Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Fenomena manajemen laba sering terjadi di dunia nyata saat ini dan

menimbulkan masalah serta kerugian yang dirasakan berbagai pihak. Praktik

manajemen laba pernah terjadi di Indonesia seperti pada PT Asuransi Jiwasraya

(AJS), pada kasus PT Asuransi Jiwasraya (AJS) hasil pemeriksaan investigasi

pendahuluan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan bahwa ditemukan

adanya kegiatan rekayasa laporan keuangan pada PT Asuransi Jiwasraya (AJS), hal ini

dibuktikan dengan adanya manipulasi laba sebesar Rp 360,3 miliar pada tahun 2006.

Sejak 2006, laba yang terdapat pada laporan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (AJS)

merupakan laba semu yang muncul akibat adanya rekayasa akuntansi. Ketua BPK Agung

Firman Saputra mengatakan, bahwa pada terdapat opini adverse atau dimodifikasi pada

laporan pembukaan laba AJS.

Pada 2017, BPK menemukan adanya kecurangan dalam pencadangan laba sebesar

Rp 7,7 triliun. Pencadangan tersebut seharusnya PT Asuransi Jiwasraya (AJS) mengalami

kerugian, akan tetapi PT Asuransi Jiwasraya (AJS) melakukan praktik manajemen,

sehingga pada laporan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (AJS) terdapat laba

(cnbcindonesia.com 20 Januari 2023). Selain kasus PT. Asuransi Jiwasraya (AJS) ada

kasus-kasus lain yang juga terjadi diantaranya kasus PT. Kimia Farma pada tahun 2002,

PT. Indofarma pada tahun 2001, dan PT. Invisi Infracom pada tahun 2015.

1
2

Berdasarkan penjelasan beberapa kasus diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

kasus manajemen laba terjadi pada perekonomian di indonesia. Tindakan tersebut

dilakukan agar laporan keuangan perusahaan dapat terlihat baik, sehingga para

stakeholder atau investor tertarik untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut.

Manajemen laba didefinisikan sebagai upaya intervensi dengan tujuan tertentu

oleh manajemen dalam proses penentuan laba biasanya untuk memenuhi tujuannya

sendiri. Manajemen laba sering melibatkan window - dressing atas laporan keuangan

khususnya jumlah laba. Manajemen laba dapat berupa mempercantik laporan keuangan

jika manajer memanipulasi akrual tidak memiliki konsekuensi arus kas. manajemen laba

bisa dilakukan menggunakan dua cara. Pertama mengubah metode akuntansi yang

merupakan bentuk manajemen laba yang terlihat. Kedua mengubah estimasi dan

kebijakan akuntansi yang menentukan angka akuntansi yang merupakan bentuk

manajemen laba yang tersembunyi. Manajemen laba juga dapat menjadi nyata jika

manajer mengambil tindakan terkait dengan konsekuensi arus kas untuk tujuan mengelola

laba (Subramanyam, 2020:117).

Manajemen laba yang dilakukan oleh manajer timbul karena keinginan untuk

meningkatkan kinerja perusahaan dengan laba besar serta adanya masalah keagenan yaitu

konflik kepentingan antara pemilik/pemegang saham (principal) dengan

pengelola/manajemen (agent) akibat tidak bertemunya utilitas maksimal antara mereka

(Nieken dan Nurmala, 2014).

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya manajeman laba di suatu

perusahaan, diantaranya adalah profitabilitas dan leverage. Profitabilitas ialah upaya

entitas dalam mendapatkan laba pada tahun tertentu. Entitas yang mempunyai

profitabilitas di atas rata-rata menampilkan kinerja entitas tersebut telah berjalan dengan
baik serta sanggup menghasilkan laba yang bertambah setiap tahunnya (Agustia &

Suryani, 2018).

Menurut (Asyati & Farida, 2020) profitabilitas dapat menarik perhatian dan minat

para investor untuk berinvestasi di perusahaan tertentu, sehingga dapat memicu manajer

perusahaan untuk selalu berusaha dalam meningkatkan profitabilitas pada setiap

periodenya. Kecenderungan untuk memperhatikan profitabilitas perusahaan menyebabkan

potensi akan tindakan manipulasi laba yang dilakukan manajer perusahaan dapat tercipta

(Hasty & Herawaty, 2017).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi manajemen laba yaitu leverage. Menurut

(Arlita, Bone, et al., 2019) leverage ialah alat yang berguna dalam mengukur perilaku

manajer pada praktik manajemen laba. Leverage adalah rasio yang dapat digunakan pula

untuk melihat dan mengukur seberapa banyak aset yang terdapat pada perusahaan yang

telah dibiayai dengan menggunakan hutang (Agustia & Suryani, 2018), semakin tinggi

tingkat leverage di suatu perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki

jumlah hutang yang besar. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi cenderung

untuk melakukan aktivitas manajemen laba agar dapat meningkatkan kinerjanya dan

memperoleh penilaian yang baik di mata investor, serta bertujuan agar perusahaan tetap

mendapatkan bantuan pinjaman dari kreditor (Kusumawati, 2019). Rasio leverage yang

tinggi akan mengakibatkan perusahaan menghadapi risiko yang lebih tinggi pula, hal ini

menyebabkan para investor menginginkan return atau pengembalian yang semakin besar.

Kondisi tersebut tentunya juga dapat mendorong manajer untuk melakukan aktivitas

manajemen laba sebagai salah satu upaya untuk menghindari pelanggaran perjanjian

hutang kepada kreditur (Arlita, Bone, et al., 2019).

Dalam mengukur leverage dalam penelitian ini penulis menggunakan rumus Debt

to Equity Ratio (DER) menunjukkan hubungan antara jumlah utang jangka panjang
dengan jumlah modal yang dimiliki perusahaan. Rasio ini berguna untuk mengetahui

jumlah dana yang disediakan kreditur dengan pemilik perusahaan.

Dalam mengukur profitabilitas pada penelitian ini juga penulis menggunakan rasio

Return On Assets menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari

tingkat volume usaha tertentu. Return On Assets (ROA) dapat diinterpretasikan sebagai

tingkat efesiensi perusahaan, yaitu sejauh mana perusahaan menekan biaya – biaya yang

ada di perusahaan. ROA juga merupakan tolak ukur kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba dengan total aktiva. Rasio ini menunjukan tingkat efesiensi investasi

yang kelihatan pada efektivitas pengolahan modal sendiri (Sari & Devi, 2018)

Objek dari penelitian ini yaitu menggunakan perusahaan yang terdaftar di BEI sub

sektor rokok. Alasan penulis memilih sub sektor rokok dalam penelitian dikarenakan

rokok menjadi salah satu perusahaan manufaktur andalan yang berkontribusi besar

terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan berkontribusi besar terhadap pendapatan

negara. Hal ini dapat tercermin dari hasil pencapaian kinerjanya dan pergerakan harga

sahamnya selama ini tercatat konsisten dan positif, baik dalam peningkatan produktivitas,

investasi, dan penyerapan tenaga kerja. Industri rokok menjadi salah satu sektor yang

berkontribusi besar terhadap investasi nasional.

Perusahaan rokok termasuk kedalam kategori perusahaan manufaktur sektor

industri barang konsumsi. Sektor industri barang konsumsi di kelompokan menjadi

beberapa sub sektor diantaranya sub sektor rokok, sub sektor makanan dan minuman, sub

sektor farmasi, sub sektor kosmetik dan barang keperluan rumah tangga, dan sub sektor

peralatan rumah tangga. Berikut mengenai data perusahaan manufaktur sektor industri

barang konsumsi pada Tabel 1.1.


Tabel 1. 1
Jumlah Perusahaan Manufaktur Industri Barang Konsumsi
keterangan Jumlah
Sub Sektor Makanan dan Minuman 26
Sub Sektor Rokok 5
Sub Sektor Farmasi 10
Sub Sektor Kosmetik dan Barang Keperluan Rumah Tangga 7
Sub Sektor Peralatan Rumah Tangga 4
Jumlah 52
Sumber: sahamok.Net diolah

Persentase perusahaan manufaktur sektor industri barang konsumsi dengan jumlah

perusahaan 52 perusahaan dapat dilihat dalam Gambar 1.1.

Persentase Perusahaan Manufaktur


Sektor Industri Barang Konsumsi

Sub Sektor Makanan


dan Minuman
13%8%
Sub Sektor Rokok
50%
19%
Sub Sektor Frmasi
10%

Sub Sektor Komestik


dan Barang KRT

Sumber: sahamok.Net (data diolah)

Gambar 1. 1
Persentase Perusahaan Manufaktur Sektor Industri Barang Konsumsi

Berdasarkan Gambar diatas dimana persentase perusahaan manufaktur sub sektor

rokok adalah sebesar 10%, terdapat 5 perusahaan. Sub sektor rokok di Indonesia

merupakan salah satu sektor yang diposisikan sebagai sektor yang diunggulkan yang

menopang industri nasional sehingga berperan penting. Dapat dilihat dalam Gambar 1.2.
Gambar 1. 2
Pertumbuhan Industri Rokok

Berdasarkan data yang didapatkan melalui Badan Pusat Statistik (BPS), produk

domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) industri pengolahan tembakau

atau rokok sebesar Rp21,96 triliun pada kuartal I-2022. Nilai tersebut tumbuh 0,98%

dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy) sebesar Rp21,75

triliun. Meski demikian, pertumbuhan kinerja industri pengolahan tembakau melambat

dibandingkan pada kuartal sebelumnya. Tercatat kenaikan PDB industri pengolahan

tembakau sebesar 6,03% (yoy) pada kuartal IV/2021. Adapun, industri pengolahan

tembakau mengalami pertumbuhan positif sejak kuartal III-2021, setelah terkontraksi

selama lima kuartal berturut-turut. Industri tersebut pun kembali naik ke level

tertingginya sejak awal pandemi Covid-19 sebesar 6,03% (yoy). Hanya saja, pertumbuhan

kinerja industri pengolahan tembakau harus melambat pada Januari-Maret 2022. Kondisi

itu tak lepas dari meningkatnya cukai rokok sebesar 12% pada tahun ini. Adapun, industri

pengolahan tembakau berkontribusi sebesar 3,74% terhadap total PDB industri


pengolahan. Secara nasional, industri pengolahan tembakau menyumbang sebesar 0,78%

terhadap PDB Indonesia.

(Hasty & Herawaty, 2017) menyatakan bahwa profitabilitas, kepemilikan

manejerial, leverage, dan kebijakan dividen mempengaruhi manajemen laba,

(Agustia & Suryani, 2018) menjelaskan bahwa ukuran perusahaan, leverage, umur

perusahaan, dan profitabilitas secara simultan atau bersama-sama berpengaruh signifikan

terhadap manajemen laba.

(Arlita, Bone, et al., 2019) menyatakan bahwa tingkat leverage berpengaruh

negatif terhadap manajemen laba.

Dari penelitian-penelitian terdahulu menghasilkan pendapat yang berbeda

sehingga penulis bermaksud untuk meneliti kembali pengaruh profitabilitas dan leverage

terhadap manajemen laba dengan menggunakan data sampel yang baru. Untuk objek

penelitian penulis mengambil data pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia sub sektor rokok.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH LEVERAGE DAN

PROFITABILITAS TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN

YANG TERDAFTAR DI BEI SUB SEKTOR ROKOK”.


7

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka identifikasi masalah

dalam penelitian ini adalah :

1. Leverage dan Profitabilitas cenderung mengalami peningkatan dan penurunan di

beberapa perusahaan pada periode 2019-2021.

2. Praktik Manajemen Laba tidak dilarang selama itu dalam batasan yang diperbolehkan

oleh prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum, namun kenyatannya masih

banyak manajer yang menyalahgunakan aturan ini agar mendapatkan keuntungan

yang lebih.

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi variabel leverage menggunakan rumus

DER, variabel profitabilitas dengan menggunakan rumus ROA.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah diatas, dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah Leverage berpengaruh terhadap Manajemen Laba ?

2. Apakah Profitabilitas berpengaruh terhadap Manajemen Laba ?

3. Apakah Leverage dan Profitabilitas berpengaruh terhadap manajemen laba secara

simultan ?

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Leverage terhadap Manajemen Laba.

2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Profitabilitas terhadap Manajemen Laba.


8

3. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Leverage dan Profitabilitas terhadap

Manajemen Laba secara simultan.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian penelitian ini adalah

1. Bagi Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian guna melakukan penelitian

selanjutnya terkait Manajemen Laba dan dapat mendukung serta memberikan bukti

empiris terhadap penelitian sebelumnya.

2. Bagi Perusahaan

Penelitian ini memberikan informasi tentang pengaruh leverage dan profitabilitas

dalam upaya manajemen laba apakah berdampak positif atau negatif terhadap

perusahaan. Serta dapat digunakan sebagai evaluasi tentang pentingnya

mengungkapan informasi keuangan secara wajar dan berdasarkan pada metode

akuntansi yang berlaku umum, sehingga tidak merugikan pengguna laporan

keuangan.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi dan bahan informasi dalam melakukan

penelitian selanjutnya terkait manajemen laba dan dapat mendukung serta

memberikan bukti empiris terhadap penelitian sebelumnya.


9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Teori Agensi

2.1.1.1 Pengertian Teori Agensi

Teori Agensi (Agency Theory) Menurut (G. Mayorga et al., 2016) teori

agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent.Principal

memperkerjakan agent untuk melakukan tugas demi kepentingan principal.

Hubungan agensi terjadi ketika salah satu pihak yang bertindak sebagai

pihak yang menyewa pihak lain (principal) untuk melaksanakan suatu jasa

dan dalam melakukan hal itu mendelegasikan wewenang untuk membuat

keputusan kepada pihak yang disewa (agent) tersebut. Dalam lingkup

korporasi atau perusahaan, pemegang saham adalah principal dan CEO

perusahaan adalah sebagai agent. Elemen kunci dalam teori agensi adalah

bahwa principal dan agent memiliki preferensi atau tujuan yang berbeda,

teori agensi mengasumsikan bahwa principal dan agent bertindak untuk

kepentingan mereka masing-masing. Principal diasumsikan hanya tertarik

pada pengembalian keuangan yang diperoleh dari investasi mereka di

perusahaan tersebut. Principal tidak memiliki informasi yang mencukupi

mengenai kinerja agent, principal tidak pernah dapat merasa pasti

bagaimana usaha agent dalam memberikan kontribusi pada hasil aktual

perusahaan. Hal ini akan menyebabkan ketimpangan informasi antara

principal dan agent atau biasa disebut dengan asimetri informasi. Salah satu

bentuk tindakan agen dalam mendahulukan kepentingannya yaitu dengan

melakukan manajemen laba. Agent melakukan manajemen laba agar


10

perusahaan dinilai memiliki kinerja yang baik, dengan demikian maka

kinerja agent sebagai manajemen perusahaan juga akan dinilai baik.

Sedangkan pihak prinsipal menginginkan seluruh informasi perusahaan

sesuai dengan kondisi sebenarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka teori

keagenan dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya manajemen laba

(Pradipta 2019).

2.1.2 Manajemen Laba

2.1.2.1 Pengertian Manajemen Laba

Bagian yang dianggap paling penting dalam suatu laporan keuangan

adalah informasi laba, hal ini dikarenakan informasi laba dipandang dapat

merepresentasikan kinerja dari manajemen selama satu periode akuntansi.

Scott (2015) manajemen laba adalah pilihan yang dilakukan oleh manajer

dalam menentukan kebijakan akuntansi, atau aksi nyata, yang

mempengaruhi laba sehingga mencapai sasaran dengan melaporkan laba

tertentu. Menurut Sulistiawan et.al (2011) dalam Erik (2017) Manajemen

Laba adalah aktifitas badan usaha yang memanfaatkan teknik dan

kebijakan akuntansi guna mendapatkan hasil yang diinginkan.

Manajemen laba mengurangi keandalan dan kredibilitas dari laporan

keuangan dan menimbulkan bias terhadap informasi yang disajikan dalam

laporan keuangan sehingga dapat mengganggu para pengguna laporan

keuangan karena angka yang disajikan merupakan hasil rekayasa

(Sebastian dan Handojo 2020). Pelaksanaan manajemen atau penataan

terhadap komponen laporan keuangan akan membuat transaksi yang

dilakukan oleh perusahaan juga ikut berubah. Perubahan ini akan menjadi

informasi yang menyesatkan bagi pengguna laporan keuangan seperti para

stakeholders (Firnanti 2017). Selain berdampak negatif bagi para pengguna

laporan keuangan, manajemen laba juga dinilai memberikan dampak


11

negatif bagi perusahaan. Manajemen laba mungkin dapat disembunyikan

untuk jangka waktu yang singkat, namun seiring berjalannya waktu

perusahaan yang melakukan manajemen laba dapat mengalami kesulitan

keuangan hingga bankrupt. (Sulisyanto 2008).

Menurut Watts dan Zimmeman (1986) Terdapat tiga hipotesis PAT

(Positive Accounting Theory) yang menjadi dasar pemikiran mengenai

manajemen laba yaitu:

1. Bonus Plan Hypothesis

Hipotesis ini menunjukkan bahwa manajer pada perusahaan yang akan

memberikan bonus, cenderung lebih memilih metode akuntansi yang dapat

menaikkan laba periode satu ke periode berikutnya. Konsep ini memotivasi

manajer untuk mengelola laba. Manajer akan mengelola laba pada laporan

keuangan agar selalu bisa mencapai tingkat kinerja yang memberikan bonus.

2. Debt Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis)

Hipotesis ini menunjukkan bahwa perusahaan yang menghadapi

kesulitan membayar utang akan membuat manajer perusahaan mengelola

laba yang dapat menaikkan laba dan pendapatan, serta cenderung melanggar

perjanjian utang apabila hal tersebut memberikan keuntungan dan manfaat.

Keuntungan tersebut berupa mengelola laba agar kewajiban utang dapat

ditunda untuk periode berikutnya sehingga pihak yang ingin mengetahui

kondisi perusahaan memperoleh informasi yang salah.

3. Political Cost Hypothesis (Size Hypothesis)

Hipotesis ini menunjukkan jika biaya politis semakin besar maka

manajer memilih metode akuntansi yang akan memperkecil laba dengan

menggunakan laba periode sekarang ke laba periode berikutnya. Konsep ini

membahas bahwa manajer perusahaan cenderung melanggar regulasi

pemerintah. Manajer akan mengelola laba agar kewajiban pembayaran tidak

terlalu tinggi sehingga alokasi laba sesuai dengan kemauan perusahaan.


12

2.1.2.2 Motivasi Manajemen Laba

Menurut Sulistyanto (2008) dan Sanjaya (2008), manajemen laba

dilakukan dengan beberapa motivasi sebagai berikut :

a. Motivasi Bonus

Adanya asimetri informasi mengenai keuangan perusahaan

menyebabkan pihak manajemen dapat mengatur laba bersih untuk

memaksimalkan bonus mereka. 

b. Motivasi Kontraktual Lainnya

Semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggan utang, manajemen akan

cenderung memilih prosedur akuntansi yang dapat memindahkan laba

periode mendatang ke periode berjalan, yang bertujuan untuk mengurangi

kemungkinan perusahaan mengalami technical default (kegagalan dalam

pelunasan utang). 

c. Motivasi Politik

Perusahaan besar dan industri yang strategis akan menjadi perusahaan

monopoli. Dalam hal demikian, perusahaan ini akan menggunakan

manajemen laba untuk meningkatkan visibilitasnya dengan cara

menggunakan prosedur akuntansi untuk menurunkan laba yang diperoleh. 

d. Motivasi Pajak

Manajer termotivasi untuk melakukan manajemen laba karena pajak

penghasilan. Praktik manajemen laba dilakukan untuk menurunkan pajak

penghasilan.

e. Perpindahan CEO

Hipotesis rencana bonus menyatakan bahwa manajemen yang akan

diganti akan melakukan manajemen laba untuk memaksimalkan bonus yang

akan diperolehnya. 

f. Motivasi Pasar Modal


13

Motivasi pasar modal muncul karena informasi akuntansi digunakan

secara luas oleh para investor dan analis untuk menilai saham. Dalam hal

demikian, kondisi ini dapat kesempatan bagi manajer untuk memanipulasi

earnings dengan cara mempengaruhi harga saham jangka pendek.

2.1.2.3 Pola Manajemen Laba

Menurut Scoot (2000), pola manajemen laba dapat dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

1. Taking a Bath

Taking a Bath adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara

menjadikan laba perusahaan pada periode berjalan menjadi sangat ekstrim

rendah (bahkan rugi) atau sangat ekstrim tinggi dibandingkan dengan laba

pada periode sebelumnya. Taking a bath terjadi selama periode adanya

tekanan organisasi atau pada saat adanya reorganisasi di perusahaan.

2. Income Minimization

Income minimization adalah pola manajemen laba dengan cara

menjadikan laba pada laporan keuangan menjadi lebih rendah dari pada

laporan laba sesungguhnya. Income minimization dilakukan pada saat

perusahaan mengalami profitabilitas sangat tinggi.

3. Income Maximization

Income maximization adalah pola manajemen laba dengan cara

menjadikan laba pada laporan keuangan menjadi lebih tinggi dari pada

laporan laba sesungguhnya. Income maximization dilakukan dengan

tujuan memperoleh bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan dan

untuk menghindari dari pelanggaran atas kontrak utang jangka panjang.

4. Income smoothing

Income smoothing adalah pola manajemen laba dengan cara membuat

laba akuntansi relative konsisten dari periode ke periode. Dalam hal ini
14

pihak manajemen dengan sengaja meningkatkan atau menurunkan laba

periode tertentu dengan maksud gejolak dalam pelaporan laba, sehingga

perusahaan terlihat stabil.

2.1.2.4 Teknik Manajemen Laba

Teknik manajemen laba menurut Setiawati dan Na‟im (2000) dalam

Ita (2017) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu:

a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi

Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (perkiraan)

terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih,

estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak

berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.

b. Mengubah metode akuntansi

Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu

transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode

depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.

c. Menggeser periode biaya atau pendapatan

Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat

atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai

pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda

pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau

menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva

tetap yang sudah tak dipakai.

2.1.2.5 Jenis-jenis Pengukuran Manajemen Laba

Manajemen laba diproksikan dengan menggunakan discretionary

accruals. Model yang digunakan untuk menghitung discretionary accruals

adalah model modifikasi jones (The Modified Jones Model), yang dihitung
15

dengan cara total accrual (TA) dikurangi dengan non discretionary

accruals (NDA) (Sulistiawan, 2011). Tahap-tahap untuk menghitung

manajemen laba menggunakan Modified Jones Model (MJM) sebagai


16

berikut:

a. Menentukan nilai total akrual (TA) dengan formulasi:

TAit = NIit - CFOit

Keterangan:
TAit = Total akrual perusahaan i dalam periode t. NIit = Laba bersih
perusahaan i pada periode t.
CFOit = Arus kas operasi perusahaan i pada periode t

b. Menentukan nilai parameter α1, α2, dan α3 menggunakan Jones Model

(1991), dengan formulasi:

TAit =α1 + α2∆Revit + α3PPEit + εit

Lalu untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi dengan aset

tahun lalu sebelumnya, sehingga formulasinya berubah menjadi:

TAit/Ait – 1 = α1(1/Ait – 1 ) + α2(∆Revit/Ait – 1 ) + α3(PPEit/Ait – 1) + εit

Keterangan:
TAit = Total akrual perusahaan i dalam periode t.
Ait-1 = Total aset total perusahaan i pada periode t-1.
∆Revit = Perubahan penjualan bersih perusahaan i pada periode t.
PPEit = Property, plant, and equipment perusahaan i pada periode t.
α1, α2, α3 = Parameter yang diperoleh dari persamaan regresi.
εit = Error term perusahaan i pada periode t.

c. Menghitung nilai non discretionary accruals (NDA) dengan formulasi:

NDAit = α1(1/Ait – 1 ) + α2(∆Revit/Ait – 1 - ∆Recit/Ait – 1) + α3(PPEit/ Ait – 1)

Keterangan:
NDAit = Non discretionary accruals perusahaan i pada periode t.
Ait-1 = Total aset total perusahaan i pada periode t-1.
∆Revit = Perubahan penjualan bersih perusahaan i pada periode t.
∆Recit = Perubahan piutang perusahaan i pada periode t.
PPEit = Property, plant, and equipment perusahaan i pada periode t.
α1, α2, α3 = Parameter yang diperoleh dari persamaan regresi.
Nilai parameter α1, α2, dan α3 adalah hasil dari perhitungan pada

langkah ke-2. Isikan semua nilai yang ada dalam formula sehingga nilai
17

NDA bisa didapatkan. Akrual nondiskresioner (nondiscretionary

accrual) adalah akrual yang dapat berubah bukan karena kebijakan atau

pertimbangan pihak manajemen, seperti perubahan piutang yang besar

karena adanya tambahan penjualan yang signifikan (Sulistiawan, 2011).

d. Menentukan nilai discretionary accruals yang merupakan indikator

manajemen laba akrual dengan cara menghitung total akrual dengan non

discretionary accruals, dengan formulasi:

DAit = TAit – NDAit

Keterangan:
DAit = Discretionary accruals perusahaan i pada periode
t. TAit = Total akrual perusahaan i dalam periode t.
NDAit = Non discretionary accruals perusahaan i pada periode t.

Akrual diskresioner (discretionary accrual) adalah akurual yang dapat

berubah sesuai dengan kebijakan manajemen, seperti pertimbangan

tentang penurunan umur ekonomis aset tetap atau pertimbangan

pemilihan metode depresiasi (Sulistiawan, 2011).

2.1.3 Leverage

2.1.3.1 Pengertian Leverage

Leverage adalah salah satu rasio keuangan yang menggambarkan

hubungan antara hutang perusahaan terhadap modal maupun aset

perusahaan. Pada peraturan perpajakan, bunga pinjaman merupakan

komponen dari deductible expense dan bisa di biayakan atau menjadi

pengurang penghasilan kena pajak, Surbakti (2012). Manajemen perusahaan

harus dapat mengatur hutang dalam perusahaan yang tujuannya agar

menguntungkan dan menghindari kerugian akibat timbulnya hutang. Hutang

dalam perusahaan dapat dihitung dengan menggunakan rasio leverage atau


18

tingkat hutang dalam perusahaan. Rasio hutang dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Rasio hutang

Rasio hutang merupakan gambaran dari total aset yang dimiliki oleh

perusahaan yang dibiayai oleh hutang.

b) Rasio pengganda hutang

Rasio ini menggambarkan bagaimana menghitung hutang dengan melihat

perbandingan dari aset dan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan. Ketika

aset perusahaan tidak bertambah tetapi jumlah ekuitas menurun, maka

dapat disimpulkan bahwa adanya penambahan hutang untuk

menyeimbangkan antara kepemilikan aset yang ada dan ekuitas yang

tersedia di perusahaan.

Leverage pada perusahaan ada dua macam, yaitu operating leverage dan

financial leverage (Martono dan Harjito, 2010). Operating leverage

didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan dalam menggunakan biaya

operasi tetap untuk memperbesar pengaruh dari perubahan volume

penjualan terhadap Earning Before Income Tax (EBIT).

Financial leverage merupakan proksi yang digunakan untuk menangkap

keputusan pendanaan perusahaan. Financial leverage diukur dengan

persentase dari total hutang terhadap ekuitas perusahaan pada suatu

periode yang disebut juga Debt to Equity Ratio (DER). DER

mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh

kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang

digunakan untuk membayar hutang. Selain itu DER juga dapat

memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki


19

perusahaan. Jika rasio ini semakin besar, maka dapat dijelaskan bahwa

struktur modal yang paling besar berasal dari komposisi hutang.

Anda mungkin juga menyukai