Anda di halaman 1dari 2

Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo atau yang sering dikenal dengan Achmad Soebardjo

dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, pada tanggal 23 Maret 1896. Achmad
Soebardjo merupakan anak ke empat dari pasangan Teuku Yusuf dan Wardinah.

Saat masih muda, Achmad Soebardjo bersekolah di Europeesche Lagere School – ELS di
Kramat, kemudia beliau pindah ke ELSB di Pasar Baru. Setelah menamatkan sekolah dasarnya,
Achmad Soebardjo melanjutkan pendidikannya di Prince Hendrik School. Namun, beliau pindah
ke Sekolah Raja Willem III (KW III) di Salemba dan menamatkan pendidikan di sana pada tahun
1917. Sebelum Achmad Soebardjo melanjutkan pendidikannya di Belanda, beliau sempat
bergabung dengan organisasi pemuda Tri Koro Darmo. Namun, Achmad Soebardjo tidak
berpatisipasi lama di organisasi tersebut hanya sampai tahun 1919, kemudian beliau melanjutkan
pendidikannya di Belanda dan mengambil jurusan ilmu hukum. Pada tahun 1933, Achmad
Soebardjo menamatkan studinya di Belanda dengan gelar Meester in de Rechten (Mr.) atau
Sarjana Hukum di Universitas Leiden.

Perjuangan Achmad Soebardjo diawali dari suatu perkumpulan organisasi mahasiswa


Indonesia di Belanda yaitu Perhimpunan Indonesia. Di organisasi tersebut, Achmad Soebardjo
terpilih sebagai ketua organisasi dan berkesempatan berkeliling negara Eropa seperti Inggris,
Jerman, Rusia, dan Perancis. Selain menjadi ketua di organisasi Perhimpunan Indonesia, beliau
juga merupakan anggota dari Liga Anti Imperialis pada 1927-1928. Pada bulan April 1934,
Ahmad Soebardjo kembali ke Hindia Belanda dan tetap memegang idealism yang bersikap non-
kooperatif terhadap Pemerintah Kolonial. Kemudian beliau bekerja sebagai pembantu di Kantor
Hukum yang berada di Semarang. Setelah di Semarang, beliau pindah kerja di Surabaya sebagai
ahli hukum junior di suatu usaha hukum yang dipimpin oleh salah satu tokoh pergerakan
nasional lainnya, yaitu, Iskaq Tjokrohadisuryo. Saat di Surabaya, kondisi pergerakan nasional di
Hindia Belanda sedang mengalami tekanan berat akibat kebijakan represif dari Gubernur
Jenderal Mr. P.C. de Jonghe. Akibat kebijakan tersebut, setiap mahasiswa yang baru pulang dari
Belanda langsung diawasi oleh Pemerintah, sehingga menyulitkan mereka dalam menyampaikan
aspirasi dan melakukan konsolidasi untuk memperkuat pergerakan. Hal ini juga terjadi pada diri
Ahmad Soebardjo, sehingga beliau hanya berfokus pada pekerjaannya sebagai pengacara, dan
memperdalam pengetahuaannya di bidang organisasi politik dan politik internasional, serta terus
melanjutkan aktivitas jurnalistiknya.
Berkat pengalamannya sebagai koresponden Majalah Timbul pada saat menjadi
mahasiswa di Belanda, ia mendapatkan kontrak dengan harian Matahari yang terbit di Semarang
untuk bekerja sebagai Koresponden di Tokyo dari tahun 1935 sampai 1936. Sepulang dari
Jepang, Ahmad Soebardjo memboyong keluarganya ke Bandung dan bekerja sebagai pengacara
yang berada di bawah kekuasaan Pengadilan Tinggi Pemerintah Hindia Belanda. Setelah tiga
tahun di Bandung, pada 1939 Ahmad Soebardjo memutuskan untuk pindah ke Batavia. Di kota
Batavia, beliau bekerja di Radio Ketimuran yang merupakan bagian Timur dan Perusahaan
Penyiaran Radio Hindia Belanda (NIROM) dan juga bekerja sebagai jurnalis di majalah
Nationale Commentaren.

Jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang, menyebabkan beberapa partai politik dan
tokoh-tokoh pergerakan nasional yang sebelumnya dibungkam oleh Pemerintah Kolonial,
kembali aktif dan mulai mendekati pimpinan tentara Jepang untuk membentuk Pemerintahan
Indonesia yang melibatkan tokoh-tokoh nasional Indonesia.

Namun, kekalahan Jepang di perang Pasifik melawan tentara Sekutu, meyebabkan


Pemerintah Militer Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) / Dokuritsu Junbi Cosakai pada 28 Maret 1945. Hal ini bertujuan sebagai
upaya mendapatkan dukungan bangsa Indonesia kepada Jepang yang akan membantu proses
kemerdekaan Indonesia. Achmad Soebardjo dipilih sebagai Anggota BPUPKI dan salah satu
Anggota Panitia Sembilan yang bertugas menyusun rancangan undang-undang dasar dan dasar
negara yang akan digunakan sesudah kemerdekaan dicapai. Dalam BPUPKI, beliau mengusulkan
dua gagasan penting untuk dicantumkan pada teks pembukaan UUD, yaitu gagasan yang diambil
dalam penentuan nasib sendiri dan menentangiImperialisme. Kedua gagasan dari Achmad
Soebardjo tercantum dalam paragraf pertama pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ”Bahwa
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”

Anda mungkin juga menyukai