Anda di halaman 1dari 14

.OPEN ACCESS.

Jurnal Pengembangan Kota (2019)


LEGALITAS DAN PRAKTEK PERENCANAAN TATA Volume 7 No. 2 (147–160)
RUANG INDUSTRI SHIPYARD PADA SEMPADAN Tersedia online di:
http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jpk
PANTAI DI SAGULUNG, BATAM DOI: 10.14710/jpk.7.2.147-160

Agung Adji Santosa Suryahusada*, Holi Bina Wijaya


Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro

Abstrak. Legalitas lahan mencakup kesesuaian lahan dengan rencana tata ruang, terdapatnya IMB dan regulasi yang
sah. Penelitian ini bertujuan mengetahui legalitas industri galangan kapal pada sempadan pantai dan bagaimana
praktek perencanaan pembangunan tata ruang yang sebenarnya terjadi di Sagulung. Penelitian ini menggunakan
pendekatan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan kajian dokumen. Wawancara
dilakukan dengan teknik Purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa legalitas industri dapat berubah
sesuai dengan rezim politis dan pelaksanaan rencana tata ruang pada kenyataannya tidak sederhana. Praktek
perencanaan tata ruang di Batam sangat dipengaruhi oleh rezim politis yang terjadi pada masa itu. Pada periode 1991-
2007 (Orde Baru) tidak ada pihak yang mengkoordinasi terkait tumpang tindih aturan tata ruang. Tindakan koordinasi
dilakukan ketika rezim Demokrasi (2008-sekarang) Hal ini ditunjukkan dengan tindakan paduserasi oleh Tim
Paduserasi yang bekerjasama dengan stakeholder tingkat daerah hingga pusat.

Kata Kunci : Legalitas Lahan; Overlapping; dan Praktek Perencanaan Tata Ruang

[Title: Legality and Practice Of Shipyard Industrial Spatial Planning on the Coastal line Border in Sagulung Districts,
Batam City]. Land legality includes land suitability with spatial planning, must have a building permit and regulations.
This study aims to determine the legality of the shipyard industry on the coast border and how the development
spatial planning practices actually in Sagulung. This research uses a qualitative method approach. Data collection has
done to interview and document review. Interviews were conducted with purposive sampling technique. The results
show that the legality of the industry can change according political regimes and the implementation of spatial
planning was not simple. The practice of spatial planning in Batam was strongly influenced by the political regime that
occurred at that time. In the 1991-2007 period (New Order), there were no coordinating parties related to overlapping
spatial rules. The coordinating action was carried out during the Democratic regime (2008-present). This was indicated
by the actions of spatial integration by the spatial integration Team in collaboration with local and national level
stakeholders.

Keyword: Land Legality; Overlapping; and Spatial Planning Practise

Cara Mengutip: Suryahusada, A. A. S., & Wijaya, H. B. (2019). Legalitas dan Praktek Perencanaan Tata Ruang Industri
Shipyard pada Sempadan Pantai di Sagulung, Batam. Jurnal Pengembangan Kota. Vol 7(2): 147-160. DOI:
10.14710/jpk.7.2.147-160

1. PENDAHULUAN banyak industri shipyard terletak di Sagulung


(PERPRES No.87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Wilayah perkotaan yang terletak di wilayah pesisir Ruang Batam, Bintan dan Karimun). Tata ruang
merupakan keuntungan tersendiri agar dapat industri shipyard Batam berpedoman pada
dioptimalkan dan dikembangkan. Salah satunya KEPPRES No.41 tahun 1973. Dalam
ialah pesisir Kota Batam. Industri di Batam
ISSN 2337-7062 © 2019
memiliki prosentase terbesar dalam peningkatan This is an open access article under the CC-BY-NC-ND license
struktur ekonomi di tahun 2018 yaitu 54,22% (BPS (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/). – lihat
Kota Batam, 2019). Jenis industri yang berada di halaman depan © 2019
wilayah pesisir Batam dan memiliki lahan paling
*Email daroeadji@gmail.com
luas adalah industri shipyard/galangan kapal yaitu
sebesar 52%. Wilayah pesisir Batam yang memiliki Diterima 30 September 2019, disetujui 29 November 2019
perkembangannya, peruntukan industri galangan menjadi : (1) Perencanaan tradisional erat
kapal mengalami overlapping dengan peruntukan kaitannya dengan teori politik teknokratik ; (2)
sempadan pantai yang diklasifikasikan Perencanaan Demokratis erat kaitannya dengan
Kementerian Kehutanan sebagai area Hutan teori politik demokrasi ; (3) Perencanaan Ekuiti
Lindung (HL) pantai sejak dikeluarkan SK Menhut erat kaitannya dengan teori politik Sosialis ; (4)
tahun 1987. Dalam peraturan lainnya, industri Perencanaan Inkremental erat kaitannya dengan
galangan kapal juga overlapping dengan area teori politik liberal.
sempadan pantai yang ditetapkan pada seluruh Adanya penggunaan lahan untuk industri galangan
pantai Pulau Batam (pasal 54 ayat (2) PERPRES kapal di kawasan sempadan pantai yang notabene
Tata Ruang Batam Bintan Karimun). Selain itu, merupakan kawasan perlindungan setempat,
aturan lain menjelaskan bahwa sempadan terdapatnya ketidaksesuaian antara tata ruang
merupakan kawasan perlindungan setempat kehutanan Batam oleh Kementerian Kehutanan
dengan lebar 100 m dari titik pasang tertinggi ke dengan tata ruang Batam oleh Otorita Batam serta
arah darat (Pasal 5 Kepres no.32 tahun 1990 terdapatnya ketidaksesuaian industri galangan
tentang kawasan lindung). Tumpang tindih atau kapal yang telah terbangun dengan tata ruang
ketidaksesuaian tata ruang Otorita Batam dengan kehutanan di Batam sangat menarik untuk dikaji
Kementerian Kehutanan ditandai dengan klasifikasi dan bila tidak ditinjau lebih lanjut dikhawatirkan
HL/B4 pada peta PERPRES No.87 Tahun 2011 dapat mengganggu iklim investasi di Batam
tentang RTR Batam Bintan Karimun di Kecamatan
Sagulung yang berstatus hutan lindung yang 2. METODE PENELITIAN
memiliki Dampak Penting Cakupan Luas Strategis
(DPCLS). Kajian ini untuk mengetahui bagaimana Metode penelitian ini adalah kualitatif. Desain
legalitas yang terjadi serta bagaimana praktek penelitian kualitatif bersifat fleksibel, luwes dan
perencanaan pembangunan tata ruang industri terbuka bagi kemungkinan terjadinya perubahan
shipyard yang sebenarnya terjadi di Sagulung, dan penyesuaian ketika penelitian sedang berjalan
Batam. (Bungin, 2005). Metode kualitatif itu sendiri dapat
Legalitas lahan memiliki banyak pengertian dan dimaknai hal-hal yang berkaitan dengan aspek
pernah dikaji pada beberapa peneliti sebelumnya, kualitas, nilai atau makna yang terdapat didalam
diantaranya: Amiany (2017 ) menjelaskan legalitas suatu peristiwa/fakta yang dijelaskan melalui kata-
sebagai kesesuaian dengan rencana tata ruang. kata atau bahasa sehingga berimplikasi pada teknik
(Nasriaty, 2016) menjelaskan legalitas suatu pengumpulan data dan teknik analisis yang
bangunan dapat diperoleh melalui IMB. Amanullah digunakan (Gunawan, 2013). Adapun teknik
and Haryanto (2017) menjelaskan dalam jurnal pengumpulan data yang digunakan adalah
penelitiannya mengenai 3 kriteria yang wawancara dan kajian dokumen. Gunawan (2013)
berpengaruh dalam aspek legalitas pengembangan juga menjelaskan dalam pengumpulan data, teknik
properti yaitu: peruntukan kawasan, kepemilikan yang digunakan dapat disesuai dengan
lahan dan regulasi hunian vertikal. Dengan perkembangan penelitian. Hal ini berimpilikasi
demikian variabel yang digunakan ialah kesesuaian pada teknik pengumpulan data yang dilakukan
peruntukan kawasan dengan tata ruang, adanya dimana wawancara menjadi sumber pengumpulan
kelengkapan perijinan terutama IMB dan adanya data primer lalu kajian dokumen menjadi
regulasi yang sah. pelengkapnya. Terkadang dalam beberapa situasi,
Adapun praktek perencanaan pembangunan tata kajian dokumen menjadi rujukan utama lalu
ruang industri dilihat dari membandingkan hasi dilengkapi oleh wawancara. Wawancara yang
temuan lapangan dengan pendekatan teori dilakukan menggunakan purposive sampling yaitu
perencanaan. Rustiadi, Saefulhakim, and Panuju mengambil narasumber yang ahli dalam bidang
(2011) mengatakan secara umum perencanaan kebijakan penataan ruang kawasan Batam,
diklasifikasikan menjadi perencanaan inkremental, perizinan pembangunan kawasan, terdiri dari
adaptif, rasional dan partisipatif. Fainstein dan instansi BP Batam (bidang Tata Guna Lahan, Tata
Fainstein dalam (Campbell & Fainstein, 1996) pada Bangunan, Pengelolaan lahan, Evaluasi Lahan),
buku Reading in Plannning Theory membagi
pendekatan perencanaan berdasarkan teori politik

148 A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160


MKO Batam (BAPPEDA, Dinas Cipta Karya Tata “.... Hmmmmmm........ Ngga ada karena apa kita
Ruang dan PTSP Penanaman Modal), BPN serta memberi ijin awalnya kok bukan dia ujug ujug
pakar hukum pertanahan. Kajian dokumen yang bangun nggak ada, kita yang memberikan ijin sesuai
dilakukan ialah menelaah jurnal berkaitan tata ruang. Jadi di Batam udah rapihlah karena dia
sudah sesuai RTRW, masterplan sebelumnya.”
penyelesaian masalah hukum pertanahan di
(A3.W/IP-4.27/419/11) – BP Batam, Perencanaan
Batam, peraturan-peraturan mengenai tata ruang Teknik bidang Tata Guna Lahan.
Batam, kehutanan dan kawasan lindung serta
buku-buku pembangunan Batam seperti buku
Masterplan Otorita Batam. Teknik analisis yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif dan
deskriptif komparatif. Penjelasan setiap analisis
dilakukan berdasarkan periode tahun 1991-1998,
1999-2007 dan 2008 hingga sekarang.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Kesesuaian Penggunaan lahan industri


galangan kapal dengan Rencana Tata Ruang dan
Perizinan galangan kapal

Amiany (2017 ), Amanullah and Haryanto (2017)


menyatakan bahwa salah satu aspek legalitas ialah
kesesuain peruntukan kawasan. Adapun
kesesuaian lahan yang dibahas dalam bagian ini
terdiri dari kesesuaian lahan industri dengan
masterplan Otorita Batam dan tata ruang hutan Gambar 1. Peta Periodesasi Industri Shipyard di
Kementerian Kehutanan. Sagulung Batam
Sumber: BP Batam, 2019

3.1.1. Kesesuaian penggunaan lahan industri


dengan tata ruang/Masterplan Batam oleh
Otorita Batam

Jika melihat sejarahnya, industri galangan kapal di


Sagulung sudah direncanakan pada Evaluasi
Masterplan Batam tahun 1991 (Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam &
LEMTEK FT UI, 1991). Berdasarkan hasil wawancara
dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam)
selaku Otoritas pemegang lahan di Pulau Batam
menyatakan bahwa seluruh perusahaan industri
galangan kapal di Batam sudah sesuai dengan
kebijakan dan tata ruang yang telah direncanakan
oleh Otorita Batam (Sekarang BP Batam). Hal ini Gambar 2. Peta Periodesasi Industri Shipyard di
dapat dilihat pada hasil wawancara berikut ini: Sagulung Batam
Sumber: Analisis Pribadi, 2019

A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160 149


Gambar 3. Peta Rencana Tata Ruang di Sagulung Batam
Sumber: PERPRES No.87 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Batam Bintan Karimun

3.1.2. Kesesuaian penggunaan lahan industri yaitu: SK No.463 Tahun 2013, SK No.867 Tahun
dengan tata ruang oleh Kementerian Kehutanan 2014, SK No.76 Tahun 2015 dan SK 272 tahun
2018. Dalam rentang tahun 1991-2007 industri
tidak sesuai dengan tata ruang hutan kemudian
Kawasan sempadan pantai di Batam
di tahun 2013 keluar SK dimana daerah Hutan
diklasifikasikan pengaturannya pertama kali oleh
Lindung yang telah dibangun ditetapkan
Kementerian Kehutanan sebagai kawasan Hutan
sebagai lokasi perubahan peruntukan yang
Lindung pantai/Mangrove (SK Menteri Kehutanan
berdampak penting dan cakupan yang luas
No. 47/Kpts-II/1987). Dalam pembahasannya
serta bernilai strategis (DPCLS) yang
dibagi menjadi 3 periode antara lain:
memerlukan persetujuan DPR RI dalam hal
- Pertama dan Kedua, periode 1991-1998 dan
perubahan peruntukannya. Dengan demikian
1999-2007. Kedua periode ini tata ruang
hingga tahun 2013 masih terdapat
kehutanan mengacu pada SK Kehutanan tahun
ketidaksesuaian pemanfaatan lahan industri
1987. Bila dibandingkan antara kondisi eksisting
dengan pengaturan tata ruang kehutanan. Di
industri tahun 1991 dengan peta penunjukan
tahun 2014, muncul SK baru dimana isinya
kawasan hutan di Batam tahun 1987 maka
industri shipyard yang berada pada lokasi
semua perusahaan tidak sesuai dengan tata
DPCLS telah disetujui perubahannya oleh DPR
ruang hutan.
RI (Lihat Gambar 4) sehingga di tahun 2014, 18
- Ketiga, periode 2008-sekarang.
industri galangan kapal sudah sesuai dengan
Pada periode ini terdapat 4 pengaturan
tata ruang
kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan,

150 A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160


Gambar 4. Peta Tata Ruang Kehutanan oleh Gambar 5. Peta Kesesuaian Industri Shipyard eksisting
Kementerian Kehutanan sejak tahun 1987 hingga dengan Tata Ruang Kehutanan di Sagulung Batam
sekarang Sumber: Analisis Pribadi, 2019
Sumber: Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan Wilayah XII
Tanjungpinang, 2019

Kementerian Kehutanan. Namun, terdapat 2 3.2. Harmonisasi Peraturan terkait Alokasi Ruang
perusahaan yang tidak sesuai (karena masih Industri Galangan Kapal pada Sempadan Pantai
berstatus Hutan Lindung dan belum diubah
peruntukannya oleh DPR RI) yaitu: PT.Bintan Penyelesaian disharmonisasi peraturan dalam
Shipping Bioteknik dan PT. Delta Shipyard. Kondisi bagian ini untuk menjawab variabel ‘terdapatnya
ini masih terus berlanjut hingga sekarang (Lihat regulasi yang sah’ dalam aspek legalitas.
Gambar 5). Susetio (2013) menjelaskan ada 3 cara solusi
disharmonisasi, yaitu :
3.1.3. Perizinan Industri Galangan Kapal a. Mengubah pasal tertentu yang mengalami
disharmonisasi oleh instansi yang berwenang
Nasriaty (2016) menjelaskan legalitas lahan dapat b. Mengajukan permohonan uji materiil kepada
diketahui apabila terdapat Ijin Mendirikan lembaga yudikatif
Bangunan (Ramadhiani). Iskandar (2016) c. Menerapkan asas hukum, seperti :
menambahkan bahwa dengan IMB juga dapat - lex superior derogat legi inferiori, yaitu
meningkatkan PAD daerah. Berdasarkan hasil peraturan yang lebih tinggi
wawancara yang telah dilakukan kepada Dinas mengesampingkan peraturan yang lebih
Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Batam, BPN rendah
Kota Batam serta BP Batam, bahwa seluruh - Lex spesialis derogat legi generalis, yaitu
perusahaan industri galangan kapal di Batam telah aturan hukum yang khusus
mentaati seluruh aturan dan telah ber-IMB mengesampingkan aturan hukum yang
Permohonan izin mendapatkan lahan di Batam umum
sangat ketat pengaturannya dimana harus melalui - Lex Posterior derogat legi priori, yaitu aturan
BP Batam hukum baru mengesampingkan aturan
hukum yang lama
“Semua perbuatan hukum diatas hak pengelolaan Hasyimzoem (2017) menambahkan menggunakan
harus ada ijin dari hak pengelolaan lahan, dalam hal asas non retoractive, yaitu peraturan perundang-
ini adalah BP Batam....” (A1.W/IP-6.5/96/3) – BPN, undangan tidak berlaku surut
Seksi hubungan hukum pertanahan

A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160 151


3.2.1. Harmonisasi aturan tentang industri berada menyalahi konstruksi hukum yang ada.
pada sempadan pantai berdasarkan kewenangan Aturannya HPL Otorita Batam yang telah lahir
kehutanan dahulu berdasarkan KEPPRES No.41 Tahun 1973
tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak
Ketidakharmonisan pengaturan tata ruang ini boleh dilangkahi oleh peraturan perundang-
disebabkan oleh kedua institusi (Otorita Batam dan undangan yang tingkatannya lebih rendah
Kementerian Kehutanan) berpegang pada seperti SK Menhut No.47/Kpts-II/1987 tentang
pedomannya masing-masing. Dimana Otorita Penunjukan Kawasan Hutan Pulau Batam.
Batam berpegang pada KEPPRES 1973 dan
Kementerian Kehutanan berpegang pada SK “.. Gitu yang terjadi nah sudah orang ribut, hutanlah
Menhut 1987. Salah satu cara yang tepat untuk apalah, seolah olah hutan itu menjadi sesuatu yang
diterapkan pada kasus ini yaitu menerapkan asas memangsa sesuatu yang sudah eksis sesuatu yang
hukum Lex superior derogat legi inferiori dimana sudah legal dari sebelumnya dimangsa oleh hutan.
Persoalannya lagi kata orang hukum, wong KEPRES
pengertiannya adalah Peraturan perundang-
kok ditabrak dengan keputusan menteri, lho yang
undangan yang tingkatannya lebih tinggi lebih tinggi itu menteri atau presiden? Kok aneh gitu
mengesampingkan peraturan perundang- satu. Yang kedua waktunya, wong tahun 70 an
undangan yang tingkatannya lebih rendah. Dengan sudah diputuskan jadi apa kok, dia tubruk tahun 80
demikian KEPPRES No.41 Tahun 1973 dijadikan jadi hutan. Kan aneh. Gitu Kan tapi terus ke
sebagai asas Lex Superiori derogate legi Inferiori sektoralan itu ada”. (B3.W/IP-2.1/340/ 50) – BP
Adapun kronologis ketidakharmonisan antara Batam, Perencanaan Teknik bidang Tata Guna
peraturan tata ruang Batam/Masterplan Batam Lahan
oleh Otorita Batam dengan tata ruang hutan di
Batam oleh Kementerian Kehutanan dapat - Periode 2008-sekarang
dijelaskan berikut ini: Pada periode ini peruntukan industri galangan
kapal yang dialokasikan BP Batam didasarkan
- Periode 1991-1998 dan 1999-2007 pada RTRW Kota Batam 2004-2014 dan RTR
Winata (2015) dalam jurnalnya menjelaskan BBK (Batam Bintan Karimun) PERPRES No.87
bahwa SK Menhut No.47/Kpts-II/1987 yang Tahun 2011. Hal ini tak terlepas dari historikal
terbit belakangan telah menindih Hak sejarah peruntukan industri dari masterplan
Pengelolaan Otorita Batam. Penindihan ini sebelumnya. Namun disisi lain (aturan
terjadi karena pihak Otorita Batam setelah kehutanan SK Menhut tahun 1987) kawasan
mendapatkan Hak Pengelolaan hingga tahun tersebut merupakan kawasan Hutan Lindung
1986, seluruh tanah di Pulau Batam belum Pantai. Perbedaan ini terjadi karena masing-
semuanya didaftarkan ke Badan Pertanahan masing pihak bersandar pada ketentuannya
Nasional dan diterbitkan sertifikatnya. Padahal masing-masing sebelum dilakukan harmonisasi.
dalam aturannya pada Keputusan Menteri Dimana dari sektor kehutanan berjalan sesuai
Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang bidangnya, disisi lain pihak Otorita Batam
Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah (sekarang BP Batam) selaku pihak yang diberi
Industri Pulau Batam disejelaskan bahwa kewenangan penuh oleh Pemerintah RI sejak
ketentuan HPL yang diberikan kepada Otorita zaman orde baru hingga sekarang untuk
Batam digunakan untuk kepentingan Otorita merencanakan dan mengelola Pulau Batam
Batam terhitung sejak didaftarkan pada kantor sebagai daerah industri juga berjalan pada
Sub Direktorat Agraria setempat (sekarang koridornya. Implikasinya dalam tata ruang
BPN). Dari peristiwa tersebut terjadilah PERPRES BBK Tahun 2011 terdapat
tumpang tindih lahan HPL Otorita Batam nomenklatur HL/B4 atau area DPCLS (Dampak
(berdasarkan KEPPRES No.41 Tahun 1973) dan Penting Cakupan Luas Strategis). Munculnya
Hak menguasai negara berupa hutan (SK HL/B4 juga dikarenakan pengaturan urusan
Menhut No.47/Kpts-II/1987) di wilayah Pulau Hutan Lindung di Batam yang tak kunjung
Batam khususnya Kecamatan Sagulung. juga selesai ditetapkan hingga menjelang tahun
menjelaskan bahwa persoalan penetapan 2011 (penetapan PERPRES BBK), padahal
kawasan hutan di atas HPL Otorita Batam telah penetapan PERPRES Tata Ruang BBK sangat

152 A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160


genting untuk dilaksanakan sehingga muncul berdasarkan aturan yang telah dijelaskan telah
HL/B4 menimpa masterplan yang telah direncanakan oleh
Otorita Batam sejak tahun 1972 hingga 2011.
“.... katakanlah situ HL/B1 artinya gini cara Penyelesaian dari ketidakharmonisan ini sebagai
mbacanya secara tata ruang itu sebenarnya B1. berikut :
B1 itu perumahan ya? Iya. Sebenarnya secara
tata ruang itu B1 darimana B1? Itu dari urutan - Pertama, menggunakan asas Lex Spesialis
masterplan tadi 70 an , 2004, kemudian sampai
Derogate Legi Generalis bermakna aturan
diadop RaPerpres itu sebenarnya udah B1 pada
zaman itu udah B1 tapi disini kena suntik disini
hukum yang khusus akan mengesampingkan
kena sektoral. Sekotral ini kalau status tata aturan hukum yang umum. Dengan ini,
ruangnya itu status tertinggi itu apa sih? HL KEPPRES No.41 tahun 1973 sebagai pijakan
(Hutan Lindung) makanya ditaruh didepan jadi Otorita Batam yang berpedoman pada UU. No.5
sebenarnya secara normative ini sebenarnya Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
sudah B1 dari tahun sekiaaan tapi masih terkena Pokok Agraria dapat dijadikan Lex Spesialis
HL didepannya artinya HL nya bereskan dulu Derogate legi Generalis
secara ketentuan kehutanan mereka punya SOP
gitu loh bacanya” (B4.W/IP-2.1/380/ 53) – BP - Kedua, menggunakan asas umum peraturan
Batam, bidang Evaluasi Lahan
perundang-undangan non retroactive yaitu
peraturan perundang-undangan tidak berlaku
Di Tahun 2013, Kemenhut menerbitkan SK baru
surut. Asas ini diterapkan pada KEPPRES No.41
yaitu SK No.463/Menhut-II/2013 terkait
Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau
pengaturan hutan di Prov. Kepri khususnya Pulau
Batam sehingga dengan adanya KEPPRES No.41
Batam. SK tersebut memperjelas peruntukannya
Tahun 1973 terdapat pengaturan khusus
yang merupakan zona telah didirikan bangunan
pertanahan di Batam dan peraturan yang baru
(Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau
terbit (Undang-Undang pesisir tahun 2007,
Batam & LEMTEK FT UI) diatas kawasan Hutan
KEPPRES Kawasan Lindung tahun 1990, dan PP
Lindung berdasarkan SK tahun 1987 maka
Tata Ruang Wilayah Nasional) tidak
direkomendasikan untuk dirubah peruntukannya
menyurutkan peraturan lama yang telah dibuat
dari Hutan Lindung menjadi kawasan bukan hutan.
(KEPPRES Daerah Industri Pulau Batam tahun
Namun perubahan fungsi tersebut harus
1973), apalagi berdasarkan peraturan yang
mendapat persetujuan DPR RI bukan Menteri
lama telah terdapat berbagai macam perizinan
Kehutanan. Di tahun 2014, Kementerian
pembangunan yang sah dan terdapat berbagai
Kehutanan mengeluarkan SK No.867/Menhut-
macam bangunan industri galangan kapal yang
II/2014. SK ini adalah hasil dari persetujuan DPR RI
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
untuk merubah kawasan hutan sehingga wilayah
masyarakat, daerah Batam dan Prov. Kepulauan
yang dulunya hutan kini di tahun 2014 telah
Riau serta Indonesia pada umumnya.
menjadi bukan hutan. (Lihat Gambar 2)
“........Itulah yang menjadi otoritas daripada
3.2.2. Harmonisasi aturan tentang industri berada
Otorita Batam pada waktu dulu jadi Otorita Batam
pada sempadan pantai berdasarkan bukan dulu kewenangannya itu luas sehingga sekarang
kewenangan kehutanan itu setelah diatur dengan aturan perundang-
undangan zona pantai pesisir keliatan ini
Berdasarkan kewenangan bukan kehutanan bertentangan. Tapi kan kewenangan otorita itu
pengaturan sempadan pantai dapat dijumpai pada kan sudah terlebih dahulu diberikan undang-
UU No.27 Tahun 2007, PP No.26 tahun 2008 dan undang itu kan tidak bisa berlaku surut, undang-
KEPPRES No.32 tahun 1990. Dimana dalam aturan undang tentang zonasi atau pesisir itu kan baru
tersebut sempadan pantai merupakan kawasan 2007 sedangkan ini kan sejak tahun 1973 memang
perlindungan setempat dan daratan sepanjang sudah dibikin itu shipyard. Jadi aturan itu
menyatakan ya harus menyesuaikan diri tapi itu
tepian yang lebarnya proporsional minimal 100 m
tidak menjadi batal tapi mungkin nanti
dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Dengan kedepannya ada penyesuaian-penyesuaian lah
demikian peruntukan sempadan pantai disitulah harmonisasinya tapi itu jelas eee perlu
A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160 153
ada tindakan pengharmonisasian regulasi kedepan Itulah solusinya karena pemerintahan tidak boleh
tanpa membatalkan tindakan-tindakan berhenti, harusnya berjalan terusss kira-kira
pemerintahan yang sudah dilakukan sebelumnya begitu” (C1.W/P-1.7/210/ 91) – Pakar Hukum
yah sehingga tidak merugikan para investor yang Pertanahan di Batam, Bapak Ampuan Situmeang,
udah menanamkan modalnya tetapi kedepannya SH, MH.
itu diurus untuk selaras dengan kewenangan-
kewenangan daripada pemberi izinnya yang lama.

Gambar 6. Pemetaan Penyelesaian Ketidakharmonisan peruntukan industri berdasarkan bukan kewenangan


kehutanan
Sumber: Analisis, 2019

154 A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160


- Ketiga menggunakan aturan penjelas rinci dari pertanian; (5) perikanan; (6) industri; dan (7) dok
peraturan yang bersifat umum, yaitu PERPRES dan galangan kapal.”
No.87 tahun 2011 tentang RTR Batam Bintan
Karimun (pasal 54 ayat 2 huruf a). Dalam Berkaitan hal tersebut, industri galangan kapal di
PERPRES tersebut menjelaskan bahwa “Zona L2 Sagulung Batam dalam pembagian wilayah kerja
(Sempadan pantai) ditetapkan di sepanjang operasional pelabuhan Batam berdasarkan SK
pantai Pulau Batam”. Penjelasan dalam pasal Kepala Kantor Pelabuhan Batam
tersebut masih bersifat umum, adapun arahan No.07/KPTS/PL/12/2008 masuk dalam wilayah
zonasi sempadan pantai dapat dijelaskan dalam kerja operasional pelabuhan sektor Sekupang,
PERPRES No.87 Tahun 2011 pasal 96 huruf (a). khususnya Terminal khusus Industri Maritim Sektor
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa 5 Sekupang dan Terminal khusus Industri Maritim
“Kegiatan yang diperbolehkan di sempadan Sektor 6 Sekupang.
pantai ialah kegiatan rekreasi pantai,
pengamanan pesisir, kegiatan nelayan, 3.3. Praktek Perencanaan Pembangunan Tata
kegiatan pelabuhan, landing point kabel Ruang Industri Galangan Kapal Sagulung
dan/atau pipa bawah laut, kegiatan
pengendalian kualitas perairan, konservasi Praktek perencanaan yang dibahas adalah
lingkungan pesisir, pengembangan struktur membandingkan fakta-fakta perencanaan yang
alami dan struktur buatan pencegah abrasi terjadi dengan teori perencanaan yang ada yaitu
pada sempadan pantai, kegiatan pengamanan teori perencanaan secara umum yang diambil dari
cuaca dan iklim, kepentinfan pertahanan dan (Rustiadi et al., 2011) dan teori perencanaan
keamanan negara, kegiatan penentuan lokasi berdasarkan sistem politik oleh Fainstein dan
dan jalur evakuasi bencana serta pendirian Fainstein dalam (Campbell & Fainstein, 1996).
bangunan untuk kepentingan pemantauan”. Penjelasan ini akan diulas dengan pendekatan
Dari pasal tersebut, salah satu kegiatan yang periode tahun 1991-1998, 1999-2007 dan 2008-
diperbolehkan di sempadan pantai yang sekarang
berhubungan dengan industri galangan kapal
ialah kegiatan pelabuhan dan kegiatan 3.3.1. Periode 1991-1998 dan 1999-2007
pengembangan struktur alami dan struktur
buatan pencegah abrasi pada sempadan Pada kedua periode ini secara umum
pantai. menggunakan teori perencanaan rasional atau
komprehensif. Rustiadi, Saefulhakim, and Panuju
Berkaitan dengan “kegiatan pelabuhan” memiliki (2011) menjelaskan pendekatan rasional
hubungan dengan industri galangan kapal menekankan pada proses berpikir secara
dikarenakan dalam suatu kepelabuhanan terdapat menyeluruh dalam mencapai tujuan tertentu.
terminal pelabuhan. Industri galangan kapal dalam Analisis perencanaan yang banyak berhubungan
ketentuan bidang kepelabuhanan termasuk fisik sehingga hanya dapat dipahami oleh segelintir
kategori kegiatan pokok terminal khusus orang seperti pihak teknokrat dan perencana
pelabuhan. Industri galangan kapal termasuk semata. Sedangkan masyarakat banyak yang tidak
bagian kegiatan pokok terminal khusus dapat tahu. Jika dilihat teori perencanaan berdasarkan
ditemukan dalam penjelasan Pasal 102 ayat (1) sistem politik maka pada kedua periode ini
UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menggunakan pendekatan perencanaan
berbunyi “Yang dimaksud dengan “kegiatan tradisional dengan teori politik teknokratik yaitu
tertentu” adalah kegiatan untuk menunjang dalam penyusunan Masterplan Batam dilakukan
kegiatan usaha pokok yang tidak terlayani oleh tanpa melakukan konsultasi ke masyarakat di
pelabuhan karena sifat barang atau kegiatannya Batam sehingga dalam perencanaannya analisis
memerlukan pelayanan khusus atau karena dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah baku
lokasinya jauh dari pelabuhan. Kegiatan usaha perencanaan. Fainstein dan Fainstein dalam
pokok yang dimaksud antara lain adalah: (1) Campbell and Fainstein (1996) berpendapat hal ini
pertambangan; (2) energi; (3) kehutanan; (4) dikarenakan perencanalah yang mengerti akan
A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160 155
tujuan arah perencanaan sehingga para perencana menemui perubahan yaitu ketika awal era
dipercaya untuk menerapkan keilmuwannya pada reformasi tahun 1999 dimana dalam sistem politik
perencanaan publik serta dapat bertindak obyektif Indonesia mengutamakan bentuk partisipasi
dalam penetapan arah perencanaan. Terkait sehingga berimplikasi pada penataan ruang, lalu
dengan teori politik, perencanaan tradisional erat pada tahun 2007 terjadi perubahan UU Penataan
kaitannya dengan teori politik teknokratik. Teori Ruang sehinga mulai periode 2008 (setelah UU
politik teknokrasi inilah yang mendasari sebuah Penataan ruang) pendekatan perencanaan
proses perencanaan tradisional yang terjadi. Fuady berubah menjadi partisipatif. Hal ini dikarenakan
(2012) mengatakan keadaan sistem politik pada dalam undang-undang penataan ruang tahun 2007
masa Orde Baru dimana saat itu sistem politik yang menyatakan bahwa penetapan RTRW daerah harus
terjadi memberikan perlindungan terhadap mendapat persetujuan dari menteri. Hal ini
birokrasi dari tekanan politik agar birokrasi tertuang dalam pasal 18 ayat (2) UU No.26 Tahun
memiliki ruang untuk mengambil inisiatif dan 2007. Dengan demikian, pendekatan partisipatif
efektif dalam mengimplementasikan suatu yang diterapkan yaitu adanya koordinasi lintas
perencanaan. Birokrat atau teknokrat dianggap instansi penataan tata ruang antara stakeholder di
memiliki tingkat pengetahuan dan kepakaran yang Batam dan Kementerian Kehutanan dalam bentuk
mumpuni dalam pengambilan kebijakan. Dengan paduserasi tata ruang Batam. Adapun fakta lainnya
keadaan yang demikian peran teknokrat partisipasi Kementerian Kehutanan dalam tata
diperlukan dalam perencanaan pembangunan. ruang Batam yang sampai saat ini masih ada yang
Berkaitan dengan studi kasus di Batam, pada masa belum dipaduserasikan, dapat dibuktikan adanya
Orde Baru, perencanaan pembangunan dilakukan zona HL/B4 dalam PERPRES Tata Ruang BBK. Tahun
oleh Otorita Batam. Otorita Batam saat itu 2011. HL/B4 artinya adalah lokasi tersebut
diamanahi oleh presiden, membangun Batam merupakan zona B4 (Otorita Pengembangan
untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi Daerah Industri Pulau Batam & LEMTEK FT UI) yang
nasional sehingga kewenangannya meliputi lintas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
kementerian. Adapun pegawai (teknokrat) di undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan
Otorita Batam terdiri dari Kementerian PU, sebagai hutan.
Perhubungan, Perindustrian, perdagangan, Adanya perubahan pendekatan perencanaan
keuangan, BKPM, TNI-POLRI serta dari BPPT. (Rasional/Komprehensif menjadi Partisipatif) yang
Secara hierarki kelembagaan Otorita Batam ini terjadi di Batam disebabkan adanya konflik antara
bertanggung jawab langsung kepada presiden. Saat tata ruang Otorita Batam dengan tata ruang
itu ketua Otorita Batam dipimpin oleh Prof. DR. kehutanan serta kondisi dinamika politik di
Ing. B.J Habibie. Temuan lain bahwa perencanaan Indonesia dari sentralistik menjadi desentralisasi
tradisional erat kaitannya dengan politik teknokrasi yang memerlukan partispasi seluruh stakeholder
yaitu dapat ditunjukkan dalam pembuatan dan masyarakat. Munculnya konflik tata ruang
masterplan Batam 1991 disusun oleh Otorita Otorita Batam dengan tata ruang Kementerian
Batam bekerjasama dengan LEMTEK FT UI. Dengan Kehutanan menunjukkan adanya kelemahan pada
keadaan yang sedemikian itu, didukung oleh perencanaan rasionalitas/komprehensif berupa
sistem Top-Down menjadikan kaum teknokrat kompleksitas permasalahan terutama kurang
mendominasi dalam kebijakan perencanaan tercapainya pengetahuan yang komprehensif.
pembangunan di Batam maka pada periode 1991- Perencanaan ini cenderung menggunakan
1998 dan 1999-2007 menggunakan pendekatan pendekatan top-down dimana para perencana dan
tradisional dengan politik teknokrasi. pengambil keputusan melakukan interpretasi satu
arah, cenderung tidak melakukan dialog dengan
3.3.2. Periode 2008-sekarang berbagai stakeholder hal ini mengakibatkan konflik
antar stakeholder yaitu antara Kementerian
Pada periode ini pendekatan perencanaan di Kehutanan dengan Otorita Batam. Padahal
Batam menggunakan pendekatan partisipatif. Hal perencanaan rasional menuntut suatu
ini dapat dijelaskan berikut ini: perencanaan kesempurnaan. Rustiadi, Saefulhakim, and Panuju
masterplan yang berorientasi pada pendekatan (2011) menjelaskan. perencanaan partisipatif
komperehensif pada periode sebelumnya muncul sebagai bentuk reformulasi terhadap

156 A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160


perencanaan rasionalitas. Perencanaan rasional dan itu masih mengadopsi punya BP. Di tahun 2004
menuntut hasil yang sempurna. Kondisi ini sangat kita punya RTRW yang kedua itu 2004-2014 itu tetap
sulit apabila informasi, kapasitas pengetahuan, mengadopsi RTRW 2001. Pada tahun 2006 itu keluar
pengalaman dan teknologi perencana sangat undang-undang tentang Rencana Tata Ruang
Nasional disitu diatur bahwa penyusunan RTRW itu
terbatas. Informasi yang terbatas berimplikasi
harus dibahas dengan persetujuan kementerian.
terbatasnya pula rasionalitas perencana dan Pada saat kita mau mengevaluasi nah kita ada
stakeholder. Keadaan yang serba terbatas sangat kendala disitu. Kendala kita pertama kita baru tahu
tidak memungkinkan untuk dilakukan perencanaan kalau dulu Riau termasuk KEPRI ini kawasan hutan
rasionalitas. Di sisi lain, informasi sebenarnya hampir 100 persen jadi dari mulai tahun 2008
tersebar beragam pada masing-masing. Dengan sampai sekarang kita masih penyusunan, sampai
demikian secara umum dari tahun 1991 hingga sekarang sudah dibahas, sudah mulai disusun tahun
sekarang pendekatan perencanaan yang digunakan 2008 proses paduserasi di kemeterian kehutanan”.
ialah pendekatan rasional-partisipatif. (B1.W/ID-1.1/5/39) – BAPELITBANGDA Bidang Tata
Jika dikaji berdasarkan teori politik yang terjadi Ruang, Pertanahan dan Pengembangan Wilayah
maka pada periode ini menggunakan pendekatan
Terkait dengan perencanaan demokrasi yang
perencanaan demokratis dengan teori politik
membutuhkan partipasi masyarakat dan
demokratik. Menurut Fainsten dan Fainsten dalam
stakeholder terkait. Perencanaan demokrasi yang
Campbell and Fainstein (1996) dalam perencanaan
dimaksud ialah menekankan partisipasi dari
demokratis pihak yang berwenang menetapkan
masyarakat khususnya dunia usaha (investor) dan
tujuan perencanaan dan cara mencapainya adalah
stakeholder Kementerian Kehutanan, BPN, Otorita
masyarakat. Dalam kondisi terdapat banyak
Batam dan Pemerintah Kota Batam, Pemerintah
kelompok dan banyak kepentingan yang
Provinsi Kepulauan Riau. Dikarenakan undang-
bertentangan, maka perencanaan demokratis
undang tata ruang tahun 2007 mengamanatkan
perlu mendapatkan legitimasi dari semua
bahwa substansi rencana tata ruang harus
kelompok dan kepentingan dalam arti didukung
mendapatkan persetujuan dari kementerian maka
oleh mayoritas masyarakat. Pada awalnya era
aturan tersebut harus diikuti. Dimana terdapat
reformasi ditandainya dengan terbitnya UU
puluhan industri galangan kapal yang telah
Otonomi daerah tahun 1999 lalu bidang tata ruang
terbangun telah mengikuti tata ruang Otorita
yaitu diperbaharuinya undang-undang tata ruang
Batam namun tidak sesuai dengan tata ruang
di tahun 1992 menjadi undang-undang tata ruang
kehutanan dan investor galangan kapal yang akan
tahun 2007 dimana dalam aturan undang-undang
bangun telah mengikuti tata ruang Otorita Batam
yang baru pasal 18 persetujuan RTRW harus
dibuktikan dengan adanya kelengkapan perizinan
mendapatkan persetujuan dari kementerian.
sesuai aturan tata ruang Otorita Batam namun
Dalam perkembangan RTRW Batam, terdapat
“terganjal” oleh tata ruang kehutanan yang
beberapa lokus tata ruang yang belum disetujui
melarangnya dibangun karena lahan tersebut
perubahan kawasannya terutama oleh
berstatus Hutan Lindung sehingga industri tersebut
Kementerian Kehutanan melalui DPR RI. Di tahun
belum dibangun. Untuk mengatasi masalah ini
2014, terjadilah hasil proses paduserasi antara tata
maka sejak tahun 2008 dilakukan upaya paduserasi
ruang Otorita Batam dengan tata ruang
tata ruang. Adapun karakteristik yang menyangkut
Kementerian Kehutanan melalui SK Menhut No.
alternatif pendekatan penataan ruang era
867 Tahun 2014 dimana yang dulunya merupakan
demokrasi berdasarkan teori politik demokrasi di
kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan.
Batam berdasarkan Winarso (2002) sebagai
“..... Tata ruang Batam mengacu pada masterplan
berikut:
- Perencanaan pembangunan menitikberatkan
Kota Batam yang sudah disusun oleh BP Batam
tahun 91. Sudah ada. Di tahun 1991 ada beberapa pada pendekatan bottom-up
masterplan dikembangkan saat itu Batam masih Bottom-up yang dilakukan ialah menampung
kotamadya. Waktu itu Kepri masih gabung di aspirasi dari stakeholder di daerah hingga pusat
Provinsi Riau. Untuk Batamnya sendiri mengadopsi terkait konflik tata ruang hutan.
dan adaptasi kondisi-kondisi yang sudah ada mulai - Melibatkan semua stakeholder
dari tahun 2001 itu pertama kali kita punya RTRW
A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160 157
Stakeholder yang terlibat antara lain: stakeholder mengesahkan RTR Batam Bintan Karimun Tahun
tingkat daerah (BP Batam, Pemerintah Kota 2011) harus mendapatkan persetujuan subtansi
Batam, BPN) dan Tim Paduserasi (Kementerian oleh menteri terkait urusan pemerintahan bidang
PU, Dalam Negeri, Lingkungan Hidup dan penataan ruang dalam hal ini menteri kehutanan
Kehutanan, BAPPENAS, LIPI, IPB dan Dinas juga berperan terkait subtansi kehutanan
Kehutanan Prov. Kepulauan Riau) (Suprapto, Maryudi, & Wardhana, 2018). Dalam
- Perhatian pada tuntutan jangka pendek hal ini terjadilah praktek teori politik demokrasi
Tuntutan jangka pendek ialah harmonisnya tata yang ditunjukkan dengan partisipasi Kementerian
ruang Otorita Batam dengan Kehutanan di tahun Kehutanan dalam proses tata ruang Batam. Hal ini
2014. sesuai dengan teori politik demokrasi oleh
- Realistis terhadap dunia usaha (perusahaan) Fainstein dan Fainstein dalam (Campbell &
Perusahaan membangun usahanya mengikuti Fainstein, 1996). Dikarenakan telah ada konflik tata
masterplan Otorita Batam tahun 1991. Ketika ruang antara Otorita Batam dengan Kementerian
tahun 2007 undang-undang penataan ruang Kehutanan maka partisipasi yang dilakukan ialah
memberi kewajiban bahwa RTRW kota/kab/prov melibatkan dunia usaha (investor galangan kapal)
harus mendapat persetujuan substansi dari dan seluruh stakeholder pemerintah terkait dari
kementerian sebelum disahkan. Pada RTRW tingkat daerah hingga pusat untuk bekerja sama
Batam terkendala dengan substansi dari dengan tim paduserasi yang didominasi oleh
Kementerian Kehutanan sehingga perlu instansi pusat untuk dilakukan proses paduserasi
mendapatkan penyelesaian dengan cepat. Dari tata ruang dari tahun 2008-2013. Myers and
sini kegiatan paduserasi dilaksanakan untuk Ardiansyah (2014) mengatakan bahwa proses
mensinkronkan tata ruang. Dari tahun 1991 penyusunan tata ruang juga melibatkan pihak
hingga 2007 banyak perusahaan yang telah swasta. Dimana pihak investor disini membantu
dibangun berdasarkan tata ruang Masterplan pihak BP Batam karena telah memiliki sertifikat/ijin
Batam 1991. Maka aspirasi dari dunia usaha lainnya. Di tahun 2014 hasil paduserasi
menjadi pertimbangan agar investor tidak membuahkan hasil ditandai dengan pelepasan
hengkang dari Batam. Pada tahun 2014, proses kawasan Hutan Lindung menjadi kawasan bukan
paduserasi menghasilkan perubahan kawasan hutan.
fungsi hutan lindung menjadi kawasan bukan Dari penelitian ini dapat juga disimpulkan bahwa
hutan. Dari hal tersebut menunjukan bahwa dalam perjalanannya terjadi kompleksitas
penyelesaian ini realistis terhadap dunia usaha peraturan yang tumpang tindih antara
kewenangan Otorita Batam dengan kewenangan
4. KESIMPULAN Kementerian Kehutanan yang pada akhirnya
dengan pendekatan politis pada era Demokrasi
Dari analisis dapat disimpulkan bahwa legalitas dapat diselesaikan melalui kegiatan partisipasi
industri dapat berubah sesuai kondisi politik yang “paduserasi” tata ruang yang melibatkan seluruh
terjadi dan kebijakan yang terjadi. Pertama, Era stakeholder. Dari kasus ini menunjukkan bahwa
Orde Baru tepatnya pada periode 1991-1998 dan pelaksanaan rencana tata ruang pada kenyataan
1999-2007 menunjukan tidak legal industri tidak sederhana. Hal ini membuktikan bahwa
galangan ditunjukkan dengan tidak sesuai masalah tata ruang di Indonesia sangat kompleks
peruntukan industri berdasarkan aturan tata ruang dan tidak sederhana (Brockhaus, Obidzinski,
hutan). Dalam Amiany (2017 ) serta Amanullah and Dermawan, Laumonier, & Luttrell, 2012).
Haryanto (2017) menjelaskan bahwa kesesuaian Perencanaan tata ruang di Batam sangat
peruntukan merupakan bagian dari aspek legalitas dipengaruhi oleh rezim politik yang ada. Hal ini
suatu lahan. Kedua, setelah muncul UU Penataan dapat ditunjukkan yaitu ketika terjadi
ruang tahun 2007 (peraturan tata ruang saat era konflik/tumpang tindih peraturan selama periode
demokrasi) membutuhkan partisipasi dari 1991-2007 tidak ada pihak yang
kementerian dalam penetapan PERDA RTRW menengahi/mengkoordinasi terkait tumpang tindih
Provinsi dan Kota. Hal ini dikarenakan dalam peraturan tata ruang di Batam karena pada
kebijakan penetapan RTRW (Saat akan periode ini rezim yang terjadi ialah saling
mementingkan ego sektoral pada masing-masing

158 A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160


instansi. Tindakan koordinasi mulai ada sejak rezim Bungin, B. (2005). Analisis Data Penelitian
tata ruang era Demokrasi disahkan oleh DPR pada Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan
tahun 2007. Sebagai pelaksanaannya maka Metodologis ke Arah Penguasaan Model
dibentuk BKPRN di tahun 2009 dan penyelesaian Aplikasi. Jakarta: Raja Grasindo Persada.
melalui kegiatan paduserasi oleh Tim Paduserasi Campbell, S., & Fainstein, S. (1996). Reading in
dan stakeholder di tingkat daerah hingga pusat. Planning Theory. Cambridge: Blackwell
Rekomendasi penelitian ini antara lain: Pertama, Publishers Ltd.
Adanya dua kebijakan pengaturan tata ruang yang Fuady, H. (2012). Perencanaan Pembangunan di
overlap dalam penentuan kawasan hutan Indonesia Pascaorde Baru: Refleksi tentang
menunjukan perlunya koordinasi intens dan detail Penguatan Partisipasi Masyarakat.
antar-stakeholder tata ruang di Batam sehingga Masyarakat Indonesia, 38(2), 375-397.
tidak ada lagi peruntukan kawasan yang overlap Gunawan, I. (2013). Metode Penelitian Kualitatif:
serta menghindari ego sektoral tata ruang. Kedua, Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara,
Jika dalam perjalanannya dikemudian waktu 143.
ditemukan ketidaksinkronan peruntukan tata Hasyimzoem, Y. (2017). Hukum Pemerintahan
ruang sebaiknya segera dilakukan proses Daerah. Jakarta: Rajawali Pers.
paduserasi tata ruang sesuai dengan ketentuan Iskandar, A. (2016). Implementasi Pemberian Izin
peraturan yang berlaku. Hal ini dilakukan untuk Mendirikan Bangunan (Studi di Kota
menghindari ketidakpastian hukum serta menjaga Bandar Lampung). Keadilan Progresif, 7(2).
kondusifitas iklim investasi di Batam. Ketiga, Myers, R., & Ardiansyah, F. (2014). Siapa yang
produk tata ruang hasil paduserasi sebaiknya lebih Memegang Kekuasaan dalam Tata Guna
memperhatikan konsep filosofis awal Lahan?: Dampaknya bagi REDD+ di
pengembangan Batam dan mengikuti tata ruang Indonesia (Vol. 113): CIFOR.
yang telah dikonsepkan oleh Otorita Batam/BP Nasriaty, N. (2016). Implementasi Kebijakan
Batam sejak tahun 1973. Dengan demikian arah Rencana Tata Ruang Wilayah Di Kabupaten
pengembangan dan pembangunan di Pulau Batam Mamuju Utara. Katalogis, 4(5), 98–108.
terarah Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau
Batam & LEMTEK FT UI. (1991). Final
DAFTAR PUSTAKA Report Evaluasi Master Plan Pulau Batam
1991. Jakarta: Lemtek Ft. Ui.
Amanullah, M. S., & Haryanto, R. (2017). Pemilihan Ramadhiani, A. (2015). "Smart City" Harus Bisa
Lokasi Terbaik Pengembangan Properti Tingkatkan Kualitas Hidup Warganya,
Apartemen di Perkotaan Cibinong Raya Kompas.com. Retrieved from
Kabupaten Bogor. Jurnal Pengembangan https://properti.kompas.com/read/2015/0
Kota, 5(1), 93-103. Doi: 3/24/164526921/.Smart.City.Harus.Bisa.Ti
10.14710/jpk.5.1.93-103 ngkatkan.Kualitas.Hidup.Warganya
Amiany. (2017 ). Penanganan Fisik Permukiman Republik Indonesia. (1973). Keputusan Presiden
Kawasan Kumuh. Jurnal Teknika, 1(1), 70- (KEPPRES) tentang Daerah Industri Pulau
77. Batam.
BPS Kota Batam. (2019). Batam Dalam Angka Republik Indonesia. (1987). Surat Keputusan (SK)
2019. Batam: Badan Pusat Statistik Kota Menteri Kehutanan No. 47/Kpts-II/1987).
Batam. Republik Indonesia. (1990). Keputusan Presiden
Brockhaus, M., Obidzinski, K., Dermawan, A., (KEPPRES) tentang Pengelolaan Kawasan
Laumonier, Y., & Luttrell, C. (2012). An Lindung.
Overview of Forest and Land Allocation Republik Indonesia. (2011). Peraturan Presiden
Policies in Indonesia: Is The Current No.87 tahun 2011 tentang Rencana Tata
Framework Sufficient to Meet The Needs Ruang Batam Bintan dan Karimun (BBK).
of REDD+? Forest policy and economics, 18, Jakarta.
30-37. Doi: 10.1016/j.forpol.2011.09.004

A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160 159


Rustiadi, E., Saefulhakim, S., & Panuju, D. R. (2011).
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obo Indonesia.
Suprapto, S., Maryudi, A., & Wardhana, W. (2018).
Kontestasi Aktor dalam Proses Revisi
Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) di
Indonesia (Studi Kasus: Revisi RTRW
Provinsi Riau). Jurnal Wilayah dan
Lingkungan, 6(3), 193-214. Doi:
10.14710/jwl.6.3
Susetio, W. (2013). Disharmoni Peraturan
Perundang-undangan di Bidang Agraria.
Lex Jurnalica, 10(3), 18020.
Winarso, H. (2002). Pemikiran dan Praktek
Perencanaan dalam Era Transformasi di
Indonesia: Departemen Teknik Planologi,
Institut Teknologi Bandung.
Winata, W. P. (2015). Kepastian Hukum Atas
Pengalokasian Peruntukan Lahan pada
Kawasan Hutan di Atas Hak Pengelolaan
Otorita Batam. Premise Law Journal, 11,
14114.

160 A. A. S. Suryahusada., H. B. Wijaya/ JPK Vol. 7 No. 2 (2019) 147- 160

Anda mungkin juga menyukai