Anda di halaman 1dari 12

Prof. Dr. Ir.

Marhawati Mappatoba, MT
Dr. Wildani Pingkan S. Hamzens, ST.,MT
Materi Kuliah:
Program Studi Magister Pembangunan Wilayah Pedesaan
Program Pascasarjana Universitas Tadulako, 2013

PENGANTAR
Model Pengembangan Wilayah berdimensia-spasial membahas aspek-aspek
integrasi fungsional yang berkaitan dengan lokasi, industri, urbanisasi,
komplementaritas, dan peningkatan hubungan desa kota dan antar kota untuk
menunjang proses pembangunan.

Model Spasial Pengembangan Wilayah dapat dikelompokkan menjadi tiga


yaitu:
1. Model Pusat Pertumbuhan
2. Model Desentralisasi Teriritorial
3. Model Integrasi Spasial

1. MODEL PUSAT PERTUMBUHAN (GROWTH CENTER)


Growth Poles atau Kutub Pertumbuhan pertama kali dipergunakan oleh Francois
Perroux (1950). Dengan tesisnya bahwa:

.........pertumbuhan tidak terjadi


di sembarang tempat dan juga
tidak terjadi secara serentak, tetapi
pertumbuhan terjadi pada titik-titik
atau kutub-kutub pertumbuhan
dengan intensitas yang berubah
-ubah, lalu pertumbuhan itu
menyebar sepanjang saluran yang
beraneka ragam dan dengan
pengaruh yang dinamis terhadap
perekonomian wilayah.

MODEL PUSAT PERTUMBUHAN (GROWTH CENTER)


Di dalam Pusat pertumbuhan terkumpul (konsentrasi) aktivitas ekonomi
terutama industri yang memiliki daya tarik dan akan memacu (menarik dan
mendorong) perkembangan ekonomi di wilayah pengaruhnya.

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang mantap dan berimbang


diperlukan konsentrasi investasi pada sektor-sektor tertentu yang unggul
(leading sectors).
Industri-industri dan kegiatan-kegiatan
yang akan berkembangdan membentuk
kutub pertumbuhan tersebut memiliki
beberapa ciri sebagai leading industries
dan propulsive industries.
Prinsisp konsentrasi dan aglomerasi
menimbulkan efek efisiensi lokasi
berupa skala ekonomi , lokalisasi
ekonomi, dan urbanisasi ekonomi.

MODEL PUSAT PERTUMBUHAN (GROWTH CENTER)


Pusat Pertumbuhan melahirkan Konsep Center Periphery (Pusat-Pinggiran).
Sebagaimana dikemukakan oleh Friedman:
Adanya Kota Utama dan wilayah sekitarnya yang menjadi inti (core) dan
pinggiran (periphery) yang berada di luar serta tergantung pada inti.
Perkembangan disebarkan dari inti ke pinggiran melalui pertukaran penduduk,
barang, dan jasa.

Kota sebagai inti berpengaruh atas wilayah pinggirannnya.


Hubungan antara core dan periphery dilukiskan dengan dua efek, yaitu efek
sebar spread effect dari pusat ke pinggiran dan kedua efek serap balik
backwash effect dari pinggiran ke pusat, (Myrdall, 1957).

MODEL PUSAT PERTUMBUHAN (GROWTH CENTER)

Hirschman (1958) mengungkapkan:


Pusat pertumbuhan akan berpengaruh terhadap daerah belakangnya melalui
efek polarisasi atau polarization effect (dari pinggiran ke pusat) dan efek
penetesan ke bawah, dari pusat ke pinggiran (trickling down effect)
Polarisasi efek diperkuat dengan adanya pemusatan investasi pada pusat
pertumbuhan, sedangkan tricling down effect dapat tumbuh dengan cara
meningkatkan daya tarik wilayah sekitar.

KUNCI MODEL PUSAT PERTUMBUHAN (GROWTH CENTER)

Kunci Kutub Pertumbuhan adalah adanya konsentrasi investasi, industri, dan


pembangunan di satu tempat yang memiliki kelengkapan sarana dan
prasarana sehingga menciptakan efisiensi ekonomi.
Dalam konteks pembangunan perdesaan, desa-desa pada tipologi desa di
perkotaan (kelurahan) dan desa yang memiliki basis industri memiliki peluang
dalam penerapan Model Kutub Pertumbunan.
Konsep Pusat Pertumbuhan dapat dianalogikan dengan
Perkotaan (desa di perkotaan), dan
Pinggiran sama dengan desa-desa di
Luar perkotaan.

Prinsip Kutub Pertumbuhan dapat pula


diterapkan di desa yang jauh dari
pusat dengan kriteria:
Konsentrasi investasi, beberapa desa
yang berbasis ekonomi pariwisata
atau pertambangan dapat menjadi
Pusat pertumbuhan di daerah
Perdesaan.

2. MODEL DESENTRALISASI TERRITORIAL


Dalam terminologi pengembangan wilayah yang dikemukakan oleh
Stohr (1981), pendekatan desentralisasi territorial merupakan strategi
pembangunan dari bawah menitikberatkan pada upaya menciptakan
dorongan bagi pembangunan dinamis di wilayah-wilayah (pedesaan) yang
relatif terbelakang.
Strategi ini lebih berpihak kepada wilayah perdesaan. Pendekatan ini tidak
hanya berorientasi pada kemajuan ekonomi, namun juga kesempatan bagi
individu-individu, kelompok-kelompok sosial dan organisasi masyarakat untuk
memobilisasi kemampuan dan sumberdaya lokal bagi kemajuannya.

MODEL DESENTRALISASI TERRITORIAL


11 Komponen Utama Strategi Desentralisasi Territorial, Stohr (1981)
1. Meningkatkan akses penduduk terhadap tanah dan sumberdaya alam
lainnya, terutama bagi penduduk di wilayah-wilayah terbelakang yang
umumnya bergantung pada sektor pertanian.
2. Memperkenalkan struktur (sistem) territorial atau spasial yang responsif
terhadap pemerataan pengambilan keputusan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam dan mencegah dominasi wilayah yang lebih luas dalam
menentukan pemanfaatan sumberdaya wilayah.
3. Memperkuat institusi lokal (wilayah perdesaan) untuk menentukan sendiri
pembangunan di wilayahnya dan melepaskan ketergantungan terhadap
standart dan kebutuhan pembangunan yang berasal dari luar.
4. Mengembangkan teknologi yang berorientasi pada optimasi pemanfaatan
sumberdaya lokal, termasuk sumberdaya manusai seperti teknologi padat
karya.
5. Mengutamakan proyek-proyek pembangunan yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan
infrastruktur dasar dengan menggunakan sumberdaya dan institusi lokal
secara maksimal.
6. Kebijaksanaan ekonomi yang dapat meningkatkan nilai tukar dan stabilisasi
harga hasil-hasil pertanian dan produksi lain yang dihasilkan wilayah
perdesaan

MODEL DESENTRALISASI TERRITORIAL


Lanjutan 11 Komponen Utama Strategi Desentralisasi Territorial, Stohr (1981)

7. Jika sumberdaya lokal belum memungkinkan dan membutuhkan bantuan


dari luar, hendaknya bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan
wilayah.
8. Perluasan aktivitas produksi untuk menghasilkan barang-barang bagi
pemenuhan kebutuhan di luar wilayah (ekspor) yang memberikan
dampak bagi sebagian besar masyarakat pedesaan.
9. Restrukturisasi sistem perkotaan dan transportasi untuk meningkatkan
pemerataan aksesibilitas penduduk di seluruh wilayah terhadap kota-kota
tersebut.
10. Memprioritaskan peningkatan fasilitas transportasi antara desa dan antara
pusat-pusat desa dengan wilayah pengaryhnya, dibandingkan dengan
mengembangkan jaringan antara desa dengan perkotaan.
11. Mengembangkan struktur sosial yang mendukung pemerataan dan
kebersamaan berdasarkan inisiatif penduduk setempat.

3. MODEL INTEGRASI SPASIAL

Model Integrasi Spasial merupakan jalan tengah antara pendekatan sentralisasi


yang menekankan pertumbuhan pada wilayah perkotaan (model pusat/ kutub
pertumbuhan) dan desentralisasi territorial yang menekankan penyebaran
investasi dan sumberdaya pembangunan pada dan pedesaan.
Rondinelli (1983) menganjurkan pembentukan sistem spasial yang
mengintegrasikan pembangunan perkotaan dan perdesaan. Hal ini dilakukan
dengan menciptakan suatu jaringan
produksi, distribusi, dan pertukaran
yang mantap mulai dari desa-kota kecilkota besar (metropolitan)
Pendekatan alternatif ini didasari pemikiran
bahwa dengan adanya integrasi sistem
pusat-pusat pertumbuhan yang berjenjang
dan berbeda karakteristik fungsionalnya,
maka pusat-pusat tersebut akan dapat
memacu penyebaran pembangunan
wilayah.
Memacu perkembangan sektor pertanian
yang diintegrasikan dengan sektor industri
pendukungnya, dan sistem permukiman
yang terintegrasi dan terkait secara spasial.

Anda mungkin juga menyukai