Anda di halaman 1dari 7

4) Strategi Pengembangan Wilayah

Dari berbagai kajian literatur telah banyak strategi yang dilakukan dalam pengembangan wilayah
dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing wilayah dan negara. Di bawah ini
akan disampaikan bentuk strategi yang bersifat klasik yang masih digunakan sebagai dasar dalam
penyusunan strategi kebijakan pengembangan wilayah, diantaranya disampaikan Rondinelli
(1985), ada tiga konsep strategi dalam pengembangan wilayah, yaitu : ada tiga konsep strategi
dalam pengembangan wilayah yaitu : (1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole), (2) integrasi
fungsi (functional integration), dan (3) pendekatan pendesentralisasian wilayah (decentralized
territorial approches). Selain itu ditambahkan strategi rural urban linkages dan strategi regional
networking.
Secara singkat strategi-strategi tersebut diuraikan sebagai berikut :

a) Kutub-Kutub Pertumbuhan (growth pole)


Growth Pole atau kutub pertumbuhan pertama kali dipergunakan oleh Francois Perroux (1950).
Dengan tesisnya :
“pertumbuhan tidak terjadi disembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, tetapi
pertumbuhan terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub pertumbuhan dengan intensitas yang
berubah-ubah, lalu pertumbuhan itu menyebar sepanjang saluran yang beraneka ragam dan
dengan pengaruh yang dinamis terhadap perekonomian wilayah”.
Dalam konteks pertumbuhan, Francois Perroux menyatakan bahwa yang menjadi medan magnet
adalah kegiatan industri. Industri-industri dan kegiatan-kegiatan yang akan berkembang dan
membentuk kutub pertumbuhan tersebut memilki beberapa ciri-ciri sebagai Leading Industries
dan Propulsive Industries, antara lain :
Karakteristik Leading Industries. Karakteristik Propulsive Industries.
1) Relatif baru, dinamis, dan mempunyai 1) Relatif besar.
teknologi yang maju yang menginjeksikan 2) Tingkat dominasinya tinggi, yaitu
iklim pertumbuhan ke dalam suatu daerah. kebalikan dari tingkat ketergantungan
2) Permintaan terhadap produknya memilki industri lain terhadap industri tersebut.
elastisitas pendapatan yang tinggi, produk 3) Menimbulkan dorongan yang nyata
tersebut biasanya dijual ke pasar-pasar
nasional. terhadap linkungan.

3) Mempunyai berbagai kaitan antar industri 4) Mempunyai kemampuan berinovasi yang


yang kuat dengan sektor-sektor lainnya tinggi.

Friedman memperkaya konsep growth pole dengan mengemukakan konsep Center-Periphery


(pusat-pinggiran). Pengembangan wilayah menurut Friedman akan melahirkan kota utama dan
wilayah sekitarnya yang menjadi inti (core), dari sistem kota-kota nasional dan pinggiran
(periphery) yang berada diluar dan bergantung pada inti.

Dampak positif strategi growth pole


Konsep kutub pertumbuhan memberikan peluang untuk mendekatkan dua cabang penting dalam
analisis regional, yaitu analisis mengenai pertumbuhan ekonomi regiaonal dan analisis stuktur
ruang regional.
(1) Konsep kutub pertumbuhan memberikan kemungkinan pemakaian dan pengembangan
teknik-teknik analisis input-output, aglomerasi, dsb.

(2) Konsep kutub pertumbuhan ini dapat digunakan sebagai alat strategi intervensi oleh
pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan investasi bagi pembangunan
daerah.

Dampak negatif strategi growth pole


(1) Kerangka permasalahan sering dikembangkan dalam setting masyarakat industri dan
cendrung tidak melihat problem spesifik wilayah.

(2) Dalam hubungan pusat-pinggiran, efek balik sering bekerja lebih cepat dari efek pemancaran.

b) Strategi Disentralisasi Teritorial


Pendekatan disentralisasi teritorial merupakan strategi pembangunan dari bawah (development
from below). Staregi dari bawah ini memberikan alternatif bagi elemen-elemen dalam
pembangunan seperti alokasi faktor produksi, sistem pertukaran, pembentukan organisasi sosial
ekonomi yang spesifik, dan perubahan konsep dasar pembangunan yang hanya menekankan
konsep ekonomi.
Menurut Stohr (1981) teori pembangunan disentralisasi ini didasarkan pada beberapa hipotesa,
yaitu:
(1) Kegagalan strategi devolopment from above di banyak negara dalam menciptakan
integrasi ekonomi wilayah, yang berakibat pada pada ketimpangan wilayah. hal ini
diakibatkan tidak terjadinya integrasi ekonomi dari program-program pembangunan yang
dikembangkan dalam skala besar.

(2) Kondisi fisik dan sosial ekonomi internal merupakan kunci sukses penerapan strategi
pembangunan.

(3) Dorongan bagi pengembangan suatu konsep pembangunan hendaknya berasal dari
masyarakat dengan mempertimbangkan sumber daya lokal.

(4) Sistem ekonomi lokal berperan dalam membentuk pola interkasi ekonomi antar wilayah
untuk meningkatkan nilai tukar barang produksi lokal sehingga tidak hanya memiliki
nilai guna namun juga memeliki nilai tukar.

Berbeda dengan strategi pembangunan dari atas, strategi pembangunan dari bawah ini tidak
didukung oleh teori-teori ekonomi yang berstuktur jelas. Hanya terdapat beberapa konsep
pengembangan wilayah yang dikembangkan berdasarkan strategi ini seperti konsep Agropolitan
Development (dikembangkan oleh Fredman dan Douglass).

c) Strategi Agropolitan

Strategi ini pembangunan tidak hanya kemajuan ekonomi yang sentralistik, tetapi memberikan
kesempatan bagi individu-individu, kelompok-kelompok sosial dan organisasi masyarakat untuk
memobilisasi kemampuan dan sumberdaya lokal bagi kemajuannya. Pendekatan ini menitik
beratkan pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi pembangunan dinamis di wilayah-
wilayah pedesaan yang relatif terbelakang.
Alasan munculnya strategi agropolitan atau tipe-tipe pembangunan dari bawah antara lain:
(1) Kegagalan strategi devolopment from above, yang berakibat pada ketimpangan wilayah,
karena konsentrasi pada program pembangunan skala besar (large scale).

(2) Kondisi fisik dan sosial ekonomi internal merupakan kunci sukses penerapan strategi
pembangunan.

(3) Konsep pembangunan hendaknya berasal dari masyarakat itu sendiri dengan
mempertimbangkan sumberdaya lokal dan partisipasi.

(4) Sistem ekonomi lokal harus berperan dalam membentuk pola interaksi ekonomi antar
wilayah.

d) Strategi Integrasi Spasial (Functional Spatial Integration)


Strategi integrasi spasial merupakan jalan tengah antar pendekatan sentralisasi yang menekankan
pertumbuhan pada wilayah perkotaan (metropolitan) dan desentralisasi yang menekankan
penyebaran investasi dan sumberdaya pembangunan pad kota-kota kecil dan pedesaan. Hali ini
dilakukan dengan menciptakan suatu jaringan produksi, distribusi, dan pertukaran yang mantap
mulai dari desa – kota kecil - kota menegah - kota besar (metropolitan).
Pendekatan altrnatif ini didasari pemikiran bahwa dengan adanya integrasi sistem pusat-pusat
pertumbuhan yang berjenjang dan berbeda karakteristik fungsionalnya, maka pusat-pusat
tersebut akan memacu penyebaran pembangunan wilayah. Pendekatannya adalah memacu
perkembangan sektor pertanian yang diintegrasikan dengan sektor industri pendukungnya.
Dengan begitu sasaran strategi ini adalah meningkatkan produksi pertanian, memperluas
lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan bagi sebagian besar penduduk.

e) Strategi Pengembangan Kota-Kota Kecil Menengah.

Dengan semakin berkembangnya kota-kota besar dengan permasalahannya, maka sejak dua
dekade terakhir ini berbagai pihak mulai menyadari pentingnya strategi pengembangan peranan
kota kecil dan kota menengah sebagi bagian dari upaya penyelesaian permasalahan yang terjadi
di kota besar dan metropolis.(Peter Hall, 1975).
Beberapa alasan yang mendasari potensi strategis pembangunan kota kecil dan menengah,
diantaranya adalah dekonsentrasi perkotaan, khususnya akibat over-population di perkotaan
besar (metropolitan) yang mengakibatkan peningkatan harga dan nilai lahan dan kebutuhan
sosial ekonomi serta penurunan kualitas lingkungan perkotaan.
Berikut peranan yang harus dilakukan oleh kota-kota kecil menengah dalam mendorong
pembangunan wilayah pedesaan adalah sebagai berikut:
(1) Pusat untuk menyediakan barang-barang tahan lama dan tidak tahan lama.

(2) Pusat jasa publik dan jasa privat.

(3) Sebagai penghubung kepasar yang lebih besar bagi produk-produk pedesaan.

(4) Pusat suplai faktor-faktor produksi.

(5) Pusat agro-processing dan resource-processing.

(6) Pusat pengetahuan dan informasi.

f) Strategi Rural Urban Lingkages

Strategi growth pole telah mengakibatkan polarisasi atau kesenjangan spasial wilayah,
khususnya wilayah pedesaan dan perkotaan. Karena kebijakan lebih menguntungkan kawasan
perkotaan, pada saat yang sama memperlemah daerah pedesaan. Pada tahun 1980 strategi
keterkaitan desa-kota muncul. Bappenas, UNDP dan UNHCR melakukan joint program tentang
keterkaitan desa-kota pada tahun 1998 yang diberi nama PARUL (poverty Alleviation Through
Rural-Urban Linkages) yang dilksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara serta
Kota Sorong. Sebelumnya UNHCRD juga melakukan pilot project di Daerah Istimewa
Yogyakarta tentang keterkaitan desa-kota.
Keterkaitan (linkages) diartikan sebagai hubungan atau interaksi antar wilayah yang saling
mempengaruhi satu sama lainnya, dan saling komplementaritas dan take and give. Prandhan
(2003) mengemukakan bahwa dalam system interaksi antar wilayah terdapat tiga komponen
utama, yaitu :
(1) Wilayah perkotaan adalah tempat produksi barang (industri), pelayanan, teknologi, ide-
ide, dan kesempatan kerja dan upah yang tinggi.

(2) Wilayah pedesaan merupakan tempat dihasilkannya bahan mentah, produksi pertanian,
kerajinan dan industri kecil rumah tangga, tenaga kerja dan modal.
(3) Saran dan prasarana serta kelembagaan yang memungkinkan terjadinya interaksi antar
wilayah perkotaan dan pedesaan, khususnya tranportasi dan komunikasi.

g) Strategi Regional Networking

Model ini merupakan respon kegagalan konsep growth poles yang justru memberikan efek balik
backwash effect yang merugikan pembangunan pedesaan dan menimbulkan kesenjangan yang
semakin melebar antar pedesaan dan perkotaan. Perbedaan antara konsep growth poles dengan
regional networking meliputi lima aspek, yaitu :
(1) Aspek pengembangan sektor basis, dalam regional networking model semua sektor dapat
dijadikan sebagai leading sector dalam pengembangan ekonomi wilayah tergantung potensi
masing-masing wilayah. Sedangkan growth poles model lebih fokus pada ekonomi
perkotaan.

(2) Aspek sistem perkotaan, pada model

growth poles pengembangan sistem perkotaan berdasrkan system center place dengan
menerapkan hubungan pusat dan hinterland. Sedangkan model

regional networking selain model hubungan pusat dengan hinterland juga memperhatikan
hubungan yang sifatnya horizontal.

(3) Aspek keterkaitan desa-kota (Urban-Rural Linkages).


growth poles : menekankan hubungan desa-kota yang besifat satu arah.
regional networking : memberikan posisi yang seimbang dan dua arah antara perkotaan dan
pedesaan.
(4) Aspek Perencanaan (Style of Planning),
growth poles : bersifat top-down yang mengandalkan pada perencanaan sektoral melalui
kantor pemerintahan dan bawahannya.
regional networking : bersifat bottom-up dengan prinsip desentralisasi,dimana daerah dan
masyarakat ikut terlibat lebih aktif.
(5) Aspek Kebijakan (Major Policy Areas)
growth poles: berorentasi pada tujuan menarikpelaku ekonomi dan investasi sebesar-
besarnya dipusat pertumbuhan,sehingga kebijakan intensif, perpajakan, tax holiday menjadi
pilihan utama.
regional networking: tipe kebijakan yang diambil mengarah pada perluasan infrastuktur
pedesaan, yang lebih menekankan kepada pembangunan jalan lokal dan jaringan transportasi
diantara pedesaan dan perkotaan.

Anda mungkin juga menyukai