Anda di halaman 1dari 6

TINJAUAN KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH

Dikutip dari Internet (www.bappenas.go.id)


Oleh : Luthfi Muta’ali
Geografi-ugm
(luthfimutaali@yahoo.com)

Pengembangan wilayah mengandung arti yang luas, namun pada prinsipnya


merupakan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan
hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan
kesejahteraan antar wilayah. Berbagai konsep pengembangan wilayah telah diterapkan
di berbagai negara melalui berbagai disiplin ilmu. Konsep-konsep yang telah pernah
berkembang sebelumnya umumnya didominasi oleh ilmu ekonomi regional, walaupun
sesungguhnya dalam penerapannya akan lebih banyak tergantung pada potensi
pertumbuhan setiap wilayah yang akan berbeda dengan wilayah lainnya, baik potensi
SDA, kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan
lainnya. Di bab ini akan dibahas mengenai beberapa konsep konvensional
pengembangan wilayah yang berkembang dan bagaimana keterkaitan konsep-konsep
tersebut dengan tantangan eksternal dan internal di Indonesia.

1. Konsep Wilayah Berbasis Karakter Sumber Daya yang Dimiliki

Kebutuhan akan pengembangan daerah dengan pendekatan kewilayahan yang


berkembang pada masa kini pada umumnya didasari atas adanya masalah-masalah
ketidakseimbangan demografi dalam suatu daerah, tingginya biaya, turunnya taraf
hidup masyarakat, ketertinggalan pembangunan suatu daerah dengan daerah lainnya,
dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak di daerah tertentu. Pengembangan
wilayah sesungguhnya merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari semua
kegiatan, yang didasarkan atas sumber daya yang ada dan kontribusinya pada
pembangunan suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, dalam mengembangkan suatu
wilayah diperlukan pendekatan-pendekatan tertentu yang disesuaikan dengan
karakteristik daerah yang bersangkutan.
Beberapa pendekatan pengembangan wilayah berdasarkan karakter dan sumber
daya daerah yang bersangkutan, antara lain dikemukakan sebagai berikut:

1. Pengembangan wilayah berbasis sumber daya


Konsep ini menghasilkan sejumlah pilihan strategi sebagai berikut :
a. Pengembangan wilayah berbasis input namun surplus sumber daya manusia
Bagi wilayah yang memiliki SDM yang cukup banyak namun lahan dan SDA
terbatas maka labor surplus strategy cukup relevan untuk diterapkan. Tujuan
utama strategi ini adalah menciptakan lapangan kerja yang bersifat padat karya
dan mengupayakan ekspor tenaga kerja ke wilayah lain.
b. Pengembangan wilayah berbasis input namun surplus sumber daya alam
Strategi ini mengupayakan berbagai SDA yang mengalami surplus yang dapat
diekspor ke wilayah lain baik dalam bentuk bahan mentah maupun bahan
setengah jadi. Hasil dari ekspor SDA ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
mengimpor produk yang jumlahnya sangat terbatas di wilayah tersebut,
misalnya barang modal, bahan baku, bahan penolong, barang konsumsi atau
jasa.

Yang dimaksud kondisi eksternal adalah masalah globalisasi, otonomi daerah dan
kesenjangan antar daerah. Sedangkan kondisi internal adalah kondisi di dalam wilayah
tersebut yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja pengembangan wilayah, yaitu
mencakup sumberdaya manusia, prasarana, kelembagaan, keterkaitan antar industri,
dsbnya.
c. Pengembangan wilayah berbasis sumber daya modal dan manajemen
Strategi pengembangan wilayah berdasarkan pengembangan lembaga
keuangan yang kuat dan pengembangan sistem manajemen yang baik, yang
dapat ditempuh oleh wilayah yang memiliki keterbatasan dalam hal modal dan
manajemen tersebut.
d. Pengembangan wilayah berbasis seni budaya dan keindahan alam
Wilayah dengan potensi-potensi pantai dan pemandangan yang indah, seni
budaya yang menarik dan unik, dapat mengembangkan wilayahnya dengan
cara membangun transportasi, perhotelan dan restoran, indutri-industri
kerajinan, pelayanan travel, dan lainnya yang terkait dengan pengembangan
kepariwisataan.

2. Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan


Konsep ini menekankan pada pilihan komoditas unggulan suatu wilayah sebagai
motor penggerak pembangunan, baik di tingkat domestik maupun internasional.

3. Pengembangan wilayah berbasis efisiensi


Konsep ini menekankan pengembangan wilayah melalui pembangunan bidang
ekonomi yang porsinya lebih besar dibandingkan dengan bidang-bidang lain.
Pembangunan ekonomi ini dilaksanakan dalam kerangka pasar bebas/pasar
persaingan sempurna.

4. Pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan


Peranan setiap pelaku pembangunan menjadi fokus utama dalam pengembangan
wilayah konsep ini. Pelaku pembangunan ekonomi tersebut dapat dipilah menjadi
lima kelompok yaitu : usaha kecil/rumah tangga (household), usaha lembaga sosial
(nonprofit institution), lembaga bukan keuangan (nonfinancial institution),
lembaga keuangan (financial institution), dan pemerintah (government). Di
Indonesia, di samping kelima pelaku tersebut, juga terdapat pelaku pembangunan
ekonomi lain yaitu koperasi (UUD 1945).

2. Konsep Pengembangan Wilayah berbasis Penataan Ruang

Tiga konsep pengembangan wilayah diperkenalkan dalam kebijakan


pembangunan berbasis pendekatan tata ruang. Pada umumnya konsep ini lebih
didasarkan pada penataan ruang wilayah, yang dirinci ke dalam wilayah propinsi dan
kabupaten, yaitu
1. Pusat pertumbuhan Konsep ini menekankan pada perlunya melakukan investasi
pada suatu wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik. Hal ini cukup
dimaksudkan untuk menghemat investasi prasarana dasar dengan harapan
perkembangan sektor unggulan dapat mengembalikan modal dengan cukup cepat.
Sementara pengembangan wilayah di sekitarnya diharapkan diperoleh melalui
proses tetesan (trickle down effect) ke bawah. Di Indonesia, konsep ini
diimplementasikan dalam bentuk Kawasan Andalan. Meskipun istilah kawasan
andalan tidak sepenuhnya sama dengan konsep pusat pertumbuhan namun
penentuan kawasan andalan dimaksudkan sebagai kawasan yang dapat
menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya melalui pengembangan sektor-
5
sektor unggulan .
2. Integrasi Fungsional
Konsep ini merupakan suatu alternatif pendekatan yang mengutamakan adanya
integrasi yang diciptakan secara sengaja di berbagai pusat pertumbuhan karena
adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu wilayah
memiliki hirarki. Konsep center–periphery yang diintegrasikan secara fungsional
agar terjadi ikatan yang kuat ke depan maupun ke belakang dari suatu proses
produksi merupakan pengembangan dari konsep ini.
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari
sumber daya modal dan sumber daya manusia.
Berbagai konsep tersebut di atas tidak secara konsisten dan konsekuen
diimplementasikan karena berbagai macam permasalahannya, serta pada akhirnya
belum dapat menciptakan pembangunan secara merata. Pemerintah pusat yang
sentralistis cenderung pada konsep pusat pertumbuhan, karena lingkup wilayah yang
sangat luas sementara dana pembangunan terbatas. Selain itu, kebijakan sektoral di
pusat tidak kondusif dan tidak terpadu di dalam memacu pertumbuhan ekonomi di
daerah, dan pembangunan cenderung bersifat top down yang tidak mengakomodasi
kebutuhan berbagai pelaku di daerah.

3. Konsep Pengembangan Wilayah Terpadu

Konsep pengembangan wilayah terpadu pernah dilaksanakan melalui berbagai


ragam program pengembangan wilayah terpadu, yang pada asalnya merupakan upaya
pembangunan wilayah-wilayah khusus yang bersifat lintas sektoral dan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta penanggulangan kemiskinan di
daerah-daerah yang relatif tertinggal. Pada dasarnya program ini berorientasi pada
strategi pemerataan pembangunan, yang dapat berorientasi sektoral apabila terkait
dengan beragamnya kegiatan sektoral dalam satu wilayah, dan dapat berorientasi
regional apabila terkait dengan upaya suatu wilayah untuk meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan dari suatu kawasan tertentu agar dapat memiliki
kondisi sosial ekonomi yang lebih meningkat.
Pendekatan yang komprehensif dan mengacu pada keterpaduan antar sektor
telah banyak dilakukan, dalam berbagai fokus kawasan pengembangan, seperti
pengembangan wilayah kepulauan, pengembangan konservasi lahan kritis atau yang
terkait dengan kepentingan mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup,
pengembangan kawasan penyangga, pengembangan sosial budaya pembinaan
6
masyarakat terasing dan pengembangan wilayah tertinggal atau perbatasan . Program-
program yang telah pernah dijalankan adalah misalnya program-program
pengembangan wilayah terpadu (PPWT) di beberapa wilayah propinsi di Yogyakarta,
Sulawesi, NTT, Irian Jaya; program-program integrated community development
program di taman-taman nasional, wilayah pantai atau wilayah konservasi lainnya.
Sasaran utama dari program-program ini umumnya adalah peningkatan
kesejahteraan dan mutu sumber daya manusia, perbaikan mutu lingkungan hidup
kawasan, dan pembangunan wilayahnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka
pendekatan yang dipakai adalah pendekatan pengembangan wilayah secara terpadu,
dalam artian penanganan pelaksanaan program dilakukan melalui serangkaian kegiatan
yang bersifat multisektor, serta disesuaikan menurut permasalahan yang dihadapi oleh
masing-masing kawasan atau daerah. Aspek-aspek utama kegiatannya didasarkan pada
pengembangan kualitas kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai bentuk
pelatihan, transformasi teknologi, keahlian dalam berbagai bidang, serta berorientasi
pada kebutuhan permintaan pasar di daerah. Kegiatannya sendiri mengikutsertakan
pemberian fasilitas peralatan dan permodalan yang dalam beberapa kasus harus
dikembangkan dalam bentuk dana bergulir sehingga menjamin keberlanjutan program.
Pengelolaan program-program dengan pendekatan keterpaduan, sepenuhnya
melibatkan pemerintah daerah tingkat kabupaten dan masyarakat, dengan memberikan
peluang yang lebih besar kepada lembaga swadaya masyarakat, kaum wanita, kaum
muda, dan organisasi masyarakat lainnya, untuk dapat berperan serta. Koordinasi
penanganan program dilakukan melalui pembentukan kelompok kerja yang terdiri atas
instansi terkait di tingkat kabupaten yang sesuai dengan program kegiatan yang
dilakukan secara lintas sektoral tersebut. Koordinasi tersebut dilakukan oleh Bappeda
Kabupaten dan Biro Penyusunan Program Setwilda Kabupaten, khususnya dalam
rangka memperkuat kemampuan aparatur dan kelembagaannya, serta untuk menjamin
keterpaduan, kesinambungan program, terutama dikaitkan dengan pembiayaan
program yang dikaitkan dengan kegiatan program pembangunan lainnya, apakah
program sektoral, regional, khusus, maupun yang berbantuan luar negeri. Pemikiran
akan kesinambungan program diperlukan, mengingat program-program pemerintah
dengan pendekatan keterpaduan ini umumnya dianggap sebagai stimulan kegiatan di
kawasan yang dibangun, dan dengan pelaksanaan riil pembangunan wilayah
memerlukan waktu yang tak terbatas, maka kesinambungan program hanya dapat
terjadi bila pemerintah daerah setempat memberikan kontribusi pendanaan dan
masyarakat setempat terlibat secara langsung dalam pelaksanaan dan pengelolaan
kegiatan.
Namun demikian, pendekatan pembangunan secara terpadu tersebut belum secara
optimal diikuti dengan pengembangan kelembagaan pengelolaan pada tatanan lokal
yang dapat menjamin keberlanjutan program pada masyarakat di daerah, sehingga
tidak tercipta kesinambungan seperti yang diharapkan. Selain itu, kurang adanya
komitmen serta tidak terciptanya koordinasi yang kuat antarsektor di daerah, yang
menyebabkan tidak terpadunya program kegiatan dan lokasi antara satu program
dengan program lainnya, dan antara satu lokasi dan lokasi lainnya. Program
kegiatannya pun masih berorientasi pada kegiatan pembangunan prasarana dan sarana
fisik, dan kegiatan pengembangan produksi tanaman pangan, perkebunan, perikanan,
dan peternakan, yang belum memperhatikan transfer pengetahuan teknologi dan pasar
yang dapat diadopsi masyarakat lokal untuk kesinambungan program pada tahapan
selanjutnya. Pola pengelolaan sumber daya modal dalam sistem bergulir pun belum
banyak dipahami, dan terhambat oleh adanya budaya dan akses terhadap sumber daya
modal tersebut.

4. Konsep Pengembangan Wilayah Berdasarkan Klaster

Konsep pengembangan wilayah berikutnya yang mulai dikembangkan di


beberapa negara adalah pengembangan wilayah berdasarkan klaster. Klaster diartikan
sebagai konsentrasi dari suatu kelompok kerjasama bisnis atau unit-unit usaha dan
lembaga-lembaga, yang bersaing, bekerjasama, dan saling tergantung satu sama lain,
7
terkonsentrasi dalam satu wilayah tertentu, dalam bidang aspek unggulan tertentu .
Pada umumnya motor penggerak dalam pengembangan wilayah berdasarkan klaster
adalah sektor industri. Model klaster berkembang didasarkan atas kesadaran bahwa
industri utama dan unit-unit usaha di sekitarnya saling terkait satu dengan lainnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, pengembangan wilayah
berdasarkan klaster terfokus pada keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku-
pelaku (stakeholders) dalam suatu jaringan kerja produksi, sampai kepada jasa
pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya.
Kebijakan klaster berbasis industri menjadi pola pembangunan ekonomi masa
kini dan sudah dikembangkan secara luas. Jenis klaster bisa bermacam-macam, seperti
klaster anggur di Adelaide-Australia, klaster pertahanan keamanan di kota metropolitan
Adelaide, dan klaster budidaya air di Port Lincoln.
Klaster dapat dianggap sebagai suatu kelompok pembangun ekonomi bagi
wilayah, yang merepresentasikan adanya spesialisasi wilayah, keunggulan komparatif
wilayah, terfokus pada industri tertentu, dan berorientasi pada pengembangan
kerjasama dan perdagangan. Anggota-anggota klaster ini saling berkontribusi,
khususnya dalam infrastruktur dan teknologi, tenaga kerja ahli, dan jasa pelayanan.
Arah pengembangan klaster adalah menarik investasi baru, mendorong adanya ekspansi
dan terbentuknya unit-unit usaha dan bisnis baru.

Tujuan dari pengembangan wilayah model klaster adalah :


• Didapatkannya manfaat kesejahteraan, kesempatan kerja, dan ekspor.
• Didapatkannya kesempatan untuk mengembangkan inovasi dan perdagangan
melalui jaringan kerja yang kuat
• Berkembangnya pasar dan jaringan kerja internasional
• Berkembangnya infrastruktur pendukung
• Berkembangnya budaya baru dalam upaya-upaya kerjasama – dengan biaya
transaksi yang rendah
• Tumbuhnya generasi pengusaha-pengusaha lokal baru industri yang memiliki
sendiri usaha bisnisnya
• Berkembangnya kemitraan dengan pemerintah didasarkan atas saling
ketergantungan, dan bukan ketergantungan hanya dari satu pihak ke pihak
yang lain

Klaster yang berhasil adalah klaster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan
keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal. Rosenfeld (1997) mengidentifikasi
karakteristik dari klaster wilayah yang berhasil yaitu:
• Adanya spesialisasi, satu klaster wilayah terspesialisasi untuk satu atau
beberapa industri.
• Adanya jaringan lokal (local networks) khususnya dalam jaringan sistem
produksi, serta jaringan pembelajaran (learning networks)
• R&D dan institusi pendidikan yang relevan dengan kegiatan dalam klaster
wilayah
• Tenaga kerja yang berkualitas. Kompetisi yang baik berkembang diantara
pekerja.
• Akses yang baik pada institusi pembiayaan, permodalan.
• Kerjasama yang baik antara perusahaan dan lembaga/institusi lainnya.
• Mengikuti perkembangan teknologi
• Tingkat inovasi yang tinggi sehingga dapat berkompetisi di pasar global.

Memperhatikan bahwa pembentukan klaster hampir sama dengan pembentukan


jaringan kerjasama (networking), maka di bawah ini adalah beberapa hal yang
membedakan Klaster dengan Jaringan Kerja biasa :

Jaringan kerja adalah konsep menggalang pemahaman, kontribusi ide, dan hubungan komunikasi yang
dibangun antara para pebisnis dan stakeholders pengembangan ekonomi kawasan.

Soft Network Proses Pengembangan Klaster


Hard Network
Pengelompokan grup secara luas Pengelompokan 3 atau lebih Klaster dapat meliputi
dengan ketertarikan umum yang perusahaan yang sepakat untuk jaringan ‘soft’ dan ‘hard’,
bertemu secara rutin untuk bekerja sama, melalui sebuah namun berbeda dalam hal: •
berbagi ide dan membicarakan kontrak, perjanjian kerjasama atau Identifikasi dan seleksi klaster
isu-isu secara umum. Yang hubungan formal lain, dalam didasarkan pada proses
termasuk kelompok ini, misalnya upaya menggalang daya saing formal, yang menggunakan
Asosiasi Industri, Klaster yang saling melengkapi. Fokusnya kriteria ekonomi, seperti
Pertahanan yang adalah pada konsentrasi ekonomi,

SUMBER :

BKTRN (1997), Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, PP No.47 Tahun 1997.
Komet Mangiri (2000), Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah
Otonom, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Pinchemel (1985), Aspek-Aspek Geografi dalam Manajemen Pengembangan Wilayah,
Paris.
Porter (1998), Summary Brief: A Case Analysis of Porter’s Cluster Theory in the
Amish Furniture Industry, Florida State University.
Rosenfeld, S.A. (1977): Bringing Business Clusters into The Mainstream of
Economic Development, European Planning Studies, 5:3-23, dikutip oleh
ArneIsaksen, Regionalisation and Regional Clusters as Development
Strategies in a Global Economy, STEP group, 1998.

Anda mungkin juga menyukai