Anda di halaman 1dari 3

Dua Arus Kebingungan Ilmu

Oleh: Amir Mas’ud

Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini islam mengalami berbagai problematika yang diakibatkan baik
oleh elemen internal umat islam sendiri maupun oleh elemen eksternal yaitu kaum yang berprinsip
pada cara pandang sekular-liberal. Ada setidaknya dua arus yang menjadi pemicu terjadinya
kekeliruan dan kebingungan ilmu umat islam, yaitu sikap mencoba menyempit-nyempitkan hal yang
sebenarnya luas dan mencari-cari alternatif pilihan di luar ajaran islam yang sudah jelas disepakati.
Informasi dari internet yang meledak-ledak ditambah daya tahan dan kemampuan menyaring
informasi yang lemah akan membuat seorang muslim kian terombang ambing dan terbawa derasnya
arus kebingungan terhadap ilmu.

Pada masa yang kita hadapi kini, islam boleh dikatakan tidak sedang memimpin peradaban dunia. Jika
dibandingkan dengan masa sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, secara akhlak, ibadah, maupun
keilmuan kualitas umat islam saat ini dipastikan akan sangat jauh di bawahnya. Perhatian seorang
muslim secara umum terhadap aktivitas keilmuan khususnya dalam disiplin ilmu keislaman
menempati prioritas paling rendah disebabkan rutinitas aktivitas sehari-hari yang padat, terjebak
dalam sistem pendidikan ala Barat yang sering kali hanya mengedepankan aspek materiil, ataupun
pola asuh keluarga yang tak memprioritaskan agama. Mungkin bisa juga terjadi karena alasan lainnya.
Sudah sepantasnya kita menerima bahwa saat ini sunnatullah sedang bekerja, yaitu suatu kaum tidak
akan memimpin peradaban dunia jika terhadap prinsip-prinsip yang diyakininya saja mereka
mengaabaikannya. Si inferior pasti akan mengikuti si superior.

Di antara Islam dan orang islam saat ini terdapat jurang yang memisahkan. Jika diibaratkan, orang
islam menjadi debu yang menutupi sebuah cermin (Islam) dari cahaya yang datang. Sehingga cahaya
yang dipantulkan oleh cermin tersebut menghasilkan cahaya pantulan yang redup atau bahkan tidak
terpantul sama sekali. Walaupun saat ini Islam banyak mendapatkan permasalahan dari aspek
eksternal, justru masalah yang lebih besar terjadi dalam internal umat islam sendiri. Salah satu contoh
permasalahannya yaitu banyak kejadian yang mudah dilihat bahwa saat ini antar sesama muslim
saling mencela, saling menyalahkan, bahkan saling menyesatkan. Padahal sesuatu yang diperkarakan
bukan hal yang prinsipil (ushuliyyah) dalam agama, melainkan hal yang merupakan cabang
(furu’iyyah) dalam agama yang dimungkinkan terjadi perbedaan.

Sikap yang muncul tersebut disebabkan oleh kurangnya adab terhadap ilmu. Adab berarti
menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Salah satu adab terhadap ilmu adalah menempatkan
perkara dalam agama pada posisi qath’i (makna tunggal/jelas) atau dzanni (makna bisa berbeda) dan
ushuliyyah (pokok) atau furu’iyyah (cabang). Karena memang dalam tradisi keilmuan islam, tidak
semua yang diajarkan Islam bernilai benar-salah atau hitam-putih, tetapi juga ada yang berada pada
wilayah abu-abu dalam artian sangat dimungkinkan terjadi perbedaan. Wilayah tersebut bernilai tepat-
lebih tepat. Tetapi hanya Allah yang benar-benar bisa menilai siapa yang tepat dan lebih tepat kelak di
akhirat. Jika benar maka Allah akan membalas 2 pahala, jika salah maka Allah membalas 1 pahala.
Tidak ada yang berdosa di dalam hal ini. Tentu hal ini (berijtihad) hanya pantas dilakukan dan hanya
berlaku bagi para ulama mujtahid yang memiliki otoritas dan kapasitas dalam berbagai disiplin ilmu
keislaman. Adapun bagi muslim yang awam cukuplah mengikuti kesimpulan hukum atau produk
hukum para mujtahid sebagai bentuk adab terhadap ilmu dan otoritas para ulama yang menjadi
pewaris para nabi. Salain pemahaman tentang memposisikan suatu perkara dalam agama, diperlukan
juga pemahaman tentang fiqih ikhtilaf (fiqih perbedaan). Dengan mempelajari hal tersebut, seorang
muslim menjadi tahu alasan mengapa para ulama bisa berbeda pendapat dalam suatu perkara dalam
agama dan juga bagaimana akhlak satu ulama dalam menyikapi ulama lain yang berbeda pendapat.
Sehingga yang menjadi hasil akhir dari pemahaman yang benar terkait fiqih ikhtilaf adalah
menjadikan seorang muslim memiliki cara pandang luas, kelapangan dada, dan terhindar dari sikap
saling mencela kepada sesama muslim.

Di sisi lain, umat islam dihadapkan pula dengan masuknya arus pemahaman yang berasal dari tradisi
sekularisme Barat ke dalam ajaran islam, khususnya dalam perkara yang sudah final dan menjadi
ijma’ (kesepakatan) para ulama dan kaum muslimin. Kewajiban berhijab, haramnya praktik perzinaan
dan homoseksual, kebenaran mutlak ilmu yang bersumber dari wahyu, otoritas kenabian, Islam
sebagai satu-satunya agama yang benar, menjadi beberapa contoh topik yang coba direkonstruksi,
dipertimbangkan ulang, dan dicari-carikan tafsir alternatif di luar metodologi para mufassirin oleh
para penganut ideologi sekularisme-liberalisme, baik mereka yang masih mengaku beragama islam
maupun yang memang diluar agama islam.

Para orientalis berusaha mengutak-atik ajaran islam melalui berbagai upaya penelitian dan publikasi
ilmiah, serta mengajarkannya melalui berbagai perguruan tinggi. Metode hermeneutika yang dipakai
untuk menafsirkan bible, mereka coba terapkan juga kepada Al-Qur’an. Corak tafsir yang sarat
dengan nilai liberalisme ini mencoba meruntuhkan syariat islam dimulai dari upaya kritikannya
kepada konsep wahyu dan kenabian. Jika dua konsep yang fundamental tersebut berhasil
diselewengkan dari pemahaman yang sebenarnya, maka mereka akan semakin yakin untuk bisa
meruntuhkan syariat islam yang berada di tataran praktik. Kemudian produk tafsir mereka dibawa ke
dalam perkuliahan dan diajarkan kepada para mahasiswa yang banyak di antaranya adalah seorang
muslim. Jika tak dibekali iman dan pemahaman tentang konsep dasar dalam islam yang kokoh, maka
seseorang akan dengan mudahnya terbawa arus liberalisasi ajaran islam. Celakanya lagi jika ilmu
yang nyeleneh itu disebarluaskan lagi kepada masyarakat muslim awam. Maka yang terjadi adalah
sikap melegitimasi kemaksiatan dengan topeng atau cover atau dalih yang seakan ilmiah padahal
kenyataannya rusak.
Dua kondisi yang telah dibahas hanya sebagian kecil dari luasnya problematika umat islam saat ini.
Sedikit demi sedikit permasalahan yang ada coba diidentifikasikan terkait faktor apa saja yang
melatarbelakanginya. Karena dengan memahami persoalan berarti sama seperti berproses untuk
menemukan solusi pemecahan masalah. Sebagaimana soal ujian, seseorang tidak akan memperoleh
solusi yang benar jika dalam membaca soal saja ia tak paham. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
senantiasa memberikan petujuk kepada hamba-Nya menuju jalan kebenaran. Aamiin.

Wallahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai