Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU

PESERTA LATSAR CPNS 2022

Nama : Hendra Triwahono, A.Md.PK.


NDH : 02
Angkatan : XXXIII
Kelompok :1
Asal Instansi : Puskesmas Banjarsengon
I. BIOGRAFI

A. Kehidupan awal dan pendidikan

Hoegeng lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921. Nama lahirnya adalah Iman
Santoso. Nama Hoegeng diambil dari "bugel" (menjadi "bugeng" dan kemudian "hugeng";
yang berarti gemuk) karena tubuhnya yang gemuk semasa kecil. Ayahnya adalah Soekarjo
Kario Hatmodjo dari Tegal, seorang jaksa di Pekalongan; ibunya adalah Oemi Kalsoem. Ia
memiliki dua adik perempuan: Titi Soedjati dan Soedjatmi. Hoegeng ingin menjadi polisi
karena dipengaruhi oleh teman ayahnya yang menjadi kepala kepolisian di kampung
halamannya Ating Natadikusumah. Perwira hukum lain yang merupakan teman ayahnya
adalah Soeprapto.
Hoegeng bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS; sekolah dasar)
Pekalongan dan lulus pada tahun 1934. Ia kemudian mendaftar di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO; sekolah menengah pertama) di kota yang sama dan lulus tiga tahun
kemudian. Ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya di Algemene Middelbare
School (AMS; sekolah menengah atas) jurusan bahasa dan sastra Barat. Selama di AMS,
Hoegeng berteman dengan seniornya Burhanuddin Harahap, teman sekelasnya Soedarpo
Sastrosatomo, dan juniornya Usmar Ismail dan Rosihan Anwar. Pada tahun 1940, setelah
lulus, ia pindah ke Batavia melanjutkan studinya di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS;
perguruan tinggi hukum), meskipun beberapa anggota keluarganya menginginkannya untuk
mendaftar di Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA;
perguruan tinggi pegawai negeri). Di sana ia terlibat dalam organisasi kemahasiswaan
bernama Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI). Di organisasi itu, ia bertemu Soebadio
Sastrosatomo, Subandrio, Oemar Senoadji, Chairul Saleh, dan Hamid Algadrie.
Pada bulan Maret 1942, Jepang menduduki Hindia Belanda. Awalnya, Hoegeng
merasa lega dengan kedatangan Jepang. Tapi, kemudian militer Jepang menutup RHS.
Hoegeng kemudian kembali ke rumah pada bulan April; ia menggunakan waktu luangnya
untuk menjual telur dan buku sekolah bahasa Jepang bepergian dari satu kota ke kota lain
termasuk Pati dan Semarang bersama temannya Soehardjo Soerjobroto. Di Semarang, ia
bertemu kerabatnya dan ditawari bekerja di stasiun radio Hoso Kyoku. Dia diterima dan
mulai bekerja satu bulan kemudian. Saat bekerja di stasiun, ia mendaftar ke pembukaan
kursus polisi di Pekalongan. Hoegeng kemudian melamar dan diterima sebagai salah satu dari
sebelas anggota kepolisian dari 130 pelamar.
Dia bergabung dengan Marshall General School di Military Police School, Fort
Gordon, Georgia, Amerika Serikat.
B. Karier awal

Hoegeng awalnya merasa kecewa ketika mengetahui bahwa output dari kursus
tersebut bukan untuk perwira tinggi (inspektur kedua), tetapi dua pangkat lebih rendah.
Namun, dia masih melewatinya. Selama pelatihan, Hoegeng menerima Rp32 per bulan,
bersih Rp19,50. Setiap hari setelah pelatihan, para taruna ditugaskan sebagai petugas polisi
reguler di kota. Rekan-rekannya, para pelatih dan sesama taruna, kemudian menjadi perwira
tinggi terkemuka termasuk Soemarto, Soehardjo Soerjobroto, Soerojo, dan Soedjono
Parttokoesoemo. Setelah lulus dari kursus tersebut, Hoegeng sempat ragu apakah akan
melanjutkan karirnya sebagai polisi atau sedikit beralih sebagai hakim. Saat itu, Soemarto,
pelatihnya, mendaftarkan Hoegeng ke kursus perwira polisi di Sukabumi. Hoegeng kemudian
diterima, meski tidak terlalu serius dalam seleksi tersebut, antara lain enam orang dari
Pekalongan, alumnus kursus tadi.
Di Sukabumi, Hoegeng mendaftar ke kursus Koto Kaisatsu Gakko, kursus bagi siapa
saja yang sudah terlatih di kepolisian. Sebelum lulus, Hoegeng dan kawan-kawan mengira
akan naik pangkat ke jenjang yang lebih tinggi bernama Junsabucho. Sebaliknya, peringkat
mereka harus diturunkan menjadi Minarai Junsabucho. Mereka memprotes keras keputusan
itu sampai Jenderal Harada dari Angkatan Darat ke-16 mengunjungi tempat itu untuk
menenangkan mereka. Pada tahun 1944, Hoegeng lulus dan bersama ketiga temannya,
Soetrisno, Noto Darsono, dan Soenarto, ditugaskan ke Chiang Bu (bagian keamanan)
Semarang. Hoegeng dan Soenarto menduduki jabatan Koto Kei Satsuka (bagian intelijen),
sedangkan Noto dan Soetrisno masing-masing diberi jabatan di Keimu Ka (urusan umum)
dan Keiza Ka (urusan ekonomi). Setelah beberapa minggu di Semarang, Hoegeng
dipromosikan menjadi Kei Bu Ho II. Dalam beberapa bulan berikutnya, Hoegeng kembali
naik pangkat, kali ini menjadi Kei Bu Ho I. Sesaat sebelum Jepang menyerah kepada pasukan
Sekutu, Hoegeng dipindahkan ke Keibi Ka Cho (divisi perwalian) di bawah pimpinan R.
Soekarno Djojonegoro dan dipromosikan lagi.
Suatu hari setelah proklamasi, Soeprapto, teman ayah Hoegeng, mengumpulkan
anggota polisi, termasuk Hoegeng dan atasannya Soekarno Djojonegoro, dan memberi tahu
mereka tentang kemerdekaan Indonesia dan akan ada pemindahan kekuasaan. Pada bulan
Oktober, Hoegeng dirawat di sebuah rumah sakit (sekarang Rumah Sakit Umum Pusat
Dokter Kariadi) di Semarang setelah menderita gegar otak selama bertugas menjaga tahanan
Jepang. Saat itu, Pertempuran Lima Hari antara pejuang Indonesia dan tawanan Jepang
terjadi. Pagi hari sebelum rumah sakit diserbu oleh Jepang, Hoegeng kabur karena tidak suka
dengan suasana rumah sakit dan kabur dari tempat dia dirawat. Setelah pertempuran mulai
berhenti, Hoegeng disarankan oleh dokter untuk beristirahat. Ia lalu pamit dan beristirahat di
Pekalongan.
Selama di Pekalongan, Hoegeng dikunjungi Komodor M. Nazir yang kemudian
menjadi Kepala Staf Angkatan Laut pertama. Nazir tertarik pada Hoegeng karena dia ingin
membentuk polisi militer angkatan laut dan menawarkan yang terakhir untuk menjadi bagian
dari angkatan laut. Hoegeng kemudian menerima tawaran itu terutama karena dia ingin
tantangan karena kepolisian sudah mapan. Sebagai perwira militer berpangkat Mayor, ia
diberi hak untuk tinggal di Hotel Merdeka, Yogyakarta, dan dibayar Rp 400 per bulan. Di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Darwis, Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut di Tegal,
tugas pertamanya adalah merumuskan landasan dasar kepolisian militer yang pada mulanya
bernama satuan Penyelidik Militer Laut Chusus (PMLC). Selama tinggal di hotel, Hoegeng
dibujuk oleh Soekanto Tjokrodiatmodjo, kepala kepolisian, untuk kembali menjadi polisi. Di
Yogyakarta, Hoegeng memiliki aktivitas lain sebagai pemeran utama sandiwara radio Saija
dan Adinda yang disiarkan oleh radio Angkatan Laoet, Darat, dan Oedara (ALDO) dan RRI
Yogya. Ia kemudian menikah dengan lawan mainnya dalam lakon, Merry, pada 31 Oktober
1946 di Jetis, Yogyakarta. Setelah mereka menikah, Hoegeng mengundurkan diri sebagai
perwira angkatan laut untuk mengejar impian masa kecilnya menjadi seorang perwira polisi.
C. Kemerdekaan Indonesia dan pendudukan Belanda

Setelah bergabung kembali, Hoegeng tercatat sebagai mahasiswa Akademi


Kepolisian di Mertoyudan, Magelang. Selama liburan di pertengahan tahun 1947, Hoegeng
dan istrinya yang sedang hamil mengunjungi keluarganya di Pekalongan. Namun, pada
tanggal 21 Juli militer Belanda melakukan operasi militer. Hoegeng dan keluarganya
kemudian melarikan diri ke selatan kota. Hoegeng diberitahu oleh Soekarno Djojonegoro,
Kepala Kepolisian Pekalongan, bahwa Soekanto telah memerintahkan semua mahasiswa
akademi untuk membantu kepolisian setempat. Tugas Hoegeng saat itu adalah
mengumpulkan materi intelijen. Kemudian, dia ditangkap oleh petugas polisi yang bekerja
untuk Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Saat ditangkap, Hoegeng
diperlakukan dengan baik, tidak seperti yang lain. Dia akhirnya mengetahui bahwa orang
yang memberi perintah itu adalah de Bretonniere, temannya di RHS. Hoegeng dibujuk untuk
bekerja untuk NICA tetapi menolak. Setelah tiga minggu, dia dibebaskan. Hoegeng kemudian
memutuskan untuk mengunjungi komando Yogyakarta. Dia, istrinya, dan orang tuanya pergi
ke Jakarta pada awalnya. Di Jakarta, Hoegeng bertemu dengan Soemarto yang saat itu
menjabat Wakil Kepala Djawatan Kepolisian Negara dan diminta menjadi bawahannya.
Hoegeng diterima tetapi ingin mengunjungi Yogyakarta. Dia dibantu oleh Soemarto dan
meninggalkan istrinya dan pergi sendiri pada bulan September. Di Yogyakarta, Hoegeng
melaporkan tugasnya kepada Soekanto dan meminta izin sebagai bawahan Soemarto di
Jakarta; Soekanto memberikan izin. Pada bulan November, Hoegeng bekerja sebagai asisten
Soemarto dan diberi tugas untuk mengamati tahanan politik Indonesia dan membantu mereka
jika memungkinkan. Di Jakarta, ia berkorespondensi dengan Sudirman, Hamengkubuwono
IX, Oerip Soemohardjo, Suryadi Suryadarma, dan M. Nazir.[11]
Ia pernah menjadi Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN)
di Surabaya, Jawa Timur pada tahun 1952. Ia menjadi kepala Badan Reserse
Kriminal (Bareskrim) di Medan, Sumatra Utara pada tahun 1956. Pada tahun 1959, ia
mengikuti sekolah pelatihan Mobile Brigade (Mobrig) dan menjadi staf direktorat II di
Markas Besar Polri pada tahun 1960, ia menjadi Kepala Djawatan Imigrasi pada tahun 1960,
menjadi Menteri Iuran Negara pada tahun 1965, dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet
Inti pada tahun 1966. Setelah Hoegeng mengundurkan diri sebagai kepala polisi, ia tampil
di TVRI bermain gitar Hawaii bersama dengan band "The Hawaiian Seniors", dan menjadi
pembawa acara musik The Hawaiian Seniors (aslinya Irama Lautan Teduh) dari tahun 1968
sampai 1979. Kadang ia tampil bersama istrinya, Merry Hoegeng dan putrinya, Reny
Hoegeng atau Aditya Hoegeng.[12]
D. Karier

Sewaktu pendudukan Jepang, ia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan


Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Setelah itu ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II
Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara
Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja
di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.
Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School
pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat. Dari situ, dia menjabat
Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian
Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatra Utara (1956) di Medan. Tahun 1959, mengikuti
pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian
Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi
Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian
Negara kariernya terus menanjak. Dari situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan
Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966.
1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara
(tahun 1969, namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto
Joedodihardjo. Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971
dan digantikan oleh Drs. Mohamad Hasan.
Saat menjadi Kapolri Hoegeng Iman Santoso melakukan pembenahan beberapa
bidang yang menyangkut struktur organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur
yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Pada masa jabatannya terjadi
perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52
Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi
Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan
Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol).
Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang
berada di Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi
Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi
Seskopol. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi
Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin
aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau
(NCB) Interpol di Jakarta.
E. Kehidupan pribadi

Di luar dinas kepolisian Hoegeng terkenal dengan kelompok pemusik Hawaii, The
Hawaiian Seniors, selain ikut menyanyi juga memainkan ukulele. Kegiatan Hoegeng tersebut
sempat ditampilkan di TVRI, namun kemudian dicekal oleh Pangkopkamtib Laksamana
Sudomo dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia. Setelah
pencekalan itu, Hoegeng lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkebun di kebunnya
yang kecil di seputaran Jonggol, Bogor. Selain berkebun ia juga kerap menghabiskan
waktunya untuk melukis, hobi yang sudah ia lakukan sejak ia masih muda. Gaya lukisannya
cenderung naturalis. Mulanya ia gemar melukis potret manusia, namun lama kelamaan lebih
sering melukis pemandangan dan bunga. Semasa masih menjabat sebagai Kapolri, ia
menolak menjual lukisanya. Namun setelah pensiun, Hoegeng baru mau menjual karya-
karyanya untuk keperluan pribadi atau untuk keperluan sosial.[13]
F. Meninggal Dunia

Beliau wafat di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2004 dalam usia 82 tahun dan
dimakamkan di Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat.
G. Penghargaan

Atas semua pengabdiannya kepada negara, Hoegeng Iman Santoso telah menerima
sejumlah tanda jasa baik di dalam maupun luar negeri, diantaranya;
Bintang Mahaputera Utama
Bintang Dharma
(anumerta)

Bintang Bhayangkara Bintang Kartika Eka


Bintang Gerilya
Utama Paksi Utama

Satyalancana Peringatan
Bintang Swa Bhuwana
Bintang Jalasena Utama Perjuangan
Paksa Utama
Kemerdekaan

Satyalancana Jana Satyalancana Ksatriya


Satyalancana Satya Dasawarsa
Utama Tamtama

Satyalancana Prasetya Satyalancana Perang Satyalancana Perang


Pancawarsa Kemerdekaan I Kemerdekaan II

Satyalancana Sapta
Satyalancana G.O.M I Satyalancana Penegak
Marga

Honorary Commander of the Knight Grand Cross of


Knight Grand Cross of
Most Esteemed Order of the Most Noble Order
the Order of Orange-
Loyalty to the Crown of of the Crown of
Nassau (Belanda)
Malaysia Thailand
II DESKRIPSI

A. KISAH SEMASA HIDUP

Siapa yang tidak suka menggunakan fasilitas cepat dan kilat untuk pelayanan SIM
yang harusnya ngantri berjam-jam? Siapa pula yang tidak suka diberi rumah mewah di
Jakarta yang harganya mencapai miliaran rupiah? Siapa pula orang yang suka menolak
hadiah dan akses yang mudah-bebas hambatan karena jabatannya?
Siapa lagi orang "aneh" itu kalau bukan Hoegeng Iman Santoso, seorang tokoh yang
pernah menjadi orang penting di kepolisian negeri ini pada era tahun 1970-an. Seorang
Kapolri (1968-1971), Deputi Operasi Kepolisian (1966), Panglima Angkatan Kepolisian
(1968), Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara (1956), Kepala Imigrasi (1960),
dan Menteri Iuran Negara dalam Kabinet "100 Menteri" (1965).
Seorang polisi yang memiliki jiwa kerja keras, bertanggung jawab, berdedikasi, dan
antikorupsi. Seseorang yang bisa menjadi cermin buat siapa saja, bukan hanya polisi, namun
juga kita semua.
Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Ayahnya adalah seorang Kepala
Kejaksaan yang selama hayatnya tidak pernah mempunyai tanah dan rumah pribadi. Ibunya
seorang perempuan sederhana yang sering menanamkan nilai-nilai budi pekerti baik kepada
Hoegeng kecil, yang terlahir dengan nama Iman Santoso. Dia sering dipanggil Bugel
(gemuk), yang kemudian sampai dewasa lebih populer dipanggil Hoegeng.
1. Jujur dan Berani
Lingkungan keluarga dan kehidupan kerja ayahnya telah membentuk Hoegeng untuk
menjadi seorang manusia jujur dan profesional. Sang ayah, Sukarjo Hatmaja, bersama Ating
Natadikusumah (Kepala Polisi) dan Soeprapto (Kepala Pengadilan) adalah orang-orang yang
memiliki andil dalam membentuk kepribadian dan cita-cita Hoegeng. Dan Hoegeng kecil pun
ingin menjadi polisi. Seorang polisi jujur, bertanggung jawab dan anti-suap.
Itu dibuktikannya hingga cita-citanya menjadi polisi terwujud. Hoegeng adalah orang
paling bersikukuh dan bersikeras agar instansi kepolisian yang dipimpinnya bersih dari
tindak-tanduk korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan hal buruk lainnya. Bukan saja di
kepolisian, bahkan Hoegeng pun berani menembus dan memeriksa pejabat kementerian yang
diduga korupsi dan menyalahi tugas dan wewenang sebagaimana mestinya.
Sebagai contoh, di masa jabatannya sebagai orang nomor satu di kepolisian, seorang
mantan Menteri Kehakiman dihukum satu tahun akibat terbukti bersalah menerima suap Rp.
40.000. Juga, pernah seorang mantan Menteri Luar Negeri didenda Rp. 5.000 karena
dianggap teledor membawa uang titipan sebesar USD 11.000 ke luar negeri. "Pemerintahan
yang bersih harus dimulai dari atas. Seperti halnya orang mandi. Guyuran air mandi selalu
dimulai dari kepala," demikian Hoegeng pernah berucap.
Di masa jabatan keduanya sebagai Kepala Reskrim di Medan, Sumatera Utara,
Hoegeng harus berperang melawan bos dan mafia perjudian dan penyelundupan. Mereka
tidak segan-segan memberikan hadiah kemewahan berupa barang-barang perlengkapan
rumah tangga, kendaraan, dan sebagainya. Hoegeng membalas hal tersebut dengan tidak
segan-segan keluar dari rumah dinasnya, mengeluarkan barang-barang yang bukan miliknya,
serta menginap di hotel sederhana hingga semua hadiah mewah itu keluar dari rumah
dinasnya. Medan pun gempar! Seorang polisi yang baru saja berada di kota itu sanggup
menolak semua hadiah dan fasilitas yang diberikan oleh para bos dan mafia kriminal itu.
Bahkan, di kota yang terkenal keras akan judi dan sindikat penyelundupan itu,
Hoegeng mengembangkan forum kerja sama yang berusaha memberantas semua kejahatan,
termasuk korupsi. Beliau mengajak sejumlah pihak dari masyarakat umum serta militer untuk
bahu-membahu memberantas kejahatan yang terjadi di Kota Medan saat itu.
Prestasi yang pernah diukir Hoegeng, diantaranya mengungkap kasus perkosaan
tukang jamu gendong yang melibatkan salah seorang anak pejabat di Yogyakarta, kasus
penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi. Selain itu, masih ada kasus
yang juga tak kalah menghebohkan, seperti kasus tertembaknya mahasiswa ITB Rene
Coenrad pada Oktober 1970 yang melibatkan taruna Akabri.
2. Melibas Korupsi Sampai Ke Akar
Hoegeng tidak saja bersikukuh melibas korupsi di lembaga kepolisian yang
dipimpinnya. Di keluarganya sendiri, mulai dari isteri dan anak-anaknya tidak diberi
kesempatan untuk mengambil kemudahan ataupun fasilitas dari jabatan yang disandangnya.
Seperti dengan terpaksa Hoegeng menutup usaha florist milik istrinya yang berada di Cikini
Jakarta Pusat, hanya gara-gara takut ada pelanggan bunga dari usaha istrinya yang berasal
dari orang -orang yang ingin memanfaatkan diri dari jabatannya. Padahal, saat itu Hoegeng
yang dipindahtugaskan dari Medan kembali ke Jakarta baru diangkat sebagai Kepala Jawatan
Imigrasi. Dia tidak ingin orang-orang berkepentingan di bidang imigrasi memborong bunga-
bunga jualan sang istri agar urusan mereka lancar.
Bahkan, pernah suatu kali anaknya memperoleh sebuah sepeda yang di masanya
sangat keren dan mahal, entah dari siapa. Hoegeng menolak sepeda tersebut dan
diletakkannya begitu saja di depan rumah. Lebih ekstrem lagi, suatu kali anaknya pernah
mengurus SIM dengan cara cepat menggunakan jasa anak buahnya. Namun, entah darimana
Hoegeng tahu perbuatan anaknya tersebut. Maka, saat kartu mengemudi itu selesai dibuat, ia
segera menelepon pihak kepolisian yang mengurusi pembuatan SIM agar tidak memberikan
anaknya SIM sebelum mengikuti prosedur yang berlaku. Lebih dari itu, anak kesayangannya
pun ditegur keras.
Apa yang selalu diperjuangkan Hoegeng tidak selalu mendapat sambutan baik dari
atasannya. Pada 1971, Hoegeng diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Kepolisian
oleh Presiden Soeharto, meski jabatannya belum berakhir. Setelah itu, Hoegeng ditawari
untuk menjabat sebagai Diplomat di Belgia. Namun, Hoegeng menolaknya. Ia menganggap
dirinya bukanlah seorang politisi, melainkan polisi. Akhirnya Hoegeng pun memilih untuk
menjadi orang biasa.
Mengisi masa pensiunnya, Hoegeng menghabiskan waktu dengan hobi yang
kemudian menjadi sumber penghasilannya, yakni mengisi acara "Hawaiian Senior" di TVRI,
bernyanyi, melukis, dan menjadi narasumber di sebuah stasiun radio. Pensiunan sebagai
polisi dan pejabat penting tidak menjadikannya memiliki kekayaan dan uang banyak.
Bayangkan, dana pensiunannya hanya senilai Rp. 10.000 per bulan. Itu pun dipotong lagi
sehingga yang diterimanya hanya Rp. 7.500 per bulan. Baru pada 2001, dana pensiunannya
naik menjadi Rp. 1.170.000 per bulan.
Namun, aktivitas di masa pensiunannya masih saja membuat gerah sebagian orang.
Acara bernyanyi dan menari ala Hawaiian-nya diberedel. dan siaran radionya ikut dihentikan
karena dianggap pedas dan provokatif. Di penghujung hayatnya, Hoegeng dikenal sebagai
salah satu aktivis "Petisi 50" bersama mantan Gubernur DKI jakarta Ali Sadikin yang kritis
terhadap kinerja pemerintahan.
Kesederhanaan dan kesahajaan seorang Hoegeng terus terpancar hingga akhir
hayatnya. Pada 14 Juli 2004, Hoegeng kembali pada Sang Khalik dengan damai. Pesan
terakhir kepada keluarganya adalah, ia ingin dimakamkan di tempat pemakaman umum dan
bukan di taman makam pahlawan. Maka, ia lantas dikebumikan di TPU Giri Tama, Bogor.
Semoga nilai-nilai kejujuran dan keberanian seorang Hoegeng tersebut menjadi nilai
positif dan inspirasi bagi kita semua. Dan satu pesan yang sering beliau dengungkan bahwa,
"Sangat baik untuk menjadi orang penting, tapi jauh lebih penting menjadi orang baik"."

B. Penerapan Nilai-nilai Ber-AKHLAK

1. Berorientasi Pelayanan
Seorang Hoegeng merupakan contoh nyata seorang abdi negara yang jujur dan
selalu mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi maupun
golongan. Maka tidak salah jika Hoegeng menjadi panutan bagi seorang abdi negara
yang memiliki pemikiran yang selalu berorientasi pelayanan.
2. Akuntabel
Sudah bukan rahasia umum jika seorang Hoegeng terkenal sebagai seorang
yang sangat jujur, hingga saking jujurnya Hoegeng tidak mau jabatan yang
diembannya sekarang ini memberikan keuntungan untuk kepentingan pribadinya.
Dimana kisah tersebut diceritakan saat sehari sebelum Hoegeng dilantik menjadi
Kepala Jawatan Imigrasi (kini jabatan ini disebut dirjen imigrasi) tahun 1960,
Hoegeng meminta Merry menutup toko bunga tersebut. Tentu saja hal ini menjadi
pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik menjadi kepala jawatan imigrasi
dengan menutup toko bunga.
“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang
pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas
Hoegeng.
Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih
memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah
maju dan besar itu.
“Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak,”
kata Merry.
3. Kompeten
Hoegeng merupakan seorang abdi negara yang selalu haus akan ilmu
pengetahuan, hal itu terbukti dari riwayat pendidikan dan karirnya semasa menjadi
abdi negara. Hal tersebut tentunya menjadi bukti bahwa kompetensi seorang Hoegeng
memang tidak bisa dianggap remeh, dengan segala pengalamannya yang seabrek
diberbagai bidang pemerintahan.
4. Harmonis
Teladan Jenderal Hoegeng bukan hanya soal kejujuran dan antikorupsi.
Hoegeng juga sangat peduli pada masyarakat dan anak buahnya. Saat sudah menjadi
Kapolri dengan pangkat jenderal berbintang empat, Hoegeng masih turun tangan
mengatur lalu lintas di perempatan.
Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari mulai
pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat. Dalam
posisi sosial demikian, maka seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal.
“Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan
sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang
tidak ada atau tidak di tempat.
Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas
Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Itu
dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang
lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi.”
Demikian ditulis dalam buku Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku
koruptif para pemimpin bangsa- terbitan Bentang.
5. Loyal
Hoegeng selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB. Sebelum
sampai di kantor, dia memilih rute yang berbeda dan berputar dahulu dari rumahnya
di Menteng, Jakarta Pusat. Maksudnya untuk memantau situasi lalu lintas dan
kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.
Saat suasana ramai, seperti malam tahun baru, Natal atau Lebaran, Hoegeng
juga selalu terjun langsung mengecek kesiapan aparat di lapangan. Dia memastikan
kehadiran para petugas polisi adalah untuk memberi rasa aman, bukan menimbulkan
rasa takut. Polisi jangan sampai jadi momok untuk masyarakat. Begitulah loyalitas
seorang Hoegeng sebagai seorang abdi negara.
6. Adaptif
Seorang hoegeng memang terkenal sebagai seorang yang mudah bergaul serta
adaptif, hal tersebut dapat dilihat dari perjalanan kari seorang Hoegeng. Beliau tidak
hanya menjadi pejabat di kepolisian tapi juga pernah menjabat berbagai posisi di
pemerintahan.
7. Kolaboratif
Meskipun menjadi pejabat tertinggi di Kepolisian, Hoegeng tidak segan
memberi contoh kepada bawahannya dengan terjun langsung ke lapangan. Hal
tersebut membuat anak buat dijajaran kepolisian menjadi segan. Sehingga jajaran
kepolisian pada kepemimpinan hoegeng benar-benar menjadi petugas polisi yang
mampu berkolaborasi dengan stakeholder dalam memberi rasa aman bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai