Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PENYELESAIAN TERHADAP INHARMONIS HUKUM

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Penalaran Hukum

Dosen Pengampu:
Dr. Elviandri, S.HI., M.Hum

Oleh:
Noor Alifah Wahyuni
NIM 20612003

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan
yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Dr. Elviandri, S.HI., M.Hum
sebagai dosen pengampu mata kuliah Penalaran Hukum yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkan.

Samarinda, …

Noor Alifah Wahyuni


20612003

2
Abstrak

Noor Alifah Wahyuni


Judul Makalah

Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
Tahun 2023

Bahan kajian penyelesaian terhadap inharmonisasi hukum ini, diawali dengan


memahami aspek-aspek penalaran hukum yang fundamental dan bersifat general
seperti Asas Preferensi, Penemuan Hukum, Kesesatan Dalam Penalaran Hukum,
Metode Menemukan Kebenaran Dalam Hukum. Hal-hal itu sangat penting sebagai
dasar untuk memahami penalaran dalam melakukan penalaran hukum. Tujuan
ditulisnya artikel sebagai sebagai upaya atau proses penyesuaian asas dan sistem
hukum, agar terwujud kesederhanaan hukum, kepastian hukum dan keadilan. dst
(Memuat: tujuan ditulisnya artikel, yaitu untuk mengetahui atau menjawab rumusan
masalah yang dibuat, hasil pembahasan dan kesimpulan, maksimal 200 kata)

Kata Kunci: interpretasi hukum, penemuan hukum, kesesatan dalam


penalaran

3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2

Abstrak ............................................................................................................................... 3

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 5

A. Latar Belakang .................................................................................................... 5

B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 7

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 7

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 8

A. Interpretasi dalam Penalaran Hukum .................................................................. 9

B. Koherensi Interpretasi dan Penalaran Hukum .................................................. 13

C. Sub Materi Kedua Penemuan Hukum ............................................................... 14

D. Kesesatan dalam Penalaran Hukum .................................................................. 18

A) Pengertian Kesesatan ..................................................................................... 18

B) Kesesatan Karena Bahasa .............................................................................. 19

C) Kesesatan atau Kesalahan Relevansi ............................................................. 19

D) Rasionalitas Kesesatan .................................................................................. 23

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 24

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 24

B. Saran .................................................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 25

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Harmonisasi hukum atau yang biasa disebut dengan penyelarasan hukum dapat
diawali dengan melakukan penyelarasan dan penyerasian tujuan, strategi, dan pedoman
dari masing-masing peraturan perundang-undangan melalui upaya penafsiran hukum,
konstruksi hukum, penalaran hukum, dan pemberian argumentasi yang rasional
dengan tetap memperhatikan sistem hukum dan asas hukum yang berlaku.
Harmonisasi hukum dalam sisi pencegahan yaitu, upaya harmonisasi yang dilakukan
dalam rangka menghindarkan terjadinya disharmoni hukum atau ketidakselarasan
hukum. Ketidakselarasan hukum yang telah terjadi tersebut memerlukan harmonisasi
sistem hukum guna untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, dan
disharmonisasi hukum yang belum terjadi harus dicegah melalui upaya-upaya
penyelarasan, penyerasian, dan penyesuaian di berbagai kegiatan harmonisasi hukum.
Demikian pula, inkonsistensi atau ketidakteraturan dalam penjatuhan sangsi terhadap
pelanggaran hukum kemudian menimbulkan terjadinya disharmoni hukum yang harus
diharmonisasikan melalui kegiatan penyerasian dan penyelarasan hukum. Disamping
itu, harmonisasi hukum dilakukan sebagai upaya menanggulangi keadaan disharmoni
hukum yang telah terjadi. Keadaan disharmoni hukum yang terlihat misalnya, tumpang
tindihnya kewenangan, persaingan yang tidak sehat, sengketa, pelanggaran, benturan
kepentingan, dan tindak pidana. Sehingga dalam rangka menanggulangi
ketidakselarasan antara kepentingan yang menyangkut masalah yang telah disebutkan
di atas, harus ada upaya harmonisasi. Misalnya, dalam upaya menaggulangi kasus
perdata bisa dilakukan melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).1
Di ketahui kini banyak peraturan dalam perundang-undangan yang tidak
harmonis dan tidak bisa diimplementasikan. Bahwa masalah kelembagaan pemerintah
termasuk bagian dari masalah paling rumit dalam menghadapi persoalan pengaturan
penyusunan perundang-undangan karena ada egosektoral dan tarik menarik
kepentingan. Sehingga perundang-undangan yang dibuat justru tidak ada keberlakuan
hukumnya, pembentukan regulasi haruslah mempermudah rakyat mencapai cita-cita,
memberikan rasa aman, memudahkan semua orang untuk mendapatkan haknya, dan

1 Anwar Fauzi, KONSEP HARMONISASI HUKUM, UIN Maulana Malik Ibrahim, hal-54

5
mampu mendorong semua orang berinovasi menuju Indonesia maju. Untuk itu, perlu
dipahami dengan saksama bahwasanya naskah akademik itu merupakan hasil penelitian
hukum yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Sehingga, hasilnya kemudian
bersifat merekomendasikan membentuk UU, memperbaiki UU, dan memperbaiki
program. Peraturan Perundang-undangan sebagai sebuah system kebutuhan tentang
peraturan perundang-undangan yang harmonis dan terintegrasi tersebut merupakan
sebuah kebutuhan yang sangat diperlukan untuk mewujudkan ketertiban, menjamin
adanya kepastian dan perlindungan hukum. Pembentukan peraturan perundang-
undangan yang harmonis dan terintegrasi tentu sangat diperlukan guna untuk
mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung pembangunan
nasional secara umumnya.
Sebagai negara hukum, yang menjadikan hukum dalam realitasnya memiliki 3
(tiga) tujuan yaitu, kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, yang tentunya negara
Indonesia dalam mencapai ketiga tujuan ini tentu membutuhkan proses yang
berlangsung pada sub-sub sistem hukum yang antara lain telah disebutkan oleh
Lawrence M. Friedman yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
(Achmad Ali: 1996). Prinsip utama yang harus dipegang teguh di dalam setiap negara
hukum ialah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah selalu melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi atau dalam penjelasan
mudahnya dapat dijelaskan apabila peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh menyimpang atau mengesampingkan atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Selanjutnya, dari sisi yang
berwenang untuk membentuk hukum, bahwa pembentuk-pembentuk hukum
membentuk suatu kesatuan yang bersifat hirarkis, yaitu mulai pembentuk hukum yang
tertinggi sampai kepada yang lebih rendah. Pembentuk hukum yang lebih tinggi
mendelegasikan wewenang yang ada padanya kepada pembentuk hukum yang lebih
rendah.2

Menggunakan footnote pada setiap halamannya minimal 1 (bukan Ibid) dari


referensi Makalah MINIMAL:

2Sri Pujianti, Pentingnya Harmonisasi Untuk Peningkatan Kualitas Perundang-undangan, Mahkamah


Konstitusi Republik Indonesia, 25 (Agu) 2021.

6
a. 3 Buku Teks
b. 7 Jurnal Nasional Terakreditasi Sinta
c. 1 Jurnal Internasional
d. 1 Proseding Nasional
e. 2 sumber data lain yang valid (bps, media masa cetak/elektronik terpercaya)
Kutipan ini harus muncul dalam daftar pustaka, dan sebaliknya.
Panjang latar belakang makalah maksimal sebanyak 5 (lima) lembar. Latar
belakang dan seluruh isi BAB I Pendahuluan diketik dengan format margin 3,5 cm (kiri),
3 cm (atas), 3 cm (kanan), dan 3 cm (bawah). font yang digunakan adalah Garamond
ukuran 12 pt. dengan spasi ukuran 1.5. Judul BAB dan setiap sub-judul yang ada dalam
BAB I Pendahuluan wajib diketik cetak tebal (bold).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud interpretasi hukum dan penalaran hukum serta
koherensi interpretasi hukum
2. Bagaimana bentuk metode penemuan hukum oleh hakim
3. Apa yang menjadi penyebab kesesatan dalam penalaran

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang pentingnya harmonisasi untuk peningkatan
kualitas perundang undangan
2. Untuk memahami tentang interpretasi hukum, asas preferensi, penemuan
hukum dan kesesatan dalam penalaran hukum serta dapat memahami
konflik norma, kekabuaran norma dan kekosongan normal

7
BAB II
PEMBAHASAN

Secara ontologis kata harmonisasi berasal dari kata harmoni yang dalam bahasa
Indonesia berarti pernyataan rasa, aksi, gagasan dan minat: keselarasan, keserasian.1
Kata harmonisasi ini, di dalam bahasa inggris disebut harmonize, dalam bahasa Francis
disebut dengan harmonie, dan dalam bahasa yunani disebut harmonia. Dan istilah kata
harmonisasi hukum itu sendiri muncul dalam kajian ilmu hukum pada tahun 1992 di
Jerman. Yang mana kajian harmonisasi hukum tersebut dikembangkan dengan tujuan
untuk menunjukkan bahwasanya didalam dunia hukum, kebijakan pemerintah, dan
hubungan diantara keduanya terdapat keaneragaman yang dapat mengakibatkan
disharmoni.
Adapun cakupan harmonisasi hukum, L.M Gandhi yang mengutip buku tussen
eenheid en verscheidenheid: Opstellen over harmonisatie instaaat en bestuurecht (1988)
mengatakan bahwa harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan
perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-
asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan
(justice,gerechtigheid) dan kesebandingan (equit, billijkeid), kegunaan dan kejelasan
hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau memang
dibutuhkan. Sementara menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam buku yang
disusun oleh Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan, harmonisasi hukum adalah
kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian tertulis yang mengacu baik
pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa harmonisasi hukum diartikan
sebagai upaya atau proses penyesuaian asas dan sistem hukum, agar terwujud
kesederhanaan hukum, kepastian hukum dan keadilan. Harmonisasi hukum sebagai
suatu proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal
yang bertentangan dan kejanggalan di antara norma-norma hukum di dalam peraturan

8
perundang-undangan, sehingga terbentuk peraturan perundang-undangan nasional yang
harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten, serta taat asas.3
Bagian ini membahas tentang tema-tema penting yang terkait dengan tema
utama, rumusan masalah, dan tujuan penulisan yang telah dipaparkan pada BAB I
Pendahuluan. Paparan tema harus disusun secara sistematis berdasarkan urutan yang
disebutkan pada penulisan rumusan masalah dan tujuan penulisan.
Menggunakan footnote pada setiap halamannya minimal 1 (bukan Ibid) dari
referensi Makalah MINIMAL:
f. 3 Buku Teks
g. 7 Jurnal Nasional Terakreditasi Sinta
h. 1 Jurnal Internasional
i. 1 Proseding Nasional
j. 2 sumber data lain yang valid (bps, media masa cetak/elektronik terpercaya)
Kutipan ini harus muncul dalam daftar pustaka, dan sebaliknya.
Panjang pembahasan minimal 15 halaman. Pembahasan dan seluruh isi BAB II
diketik dengan format margin 3,5 cm (kiri), 3 cm (atas), 3 cm (kanan), dan 3 cm (bawah).
font yang digunakan adalah Garamond ukuran 12 pt. dengan spasi ukuran 1.5. Judul BAB
dan setiap sub-judul yang ada dalam BAB II Pembahasan wajib diketik cetak tebal (bold).

A. Interpretasi dalam Penalaran Hukum


berhubungan seperti bumi dan gravitasi . Keduanya saling berhubungan dan nterpretasi
dan penalaran hukum merupakan dua hal yang sangat saling memberikan informasi
dalam proses mendapatkan justifikasi atau pembenaran. Justifikasi memerlukan suatu
proses mengkaitkan dan menyelaraskan suatu fakta, data dan informasi secara lengkap
(koheren) terhadap ketentuan-ketentuan yang ada pada peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian koherensi dalam menginterpretasikan hukum (legal Interpretation)
merupakan prasarat utama dalam melakukan penalaran hukum (legal reasoning). Proses
penalaran atau sering disebut dengan legal reasoning merupakan proses yang secara
khusus berlangsung dalam proses litigasi khususnya dalam hal hakim atau ahli hukum
mengalami kesulitan untuk menerapkan fakta-fakta hukum di persidangan dengan

3 Anwar Fauzi, Ibid, hal-54

9
ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Penalaran Hukum
membantu hakim untuk mencari keadilan yang diharapkan.
Kohorensi menjadi bagian inherent dalam proses interpretasi dan penalaran hukum.
Ketiadaan koherensi dalam proses tersebut mengundang pertanyaan mendasar apakah
penalaran hukum tersebut dapat diterima atau tidak. Ketiadaan “koherensi” dalam
melakukan interetasi hukum akan berakibat pada lemahnya penalaran para ahli hukum
dalam memutuskan apakah suatu perbuatan bertentangan dengan undang-undang atau
tidak. Koherensi juga berguna untuk menyelaraskan interpretasi dan penalaran hukum
yang dilakukan sebelumnya dengan yang akan datang sehingga tingkat kepastian
hukumnya lebih baik.4
A) Interpretasi dalam Penalaran Hukum
Bagian terpenting dalam melakukan penalaran hukum adalah melakukan intepretasi
terhadap peraturan perundang-undangan atau substansi dari hukum yang ada.
Dikarenakan hukum dikontruksikan dalam tulisan. Interpetasi dalam penalaran hukum
menyangkut permasalahan bahasa baik lisan maupun tertulis yang mendorong
pengkajian Interpretasi dalam penalaran hukum terkait dengan makna (ontologis) yang
tersirat dari bahasa tersebut sehingga kajian interpretasi memerlukan bantuan filsafat.
Selanjutnya dari kajian filasat tersebut munculah filsafat hukum yang mengkajinya dari 3
cabang utama filsafat meliputi Ontologi (makna), Epistimologi (metode) dan Aksiologi
(moral). Pemaknaan bahasa baik tulisan maupun lisan dalam melakukan interpretasi dan
penalaran harus memperhatikan aspek epistimologi atau metode yang dipergunakan dan
juga aspek aksiologi atau sistem nilai atau prinsip-prinsip yang ada di masyarakat.

Salah satu ahli hukum Ronald Dworkin (1986) berpendapat bahwa hukum
merupakan interpretive concept sebuah konsep yang interpretatif sehingga implementasi
konsep tersebut oleh penegak hukum memerlukan interpretasi dalam melakukan
penalaran hukumnya. Interpretasi dan penalaran hukum merupakan bagian inherent dari
implementasi hukum tersebut. Dworkin (1986) juga menyatakan dikarenakan hukum
atau peraturan berisikan kata yang mengandung makna sehingga diperlukan suatu
proses interpretasi dan penalaran dalam memaknai kata tersebut. Sehingga interpretasi

4Daryono,Triyanto,&Seno Wibowo Gumbira, INTERPRETASI DAN PENALARAN HUKUM,


Universitas terbuka, 2019, hal- 2

10
dan penalaran hukum menjadi sangat penting untuk menggali dan mencari “makna”
yang ada di dalam hukum tersebut.

Perkembangan hukum global maupun regional tentunya juga sangat mempengaruhi


bagaimana hukum diinterpretasikan dan bagaimana penegak hukum melakukan
penalaran hukum dalam konteks kehidupan sosial yang berubah. Sebagai contoh
perkembangan global melalui Internet yang sering menimbulkan terjadinya perbuatan
melawan hukum lintas yurisdiksi maupun masuknya konsep hukum maupun nilai
hukum umum (precept) yang dibawa oleh orang asing dalam melakukan transaksi di
Indonesia yang mengakibatkan penegak hukum harus melakukan proses re-interpretasi
hukum. Hal ini juga tentunya banyak dipengaruhi oleh lalu lintas ekonomi, sosial
maupun budaya yang masif baik secara virtual maupun nyata yang menggunakan
berbagai konsep hukum asing.
Penalaran hukum pada dasarnya dapat berupa beberapa hal pokok :
a. Penalaran untuk membangun substansi hukum yang berlaku untuk kasus
tertentu atau yang sedang dihadapi
b. Penalaran untuk menginterpretasikan isi peraturan perunandang undangan dari
hukum dimana keputusan harus diambil dari kasus yang sebelumnya telah terjadi
c. Penalaran terhadap keputusan dari suatu proses litigasi atau ajudikasi untuk suatu
kasus hukum yang harus mempertimbangkan berbagai hal diluar hukum itu
sendiri Interpertasi dalam penalaran hukum menimbulkan beberapa aspek yang
perlu diperhatikan antara lain meliputi:
1. Apa yang di interpretasikan? apakah sebuah kasus hukum, prinsip hukum, aspek
tertentu dari hukum , undang undang, atau keputusan pengadilan, dalam
perkembangannya yang menjadi inti dari interpretasi hukum adalah melakukan
interretasi atas sebuah keputusan dari otoritas yang berwenang untuk membuat
undang undang atau menerapkan undang undang, dalam melakukan interpretasi
hukum otoritas yang memiliki kewenangan dapat menggunankan hukum dalam arti
luas dengan memasukan sejarah hukum maupun tujuan hukum itu sendiri.
1) Tahap berikutnya adalah seberapa luas dan dalam interpretsi hukum harus
dilakukan tahap ini membawa keonsekwensi seberapa besar interpretasi hukum
menggunakan unsur kreativitas. Terdapat dua macam interpretasi hukum dilihat
dari keluasan dan kedalamannya yaitu 1). Originalitas : pandangan ini juga

11
disebut sebagai consevatism. interpretasi hukum harus memperlihatkan hal hal
yang secara orisinil ada dalam peraturan perundang undangan dan dimengerti
oleh mereka yang membuat atau mengesahkannya Semakin sesuai dengan apa
yang dimaksudkan oleh pembuat maka semakin baik Interpretasi tersebut atau
mendekati kebenaran. Dengan kata lain smakin mendakati keaslian dari apa yang
dimaksudkan oleh pembuat undang undang akan semakin baik. 2). Kreativitas
dan inovasi : Kreativitas dalam interprtasi hukum tidak menekankan pada
originalitas namun lebih pada creativity mengingat keterbatasan bahasa untuk
menyampaikan makna orisinalnya. Interpretasi merupakan daya kreativitas untuk
memberikan makna pada teks sesuai dengan keinginan dan pengetahuan
masyarakat saat ini. Sehingga “kebenaran” dalam pandangan ini adalah apabila
interpretasi hukum sesuai atau relevan dengan pendapat dari ahli hukum lainnya
atau masyarakat.
2. Sebagai kelanjutan dari ketentuan diatas seberapa besar peran Hakim dalam
mempertahankan keyakinannya terhadap makna orisinal dari peraturan
perundang undangan yang di interpretasikan dalam siding pengadilan.
Persyaratan tambahan apakah yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam
melakukan interpretasi tersebut.

Menurut konsep a disciplining rule Hakim memiliki kewajiban untuk selalu


tunduk pada teks peraturan perundangan yang aslinya. Hakim terikat untuk
menjaga orsinalitas Interpretasi hukum didasarkan pada teks aslinya
maupun dengan norma norma tambahan yang dapat dipergunakan sebagai
Hakim. Sebagai contoh keputusan pengadilan sebelumnya atau keputusan
pengadilan ditingkat atasnya. Namun perkembangan pengetahuan
masyarakat melahirkan masyarakat yang selalu bertindak dan melakukan
interpretasi berdasarkan norma, standard, tujuan dan manfaat bersama atau
yang disebut sebagai “interpretive communities”. Hal ini mendorong hakim
tidak hanya tunduk pada a disciplinary rules namun juga harus
mengembangkan kreativitasnya untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang
hidup dengan interpretasi “interpretive communities”.5

5 Daryono, Ibid, hal-4

12
B. Koherensi Interpretasi dan Penalaran Hukum
Koherensi dalam interpretasi dan penalaran hukum pada umumnya ditujukan
untuk menghasilkan kepastian dan kesatuan dari suatu sistem hukum.
Koherensi merupakan sebuah kondisi untuk menciptakan keselarasan,
keterkaitan dan keterhubungan antara kasus hukum yang terjadi dengan realitas
hukum yang memungkinkan hakim dan ahli hukum untuk menginterpretasikan
hukum atau peraturan perudang-undangan secara benar. Koherensi dapat
membantu para hakim dan ahli hukum untuk memberlakukan suatu
interpretasi dan penalaran hukum yang sama untuk berbagai kasus yang serupa,
seperti halnya berlakunya doctrine of precedence dan analogy. Alexy dan peczenix
(1990) mengemukakan koherensi dapat dikatakan sebagai sebuah tingkatan dari
yang kurang koheren sampai yang sangat koheren yang ditentukan dengan
kriteria sebagai berikut :
a. Jumlah hubungan yang mendukungnya
b. Panjangnya rantai argumentasi
c. Kekuatan dari dukungan
d. Hubungan diantara rantai dukungan
e. Urutan keutamaan dari nalar dan /alasan
f. Justifikasi hukum aturan secara timbal balik
g. Keberlakuan secara umum
h. Hubungan antar konsep
i. Jumlah dari kasus atau teori yang dipergunakan sebagai dasar dan
keragaman bidang ilmu yang dapat diterapkan
Terdapat dua hal yang dapat membedakan penerapan koherensi ini antara lain:
1. Koherensi dalam hukum (pembuatan hukum, law finding and making)
Koherensi hukum berkaitan dengan pertanyaan bagaimana sebaiknya
sebuah sistem hukum dibangun. Sistem hukum yang koheren adalah
apabila tingkat kesusuaian yang tinggi antara keputusan pengadilan,
peraturan perundangundangan dan peraturan lainnya dalam suatu yurisdiksi
tertentu
Koherensi dalam ajudikasi (penyelesaian perkara, dispute resolution)

13
2. Koherensi dalam ajudikasi dapat dimungkinkan adanya perbedaan
perbedaan sesuai tempat dan waktu. Perbedaan tersebut merupakan
pengaruh dari pertimbangan sosial, ekonomi dan politik dalam peraturan
perundangan maupun keputusan pengadilan.
Koherensi dalam interpretasi dan penalaran hukum memiliki fungsi yang
penting, Hal ini disebabkan: 1).Hakim dan penegak hukum harus melakukan
penalaran hukum secara konstruktif untuk mendapatkan justifikasi dalam
melakukan penegakan hukum 2). Penalaran hukum harus menjelaskan
bagaimana hukum secara umum ditegakkan. 3) Justifikasi baik legal maupun
moral hanya dapat diperoleh melalui koherensi penalaran hukum berdasarkan
prinsip prisnip universal.6

C. Sub Materi Kedua Penemuan Hukum


Hakim adalah salah satu bagian dasar dari sistem peradilan selain kepolisian dan
kejaksaan, sebagai otoritas yang melakukan tindakan hukum atau putusan terhadap
perkara di pengadilan. Hakim dalam menegakkan hukum harus memiliki integritas,
akuntabilitas, etika dan moral, agar setiap putusan perkara yang sedang ditanganinya bisa
menjamin rasa keadilan dengan melalui proses hukum yang sah menurut undang-
undang. Tentunya pengawasan dan transparasi juga harus di miliki seorang hakim
sebagai profesionalisme dan independensi hakim dalam menangani kasus hukum Tugas
hakim adalah memberikan keputusan dan menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan
peristiwa hukum, nilai dan hubungan hukum dari perilaku yang terlibat perkara. Maka
hakim dalam mengambil sebuah keputusan, harus dapat memposisikan dirinya secara
mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaan manapun dalam menyelesaikan konflik
sesuai ketentuan hukum yang berlaku
Kekuasaan kehakiman harus mandiri dan diharapkan dapat membuat keputusan
yang berkualitas, karena kebebasan hakim merupakan syarat dalam penemuan hukum di
pengadilan. Dalam menjalankan tugasnya hakim di tuntut menciptakan keadaan yang
kondusif agar setiap putusannya dapat melahirkan rasa keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan

6 Daryono, Ibid, hal-16

14
Kewenangan hakim dalam mencari dan menemukan hukum harus bersandar
pada peraturan perundang undangan dengan cara yang arif dan bijaksana dalam
mengemban tugasnya, yang lebih mengutamakan idea formal daripda legalitas formal.
Dengan begitu, pengertian dari penemuan hukum dapat disimpulkan bahwa hakim
harus bersifat bebas, adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan yang sesuai kondisi
dan situasi pada saat memutuskan suatu perkara yang dihadapi nya. Hakim dalam
mengadili tidak selalu wajib menerapkan teks undangundang secara harfiah, sebetulnya
esensi dari penemuan hukum itu sendiri terletak pada peran para hakim dalam
memutuskan suatu perkara. Namun begitu hakim harus dituntut untuk mewujudkan
nilai-nilai dan rasa keadilan dalam mengadili, agar dapat menciptakan kesejahteraan
dalam setiap putusannya, maka undangundang tentunya dijadikan sebagai tujuan
keadilan dalam penegakan hukum.7
Penemuan hukum merupakan salah satu wadah yang dapat digunakan oleh
hakim untuk mengisi kekosongan hukum, atau menafsirkan suatu kaidah peraturan
perundang-undangan yang tidak atau kurang jelas. Semakin dinamisnya kehidupan
masyarakat yang menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal, sehingga hakim dituntut
menghidupkannya seiring dengan perubahan dan rasa keadilan masyarakat
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-
petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristwa-
peristiwa hukum yang konkret
Dalam arti sempit adalah jika peraturannya sudah ada dan sudah jelas, dimana
hakim tinggal menerapkannya saja. Dalam penerapannya, hakim tetap dinggap
melakukan penemuan, yaitu menemukan kecocokan antara maksud atau bunyi peraturan
undang-undang dengan kualifikasi peristiwa atau kasus konkretnya
Sedangkan dalam arti luas posisi hakim bukan lagi sekedar menerapkan peraturan
hukum yang sudah jelas dengan mencocokkannya pada kasus yang ditangani, melainkan
sudah lebih luas. Hakim daam membuat putusan, sudah memperluas makna suatu
ketentuan undang-undang yang dibagi atas konstruksi hukum dan interpretasi hukum.
Van Eikema Hommes menyatakanbahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai
proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang

7Ias Muhlasin, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Peradilan Di Indonesia, UIN Yogyakarta,
2020, hal 3-7

15
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Ini merupakan
proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan
mengingat8 peristiwa konkret. dan metode dalam penemuan hukum.

Metode dalam penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dalam tiga bentuk
diantaranya:
1) Metode interpretasi hukum
Metode interpretasi hukum adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks
perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat
diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu, Interpretasi hukum adalah
penafsiran perkataan dalam undang-undang, tetapi tetap berpegang pada kata-
kata atau bunyi peraturannya, Interpretasi adalah metode penemuan hukum
dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk diterapkan pada
peristiwanya.9
2) Metode konstruksi hukum dan argumentasi hukum
Metode konstruksi hukum, yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau
membentuk pengertian (hukum) bukan untuk menjelaskan barang. Menyusun
yang dimaksud ialah menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang
sama, satu pengertian yang sama dan dipengaruhi oleh waktu tertentu serta
keadaan tertentu.

Kostruksi hukum adalah penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan


dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap
harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem.

Tujuannya adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkret dapat memenuhi
tuntutan keadilan,dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Contoh: istilah
pencurian adalah suatu kontruksi hukum, suatu pengertian tentang mengambil
barang dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum.10

8 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Cet , Bogor, Ghalia Indonesia 2014, hal 159

9 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press Yogyakarta, hal 82

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group 2005, hal 84

16
Metode argumentasi hukum disebut juga dengan metode penalaran hukum. Digunakan
apabila undang-undangnya tidak lengkap, maka untuk melengkapinya digunakan metode
argumentasi. Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Metode analogi
Metode ini berarti memperluas peraturan perundang-undangan, yang terlalu
sempit ruang lingkupnya, dan diterapkan pada peristiwa yang diatur undang-
undang. Metode analogi sering digunakan dalam perkara perdata. Analogi
merupakan metode penemuan hukum dalam hal hukumnya tidak lengkap, jadi
merupakan pengisian atau penciptaan hukum baru dan bukan sebagai bentuk
penafsiran.
b. Metode penyempitan hukum
Metode ini bertujuan untuk mengkonkretkan atau menyempitkan suatu aturan
hukum yang terlalu abstrak, luas, dan umum, supaya dapat diterapkan terhadap
suatu peristiwa tertentu. contoh: perbuatan melanggar hukum, yang luas ruang
lingkupnya dipersempit seperti masalah ganti kerugian, yurisprudensi
menetapakan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan, hanya dapat
menuntut sebagian kerugian yang diakibatkan olehnya.
c. Metode fiksi hukum
Metode fiksi hukum adalah sesuatu yang khayal yang digunakan didalam ilmu
hukum dalam bentuk kata-kata,istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam
bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian hukum.
Fungsi dari fiksi hukum disamping untuk memenuhi hasrat menciptakan
stabilitas hukum,juga utamanya untuk mengisi kekosongan undang-undang. Atau
fiksi hukum itu bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan
baru dengan sistem hukum yang ada. Salah satu contoh nya dalam kasus berikut
: anak yang berada dalam kandungan seorang wanita, dianggap telah dilahirkan,
jika kepentingan anak menghendakinya. Apabila bapak si anak wafat, anak
tersebut tidak akan kehilangan hak kewargaannya, anak itu mempunyai hak atas
warisan ayahnya. Tujuannya adalah untuk menghemat katakata yang digunakan
dalam merumus kaidah hukum, sehingga dari satu pengertian akan mengandung
pengertian yang lebih luas. Hendaknya ahli hukum menjauhkan dari

17
pembentukan hukum yang khayal berusaha menyingkirkan istilah dan kalimat
hukum yang sulit dipahami masyarakat, karena hukum itu bukan kesenian.
3) Metode Hermeunetika hukum
Hermeunetika hukum dan teori penemuan hukum relevan dengan proses
penggalian dalam hukum itu sendiri, pemahaman itu memiliki proses timbal
balik terhadap kaidah-kaidah hukum dan fakta-faktanya. Dalil dari hermeunetika
hukum adalah teori penemuan hukum yang mengkualifikasi fakta-fakta dan
menginterpretasi kaidah-kaidah hukum yang berkembang saat ini. Istilah
hermeunetika hukum sebenernya dapat dipahami sebagai metode interpretasi
teks terhadap hukum normatif sebagai metode dan teori penemuan hukum baru
yang dapat membantu hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.11

D. Kesesatan dalam Penalaran Hukum

A) Pengertian Kesesatan
Dalam ilmu Bahasa, kesesatan pikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang
sebenarnya tidak logis, salah arah dan menyesatkan, suatu gejala berfikir yang salah
disebabkan oleh pemaksaan prinsip prinsip logika tanpa memerhatikan relevansinya.12
Kesesatan atau kesalahan logis (fallacy) merupakan bentuk penalaran yang dicapai atas
dasar logika atau penalaran yang tidak sehat, misalnya dadang lahir di bintang scorpio ,
maka hidupny a akan penuh penderitaan.13
Kesesatan atau kesalahan logis dapat terjadi pada siapapun juga itu bisa terjadi karena
yang sesat adalah suatu hal yang masuk akal, apabila kesesatan atau kesalahan itu dibawa
oleh orang, dia sendiri tidak menyadari kesalahannnya maka kesesatan itu disebut
dengan paralogis, akan tetapi apabila kesesatan atau kesalahan itu disengaja dengan
maksud dan tujuan tertentu maka disebut softisme.14

11Bagir Manan, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama,
Jurnal Hukum Dan Peradilan Mahkamah Agung,Vol 2 No 2 2013

12 Yahman, Pengantar Penalaran Hukum, hal 35

13 Muhammad Rakhmat, Pengantar Logika Dasar, 2013, hal 107

14 Muhammad Rakhmat, Ibid, hal 102

18
Secara garis besar kesesatan dapat dilihat dari hubungan logis antara premis dan
konklusinya atau kesesatan relevansi, kesesatan yang lain dapat dilihat dari penggunaan
Bahasa.

B) Kesesatan Karena Bahasa


Keterbatasan kata kata dalam Bahasa sering kali menimbulkan kesalahan dalam
penalaran. Beberapa kesesatan karena Bahasa diantaranya :
1. kesesatan karena aksen atau tekanan, contoh : tiap pagi pasukan mengadakan apel
(Apel itu buah) jadi : tiap pagi pasukan mengadakan buah
2. kesesatan karena term ekuivok, term yang mempunyai lebih dari satu arti, contoh :
Sifat abadi adalah sifat ilahi
Adam adalah mahasiswa abadi
Jadi : adam adalah mahasiswa yang bersifat ilahi

Malang itu kota yang indah


Orang miskin itu nasibnya malang
Jadi : orang miskin itu nasibnya indah

3). Kesesatan karna arti kiasan


Contoh : bintang terdapat diangkasa
Adi bintang dikelas
Jadi : adi terdapat diangkasa

4). Kesesatan karena amfiboli


Kesesatan ini timbul karena kalimat yang terlalu Panjang, contoh :
-Dijual kursi bayi tanpa lengan
Jadi
1).artian satu :dijual sebuah kursi untuk seorang bayi tanpa lengan
2). Artian dua : dijual sebuah kursi tanpa dudukan lengan khusus untuk bayi

C) Kesesatan atau Kesalahan Relevansi


Kesesatan yang terjadi karena tidak adanya relevansi antara premis dan konklusi ,
macam kesesatan tersebut adalah sebagai berikut

19
1). Argumentum ad hominem
Kekeliruan penalaran seperti ini terjadi karena argument sengaja diarahkan untuk
menyerang orangnya secara langsung, atau sebaliknya argument yang menunjukan pola
pikir pada pengutamaan kepentingan pribadi. Contoh lain adalah mendiskreditkan saksi
oleh karena ada anggota keluarganya yang terindikasi pernah terlibat organisasi terlarang.
Orang menolak land reform karena pembagian tanah adalah sesuatu yang selalu muncul
dan dituntut oleh orang komunis . dengan mudah diasosiasikan bahwa land reform itu
adalah perbuatan orang komunis , dan perbuatan orang komunis itu jahat. Seorang
terdakwa yang berusaha mendapatkan hukuman seringan mungkin, mencoba
mempengaruhi keputusan hakim dengan mengatakan bahwa penderitaan yang bakal
dipikulnya sebagai akibat putusan sang hakim, juga akan berbalik menimpa sang hakim
atau keluarganya.15
Kesesatan yang timbul karena penalaran diambil berdasarkan kepentingan pengusul
Contoh : adanya penolakan terhadap program KB, dikarenakan paham kB itu adalah
paham komunis.16
2). Argumentum ad verecundiam atau argumentum auctoritas
Dalam menghadapi permasalahan permasalahan yang rumit, pengadilan sering
menghadirkan saksi saksi yang dianggap ahli dan merupakan pakar yang menguasai
permasalahan hukum yang dihadapi. Orang sering menganggap bahwa pakar yang
dianggap sebagai “dewa” yang menguasai permasalahan terkait, karena itu pendapat
mereka dianggap paling benar dan sahih. Kesimpulan yang dibuat seperti ini akan sangat
menyesatkan. Sebagai contoh pada zaman sosialisasi pada zaman ideologi Pancasila,
Notonegoro seorang pakar yang diunggulkan oleh para pemikir filsafat dilingkungan
masyarakat ilmiah, mereka berpendapat bahwa nilai nilai yang terkandung dalam
Pancasila memiliki keabadian seperti sifat tuhan sendiri yang abadi. Bila otoritas ilmuwan
dipergunakan sebagai testimoni (penetapan validitas) hal hal lain diluar bidang khusus
dari ilmuwan tersebut, ada kemungkinan terjadi sesat pikir. Oleh karena itu penggunaan
otoritas kelilmuan seorang pakar dikaitkan dengan bidang khususnya, dilihat dari salah
satu contoh diatas pemahaman seperti ini ternyata memiliki kelemahan juga, karena
otoritas yang sungguh ahli sekalipun, masih dapat membuat kekeliruan . menolak atau

15 Yahman, Ibid, hal 37

16 Muhammad Rakhmat, ibid 107

20
menerima suatu argumen bukan karena nilai penalarannya, tetapi disandarkan pada
argument bahwa orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa,
berkuasa, ahli, dapat dipercaya, kesesatan berfikir seperti ini adalah : tantum valet auctoritas,
quantum valet argumentatio (nilai wibawa hanya setinggi nilai argumentasinya ) bereda
penalarannya dengan : argumentum ab auctoritate est fortissium ini lege ( argumen dari
seseorang yang berwenang adalah terkuat dalam hukum )
Karena itu untuk mencegah kesesatan pikir seperti ini, maka kesaksian otoriatas
dimaksud harus memenuhi syarat : tidak mengandung prasangka, pengalaman dan
Pendidikan otoritas dimaksud, nama baik dan prestise yang dimilikinya serta apakah
pendapat yang diberikan otoritas yang dimaskud sejalan dengan perkembangan zaman,
atau koheren dengan pendapat atau sikap terakhir dalam bidang yang dimaksud.17
Kesesatan yang timbul karena penalaran diambil tidak berdasarkan kaidah logika tetapi
diambil karena yang menyampaikan adalah orang yang berwibawa
Contoh : seorang ustad mengajarkan ajaran yang menyimpang, para pengikut langsung
menerima karena yang menyampaikan adalah seorang ustad.
3). Argumentum ad baculum (tongkat )
Baculum artinya adalah tongkat. Jenis kekeliruan penalaran seperti ini terjadi karena
argument yang diajukan disadarkan pada pengaruh kekuasaan seorang yang berargumen
untuk memaksakan sebuah kesimpulan. Jenis argumentasi yang umumnya terjadi adalah
menerima atau menolak suatu argumentasi karena adanya suatu tekanan atau ancaman
dari mereka yang berkuasa, misalnya ancaman akan dipenjarakan, disiksa, bahkan
menutup peluang mencari pekerjaan dan berbagai bentuk macam ancaman lain yang
menakutkan. Jika suatu kasus yang diproses di pengadilan berakhir dengan keputusan
batal demi hukum karena muncul surat sakti yang menghendaki dihentikannya proses
hukum tersebut untuk kepentingan para penguasa, maka terjadilah kekeliruan penalaran.
Atau sebaliknya , jika penguasa menghendaki, maka dengan alat bukti yang tidak
memenuhi syarat hukum sekalipun, perkara tersebut digelar juga. Argumentum ad baculum
biasanya diikuti dengan pernyataan “kekuasaan membuat segalanya benar” sehingga sering
disebut juga sebagai argumentasi penuh ancaman.18

17 Yahman, Ibid, 39-40

18 Yahman, Ibid 36

21
Kesesatan yang timbul karena penalaran diambil berdasarkan atas adanya ancaman dan
hukuman
Contoh : seorang yang mengakui perbuatan bersalah yang bukan dilakukannya tetapi
membuat pernyataan karena adanya ancaman dari pihak lain.
4). Argumentum ad misericoniam
Suatu argument yang didasarkan pada perasaan belas kasihan sehingga orang mau
menerima atau membenarkan kesimpulan yang diperoleh dari argumen tersebut, namun
sebenarnya keismpulan yang ditarik tidak menitikberatkan pada fakta yang
dipermasalahkan, melainkan semata mata pada perasaan belas kasihan. Salah satu contoh
seorang ibu yang tertangkap tangan di supermarket karena mencuri susu formula untuk
bayi nya yang sedang sakit, pengacaranya mengargumentasikan bahwa perbuatan
melanggar hukum sang ibu hendaknya diabaikan karena ia datang dari keluarga yang
tidak mampu.kesesatan disini terjadi karena untuk pembuktian tidak bersalah , seolah
olah orang miskin diargumentasikan boleh mencuri demi memperoleh keringanan
hukuman , argumentasi seperti ini dapat digunakan , tetap I bukan sebagai pembuktian
tidak bersalah.19
Kesesatan yang timbul karena penalaran diambil didasarkan belas kasihan
Contoh : pengacara meminta belas kasihan kepada hakim dikarenakan kliennya
mempunyai tanggungan yang banyaj sehingga hakim merasa iba .
5). Argumentum ad populum
Kekeliruan pikir semacam ini sering kali diterjemahkan sebagai kekeliruan salah kaprah
atau kekeliruan yang diterima umum . argumen semacam ini digunakan untuk
mengendalikan emosi masyarakat terhadap kesimpulan yang tidak didukung oleh buktu
bukti yang jelas . argument seperti ini dalam bentuk lain dilakukan dengan cara menarik
masa, membawa nama rakyat sebagai dasar pembuktian. Rakyat ( populus) yang dipakai
sebagai bukti, sebagai bulan bulanan bukan sebagai fakta. Untuk melegalkan suatu
perbuatan yang bertentangan dengan hukum sekalipun para penguasa sering berargumen
untuk dan atas nama rakyat yang sebenarnya tidak tahu menahu apa sebenarnya yang
dipertentangkan, dan apakah kepentingan mereka diperhaitkan penguasa.
Kesesatan yang ditujukan kepada masa

19 Yahman, Ibid 38

22
Contoh : Contoh: Bung Karno menyeruhkan pada rakyat Indonesia untuk keluar dari
PBB karena PBB bukan organisasi yang tepat untuk Negara Indonesia, orator
menyampaikan / membangkitkan semangat masa untuk mengkritik kenaikan retribusi
karena merugikan rakyat.
6). Kesesatan non Causa pro causa
Kesesatan yang timbul akibat penalaran diambil dari suatu keadaan yang kelihatannya
merupakan sebab akibat padahal bukan
7). Kesesatan karena komposisi dan divisi
Kesesatan yang timbul karena penalaran diambil berdasarkan pengamatan terhadap
komposisi yang dikenakan pada Divisi
contoh : masyarakat indonesia adalah koruptor
8). Petitto principii (penalaran melingkar)
Kesesatan atau kesalahan logis karena si penalar meletakan konklusi ke dalam
premis, selanjutnya memakai premis tersebut untuk membuktikan konklusi
9). Ignoratio elenchi
Kesesatan atau kesalahan terjadi apabila konklusi diturunkan dari premis yang tidak
relevan.
Contoh : Seorang pejabat merekomendasikan temannya untuk menjadi ketua Tim
Peneliti Kimia dikarenakan yang bersangkutan adalah sahabat karibnya tanpa
memperhatikan kemampuan temannya tersebut
10). Argumentum ad ignoratium
Penalaran yang diambil atas dasar pembuktian bahwa negasi dari konklusi tersebut tidak
salah.

D) Rasionalitas Kesesatan
Tidak semua “ Kesesatan” mesti dan selalu penalaran yang sesat terdapat beberapa
kesesatan yang memiliki kekuatan untuk meyakinkan dan dapat diterima oleh akal,
memiliki nilai rasionalitasdan merupakan penalaran yang tepat. Jadi penalaran sesat itu
dapat sekaligus sahih atas dasar implikasi yang berlainan, kalau bentuknya suatu
entimema

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bagian ini berisi ringkasan dan simpulan dari seluruh pembahasan yang
telah dipaparkan di BAB II. Dalam kesimpulan tidak perlu memasukkan kutipan
apapun. Panjang kesimpulan dibatasi maksimal sebanyak 2 lembar. Kesimpulan dan
seluruh isi BAB III Penutup diketik dengan format margin 3,5 cm (kiri), 3 cm (atas), 3 cm
(kanan), dan 3 cm (bawah). font yang digunakan adalah Garamond ukuran 12 pt.
dengan spasi ukuran 1.5. Judul BAB dan setiap sub-judul yang ada dalam BAB III
Penutup wajib diketik cetak tebal (bold).

B. Saran
Bagian ini berisi saran-saran yang dikemukakan oleh mahasiswa sebagai
konsekuensi dari membaca isi pembahasan makalah yang telah dipaparkan sebelumnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Semua rujukan-rujukan yang diacu di dalam isi makalah harus didaftarkan di bagian
Daftar Pustaka. Isi daftar pustaka minimal harus memuat pustaka-pustaka acuan yang
berasal dari sumber yang direkomendassikan oleh dosen pengampu mata kuliah. Sangat
dianjurkan untuk menggunakan sumber acuan atau literatur yang diterbitkan selama 10
tahun terakhir.
Penulisan Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan aplikasi manajemen referensi seperti
Mendeley atau References Ms. Word. Bentuk font yang digunakan adalah Times New Roman
ukuran 12 pt. Spasi untuk daftar referensi adalah 1 spasi. Daftar pustaka ditulis dengan
model paragraf Hanging. Format penulisan yang digunakan adalah sesuai dengan format
APA 6th Edition (American Psychological Association). Berikut adalah contoh penggunaan
beberapa referensi.
Catatan: Penjelasan ini tidak perlu dimasukkan dalam penulisan daftar pustaka yang
sebenarnya. Demikin juga dengan tulisan bertanda *) tidak perlu dimasukkan pada
daftar pustaka sebenarnya.

Daryono, Triyanto, & Seno, W. G. (2019). Interpretasi Dan Penalaran Hukum.


Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.

Fauzi, A. (2014). Konsep Harmonisasi Hukum. Uin Maulana Malik Ibrahim, 54.

Manan, B. (2013). Penenmuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama. Jurnal Hukum Dan Peradilan Mahkamah Agung, 2, 2.
Retrieved from
https://jurnalhukumdanperadilan.org/index.php/jurnalhukumperadilan/article/
view/113

25
Marzuki, P. M. (2005). Penelitian Hukum . Jakarta : Prenada Media Group.

Mas, M. (2014). Pengantar Ilmu Hukum (Vol. IV). Bogor: Ghalia Indonesisa.

Muhlasin, I. (2020). Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Peradilan Di


Indonesia. Uin Yogyakarta , 3-7.

Pujianti, S. (2021, Agustus 25). Pentingnya Harmonisasi Untuk Peningkatan


Kualitas Perundang-undangan. Retrieved from Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17490&menu=2

Rakhmat, M. (2013). Pengantar Logika Dasar . Bandung: Logoz Publishing.

Sutiyoso, B. (2006). Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: Uii Press Yogyakara.

Yahman. (2019). Pengantar Penalaran Hukum . Surabaya : Jakad Media Publishing .

Buku 1 Penulis*)
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.

Buku 2 Penulis*)
Tubagus, A, & Wijonarko. (2009). Langkah-Langkah Memasak. Jakarta: PT Gramedia.

Buku 3 Penulis*)
Leen, B., Bell, M., & McQuillan, P. (2014). Evidence-Based Practice: a Practice Manual. USA:
Health Service Executive.
26
Buku Lebih Dari Satu Edisi*)
Prayitno, & Amti, E. (2012). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling (Edisi ke-10). Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Penulis Dengan Beberapa Buku*)
Soeseno, S. (1980). Teknik Penulisan Ilmiah-Populer. Jakarta: PT Gramedia.
Soeseno, S. (1993). Teknik Penulisan Ilmiah-Populer: Kiat Menulis Nonfiksi untuk Majalah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nama Penulis Tidak Diketahui / Lembaga*)


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. (2003). Panduan Teknis Penyusunan Skripsi
Sarjana Ekonomi. Jakarta: UI Press.

Buku Terjemahan*)
Gladding, S. T. (2012). Konseling: Profesi yang Menyeluruh (6th ed.). (Terj. P. Winarno, & L.
Yuwono). Jakarta: PT. Indeks.

Buku Kumpulan Artikel/Memiliki Editor*)


Ginicola, M. M., Filmore, J. M., Smith, C., & Abdullah, J. (2017). Physical and Mental
Health Challenges Found in the LGBTQI+ Population. In M. M. Ginicola, C.
Smith, & J. M. Filmore (Eds.), Affirmative Counseling with LGBTQI+ People (pp. 75
- 85). Alexandria, VA: American Counseling Association.

Artikel Jurnal / Ensiklopedi*)


Ruini, C., Masoni, L., Otolini, F., & Ferrari, S. (2014). Positive Narrative Group
Psychotherapy: The Use of Traditional Fairy Tales to Enhance Psychological
Well-Being and Growth. Journal Psychology of Well-Being, 4 (13), 1-9.

Artikel Jurnal dengan Lebih dari 7 Penulis*)


Gilbert, D. G., Mcclernon, J. F., Rabinovich, N. F., Sugai, C., Plath, L. C.,Asgaard, G.,
… Botros, N. (2004). Effects of quitting smoking on EEG activation and
attention last for more than 31 days and are more severe with stress,

27
dependence, DRD2 Al allele, and depressive traits. Nicotine and Tobacco Research,
6, 249—267

Artikel Jurnal dengan DOI*)


Herbst-Damm, K. L., & Kuhk, J. A. (2005). Volunteer support marital status, and the
survival times of terminally ill patients. Health Psychology, 24, 225-229. doi:
10.1037/0278-6133.24.2.225

Artikel dalam Prosiding Online*)


Herculano-Houzel, S., Collins, C. E., Wong, R, Kaas, J. H., & Lent R. (2008). The basic
nonuniformity of the cerebral cortex. Proceedings of the National Academy of Sciences,
105, 12593—12598. doi:1 0. 1 073/pnas.Q80541 7105

Artikel dalam Prosiding Cetak*)


Katz, I., Gabayan, K., & Aghajan, H. (2007). A multi-touch surface using multiple
cameras. In J. Blanc-Talon, W. Philips, D. Popescu, & P. Scheunders (Eds.),
Lecture Notes in Computer Science: Vol. 4678. Advanced Concepts for intelligent
Vision Systems (pp. 97—108). Berlin, Germany: Springer-Verlag.

Majalah*)
Susanta, R. (Juni 2010). “Ambush Marketing”. Marketing, 140 (2), 15-17.

Majalah Online*)
Susanta, R. (Juni 2010). “Ambush Marketing”. Marketing, 140 (2), 15-17. Diakses dari:
http//majalahmarketing.com//

Surat Kabar*)
Irawan, A. (24 September 2010). “Impor Beras dan Manajemen Logistik Baru”. Koran
Tempo, A11.

Skripsi/Tesis/Disertasi Tidak Terpublikasi*)


Nurgiri, M. (2010). Antropologi Indonesia (Skripsi Tidak Terpublikasi). Sarjana Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.
28
Skripsi/Tesis/Disertasi dari Sumber Online*)
Haryadi, R. (2017). Pengembangan Model Evidence-Based Community Counseling untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis pada Subyek Eks-Pecandu NAPZA di Kota
Semarang (Tesis, Pascasarjana Universitas Negeri Semarang). Diakses dari:
http//pps.unnes.ac.id//tesis/rudiharyadi/

29

Anda mungkin juga menyukai