Anda di halaman 1dari 21

Nama : Ilham Ramadhan

NIM : 215020100111014
Mata Kuliah : Perencanaan Pembangunan AB

1. Teori Dasar Kemiskinan : Vicious Circle of Poverty (Lingkaran Setan Kemiskinan) -


Nurkse

Lingkaran kemiskinan atau teori lingkaran perangkap kemiskinan yaitu seperangkat


kekuatan yang saling mempengaruhi secara tertentu yang menyebabkan suatu negara menjadi
tetap miskin dan sangat lambat untuk berkembang. Hal ini menjadi latar belakang lahirnya
strategi pembangunan seimbang di negara-negara berkembang.

Menurut Nurkse, sebuah negara miskin adalah karena merupakan negara miskin (A
country is poor because it is poor). Ada dua jenis perangkap kemiskinan yang menjadi
penghalang bagi negara-negara berkembang, yaitu penawaran modal dan permintaan modal
(Nurkse, 1953).

Dalam hal penawaran modal, tingkat pendapatan masyarakat yang rendah diakibatkan
oleh produktivitas yang rendah sehingga menyebabkan kapabilitas masyarakat untuk menabung
juga rendah. Hal ini menyebabkan pembentukan modal di suatu negara menjadi rendah. Dengan
demikian, tingkat produktivitas suatu negara akan tetap rendah. Dalam hal permintaan modal,
luas pasar yang terbatas menyebabkan rendahnya perangsang penanaman modal. Rendahnya
perangsang penanaman modal ini juga dipengaruhi oleh rendahnya pendapatan masyarakat yang
disebabkan karena rendahnya produktivitas masyarakat. Terbatasnya pembentukan modal masa
lalu merupakan bentuk dari produktivitas yang rendah yang disebabkan kurangnya rangsangan
penanaman modal.

Meier and Baldwin (1966) menambahkan, di samping kedua perangkap kemiskinan di


atas, perangkap kemiskinan juga timbul karena keterbelakangan masyarakat yang masih
tradisional dengan kekayaan alam yang masih belum diberdayakan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perangkap kemiskinan masyarakat


dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:
a) Masyarakat tidak mampu mengelola tabungan dengan baik.
b) Kurangnya stimulan dalam hal penanaman modal.
c) Rendahnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat.
d) Kurangnya tenaga ahli dan rendahnya tingkat keahlian masyarakat

Dalam konteks ekonomi wilayah, Myrdal (1964) memiliki pemikiran yang serupa dimana
lemahnya total tabungan di wilayah miskin menyebabkan minimnya investasi di wilayah itu yang
kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas wilayah dan kemudian berujung pada lemahnya
pendapatan wilayah. Pendapatan wilayah yang lemah kemudian menyebabkan rendahnya tingkat
tabungan wilayah dan terus mengikuti lingkaran setan semacam itu. Wilayah pedesaan adalah
wilayah yang paling rentan mengalami lingkaran setan kemiskinan semacam itu.

Beberapa penelitian mengungkapkan beberapa contoh kasus lingkaran setan kemiskinan,


seperti pada petani tembakau di pedesaan Pulau Lombok mengalami lingkaran setan
kemiskinan karena minimnya modal dan memaksa bermitra dengan perusahaan (Nurjihadi
and Dharmawan, 2016). Kemitraan ini menyebabkan ketergantungan. Contohnya adalah para
petani terjebak dalam perangkap utang. Di sisi lain, Budi Rajab (2006) dalam pendekatan
kelembagaan menjelaskan bahwa lingkaran setan kemiskinan disebabkan oleh gagalnya
otoritas pemerintah dalam membuat kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Penelitian
lain juga mengungkapkan bahwa masyarakat miskin disabilitas sulit untuk keluar dari
lingkaran kemiskinan

2. Strategi Upaya Minimum Kritis


Harvey leibenstein (1957) mengajukan tesis bahwa sebagian besar NSB dikecam oleh
lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) yang membuat mereka tetap berada pada
tingkat keseimbangan pendapatan per kapita yang rendah. Jalan keluar dari kebuntuan ini adalah
dengan melakukan suatu upaya minimum kritis (critical minimum effort) tertentu yang akan
menaikkan pendapatan per kapita pada tingkat dimana pembangunan yang berkesinambungan
(sustainable) akan terjadi. Leibenstein mengatakan bahwa dalam tahap transisi dari keadaan
keterbelakangan ke keadaan yang lebih maju di mana kita dapat mengharapkan pertumbuhan
jangka panjang yang mantap (steady economic growth) diperlukan suatu kondisi di mana suatu
perekonomian harus mendapatkan rangsangan pertumbuhan yang lebih besar di atas batas
minimum kritis tertentu (Siwu, 2017).

Menurut Leibenstein, setiap ekonomi tunduk pada hambatan dan rangsangan (Belkaoui,
2019). Hambatan berdampak menurunkan pendapatan per kapita dari tingkat sebelumnya,
sementara rangsangan cenderung akan meningkatkan pendapatan itu mendapat rangsangan yang
lebih kuat daripada factor-faktor yang dapat menurunkan pendapatan, maka usaha minimum kritis
itu dapat tercapai dan suatu perekonomian akan bisa berkembang. (Arsyad, 2017).

Teori minimum kritis dikritik karena tidak stabil secara logis dan terbukti secara empiris
sebagai teori pertumbuhan dan perkembangan. Tetapi datang ke manajemen kemiskinan energi
dalam analisis permintaan dan penawaran energi, teori minimum kritis adalah logis dan
diperlukan dalam banyak hal seperti untuk mengatasi disekonomis dan pembentukan struktural
dari beberapa institusi (Shameem,2021)

Terdapat Penelitian yang menggunakan teori ini, antara lain Kohli dan Singh (1989) yang
menjelaskan adanya hubungan positif antara pembangunan dengan tingkat ekspor. Contoh lainnya
diungkapkan oleh Shameem (2021) dimana dalam penelitian pendekatan strategi upaya minimum
kritis diperlukan untuk mengatasi permasalahan ekonomi pembangunan di India.

3. Strategi Pembangunan Seimbang


A. Rosenstein-Rodan
teori ini pertama kali dikemukakan oleh Rosenstein-Rodan (1943) yang menulis gagasan
untuk menciptakan program pembangunan di Eropa Selatan dan Tenggara dengan melakukan
industrialisasi secara besar-besaran. Kedua orang ini beranggapan bahwa melakukan
industrialisasi di daerah yang kurang berkembang merupakan cara yang tepat untuk menciptakan
pembagian pendapatan yang lebih merata di dunia dan untuk meningkatkan pendapatan di daerah
semacam itu agar lebih cepat daripada di daerah yang lebih kaya. Dalam upaya untuk
melaksanakan program tersebut berbagai industri haruslah dibangun secara berbarengan.

Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk menciptakan berbagai jenis industri yang
berkaitan erat satu sama lain sehingga setiap industri akan memperoleh eksternalitas ekonomi
sebagai akibat dari industrialisasi seperti itu.Scitovsky mendefinisikan eksternalitas ekonomi
sebagai jasa¬jasa yang diperoleh dengan cuma-cuma oleh sesuatu industri dari satu atau beberapa
industri lainnya. Dengan demikian jika sebuah perusahaan memperoleh eksternalitas ekonomi,
maka biaya produksinya dapat dikurangi dan perusahaan tersebut dapat melaksanakan
kegiatannya dengan lebih efisien.

Menurut Rosenstein-Rodan, pembangunan industri secara besar-besaran akan


menciptakan 3 macam eksternalitas ekonomi yaitu:
1. yang diakibatkan oleh perluasan pasar,
2. karena industri yang sama letaknya berdekatan, dan
3. karena adanya industri lain dalam perekonomian tersebut. Namun demikian, menurut
Rosenstein-Rodan, eksternalitas yang pertama yang paling penting.

Proses terciptanya eksternalitas ekonomi sebagai akibat dari adanya perluasan pasar bisa
dijelaskan dengan contoh berikut. Misalnya sebanyak 10.000 penganggur dari sektor pertanian
dipekerjakan pada suatu industri batik. Mereka akan menerima pendapatan yang jauh lebih besar
dari semula, dan ini akan menaikkan pengeluaran mereka. Namun demikian, kenaikkan
pengeluaran para pekerja ini hanya sebagian kecil saja yang akan digunakan untuk membeli batik
yang dihasilkan itu. Sebagian besar pendapatan tersebut akan dikonsumsikan untuk membeli
makanan dan barang-barang lainnya.

Oleh karena sebagian besar pendapatan tersebut dikonsumsikan untuk membeli makanan
dan barang-barang lainnya, maka industri batik yang baru didirikan itu akan mengalami
kekurangan permintaan. Keadaan tersebut akan sangat berbeda jika yang dipekerjakan adalah 1
juta penganggur dari sektor pertanian. Mereka dipekerjakan dalam industri-industri yang
menghasilkan berbagai macam barang yang dibutuhkan oleh para pekerja tersebut. Pendapatan
yang tercipta di berbagai industri itu akan menciptakan dan memperluas pasar suatu industri, dan
dengan demikian akan mengurangi resiko kemungkinan tidak terjualnya barang yang
diproduksikan oleh sesuatu industri yang didirikan. Oleh karena resiko bisa dianggap sebagai
bagian dari biaya produksi, maka pembangunan industri secara besar-besaran yang saling
berkaitan erat satu sama lain akan mengurangi biaya produksi dan menciptakan eksternalitas
ekonomi.

Salah satu penelitian mengungkapkan gagasan ini dalam konteks ekonomi persaingan
tidak sempurna dengan limpahan permintaan agregat dan menafsirkan dorongan besar menuju
industrialisasi sebagai perpindahan dari ekuilibrium yang buruk ke keseimbangan yang baik
(Murphy et al., 1989).

B. Ragnar Nurkse
Pendapatan Nurkse tidak banyak berbeda dengan Rosenstein-Rodan. Dalam analisisnya,
ia menekankan bahwa pembangunan ekonomi bukan saja mengalami kesukaran dalam
mendapat¬kan modal yang dibutuhkan, tetapi juga dalam mendapatkan pasar bagi barang- barang
industri yang akan dikembangkan. Nurkse mengatakan bahwa investasi sangat rendah karena
kecilnya daya beli masyarakat, sedangkan rendahnya daya beli itu disebabkan oleh rendahnya
pendapatan riil masyarakat. Rendahnya pendapatan nil masyarakat ini disebabkan oleh rendahnya
produktivitas (Nurkse, 1955).

Daya beli masyarakat merupakan pasar bagi barang-barang yang dihasilkan oleh sektor
produktif. Oleh karena itu, daya beli masyarakat yang rendah akan menyebabkan pasar bagi
produk-produk yang dihasilkan sektor produktif menjadi sangat terbatas. Keadaan ini tidak
merangsang para pengusaha untuk melakukan investasi terutama dalam industri-industri modern.
Dengan kata lain, dorongan untuk melakukan investasi dibatasi oleh luasnya pasar (Nurkse,
1955).

Oleh karena pasar merupakan faktor penting yang akan membatasi investasi di sektor
modern, maka dalam menyusun kebijaksanaan dan program pembangunan persoalan yang harus
dipecahkan adalah menentukan faktor yang bisa memperluas pasar domestik. Nurkse mengatakan
bahwa ekspansi moneter, iklan-iklan jumlah penduduk, tidak dapat memperluas pasar domestik.

Menurut Nurkse, faktor yang terpenting yang menentukan luasnya pasar adalah tingkat
produktivitas. Dalam suatu perekonomian yang mempunyai sejumlah penduduk tertentu, jumlah
barang-barang yang dapat dihasilkan dan dijual dalam suatu jangka waktu tertentu tergantung
kepada tingkat penggunaan modal dalam proses produksi. Dalam suatu perekonomian yang
pasarnya sangat terbatas, maka tidak ada rangsangan bagi para pengusaha untuk menggunakan
alat-alat yang modern. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pasar telah membatasi penggunaan
modal sehingga membatasi pula kemampuan suatu perekonomian untuk menghasilkan
barang-barang yang dibutuhkan masyarakat (Nurkse, 1955).
Oleh karena itu NSB yang sedang membangun perlu melaksanakan program
pembangunan seimbang yakni pada waktu yang bersamaan dilakukan investasi di berbagai
industri yang berkaitan erat satu sama lain. Dengan cara ini berarti pasar akan semakin luas,
karena kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat yang diperoleh dari berbagai industri akan
menciptakan permintaan akan barang-barang industri yang dihasilkan. Pembangunan suatu
industri menciptakan pasar bagi industri lain, dan semakin banyak industri yang dibangun
semakin luas pasar suatu industri yang pada akhirnya akan memungkinkan penggunaan modal
secara lebih efisien can intensif. Dengan demikian, pembangunan seimbang akan menjadi
perangsang untuk memperluas permintaan akan modal dan menciptakan perangsang untuk
melakukan investasi yang lebih banyak.

Nurkse mempunyai pendapat yang sama dengan Rosenstein-Rodan mengenai peranan


perluasan pasar dalam mempertinggi efisiensi suatu industri yakni pasar merupakan eksternalitas
ekonomi bagi berbagai industri ia juga menganggap bahwa perluasan pasar tersebut merupakan
eksternalitas ekonomi yang lebih penting daripada eksternalitas ekonomi yang dikemukakan
Marshall, seperti memperbaiki jaringan transportasi dan komunikasi, perbaikan tingkat teknologi,
dan perbaikan tingkat keterampilan serta keahlian tenaga kerja. Eksternalitas ekonomi yang
disebabkan oleh perluasan pasar dan eksternalitas ekonomi yang tradisional, menurut Nurkse dan
Rosenstein-Rodan, menyebabkan perbedaan yang besar sekali antara produktivitas modal
marginal dari suatu perusahaan (private marginal productivity of capital) dan produktivitas modal
marginal dari masyarakat keseluruhan (social marginal productivity of capital) (Nurkse,1955)..

Perbedaan yang sangat besar di atas mempunyai arti bahwa dorongan atau rangsangan
bagi suatu perusahaan untuk melakukan investasi seringkali tidak cukup besar karena kecilnya
pasar. Namun demikian, jika ditinjau industri secara keseluruhan, maka rangsangan tersebut
sangat besar. Oleh karena jika sejumlah besar industri dikembangkan maka secara berbarengan
setiap industri mengalami perluasan pasar yang sangat besar sekali bagi produk-produknya.

C. Scitovsky
Scitovsky mengungkapkan adanya 2 konsep eksternalitas ekonomi dan manfaat yang
diperoleh suatu industri dari adanya 2 macam eksternalitas ekonomi yang ada dalam
perekonomian tersebut. Eksternalitas ekonomi dibedakan menjadi 2 yaitu seperti yang terdapat
dalam teori keseimbangan (equilibrium theory) dan seperti yang terdapat dalam teori
pembangunan (Scitovsky, 1959).

Dalam teori keseimbangan (teori ekonomi konvensional), eksternalitas ekonomi diartikan


sebagai perbaikan efisiensi yang terjadi pada suatu industri sebagai akibat dari perbaikan
teknologi pada industri lain. Eksternalitas ekonomi seperti ini disebut eksternalitas ekonomi
teknologis (technological external economics). Disamping itu hubungan saling ketergantungan
antara berbagai industri bisa pula menciptakan eksternalitas ekonomi yang berkaitan dengan
keuangan (pecuniary external economies) yaitu kenaikan keuntungan yang diperoleh suatu
perusahaan yang disebabkan oleh tindakan-tindakan perusahaan lain. Dengan kata lain
keuntungan suatu perusahaan bukan saja tergantung pada efisiensi penggunaan faktor-faktor
produksi dan tingkat produksi perusahaan tersebut, tetapi juga tergantung kepada penggunaan
faktor-faktor produksi dan tingkat produksi perusahaan-perusahaan lainnya terutama
perusahaan-perusahaan yang erat kaitannya dengan perusahaan yang pertama tadi (Scitovsky,
1959).

Mekanisme terciptanya eksternalitas ekonomi keuangan tersebut dijelaskan Scitovsky


dengan contoh berikut. Jika investasi baru dilakukan untuk suatu industri, maka kapasitasnya
akan bertambah. Hal ini bisa menurunkan biaya produksi industri tersebut dan akan menaikkan
harga input yang digunakannya. Penurunan biaya produksi industri-industri tersebut akan
menurunkan harga jual produknya dan ini berarti akan menguntungkan industri-industri yang
menggunakan produk yang dihasilkan industri tersebut. Sedangkan kenaikan harga inputnya akan
menguntungkan industri yang menghasilkan input tersebut (Scitovsky, 1959).

Lebih lanjut Scitovsky mengatakan bahwa, misalnya industri X melakukan investasi


untuk memperluas kegiatannya, maka tindakan tersebut akan menguntungkan beberapa jenis
perusahaan. Jenis-jenis perusahaan yang akan memperoleh eksternalitas ekonomi keuangan dari
industri X adalah:

1. perusahaan-perusahaan yang akan menggunakan produksi X sebagai bahan mentah


industri mereka, karena harganya lebih murah;
2. industri-industri yang menghasilkan bahan mentah bagi industri X, karena permintaan
dan (mungkin) harganya akan naik;
3. industri-industri yang menghasilkan barang komplementer untuk barang yang
diproduksikan industri X, karena dengan naiknya produksi dan penggunaan hasil industri
X maka jumlah permintaan akan barang-barang komplementer tersebut bertambah;
4. industri-industri yang menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang
yang mengalami pertambahan pendapatan;
5. industri-industri yang menghasilkan barang substitusi bahan mentah yang digunakan oleh
industri X.

Berdasarkan pada gambaran di atas, selanjutnya Scitovsky menyimpulkan bahwa


integrasi secara menyeluruh antara berbagai industri diperlukan untuk menghapuskan perbedaan
antara keuntungan perorangan (private profit) dan keuntungan masyarakat (public benefit). la
menganggap bahwa mekanisme pasar tidak dapat mengintegrasikan antar berbagai industri yang
sifatnya demikian, karena mekanisme pasar berfungsi terutama untuk menciptakan efisiensi
alokasi sumberdaya-sumberdaya dalam jangka pendek. Oleh karena itu ia mendukung pendapat
Rosenstein-Rodan yang menyatakan tentang perlunya program pembangunan industri secara
besar-besaran dan menciptakan suatu pusat perencanaan penanaman modal untuk melengkapi
fungsi mekanisme pasar dalam mengatur alokasi sumberdaya-sumberdaya.

D. W Arthur Lewis
Sementara itu analisis Lewis (1966) menunjukkan perlunya pembangunan seimbang yang
ditekankan pada keuntungan yang akan diperoleh dari adanya saling ketergantungan yang efisien
antara berbagai sektor, yaitu antara sektor pertanian dan sektor industri, serta antara sektor dalam
negeri dan luar negeri.

Menurut Lewis (1966), akan timbul banyak masalah jika usaha pembangunan harga
dipusatkan pada satu sektor saja. Tanpa adanya keseimbangan pembangunan antara berbagai
sektor akan menimbulkan adanya ketidakstabilan dan gangguan terhadap kelancaran kegiatan
ekonomi sehingga proses pembangunan terhambat.

Lewis (1966) menggunakan gambaran di bawah ini untuk menunjukkan pentingnya


upaya pembangunan yang menjamin adanya keseimbangan antara sektor industri dan sektor
pertanian. Misalkan di sektor pertanian terjadi inovasi dalam teknologi produksi bahan pangan
untuk memenuhi kebutuhan domestik. Implikasinya yang mungkin timbul adalah:
1) terdapat surplus di sektor pertanian yang dapat dijual di sektor non pertanian, atau
2) produksi tidak bertambah berarti tenaga tenaga kerja yang digunakan bertambah sedikit
dan jumlah pengangguran bertambah tinggi, atau
3) kombinasi dari kedua keadaan tersebut.

E. Kritik terhadap Pembangunan Seimbang


Banyak kritik yang dilontarkan terhadap teori pembangunan seimbang, antara lain
dikemukakan oleh Hirschman, Streeten, Singer, dan Fleming. Hirschman merupakan pengkritik
yang paling "baik", karena selain menunjukkan kelemahan-kelemahan teori pembangunan
seimbang juga mengemukakan teori pembangunan tak seimbang. Menurut Febriansyah (2019),
terdapat beberapa poin kritik terhadap pembangunan seimbang yaitu :
- Adanya peningkatan biaya
- Tidak menaruh perhatian pada penurunan biaya
- Adanya kecendrungan hubungan subtitutif antar industri
- Dianggap gagal sebagai teori pembangunan
- Di luar kemampuan NSB
- Kelangkaan sumber daya di NSB
- Adanya disproporsi faktor di NSB
- Investasi secara besar besaran bukanlah solusi
- Tidak mempertimbangkan faktor perencanaan
- Menimbulkan eksternalitas negatif

4. Strategi PembangunanTidak Seimbang


Strategi ini dikemukakan oleh Albert O. Hirschman dan Paul Streeten. Menurut Albert
dan Paul dalam Hanly, pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok
untuk mempercepat proses pembangunan di negara sedang berkembang. Pola pembangunan tak
seimbang menurut Hirschman (1958) berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:

1) Secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang


2) Untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumberdaya - sumberdaya yang tersedia
3) Pembangunan tak seimbang akan menimbulkan kemacetan atau gangguan - gangguan
dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan
selanjutnya.

Pembangunan tak seimbang ini akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi
mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda. Hal ini yang akan menimbulkan suatu
ketidakseimbangan dalam kegiatan ekonomi (Hirschman, 2004). Namun keadaan tersebut akan
merangsang perkembangan usaha – usaha lain yang terkait. Selain itu akan merangsang pula
untuk melaksanakan investasi yang lebih banyak pada masa yang akan datang. Dengan demikian
pembangunan tak seimbang akan mempercepat pembangunan ekonomi pada masa yang akan
datang.
Beberapa penelitian yang menggunakan pendekatan strategi pembangunan tidak
seimbang adalah penelitian yang dilakukan oleh Saliminezhad dan Lisaniler (2017) yang
menemukan sektor pertanian, manufaktur, hotel dan restoran, dan konstruksi cukup berpengaruh
terhadap PDB menggunakan indeks Hirschman–Rasmussen. Sobyra, dkk (2022)
mengembangkan teori pembangunan tak seimbang dengan menghubungkannya dengan aspek
geografis. Dilain sisi penelitian yang dilakukan oleh (Liu et al., 2022) membuktikan bahwa
meskipun strategi tak seimbang dapat merangsang pembangunan, akan tetapi pembangunan tak
seimbang yang berlebihan akan menghambat pembangunan itu sendiri.

5. Teori Dualistik
J.H. Boeke (ahli ekonomi Belanda) mengembangkan teori tersendiri yang cocok untuk
diterapkan di Negara terbelakang. Teorinya tentang "dualisme masyarakat" merupakan teori
umum pembangunan masyarakat dan pembangunan ekonomi negara terbelakang yang terutama
didasarkan pada hasil kajiannya terhadap perekonomian Indonesia (1978). Dalam Buku Sukirno
(2002) DR. Boeke berpendapat bahwa dalam arti ekonomi masyarakat memiliki tiga ciri,
yaitu semangat sosial, bentuk organisasi dan teknik yang mendominasinya. Saling ketergantungan
dan saling antara ketiga ciri disebut sistem sosial atau gaya sosial.

Suatu masyarakat disebut homogen apabila didalamnya hanya terdapat satu sistem sosial
yang berlaku. Tetapi suatu masyarakat mungkin memiliki sekaligus dua sistem sosial atau lebih.
Masyarakat seperti ini disebut masyarakat dualistik atau majemuk.Boeke menggunakan teori
ekonomi tentang masyarakat dualistik untuk menggambarkan dan menjelaskan interaksi ekonomi
dua sistem sosial yang berbenturan" yang ia sebut dengan "ekonomi dualistik" atau "ekonomi
timur".

Ciri-ciri khas masyarakat Timur telah membuat teori ekonomi Barat sama sekali tidak
dapat diterapkan pada ekonomi terbelakang. Menurut Boeke, teori ekonomi Barat dimaksudkan
untuk menjelaskan masyarakat kapitalis, sedangkan masyarakat Timur adalah prakapitalistik. Di
negara terbelakang, keinginan dan daya-beli yang terbatas telah menghambat seluruh
pembangunan ekonomi. Peningkatan penawaran bahan makanan atau barang industri akan
menyebabkan melimpahnya komoditas di pasar dengan akibat turunnya harga dan depresi.

Dalam Penelitian Rahayu (2013), digunakan teori ini untuk menggambarkan fenomena
antara pasar retail modern dan tradisional yang terjadi di seluruh Indonesia yang hingga saat ini
gencaran retail modern juga sudah berkembang sampai kepelosok-pelosok desa. Selain itu juga
terdapat penelitian dari Hairani (2016) yang menggunakan teori ini yang menjelaskan bahwa
perluasan kesempatan kerja di sektor modern dapat mengurangi pengangguran. Kebijakan
pengembangan kesempatan kerja sektor modern di Indonesia dapat memberikan keuntungan
melalui penurunan tingkat pengangguran, dengan pengawasan dan evaluasi yang baik dari
kebijakan tersebut.

6. Teori Myrdal Dampak Balik


Dampak balik backwash effect yaitu sebagai semua perubahan yang bersifat merugikan
dari ekspansi suatu ekonomi di suatu tempat karena sebab- sebab di luar tempat itu. Dalam istilah
ini Myrdal memasukkan dampak migrasi, perpindahan modal, dan perdagangan serta keseluruhan
dampak yang timbul dari proses sebab-musabab sirkuler antara faktor-faktor baik non ekonomi
maupun ekonomi. Dampak sebar spread effect menunjuk pada momentum pembangunan yang
menyebar secara sentrifugal dari pusat pengembangan ekonomi ke wilayah- wilayah lainnya.
Sebab utama ketimpangan regional menurut Myrdal adalah kuatnya dampak balik dan lemahnya
dampak sebar di negara terbelakang (Jhingan, 2012). Menurut Myrdal dalam M.L Jhingan (2012),
berpendapat bahwa pembangunan ekonomi menghasilkan suatu proses menyebabkan sirkuler
yang membuat si kaya mendapat keuntungan semakin banyak, dan mereka yang tertinggal di
belakang menjadi semakin terhambat. Dampak balik backwash effect cenderung membesar dan
dampak sebar spread effect semakin mengecil. Semakin kumulatif kecenderungan ini semakin
memperburuk ketimpangan internasional dan menyebabkan ketimpangan regional di
negara-negara terbelakang.

Terdapat penelitian yang menggunakan teori ini dalam pendekatan risetnya, salah satunya
yang dilakukan oleh Ke (2010) dimana mengungkapkan bahwa kota-kota pusat di Cina Barat
memiliki efek sebaran ringan satu sama lain dan efek backwash pada kabupaten pedesaan
terdekat dan, sebaliknya, kota-kota pusat di wilayah timur bersaing satu sama lain dan memiliki
efek backwash pada kabupaten pedesaan terdekat. Hal lainnya juga ditemukan oleh Lloyd dan
Dicken (1977) dimana pertumbuhan pada satu wilayah yang telah berkembang mengakibatkan
adanya penurunan di wilayah lain oleh karena produk yang dihasilkan wilayah tersebut dialirkan
ke wilayah yang lebih maju

7. Teori Pembangunan Fei-Ranis


Teori yang dikemukakan oleh Fei-Ranis (1961; dalam Todaro, 2012) berkaitan dengan
negara berkembang yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: kelebihan buruh, sumber daya
alamnya belum dapat diolah, sebagian besar penduduknya bergerak di sektor pertanian, banyak
pengangguran, dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut Fei-Ranis (dalam
Jhingan, 2002:218) ada tiga tahap pembangunan ekonomi dalam kondisi kelebihan buruh.
Pertama, di mana para pengangguran semu (yang tidak menambah output pertanian) dialihkan ke
sektor industri dengan upah institusional yang sama. Kedua, tahap di mana pekerja pertanian
menambah output, tetapi memproduksi lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh,
dan dialihkan pula ke sektor industri. Ketiga, tahap yang ditandai dengan pertumbuhan
swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan output lebih besar daripada perolehan upah
institusional. Dan dalam hal ini kelebihan pekerja terserap ke sektor jasa dan industri yang
meningkat terus-menerus sejalan dengan pertambahan output dan perluasan usahanya.

Pembangunan ekonomi timbul apabila para pekerja dialihkan dari sektor pertanian ke
sektor industri melalui tiga tahap. Hal ini dilukiskan dalam Gambar 3 (A), (B), dan (C). Di mana
panel (A) melukiskan sektor industri, (B) dan (C) sektor pertanian. Mulai dari panel C, di mana
tenaga buruh di sektor pertanian diukur dari kiri ke kanan pada sumbu horizontal ON dan
keluaran pertanian dari atas ke bawah pada sumbu vertikal OY. Kurva OCX adalah kurva
produktivitas fisik total (TPP). CX menunjukkan bahwa produktivitas marginal dari buruh MN
adalah nol (0). Jadi, buruh MN surplus dan pemindahannya ke sektor industri tidak akan
memengaruhi keluaran industri. Tetapi jika dianggap bahwa ke semua tenaga buruh ON bekerja
di sektor pertanian, akan memproduksi keluaran NX. Misalkan seluruh NX tersebut dikonsumsi
oleh seluruh tenaga kerja ON, upah nyatanya adalah sama dengan NX/ON atau slope dari garis
OX. Inilah yang disebut sebagai upah institusional.

Proses pengalokasian dalam tiga tahap selama tinggal landas tersebut dilukiskan dalam
panel (B) dari Gambar 4, di mana tenaga buruh keseluruhan diukur dari kanan ke kiri pada sumbu
Horizontal ON dan keluaran rata-ratanya pada sumbu vertikal NV. Kurva NMRU
menggambarkan produktivitas fisik
marginal (MPP) buruh dalam sektor pertanian. NW adalah upah institusional di mana buruh
dipekerjakan dalam sektor ini

Pada tahap I, pekerja MN merupakan penganggur tersamar, produktivitas fisik


marginalnya nol, sebagaimana ditunjukkan oleh bagian NM dari kurva MPP dalam panel (B) atau
bagian CX dari kurva TPP dalam panel (C). Tenaga kerja lebih sebesar NM ini dipindahkan ke
sektor industri sebagaimana ditunjukkan pada OM dalam panel (A) pada tingkat upah
institusional sama OW (=NW).

Pada tahap II, MPP pekerja pertanian MK adalah positif dalam garis MR pada kurva
MPP (NMRU) tetapi kurang dari upah institusional KR (=NW), mereka memperoleh
sebagaimana digambarkan dalam panel (B). Jadi, dalam batas tertentu mereka adalah penganggur
tersamar juga dialihkan ke sektor industri. Tetapi upah nominal di sektor industri tersebut tidak
akan menyamai upah institusional pada tahap ini. Hal ini disebabkan karena merosotnya keluaran
pertanian akibat perpindahan tenaga kerja ke sektor industri tersebut. Hasilnya, terjadi kelangkaan
mata-dagangan pertanian yang mengakibatkan naiknya harga, relatif dibanding barang-barang
industri. Ini menyebabkan memburuknya syarat-syarat pada sektor industri, yang karenanya
membutuhkan adanya suatu kenaikkan upah minimal di sektor industri itu. Upah minimal tersebut
naik lebih tinggi daripada upah institusional OW, ke LH dan KQ. Ini ditunjukkan oleh gerak naik
kurva penawaran buruh dari WT ke H dan Q, pada saat buruh ML dan LK sedikit demi sedikit
pindah ke sektor industri dalam panel (A). Gerakan kurva penawaran buruh WTW1 dari T ke atas
ini adalah “titik balik Lewis”.

Pada tahap III bermula, pekerja pertanian mulai menghasilkan keluaran pertanian sama
dengan upah institusional dan akhirnya tinggal landas dan awal dari pertumbuhan swasembada.
Hal mana ditunjukkan oleh bagian RU dari kurva MPP pada panel B yang lebih tinggi daripada
upah institusional KR (=NW). Akibatnya, buruh KO akan dialihkan dari sektor pertanian ke
sektor industri pada upah nominal yang meningkat melebihi KQ pada panel (A). Hal ini akan
menyedot kelebihan buruh di sektor pertanian yang sepenuhnya menjadi bersifat komersial.
Menurut Fei-Ranis, bahwa pengurusan buruh lebih harus ditafsirkan sebagai gejala pasar daripada
sebagai kelangkaan tenaga kerja dalam arti fisik, ini diperlihatkan dengan kenaikan bidang upah
nyata pada sumber penawaran.
8. Teori Harrod-Domar
Teori Pertumbuhan Harrod Domar merupakan sintesa dari pemikiran klasik dari Keynes
mengenai makna pembentukan modal dalam kegiatan ekonomi. dalam Teori Harrod Domar,
pembentukan modal tidak dipandang sebagai pengeluaran yang akan menambah kemampuan
suatu perekonomian untuk menghasilkan barang dan jasa, tetapi juga akan meningkatkan
permintaan efektif masyarakat (Arsyad, 2015: 83).

Teori Harrod Domar ini mempunyai beberapa asumsi, yaitu: perekonomian dalam
keadaan full employment, perekonomian terdiri dari dua sektor yaitu sektor rumah tangga dan
sektor perusahaan, besarnya tabungan masyarakat proporsional dengan besarnya pendapatan
nasional, kecenderungan menabung (marginal propensity to save) besarnya tetap, demikian juga
antara rasio modal output dan rasio pertambahan modal output adalah tetap (Arsyad, 2014).

Teori Harrod Domar menyatakan bahwa setiap perekonomian dapat menyisihkan


sejumlah proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk mengganti barang-barang modal
(gedung, peralatan, material, dan sebagainya) yang telah rusak. Namun demikian, untuk dapat
meningkatkan laju perekonomian diperlukan pula investasi- investasi baru sebagai tambahan stok
modal. Teori ini memandang bahwa ada hubungan ekonomi antara besarnya stok modal (K) dan
tingkat output (Y), misalkan jika 3 rupiah modal diperlukan untuk menghasilkan kenaikan output
total sebesar 1 rupiah, maka setiap tambahan bersih terhadap stok modal (investasi baru) akan
mengakibatkan kenaikan output total sesuai dengan rasio modal-output tersebut. Oleh karena itu,
konsep ini juga didefinisikan sebagai suatu hubungan antara investasi yang ditanamkan dengan
pendapatan tahunan yang dihasilkan dari investasi tersebut (Arsyad,2016: 85).

Teori ini juga dinyatakan dalam bentuk persamaan matematis yaitu, jika menetapkan
capital output ratio = k, rasio kecenderungan menabung (marginal propensity to save) = s, dan
investasi ditentukan oleh tingkat tabungan, maka dapat disusun model pertumbuhan ekonomi
yang sederhana, sebagai berikut: Tabungan (S) merupakan suatu proporsi (s) dari output total (Y),
oleh karenanya persamaan yang dihasilkan adalah:

S = sY

Investasi (I) dapat didefinisikan sebagai perubahan stok modal dan dilambangkan dengan
∆K, maka:

I = ∆K

Namun, karena stok modal (K) mempunyai hubungan langsung dengan output total (Y),
seperti ditunjukkan oleh capital output ratio atau k, maka:

𝐾 ∆𝐾
𝑌
= 𝑘 𝑎𝑡𝑎𝑢 ∆𝑌
= 𝑘 𝑎𝑡𝑎𝑢 ∆𝐾 = 𝑘∆𝑌
Akhirnya, karena tabungan total (S) harus sama dengan investasi total (I), maka:
S=I

Namun, dari persamaan pertama diatas diketahui bahwa S = sY, dan dari persamaan
selanjutnya diketahui bahwa I = ∆K = k∆Y. oleh karena itu, persamaan identitasnya dapat
dihasilkan sebagai berikut:

S = sY = k∆Y = ∆K = I atau sY = k∆Y

dan akhirnya diperoleh,

∆𝑌 𝑠
𝑌
= 𝑘

∆Y/Y pada persamaan di atas menunjukkan tingkat pertumbuhan output (persentase


perubahan output) (Arsyad, 2014)

Persamaan yang terakhir menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan output (∆Y/Y)


ditentukan secara simultan oleh (s) dan rasio modal output (k). Secara lebih spesifik, persamaan
tersebut menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan output berbanding lurus dengan rasio
tabungan. Artinya semakin tinggi tingkat tabungan dan kemudian tabungan tersebut
diinvestasikan, maka semakin tinggi pula tingkat output yang dihasilkan. Sedangkan hubungan
antara rasio modal output dan tingkat pertumbuhan output adalah negatif. Artinya semakin besar
rasio modal output semakin rendah tingkat pertumbuhan output (Arsyad, 2014).

Logika ekonomi yang terkandung dalam persamaan tersebut di atas sangat sederhana,
jika ingin tumbuh dengan pesat, maka perekonomian haruslah menabung dan menginvestasikan
sejumlah proporsi tertentu dari output totalnya. Semakin banyak menabung dan kemudian
diinvestasikan maka perekonomian akan tumbuh. Teori ini juga menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang nyata sebenarnya tergantung pada produktivitas dari investasi (Arsyad, 2014).

9. Model Distribusi Kaldor


Sejumlah stylized fact dalam gagasan Kaldor meliputi hal-hal sebagai berikut (Sumitro
Djojohadikusumo 1994) :

1. Pertumbuhan continue pada produksi total, O (=Y) dan pada produktivitas tenaga kerja
(hasil produksi tenaga kerja, Y/L)
2. Pertumbuhan continue pada Capital Labour Ratio (K/L), jumlah modal per tenaga kerja.
3. Tingkat laba yang stabil sebagai imbalan jasa bagi peranan modal
4. Capital-Output-Ratio (K=K/Y) adalah konstan dalam kurun waktu yang cukup lama
5. Ada korelasi positif yang tinggi antara laba sebagai bagian proporsional yang stabil
(konstan) dari pendapatan dan investasi sebagai bagian proporsional yang stabil (konstan)
dari produksi (pendapatan). Dalam waktu yang bersangkutan, koefisien investasi (bagian
investasi dalam produksi total) juga konstan.
Model Kaldor mengungkapkan bahwa besarnya laba dan pendapatan nasional (laba
sebagai bagian proporsional dari pendapatan nasional) ditentukan oleh besarnya investasi
(investasi sebagai bagian proporsional dari pendapatan nasional). Dari pada itu besarnya investasi
ditentukan oleh laju pertumbuhan pendapatan dan oleh capital output ratio. Kaitan antara laba dan
investasi didasarkan atas pendapat bahwa tingkat tabungan yang bersumber pada penerimaan laba
(saving rate from profit income) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat tabungan yang
bersumber pada penerimaan upah, yaitu :

Y=W+P
S = sp.P + sw.W Sp P > sw W

Dimana :
Y = pendapatan nasional
W = wage income
P = Profit
Sp P = hasrat menabung dari laba yang diterima
Sw = hasrat menabung dari upah yang diterima.

Menurut Kaldor, tabungan ditentukan oleh investasi, dan bukan sebaliknya, dimana hal
tersebut adalah asas pokok dalam pemikiran Keynes, dan kini oleh Kaldor diterapkan dalam
rangka dinamika pertumbuhan,pemikiran Kaldor sejalan dengan pandangan Neo-Keynes, yaitu
pertumbuhan pendapatan (perkiraan untuk masa datang) yang menentukan investasi yang hendak
dilaksanakan, Kaldor melengkapinya dengan menunjuk pada kaitan antara investasi dan laba, hal
mempengaruhi tingkat tabungan masyarakat secara menyeluruh. Teknologi merupakan faktor
yang bersifat kaki (rigid), bahkan sudah tetap (fixed). Sebab teknologi terkait secara melekat
dengan kapasitas peralatan model (barang barang mesin) yang sudah terpasang. Kaldor
berpendapat bahwa kemajuan teknologi sudah terkanndung secara inhern dalam akumulasi model
fisik, kemajuan teknologi tidak mungkin terjadi tanpa adanya investasi dari kemajuan itu kedalam
modal fisik.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan produktivitas saling berkaitan


dengan proses investasi dalam modal fisik. Laju kemajuan teknologi yang diterapkan dalam
proses produksi tergantung dari laju pertumbuhan investasi :

T = f (K/K)

Laju pertumbuhan investasi ditentukan oleh ekspektasi para entrepreneur mengenai laba
dan resiko. Dengan kata lain, laju pertumbuhan investasi tergantung dari perkiraan entrepreneur
mengenai laju pertumbuhan pendapatan dimasa datang:

I = K/K = f (Y/Y)
Selain hubungan antara perkembangan teknologi dan capital-output-ratio, Kaldor juga
menunjuk pada peran entrepreneur yang dapat membantu untuk meredakan dampak
ketidakstabilan dan penyimpangan dari jalan ekuilibrium

10. People Centered Development


Sejalan dengan konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat, menurut pemikiran
Korten menekankan perkawinan antara delivered development atau topdownstrategy dengan
participatory development. Dengan demikian dalam proses pelaksanaan pembangunan desa tidak
hanya melibatkan mobilisasi sosial, tetapi juga pelimpahan wewenang (devolution of power).
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menciptakan suatu institusi dan pola
kebijaksanaan yang memungkinkan masyarakat mengerjakan dan mengendalikan inisiatif sendiri.

Pemecahannya adalah sebagaimana yang disarankan oleh Korten dan Rud Klaus (1984), yaitu :

1. Perlunya intervensi yang harus terus menerus dilakukan untuk mengembangkan


kemampuan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya yang tersedia secara mandiri.
2. Perlunya pengembanganstruktur-struktur dan proses organisasional yang berfungsi
menurut prinsip-prinsip self organizing system.
3. Pengembangansistem-sistem produksi dan konsumsi yang terorganisir secara teritorial
berdasarkan pemilikan dan penguasaan lokal. (Korten dan Rud Klaus, 1984).
Bertolak dari pemikiran tentang peningkatan kualitas manusia dengan menggunakan
istilah paradigmanya Korten, dan mencoba mengadaptasikannya terhadap masalah menumbuhkan
kemandirian masyarakat dalam pembangunan desa, melalui serangkaian program yang disebut
perencanaan pembangunan sosial (social development planning) yang terpadu di daerah
pedesaan. Program ini mencakup serangkaian kegiatan untuk membangkitkan munculnya
usaha-usaha bersama masyarakat, dan menemukan alternatif terbaik bagi peningkatan taraf hidup
masyarakat desa setempat.

Konsep tersebut muncul dari pemikiran bahwa keterlibatan masyarakat desa dalam
gerakan pembangunan desa, belum mendapat peranan yang seimbang dengan potensi dan
kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian adanya upaya penumbuhan
kemandirian(self-reliance) dapat diartikan, sebagai upaya meningkatkan kemampuan rakyat,
dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alami, untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik secara mandiri. Dukungan bantuan teknis dari luar harus diberi nilai sebagai
stimulans yang bersifat sementara, dan berada dalam jangkauan masyarakat untuk mengenali dan
mendapatkannya.

Oleh karena itu program pembangunan desa merupakan strategi yang berorientasi pada
dua hal pokok :

1. Bahwa pembangunan desa perlu didukung oleh pengenalan teknologi mulai dari yang
sederhana sampai yang lebih canggih.
2. Pembangunan desa agar berorientasi kepada kepentingan masyarakat dengan bertumpu
pada potensi setempat.
Kemudian dalam penerapannya mencakup unsur- unsur pokok sebagai satu kesatuan
muatan yaitu :

1. Menempatkan individu atau kelompok masyarakat sebagai subjek dan objek.


2. Memberikan bimbingan dan penyuluhan.
3. Menyediakan stimulan yang bersifat teknis dan kebendaan.
4. Meningkatkan keterampilan dan produktivitas.

Kesuksesan pembangunan desa dalam menumbuhkan kemandirian rakyat atau lokal,


kiranya perlu diambil langkah-langkah, pertama masyarakat desa itu sendiri perlu melakukan
inventarisasi dan identifikasi serta menganalisis melalui pendekatan sosial budaya, ekonomi dan
teknologi. Keseluruhan faktor yang berpengaruh tersebut dianalisis dengan menggunakan SWOT
(strength, Weakness, Opportunity, and Threat), atau analisa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan
ancaman.

Pendekatan analisis keadaan masyarakat seperti ini diperlukan, agar dapat diketahui
terlebih dahulu kondisi-kondisi dan gejala-gejala sosial ekonomi yang perlu diperhitungkan, yang
dapat berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat
merumuskan secara obyektif permasalahannya dan dapat secara tepat menentukan prasyarat yang
diperlukan, disamping lebih mudah mengamati faktor penghambat dan pendukung terjadinya
perubahan- perubahan sosial (social change).

Banyak model pendekatan dan strategi serta konsep tentang program pembangunan, yang
ditujukan untuk mengatasi kesenjangan di daerah pedesaan, salah satu diantaranya pendekatan
people-oriented development, yang mencoba menempatkan manusia, sebagai makhluk yang
memiliki kreativitas (values creating) yang merencanakan, menentukan dan mengerjakan sesuai
dengan keinginan, kebutuhan, dan kemampuan (potensi) yang mereka miliki, serta mereka
pulalah yang memanfaatkan dan menilai keberhasilan pembangunan desa yang dilaksanakan. Hal
ini tentunya akan memberikan kontribusi kekuatan bagi pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development).

11. Community Empowerment


Menurut beberapa pakar yang terdapat dalam buku Edi Suharto (2011), menggunakan
definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan. Menurut Jim lfe
(2016) dalam membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, pemberdayaan bertujuan untuk
meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Masih dalam buku
tersebut, person mengatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang
menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam mengontrol dan mempengaruhi terhadap
kejadian-kejadian serta lembaga lembaga yang memengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan
menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup
untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya.
Sedangkan menurut Swift dan Levin dalam membangun masyarakat Memberdayakan
Masyarakat, pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui
pengubahan struktur sosial.

Berdasarkan definisi pemberdayaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan
kelompok rentan dan lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami
masalah kemiskinan, sehingga mereka memiliki keberdayaan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya baik secara fisik, ekonomi, maupun sosial seperti: kepercayaan diri, maupun
menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencahariaan, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan
mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupanya. Adapun cara yang ditempuh dalam
melakukan pemberdayaan yaitu dengan memberikan motivasi atau dukungan berupa sumber
daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan bagi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas
mereka, meningkatkan kesadaran tentang potensi yang dimilikinya, kemudian berupaya untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki tersebut.

12. Local Economic Development


Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development) menurut Nel (2001)
dalam Mandisvika [14] adalah pembangunan kawasan yang memanfaatkan partisipasi
masyarakat, keadaan sosial budaya dan ketersediaan sumber daya lokal. Selain itu, peran
pemerintah pusat adalah memberikan dukungan dalam kebijakan atau peraturan terkait,
kemampuan keuangan, dan mempromosikan produk dari daerah.

Fungsi Pembangunan Ekonomi Lokal / Local Economic Development menurut Mayer adalah
mendukung pembangunan yang “pro poor” dan “pro growth”. Secara umum, perspektif
pembangunan “pro-poor” dalam konsep PEL akan mengarah pada penciptaan lapangan kerja dan
jaring pengaman kesejahteraan sosial. Sedangkan perspektif pembangunan “pro-pertumbuhan”
dalam konsep LED difokuskan untuk menciptakan kondisi yang mendukung pertumbuhan
ekonomi
Daftar Pustaka

Arsyad, Lincoln. Ekonomi Pembangunan. Tangerang Selatan, Universitas Terbuka, 2014.

Belkaoui, Ahmed Riahi. A Macro Social Report. 2019.

Boeke, Julius Herman. Economics and Economic Policy of Dual Societies, as Exemplified by Indonesia.

AMS Press, 1978.

Djojohadikusumo, Sumitro. Perkembangan pemikiran ekonomi: dasar teori ekonomi pertumbuhan dan

ekonomi pembangunan. LP3ES, 1994.

Hairani, Yuli. Analisis Fenomena Dualisme Ekonomi: Pengaruh Tingkat Kesempatan Kerja Sektor

Modern terhadap Tingkat Pengangguran di Indonesia Tahun 2004-2013. Politeknik STIS, 2016.

Hirschman, Albert O. Exit, voice, and loyalty. Harvard University Press, 2004.

Hirschman, Albert O. The Strategy of Economic Development. New Heaven, Yale University Press, 1958.

Ife, Jim. Community Development in an Uncertain World: Vision, Analysis and Practice. Cambridge

University Press, 2016.

Jhingan, M. L. EKONOMI PEMBANGUNAN DAN PERENCANAAN. Universitas Lambung Amangkurat,

2012.

Kanth, Rajani K. Paradigms in Economic Development: Classic Perspectives, Critiques and Reflections.

Taylor & Francis Group, 2016.

Ke, Shanzi. “Determinants of Economic Growth and Spread–backwash Effects in Western and Eastern

China.” Asian Economic Journal, vol. 24, no. 2, 2010, pp. 179-202.

Kohli, Inderjit, and Nirvikar Singh. “Exports and growth: Critical minimum effort and diminishing

returns.” Journal of Development Economics, vol. 30, no. 2, 1989, pp. 391-400.

Korten, David C., and Rudi Klauss, editors. People-centered Development: Contributions Toward Theory

and Planning Frameworks. Kumarian Press, 1984.

Leibenstein, Harvey. Economic Backwardness and Economic Growth. New YorK, Wiley, 1957.

Lewis, W. Arthur. Development Planning: The Essentials of Economic Policy. Routledge, 2003.
Liu, Zheyi, et al. “Scaling law reveals unbalanced urban development in China.” Sustainable Cities and

Society, vol. 87, 2022, pp. 104-157.

Lloyd, Peter E., and Peter Dicken. Location in Space: A Theoretical Approach to Economic Geography.

Edited by Peter E. Lloyd, Harper & Row, 1977.

Meier, Gerald M., and Robert Baldwin. Economic Development. Wiley, 1966.

Murphy, Kevin M., et al. “Industrialization and the Big Push.” Journal of Political Economy, vol. 97, no.

5, 1989, pp. 1003-1026.

Myrdal, Gunnar. Economic Theory and Underdeveloped Regions. Harper & Row, 1971.

Nel, Etienne. “Local Economic Development: A Review and Assessment of its Current Status in South

Africa.” Urban Studies, vol. 38, no. 7, pp. 1003-1024.

Nurjihadi, Muhammad, and Arya Hadi Dharmawan. “Lingkaran Setan Kemiskinan Dalam Masyarakat

Pedesaan, Studi Kasus Petani Tembakau Di Kawasan Pedesaan Pulau Lombok.” Sodality: Jurnal

Sosiologi Pedesaan, vol. 4, no. 2, 2016,

https://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/13372/10039.

Nurkse, Ragnar. Problems of Capital Formation of Underdeveloped Countries. Oxford, Basil Blackwell,

1955.

Rahayu, Yenika Sri, and Bahtiar Fitanto. Strategi Perdagangan Pasar Tradisional Menghadapi

Persaingan Dengan Retail Modern dan Preferensi Konsumen. Universitas Brawijaya, 2013.

Rajab, Budi. “Memaknai Kemiskinan: Peran Kelembagaan Dalam Menanggulangi Lingkaran Setan

Kemiskinan.” Jurnal Masyarakat dan Budaya, vol. 8, no. 2, 2006, pp. 43-74.

Rosenstein-Rodan,, Paul N. “Problems of Industrialization of Eastern and South-eastern Europe.” Econ. J,

vol. 53, 1943.

Saliminezhad, Andisheh, and Fatma G. Lisaniler. “Validity of unbalanced growth theory and sectoral

investment priorities in Indonesia: Application of feature ranking methods.” The Journal of

International Trade & Economic Development, vol. 27, no. 5, 2017, pp. 521-540.
Scitovsky, Tibor. “Growth, balanced or unbalanced.” The allocation of economic resources: essays in

honor of Bernard Francis Haley, Stanford University Press, 1959.

Shameem, P. Mohammed. “The Critical Minimum Effort for Energy Poverty Challenge in India.” South

Asian Journal of Social Studies and Economics, vol. 12, no. 4, 2021, pp. 305-313.

Siwu, Hanly Fendy Djohar. “Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi.” Jurnal Pembangunan

dan Keuangan Daerah, vol. 19, no. 3, 2017.

Sobyra, Robert, et al. “Unbalanced growth in the labourscape: explaining regional employment

divergence.” Regional Studies, vol. 56, 1059-1070, p. 2022.

Suharto, Edi. Pekerjaan sosial di indonesia : sejarah dan dinamika perkembangan. Samudra Biru, 2011.

Sukirno, Sadono. Pengantar teori mikroekonomi. RajaGrafindo Persada, 2002.

Todaro, Michael P., and Stephen C. Smith. Economic Development. Addison-Wesley, 2012.

Trani, Jean-Francois, and Mitchell Loeb. “Poverty and disability: A vicious circle? Evidence from

Afghanistan and Zambia.” Journal of International Development, vol. 24, no. 1, 2012, pp. 19-52.

Anda mungkin juga menyukai