PENGERTIAN DESINFEKTAN
Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah
terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau
menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya.
Sedangkan antiseptik didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh
pertumbuhan jasad renik seperti bakteri, jamur dan lain-lain pada jaringan hidup. Bahan desinfektan
dapat digunakan untuk proses desinfeksi tangan, lantai, ruangan, peralatan dan pakaian
(Signaterdadie, 2009).
Pada dasarnya ada persamaan jenis bahan kimia yang digunakan sebagai antiseptik dan desinfektan.
Tetapi tidak semua bahan desinfektan adalah bahan antiseptik karena adanya batasan dalam
penggunaan antiseptik. Antiseptik tersebut harus memiliki sifat tidak merusak jaringan tubuh atau
tidak bersifat keras. Terkadang penambahan bahan desinfektan juga dijadikan sebagai salah satu
cara dalam proses sterilisasi, yaitu proses pembebasan kuman. Tetapi pada kenyataannya tidak
semua bahan desinfektan dapat berfungsi sebagai bahan dalam proses sterilisasi.
Bahan kimia tertentu merupakan zat aktif dalam proses desinfeksi dan sangat menentukan
efektivitas dan fungsi serta target mikroorganisme yang akan dimatikan. Dalam proses desinfeksi
sebenarnya dikenal dua cara, cara fisik (pemanasan) dan cara kimia (penambahan bahan kimia).
Dalam tulisan ini hanya difokuskan kepada cara kimia, khususnya jenis-jenis bahan kimia yang
digunakan serta aplikasinya.
Banyak bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai desinfektan, tetapi umumnya dikelompokkan ke
dalam golongan aldehid atau golongan pereduksi, yaitu bahan kimia yang mengandung gugus -COH;
golongan alkohol, yaitu senyawa kimia yang mengandung gugus -OH; golongan halogen atau
senyawa terhalogenasi, yaitu senyawa kimia golongan halogen atau yang mengandung gugus-X;
golongan fenol dan fenol terhalogenasi, golongan garam amonium kuarterner, golongan
pengoksidasi, dan golongan biguanida.
Telah dilakukan perbandingan koefisien fenol turunan aldehid (formalin dan glutaraldehid) dan
halogen (iodium dan hipoklorit) terhadap mikroorganisme Staphylococcus aureus dan Salmonella
typhi yang resisten terhadap ampisilin dengan tujuan untuk mengetahui keefektifan dari disinfektan
turunan aldehid dan halogen yang dibandingkan dengan fenol dengan metode uji koefisien fenol.
Fenol digunakan sebagai kontrol positif, aquadest sebagai kontrol negatif dan larutan aldehid dan
halogen dalam pengenceran 1 : 100 sampai 1 : 500 dicampur dengan suspensi bakteri
Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi resisten ampisilin yang telah diinokulum, keburaman
pada tabung pengenceran menandakan bakteri masih dapat tumbuh.
Nilai koefisien fenol dihitung dengan cara membandingkan aktivitas suatu larutan fenol dengan
pengenceran tertentu yang sedang diuji. Hasil dari uji koefisien fenol menunjukan bahwa disinfektan
turunan aldehid dan halogen lebih efektif membunuh bakteri Staphylococcus aureus dengan nilai
koefisien fenol 3,57 ; 5,71 ; 2,14 ; 2,14 berturut-turut untuk formalin, glutaraldehid, iodium dan
hipoklorit, begitu juga dengan bakteri Salmonella typhi, disinfektan aldehid dan halogen masih lebih
efektif dengan nilai koefisien fenol 1,81 ; 2,72 ; 2,27 dan 2,27 berturut-turut untuk formalin,
glutaraldehid, iodium dan hipoklorit. (Signaterdadie, 2009).
PENGGUNAAN DESINFEKTAN
Desinfektan sangat penting bagi rumah sakit dan klinik. Desinfektan akan membantu mencegah
infeksi terhadap pasien yang berasal dari peralatan maupun dari staf medis yang ada di rumah sakit
dan juga membantu mencegah tertularnya tenaga medis oleh penyakit pasien. Perlu diperhatikan
bahwa desinfektan harus digunakan secara tepat (Imbang, 2009).
1. Golongan pertama
Fenol-fenol (Dettol).
Membersihkan peralatan yang terkena cairan tubuh misalnya sarung tangan yang terkena darah.
fenol-fenol dapat digunakan untuk membersihkan lantai dan perabot seperti meja dan almari namun
penggunaan air dan sabun sudah dianggap memadai.
2. Golongan kedua
Contoh : Natrium hipoklorit (pemutih, eau de javel), Kloramin (Natrium tosilkloramid, Kloramin T)
Natrium Dikloro isosianurat (NaDDC), Kalsium hipoklorit (soda terklorinasi, bubuk pemutih)
b). Desinfektan yang melepaskan Iodine misalnya : Povidone Iodine (Betadine, Iodine lemah)
a. Sterilisasi
Dapat dilakukan dengan menggunakan pemanasan uap (autoklav) atau dengan panas kering.
Dapat juga dilakukan dengan penjenuhan dengan glutaraldehid atau formaldehid selama 10 jam.
Dapat dilakukan dengan pendidihan selama 20 menit atau dengan penjenuhan dengan jumlah besar
disinfektan selama 30 menit misalnya dengan mengunakan glutaraldehid atau H2O2
Akan menghilangkan jumlah mikroba sehingga peralatan atau permukaan badan aman untuk
dipegang. Desinfeksi ini dapat dilakukan dengan beberapa macam disinfektan(Signaterdadie, 2009)
Desinfeksi adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan kimia atau secara
fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi infeksi dengan dalam membunuh
mikroorganisme patogen. Disenfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat digunakan
dan bahan ini dinamakan antiseptik.
Antiseptik adalah zat yang dapat menghambat atau menghancurkan mikroorganisme pada jaringan
hidup, sedang desinfeksi digunakan pada benda mati. Disinfectant dapat pula digunakan sebagai
antiseptik atau sebaliknya tergantung dari toksisitasnya.
Sebelum dilakukan desinfeksi, penting untuk membersihkan alat-alat tersebut dari debris organik
dan bahan-bahan berminyak karena dapat menghambat proses disinfeksi. (Signaterdadie, 2009)
ANTISEPTIK
Banyak zat kimia yang digolongkan sebagai antiseptik. Berikut antiseptik yang umumnya digunakan :
Yodium 3%, yodium dan produk alkohol berisi yodium atau tincture (yodium tinktur).
Kloroksilenol 0,5-4% (para kloro metaksilenol atau PCMX) berbagai konsentrasi (Dettol).
Dalam pemilihan suatu antiseptik, perlu diperhatikan karakteristik yang diinginkan (misalnya
absorpsi dan daya tahan), keamanan, efektivitas, ketersediaan, penerimaan oleh staf dan yang
terpenting biayanya (Boyce dan Pitter 2002; Larson 1995; Rutala 1996). Larutan antiseptik yang
dianjurkan, aktivitas mikrobiologinya dan potensi penggunaannya. (sistem gradasi yang digunakan
pada kolom adalah sangat baik, baik, cukup dan tidak) (Syaifudin, 2005).
Endospora: Nihil
TB: Sedang
Jamur: Sedang
Endospora: Nihil
Jamur: Baik
Endospora: Sedang
TB: Sedang
Virus: Baik
Jamur: Baik
Endospora: Nihil
Gram-positif: Baik
TB: Sedang
Virus: Baik
TB: Sedang
Jamur: Nihil
KEGUNAAN POTENSIAL
Basuh operasi: Ya
Persiapan kulit : Ya
Keterangan: Tidak digunakan pada selaput lendir. Tidak baik untuk pembersihan kulit, tidak tertahan
lama.
Persiapan kulit : Ya
Keterangan: Punya daya tahan yang bagus beracun untuk mata dan telinga.
Persiapan kulit : Ya
Keterangan: Tidak digunakan pada selaput lendir. Bisa membakar kulit, hilang setelah beberapa
menit.
Basuh operasi: Ya
Persiapan kulit : Ya
Persiapan kulit : Ya
Keterangan: Menembus pada kulit, jangan digunakan pada bayi baru lahir.
Basuh operasi: Ya
a. Alkohol
Etil dan isopropil alkohol 60-90% merupakan antiseptik yang baik dan mudah diperoleh serta murah.
Sangat efektif dalam mengurangi mikroorganisme di kulit. Juga efektif terhadap virus hepatitis dan
HIV, jangan dipakai untuk selaput lendir (misalnya di vagina), karena alkohol mengeringkan dan
mengiritasi selaput lendir dan kemudian merangsang pertumbuhan mikroorganisme.
Menurut Larson (1995) alkohol merupakan salah satu antiseptik paling aman. Etil atau isopropil
alkohol 60-70% efektif dan pengeringan kulit kurang pada konsentrasi lebih tinggi, lebih murah dari
yang konsentrasi lebih tinggi. Karena pengeringan pada kulit kurang, etil alkohol lebih sering
digunakan pada kulit.
1. Keuntungan :
Cepat membunuh jamur dan bakteri termasuk mikrobakteri; isopropil alkohol membunuh sebagian
besar virus, termasuk HBV dan HIV; etil alkohol membunuh semua jenis virus.
Walaupun alkohol tidak mempunyai efek membunuh yang persisten, pengurangan cepat
mikroorganisme di kulit, melindungi organisme tumbuh kembali bahkan di bawah sarung tangan
selama beberapa jam.
2. Kerugian :
Memerlukan emulien (misalnya gliserin dan atau propilen glikol) untuk mencegah pengeringan kulit.
Mudah terbakar sehingga perlu disimpan di tempat dingin atau berventilasi baik.
1. Keuntungan :
Tersedia produk komersial, yang umum adalah dicampur dengan deterjen dan alkohol.
2. Kerugian :
Efek dikurangi atau dinetrelisasi oleh sabun, air ledeng, dan beberapa krim tangan.
Tidak efektif terhadap basil TBC, baik dan efektif melawan jamur.
Hindari kontak dengan mata, karena dapat mengakibatkan konjungtivitas. (Syaifudin, 2005)
Larutan yodium 3% sangat efektif dan tersedia dalam bentuk cair (lugol) dan tinktur (yodium dalam
alkohol 70%). Iodofor 7,5-10% adalah larutan yodium dicampur dengan polivinil pirolidon (providon)
yang mengeluarkan yodium jumlah kecil. PVI adalah iodofor yang umum dan tersedia di mana-mana.
Sejumlah yodium “bebas” menunjukkan tingkat aktivitas anti mikrobial iodofor (misalnya 10%
povidon iodin berisi 1% iodin, menghasilkan konsentrasil “bebas” iodin dari 1 ppm (0,0001%)
(Anderson, 1989). Iodofor mempunyai aktivitas spektrum yang luas. Ia membunuh bakteria
vagetatif, virus mikrobakteria, dan jamur. Namun, ia memerlukan waktu 2 menit untuk
mengeluarkan yodium bebas yang merupakan bahan kimiawi aktif. Sejak mengeluarkan yodium
bebas, ia mempunyai efek membunuh yang cepat. Akhirnya, iodofor umumnya nontaksik dan non-
iritaif pada kulit dan selaput lendir, kecuali jika pasiennya alergi terhadap yodium.
1. Keuntungan
Efek antimokrobial spektrum luas.
Tidak mengiritasi kulit atau selaput lendir, dan ideal untuk pembersihan vaginal.
2. Kerugian :
Yodium tinktur atau cairan dapat mengiritasi kulit dan harus dibersihkan dari kulit sesudah kering
(pakai alkohol).
Absorpsi yodium bebas melalui kulit dan selaput lendir dapat mengakibatkan hiptiroidisma pada bayi
baru lahir. Oleh karena itu batasi pemakaiannya (Newman 1989).
Reaksi alergi terhadap iodin dan iodofor dapat terjadi, jadi cek riwayat alergi. (Syaifudin, 2005)
d.Kloroheksilenol
Kloroheksilenol (para-kloro-metaksilenol atau PCMX) adalah devisi halogen dari silenol yang luas
tersedia dalam konsentrasi 0,5-4%. Kloroheksilenol memecahkan mikroorganisme dengan memecah
dinding sel. Hal ini merupakan penghapus kuman yang beraktivitas rendah (Fevero, 1985)
dibandingkan dengan alkohol, yodium, iodofor dan kurang efektif dalam menurunkan flora kulit
daripada CHG atau iodofor (Sheen dan Stiles, 1982). Karena ia menembus kulit, dapat beracun jika
dioleskan pada beberapa bagian dari tubuh, dan tidak boleh digunakan pada bayi. Meskipun, produk
komersil dengan kloroheksilenol dengan konsentrasi di atas 4% tidak boleh digunakan.
1. Keuntungan :
2.Kerugian :
Diinaktivasi oleh sabun (surfaktan nonionik), penggunaan untuk persiapan kulit berkurang.
Tidak boleh digunakan pada bayi baru lahir, karena dapat menyerap dengan cepat dan potensial
meracuni. (Syaifudin, 2005)
e. Triklosan
Triklosan adalah subtansi tidak berwarna yang terdapat dalam sabun sebagai antimikrobial.
Konsentrasi 0,2-2,0% mempunyai aktivitas antimikrobial sedang terhadap koki gram positif,
mikobakteria dan jamur, tapi tidak terhadap baksil gram negatif, khususnya P aeruginosa (Larson
1995). Meskipun perhatian ditujukan pada resistensi terhadap bahan ini bisa berkembang lebih siap
dari bahan antiseptik lain, resistensi pada flora kulit tidak ditemukan penelitian klinis sampai saat ini.
1. Keuntungan :
2. Kerugian :
Tidak ada efeknya terhadap P aeruginosa atau baksil gram negatif lain.
EFEKTIFITAS DISINFEKTAN
Efektifitas disinfektan antiseptik berdasarkan keuntungan, kerugian dan hasil tabel 2.1 aktivitas
mikrobiologi dan kegunaan potensial yang telah diuraikan di atas.
a. Alkohol
1. Efektif
Sangat efektif dalam mengurangi mikroorganisme di kulit, virus hepatitis dan HIV.
Menurut Larson (1995) alkohol merupakan salah satu antiseptik paling aman. Etil atau isopropil
alkohol 60-70% efektif dan pengeringan kulit kurang pada konsentrasi lebih tinggi.
2. Tidak efektif
Memerlukan emulien (misalnya gliserin dan atau propilen glikol) untuk mencegah pengeringan kulit.
1.Efektif
Klorheksidin glukonat tetap aktif terhadap mikroorganisme di kulit beberapa jam sesudah
pemberian.
2. Tidak efektif
Efek dikurangi atau dinetrelisasi oleh sabun, air ledeng, dan beberapa krim tangan.
Tidak efektif terhadap basil TBC, baik dan efektif melawan jamur.
1. Efektif
Sejumlah yodium “bebas” menunjukkan tingkat aktivitas anti mikrobial iodofor (misalnya 10%
povidon iodin berisi 1% iodin, menghasilkan konsentrasil “bebas” iodin dari 1 ppm (0,0001%)
(Anderson, 1989).
Absorpsi yodium bebas melalui kulit dan selaput lendir dapat mengakibatkan hiptiroidisma pada bayi
baru lahir. Oleh karena itu batasi pemakaiannya (Newman 1989).
Reaksi alergi terhadap iodin dan iodofor dapat terjadi, jadi cek riwayat alergi.
Maka perpaduan antiseptik antara alkohol-betadine dengan savlon-betadine lebih efektif alkohol-
betadine karena kedua antiseptik salvon dan betadine masih ada keterkaitan dengan alkohol,
misalnya :
Pada keuntungan salvon: Tersedia produk komersial, yang umum adalah dicampur dengan deterjen
dan alkohol.
Pada kerugian betadine: Yodium tinktur atau cairan dapat mengiritasi kulit dan harus dibersihkan
dari kulit sesudah kering (pakai alkohol).
a. Alkohol-Betadine
Pada tabel 2.1 aktifitas mikrobiologis dan kegunaan potensial pada kolom aktifitas melawan bakteri
di sub kolom tindakan kecepatan relatif tergolong cepat (alkohol) dan sedang (betadine).
b.Salvon-Betadine
Pada tabel 2.1 aktifitas mikrobiologis dan kegunaan potensial pada kolom aktifitas melawan bakteri
di sub kolom tindakan kecepatan relatif tergolong sedang (salvon) dan sedang (betadine).
Dari segi kecepatan membunuh bakteri dapat disimpulkan bahwa antiseptik alkohol-betadine lebih
cepat daripada salvon-betadine.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogya : Rineka Cipta.
Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika.
Pratiknya, 2007. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Saifuddin, 2005. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan denghan Sumber
Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Diposkan oleh dr. Suparyanto, M.Kes di 07:43 0 komentar Link ke posting ini
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Reaksi:
PENGERTIAN INFEKSI
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang
menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005).
Dalam Kamus Keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme
dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat akibat metabolisme
kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi. Munculnya infeksi dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi. Adanya patogen tidak berarti bahwa
infeksi akan terjadi.
Menurut Utama 2006, Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang
disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang
tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat
atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah
sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi
penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala
setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi endogen
disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh dan berpindah ke
tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen
(cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien
ke pasien lainnya. (Yudhityarasati, 2007).
TANDA-TANDA INFEKSI
a. Calor (panas)
Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak
darah yang disalurkan ke area terkena infeksi/ fenomena panas lokal karena jaringan-jaringan
tersebut sudah mempunyai suhu inti dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.
Dolor dapat ditimbulkan oleh perubahan PH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung saraf. pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif
lainnya dapat merangsang saraf nyeri, selain itu pembengkakan jaringan yang meradang
mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan menimbulkan rasa sakit.
c. Rubor (Kemerahan)
Merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi
peradangan mulai timbul maka arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar, dengan demikian
lebih banyak darah yang mengalir kedalam mikro sirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya
kosong atau sebagian saja meregang, dengan cepat penuh terisi darah. Keadaan ini yang dinamakan
hiperemia atau kongesti.
d. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh karena pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan
interstisial. Campuran cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.
e. Functiolaesa
Adanya perubahan fungsi secara superficial bagian yang bengkak dan sakit disrtai sirkulasi dan
lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, sehingga organ tersebut terganggu dalam menjalankan
fungsinya secara normal. (Yudhityarasati, 2007).
Menurut Delay, 2005 faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi luka operasi adalah :
a. Enviroment
1. Lamanya waktu tunggu pre operasi di rumah sakit
Menurut Haley dalam Iwan 2008 mengatakan bahwa bertambah lama perawatan sebelum operasi
akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi nosokomial dimana perawatan lebih dari 7 hari pre
operasi akan meningkatkan kejadian infeksi pasca bedah dan kejadian tertinggi didapat pada lama
perawatan 7 - 13 hari (dikutip oleh Hadibrata, 1989 : 17). Hasil penelitian infection rate kira-kira 2
kali lebih besar setelah dirawat 2 minggu dan 3 kali lebih besar setelah dirawat selama 3 minggu
dibandingkan bila dirawat 1-3 hari sebelum operasi. Lamanya operasi mempengaruhi resiko terkena
infeksinosokomial, semakin lama waktu operasi makin tinggi resiko terjadinya infeksi nosokomial.
Menurut Iwan 2008, lingkungan rumah sakit adalah reservoir mikroorganisme dan merupakan salah
satu sumber infeksi. Resiko peningkatan infeksi terjadi pada waktu rawat yang panjang. Hasil
penelitian infection rate kira-kira 2 kali lebih besar setelah dirawat 2 minggu dan 3 kali lebih besar
setelah dirawat 3 minggu dibandingkan dirawat 1-3 hari sebelum operasi. Menurut Cruse dan Foord
terdapat hubungan antara lama hospitalisasi sebelum operasi dengan insiden infeksi luka operasi.
Angka infeksi mencapai 1,2 % pada klien yang dirawat 1 hari, 2,1 % pada klien yang dirawat 1
minggu, dan 3,4 % pada klien yang dirawat 2 minggu (Malangoni, 1997 : 142).
Menurut Iwan 2008, transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga higiene
dari tangan. Selain itu, penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan bila akan melakukan tindakan
atau pemeriksaan pada pasien dengan penyakit-penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat adalah
memakai sarung tangan ketika melakukan tindakan dan mengambil atau menyentuh darah, cairan
tubuh, atau keringat, tinja, urin, membran mukosa dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi,
dan segera mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.
Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama kita melakukan suatu
tindakan untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh, urin dan feses.
Menurut Rondhianto 2008, terdapat prinsip umum teknik aseptik ruang operasi yaitu :
Antisepsis dan asepsis adalah suatu usaha agar dicapainya keadaan yang memungkinkan
terdapatnya kuman-kuman pathogen dapat dikurangi atau ditiadakan, baik secara kimiawi, mekanis
atau tindakan fisik. Termasuk dalam cakupan tindakan antisepsis adalah selain alat-alat bedah,
seluruh sarana kamar operasi, semua implan, alat-alat yang dipakai personel operasi (sandal, celana,
baju, masker, topi dan lain-lainnya) dan juga cara membersihkan/melakukan desinfeksi kulit.
b). Prinsip asepsis personel
Teknik persiapan personel sebelum operasi meliputi 3 tahap, yaitu : Scrubbing (cuci tangan steril),
Gowning (teknik peggunaan gaun operasi), dan Gloving (teknik pemakaian sarung tangan steril), hal
ini diperlukan untuk menghindarkan bahaya infeksi yang muncul akibat kontaminasi selama
prosedur pembedahan (infeksi nosokomial).
Di samping sebagai cara pencegahan terhadap infeksi nosokomial, teknik-teknik tersebut juga
digunakan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan terhadap bahaya yang
didapatkan akibat prosedur tindakan yang di lakukan.
Pasien yang akan menjalani pembedahan harus diasepsiskan. Maksudnya adalah dengan melakukan
berbagai macam prosedur yang digunakan untuk membuat medan operasi steril. Prosedur-prosedur
itu antara lain adalah kebersihan pasien, desinfeksi lapangan operasi dan tindakan draping.
Instrumen bedah yang digunakan untuk pembedahan pasien harus benar-benar berada dalam
keadaan steril.
Untuk mencegah kontaminasi udara pada kamar operasi, direkomendasikan ventilasi mekanik.
System AC diatur 20-24 per jam. Dengan desain yang benar dan kontrol yang baik dari pergerakan
staff maka kontaminasi udara dapat ditekan dibawah 100 cfu/m3 selama operasi jika ditemukan
kebersihan udara.
b.Pasien
1. Umur
Menurut Purwandari 2006, bayi mempunyai pertahanan yang lemah terhadap infeksi, lahir
mempunyai antibody dari ibu, sedangkan sistem imunnya masih imatur. Dewasa awal sistem imun
telah memberikan pertahanan pada bakteri yang menginvasi. Pada usia lanjut, karena fungsi dan
organ tubuh mengalami penurunan, system imun juga mengalami perubahan. Peningkatan infeksi
nosokomial juga sesuai dengan umur dimana pada usia 65 tahun kejadian infeksi tiga kali lebih
sering daripada usia muda.
2. Nutrisi dan berat badan
Menurut Williams & Barbul, 2003 dalam Dealay 2005 bahwa ada hubungan yang bermakna antara
penyembuhan luka operasi dengan status nutrisi.
Sedangkan menurut Rondhianto 2008, Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan
dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin)
dan keseimbangan nitrogen. Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai
komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi, demam dan
penyembuhan luka yang lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa
mengakibatkan kematian.
3. Penyakit
Menurut Perry & Potter 2005, pada pasien dengan diabetes mellitus terjadi hambatan terhadap
sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel.
Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh yang berakibat rentan terhadap
infeksi.
Menurut Nawasasi 2008, Pasien dengan operasi usus, jika ia juga memiliki penyakit lain seperti TBC,
DM , malnutrisi dan lain-lain maka penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh
terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi.
Iwan 2008, menyampaikan bahwa Faktor daya tahan tubuh yang menurun dapat menimbulkan
resiko terkena infeksi nosokomial. Pasien dengan gangguan penurunan daya tahan: immunologik.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi.
Menurut Iwan 2008, di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis, ada pula
bakteri yang secara mutualistik yang ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh. Pengetahuan
tentang mekanisme ketahanan tubuh orang sehat yang dapat mengendalikan jasad renik oportunis
perlu diidentifikasi secara tuntas. Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri oportunis pada
penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus menggunakan antibiotika.
Menurut Iwan 2008, Pencegahan infeksi pasca bedah pada klien dengan operasi bersih
terkontaminasi, terkontaminasi, dan beberapa operasi bersih dengan penggunaan antimikroba
profilaksis diakui sebagai prinsip bedah. Pada pasien dengan operasi terkontaminasi dan operasi
kotor, profilaksis bukan satu-satunya pertimbangan. Penggunaan antimikroba di kamar operasi,
bertujuan mengontrol penyebaran infeksi pada saat pembedahan. Pada pasien dengan operasi
bersih terkontaminasi, tujuan profilaksis untuk mengurangi jumlah bakteri yang ada pada jaringan
mukosa yang mungkin muncul pada daerah operasi.
Tujuan terapi antibiotik profilaksis untuk mencegah perkembangan infeksi dengan menghambat
mikroorganisme. CDC merekomendasikan parenteral antibiotik profilaksis seharusnya dimulai dalam
2 jam sebelum operasi untuk menghasilkan efek terapi selama operasi dan tidak diberikan lebih dari
48 jam. Pada luka operasi bersih dan bersih terkontaminasi tidak diberikan dosis tambahan post
operasi karena dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotik .Bernard dan Cole, Polk
Lopez-Mayor membuktikan keefektifan antibiotik profilaksis sebelum operasi dalam pencegahan
infeksi post operasi efektif bersih terkontaminasi dan antibiotik yang diberikan setelah operasi tidak
mempunyai efek profilaksis (Bennet, J.V, Brachman, P, 1992 : 688). (Yudhityarasati, 2007).
Infeksi Luka Operasi (ILO) atau Infeksi Tempat Pembedahan (ITP)/ Surgical Site Infection (SSI) adalah
infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari paska operasi atau dalam
kurun 1 tahun apabila terdapat implant. Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter
dan tim, lingkungan, dan termasuk juga instrumentasi (Hidayat NN, 2009).
2. Klasifikasi
Klasifikasi SSI menurut The National Nosocomial Surveillence Infection (NNIS) terbagi menjadi dua
jenis yaitu insisional dibagi menjadi superficial incision SSI yang melibatkan kulit dan subkutan dan
yang melibatkan jaringan yang lebih dalam yaitu, deep incisional SSI.
Lebih jauh, menurut NNSI, kriteria untuk menentukan jenis SSI adalah sebagai berikut :
Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30 hari paska operasi dan infeksi tersebut hanya
melibatkan kulit dan jaringan subkutan pada tempat insisi dengan setidaknya ditemukan salah satu
tanda sebagai berikut :
Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada tanda inflammasi.
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska operasi jika tidak menggunakan
implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak
berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu bagian anotomi tertentu (contoh, organ atau
ruang) pada tempat insisi yang dibuka atau dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya
terdapat salah satu tanda :
Ditemukan abses.
Pencegahan ILO harus dilakukan, karena jika tidak, akan mengakibakan semakin lamanya rawat inap,
peningkatan biaya pengobatan, terdapat resiko kecacatan dan kematian, dan dapat mengakibatkan
tuntutan pasien. Pencegahan itu sendiri harus dilakukan oleh pasien, dokter dan timnya, perawat
kamar operasi, perawat ruangan, dan oleh nosocomial infection control team.
Mencegah transmisi mikroorganisme dari petugas, lingkungan, instrument dan pasien itu sendiri.
Kedua hal di atas dapat dilakukan pada tahap pra operatif, intra operatif, ataupun paska operatif.
Berdasarkan karakteristik pasien, resiko ILO dapat diturunkan terutama pada operasi terencana
dengan cara memperhatikan karakteristik umur, adanya diabetes, kebiasaan merokok, obsesitas,
adanya infeksi pada bagian tubuh yang lain, adanya kolonisasi bakteri, penurunan daya tahan tubuh,
dan lamanya prosedur operasi.
MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN LUKA
Luka bedah mengalami stres selama masa penyembuhan. Stres akibat nutrisi yang tidak adekuat,
gangguan sirkulasi, dan perubahan metabolisme akan meningkatkan risiko lambatnya stres fisik.
Regangan jahitan akibat batuk, muntah, distensi, dan gerakan bagian tubuh dapat mengganggu
lapisan luka. Perawat harus melindungi luka dan mempercepat penyembuhan. Waktu kritis
penyembuhan luka adalah 24 sampai 72 jam setelah pembedahan. Jika luka mengalami infeksi,
biasanya infeksi terjadi 3 sampai 6 hari setelah pembedahan. Luka bedah yang bersih biasanya tidak
kuat menghadapi stres normal selama 15 sampai 20 hari setelah pembedahan. Perawat
menggunakan teknik aseptik saat mengganti balutan dan merawat luka. Drain bedah harus tetap
paten sehingga akumulasi sekret dapat keluar dari dasar luka. Observasi luka secara terus-menerus
dapat mengidentifikasi adanya tanda dan gejala awal terjadinya infeksi. Klien lansia terutama
berisiko mengalami infeksi luka pascaoperatif, sehingga perawat preoperatif menurunkan risiko ini
dengan cara memberi lingkungan yang aman dan asuhan keperawatan yang komprehensif (Potter,
2006).
1. Pembersihan Luka
(AHCPR, 1994) Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk membersihkan
luka dan menggunakan cara-cara mekanik yang tepat untuk memasukkan cairan tersebut tanpa
menimbulkan cedera pada jaringan luka. Pertama-tama mencuci luka dengan air yang mengalir,
membersihkan dengan sabun yang lembut dan air, serta dapat memberikan antiseptik yang dibeli di
luar apotik (Potter, 2006).
2. Balutan
Menggunakan balutan yang tepat perlu disertai pemahaman tentang penyembuhan luka. Apabila
balutan tidak sesuai dengan karakteristik luka, maka balutan tersebut dapat mengganggu
penyembuhan Luka (Erwin-Toth dan Hocevar, 1995; Krasner, 1995; Motta, 1995). Balutan juga harus
dapat menyerap dirainase untuk mencegah terkumpulnya eksudat yang dapat meningkatkan
pertumbuhan bakteri dan maserasi di sekeliling kulit akibat eksudat luka (Potter, 2006).
a. Tujuan pembalutan
Membantu hemostasis.
Mempercepat penyembuhan dengan cara menyerap drainase dan untuk melakukan debredemen
luka.
Melindungi klien agar tidak melihat keadaan luka (bila luka terlihat tidak menyenangkan).
Meningkatkan isolasi suhu pada permukaan luka.
Mempertahankan kelembaban yang tinggi diantara luka dengan balutan. (Potter, 2006).
b. Jenis-jenis balutan
Balutan terdiri dari berbagai jenis bahan dan cara pemakaiannya (basah dan kering). Balutan harus
dapat digunakan dengan mudah, nyaman, dan terbuat dari bahan yang mempercepat penyembuhan
luka. Pedoman klinik dari ACHPR (1994) dapat membantu memilih jenis balutan yang sesuai dengan
tujuan perawatan luka (Potter, 2006).
Gunakan balutan yang dapat menjaga dasar luka tepat lembab. Balutan basa-kering hanya boleh
digunakan untuk debridemen dana jangan menggunakan balutan yang dilembabkan oleh salin
secara terus-menerus.
Gunakan penilaian klinik untuk memilih jenis balutan luka lembab yang sesuai untuk ulkus.
Penelitian terhadap beberapa jenis balutan luka lembab menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
hasil akibat penyembuhan dekubitus.
Pilih balutan yang menjaga permukaan kulit yang utuh (periulkus) di sekitarnya tetap kering sambil
menjaga dasar luka tetap lembab.
Pilih balutan yang dapat mengontrol eksudat tetapi tidak menyebabkan desikasi dasar luka.
Saat memilih jenis balutan, pertimbangkan waktu yang dimiliki oleh pemberian perawatan.
Hilangkan daerah luka yang mati dengan cara mengisi seluruh rongga dengan bahan balutan.
Hindarkan pembalutan yang berlebihan.
Monitor balutan yang terdapat di dekat anus, karena keutuhan balutan sulit dijaga.(Potter, 2006)
3. Kondisi Stabil
Jika kondisi klien stabil (misalnya setelah operasi atau tindakan) perawat mengkaji luka untuk
menentukan kemajuan penyembuhan luka yang dialami oleh klien. Jika luka tertutup balutan dan
dokter belum meminta untuk menggantinya, perawat tidak boleh menginspeksi luka secara langsung
kecuali jika perawat mencurigai adanya komplikasi serius pada luka. Pada situasi seperti itu perawat
hanya menginspeksi balutan dan semua drain eksternal. Jika dokter memutuskan untuk mengganti
balutan, dokter akan mengkaji luka minimal 1 kali sehari. Saat sedang mengganti balutan, perawat
menghindarkan terbuang atau terangkatnya dari yang ada di bawahnya. Karena penggantian balutan
dapat menimbulkan nyeri, pemberian analgesik 30 menit sebelum melakukan tindakan dapat
membantu mengurangi nyeri klien.
Penampakan luka :
Perawat mencatat apakah tepi luka telah menutup. Insisi bedah harus memiliki tepi insisi yang bersih
dan saling berdekatan. Sepanjang pinggir luak seringkali terbentuk kerak yang berada dari eksudat.
Luka tusuk biasanya berupa luka kecil yang nelingakr dengan tepi luka menyatu ke arah tengah. Jika
terbuka, tetapi luka terpisah dan perawat harus menginspeksi kondisi jaringan adiposa dan jaringan
penyambung yang berada di bawah luka. Perawat juga melihat adanya komplikasi seperti dehisens
dan eviserasi. Tepi luka bagian luar secara normal terlihat mengalami inflamasi pada hari ke-2
sampai hari ke-3, tetapi lama kelamanan inflamasi ini akan menghilang. Dalam waktu 7-10 hari, luka
dengan penyembuhan normal akan terisi sel epitel dan bagian pinggirnya akan menutup. Apabila
terjadi infeksi, tepi luka akan terlihat bengkak dan meradang.
Perubahan warna kulit terjadi akibat memarnya jaringan intestisial atau terbentuknya hematom.
Pada awalnya darah yang berkumpul di antara lapisan kulit akan terlihat berwarna kebiruan atau
keunguan. Perlahan-lahan, bersamaan dengan hancurnya bekuan darah pada kulit, akan mencul
warna coklat atau kuning. (Potter, 2006)
4. Sterilisasi
Kecepatan penyembuhan luka tergantung dari steril permukaan kulit selama proses pembersihan
luka sebelum pembalutan dan kecepatan membunuh mikroorganisme pada pemberian teknik
antiseptik. Saifuddin (2005) selama sekurang-kurangnya 20 menit untuk instrumen tidak terbungkus,
30 menit untuk instrumen terbungkus.
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas betadine-alkohol yang paling efektif, karena kecepatan
membunuh bakteri membutuhkan waktu 10-20 menit untuk betadine, 10-15 menit untuk alkohol.
Sedangkan betadine-savlon memerlukan waktu membunuh kuman 10-20 menit untuk betadine, 20-
30 menit untuk savlon. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa betadine-alkohol memerlukan waktu
rentang membunuh bakteri 10-20 menit, sedangkan betadine-savlon 10-30 menit sebelum
pembalutan. Luka dalam kondisi pembalutan sudah dinyatakan steril, karena sesuai dengan tujuan
pembalutan yaitu salah satunya melindungi luka dari kontaminasi mikroorganisme.
1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena
penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah
(Yusuf , 2009).
2. Nutrisi
Penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat. Proses fisiologi penyembuhan
luka bergantung pada tersedianya protein, vitamin (terutama vitamin A dan C) dan mineral renik zink
dan tembaga. Kolagen adalah protein yang terbentuk dari asam amino yang diperoleh fibroblas dari
protein yang dimakan. Vitamin C dibutuhkan untuk mensintasi kolagen. Vitamin A dapat mengurangi
efek negatif steroid pada penyembuhan luka. Elemen renik zink diperlukan untuk pembentukan
epitel, sintesis kolagen (zink) dan menyatukan serat-serat kolagen (tembaga) (Potter, 2006).
Terapi nutrisi sangat penting untuk klien yang lemah akibat penyakit. Klien yang telah menjalani
operasi dan diberikan nutrisi yang baik masih tepat membutuhkan sedikitnya 1500 Kkal/hari.
Pemberian makan alternatif seperti melalui enteral dan parenteral dilakukan pada klien yang
tersedia mampu mempertahankan asupan makanan secara normal (Potter, 2006).
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi (Yusuf , 2009).
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak
subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk
penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama
untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita
gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun
pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya
volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi
untuk penyembuhan luka (Yusuf , 2009).
5. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh
tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar, hal tersebut memerlukan
waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka (Yusuf ,
2009).
6. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh
akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu
ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu
sendiri (Yusuf, 2009).
7. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat
masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh (Yusuf ,
2009).
8. Keadaan luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa
luka dapat gagal untuk menyatu.
9. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi
penyembuhan luka.
Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang
spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi
intravaskular. (Yusuf , 2009).
KOMPLIKASI
a. Komplikasi dini
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah
pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya
berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di
sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi,
atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat
ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48
jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan berlebihan terjadi,
penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi
pembedahan mungkin diperlukan.
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah
terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah
irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk menyatu,
batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence
luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kolagen meluas di daerah
luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang
lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah
luka.
b. Komplikasi Lanjut
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen yang berlebihan dalam
proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan
melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan
intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan kemerahan, yang
menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase akhir
penyembuhan luka setelah sekitar satu tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi merupakan kulit, toraks
terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid
agak jarang dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan penyuntikan kortikosteroid
intrakeloid, beban tekan, radiasi ringan dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk
mencegah terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan beban tekan
dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka. (Yusuf, 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat Alimul Aziz, 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika.
Pratiknya, 2007. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Saifuddin, 2005. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan denghan Sumber
Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Perawatan di rumah
Bayi baru lahir disebut juga dengan neonatus. Dikatakan bayi baru lahir pada usia 0-7 hari
Bersihkan dan keringkan pangkal tali pusat termasuk daerah sekitarnya dan lipatan-lipatan pusar
dengan perlahan. Lakukan dua kali sehari
Perhatikan dan waspadai jika kondisinya, ada nanah atau darah di daerah ini, tali pusat bengkak dan
memerah, tali pusat tidak putus dalam 4 minggu atau keluar bau tidak sedap. Segera hubungi
dokter.
1. Membersihkan penis
Usap daerah penis, sisi-sisinya, dan di bawah testikel dengan kapas basah. Lalu bersihkan daerah
pangkal paha termasuk lipatannya.
Cara membersihkan dengan gerakan memutar ke arah bawah, menghadap jari kaki si kecil.
2. Membersihkan vagina
Gunakan baby wipe atau kapas steril yang telah direndam dalam air hangat. Angkat kaki bayi dengan
memegangi pergelangan kakinya.
Usap daerah vagina dengan perlahan,tetapi cukup kuat, dari arah depan ke belakang. Ini untuk
mengurangi risiko berpindahnya kuman-kuman ke vagina.
Bersihkan bibir luar vagina, dan pastikan anda membersihkan daerah lipatan di daerah paha bagian
atas. Jangan mencoba untuk membersihkan bagian dalam vagina. Membuka bibir vagina bisa
menimbulkan infeksi.
Keringkan dengan tisu yang lembut dan tidak mudah sobek atau kain berrsih. Ambil tisu lagi dan
bersihkan pula daerah pantat dan panggul. Biarkan beberapa saat agar kering.
MEMANDIKAN BAYI
Karena bayi baru lahir cepat dan mudah kehilangan panas tubuhnya (terutama jika tidak berpakaian)
Memandikan bayi dalam beberapa jam pertama setelah lahir dapat menyebabkan hipotermia yang
sangat membahayakan bayi baru lahir.
Siapkan bak mandi yang telah diisi air hangat Lengkapi bak mandi dengan alas antislip.
Siapkan handuk lebar, juga waslap kepala dan waslap tubuh, sabun, sampo, serta perlengkapan
pembersih tali pusat.
Sediakan kosmetik bayi seperti minyak telon, losion, bedak, dan krem antiruam.
Tuangkan sabun pada waslap,bersihkan dari bagian yang paling bersih,lalu yang paling kotor.
Bilas tubuh bayi,masukkan bayi ke dalam bak dengan cara sangga bagian pantat,bahu serta kepala
dengan kedua tangan. Masukkan bayi ke dalam bak bagian pantat terlebih dahulu.
Meningkatkan kecerdasan.
Meningkatkan jalinan kasih sayang antara anda dan buah hati tercinta.
Pemberian ASI tak perlu menggunakan botol,sehingga ASI sangat steril tak mudah tercemar.
ASI mengandung antibodi terhadap penyakit yang disebabkan bakteri,virus ataupun jamur.
Dengan memberi ASI berarti anda tak perlu mengeluarkan dana untuk membeli susu kaleng,atau
memasak air untuk menyeduh susu.
Mudah dicerna.
MENYUSUI BAYI
Menyusui dilakukan segera setelah kelahiran bayi (IMD) Inisiasi Menyusu Dini.
POSISI MENYUSUI
Posisi ini baik dilakukan pada saat pertama kali atau ibu dalam keadaan lelah/nyeri. Posisi ibu harus
miring,jaga jangan sampai hidung bayi tertutup.
2. Posisi duduk
Sanggalah seluruh tubuh bayi, jangan hanya leher dan bahunya saja, kepala dan tubuh bayi lurus
hadapkan bayi ke dada iibu sehingga hidung bayi berhadapan dengan putting susu, dekatkan badan
bayi ke badan ibu.
Dagu menempel pada payudara ibu mulut bayi terbuka lebar, bibir bawah bayi membuka lebar
ariola tampak lebih banyak di bagian atas daripada bawah.
IMUNISASI
Bayi telah memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu setelah dilahirkan karena adanya antibodi
yang diberikan ibu melalui plasenta. Ia pun mendapatkan tambahan antibodi yang berasal dari ASI.
Tetapi, kekebalan tersebut sifatnya hanya sementara.