Dari berbagai kajian literatur telah banyak strategi yang dilakukan dalam pengembangan wilayah
dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing wilayah dan negara. Di bawah ini
akan disampaikan bentuk strategi yang bersifat klasik yang masih digunakan sebagai dasar dalam
penyusunan strategi kebijakan pengembangan wilayah, diantaranya disampaikan Rondinelli
(1985), ada tiga konsep strategi dalam pengembangan wilayah, yaitu : ada tiga konsep strategi
dalam pengembangan wilayah yaitu : (1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole), (2) integrasi
fungsi (functional integration), dan (3) pendekatan pendesentralisasian wilayah (decentralized
territorial approches). Selain itu ditambahkan strategi rural urban linkages dan strategi regional
networking.
Secara singkat strategi-strategi tersebut diuraikan sebagai berikut :
(2) Konsep kutub pertumbuhan ini dapat digunakan sebagai alat strategi intervensi oleh
pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan investasi bagi pembangunan
daerah.
(2) Dalam hubungan pusat-pinggiran, efek balik sering bekerja lebih cepat dari efek pemancaran.
(2) Kondisi fisik dan sosial ekonomi internal merupakan kunci sukses penerapan strategi
pembangunan.
(3) Dorongan bagi pengembangan suatu konsep pembangunan hendaknya berasal dari
masyarakat dengan mempertimbangkan sumber daya lokal.
(4) Sistem ekonomi lokal berperan dalam membentuk pola interkasi ekonomi antar wilayah
untuk meningkatkan nilai tukar barang produksi lokal sehingga tidak hanya memiliki
nilai guna namun juga memeliki nilai tukar.
Berbeda dengan strategi pembangunan dari atas, strategi pembangunan dari bawah ini tidak
didukung oleh teori-teori ekonomi yang berstuktur jelas. Hanya terdapat beberapa konsep
pengembangan wilayah yang dikembangkan berdasarkan strategi ini seperti konsep Agropolitan
Development (dikembangkan oleh Fredman dan Douglass).
c) Strategi Agropolitan
Strategi ini pembangunan tidak hanya kemajuan ekonomi yang sentralistik, tetapi memberikan
kesempatan bagi individu-individu, kelompok-kelompok sosial dan organisasi masyarakat untuk
memobilisasi kemampuan dan sumberdaya lokal bagi kemajuannya. Pendekatan ini menitik
beratkan pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi pembangunan dinamis di wilayah-
wilayah pedesaan yang relatif terbelakang.
Alasan munculnya strategi agropolitan atau tipe-tipe pembangunan dari bawah antara lain:
(1) Kegagalan strategi devolopment from above, yang berakibat pada ketimpangan wilayah,
karena konsentrasi pada program pembangunan skala besar (large scale).
(2) Kondisi fisik dan sosial ekonomi internal merupakan kunci sukses penerapan strategi
pembangunan.
(3) Konsep pembangunan hendaknya berasal dari masyarakat itu sendiri dengan
mempertimbangkan sumberdaya lokal dan partisipasi.
(4) Sistem ekonomi lokal harus berperan dalam membentuk pola interaksi ekonomi antar
wilayah.
Dengan semakin berkembangnya kota-kota besar dengan permasalahannya, maka sejak dua
dekade terakhir ini berbagai pihak mulai menyadari pentingnya strategi pengembangan peranan
kota kecil dan kota menengah sebagi bagian dari upaya penyelesaian permasalahan yang terjadi
di kota besar dan metropolis.(Peter Hall, 1975).
Beberapa alasan yang mendasari potensi strategis pembangunan kota kecil dan menengah,
diantaranya adalah dekonsentrasi perkotaan, khususnya akibat over-population di perkotaan
besar (metropolitan) yang mengakibatkan peningkatan harga dan nilai lahan dan kebutuhan
sosial ekonomi serta penurunan kualitas lingkungan perkotaan.
Berikut peranan yang harus dilakukan oleh kota-kota kecil menengah dalam mendorong
pembangunan wilayah pedesaan adalah sebagai berikut:
(1) Pusat untuk menyediakan barang-barang tahan lama dan tidak tahan lama.
(3) Sebagai penghubung kepasar yang lebih besar bagi produk-produk pedesaan.
Strategi growth pole telah mengakibatkan polarisasi atau kesenjangan spasial wilayah,
khususnya wilayah pedesaan dan perkotaan. Karena kebijakan lebih menguntungkan kawasan
perkotaan, pada saat yang sama memperlemah daerah pedesaan. Pada tahun 1980 strategi
keterkaitan desa-kota muncul. Bappenas, UNDP dan UNHCR melakukan joint program tentang
keterkaitan desa-kota pada tahun 1998 yang diberi nama PARUL (poverty Alleviation Through
Rural-Urban Linkages) yang dilksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara serta
Kota Sorong. Sebelumnya UNHCRD juga melakukan pilot project di Daerah Istimewa
Yogyakarta tentang keterkaitan desa-kota.
Keterkaitan (linkages) diartikan sebagai hubungan atau interaksi antar wilayah yang saling
mempengaruhi satu sama lainnya, dan saling komplementaritas dan take and give. Prandhan
(2003) mengemukakan bahwa dalam system interaksi antar wilayah terdapat tiga komponen
utama, yaitu :
(1) Wilayah perkotaan adalah tempat produksi barang (industri), pelayanan, teknologi, ide-
ide, dan kesempatan kerja dan upah yang tinggi.
(2) Wilayah pedesaan merupakan tempat dihasilkannya bahan mentah, produksi pertanian,
kerajinan dan industri kecil rumah tangga, tenaga kerja dan modal.
(3) Saran dan prasarana serta kelembagaan yang memungkinkan terjadinya interaksi antar
wilayah perkotaan dan pedesaan, khususnya tranportasi dan komunikasi.
Model ini merupakan respon kegagalan konsep growth poles yang justru memberikan efek balik
backwash effect yang merugikan pembangunan pedesaan dan menimbulkan kesenjangan yang
semakin melebar antar pedesaan dan perkotaan. Perbedaan antara konsep growth poles dengan
regional networking meliputi lima aspek, yaitu :
(1) Aspek pengembangan sektor basis, dalam regional networking model semua sektor dapat
dijadikan sebagai leading sector dalam pengembangan ekonomi wilayah tergantung potensi
masing-masing wilayah. Sedangkan growth poles model lebih fokus pada ekonomi
perkotaan.
growth poles pengembangan sistem perkotaan berdasrkan system center place dengan
menerapkan hubungan pusat dan hinterland. Sedangkan model
regional networking selain model hubungan pusat dengan hinterland juga memperhatikan
hubungan yang sifatnya horizontal.