Anda di halaman 1dari 14

PAPER

PERENCANAAN WILAYAH PEDESAAN

DISUSUN OLEH

RIZKI ARDELIA
04.1.16.0886

JURUSAN PENYULUHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN BOGOR

2018
KONSEP PEMBANGUNAN PEDESAAN

Definisi pembangunan telah dikemukakan oleh berbagai ahli di seluruh


dunia dengan sudut pandang yang beragam. Pada intinya, pembangunan adalah
segala upaya untuk mewujudkan perubahan sosial besar-besaran dari suatu
keadaan kehidupan nasional menuju keadaan baru yang lebih baik (Katz dalam
Ndraha, 1987:30). Perubahan sosial tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan
dan berlangsung secara terus menerus.

Perhatian pembangunan perlu diarahkan kepada pembangunan perdesaan,


karena sebagian besar wilayah Indonesia meliputi wilayah pedesaan. Hal tersebut
diperkuat lagi oleh adanya kenyataan bahwa masyarakat perdesaan masih diliputi
dengan masalah kemiskinan, keterbelakangan dan berbagai kerawanan sosial
lainnya. Perlu usaha yang terencana untuk membangun sarana-prasarana
pedesaan, kemandirian ekonomi desa (produksi dan distribusi) dan infrastruktur
pedesaan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang
lebih baik (Khoiron, 2003:3). Pemerintah pun telah menjadikan pembangunan
pedesaan menjadi program utama nasional.

Mubyarto dan Kartodirdjo (1988:69-70) mendefinisikan pembangunan


pedesaan sebagai pembangunan yang berlangsung di pedesaan dan meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan
mengembangkan swadaya gotongroyong. Pembangunan pedesaan ini dijabarkan
dalam berbagai program pembangunan pedesaan yang melingkupi berbagai aspek.
Nimal A. Fernando (2008) menyebutkan ada 3 aspek (dimensi) dasar dalam
pembangunan pedesaan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi
politik. Dimensi ekonomi mencakup penyediaan kapasitas dan peluang bagi
masyarakat miskin serta berpendapatan rendah untuk mendapatkan manfaat dari
proses pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga mengurangi ketidakmerataan
pendapatan, baik intra maupun antar sektor. Dimensi sosial mendukung
pembangunan sosial masyarakat desa yang kurang beruntung dan menyediakan
jaring pengaman sosial. Dimensi politik memperbaiki peluang masyarakat miskin
dan berpendapatan rendah untuk berpartisipasi secara efektif dan setara dalam
proses politik di tingkat desa (dalam Arsyad,dkk, 2011:18-19).
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH PEDESAAN

Paradigma merupakan model atau kerangka berfikir yang menjadi arah


pemikiran pemerintah dalam proses kebijakan. Untuk kebijakan pembangunan
sendiri, ada tiga paradigma yang pernah menjadi acuan pemerintah dalam
perkembangan proses pembangunan pedesaan di Indonesia. Paradigma ini
didesain oleh salah satu lembaga internasional World Bank (Bank Dunia), antara
lain:

a. Integrated Rural Development (IRD)

Paradigma pembangunan desa terpadu (integrated rural development)


merupakan model pembangunan yang dicetuskan oleh Bank Dunia (World Bank)
sekitar tahun 1970- an. Paradigma ini mengacu pada paham developmentalisme
(modernisasi) ala barat, yang mengusung beberapa hal. Pertama, IRD berupaya
memacu pertumbuhan ekonomi desa di sektor pertanian melalui revolusi hijau,
yakni dengan cara menyediakan paket lintas sektoral, sistem pertanian terpadu dan
diversifikasi tanaman, didukung oleh penyuluhan, pelatihan, pelayanan sosial, dan
proyek infrastruktur desa. Kedua, pembangunan dipimpin oleh negara (state led
development). Negara berposisi kuat dan berperan aktif dalam melancarkan
proses pembangunan desa. Tentu saja dengan model birokrasi yang hierarkis dan
terpusat. Dengan pendekatan terpusat, diharapkan keterpaduan antar sektor dapat
tercapai. Ketiga, transfer pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju.
Keempat, menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat. Kelima,
otoritarianisme ditolerir sebagai prasyarat dan prakondisi untuk melancarkan
pertumbuhan ekonomi (Eko dan Krisdyatmoko, 2006:51). Model ini selanjutnya
diadopsi oleh pemerintah Indonesia rezim Orde Baru.

b. Community Driven Development (CDD)

Community Driven Development (CDD) merupakan sebuah model yang


dikembangkan oleh Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1990-an, sebagai kritik
terhadap pendekatan Integrated Rural Development (IRD). Paradigma ini
mengusung beberapa keyakinan. Pertama, belajar dari program bantuan (utang)
luar negeri yang menimbulkan banyak praktek korupsi di tubuh birokrasi pada
tahun-tahun sebelumnya, Bank Dunia mendesain model minimalisasi negara
dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan. Dengan kata lain, posisi kunci
pembangunan bukan dipegang oleh negara lagi, melainkan masyarakat. Kedua,
CDD menekankan pada partisipasi masyarakat, mulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan program pembangunan. Negara hanya bertugas sebagai administrator
dan fasilitator. Ketiga, CDD memberi ruang keterlibatan unsurunsur masyarakat
sipil seperti NGOs atau konsultan pembangunan dalam pelaksanaan
pembangunan. Hal ini sering disebut dengan liberalisasi sektor ketiga. Keempat,
CDD mengundang sektor swasta untuk terlibat dalam melaksanakan proyek
pembangunan pedesaan. Kelima, CDD mengusung model antar sektor atau antar
aktor dalam pengelolaan pembangunan pedesaan. Keenam, CDD memasukkan
unsur good governance (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi) sebagai spirit
dan kerangka kerja pembangunan pedesaan (Eko dan Krisdyatmoko, 2006:68-69).

c. Sustainable Rural Development (SRD)

Arah dan tujuan pembangunan pedesaan kembali direvisi dalam dekade


belakangan ini dengan mengusung paradigma Sustainable Rural Development
(SRD). Seperti yang dituliskan oleh A.Shepherd (1998), SRD mengusung
beberapa keyakinan, antara lain: a) Pertumbuhan yang berkualitas dan
berkelanjutan, b) Proses pengambilan keputusan melibatkan warga yang marginal,
c) Menonjolkan nilai-nilai kebebasan, otonomi, harga diri, d) Pengembangan
institusi lokal untuk ketahanan sosial, e) Penghargaan terhadap kearifan lokal dan
teknologi lokal, f) Penguatan institusi untuk melindungi aset komunitas miskin, g)
Organisasi belajar non-hirarkis, h) Peran negara yang aktif dan responsif:
menyiapkan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan, memberikan
jaminan distribusi sosial, mendorong tumbuhnya institusi masyarakat, i) Peran
pemerintah daerah yang aktif dan responsif, j) Aktor pemerintahan desa yang
berkapasitas, k) Pemerintahan desa yang otonom dan demokratis (Eko dan
Krisdyatmoko, 2006:80
STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH PEDESAAN

Pembangunan pedesaan merupakan kebijakan yang telah digalakkan


pemerintah sejak orde lama. Sampai sekarang, kebijakan ini terus berkembang
sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, politik negara dan dituangkan dalam
rencana pembangunan nasional. Selain pembangunan desa yang termuat dalam
APBDes, desa memperoleh program-program pembangunan lagi dari pemerintah,
baik pemeritah pusat, maupun pemerintah daerah. Beberapa program dari
pemerintah pusat itu misalnya PNPM-Mandiri, Desa Sejahtera, dan BLM
(Bantuan Langsung Masyarakat). Dalam program tersebut pun masih terdapat
beberapa agenda pembangunan lain yang dibagi dalam berbagai aspek.

Menurut Abdul Wahab (1994:45) pada umumnya ada empat strategi yang
sering dipakai oleh pemerintah yang bersangkutan dalam rangka mewujudkan
tujuan yang termasuk dalam pembangunan desa yaitu : (1) The Growth (strategi
pertumbuhan), (2) The Welfare Strategy (strategi kesejahteraan) (3) Responsive
strategy (strategi yang tanggap kebutuhan masyarakat/responsif) dan (4) The
Integrated and Sustainable Strategy (strategi terpadu dan berkelanjutan). Hal ini
juga disebutkan oleh Rahardjo Adisasmita dalam bukunya “Pembangunan
Pedesaan dan Perkotaan” (2006:21).

Strategi pertumbuhan pada umumnya bermaksud untuk mencapai


peningkatan yang cepat dalam nilai ekonomis dari output pertanian dengan cara
mengeluarkan sumber-sumber pada para petani yang paling mudah untuk di
jangkau dalam artian psikologis maupun artian administratif. Biasanya para petani
besar, petani-petani modern yang memiliki kemampuan akses terhadap fasilitas
kredit, teknologi padat modal dan pasar. Titik berat strategi ini adalah pada
peningkatan jenis-jenis tanaman yang akan menghasilkan keuntungan besar,
seringkali berupa tanaman yang dieksport atau konsumsi elit.

Strategi kesejahteraan pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki


taraf hidup dan kesejahteraan penduduk desa melalui program-program sosial
berskala besar seperti misalnya pendirian klinik-klinik kesehatan dan pusat-pusat
perbaikan gizi di desa. Fokus dari strategi ini lebih menunjuk kepada layanan
sosial seperti kesehatan, transportasi dan pendidikan.

Strategi yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat (responsif)


merupakan reaksi terhadap strategi kesejahteraan yang telah dirumuskan untuk
menanggapi kebutuhan yang dirumuskan sendiri oleh penduduk desa, mungkin
dengan bantuan pihak luar. Selain itu strategi ini untuk membantu memperlancar
usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh penduduk desa melalui pengadaan
teknonologi serta sumber-sumber yang cocok untuk kepentingan mereka,
terutama yang tidak tersedia di desa.

Strategi terpadu dan berkelanjutan dimaksudkan untuk mengkombinasikan


unsurunsur pokok dari pendekatan. Artinya ingin mencapai secara simultan
tujuan-tujuan yang menyangkut pertumbuhan, persamaan kesejahteraan,
partisipasi, dan kemandirian masyarakat pedesaan. Strategi ini melibatkan peran
aktif pemerintah desa dalam memelihara integritas masyarakat desa serta
memelihara arah, strategi, dan proses pembangunan. Interaksi yang dibangun
berasal dari komponen-komponen organisasi matriks yang lebih
mengejawantahkan hubungan horizontal, daripada vertikal, antara rakyat dan
birokrat (Tjokrowinoto, 2007:43). Individu (masyarakat) bukan lagi berperan
sebagai objek, melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan
sumberdaya, dan mengarahkan proses pembangunan yang mempengaruhi
kehidupannya.

Strategi terpadu dan berkelanjutan juga menjadi kritik dari beberapa


strategi lainnya yang memiliki kelemahan. Strategi pertumbuhan memiliki
kelemahan yaitu semakin memperlebar ketimpangan antara anggota masyarakat
yang kaya dan yang miskin. Kelemahan strategi kesejahteraan adalah
menciptakan ketergantungan masyarakat yang sangat kuat pada pemerintah.
Kelemahan stategi responsif terhadap kebutuhan masyarakat sangat sulit untuk
direalisasikan, diadaptasi dan ditransformasikan secara luas karena terlalu idealis,
sehingga sukar dilaksanakan secara efektif (Adisasmita, 2006:22). Dalam dekade
belakangan ini, implementasi pembangunan diarahkan menggunakan strategi
terpadu dan berkelanjutan yang menjamin adanya koordinasi dan kesinambungan
program, berpusat pada rakyat (pemberdayaan), serta selaras dengan paradigma
SRD.

PROGRAM PEMBANGUNAN WILAYAH PEDESAAN

Dilihat dari sejarahnya, selama periode orde lama hingga orde baru,
pembangunan pedesaan lebih ditekankan pada sektor pertanian dan perekonomian
desa. Pada saat orde lama muncul program landreform untuk kesejahteraan
masyarakat tani. Kemudian muncul juga koperasi sebagai gerakan ekonomi
kerakyatan (Eko dan Krisdyatmiko, 2006: 107). Kemudian pada masa orde baru
muncul program-program pembangunan yang tercantum dalam Repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahun). Program-program itu didanai dari APBN. Selain itu
saat orde baru muncul beberapa inpres (instruksi presiden), seperti inpres bandes
(bantuan desa). Desa diberi bantuan dana senilai 100 ribu rupiah dan terus
meningkat hingga mencapai 10 juta rupiah. Kemudian muncul juga program IDT
(Inpres Desa Tertinggal), program pengembangan kawasan terpadu, dan program
pembangunan lain yang dikendalikan oleh hampir semua departemen
pemerintahan yang ada.

Setelah orde baru, program pembangunan pedesaan juga semakin


berkembang. Ditambah lagi Indonesia mendapat sejumlah pinjaman dana cukup
besar dari luar negeri seperti bank dunia (World Bank). Tidak berbeda dengan
format lama, setiap departemen pemerintahan masih mengendalikan beberapa
program pembangunan di pedesaan. Pertimbangannya agar perencanaan
pembangunan lebih spesifik dalam setiap sektor, sektor pendidikan, kesehatan,
pertanian, dll. Dengan demikian diharapkan tujuan pembangunan akan tercapai
secara maksimal dan kebutuhan desa di setiap sektor dapat diakomodasi dengan
baik.

Adapun program yang diluncurkan pemerintah pusat ke pedesaan dari


bantuan luar negeri contohnya PNPM (Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat) Mandiri. PNPM sendiri memiliki banyak program cabang mulai dari
PNPM- Mandiri pedesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, PNPM Daerah Tertinggal
dan Khusus (P2DTK), hingga PNPM Infrastruktur Perdesaan (PPIP). Program
PNPM Mandiri pun merupakan pengembangan dari Program Pembangunan
Kecamatan (PKK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP). Kemudian ada pula Program pembangunan dari pemerintah kabupaten
melalui badan pemberdayaan masyarakat desa (BPMD) misalnya pembinaan PKK
dan simpan pinjam karang taruna. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten akan
menginisiasi beberapa program pembangunan lagi kepada desa dengan didasarkan
pada hasil musrenbang.

PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH

Definisi perencanaan yang sangat sederhana mengatakan


bahwa perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah langkah
yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian Perencanaan dapat
pula didefinisikan menetapkan suatutujuan yang dapat dicapai setelah
memperhatikan faktor-faktor pembatas dalam mencapai tujuan
tersebut memilih serta mentapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan
tersebut.

Selanjutnya, dapat kita katakan perencanaan ialah menetapkan suatu


tujuan setelah memperhatikan pembatas internal dan pengaruh eksternal,memilih,
serta menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan
tersebut. Namun definisi ini belum memasukkan pengertian perencanaan yang ru
mit karena yang diramalkan bukan faktor eksternal saja akan tetapi
faktor internalpun harus menjadi perhatian. Dengan demikian perencanaan
dapat berarti : “ mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini,
meramalkan perkembangan berbagai faktor noncontrollable yang
relevan, memperkirakan faktorfaktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran
yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai
tujuan tersebut “

.Dengan demikian definisi Perencanaan Wilayah adalah mengetahui dan


menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor
noncontrollable yang relevan, memperkirakan faktor-
faktor pembatas,menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat
dicapai,menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut,
sertamenetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan.
Berdasarkan definisi diatas, terdapat empat elemen dasar perencanaan,
yaitu :
1. Merencanakan berarti memilih
2. Perencanaan merupakan alat pengalokasian sumber daya
3. Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan, dan
4. Perencanaan berorientasi masa depan

Perencanaan terkait dengan penyelesaian permasalahan dimasa yang akan


datang sehingga berisikan tindakan yang akan dilakukan dimasa yang akan datang
dan dampaknya juga baru terlihat dimasa depan. Hal ini tidak berarti perencanaan
tidak memperhatikan apa yang terjadi saat ini, karena permasalahan dimasa yang
akan datang adalah produk dari apa yang terjadisaat ini dan pengaruh dari faktor
luar. Secara singkat, pengambilan keputusan ditujukan untuk menyelesaikan suatu
masalah sedangkan perencanaan ditujukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu
dimasa yang akan datang. Bahwasanya tujuan dalam perencanaan untuk
menyelesaikan masalah, hanya pada umumnya masalah bersifat jangka panjang.
Oleh karena itu faktor-faktor yang harus diperhatikan pun menjadi lebih banyak.

Langkah-langkah dalam perencanaan wilayah menurut Glasson sebagai


berikut :

1. The identification of the problem


2. The formulation of general goals and more sfecific and measurable
objectives relating to the problem
3. The identification of possible constraints
4. Projection of the future situation
5. The generation and evaluation of alternative courses of action and the
production of a refered plan, wich in generic form may include and
policy statement or strategy as well as a definitive plan.
Sedangkan untuk kebutuhan perencanaan wilayah di Indonesia perlu
diperluas lagi, setidaknya diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Gambaran kondisi saat ini dan identifikasi persoalan, baik jangka


pendek,menengah dan jangka panjang.
2. Tetapkan visi, misi dan tujuan umum yang didasarkan pada
kesepakatan bersama,
3. Identifikasi pembatas dan kendala.
4. Proyeksikan berbagai variabel terkait.
5. Tetapkan sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu.
6. Mencari dan mengevaluasi berbagai alternatif.
7. Memilih alternatif yang terbaik.
8. Menyusun strategi dan dan kebijakan agar perencanaan tetap
berjalansesuai yang diharapkan.

Sifat perencanaan wilayah yang sekaligus menunjukkan manfaatnya,dapat


dikemu
kakan sebagai berikut :

1. Perencanaan wilayah haruslah mampu menggambarkan proyeksi dari


berbagai kegiatan ekonomi dan penggunaan lahan di wilayah
tersebutdimasa yang akan datang.
2. Dapat memandu atau membantu para pelaku ekonomi untuk
memilihkegiatan yang perlu dikembangkan dimasa yang akan datang.
3. Sebagai bahan acuan bagi pemerintah untuk mengndalikan
danmengawasi arah pertukbuhan ekonomi dan penmanfaatan lahan.
4. Sebagai landasan bagi rencana-rencana lainnya.
5. Lokasi itu sendiri dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan,
penetapan kegiatan haruslah bernilai tambah bagi masyarakat.

Perencanaan pembangunan wilayah sebaiknya menggunakan dua


pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional.
Pendekatansektoral biasanya less-spatial (kurang memperhatikan aspek ruang
secarakeseluruhan), sedangkan pendekatan regional lebih bersifat spatial
danmerupakan jembatan untuk mengaitkan perencanaan pembangunan
denganrencana tata ruang. Rencana tata ruang berisikan kondisi
ruang/penggunaanlahan saat ini (saat penyusutan) dan kondisi ruang yang dituju,
misalnya 25tahun yang akan datang.

Pendekatan sektoral adalah dimana seluruh kegiatan ekonomi didalam


wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya setiap sektor
dianalisis satu persatu. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, menetapkan
apayang dapat ditingkatkan dan dimana lokasi dari peningkatantersebut. Dalam
pendekatan sektoral, untuk setiap sektor/komoditi, semestinya dibuat analisis
sehingga dapat member jawaban tentang :

1. Sektor/komoditi apa yang memiliki competitive advantage diwilayah


tersebut, artinya komoditi tersebut dapat bersaing di pasar global;
2. Sektor/komoditi apa yang basis dan non basis;
3. Sektor/komoditi apa yang memiliki nilai tambah yang tinggi;
4. Sektor/komoditi apa yang memiliki forward linkage dan backward
linkage yang tinggi;
5. Sektor/komoditi apa yang perlu dikembangkan untuk
memenuhikebutuhan minimal wilayah tersebut;
6. Sektor/komoditi apa yang dapat menyerap tenaga kerja.

Pendekatan regional sangat berbeda dengan pendekatan sektoral walaupun


tujuan akhirnya adalah sama. Dalam pendekatan sektoral terlebih dahulu
memperhatikan sektor/komoditi yang kemudian setelah dianalisis,menghasilkan
proyek-proyek yang diusulkan untuk dilaksanakan. Pendekatan regional dalam
pengertian lebih luas, selain memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan
produksi/jasa juga memprediksi arah konsentrasi kegiatan dan memperkirakan
kebutuhan fasilitas untuk masing-masing konsentrasi serta merencanakan
jaringan-jaringan penghubung sehingga berbagai konsentrasi kegiatan dapat
dihubungkan secara efisien. Pendekatan regional semestinya diharapkan dapat
menjawab berbagai pertanyaan yang belum terjawab diantaranya sebagai berikut :

1. Lokasi yang akan berkembang


2. Penyebaran penduduk dimasa yang akan dating
3. Adanya struktur perubahan ruang wilayah tersebut
4. Perlunya penyediaan fasilitas sosial.
5. Perencanaan jaringan penghubung.

Atas dasar pertimbangan pendekatan regional dan pendekatan sektoral,


pendekatan pembangunan wilayah haruslah gabungan antara pendekatan sektoral
dan pendekatan regional. Langkah-langkah penggabungan kedua pendekatan
tersebut, misalnyadalam penyusunan RPJM secara umum dapat dikemukakan
sebagai berikut :

1. Tetapkan visi misi serta tujuan umum


2. Lakukan pendekatan sektoral
3. Uraian komoditi
4. Tentukan parameter setiap komoditi tersebut
5. Proyeksi kebutuhan dan pemasaran
6. Minat investor
7. Perubahan produktifitas pertahun
8. Rekapitulasi kebutuhan lahan
9. Gabungkan setiap input kebutuhan komoditi
10. Kebutuhan sumber daya
11. Penetapan lokasi untuk setiap komoditi
12. Spesialisasi komoditi untuk menghindari tumpang tindih komoditi
13. Volume realisitis komoditi dan lahan
14. Proyeksi dalam lima tahun kedepan
15. Perkiraan pertumbuhan sektor lainnya
16. Pertumbuhan PDRB dimasa yang akandatang
17. Proyeksi jumlah penduduk masa akan dating
18. Proyeksi penggunaan lahan mendatang
19. Perkembangan wilayah kedepan
20. Kebutuhan berbagai fasilitas
21. Perluasan lokasi
22. Total kebutuhan investasi
23. Proyeksi kekampuan keuangan pemerintah
24. Perbandingan anggaran tersedia dengan rencana pembangunan
25. Perencanaan jangka menengah
26. Evaluasi kemampuan kelembagaan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

Zaini, Afirzal. 2014. “Analisa Perencanaan Pembangunan Wilayah di


Daerah Jawa Barat”. Jogja. Diakses pada : 30 Juni 2018. Sumber :
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&a
ct=view&typ=html&id=79375&ftyp=potongan&potongan=S1-2014-282942-
chapter1.pdf

Sarmento, Lala. 2012. “Resume Perencanaan Pembangunan Wilayah”.


Banten. Diakses pada : 1 Juli 2018. Sumber :
https://www.scribd.com/doc/114223867/Resume-Perencanaan-Pembangunan-
Wilayah

Anda mungkin juga menyukai