Anda di halaman 1dari 2

BIOGRAFI HOEGENG IMAN SANTOSO

Kehidupan Awal, Pendidikan, dan Karir


Hoegeng Iman Santoso lahir pada tanggal 14 Oktober 1921 di Pekalongan. Awalnya, namanya adalah
Iman Santoso. Nama Hoegeng diambil dari kata “bugel” (kemudian menjadi “hugeng”; yang berarti gemuk)
karena tubuhnya yang gemuk semasa kecil. Hoegeng lahir dari pasangan Soekarjo Kario Hatmodjo dan Oemi
Kalsoem. Ayahnya merupakan seorang jaksa di Pekalongan. Hoegeng memiliki dua adik perempuan, yaitu
Titi Soedjati dan Soedjatmi.

Hoegeng menikah dengan seorang perempuan bernama Meriyati Roeslani, lawan mainnya di
“Sandiwara Radio Saija dan Adinda” yang disiarkan oleh radio Angkatan Laut, Udara, Darat serta RRI
Yogyakarta. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. 

Hoegeng memiliki cita-cita menjadi seorang polisi sejak kecil, setelah melihat teman ayahnya yang
juga seorang polisi, yaitu R. Soeprapto. Di usia 6 tahun, Hoegeng masuk pendidikan HIS, dan pada tahun
1934 melanjutkan ke MULO. Tahun 1937, Hoegeng melanjutkan sekolah menengah di AMS Westers
Klassiek. Tahun 1940, Hoegeng menempuh Pendidikan di bidang ilmu hukum di Rechts Hoge School
Batavia. 

Pendidikan militernya dimulai ketika masa pendudukan Jepang. Hoegeng mengikuti Latihan
Kemiliteran Nippon dan Koto Keisatsu Ka I-Kai pada tahun 1942-1943. Setelah itu, Hoegeng mendapat
amanah menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang tahun 1944, sebelum akhirnya menjabat
sebagai Kepala Polisi Jomblang pada tahun 1945. Pada tahun 1945 hingga 1946, Hoegeng menjadi Komandan
Tentara Laut Jawa Tengah. Kemudian, Hoegeng menempuh pendidikan militer di Akademi Polisi dan bekerja
di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.

Pada 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military
Police School Port Gordon, George, AS. Setelah dari sana, Hoegeng mendapat amanah menjadi Kepala DPKN
Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya pada tahun 1952. Dan pada tahun 1956, Hoegeng menjadi Kepala
Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi di Medan, Sumatera Utara. Hoegeng kemudian mengikuti pendidikan
Brimob pada tahun 1956 dan kemudian diangkat menjadi Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara pada
tahun 1960. Setelah itu, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Jawatan Imigrasi pada tahun 1960. 

Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, Hoegeng menjadi Menteri luran Negara pada tahun 1965
dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti pada tahun 1966. Walaupun tidak mendapat jabatan di
lingkungan kepolisian, Hoegeng selalu siap menjalankan tugas dan tanggung jawab yang telah dipercaya
kepadanya.

Pada tahun 1966, Hoegeng Kembali ke markas kepolisian negara dengan jabatan Deputi Operasi
Panglima Angkatan Kepolisian dan Deputi Menteri Angkatan Kepolisian Urusan Operasi. Hoegeng mencapai
puncak karir ketika diangkat menjadi Kepala Polisi Negara (Kapolri) pada 5 Mei 1968, yang merupakan cita-
cita Hoegeng sebagai perwira polisi sejati.

Integritas yang Tak Pernah Pudar


Mendengar nama Hoegeng, yang pertama muncul di telinga dan pikiran adalah integritas dan
kesederhanaannya. Banyak kisah yang membuktikan akan hal itu. Bahkan, presiden RI Ke-4, Abdurrahman
Wahid, pernah mengatakan kalau hanya ada tiga polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur, dan
polisi Hoegeng. Prinsip hidup yang tidak macam-macam ditunjukkan ketika menjadi polisi di Pekalongan.
Momen kesederhanaan dan ketegasan banyak ditampilkan dalam beberapa cerita kehidupan sang jendral.
Misalnya ketika ia diangkat menjadi Kepala Jawatan Imigrasi pada tahun 1960, Hoegeng meminta istrinya
untuk menutup toko bunga yang baru saja dirintis dengan alasan Hoegeng khawatir orang-orang yang
membeli bunga nantinya merupakan relasinya di Imigrasi.
Cerita lainnya yaitu ketika Hoegeng bertugas di Medan. Ketika hendak pindah ke rumah dinasnya,
rumah tersebut telah terisi dengan barang perabotan rumah tangga yang dikirim oleh cukong dan mafia.
Hoegeng meminta untuk membawa balik barang-barang tersebut dan mengancam tidak mau menempatinya
apabila barang-barang mewah tersebut tidak dibawa kembali. Karakter yang tidak bisa dibeli ini
mencerminkan Jenderal Polisi sejati.

Dua cerita tersebut menggambarkan betapa kuat rasa bakti dan cintanya kepada Lembaga Kepolisian
yang selalu ia banggakan. Sampai akhir hayatnya. Pada 14 Juli 2004, Hoegeng wafat dalam usia 82 tahun di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta Pusat karena stroke yang dideritanya. 

Panglima Polri Jenderal Hoegeng Iman Santoso merupakan sosok yang begitu disegani oleh banyak
orang walaupun masih banyak juga anak muda yang belum mengenal sosoknya, bahkan beberapa perwira
polisi pun juga tak mengenalnya. Sekian biografi polisi Hoegeng Iman Santoso, seorang polisi yang terkenal
akan integritas dan kejujurannya. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai