Anda di halaman 1dari 52

KONSEP PENGEMBANGAN

WILAYAH BERBASIS EKONOMI

MATA KULIAH :
PERENCANAAN WILAYAH (PW201423)

Ajeng Nugrahaning Dewanti, M.Sc.


Pengembangan Wilayah dari Atas (Top-Down)

Pengembangan Wilayah dari Bawah (Bottom-Up)

Pengembangan Ekonomi Lokael (LED)

One Village One Product (OVOP)

Outline
Pada prinsipnya, pengembangan wilayah bertujuan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dengan indikator
pendapatan perkapita yang merata dan tingkat pengangguran
rendah. Tingkat kemakmuran dinyatakan dengan pendapatan
regional perkapita dan kemampuan berkembang dicerminkan
oleh pertumbuhan pembangunan (Adisasmita, 2008).

• Pengembangan wilayah dari Atas (Top-down)


- Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Pole Theory)
• Pengembangan wilayah dari Bawah (Bottom-Up)
- Konsep Pengembangan Agropolitan

KONSEP PENGEMBANGAN
WILAYAH BERBASIS EKONOMI
Teori Pusat Pertumbuhan
(Growth Pole Theory)
“Growth does not appear everywhere and all at
once; it appear in points or development poles,
with variable intensities; it spreads along diverse
channels and with varying terminal effect for the
whole of the economic. In terms of geographic
space dominant and propulsive industries make the
agglomerations where they are located the poles of
their regions”
(Francois Perroux, 1955)
• Pusat pertumbuhan dapat diartikan dengan 2 cara
(Tarigan, 2005):
1. Secara fungsional  suatu lokasi konsentrasi kelompok
usaha atau cabang industri yang karena sifat
hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan
sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi
baik kedalam maupun keluar (wilayah belakangnya).
2. Secara geografis  suatu lokasi yang banyak memiliki
fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya
tarik (pole of attraction)
Ciri-ciri Pusat pertumbuhan

 Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan


yang memiliki nilai ekonomi;
 Adanya efek pengganda (multiplier effect);
 Adanya konsentrasi geografis;
 Bersifat mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya.
• Elemen yang sangat menentukan pusat pertumbuhan:
pengaruh suatu unit ekonomi terhadap unit-unit
ekonomi lainnya
• Pengaruh  dominasi ekonomi yang terlepas dari
pengaruh tata ruang geografis (geographic space) dan
dimensi tata ruang (dimension space)
• Industri pendorong (propulsive industries)  titik awal
pembangunan

Perroux (Adisasmita, 2005)


Tahap 1
• Pada tahap ini dibuat
suatu industry propulsive
sebagai titik-titik
pertumbuhan yang
diharapkan dapat
menarik perusahaan
karena adanya
keuntungan aglomerasi
Tahap 2
• Industry propulsive mulai
berperan sebagai kutub
pertumbuhan, Di mana
mulai banyak perusahaan
lain yang berlokasi di
sekelilingnya untuk
memanfaatkan keuntungan
aglomerasi
Tahap 3
• Efek menyebar (spread effect)
diperlihatkan dengan garis panah
ke arah luar.
• Adanya kutub pertumbuhan,
diharapkan dapat memacu
perkembangan wilayah sekitarnya
dengan pembangunan sarana dan
prasarana pendukung, perumahan
dll.
• Sehingga seluruh wilayah pada
akhirnya mendapatkan efek dari
adanya kutub pertumbuhan
tersebut
Kritik terhadap Teori Pusat Pertumbuhan
(Growth Pole Theory) :

• Besarnya industri itu sendiri tidak cukup menjamin


pertumbuhan ekonomi
• Propulsive industries yang juga diterapkan dalam konsep
pertumbuhan tidak seimbang (unbalance growth)  tidak
sukses
• Kedudukan industri pendorong sering kali diartikan terlalu
berlebihan (overestimated)

(Adisasmita, 2005)
Kegagalan Dampak
Pertumbuhan Ke Wilayah
Pengaruh
• Tidak terjadinya trickle down effect  Polarisasi 
Backwash effect
• Strategi kebijakan pembangunan pemerintah pusat
banyak diarahkan pada wilayah perkotaan 
kesenjangan antara pusat pertumbuhan dan wilayah
pengaruhnya
KONSEP AGROPOLITAN
• Konsep Agropolitan
dikemukakan oleh Friedmann
(dalam Morgan dan Robert:
1974).
• Konsep ini berkaitan dengan
Teori Daerah Inti.
• Di sekitar daerah inti (core
region) terdapat daerah-daerah
pinggiran atau periphery region.
• Daerah-daerah pinggiran
seringkali disebut pula daerah-
daerah pedalaman atau daerah-
daerah sekitarnya
KONSEP AGROPOLITAN

• Friedmann menganjurkan pembentukan agropolis-


agropolis atau kota- kota di ladang.
• Hal ini bertujuan agar tidak mendorong
perpindahan penduduk desa ke kota-kota besar,
tetapi mendorong mereka untuk tetap tinggal di
tempat mereka semula.
• Dengan pembangunan agropolitan ini, pertentangan
abadi antara kota dan desa dapat diabaikan
KONSEP AGROPOLITAN
• Secara konseptual pengembangan agropolitan merupakan
sebuah pendekatan pengembangan suatu kawasan pertanian
perdesaan yang mampu memberikan berbagai pelayanan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di kawasan produksi
pertanian di sekitarnya, baik pelayanan yang berhubungan
dengan sarana produksi, jasa distribusi, maupun
pelayanan sosial ekonomi lainnya. (Rustiadi (2009)
KONSEP AGROPOLITAN
• Nasution (1998) mendeskripsikan karakteristik agropolitan atas lima kriteria, antara
lain :

1. Agropolitan meliputi kota-kota berukuran kecil sampai sedang (berpenduduk paling


banyak 600.000 jiwa dengan luas wilayah maksimum 30.000 hektar)
2. Agropolitan memiliki wilayah belakang perdesaan (hinterland) penghasil komoditas
utama atau unggulan dan beberapa komoditas penunjang sesuai kebutuhan yang
selanjutnya dikembangkan berdasarkan konsep perwilayahan komoditas.
3. Agropolitan mempunyai wilayah inti/perkotaan (central land) tempat dibangunnya
agroindustri (terdiri dari beberapa perusahaan) pengolahan komoditas yang
dihasilkan wilayah perdesaan yang pengembangannya disesuaikan dengan kondisi
alamiah produksi komoditas utama (unggulan)
4. Agropolitan memiliki pusat pertumbuhan yang harus dapat memperoleh manfaat
ekonomi internal bagi perusahaan serta sekaligus memberikan manfaat eksternal
bagi pengembangan agroindustri secara keseluruhan.
5. Agropolitan mendorong wilayah perdesaan untuk membentuk satuan-satuan usaha
secara optimal melalui kebijakan sistem insentif ekonomi yang rasional.
Tahapan Pengembangan Wilayah dengan
Konsep Agropolitan

• Berangkat dari konsep growth


pole, di mana suatu wilayah
terdiri dari daerah inti (core
region) dan daerah pinggiran
(periphery).
• Namun dalam prakteknya,
fenomena yang muncul adalah
adanya kesenjangan
pertumbuhan antara core
region dengan periphery
region
• Untuk menyeimbangkan
pertumbuhan antara core
region dengan periphery
region. Maka Friedmann
mengusulkan dibentuknya
distrik-distrik agropolitan di
periphery region (konsep
agropolitan)
• Distrik agropolitan
diharapkan dapat
mengembangkan
wilayah di periphery
region.
• Akhir yang diharapkan
adalah keseimbangan
spasial
Konsepsi Pengembangan Kawasan
Agropolitan
LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT/
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL???
Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)
World Bank
• PEL sebagai proses yang dilakukan secara bersama oleh pemerintah, usahawan, dan organisasi non
pemerintah untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja di tingkat lokal.
Blakely and Bradshaw
• PEL adalah proses dimana pemerintah lokal dan organsisasi masyarakat terlibat untuk mendorong,
merangsang, memelihara, aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan
International Labour Organization (ILO)
• PEL adalah proses partisipatif yang mendorong kemitraan antara dunia usaha dan pemerintah dan
masyarakat pada wilayah tertentu, yang memungkinkan kerjasama dalam perancangan dan
pelaksanaan strategi pembangunan secara umum, dengan menggunakan sumber daya local dan
keuntungan kompetitif dalam konteks global, dengan tujuan akhir menciptakan lapangan pekerjaan
yang layak dan merangsang kegiatan ekonomi.
A. H. J. Helming
• PEL adalah suatu proses dimana kemitraan yang mapan antara pemerintah daerah, kelompok berbasis
masyarakat, dan dunia usaha mengelola sumber daya yang ada untuk menciptakan lapangan
pekerjaan dan merangsang (pertumbuhan) ekonomi pada suatu wilayah tertentu. Menekankan pada
kontrol lokal, dan penggunaan potensi sumber daya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik.
Definisi PEL
 Berdasarkan analisis thd kelebihan dan
kelemahan dari beberapa definisi tentang PEL
(a.l. Bank Dunia, ILO, Blakely & Bradshaw, dll)
dan penyesuaian thd kondisi sosial, ekonomi,
dan budaya masyarakat di Indonesia, PEL
didefinisikan sbb.
PEL adalah usaha mengoptimalkan
sumber daya lokal yang melibatkan
pemerintah, dunia usaha (swasta), dan
masyarakat lokal untuk
mengembangkan ekonomi pada suatu
wilayah. 24
Fokus PEL
Definisi PEL tersebut memfokuskan kepada:
1. Peningkatan sumberdaya lokal;
2. Pelibatan stakeholders secara substansial dalam suatu kemitraan
strategis;
3. Peningkatan ketahanan dan kemandirian ekonomi;
4. Pembangunan berkelanjutan;
5. Pemanfaatan hasil pembangunan oleh sebagian besar
masyarakat lokal;
6. Pengembangan usaha kecil dan menengah;
7. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai secara inklusif;
8. Penguatan kapasitas dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia;
9. Pengurangan kesenjangan antar golongan masyarakat, antar
sektor dan antar daerah;
10. Pengurangan dampak negatif dari kegiatan ekonomi terhadap 25
lingkungan.
Dimensi PEL
Dimensi atau batasan PEL adalah sebagai berikut:

(1) Pengertian lokal yang terdapat dalam definisi PEL tidak merujuk
pada batasan wilayah administratif tetapi lebih pada peningkatan
kandungan komponen lokal maupun optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya lokal.

(2) PEL sebagai inisiatif daerah yang dilakukan secara partisipatif.

(3) PEL menekankan pada pendekatan pengembangan bisnis, bukan


pada pendekatan bantuan sosial.

(4) PEL bukan merupakan upaya penanggulangan kemiskinan secara


langsung.

(5) PEL diarahkan untuk mengisi dan mengoptimalkan kegiatan


ekonomi yang dilakukan berdasarkan pengembangan wilayah,
pewilayahan komoditas, tata ruang, atau regionalisasi ekonomi. 26
Tujuan PEL
1. Terlaksananya upaya percepatan pengembangan ekonomi lokal melalui pelibatan
pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat lokal dalam suatu proses yang
partisipatif.
2. Terbangun dan berkembangnya kemitraan strategis dalam upaya percepatan
pengembangan ekonomi lokal diantara stakeholder secara sinergis.
3. Terbangunnya sarana dan prasarana ekonomi yang mendukung upaya
percepatan pengembangan ekonomi lokal.
4. Terwujudnya pengembangan dan pertumbuhan UKM secara ekonomis dan
berkelanjutan.
5. Terwujudnya peningkatan PAD dan PDRB.
6. Terwujudnya peningkatan pendapatan masyarakat, berkurangnya
pengangguran, menurunnya tingkat kemiskinan.
7. Terwujudnya peningkatan pemerataan antar kelompok masyarakat, antar sektor
dan antar wilayah.
8. Terciptanya ketahanan dan kemandirian ekonomi masyarakat lokal.
27
Heksagonal PEL

Kelompok
Sasaran

Proses
Manajemen

Faktor
Lokasi
Pengembangan
Ekonomi Wilayah
Berkelanjutan

Tata
Kepemerintahan

Kesinergian dan
Fokus Kebijakan
Pembangunan
Berkelanjutan
28
Pelaku usaha lokal

Investor Luar Pelaku usaha baru

Kelompok Sasaran 29
Kelompok Sasaran

 Investor luar:
Peraturan ttg kemudahan investasi, informasi prospek bisnis, kapasitas
berusaha dan hukum, keamanan, kampanye, pusat pelayanan investasi
 Pelaku Usaha Lokal :
Modal, promosi, peningkatan teknologi, manajemen & kelembagaan
 Pelaku Usaha Baru:
Pelatihan kewirausahaan, pendampingan & monitoring, insentif,
kecepatan ijin

30
Faktor Lokasi
Terukur

Faktor Lokasi Tidak Faktor Lokasi Tidak


Terukur Individual Terukur Pelaku Usaha

Faktor Lokasi 31
FAKTOR LOKASI

• Faktor lokasi terukur:


Akses ke dan dari lokasi, akses ke pelabuhan laut dan udara,
sarana transportasi, infrastruktur komunikasi, infrastruktur
energi, ketersediaan air bersih, tenaga kerja trampil, jumlah
Lembaga Keuangan lokal,
• Faktor lokasi tdk terukur untuk dunia usaha:
Peluang kerjasama, Lembaga Penelitian
• Faktor lokasi tidak terukur individual:
Kualitas: pemukiman, lingkungan, fasilitas pendidikan dan
32
pelatihan, pelayanan kesehatan, fasos & fasum, etos kerja SDM
Perluasan Ekonomi

Pembangunan Pemberdayaan
Wilayah Masyarakat
Pengembangan
Komunitas

KETERKAITAN DAN FOKUS


KEBIJAKAN 33
Keterkaitan dan
Fokus Kebijakan

• Perluasan Ekonomi:
Kebijakan: investasi, promosi, persaingan usaha, peran
Perusahaan Daerah, jaringan usaha, informasi tenaga kerja,
pengembangan keahlian
• Pemberdayaan Masy. & Pengembangan Komunitas
Kebijakan: Pemberdayaan Masyarakat berbasis kemitraan
swasta, pengurangan kemiskinan
• Pembangunan Wilayah
Kebijakan: pusat pertumbuhan, pengemb. Komunitas, kerjasama
antar daerah, tata ruang PEL, jaringan usaha antar sentra, sistem
industri berkelanjutan
34
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Ekonomi

Sosial Lingkungan

35
Pembangunan Berkelanjutaan

• Ekonomi:
Pengembangan Industri pendukung, perusahaan dgn Business Plan,
perusahaan dgn inovasi
• Sosial
Kontribusi terhadap kesejahteraan, PEL & adat/kelembagaan lokal
• Lingkungan
Penerapan amdal, daur ulang, kebijakan Konservasi Sumber Daya
Alam
36
Kemitraan Pemerintah dan
Dunia Usaha

Reformasi Sektor Pengembangan


Publik Organisasi

TATA KEPEMERINTAHAN 37
Tata Kepemerintahaan

• Kemitraan Pemerintah & dunia usaha:


Kemitraan: infrastruktur, promosi & perdagangan, pembiayaan
• Reformasi Sektor Publik
Reformasi: sistem insentif, restrukturisasi organisasi pemerintahan,
prosedur pelayanan publik
• Pengembangan Organisasi
asosiasi industri: status, peran, manfaat
38
PROSES MANAJEMEN

Diagnosis Partisipatif

Monitoring dan Perencanaan dan


Evaluasi Implementasi
Partisipatif Partisipatif

39
Proses Manajemen
• Diagnosa secara partisipatif
Analisis & Pemetaan: potensi ekonomi, daya saing, kondisi
politis lokal, serta identifikasi stakeholder
• Perencanaan dan Implementasi secara partisipatif
Diagnosis vs perencanaan, jumlah stakeholder, sinkronisasi
(sektoral&spasial), implementasi vs perencanaan
• Monev secara partisipatif
Keterlibatan stakeholder: indikator & monev, frekuensi: monev
& diskusi pemecahan masalah, hasil monev vs perencanaan yg
akan datang 40
One Village One Product

• Theoretical Framework
Endogenous Development
 “Endogenous development”  pengembangan ekonomi lokal tidak berdasarkan
kemampuan suatu wilayah untuk menarik datangnya industri dari luar, melainkan
kemampuan wilayah untuk mengangkat transformasi struktur produksinya. (Dinis
2006).
 Pengembangan OVOP bertujuan untuk mendorong pengembangan pedesaan
melalui “community-oriented activities” dengan memberdayakan sumber daya dan
kearifan lokal.
 Thus, this development could be viewed as having ‘endogenous’, rather than
‘exogenous’ elements as its key features. The original concept of an endogenous
model of development appeared in the late 1970s, advocated by Friedman and
Weaver (1979)
 Friedman (2007) identified seven elements of regional assets necessary for
endogenous development: basic human needs, organized civil society, the heritage
of an established environment and popular culture, intellectual and creative assets,
regional resource endowment, the quality of its environment, and infrastructure
Pemerinta
h

Pengusaha Intelektual

(Abiyoso, 2008)
One Village One Product

• The ‘One Village One Product’ (OVOP)  pertama di gagas


di Oita Prefecture, Jepang, di akhir 1970, dan bertujuan
untuk memvitalisasi ekonomi pedesaan.
• Sebagai salah satu cara untuk:
- meningkatkan kemampuan enterpreneur masyarakat
lokal dengan menggunakan sumberdaya dan kearifan
lokal;
- membuat nilai tambah suatu aktivitas melalui “branding
of local product”;
- Membangun sumberdaya manusia dalam ekonomi lokal;
One Village One Product
• Social Capital and Community-Based Enterprises (CBEs)
Social and small business entrepreneurs have been increasingly
playing an important role in complementing government in the
field of poverty alleviation as well as sustainability in local
rural society in developing countries (Bornstein 2007; Dees 2007;
Peredo and Chrisman 2006; Torii 2009 and 2010)
Community-based enterprises (CBEs) are formed as a result of a
local community’s entrepreneurial activities, by employing their
social resources, structures and networks (Torri 2009).
• Theoretical basis for OVOP activities
Essentially, the OVOP movement is to encourage villages to come
up with a product, which is unique in the world. In economic
theory, the effectiveness of such a project can be understood from
the concept of product differentiation.
One Tambon One Product (Thailand)

• Masalah kesenjangan pendapatan dan kekayaan antara perdesaan dan


perkotaan menjadi salah satu latar belakang disusunnya kebijakan
OTOP. Beberapa lembaga yang dilibatkan dalam kebijakan ini adalah
Departemen pengembangan pertanian, Departemen Peternakan,
Departemen Industri, dan Departemen Pengembangan Pedesaan.
• Tahun 2001: penangguhan pembayaran hutang petani untuk 3tahun,
dan memberikan pinjaman sampai 1 juta Baht untuk setiap desa
• Village Rural Revolving Fund (source of capital for OTOP project)
• 2002-2006 (9th National Economic Development Plan) 
Sufficiency Economy (Thai King’s philosophy), stressing a more
balanced, holistic and sustainable path of development, which could
alleviate the economic and social impacts of the crisis.
Administration of OTOP

• In Oita prefecture, local government has played a catalytic


role; in Thailand it is the national government that has been
playing a central role.
KEBIJAKAN OTOP
• Pembuatan “brand OTOP” untuk strategi pemasaran
• Pemberian “grade” (bintang 1 sampai bintang 5) pada OPC (OTOP Product
Champion) untuk setiap product yang terdaftar di OTOP dengan kriteria
penilaian sbb:
1. Berpotensi ekspor
2. Stabilitas dan keberlanjutan produksi, dan stabilitas kualitas
3. Tingkat kepuasan konsumen
4. “Background of the product”  penggunaan sumberdaya lokal yang
tersedia
• Klasifikasi Produk OTOP, terdiri dari 5 tipe:
1. Makanan
2. Minuman
3. Tekstil
4. Kerajinan tangan dan souvenir
5. Produk herbal
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai