OLEH :
KELOMPOK 3
KELAS E
Herni (J1A122248)
Israwati (J1A122253)
Ningsih (J1A122273)
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1984 tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja di Tempat Kerja.
2. Peraturan ini mengatur tentang tata cara pengawasan, penilaian, dan pencegahan terhadap
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di tempat kerja. Peraturan ini juga mengatur
tentang perlindungan terhadap para pekerja yang terkena risiko penyakit akibat kerja.
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5 Tahun 1996 tentang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja Konstruksi.
4. Peraturan ini mengatur tentang kesehatan dan keselamatan kerja di sektor konstruksi.
Beberapa hal yang diatur dalam peraturan ini antara lain pengaturan tentang keselamatan
dan kesehatan kerja pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan bangunan
atau proyek konstruksi.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 2012 tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja pada Pertambangan Mineral dan Batubara.
6. Peraturan ini mengatur tentang tata cara pengawasan, penilaian, dan pencegahan terhadap
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di sektor pertambangan mineral dan batubara.
Peraturan ini juga mengatur tentang kewajiban perusahaan dalam melindungi para
pekerja dari risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga Peraturan ini mengatur tentang perlindungan bagi pekerja rumah tangga.
Peraturan ini menegaskan bahwa pekerja rumah tangga memiliki hak yang sama dengan
pekerja lain, seperti hak atas upah, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang aman dan
sehat.
Demikian beberapa peraturan dari Menteri Tenaga Kerja terkait tenaga kerja yang diatur
dalam UUD K3. Penting bagi perusahaan dan pekerja untuk memahami dan mematuhi
peraturan-peraturan tersebut guna memastikan keselamatan dan kesehatan kerja yang optimal.
• Psl 1 (1)“tempat kerja” ialah ruangan atas lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau
tetap di ruang kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha
dan di mana terdapat sumber atau sumber‐sumber bahaya yang diperinci dalam pasal 2, termasuk
tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian‐
bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut.
• Psl 1 (2) “pengurus” ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu
tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
• Psl 1 (6) “ahli keselamatan kerja” ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar
Departemen Tenaga Kerja yang ditunjukoleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya
Undang‐ undang ini.
Seiring berkembangnya industrialisasi dan globalisasi serta kemajuan ilmu dan teknologi,
maka keselamatan dan kesehatan kerja juga semakin berkembang. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan sebagai dasar hukum penerapan K3 di Indonesia telah
diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dimana
pada Pasal 164-165 tentang Kesehatan Kerja dinyatakan bahwa semua tempat kerja wajib
menerapkan upaya kesehatan baik sektor formal maupun informal termasuk Aparatur Sipil
Negara, TNI dan Kepolisian. Beriringan dengan segala macam perkembangan yang terjadi,
perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia pun mulai beralih untuk menerapkan keilmuan
maupun teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Penggunaan
keilmuan maupun teknologi yang lebih baru memang dapat meningkatkan produktivitas
perusahaan. Namun disamping itu, resiko terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja pun
semakin meningkat.
Angka kecelakaan kerja di Indonesia dinilai masih tinggi. Hal ini di dukung oleh data
dari Kementerian Ketenagakerjaan yang mencatat adanya tren kenaikan angka kecelakaan kerja
di Indonesia yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Menteri
Ketenagakerjaan (Menaker), Hanif Dhakiri, sepanjang tahun 2018 lalu telah terjadi 157.313
kasus kecelakaan kerja, atau meningkat dibandingkan kasus kecelakaan kerja yang terjadi tahun
2017 sebesar 123 ribu kasus. Penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja adalah masih
rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan K3 di kalangan industri dan masyarakat.
Selama ini penerapan K3 seringkali dianggap sebagai cost atau beban biaya, bukan sebagai
investasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. BPJS Ketenagakerjaan sendiri sepanjang
tahun 2018 telah membayarkan klaim kecelakaan kerja dengan nilai mencapai Rp 1,09 triliun.
Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2017 yang nilai klaimnya hanya Rp 971 miliar serta
tahun 2016 yang hanya sebesar Rp 792 miliar.
Berdasarkan data yang diperoleh dari infoDATIN DepKes Tahun 2018, persentase
terbesar yang memiliki keluhan kesehatan dan keselamatan kerja paling banyak yaitu terdapat di
daerah perdesaan. Dan jika dilihat menurut lapangan usaha, persentase terbesar untuk keluhan
kesehatan dan keselamatan kerja yaitu ada pada lapangan usaha yang berhubungan dengan
pertanian. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diamanatkan
bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja dari gangguan kesehatan serta
pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pun telah dinyatakan pada Pasal 86 ayat 2 angka
31 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa setiap pekerja/ buruh mempunyi hak
untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja untuk melindungi
keselamatan pekerja/ buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal di selenggarakan
upaya keselamatan dan kesehatan kerja”
Dalam pedoman ILO tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(dikenal sebagai ILO-OSH 2001), disebutkan bahwa tindakan pencegahan dan perlindungan
harus dilaksanakan dalam urutan prioritas berikut: (i) menghilangkan bahaya; (ii) mengendalikan
risiko pada sumber (melalui penggunaan pengendalian rekayasa atau tindakan organisasional);
(iii) meminimalkan risiko dengan merancang sistem kerja yang aman (termasuk tindakan
administratif yang diambil untuk pengendalian risiko); dan (iv) apabila risiko residual tidak dapat
dikendalikan dengan tindakan kolektif, perusahaan harus menyediakan alat pelindung diri (APD)
yang sesuai tanpa biaya dan mengambil tindakan untuk memastikan penggunaan dan
pemeliharaannya. (ILO, 2001)
Keselamatan Kerja telah diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja dalam pasal 3 ayat (1) dan pasal 9 ayat (3), yang berbunyi: “Dengan peraturan
perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk:
4. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian kejadian lain yang berbahaya.
7. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physic maupun
psychis, peracunan, infeksi dan penularan.
9. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan cara dan proses
kerjanya.
Sedangkan mengenai Kesehatan Kerja telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No.
23 Tahun 1992 Bagian 6 tentang Kesehatan Kerja, Pada pasal 23 yang berisi:
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2018 ini ditetapkan dengan pertimbangan:
1) bahwa fasilitas pelayanan kesehatan merupakan tempat kerja yang memiliki risiko
terhadap keselamatan dan kesehatan sumber daya manusia fasilitas pelayanan kesehatan,
pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan
fasilitas pelayanan kesehatan;
2) bahwa dalam rangka pengelolaan dan pengendalian risiko yang berkaitan dengan
keselamatan dan kesehatan kerja untuk menciptakan kondisi fasilitas pelayanan
kesehatan yang sehat, aman, selamat, dan nyaman, perlu diselenggarakan keselamatan
dan kesehatan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan;
3) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
Pasal 1
1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut Fasyankes adalah suatu alat dan/atau
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut
K3 di Fasyankes adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi sumber daya manusia
fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di
sekitar lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan agar sehat, selamat, dan bebas dari gangguan
kesehatan dan pengaruh buruk yang diakibatkan dari pekerjaan, lingkungan, dan aktivitas kerja.
3. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
selanjutnya disebut SMK3 di Fasyankes adalah bagian dari sistem manajemen Fasilitas
Pelayanan Kesehatan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan
dengan aktivitas proses kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan guna terciptanya lingkungan kerja
yang sehat, selamat, aman dan nyaman.
4. Sumber Daya Manusia Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut SDM
Fasyankes adalah semua tenaga yang bekerja di Fasyankes baik tenaga kesehatan dan tenaga non
kesehatan.
5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 2
Pasal 3
(2) Jenis Fasyankes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk rumah sakit.
(3) Penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(2) Penyelenggaraan K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
karakteristik dan faktor risiko pada masing-masing Fasyankes.
Peraturan Pemerintah Menteri Kesehatan tentang K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja) Keputusan Kementerian Lain Seperti Pertambangan
Kelistrikan Industri, Rumah Sakit, Konstruksi
Pertambangan
Dalam sektor pertambangan mineral dan batubara, K3 merupakan kunci bisnis yang
menjadi prioritas. Seperti yang tercantum dalam Pasal 5, Ayat 1, Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi No.555.K/26/M.PE/1995 tentang K3 Pertambangan Umum,
dinyatakan bahwa kegiatan pertambangan, baik eksplorasi maupun eksploitasi baru dapat
dimulai setelah pemegang Kuasa Pertambangan (sekarang Pemegang Izin Usaha Pertambangan)
memiliki Kepala Teknik Tambang (KTT), yaitu seseorang yang memimpin dan bertanggung
jawab atas terlaksananya serta ditaatinya peraturan perundang-undangan K3 pada suatu kegiatan
usaha pertambangan. Kemudian, ketika kegiatan pertambangan telah berlangsung, pengusaha
harus menghentikan pekerjaan apabila KTT atau petugas yang ditunjuk tidak berada pada
pekerjaan usaha tersebut, seperti yang tercantum dalam Pasal 4, Ayat 7, Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995. K3 juga merupakan kewajiban yang
melekat bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK), sebagaiman tercantum dalam Pasal 96, Huruf a, UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Berdasarkan Pasal 140 Ayat 3, UU No. 4 Tahun 2009, Menteri, Gubernur dan Bupati atau
Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan ataspelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR atau IUPK. Berdasarkan Pasal 141 Ayat
1, hal yang menjadi aspek pengawasan adalah :
teknis pertambangan
pemasaran,
keuangan,
pengelolaan data mineral dan batubara,
konservasi sumber daya mineral dan batubara,
keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan,
keselamatan operasi pertambangan,
pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pasca tambang,
pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan kemampuan rekayasa dan rancangbangun dalam
negeri,
pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan,
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat,
penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan,
kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yangmenyangkut
kepentingan umum,
pengelolaan IUP atau IUPK, dan
jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan
Dalam upaya melaksanakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada
industri pertambangan diperlukan adanya manajemen resiko pertambangan. Manajemen Resiko
Pertambangan adalah suatu proses interaksi yang digunakan oleh perusahaan pertambangan
untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggulangi bahaya di tempat kerja guna
mengurangi resiko bahaya seperti kebakaran, ledakan, tertimbun longsoran tanah, gas beracun,
suhu yang ekstrem,dll. Jadi, manajemen resiko merupakan suatu alat yang bila digunakan secara
benar akan menghasilkan lingkungan kerja yang aman,bebas dari ancaman bahaya di tempat
kerja. Adapun Faktor Resiko yang sering dijumpai pada Perusahaan Pertambangan adalah
sebagai berikut :
1) Ledakan
Ledakan dapat menimbulkan tekanan udara yang sangat tinggi disertai dengan
nyala api. Setelah itu akan diikuti dengan kepulan asap yang berwarna hitam. Ledakan
merambat pada lobang turbulensi udara akan semakin dahsyat dan dapat menimbulkan
kerusakan yang fatal.
2) Longsor
Longsor di pertambangan biasanya berasal dari gempa bumi, ledakan yang terjadi
di dalam tambang,serta kondisi tanah yang rentan mengalami longsor. Hal ini bisa juga
disebabkan oleh tidak adanya pengaturan pembuatan terowongan untuk tambang.
3) Kebakaran
Bila akumulasi gas-gas yang tertahan dalam terowongan tambang bawah tanah
mengalami suatu getaran hebat, yang diakibatkan oleh berbagai hal, seperti gerakan roda-
roda mesin, tiupan angin dari kompresor dan sejenisnya, sehingga gas itu terangkat ke
udara (beterbangan) dan kemudian membentuk awan gas dalam kondisi batas ledak
(explosive limit) dan ketika itu ada sulutan api, maka akan terjadi ledakan yang diiringi
oleh kebakaran.
Kelistrikan Industri.
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 12 Tahun 2015 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) Listrik di Tempat Kerja, pengusaha dan/atau pengurus wajib
melaksanakan K3 di bidang listrik di tempat kerja. Pengimplementasian K3 di bidang listrik ini
bertujuan untuk:
1. Melindungi keselamatan dan Kesehatan tenaga kerja dan orang lain yang berada di dalam
lingkungan tempat kerja dari potensi bahaya listrik
2. Menciptakan instalasi listrik yang aman, handal dan memberikan keselamatan bangunan
beserta isinya
3. Menciptakan tempat kerja yang selamat dan sehat untuk mendorong produktivitas
Setiap perusahaan tentunya akan menggunakan standar yang berbeda-beda, sesuai dengan
kondisi yang ada di lingkungan kerjanya masing-masing. Standar bidang kelistrikan yang
digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut dapat meliputi standar nasional
Indonesia, standar internasional dan/atau standar nasional negara lain yang ditentukan oleh
pengawas ketenagakerjaan spesialis K3 listrik.
Selain itu, sesuai dengan Permenaker Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 12 Tahun 2015, kegiatan pemeriksaan dan pengujian
dapat dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan spesialis K3 Listrik, AK3 Listrik pada
perusahaan dan/atau AK3 Listrik pada PJK3. Pemeriksaan dan pengujian ini dilakukan sebelum
penyerahan alat/instalasi listrik dilakukan kepada pemilik/pengguna, setelah ada
perubahan/perbaikan yang dilakukan secara berkala. Pemeriksaan secara berkala paling sedikit
dilakukan selama 1 tahun sekali, sementara pengujian paling sedikit dilakukan selama 5 tahun
sekali.
Hasil dari pengujian dan pemeriksaaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan,
AK3 Listrik perusahaan dan AK3 Listrik PJK3 akan digunakan sebagai bahan pertimbangan
penerbitan pengesahan dan/atau pembinaan tindakan hukum. Perusahaan yang menggunakan
perlengkapan dan peralatan listrik wajib menggunakan perlengkapan dan peralatan listrik yang
telah memiliki sertifikat yang diterbitkan oleh Lembaga atau instansi berwenang.
Synergy Solusi member of Proxsis Group melalui PT Sinergi Solusi Indonesia telah
disahkan melalui surat keputusan sebagai salah satu PJK3 yang dapat membantu perusahaan
dalam pelaksanaan pemenuhan syarat-syarat K3 sesuai dengan peraturan perundangan. Ribuan
perusahaan telah mempercayakan Synergy Solusi sebagai partner terpercaya yang senantiasa
membantu pemenuhan syarat K3. Jadi, jangan ragu untuk menghubungi kami saat mencari solusi
di bidang K3 secara umum maupun Migas, Keamanan, Lingkungan, Energi dan Kelistrikan.
1. Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Izin
Usaha Pertambangan.
2. Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengawasan
dan Pengendalian Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara.
3. Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengawasan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Mineral dan Batubara.
4. Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Rencana Usaha Penambangan
Mineral dan Batubara.
Peraturan-peraturan tersebut di atas memiliki tujuan untuk mengatur dan mengawasi kegiatan
pertambangan di Indonesia, melindungi lingkungan, serta meningkatkan keselamatan dan
kesehatan kerja bagi pekerja di industri pertambangan.
Konstuksi
Psl 2 (1) K3 di segala tempat kerja di darat, di dalam tanah, permukaan air, didalam air,
maupun di udara dalam wilayah RI
PP No 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi jo. PP
No. 04 Tahun 2010 dan PP No. 92 Tahun 2010 Pasal 10 ayat (1): Kriteria risiko pada
pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 terdiri dari:
b. kriteria risiko sedang mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya dapat berisiko
membahayakan keselamatan umum, harta benda, dan jiwa manusia;
c. kriteria risiko tinggi mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya berisiko sangat
membahayakan keselamatan umum, harta benda, jiwa manusia dan lingkungan.
• Pasal 17 : Kewajiban dan Hak Penyedia Jasa » (rencana dan anggaran K3)
Rumah sakit
Pasal 1
2. Kesehatan Kerja adalah upaya peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan, pencegahan penyimpangan kesehatan yang
disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan pekerja dari risiko akibat faktor yang
merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang
mengadaptasi antara pekerjaan dengan manusia dan manusia dengan jabatannya.
3. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya disingkat K3RS
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber
daya manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah
sakit melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.
4. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat
5. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya
disebut SMK3 Rumah Sakit adalah bagian dari manajemen Rumah Sakit secara keseluruhan
dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan aktifitas proses kerja di Rumah Sakit
guna terciptanya lingkungan kerja yang sehat, selamat, aman dan nyaman bagi sumber daya
manusia Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan Rumah
Sakit.
6. Kepala atau Direktur Rumah Sakit adalah pimpinan tertinggi di Rumah Sakit yang
bertugas memimpin penyelenggaraan Rumah Sakit.
7. Sumber Daya Manusia Rumah Sakit yang selanjutnya disebut SDM Rumah Sakit
adalah semua tenaga yang bekerja di Rumah Sakit baik tenaga kesehatan dan tenaga non
kesehatan. 8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
Pasal 2
Pasal 3
Dalam rangka mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja sertaterciptanya tempat
kerja yang aman membuat masyarakat mulaimemikirkan bahwa perlindungan ketenagakerjaan
sangat diperlukan,sehingga pemerintah membuat payung hukum ketenagakerjaan tentang
K3.Adapun produk hukumnya adalah Undang-undang, Peraturan Pemerintah,dan Peraturan
Menteri dan Keputusan Menteri tentang K3.
Pelaksanaan hukum K3 diawasi oleh direktur yaitu Menteri Tenaga Kerja dandirektur
menunjuk atau membentuk Panitia Pengawas, Tenaga Ahli K3,Panitia Banding, P2K3.
Pengawasan dilakukan oleh staf-staf/tenaga-tenaga yangbermutu dan memiliki banyak
pengalaman di bidangnya
DAFTAR PUSTAKA
https://viramakarya.co.id/xs-content/uploads/2018/02/3-Peraturan-Perundangan-K3.pdf
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI PUSAT
PEMBINAAN PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI BALAI PENINGKATAN
PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI
MODERATOR : MUHAMMAD FITRA ANNABA
Apa akibat hukum bagi perusahaan pertambangan yang tidak memenuhi syarat IUP/izin
usaha pertambangan
Jika suatu perusahaan melanggar IUP maka akan menerima ganjaranan pidana hukuman
penjara maksimal 10 Tahun dan denda Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliyar rupiah). PP. NO 96
Tahun 2021 tentang pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batu bara. IUP sangat
diperlukan dalam pertambangan karna pertambangan merupakan salah satu usaha yang memiliki
resiko tinggi.
Contohnya pada tanggal 6 januari 2022 lalu Presiden Jowoki mengumumkan mencabut 2.78
izin usaha pertambangan mineral dan batu bara, Presiden menyatakan pencabutan IUP ini
dikarenakan tidak pernah menyampaikan rencana kerja.
Menurut UUD nomor 13 tahun 2003 tentang tenaga kerjaan.pertanyanku apa saja jenis
pekerjaan yang dapat di alihdayakan menurut uu cipta kerja atau peraturan pelaksanaan ya?
Apakah didesa menerapkan k3? Lalu bagaimna cara kita agar bisa menerapkan k3
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan upaya kita untuk menciptakan
lingkungan kerja yang sehat dan aman, sehingga dapat mengurangi probabilitas kecelakaan kerja
/penyakit akibat kelalaian yang mengakibatkan demotivasi dan dan defisiensi produktivitas kerja.
Bagaimana jika ada seorang kariawan mengalami kecelakaan kerja hingga kehilangan nyawa
siapa yg akan bertanggung jawab?
Bagaimana cara mencegah terjadinya faktor resiko yg sering di jumpai pada perusahaan
pertambangan seperti ledakan,longsor, dan kebakaran
1. Perlindungan yang dilakukan untuk melindungi para pekerja yang terkena risiko
penyakit akibat kerja dapat berupa:
2. Pemeriksaan kesehatan berkala: Para pekerja yang bekerja dalam lingkungan yang
berisiko terkena penyakit akibat kerja diwajibkan melakukan pemeriksaan kesehatan
berkala untuk mendeteksi penyakit secara dini dan mencegah penyebarannya.
3. Pelatihan dan edukasi: Para pekerja harus diberikan pelatihan dan edukasi mengenai
risiko dan bahaya yang mungkin terjadi di tempat kerja serta cara menghindari risiko
tersebut. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan pekerja
dalam menghadapi situasi yang berbahaya.
4. Penggunaan alat pelindung diri (APD): Para pekerja harus diberikan APD yang sesuai
dengan jenis pekerjaan dan risiko yang mungkin terjadi di tempat kerja. APD ini
dapat berupa masker, helm, sepatu keselamatan, sarung tangan, dan perlengkapan
pelindung lainnya.
5. Penyediaan lingkungan kerja yang aman: Pihak pengelola tempat kerja harus
menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi para pekerja. Hal ini
meliputi perbaikan fasilitas dan peralatan kerja yang rusak atau tidak layak pakai,
pengontrolan paparan bahan kimia berbahaya, dan pengaturan suhu dan ventilasi
yang tepat.
6. Sistem pengawasan dan pelaporan: Pihak pengelola tempat kerja harus memiliki
sistem pengawasan dan pelaporan untuk mendeteksi kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja yang terjadi. Hal ini bertujuan untuk segera mengambil tindakan
pencegahan dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
tempat kerja.
Jelaskan Perlindungan yang akan dilakukan pada poin ke 2, Peraturan ini mengatur tentang
tata cara pengawasan, penilaian, dan pencegahan terhadap kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja di tempat kerja. Peraturan ini juga mengatur tentang perlindungan terhadap para pekerja
yang terkena risiko penyakit akibat kerja.