Abstract. This study aims to look at the description of coping stress dual earner families with
descriptive qualitative design methods. This is based on married couples who are both working,
thereby increasing the stressor of each individual. Unresolved stressors can be the basis of
divorce. To overcome this, couple needs to develop an adaptation strategy called "coping stress".
This research is expected to be an input for coping stress strategies for dual earner families and as
a way to prevent divorce. This study took two pairs of dual earner families who live in Medan.
The data collection method uses observation and interviews. The results showed that both
partners used two types of coping stress, positive and negative according to the theory. And there
are coping stress develops such as caving in, understanding, supporting a partner, using
technology, giving opinions, good communication, can read situations, and emotional satisfaction
because of other figures.
Keywords: coping stress, dual earner families
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran coping stress dual earner families
dengan metode kualitatif desain deskriptif. Hal ini didasari pada banyaknya pasangan menikah
yang sama-sama bekerja atau dual earner families sehingga menambah stressor tiap individu.
Stressor yang tidak terselesaikan dapat menjadi dasar perceraian. Untuk mengatasinya, maka
pasangan perlu mengembangkan strategi adaptasi yang disebut “coping stress”. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan strategi coping stress untuk dual earner familes dan sebagai
salah satu cara pencegahan terjadinya perceraian. Penelitian ini mengambil dua pasangan dual
earner families yang bertempat tinggal di kota Medan. Metode pengumpulan data menggunakan
observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua pasangan menggunakan
dua jenis coping stress yaitu positif maupun negatif sesuai pada teori. Ditambah dengan
beberapa jenis coping stress berkembang seperti mengalah, memahami, mendukung pasangan ,
penggunaan teknologi, memberikan pendapat, komunikasi yang baik, dapat membaca situasi, dan
kepuasan emosional karena adanya figur orang lain
Kata Kunci: coping stress, dual earner families
1 PENDAHULUAN
Di era modern saat ini sebagai perjalanan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan,
masyarakat Indonesia telah mengalami peralihan dari tradisional menuju modern. Salah satunya
adalah perubahan struktur ekonomi yang memberikan dampak pada struktur keluarga. Saat ini
menjadi wajar bagi perempuan untuk bekerja. Dari hasil survey Badan Pusat Statistika dalam
menghitung keadaan ketenagakerjaan Indonesia tahun 2018 terdapat perbedaan Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) antara laki-laki dan perempuan. Pada Februari 2018, TPAK
laki-laki sebesar 83,01% sedangkan TPAK perempuan hanya sebesar 55,44%. Namun jika
dibandingkan dengan kondisi setahun yang lalu, TPAK perempuan meningkat sebesar 0,40%
sedangkan TPAK laki-laki menurun 0,04% (Midyanti, 2018). Ini menunjukkan bahwa terjadi
1
gejala kondisi dalam sebuah perkawinan / pernikahan akan ada pasangan yang suami dan istri
bekerja mencari nafkah.
Suami dan istri yang bekerja disebut dengan dual earner families (Degenova, 2008). Suami
yang dahulunya dipandang hanya berada pada ranah publik yaitu mencari nafkah diluar rumah
akan dapat melakukan kegiatan pada ranah domestik pula seperti memperbaiki beberapa
peralatan rumah tangga yang rusak. Begitupula istri yang dahulunya dipandang hanya berada
pada ranah domestik yaitu mengurus rumah tangga seperti mencuci dan menjaga anak, kini dapat
berada pada ranah publik untuk ikut mencari nafkah. Sehingga pasangan dual earner families
akan mencoba menyeimbangkan karir dengan kehidupan rumah tangga.
Namun, ini juga memiliki berbagai kelemahan ada pasangan dual earner families
diantaranya sulit membagi waktu antar keluarga, menyeimbangkan peran hubungan suami-istri
dan ayah-ibu, kegiatan di pekerjaan dan di rumah, berkurangnya waktu untuk berkomunikasi
antar keluarga. Pada akhirnya kondisi demikian dapat menjadi sumber konflik dalam keluarga.
Berbagai masalah yang terjadi dapat memicu adanya stres pada pasangan dual earner
families. Masalah tidak hanya muncul dari sisi keluarga saja tetapi juga dari sisi pekerjaan.
Permasalahan akibat tuntutan bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tekanan
yang timbul akibat peran ganda itu sendiri, pekerjaan sangat berat, pasangan dan anak-anak
merasa “kurang dapat perhatian” dan sikap perilaku pada anak dan pasangan juga tidak mungkin
disamakan dengan perilaku pada lingkungan kerja.
Stres menurut Lazarus (1976) terjadi jika seseorang mengalami tuntutan yang melampaui
sumber daya yang dimilikinya untuk melakukan penyesuaian diri, hal ini berarti bahwa kodisi
stres terjadi jika terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan.
Dalam hal ini stress jika tidak dapat ditangani dengan baik pada pasangan dual earner families
dapat memicu permasalahan baru lagi. Pada akhirnya hal ini akan memicu terjadinya konflik
yang dapat menjadi dasar sebuah perceraian.
Berdasarkan berita detikcom dari website Mahkamah Agung (MA) pada hari Rabu tanggal
3/4/2019, terdapat 419.268 pasangan bercerai sepanjang tahun 2018. Sebagian inisiatif perceraian
paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 orang. Sedangkan dari pihak laki-laki
sebanyak 111.490 orang. Jumlah tersebut hanya merupakan perceraian yang dilakukan oleh
pasangan muslim, belum termasuk pasangan nonmuslim. (Saputra, 2019)
Menyikapi kondisi demikian maka diperlukan adanya coping stress, yaitu untuk mengatasi
stres yang dialami pasangan yang dituntut untuk lebih konsentrasi dalam menyelesaikan masalah.
Sehingga pasangan perlu mengembangkan strategi adaptasi (Östlund & Persson, 2014 : Maryam,
2017). Pentingnya mengetahui coping stress yang tepat agar tidak terjadinya konflik yang
2
berkepanjangan dan memicu permasalahan yang lain.
Pada penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif desain deskripsi untuk
memberikan gambaran coping stress dual earner families dalam menghadapai berbagai stressor
dalam keluarga. Hal ini diperlukan untuk menjadi sebuah masukan pasangan dual earner families
agar dapat mencegah terjadinya perceraian.
2 METODE
2.1 Partisipan
Jumlah partisipan dalam penelitian ini berjumlah 2 (dua) pasang dual earner families.
Sample penelitian ini ditetapkan secara purposive sampling dengan karakteristik yang harus
dipenuhi yaitu pasangan yang bekerja, kemudahan waktu observasi, bertempat tinggal di kota
Medan dan tinggal bersama.
Pasangan pertama dengan usia 47 tahun. Suami lulusan S1 dan istri lulusan (D3). Sedangkan
pasangan kedua, suami berusia 45 tahun dan istri berusia 41 tahun. Suami dan istri lulusan S3.
2.2 Prosedur
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara in-depth, yaitu
mengungkap data personal yang mendalam dari partisipan (Hasan & Poerwandari,2007).
Wawancara dilaksanakan di lokasi dan jam yang telah disepakati bersama. Seluruh sesi wawancara
direkam dengan perekam suara untuk ditranskrip verbatim dan dianalisis. Wawancara ini juga
menggunakan pedoman wawancara terbuka yang disesuaikan dengan tujuan penelitian dan kondisi
partisipan sehingga dapat mengungkap informasi mendalam.
3 HASIL
Dari wawancara dan observasi yang telah dilakukan, ada banyak permasalahan dan strategi *coping*
stres diungkapkan para partisipan. Di bagian hasil ini, kami merangkum, mengklasifikasi, dan
menganalisis permasalahan beserta strategi *coping* yang diambil oleh para partisipan penelitian.
Analisis akan kami mulai dengan mendeskripsikan satu per satu partisipan. Kemudian, kami tarik
benang merah antar para partisipan di akhir analisis. Berikut adalah penjelasan lengkapnya.
3
Kemudian, memberinya waktu yang sangat fleksibel sehingga ia bisa memiliki kebebasan memilih
waktu berhenti sejenak untuk istirahat dan liburan keluarga dan waktu untuk kerja yang terkadang ia
mampu melakukannya hingga dini hari. Permasalahan dan coping yang diambil W dapat diklasifikasi
ke dalam permasalahan rumah tangga, permasalahan pekerjaan, dan permasalahan lain-lain. Berikut
adalah penjelasannya.
4
merasa lelah dan suasana hati sedang buruk, sehingga melakukan restraint coping yaitu menunda
kegiatan tersebut.
Tidak hanya itu, urusan anak yang tidak mau makan nasi dan lauk dirumah juga menjadi
permasalahan baginya, sehingga ia mengajak anak untuk mencoba setiap lauk yang disediakan tanpa
memaksanya untuk menyukai makanan tersebut (active problem solving)
5
dapat mempengaruhi kegiatan yang lain seperti jam berangkat kerja. Hal ini membuatnya selalu
mengingatkan anak pada malam hari untuk bangun lebih cepat dan mengingatkan kembali saat
sarapan untuk bersiap lebih cepat (active problem solving). Namun ketika anak sangat susah
dibangunkan walaupun telah diingatkan, ia akan terlebih dahulu relaksasi yaitu menghela nafas untuk
menahan amarah atau mengeluarkan agresi yaitu mengetuk pintuk anak terus menerus untuk membuat
kebisingan.
A adalah seorang istri yang bekerja sehingga terkadang rasa lelah bekerja terbawa ke rumah.
Tetapi kepuasan melihat anak, kebersamaan keluarga, dan bercanda bersama keluarga dapat membuat
rasa lelahnya berkurang. Atau saling bercerita dengan keluarga mengenai suatu masalah.(focusing on
venting of emotion). Quality time bersama keluarga juga berkurang hingga harus dapat diatur.
Beberapa tindakan yang dilakukan adalah tidak melakukan pekerjaan kantor pada hari Sabtu dan
Minggu, malam hari akan berkumpul keluarga, suami akan selalu berinisiatif mengatur liburan, paa
perjalanan pergi dan pulang kantor di mobil akan saling berbicara (active problem solving, seeking
social support, dan manajemen waktu).
Mengurus rumah juga menjadi terkendala karena sama-sama bekerja apalagi tanpa adanya
pembantu, sehingga melakukan tindakan seperti manajemen waktu, seeking social support, dan active
problem solving yaitu membereskan rumah setelah pulang dan libur kerja, dibantu oleh suami, dan
pindah rumah yang lebih kecil. Jika pada malam hari terasa lelah, maka akan melakukan tindakan
seperti restraint coping yaitu menunda pekerjaannya dengan tidur lebih cepat dan bangun lebih cepat
untuk membereskan rumah.
Waktu untuk anak perempuannya yang beranjak remaja juga menjadi hal penting baginya,
sehingga ia memanajeman waktu untuk bisa menemani anaknya seperti dimalam hari saat belajar.
Jika merasa lelah untuk menemani, maka akan meminta izin kepada anaknya untuk beristirahat
(udoing). Hal ini juga membuatnya merasa kurang menjadi seorang ibu untuk anaknya, oleh karena
itu ia selalu berusaha untuk manajemen waktu dan overcompensation yaitu meluangkan waktu
kapanpun untuk bisa saling bercerita dan mendengarkan cerita anak.
Kemudian, ketika mengurus anak ia juga merasa kasihan setiap anak perempuannya merasa
kesakitan. Tindakan yang ia lakukan diantaranya menyediakan berbagai makanan untuk anaknya
dirumah dan dapat memarahi dokter yang sedang menangani anaknya jika anaknya menangis
kesakitan(overcompentation , undoing bertindak agresif dan focusing on and venting of emotion).
Anak juga tidak bisa makan nasi dan lauk seperti orang pada umumnya menurutnya, sehingga ia
menyediakan dua jenis makanan untuk dia dan suami, dan untuk anaknya dan menyediakan stok
makanan dirumah. Kondisi anak yang seperti itu juga membuatnya memberikan pendapat dengan
mendorong pilihan anak berkuliah untuk masuk jurusan psikologi.
Saat ini, ia juga diketahui sedang mengidap penyakit kista. Karena itulah ia merasakan
berbagai kesulitan, tindakan yang ia ambil adalah meluangkan waktu untuk berobat dan mengambil
cuti untuk berobat (active problem solving dan manajemen waktu). Merasa tidak berdaya dan
menyusahkan keluarganya, tetapi keluarga selalu memberikan dukungan padanya (seeking social
support), sholat dan berdoa untuk kesembuhan (religiusitas) dan terkadang juga tetap menyalahkan
diri sendiri. Penyakit ini juga diketahui dapat menurun ke anak yang membuatnya merasa terbebani.
Hal ini mengakibatkan ia selalu menjaga kesehatan anak (undoing) dan menyalahkan dirinya karena
takut menurun pada anak.
Berkonflik dengan suami juga dirasakannya. Maka, ia selalu berdiskusi dengan suami untuk
membuat keputusan bersama (active problem solving), berdiam diri sejenak untuk menenangkan
pikiran (relaksasi, dan kecerdasan emosional) atau seluruh perasaannya kepada suami (focusing on
and venting of emotion). Tak hanya dengan suami, ia juga pernah bermasalah dengan mertua,
sehingga melakukan tindakan seeking social support dan escape avoidance yaitu bercerita dengan ibu
kandungnya untuk mendapatkan solusi atau sekedar bercerita
Liburan keluarga yang batal karena tidak bisa mengambil cuti, sehingga ia melakukan accepting
responsibility dan menyerah yaitu berfikir bahwa ini adalah resiko bekerja dan memikirkan kembali
6
cara untuk bisa liburan dengan keluarga
7
permasalahan rumah tangga, permasalahan pekerjaan, dan permasalahan lain-lain. Berikut adalah
penjelasannya
8
untuk diri sendiri dan istri berfikir sejenak jika emosi negatif muncul. Tetapi untuk tidak menjadi
egois terasa sulit baginya, ia memutuskan untuk memberi ruang dan waktu untuk berfikir jernih
terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu. Terkadang juga keputusan yang diambil ternyata
memiliki konsekuensi negatif, ini membuatnya melakukan self-talk bahwa ini keputusan yang telah
diambil bersama dan harus mampu menerima konsekuensi positif maupun negatif.
Dalam urusan anak juga ia memiliki permasalahan yaitu anak pertama mereka menjadi
korban bully. Hal ini membuatnya menggunakan active problem solving yaitu berdiskusi dengan
keluarga dan pihak sekolah, dan menyediakan konselor. Dan merasa kelekatan dengan anak juga
kurang, sehingga melakukan active problem solving dan manajemen waktu yaitu menjaga komunikasi
dan melakukan liburan bersama.
9
H juga merasa bahwa kelekatan dengan anaknya itu kurang karena ia bekerja. Inilah menjadi
salah satu alasan mengapa ia memutuskan untuk memanajemenkan waktu seperti memberikan waktu
bersama anak saat akhir pekan dan liburan, dan saat makan malam bersama. Kurangnya kelekatan
semakin ia sadari saat anak pertamanya menjadi korban bully. Maka, ia menggunakan active problem
solving, seeking social support, manajemen waktu, manajemen diri untuk anak , menyalahkan diri dan
undoing yaitu menjadi teman bagi anak, menjadi pendengar saat anak bercerita tanpa menjadi
kritikus, memberikan waktu bersama anak, berdiskusi dengan konselor, dan pihak sekolah,
meyakinkan anak bahwa orang tua akan selalu melindunginya, dan self-talk negatif.
Ia telah bekerja dari sebelum menikah, hal inilah yang membuatnya tidak dapat mengurus
anak saat masih bayi. Namun, ia terbantu dengan adanya mertua yang tinggal dirumah bersedia
membantunya dan juga mempekerjakan pengasuh (active problem solving dan seeking social
support). Tetapi pada awalnya tinggal bersama mertua juga membuatnya merasa tidak nyaman. Untuk
mengatasi hal tersebut ia memandang figur yang lain dan positive reappraisal yaitu memandang
mertua sebagai ibu kandung dan melihat manfaat saat tinggal bersama.
Saat ini, mertuanya tinggal yang perempuan. Karena kondisi dirinya dan suami yang bekerja
dan anak-anak bersekolah, mengakibatkan tidak ada yang menemani mertua dirumah. Akhirnya ia
dan suami memutuskan untuk mempekerjakan pembantu khusus mertua (active problem solving dan
seeking social support.)
Ketika berkonflik dengan suami, ia akan melakukan tindakan seperti active problem solving,
relaksasi, kecerdasan emosi, dan menyerah yaitu berdiskusi dengan suami, mempertahankan diri
untuk tidak egois dalam mengambil keputusan, memberikan waktu untuk diri sendiri berfikir saat
sedang memiliki emosi negatif, dan mengalah. Bahkan masalah dirumah lainnya ia katakan selalu
melakukan tindakan seperti active problem solving dan religiusitas yaitu berkoordinasi dengan
keluarga dan menjaga komunikasi dan meyakini bahwa tiap yang diberi Tuhan selalu ada hal positif.
Kemudian rutinitas seorang ibu dirumah juga ternyata membuatnya stress karena melihat anak
bermasalah dan lainnya, sehingga melakukan tindakan escape avoidance yaitu menghindarinya
dengan bekerja.
4 DISKUSI
1
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran coping stress yang digunakan oleh
dual earner families. Hasil analisa menunjukkan bahwa kedua pasangan memunculkan berbagai
strategi coping stress pada setiap permasalahan.
Sesuai dengan analisa maka suami A atau W memiliki kecenderungan jenis coping yang
paling sering digunakan adalah problem focused constructive coping dengan kecenderungan active
problem solving. Sering digunakan adalah appraisal focused constructive coping dengan
kecenderungan positve reappraisal. Cukup sering digunakan adalah coping defensive dengan
kecenderungan overcompensation. Jarang diguanakan adalah emotion focused constructive coping
dengan kecenderungan relaksasi dan mengarah pada religiusitas.
Istri A atau A paling sering menggunakan jenis coping problem focused constructive coping
dengan kecenderungan active problem solving. Sering digunakan adalah coping defensive dengan
kecenderungan focusing on and venting of emotion. Cukup sering digunakan adalah emotion
focused constructive coping dengan kecenderungan berkaitan dengan religiusitas. Jarang
diguanakan adalah appraisal focused constructive coping dengan kecenderungan humorPasangan
A memiliki kecenderungan mengalah yang dilakukan oleh suami. Pasangan A juga menunjukkan
bahwa peran besar dilakukan oleh suami. Suami A selalu berinisiatif dan menjadi tempat istri A
untuk bercerita. Suami A melakukan active problem solving walaupun itu adalah masalah istri A.
Bahkan istri A melakukan seeking social problem kepada suami A. Suami A juga dapat diketahui
selalu dapat membuat suasana menjadi lebih baik dengan humor yang akan dibuatnya. Sehingga
pada tabel dapat dijelaskan bahwa pasangan A memiliki keterkaitan satu sama lain dalam coping
stress yang akan dipilih.
Pada pasangan A dapat disimpulkan pula suami A memiliki kecenderungan untuk selalu
memikirkan istrinya dikarenakan sakit. Hal ini juga dapat terlihat pada tabel bahwa ia selalu
menolong istrinya. Pasangan A memiliki beberapa kesinambungan coping stress dan cara
memecahkan masalah. Suami A melakukan active problem solving walaupun itu adalah masalah
istri A. Bahkan istri A melakukan seeking social problem kepada suami A. Suami A juga dapat
diketahui selalu dapat membuat suasana menjadi lebih baik dengan humor yang akan dibuatnya.
Sehingga pada tabel dapat dijelaskan bahwa pasangan A memiliki keterkaitan satu sama lain dalam
coping stress yang akan dipilih. Maka, dapat dilihat pula bahwa mengalah dan membantu pasangan
menjadi strategi coping yang mampu meredakan stressor partisipan.
Pada analisa suami B atau I paling sering menggunakan jenis coping problem focused
constructive coping dengan kecenderungan active problem solving. Sering digunakan adalah
emotion focused constructive coping dengan kecenderungan kecerdasan emosional dan appraisal
focused constructive coping dengan kecenderungan positive reappraisal. Cukup sering digunakan
adalah coping defensive dengan kecenderungan overcompensation. Jarang digunakan memanjakan
diri dan escape avoidance.
Istri B atau H paling sering menggunakan jenis coping problem focused constructive coping
dengan kecenderungan active problem solving. Sering digunakan adalah emotion focused
constructive coping dengan kecenderungan terkait figur penting. Cukup sering digunakan
1
appraisal focused constructive coping dengan kecenderungan positive reappraisal. Jarang
digunakan coping defensive dengan kecenderungan undoing dan escape avoidance.
Pada pasangan B memiliki beberapa kesinambungan coping stress dan cara memecahkan
masalah. Istri B cenderung lebih mengalah kepada suami B. Kecenderungan ini dapat dilihat saat ia
menuruti jika tidak diberizin pergi bekerja dan saat berkonflik. Tetapi pasangan B juga cenderung
membuat diskusi dan memutuskan segalanya bersama.
Analisa data juga menemukan beberapa coping negative yang digunakan namun bersifat
positif seperti overcompentation yaitu menutupi kelemahan yang dirasakan dengan menekan
beberapa karakteristik yang diinginkan, atau mengimbangi frustasi di satu bidang dengan memberi
berlebihan pada orang lain. Pada beberapa permasalahan ini digunakan dengan efek positif seperti
menekan kemampuan mendengarkan cerita pasangan untuk menutupi ketidakmampuan
memberikan hal yang lain. Hal ini telah memberikan efek pada kenyamanan pasangan dan diri
sendiri yang merasa telah berhasil membuat pasangan merasa nyaman dan perasaan puas karena
telah membantu. Kemudian, menyerah pada beberapa permasalahan menjadi lebih positif dengan
kata mengalah. Maka dapat dibuktikan bahwa tidak semua negative coping memberikan efek
negatif.
Pada analisa data juga ditemukan beberapa strategi coping stress yang berkembang yaitu
penggunaan teknologi, mendukung, memberikan pendapat, saling membantu, dan hanya bercerita
atau sekedar melihat figur yang disenangi mampu meredakans stressor. Bahkan, bekerja juga
menjadi salah satu strategi coping stress yang dapat dipilih untuk menghindar dari berbagai
stressor.
Saran kepada peneliti selanjutnya yang akan meneliti topik yan sama agar dapat mencari data
lebih mendalam mengenai perbedaan karakteristik individu saat memilih jenis coping stress,
perbedaan relasi suami istri saat memilih jenis coping stress, penelitian dengan judul yang
sama menggunakan metode kuantitatif dan pengembangan alat ukur, dan penggunaan alat
ukur pada psikologi keluarga.
Saran kepada pasangan dual earner families untuk menyadari pentingnya mengetahui resiko-
resiko dari dual earner families. Saat dalam pernikahan diharapkan pasangan dapat saling
memahami dan mendukung pasangan. Menemukan jenis coping stress yang sesuai untuk bisa
menyelesaikan masalah yang ada.
5 REFERENSI
Carver, C.S., Scheier, M.F., Weintraub, JK. (1989). Assessing coping strategies: A theoretically
based approach. Journal Pers Social Psychology, 56, 267-288.
Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
DeGenova, M. K. (2008). Intimate Relationships, Mattiages & Families (7th ed.). New York:
McGraw Hill.
1
Hassan, & Poerwandari. (2007). Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: PSP3
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Hendrayu, V. F., Kinanthi, M. R., & Brebahama, A. (2017). Relasi Keluarga Pada Keluarga yang
Memilikii Kedua Orangtua Bekerja. Journal of Psychological Research, 104-115.
Lazarus, R.S & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York : McGraw-Hill, Inc.
Maryam, S. (2017). Strategi Coping : Teori dan Sumberdayanya. Jurnal Konseling Andi Matappa,
101 - 107.
Midyanti, N. (2018). Berita Resmi Statistik : Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2018.
Badan Pusat Statistik.
Saputra, A. (2019). Hampir Setengah Juta Orang Bercerai Di Indonesia Sepanjang 2018. Retrieved
Desember 12, 2019, from www.detik.com: (https://news.detik.com/berita/ d-4495627/hampir-
s etengah-juta-orang-bercerai-di-indonesia-sepanjang-2018
Weiten, W. (2012). Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st
Century (10th edition). USA: Wadsworth, Cengage Learning.