Di Yogyakarta, saya bertempat tinggal di salah satu kost yang ada di Jalan Tambakbayan. Situasi konkret lingkungan sekitar kost yang saya lihat adalah masyarakatnya yang begitu ramah dan menghargai satu sama lain. Mereka menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai yang ada. Letak kost saya ini strategis. Semua kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan lainnya bisa didapatkan dengan mudah di sekitaran kost saya. Seperti contohnya warung makan yang ada di depan kost saya. Saya sangat sering pergi ke warung makan itu dan bisa dikatakan warung tersebut sudah menjadi langganan saya. Ibu dan bapak yang berjualan di warung itu adalah sepasang suami-istri yang sangat baik dan ramah. Sejak pertama kali saya datang ke Yogyakarta, mereka antusias menanyai saya dan menjelaskan tentang bagaimana kehidupan orang-orang di Yogyakarta, tentang sopan santunnya, tata kramanya, dan lain sebagainya. “Mbak asalnya dari mana?”, “Mari, Mbak”, “Terima kasih, Mbak”. Begitulah kira- kira sapaan mereka kepada saya. Begitu juga dengan tempat laundry, ibu yang bekerja di situ juga sangat ramah dan selalu tersenyum sambil mengatakan, “Kak Elizabeth, laundry-nya mau berapa hari?”, atau “Terima kasih ya, Kak”. Satu lagi, bapak penjual galon air yang juga tak jauh dari kost saya. Setiap kali saya memesan galon, bapak ini mengantarkannya langsung ke kost saya menggunakan sepeda motor. “Ini ya, Mbak. Totalnya Rp 44.000,00”, begitu kata si bapak sambil tersenyum. Reaksi-reaksi masyarakat ini membuat saya sebagai pendatang merasa sangat nyaman dan diterima dengan baik di lingkungan Tambakbayan. Nilai-nilai yang saya amati dalam situasi konkret tersebut adalah nilai etika dan budaya. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, nilai etika sangat penting dalam bersosialisasi dengan sesama. Etika tentunya harus dimiliki oleh setiap orang sebagai jembatan untuk menciptakan suasana yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti dalam situasi konkret yang saya alami, ibu dan bapak di warung makan depan kost saya sangat menghargai dan menerima saya sebagai pendatang dengan mengatakan “Mari, Mbak”, atau “Iya, terima kasih, Mbak”, dan ini menunjukkan bahwa mereka memiliki nilai etika yang patut diteladani. Lalu, nilai budaya. Saya adalah seorang Batak yang berasal dari sebuah kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Saya sempat mengalami culture shock saat sampai di Yogyakarta. Orang- orang Yogyakarta yang memang kental dengan budaya Jawa-nya sangat sopan dan ramah. Tutur katanya lemah lembut. Berbeda dengan daerah saya, bisa dikatakan orang-orangnya tidak terlalu mempedulikan sopan santun. Kemudian, berdasarkan hasil pengamatan saya selama saya tinggal di Tambakbayan, belum pernah terjadi konflik antara nilai, budaya, agama, ataupun etika. Ini karena seperti yang sudah saya jelaskan di atas, masyarakat Tambakbayan sangat menjunjung tinggi toleransi dan sopan santun, sehingga tidak ditemukan adanya pihak yang ingin memancing konflik. Kaitan situasi konkret yang saya alami dengan Pancasila ada di kelima sila Pancasila. Sila Ketuhanan, bisa saya lihat dari banyaknya anak-anak sekitar yang beribadah di Masjid dekat kost dengan antusias. Sila Kemanusiaan, terdapat pada sikap menghargai tanpa memandang SARA dari masyarakat sekitar, yaitu saat ibu dan bapak warung makan depan kost menyambut saya dengan baik tanpa memandang asal, agama, dan suku saya. Sila Persatuan, tampak dari adanya aturan yang ditetapkan masyarakat Tambakbayan untuk mencapai kerukunan dan mengedepankan kepentingan bersama. Sila Kerakyatan, contohnya saya ambil dari adanya gotong-royong yang dilakukan masyarakat pada perayaan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2022, di mana masyarakat bersama-sama membangun teratak yang tentunya dikerjakan atas keputusan bersama. Terakhir, sila Keadilan, masyarakat Tambakbayan menghormati dan menghargai satu sama lain dan tidak ada bentuk pengucilan untuk orang tertentu yang membuktikan bahwa keadilan dipegang erat di lingkungan ini.