pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada kegiatan
sosial ekonomi.
Adapun metode yang dapat digunakan untuk ,menilai tingkat ketersediaan dan fungsi
pelayanan adalah sebagai berikut:
RRR. Besarnya ketersediaan fasilitas pelayanan dinilai melalui jumlah
pelayanan yang ada di setiap daerah, menggunakan metode skalogram.
SSS. Fungsi pelayanan merupakan perbandingan antara ketersediaan
fasilitas dengan berbagai standar minimum untuk setiap pelayanan.
Informasi-informasi lain yang diperlukan pada penilaian fungsi pelayanan
antara lain mencakup rasio pelayanan terhadap standar, rasio terhadap
pengguna aktual, rasio terhadap pengguna potensial,dan rasio terhadap
penduduk.
sekunder yang dikutip dari kantor Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur dan studi
literatur. Hasil analisis Indeks Gravitasi menunjukkan nilai diatas enam digit yaitu
266.533.959,60 sampai dengan 2.369.861.018,67, hal ini menunjukkan bahwa sarana-
sarana yang tersedia di pusat pertumbuhan digunakan oleh daerah hinterland dan besar
pula fungsi pusat pertumbuhan sebagai pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Hasil
analisis dengan menggunakan analisis Shift Share menunjukan daerah yang termasuk
pergeseran pertumbuhan ekonominya maju adalah Kota/Kabupaten Kediri 0,71% (maju),
Kota/Kabupaten Blitar 87,56% (maju), Kabupaten Nganjuk 12,25% (maju), Kabupaten
Tulungagung 0,39% (maju) dan Kabupaten Trenggalek 12,32% (maju), sedangkan
Kabupaten Jombang sebesar -25,15% (lambat). Hasil analisis Indeks Williamson
menunjukkan angka kurang mendekati satu yaitu 0,41 sampai dengan 0,62, yang berarti
kesenjangan pendapatan antara pusat pertumbuhan dengan hinterland relatif kecil. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.2. dibawah ini.
Judul Analisis Pertumbuhan Ekonomi Peranan Pusat Pertumbuhan Analisis Potensi Wilayah
Wilayah Di Kabupaten Wonogiri Dan Kesenjangan Pendapatan Sebagai Pusat
Tahun 2007-2011 Antar Wilayah di Satuan Pertumbuhan dan
Wilayah Pembangunan Pelayanan di Kabupaten
(SWP) VII Propinsi Jawa Balangan Provinsi
Timur Tahun 2000-2005 Kalimantan Selatan
Tujuan mengkaji tentang pertumbuhan untuk mengetahui seberapa (1) mengetahui kecamatan
ekonomi di Kabupaten Wonogiri besar peranan pusat yang paling optimal
pada tahun 2007-2011 dan pertumbuhan dalam sebagai pusat pelayanan di
menganalisa tentang pertumbuhan memberikan spread effect Kabupaten Balangan
ekonomi di Wonogiri melalui kekuatan daya Provinsi Kalimantan
tariknya bagi wilayah Selatan.
hinterland, pergeseran total (2) mengetahui Kecamatan
pertumbuhan ekonomi antar yang paling optimal
wilayah dan kesenjangan sebagai pusat pertumbuhan
pendapatan antar wilayah yang mampu
pada tahun 2000 sampai menggerakkan kawasan
dengan tahun 2005 sekitarnya di Kabupaten
Balangan Provinsi
Kalimantan Selatan.
Metode dan metode Sturgess, uji Chi square, Analisis Indeks Gravitasi Analisis Gravitasi dan
Analisis dan metode Location Quotient. untuk mengetahui daya tarik Skalogram untuk
Variabel pusat pertumbuhan dengan menentukan kecamatan
hinterland, analisis Shift yang paling optimal
Share digunakan untuk sebagai pusat pertumbuhan
mengetahui kontribusi dan pusat pelayanan dalam
pertumbuhan ekonomi dan kerangka perencanaan
analisis Indeks Williamson pembangunan wilayah di
untuk mengetahui Kabupaten Balamgn
kesenjangan pendapatan Provinsi Kalimantan
Selatan
Hasil Hierarki tinggi terdapat pada satu Hasil analisis Indeks
kecamatan yaitu Kecamatan Gravitasi menunjukkan nilai
Baturetno, dan hierarki sedang diatas enam digit yaitu
terdapat pada Kecamatan 266.533.959,60 sampai
Pracimantoro, Kecamatan dengan 2.369.861.018,67, hal
Tirtomoyo, Kecamatan ini menunjukkan bahwa
Wuryantoro, Kecamatan Selogiri, sarana-sarana yang tersedia
Kecamatan Wonogiri, Kecamatan di pusat pertumbuhan
Ngadirojo, Kecamatan Sidoharjo, digunakan oleh daerah
Kecamatan Purwantoro, hinterland dan besar pula
Kecamatan Bulokerto, Kecamatan fungsi pusat pertumbuhan
Slogohimo, dan Kecamatan sebagai pusat pelayanan bagi
Jatisrono. Sedangkan hierarki daerah sekitarnya. Hasil
rendah terdapat di kecamatan analisis dengan
Paranggupito, Kecamatan menggunakan analisis Shift
Giritontro, Kecamatan Giriwoyo, Share menunjukan daerah
Kecamatan Batuwarno, yang termasuk pergeseran
Kecamatan Karangtengah, pertumbuhan ekonominya
Kecamatan Nguntorongadi, maju adalah Kota/Kabupaten
Kecamatan Eromoko, kecamatan Kediri 0,71% (maju),
Manyaran, Kecamatan Jatiroto, Kota/Kabupaten Blitar
Kecamatan kismantoro, 87,56% (maju), Kabupaten
Kecamatan Pehpelem, Kecamatan Nganjuk 12,25% (maju),
Jatipurno, dan Kecamatan Kabupaten Tulungagung
Girimarto. 0,39% (maju) dan Kabupaten
Trenggalek 12,32% (maju),
sedangkan Kabupaten
Jombang sebesar -25,15%
(lambat). Hasil analisis
Indeks Williamson
menunjukkan angka kurang
mendekati satu yaitu 0,41
sampai dengan 0,62, yang
berarti kesenjangan
pendapatan antara pusat
pertumbuhan dengan
hinterland relatif kecil
Sumber: Penulis, 2015
Dalam hal menentukan pusat pertumbuhan ekonomi yang optimal di Kabupaten Balangan,
digunakan metode analisis model gravitasi dan analisis skalogram. Analisis model
gravitasi digunakan terhadap data sekunder berupa jumlah penduduk pada masing-masing
kecamatan/subwilayah dalam Kabupaten Balangan, sedangkan analisis skalogram
digunakan terhadap data sekunder berupa tingkat perekonomian wilayah tersebut dengan
menggunakan variabel luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah pasar, jumlah bank, jumlah
koperasi, produksi pertanian, produksi perkebunan, populasi ternak, dan produksi
perikanan. Di sini, temuan hasil analisis model gravitasi akan dibandingkan dan hasil
analisis skalogram, sehingga diketahui subwilayah/ kecamatan mana yang optimal sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi, karena memiliki daya tarik wilayah yang tinggi atau menjadi
tujuan perpindahan penduduk dan pergerakan arus barang/jasa, disamping juga sekaligus
memiliki potensi ekonomi yang tinggi dalam mengemban fungsi perekonomian suatu
ibukota.
Adapun untuk menentukan pusat pelayanan masyarakat yang optimal, digunakan metode
analisis skalogram terhadap data sekunder berupa sejumlah data potensi sumberdaya
manusia meliputi; variabel jumlah guru, murid, dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis,
bidan, perawat, dukun bayi/dukun kampung, potensi sumberdaya buatan meliputi; variabel
sekolah (fasilitas pendidikan), fasilitas kesehatan, tempat ibadah, fasilitas air bersih
(kapasitas PDAM terpasang), fasilitas energi/penerangan (daya listrik terpasang), dan
fasilitas komunikasi (kantor pos dan telekomunikasi), antar kecamatan dalam wilayah
Kabupaten Balangan.
Kemudian, dilakukan pendekatan analisis kualitatif. Setelah melakukan analisis dan
pembahasan secara berurutan dari tujuan satu dan dua, maka dilakukan proses sintesis
terhadap interpretasi atas temuan hasil analisis dan pembahasan pada tujuan satu dan dua,
sehingga akhirnya dapat memberikan jawaban permasalahan ketiga sebagai objective hasil
penelitian ini. Kerangka pemikiran penelitian konseptual dapat dilihat pada gambar 1.1.
berikut.
18
Rekomendasi
Keterangan :
Tij = Daya tarik atau banyaknya trip dari sub-wilayah i ke
sub-wilayah j,
Pi = Penduduk subwilayah i ,
Pj = Penduduk subwilayah j,
dij = Jarak antara subwilayah i dengan subwilayah j,
/ = Pangkat dari dij menggambarkan cepatnya jumlah trip menurun
seiring dengan pertambahan jarak. Nilai b dapat dihitung tetapi bila tidak maka
sering digunakan b = 2,
19 = Sebuah bilangan konstanta berdasarkan pengalaman, juga dapat
dihitung seperti b (Tarigan, 2010:105).
21
Interval Nilai =
Nilai Tertinggi − Nilai Terendah
3
= Wilayah adalah suatu permukaan yang luas, yang dihuni manusia yang
melakukan interaksi kegiatan dengan sumberdaya alam,sumberdaya
modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan sumberdaya
pembangunan lainnya, untuk mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi dan
sosial bagi masyarakat (Adisasmita, 2011: 59)
= Potensi wilayah adalah segala sesuatu yang dimiliki suatu wilayah yang
memungkinkan untuk dikembangkan sehingga mampu memberi nilai
tambah pada daerah tersebut
dapat ditentukan hierarki pusat pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah.
23
Gravitasi adalah salah satu model yang digunakan untuk
menghitung interaksi antar kota
JURNAL
EKONOMI
PEMBANGUNAN
Journal of Economic & Development
HAL: 54 - 66
IMELDA
Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Jalan Palembang-Indralaya,
Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia
ABSTRACT
Many reason had been delivered for split policy implementation on a region. Started from economic growth
does not appear everywhere and all at once; it appear in points or development poles with variable intensities.
The development gap between Palembang Seberang Ulu and Palembang Seberang Hilir is still an unsolved
problem. Therefore, need a way out in resolving this problem, that is establish new growth centers in the
Palembang city.
Base on the focus point, this research purposed to identify the growth center and hinterland on Palembang City
at South Sumatera. The data obtain from Central Board of Statistics by using Scalogram analysis to determine
the services center based on number and type of units of facilities that exist in any area. The conclusion is the
sub-district as the center of economy growth interacting each other with the surrounding sub-district as
hinterland.
PENDAHULUAN
Munculnya pusat pertumbuhan ekonomi daerah dapat dilihat dari beberapa sektor yang dinamis
dan mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tersebut, yang dapat
memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect) pada sektor lain
dan wilayah yang lebih luas. Dalam pendistribusian secara spasial ekonomi, kekuatan pasar akan
dijamin keseimbangannya. Selain itu, proses trickle down effect atau centre down dengan
sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang
tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan
perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan munculnya perusahaan--
perusahaan besar. Implementasi dari penciptaan pusat pertumbuhan harus diikuti oleh trickle
down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) melalui
aktivitas harmonis antara pusat pertumbuhan dengan basis sumberdaya di wilayah pedesaan,
sehingga kegiatan pusat pertumbuhan berdampak pada daerah sekitarnya juga akan dapat tumbuh.
Dengan kata lain, adanya pusat pertumbuhan ekonomi berimplikasi terhadap kegiatan
ekonomi yang terjadi di masyarakat yaitu, bagaimana hasil produksi dari pusat-pusat
pertumbuhan tersebut, dapat dipakai untuk menunjang pelaksanaan kegiatan ekonomi yang
berada di daerah sekitar pusat pertumbuhan (hinterland), sedangkan sisi lainnya adalah
produksi hasil daerah hinterland tersebut juga dipakai untuk menunjang kegiatan ekonomi
yang ada di pusat pertumbuhan. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil di pusat
pertumbuhan tersebut menjadi generator untuk mendukung kegiatan ekonomi daerah sekitar.
Palembang sebagai ibukota Sumatera Selatan menjadi pusat pertumbuhan daerah merupakan
salah satu kota metropolis di Indonesia. Secara geografis, di sebelah utara, timur dan barat
Palembang berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin sedangkan di sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Ogan Ilir. Kota Palembang sebagai pusat
pertumbuhan berdasarkan letaknya memiliki lokasi yang strategis secara internasional. Jarak
tempuh Palembang dengan Singapura sebagai salah satu pusat bisnis dunia sama dengan jarak
tempuh Palembang menuju Jakarta, ibukota Negara. Sebagai salah satu pusat pertumbuhan
diharapkan Palembang dapat memberikan spread effect bagi daerah belakangnya (hinterland)
di Sumatera Selatan terutama bagi daerah yang berbatasan langsung dengan Palembang yang
dikenal dengan istilah Patung Sang Jaya, yaitu akronim dari Palembang, Betung, Sungsang,
Jejawi, dan Indralaya.
Dengan peranan strategisnya sebagai salah satu penggerak roda perekonomian regional
kawasan barat Indonesia maka menarik untuk mengkaji dan menganalisis interaksi ekonomi
Kota Palembang sebagai pusat pertumbuhan dengan mengidentifikasi kecamatan-kecamatan
yang menjadi pusat pertumbuhan tersebut dan kecamatan-kecamatan hinterlandnya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini akan membahas tentang kecamatan
manakah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan dan hinterland di Palembang ?
TINJAUAN PUSTAKA
Secara konsepsi wilayah didefinisikan sebagai ruang yang memiliki kesatuan geografis beserta
segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional (Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang
Penataan Ruang). Demikian pula defenisi wilayah menurut Rustiadi, et al. (2006), bahwa wilayah
merupakan unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen
wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Berdasarkan batasan
tersebut, maka wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti, tetapi seringkali bersifat dinamis.
Karakteristik wilayah mencakup komponen: biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur),
manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian, pemahaman terhadap wilayah pada
hakekatnya merupakan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada
di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
55
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66
Ada beberapa cara untuk menetapkan suatu perwilayahan. Menurut Tarigan (2005), suatu
perwilayahan dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembentukan wilayah itu sendiri.
Dasar perwilayahan dibedakan menjadi :
c) Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan. Di Indonesia dikenal wilayah kekuasaan
pemerintahan, seperti propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, dan
dusun/lingkungan.
d) Berdasarkan kesamaan kondisi (homogeneity). Contoh yang paling umum adalah
kesamaan kondisi fisik.
e) Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. Ditetapkan terlebih dahulu beberapa pusat
pertumbuhan (growth centre) yang sama besar/rankingnya, kemudian ditetapkan batas
pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan.
Perkembangan modern konsep atau pusat pertumbuhan (growth point concept) terutama
berasal dari teori kutub pertumbuhan pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Perancis yaitu
Francis Perroux dengan teorinya pole croisanse atau pole de development. Pemikiran dasar
teori ini adalah kegiatan ekonomi di dalam suatu daerah cenderung terpusat pada satu titik
lokal (pusat). Kegiatan ekonomi tersebut akan semakin berkurang pengaruhnya jika semakin
menjauh dari pusat pertumbuhan tersebut. Akhirnya, pusat tersebut dapat dikatakan sebagai
titik pertumbuhan sedangkan daerah sekitarnya yang masih terpengaruh adalah daerah
pengaruhnya.
Menurut Sihotang (2001), semakin kuat ciri-ciri nodal dari daerah yang bersangkutan, akan
semakin tinggi tingkat pertumbuhannya dan perkembangan ekonomi sosialnya. Dengan
demikian, kebijakan regional yang diterapkan akan berhasil jika kebijakan tersebut
mendukung ciri-ciri nodal alami yang sudah terbentuk pada daerah tersebut. Selain itu, pusat-
pusat penduduk yang besar mempunyai potensi pasar yang tinggi dan secara kultural dan
sosial lebih menarik untuk dikembangkan. Dengan demikian, titik pertumbuhan biasanya
terjadi secara alami dan kemudian dikembangkan sehingga peningkatan ekonomi pada pusat
pertumbuhan tersebut amat tergantung dari penggunaan sumber daya yang digunakan pada
titik dan daerah pengaruhnya.
Pemusatan industri pada suatu daearah akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Konsep
titik pertumbuhan (growth point concept) adalah merupakan mata rantai antara struktur
daerah-daerah nodal yang berkembang dengan sendirinya dan perencanaan fisik dan regional.
Sebagaimana telah diketahui, keuntungan-keuntungan aglomerasi menyebabkan konsentrasi
produksi lebih efisien dari pada yang terpencar-pencar, sedangkan keseimbangan antara
keuntungankeuntungan skala dalam penyediaan pelayanan-pelayanan sentral dan keinginan
akan kemudahan hubungan telah mengakibatkan konsentrasi penduduk yang tersusun dalam
suatu hirarki difokuskannya pusat-pusat sub-regional bagi pertumbuhan telah membantu
menjembatani celah antara teori lokasi dan teori ekonomi regional. Selain itu juga
memasukkan unsur kesatuan dan pengarahan ke dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan regional
seperti: pembuatan prasarana pada titik-titik pertumbuhan, lokasi perumahan baru, dan
penggairahan migrasi intra-regional dan perjalanan ke tempat kerja ke pusat-pusat yang
direncanakan.
Pemikiran dasar dari titik pertumbuhan adalah bahwa kegiatan ekonomi di dalam suatu
wilayah cenderung beraglomerasi di sekitar sejumlah titik-titik tokal. Di dalam suatu wilayah,
arus polarisasi akan bergravitasi ke arah titik-titik tokal ini, walaupun kepadatan dari arus
tersebut akan berkurang karena jarak. Di sekitar titik tokal (pusat dominan) kita dapat
menentukan garis perbatasan dimana kepadatan arus turun sampai suatu tingkat kritis
minimum, pusat tersebut dapat dinamakan sebagai titik pertumbuhan, sedangkan wilayah di
dalam garis perbatasan merupakan wilayah pengaruhnya (wilayah pertumbuhan).
Berdasarkan penafsiran di atas, distribusi penduduk secara spasial tersusun dalam sistem pusat
hirarki dan kaitan-kaitan fungsional. Semakin kuat ciri-ciri nodal dari wilayah-wilayah yang
bersangkutan semakin tinggi tingkat pertumbuhannya dan demikian juga halnya
56
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843
daerah, seringkali pusat ini diciptakan untuk mengembangkan sub-daerah yang jauh dari
pusat utamanya. Perambatan perkembangan yang tidak terjangkau oleh pusat utamanya dapat
dikembangkan oleh pusat pertumbuhan sekunder ini. 3) Pusat pertumbuhan tersier (ketiga).
Pusat pertumbuhan tersier ini merupakan titik pertumbuhan bagi daerah pengaruhnya. Fungsi
pusat tersier ini ialah menumbuhkan dan memelihara kedinamisan terhadap daerah pengaruh
yang dipengaruhinya (Friedmann, 1966).
METODE PENELITIAN
Ruang lingkup pembahasan penelitian ini adalah identifikasi kecamatan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi serta interaksi kecamatan-kecamatan sebagai pusat pertumbuhan
dengan kecamatan lainnya sebagai pendukungnya (hinterland) di Kota Palembang. Periode
penelitian pada satu titik waktu yaitu kondisi Kota Palembang tahun 2011-2012. Metode
analisis yang digunakan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu dengan
mengidentifikasi indikator suatu daerah dikategorikan sebagai pusat kegiatan ekonomi dari
adanya keuntungan konsentrasi perkotaan yang meliputi diantaranya fasilitas-fasilitas
komersial, perbankan dan finansial, transportasi, komunikasi, adanya fasilitas-fasilitas sosial,
hiburan dan keuntungan skala dalam pelayanan umum oleh pemerintah (Sitohang, 2001).
Dengan menggunakan analisis Scalogram dapat diidentifikasi kecamatan yang dapat
dikelompokan sebagai pusat-pusat petumbuhan berdasarkan pada fasilitas perkotaan yang
dimiliki. Mampu tidaknya suatu kecamatan dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan dapat
dilihat dari fasilitas perkotaan yang dimilikinya (Blakely, 1999).
Analisis Scalogram bertujuan untuk mengidentifikasikan peranan suatu kota berdasarkan pada
kemampuan kota tersebut memberikan pelayanan kepada masyarakat. Semakin lengkap
pelayanan yang diberikan, menunjukan bahwa kota tersebut mempunyai tingkatan yang tinggi
dan dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan. Stone dalam Kodoatie (2003)
mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan atau
dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air,
tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk
memfasilitasi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial. Sistem Infrastruktur merupakan pendukung
utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitasfasilitas atau struktur-
struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan
untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg dalam Kodoatie,
2003). The World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1) infrastruktur
ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi,
meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan,
bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan
terbang dan sebagainya). 2) Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan
dan rekreas. 3) Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi
dan koordinasi.
Fasilitas kota selain mampu membentuk struktur fisik kota, juga dibutuhkan sebagai wadah
aktivitas baik ekonomi maupun sosial sehari-hari bagi masyarakat setempat (Morris, 2000).
Menurut United Nations (1979), fasilitas yang harus tersedia diantaranya adalah fasilitas:
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, olah raga, keagamaan, rekreasi, kebudayaan,
administrasi, keamanan, komersial, keuangan, pertanian, peternakan, industri, transportasi,
pos dan telekomunikasi, perumahan, persampahan, drainase, listrik, serta jalan. Fasilitas harus
merinci ruang lingkup pelayanan, jumlah dan kualitas fasilitas untuk masing-masing
kelompok umur, kebutuhan ruang, dan lain sebagainya. Pendekatannya dilakukan atas satuan
penduduk yang dapat mendukung adanya fasilitas tersebut. Fasilitas
58
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843
yang dibutuhkan dalam suatu kota kecamatan menurut standar DPU dapat dilihat pada tabel
1.
Metode skalogram dilakukan untuk mengetahui pusat pelayanan berdasarkan jumlah dan jenis
unit fasilitas pelayanan yang ada dalam setiap daerah. Asumsi yang dipakai adalah bahwa
wilayah yang memiliki ranking tertinggi adalah lokasi yang dapat ditetapkan menjadi pusat
pertumbuhan (Amas Yamin, dkk dalam Pardede, 2008). Dalam analisis skalogram ini subjek
diganti dengan pusat permukiman (settlement). Sedangkan objek diganti dengan fungsi atau
kegiatan. Indikator yang digunakan adalah jumlah penduduk, jumlah jenis jumlah unit.
59
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66
2
Nomor 23 tahun 1988 luas wilayah Kota Palembang adalah 400.61 km atau 40.061 Ha.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2012
Penduduk
No Kecamatan
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Ilir Barat II 37.918 36.761 74.679
2 Seberang Ulu I 94.867 92.183 187.050
3 Seberang Ulu II 53.166 51.202 104.368
4 Ilir Barat I 74.040 72.755 146.795
5 Ilir Timur I 39.387 40.267 79.654
6 Ilir Timur II 98.773 96.087 194.860
7 Sukarami 79.543 76.966 156.509
8 Sako 48.548 46.931 95.479
g Kemuning 47.415 46.319 93.734
10 Kalidoni 62.596 59.409 122.005
11 Bukit Kecil 25.248 25.243 50.491
12 Gandus 34.600 32.876 67.476
13 Kertapati 50.911 48.666 99.577
14 Plaju 48.880 47.394 96.274
15 Alang-Alang Lebar 48.307 47.091 95.398
16 Sematang Borang 20.087 19.304 39.391
Total 864.286 839.454 1.703.740
Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palembang
60
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843
Sarana pendidikan merupakan bidang yang akan sangat mempengaruhi kualitas sumber daya
manusia di masa depan. Sarana Pendidikan seperti jumlah Sekolah di Kota Palembang baik
Negeri maupun Swasta pada tahun ajaran 2011/2012 sebanyak 1.142 sarana pendidikan yang
terdiri dari 294 sekolah taman kanak-kanak, 358 Sekolah Dasar/Madarasah ibtidaiyah
(SD/MI), 198 Sekolah Menegah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), 162 Sekolah
Menegah Umum/ Madrasah Aliyah (SMU/MA), 63 Sekolah Menegah Kejuruan (SMK),
Sebanyak 62 Perguruan Tinggi/ Universitas.
Dengan besarnya jumlah penduduk maka ketersediaan sarana kesehatan menjadi penting.
Jumlah fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Klinik
bersalin dan puskesmas keliling pada tahun 2011 masing-masing berjumlah 26 unit, 39 Unit,
70 Unit, 32 unit dan 20 unit dari fasilitas tersebut diharapkan peningkatan kesehatan
masyarakat kota Palembang semakin meningkat.
Selain sarana kesehatan juga dibutuhkan fasilitas sosial lainnya. Salah satu fasilitas sosial
tersebut adalah panti asuhan. Jumlah panti asuhan yang dikelola swasta dan pemerintah di
Kota Palembang sebanyak 7 (tujuh) panti dengan jumlah penghuni sebanyak 431 orang.
Rincian masing-masing panti asuhan dapat dilihat pada Tabel 3berikut ini.
Jenis Kelamin
No Jenis Panti Jumlah
Laki-laki Perempuan
1 Panti Sosial Bina Anak Remaja - 20
20
(PSBAR)
2 Panti sosial rehabilitasi tresna Werdha 31 41
72
Teratai (PTWT)
3 Panti Rehabilitasi Pengemis, 88 68
156
Gelandangan dan orang telantar
4 Panti Rehabilisasi penderita cacat Netra 25 20
45
(PRPCN)
5 Panti rehabilitasi anak-anak Nusantara 19 1 20
Secara administratif Kota Palembang sejak tahun 2007dibagi menjadi 16 Kecamatan dan 107
Kelurahan.
1. Kecamatan Ilir Timur I :11 Kelurahan
2. Kecamatan Kemuning :6 Kelurahan
3. Kecamatan Ilir Timur II :12 Kelurahan
4. Kecamatan Kalidoni :5 Kelurahan
5. Kecamatan Ilir Barat I :6 Kelurahan
6. Kecamatan Bukit Kecil :6 Kelurahan
7. Kecamatan Ilir Barat II :7 Kelurahan
8. Kecamatan Gandus :5 Kelurahan
9. Kecamatan Seberang Ulu I :10 Kelurahan
10.Kecamatan Kertapati :6 Kelurahan
61
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66
Sebagai implementasi dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, Kota
Palembang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan,
Susunan dan Struktur Organisasi Pemerintah Kota Palembang yang terdiri dari Sekretaris
Daerah, 4 Asisten, 11 Bagian, Sekretariat DPRD, Inspektur, 17 Dinas, 1 Satuan, 9 badan, 3
BUMD dan 1 kantor sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Palembang.
Profil Ekonomi
Dengan semakin membaiknya perekonomian global, maka kondisi perekonomian Kota
Palembang di tahun 2012 pada dasarnya juga stabil. Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) sebagai indikator yang mencerminkan gambaran penciptaan nilai tambah bruto dari
berbagai aktivitas ekonomi di Kota Palembang dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan kontribusi atau peranan masing-masing sektor dalam pembentukan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) yang dalam konteks yang lebih jauh akan memperlihatkan bagaimana
suatu daerah terhadap kemampuan produksi dari masing-masing sektor perekonomian dapat
dilihat struktur ekonomi Kota Palembang. Berdasarkan pendekatan produksi, seluruh sektor
lapangan usaha yang ada di suatu wilayah biasanya di kelompokan dalam 9 sektor. Kesembilan
sektor tersebut dapat diklasifikasikan kembali dalam tiga sektor utama, yaitu Sektor Primer,
Sekunder, Tersier. Sektor Primer mencakup kegiatan pertanian, Pertambangan, dan penggalian.
Sektor Sekunder meliputi kegiatan industri
62
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843
pengolahan, listrik, Gas dan air bersih serta bangunan. Sektor Tersier mencakup kegiatan
Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan
jasa perusahaan serta jasa-jasa lainnya. Adapun struktur Ekonomi Kota Palembang masih
didominasi oleh sektor sekunder. Tabel 5 menyajikan struktur ekonomi menurut sektor
Primer, Sekunder dan Tersier.
Sektor Persentase
Primer 0.43
Sekunder 52.96
Tersier 46.7
Jumlah 100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palembang (angka sangat-sangat sementara)
Laju pertumbuhan ekonomi merupakan tolok ukur keberhasilan kinerja ekonomi daerah serta
dapat menunjukkan arah kebijakan pembangunan suatu wilayah pada kurun waktu tertentu.
Pertumbuhan tersebut merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam
sektor ekonomi, yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang
terjadi. Krisis global yang terjadi di tahun 2008 cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi Kota Palembang. Pada beberapa sektor ekonomi laju pertumbuhan melambat dari
tahun sebelumnya, yang pada akhirnya mengakibatkan total pertumbuhan ekonomi Kota
Palembang lebih kecil. Laju pertumbuhan tertinggi PDRB Kota Palembang Tahun 2012
adalah sektor Pengangkutan dan Komunikasi dengan pertumbuhan sebesar 12.11%.
Pendapatan perkapita adalah jumlah seluruh balas jasa faktor produksi yang diterima setiap
penduduk secara rata-rata dalam keterlibatannya pada faktor produksi dalam proses produksi
sehingga sering digunakan sebagai indikator dalam melihat kesejahteraan atau kemakmuran
masyarakat secara umum. Berdasarkan harga konstan dengan migas,
63
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66
pendapatan perkapita penduduk Kota Palembang di tahun 2012 naik sebesar Rp 606.656,00
atau naik dari Rp 11.051.444,00 tahun 2011 menjadi Rp11.658.100,00 di tahun 2012. Apabila
unsur migas Dikeluarkan, maka pendapatan perkapita penduduk Kota Palembang naik sebesar
Rp628.155,00 atau naik dari Rp9.979.416,00 di tahun 2011 menjadi Rp10.607.571 .00 pada
tahun 2012. Pendapatan regional perkapita Kota Palembang dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Berdasarkan konsentrasi penduduk dapat dilihat bahwa persebaran penduduk tidak merata dan
terpusat di Kecamatan ilir timur II (194860 orang, 11,45 persen), diikuti oleh Kecamatan
Seberang Ulu i (187.050 orang, 10,97 persen) dan Sukarami (156.509 orang, 9,2 persen).
Tingginya penduduk di tiga Kecamatan ini karena di Kecamatan tersebut merupakan sentra
industri dan sentra Pendidikan serta dipengaruhi perbatasan dengan Kabupaten lain atau
daerah pinggiran Kota. Tabel 4.7 menyajikan informasi tentang persebaran UKM di Kota
Palembang menurut kecamatan tahun 2012 yang memperlihatkan bahwa letak UKM paling
banyak ada di Kecamatan Ilir Timur II dan Sukarami. Jumlah UKM berdasarkan kelompok
industri yang terbesar sebarannya di Kecamatan Gandus, Kertapati, Ilir Timur I, Ilir Timur II,
Sako dan Sukarami. Dengan kelompok industri terbesar adalah kelompok UKM industri
logam, mesin, kimia dan aneka industri (89 unit usaha); dan UKM industri hasil hutan dan
perkebunan (10 unit usaha).
Tingginya konsentrasi penduduk tersebut menyebabkan tingginya permintaan ketersediaan
fasilitas umum baik sosial, ekonomi dan pemerintahan. Selain itu, jumlah penduduk yang
banyak juga menjadi pasar potensial sehingga pasar dan sentra produksi pun akan meletakkan
lokasi mendekati konsentrasi penduduk.
Jika dibagi menurut lokasi wilayah, maka pusat pertumbuhan Kota Palembang adalah
Kecamatan Ilir Timur I dan II, Sukarami, Seberang Ulu II, Kalidoni dan Ilir Barat dan II. Hal
ini ditunjukkan oleh nilai dari metode Scalogram pada Tabel 8. Ketersediaan fasilitas sosial
paling banyak di Kecamatan Ilir barat I, untuk fasilitas ekonomi di Ilir Timur I dan
pemerintahan di Ilir Timur II. Namun, dari tabel tersebut terlihat bahwa pusat pertumbuhan di
Kota Palembang masih terkonsentrasi (primer) di dua kecamatan saja yaitu Ilir Timur I dan II
dibandingkan 16 kecamatan yang ada. Baru kemudian diikuti pusat pertumbuhan kedua
(sekunder) oleh Kecamatan Ilir Barat 1 dan II (sebelah barat Palembang), Sukarami (Sebelah
Utara Palembang), Kalidoni (Sebelah Timur), dan Seberang Ulu 2 (Sebelah Selatan
64
IMELDA, Identifikasi Pusat Pertumbuhan ...…........ . ISSN 1829-5843
Palembang) dan Sako (Sebelah Timur Palembang), sedangkan yang lainnya menjadi daerah
hinterland di Kota Palembang. Dilihat dari perkembangan dari daerah sekunder, maka
Kecamatan Ilir Barat 1 dan II, Sukarami, Kalidoni, dan Seberang Ulu 2 akan dapat menjadi
daerah primer berikutnya.
Yang berpotensi menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru pada bagian wilayah utara
Palembang Kecamatan Seberang Ulu I dan II (wilayah Jakabaring), sebelah timur Palembang
adalah Kalidoni dan Sako, sebelah utara Palembang adalah Sukarami dan Alang-Alang Lebar,
serta sebelah Barat Palembang adalah Gandus.
PENUTUP
Kesimpulan
Pusat pertumbuhan primer di Kota Palembang adalah Kecamatan Ilir Timur I dan II, Sekunder
adalah Kecamatan Ilir Barat 1 dan II (sebelah barat Palembang), Sukarami (Sebelah Utara
Palembang), Kalidoni (Sebelah Timur), dan Seberang Ulu 2 (Sebelah Selatan Palembang) dan
Sako (Sebelah Timur Palembang) sedangkan kecamatan lainnya adalah hinterland Kota
Palembang.
DAFTAR RUJUKAN
Blakeley, Edward J. 1994. Planning Local Economic Development, Theory and Practice, USA,
Second edition, : SAGE Publication Inc.
BPS Sumatera Selatan, Palembang Dalam Angka 2011.
BPS Sumatera Selatan, Palembang Dalam Angka 2012.
65
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN, Juni 2013 Volume 11, No.1 hal: 54 - 66
100
1 Kab. Sambas 0,57 1,46 2,21 ++ 1,64 0,78 0,01 0,37 1,59 0,77 0,63
2 2 Kab. Bengka- 0,57 2,40 2,10 ++ 1,64 0,75 0,08 0,37 2,98 0,41 0,63
yang
Jan 3 Kab. Landak 0,57 3,30 2,33 ++ 1,64 -0,61 0,06 0,37 3,40 0,85 0,63
uari 4 Kab. Pontia- 0,57 -1,09 1,07 1,64 -0,49 0,01 0,37 -1,80 2,45 0,63
201 nak
5 Kab. Sanggau 0,57 1,27 1,69 ++ 1,64 0,22 0,07 0,37 1,16 2,22 ++ 0,63
6, 6 Kab. Keta- 0,57 1,24 1,64 ++ 1,64 1,77 0,50 0,37 4,84 1,60 ++ 0,63
hlm. pang
81– 7 Kab. Sintang 0,57 0,90 1,87 1,64 0,31 0,17 0,37 3,33 0,78 0,63
104 8 Kab. Kapuas 0,57 0,42 2,10 1,64 8,59 0,05 0,37 -3,07 0,36 --- 0,63
Hulu
9 Kab. Sekadau 0,57 1,45 2,3 ++ 1,64 0,17 0,12 0,37 1,24 1,05 ++ 0,63
10 Kab. Melawi 0,57 0,35 1,62 1,64 0,41 0,20 0,37 3,22 0,81 0,63
11 Kab. Kayong 0,57 1,15 2,20 ++ 1,64 0,98 0,09 0,37 3,18 1,57 ++ 0,63
Utara
1,64
No. 0
Kabu 0
paten
/Kota 0,37
-3,24
2,74
1
0,63
1,12
0,23
2
1,25
2,04
0,94
3
4 Kuala
5 ++
RPR
RPs
SLQ
Tand
a
RPR
RPs
SLQ
Tand
a
RPR
RPs
SLQ
Tand
a 19
RPR Kab. Tapin
R 0,57
Ps 1,06
SLQ 2,13
Tand
a 1,64
RPR
RPs 4,48
SLQ 0,55
Tand
a 0,37
4,22
16 0,33
Kab.
Kota
baru 0,63
0,57 0,88
1,46
1,73 0,77
++ ---
1,64 1,25
0,49 0,35
1,06
0,9
0,37
1,81
0,60
20
0,63 Kab. Hulu Su-
0,50 0,57
0,30
--- 0,78
1,25 1,89
0,95
0,69
1,64 0
2,33
0,09 0,37
0,88
0,37 0,87
1,70 ---
0,57 0,63
0,85
0,63 1,00
0,79
0,59 1,25
--- 0,78
1,25 0,94
0,43
0,72
ngai Utara
ngai
Selat
an
++
23
Kab. Tabalong
0,57
0,82
21 0,82
Kab. ---
Hulu 1,64
Su- 0,69
0,57 2,96
1,46
1,83 0,37
2,54
1,64 0,11
0,33
0,02 0,63
0,26
0,37 0,22
2,81 ---
0,71 1,25
0,64
0,63 0,35
1,13
0,51
24
1,25 Kab.
0,74 Tanah
0,64 0,57
1,65
0,79
ngai 1,64
Teng 0,51
ah 2,25
0,37
1,50
++ 0,71
0,63
0,50
0,51
---
1,25
0,97
0,75
Bumbu
++
22
Kab.
Hulu
Su-
0,57
1,29
1,56
1,64
0,44
3,36
1,25
0,96
2,33
25
Kab.
28
Balan
Kab.
gan
Kotawa-
0,57
0,57
1,01
1,48
1,06
2,12
1,64 ++
0,54 1,64
3,21 1,41
0,05
0,37
2,39 0,37
0,02 2,58
1,24
0,63 ++
1,51 0,63
0,18 1,89
0,57
1,25
1,09 1,25
0,25 0,74
0,57
P ,
26
Kota
Banj
ar-
0,57
2,14
0,05
1,64
0
0
0,37
-0,87
1,81
0,63 .M
0,98
2,99 ringin Barat
1,25
0,94
1,33
ratiwi
ru
masi
n
29
Kab.
Kotawa-
0,57
1,57
1,83
++
1,64
++ 0,91
0,04
0,37
1,94
27 1,31
Kota ++
Banja 0,63
rba- 1,35
0,57 0,60
1,03
0,25 1,25
1,18
1,64 0,55
0,16
0,43 C
ringin Timur
0,37
0,97
1,28
0,63 .
1,01
SLQ
Tanda
++
16
Kab. Kotabaru
0,92
1,19
0,99
++
1,20
0,47
0,94
1,40
1,27
.Y 0,22
30
1,07
Kab. 1,10
Kapu 0,51
as
0,57
1,41
2,54
1,64
0,79
0,02 17
Kab. Banjar
0,37 0,92
0,45 1,31
0,50 1,31
---
0,63 1,20
0,32 0,74
0,50 0,59
---
1,25 1,40
0,75 1,08
1,2 0,76
1,07
0,97
1,28
18
Kab. Batola
0,92
2,2
& 0,61
1,20
-0,10
0,18
No. 1,40
Kabu 1,03
paten 0,48
/Kota
1,07
0,81
6 0,90
8 19
Kab. Tapin
0,92
9 0,62
0,58
---
1,20
0,47
0,25
,
uncoro 1,4 0
K 0,35
0,87
RPR 1,07
RPs 0,059
SLQ
Tand 2,07
a
RPR
RPs
SLQ
Tand
a .M
RPR 20
RPs
SLQ Kab. Hulu Su-
Tand 0,92
a 0,78
RPR 1,12
R
Ps
1,20 1,40
0,57 0,75
0,61 0,83
1,40 1,07
0,75 0,83
0,75 2,43
1,07
0,87
2,32
ngai Utara
ngai
Selat
an
23
Kab. Tabalong
0,92
0,79
0,39
21 ---
Kab. 1,20
Hulu 0,90
Su- 0,19
0,92 +++
1,04 1,40
0,85 0,69
0,56
1,20
0,78 1,07
0,76 1,21
1,00
1,40
0,84
1,21
1,07
0,73
2,72 24
Kab.
Tanah
0,92
1,41
0,59
1,20
ngai 1,84
Teng 1,11
ah
1,40
1,86
0,24
1,07
1,41
0,43
Bumbu
22
Kab.
Hulu
Su-
0,92
0,84
1,17
1,20
0,65
0,81
ru
25
Kab.
Balan
gan
0,92
1,67
0,19
++
1,20
0,82
0,27
1,40
0,83
0,20
+++
1,07
1,01
0,57
+++
28
Kab.
Kotawa-
0,92
26 1,22
Kota 0,96
Banj
ar- 1,20
0,92 0,86
1,63 0,89
1,13
1,40
1,20 1,24
0,73 0,58
2,94
1,07
1,40 1,22
1,93 0,96
1,91
1,07
1,1
1,49
ringin Barat
++
masi
n
++
29
Kab.
Kotawa-
0,92
1,56
1,20
27 1,20
Kota 0,60
Banja 1,21
rba-
0,92 1,40
1,16 1,08
1,39 0,60
1,20 1,07
0,69 0,73
0,88 0,83
1,40
1,38
0,81
1,07
0,99
2,39 ringin Timur
bersambung...
30
Kab.
Kapu
as
0,92
1,21
0,86
1,20
0,28
0,43
1,40
0,90
1,01
1,07
0,47
1,08
101
102
RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda
2 31 Kab. Barito Se- 0,57 0,92 1,84 1,64 0,73 0,02 0,37 2,81 0,46
latan
Jan 32 Kab. Barito Uta- 0,57 0,15 1,47 1,64 0,79 0,91 0,37 0,26 0,44 ---
uari ra
201 33 Kab. Sukamara 0,57 1,19 3,38 ++ 1,64 0,46 0,02 0,37 2,36 0,19
34 Kab. Lamandau 0,57 1,30 1,88 ++ 1,64 3,88 3,11 +++ 0,37 3,12 0,04
6, 35 Kab. Seruyan 0,57 0,95 2,64 1,64 0,33 0,07 0,37 1,71 0,61
hlm. 36 Kab. Katingan 0,57 0,94 2,18 1,64 0,27 0,21 0,37 1,23 0,54
81– 37 Kab. Pulang Pi- 0,57 1,49 2,55 ++ 1,64 0,49 0,01 0,37 1,51 0,51
104 sau
38 Kab. Gunung 0,57 1,26 2,43 ++ 1,64 0,51 0,50 0,37 0,33 0,22
Mas
39 Kab. Barito Ti- 0,57 0,98 2,49 1,64 1,71 0,03 0,37 1,39 0,35
mur
40 Kab. Murung 0,57 0,44 1,52 1,64 0,23 1,78 0,37 3,34 0,24
Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...
Raya
41 Kota Palangka- 0,57 1,50 0,27 1,64 0,48 0,08 0,37 2,75 0,43
raya
42 Kab. Paser 0,57 1,19 0,80 1,64 1,17 3,41 +++ 0,37 2,59 0,15
43 Kab. Kutai Ba- 0,57 0,19 0,91 --- 1,64 0,87 2,46 0,37 3,6 0,18
rat
44 Kab. Kutai Kar- 0,57 0,47 1,25 1,64 1,72 1,42 +++ 0,37 2,26 0,62
tanegara
No. Kabupaten/Kota 6 7 8
RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda
31 Kab. Barito Se- 0,92 1,27 0,87 1,20 0,59 1,48 1,40 0,97 0,98
latan
32 Kab. Barito Uta- 0,92 0,91 0,91 --- 1,20 0,77 0,85 1,40 1,07 0,66
ra
33 Kab. Sukamara 0,92 1,23 0,86 1,20 0,46 0,17 1,40 1,49 0,41
34 Kab. Lamandau 0,92 1,24 0,04 1,20 1,03 0,93 1,40 0,83 0,40
35 Kab. Seruyan 0,92 1,56 0,96 1,20 0,53 0,81 1,40 0,62 0,42
36 Kab. Katingan 0,92 0,88 1,05 1,20 0,72 1,25 1,40 0,70 0,37
37 Kab. Pulang Pi- 0,92 0,98 1,04 1,20 0,08 0,26 1,40 7,36 0,73
sau
38 Kab. Gunung 0,92 1,33 0,74 1,20 0,02 0,28 1,40 0,39 0,34
Mas
39 Kab. Barito Ti- 0,92 0,96 0,66 --- 1,20 1,57 0,65 1,40 1,12 0,75
mur
40 Kab. Murung 0,92 0,85 0,50 --- 1,20 0 0,50 0,60 1,40 0,94 0,38
Raya
41 Kota Palangka- 0,92 1,73 1,01 ++ 1,20 0,38 2,16 1,40 1,25 1,20 +++
raya
bersambung...
Tabel 10: Hasil Analisis Overlay Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2000–2012 – Bagian 4
1 2 3 4
No. Kabupaten/Kota RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tand
45 Kab. Kutai Ti- 0,57 1,05 0,21 1,64 1,06 4,26 +++ 0,37 1,02 0,03 0,63 0,94 0,14 -
mur
46 Kab. Berau 0,57 0,77 0,91 --- 1,64 2,05 2,20 +++ 0,37 3,50 1,01 ++ 0,63 0,69 0,19 -
47 Kab. Malinau 0,57 -1,42 1,93 1,64 7,15 0,71 0,37 5,80 0,01 0,63 2,28 0,65
48 Kab. Bulung- 0,57 1,54 1,62 ++ 1,64 0,45 0,06 0,37 0,93 2,53 0,63 0,83 1,89
an
49 Kab. Nunuk- 0,57 0,45 2,03 1,64 10,18 0,76 0,37 16,94 0,02 0,63 1,23 1,67 +
an
50 Kab. Penajam 0,57 1,68 1,09 ++ 1,64 0,20 0,06 0,37 2,14 2,80 ++ 0,63 1,31 0,61
Paser Utara
51 Kab. Tana Ti-
kpapan
0,57 0,98 1,88 1,64 0,53 1,69 0,37 0,62 0,02 --- 0,63 0,79 2,82
dung
52 Kota Bali- 0,57 1,53 0,21 1,64 0,60 0 0,37 2,35 0,26 0,63 0,88 2,51
53 Kota Samarin- 0,57 0,96 0,10 --- 1,64 1,65 0,30 0,37 1,39 1,91 ++ 0,63 0,56 2,46
da
54 Kota Tarakan 0,57 1,32 0,51 1,64 0,54 0,04 0,37 2,82 0,95 0,63 1,69 3,99 +
55 Kota Bontang 0,57 0,05 0,06 --- 1,64 -0,96 0,09 0,37 3,18 2,98 ++ 0,63 1,62 0,88
6 7 8 9
No. Kabupaten/Kota RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tanda RPR RPs SLQ Tand
45 Kab. Kutai Ti- 0,92 2,16 0,22 1,20 0,76 0,16 1,40 0,49 0,19 1,07 0,69 0,10
mur
46 Kab. Berau 0,92 0,97 0,66 --- 1,20 0,60 0,72 1,40 0,37 0,11 1,07 0,56 0,36
47 Kab. Malinau 0,92 1,39 1,04 ++ 1,20 2,20 0,26 1,40 3,74 0,06 1,07 1,15 0,57
48 Kab. Bulung- 0,92 1,44 0,98 1,20 1,02 0,85 1,40 0,84 0,08 1,07 0,70 0,94
an
49 Kab. Nunuk- 0,92 2,63 0,93 1,20 1,19 0,39 1,40 1,13 0,05 1,07 1,42 0,90
an
50 Kab. Penajam 0,92 1,30 1,34 ++ 1,20 0,90 0,25 1,40 0,81 0,93 1,07 1,14 0,77
Paser Utara
51 Kab. Tana Ti- 0,92 0,84 0,68 --- 1,20 0,29 0,28 1,40 0,39 0,04 1,07 2,02 0,89
dung
52 Kota Bali- 0,92 1,07 2,57 ++ 1,20 1,27 1,91 +++ 1,40 0,70 0,96 1,07 0,65 0,63
kpapan
53 Kota Samarin- 0,92 1,41 1,47 ++ 1,20 0,83 1,28 1,40 0,68 2,48 1,07 0,82 1,66
da
54 Kota Tarakan 0,92 1,35 2,53 ++ 1,20 1,36 1,28 +++ 1,40 0,80 2,13 1,07 1,72 0,73
55 Kota Bontang 0,92 0,64 0,94 --- 1,20 0,73 0,44 1,40 0,30 0,95 1,07 0,65 0,44
Keterangan: 1. Pertanian. 2. Pertambangan dan Penggalian. 3. Industri Pengolahan. 4. Listrik, Gas dan Air Bersih. 5.
Bangunan. 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran.
7. Pengangkutan dan Komunikasi. 8. Keuangan,Persewaan, dan Jasa Perusahaan. 9. Jasa jasa.
104 Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial...