Anda di halaman 1dari 10

PERANAN KEBIJAKAN RENCANA TATA RUANG DALAM MENGENDALIKAN

MASALAH LINGKUNGAN DI KAWASAN SENTRA INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT DI


SUKAREGANG - KABUPATEN GARUT
Lukmanul Hakim
Email: lukmanulh@gmail.com

ABSTRAK
Sentra industri penyamakan kulit Sukaregang, tumbuh sejak tahun 1920-an. Sentra industri
penyamakan kulit ini menempati kawasan seluas kurang lebih 790.000 m2 atau sekitar 79 Ha. Di
kawasan Sukaregang ini terdapat industri penyamakan kulit sebanyak 395 pengrajin yang tumbuh di
lingkungan permukiman penduduk. Secara normatif kawasan sentra industri tersebut sudah sesuai
dengan peruntukan ruang sebagaimana diamanatkan dalam Perda No. 29 Tahun 2011 tentang RTRW
Kabupaten Garut pasal 36, bahkan sebagai industri skala menengah. Tujuan penulisan ini adalah
untuk mengetahui peranan rencana tata ruang dalam mengendalikan permasalahan lingkungan di
kawasan industri penyamakan kulit Sukaregang - Kabupaten Garut. Metode kajian yang digunakan
dalam penulisan makalah ini adalah analisis deskriptif yang menggunakan data sekunder dari studi
literatur serta peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan hasil analisis, walaupun
Kabupaten Garut telah mempunyai Perda RTRW, akan tetapi RTRW tersebut belum sepenuhnya
menerapkan arahan penataan ruang sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, sehingga fungsi penataan ruang tidak optimal, terutama berkaitan dengan
pengendalian pemanfaatan ruang, sehingga banyak pelanggaran dalam bidang lingkungan sampai
saat ini belum ada penertiban.

Kata kunci: peranan rencana tata ruang, rencana tata ruang berkelanjutan, masalah lingkungan.

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kebijakan penataan ruang di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
penataan ruang. Keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang
terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang
transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan. Menurut undang-undang tersebut penataan ruang dimaksudkan antara lain agar:
a) terselenggaranya pemanfaatan ruang terpadu, menyeluruh dan berwawasan lingkungan
yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
b) terselenggaranya pengaturan pemanfaaan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya.
c) tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.
Pentingnya rencana tata ruang suatu wilayah karena rencana tata ruang dapat berfungsi sebagai :
 acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD);
 acuan dalam pemanfaatan ruang/pengembangan wilayah;
 acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah;
 acuan lokasi investasi dalam wilayah provinsi yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan
swasta;
 pedoman untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan strategis;
 dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/pengembangan wilayah yang
meliputi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif,
serta arahan sanksi; dan
 acuan dalam administrasi pertanahan.
Oleh sebab itu, maka rencana tata ruang wilayah merupakan prasyarat dalam menentukan arah
kebijakan dalam pembangunan suatu wilayah.
Namun demikian, banyak perkembangan wilayah yang terjadi secara alami, sedangkan rencana tata
ruang ‘terpaksa” harus menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Hal terjadi karena Pemerintah
Daerah terbentur dengan masalah klasik, yaitu masalah kepemilikan lahan dan ketidakmampuan
dalam mengambil alih lahan.
Hal ini yang terjadi di Kabupaten Garut, khususnya di Kawasan Sukaregang, Kecamatan Garut Kota.
Kawasan Sukaregang dikenal sebagai sentra industri penyamakan kulit terbesar di Kabupaten Garut.
Sentra industri penyamakan kulit ini menempati kawasan seluas kurang lebih 790.000 m2 atau sekitar
79 Ha. Di kawasan Sukaregang ini terdapat usaha penyamakan kulit sebanyak 395 pengrajin yang
tumbuh secara alami dan berada di lingkungan permukiman penduduk. Sentra industri penyamakan
kulit Sukaregang sendiri tumbuh sekitar tahun 1920-1930-an. Dalam perjalanannya dari kegiatan
industri penyamakan kulit tersebut setiap harinya menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan.
Limbah penyamakan kulit ini tergolong limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Kabupaten Garut sebenarnya sudah mempunyai Perda No. 29 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten
Garut. Secara normatif kawasan Sukaregang sudah sesuai dengan arahan yang tercantum dalam Perda
RTRW tersebut, bahkan diarahkan sebagai kawasan peruntukan industri (KPI) untuk industri
penyamakan kulit skala menengah.
Akan tetapi Perda RTRW Kabupaten Garut ternyata belum berfungsi secara maksimal, hal ini terbukti
dari perkembangan Sukaregang yang tidak menunjukkan adanya kearah perbaikan setelah Perda
RTRW tersebut disahkan tahun 2012.

2. Permasalahan
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Fungsi ini yang seharusnya ada dalam RTRW Kabupaten Garut.
Tidak adanya batasan deliniasi KPI dan arahan peraturan zonasi yang jelas dalam RTRW Kabupaten
Garut sebagai salah satu bagian yang menyulitkan arah pembangunan yang berwawasan lingkungan,
karena ketidakjelasan tersebut berkaitan erat dengan sistem pengendalian pemanfaatan ruang,
terutama berkaitan dengan perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
a. bagaimana peranan kebijakan rencana tata ruang dalam perkembangan kawasan peruntukan
industri penyamakan kulit Sukaregang, Kabupaten Garut.
b. Apakah kebijakan rencana tata ruang yang ada sudah mempertimbangkan pembangunan
berkelanjutan
4. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui peranan
kebijakan rencana tata ruang dalam mengendalikan pemanfaatan ruang, khususnya permasalahan
lingkungan di kawasan industri penyamakan kulit Sukaregang - Kabupaten Garut.

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Rencana Tata Ruang
(Nurmandi, 1999) Rencana tata ruang merupakan rencana pemanfaatan ruang yang disusun untuk
menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan program-program
pembangunan dalam jangka panjang.
(Oetomo, 1998) Kegiatan pemanfaatan ruang antara lain berupa penyuluhan dan pemasyarakatan
rencana, penyusunan program, penyusunan peraturan pelaksanaan dan perangkat insentif dan
disinsentif, penyusunan dan pengusulan proyek dan pelaksanaan program dan proyek.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 menegaskan bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata
ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan
dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur
ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program
beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata
ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
Lahirnya Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan turunannya berupa
rencana tata ruang merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di
Indonesia yang diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan
ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi.
Produk rencana tata ruang berupa RTRW yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW kabupaten/kota). Produk rencana tata ruang dapat dijadikan
sebagai salah satu acuan dalam penyusunan rencana program pembangunan yang merupakan rencana
jangka menengah dan jangka pendek.
(Cadman dan Crowe, 1991) Perencanaan tata ruang dapat mempengaruhi proses pembangunan
melalui 3 alat utama yaitu:
1. Rencana pembangunan, yang menyediakan pengendalian keputusan melalui keputusan stategis
dimana pemerintah mengadopsi rencana tata ruang untuk mengatur guna lahan dan perubahan
lingkungan.
2. Kontrol pembangunan, yang menyediakan mekanisme administratif bagi perencana untuk
mewujudkan rencana pembangunan setelah mengadopsi rencana tata ruang. Kontrol
pembangunan ini berlaku pula bagi pemilik lahan, pengembang (developers) dan investor.
3. Promosi pembangunan, merupakan cara yang paling mudah mengetahui interaksi antara
perencanaan tata ruang dengan proses pembangunan. Dalam konteks pemerintahan, maka
dengan adanya rencana tata ruang, pemerintah menginginkan adanya pembangunan dan
investasi di daerahnya dengan cara mempromosikan dan memasarkan lokasi, membuat lahan
yang siap bangun dan menyediakan bantuan dana serta subsidi.

2. Rencana Tata Ruang Berkelanjutan


Sesuai Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah ditegaskan tujuan
penyelenggaraan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan, serta menciptakan keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia; serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dengan demikian, pembangunan
berkelanjutan pada intinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari penataan ruang.
(Wardhono, 2012) Dalam konteks ekologi, keberlanjutan dipahami sebagai kemampuan ekosistem
menjaga dan mempertahankan proses, fungsi, produktivitas, dan keanekaragaman ekologis pada masa
mendatang.
Penataan ruang merupakan satu proses pembangunan yang perlu mempertimbangkan aspek-aspek
keberlanjutan. Dalam menyusun suatu rencana tata ruang yang baik, nilai-nilai ekonomi, sosial, dan
lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Pembangunan berkelanjutan mengaitkan
tiga aspek utama yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untukmenjamin keberlanjutan pembangunan
ekonomi dan sosial budaya, ekosistem terpadu yang menopangnya harus terjaga dengan baik. Karena
itu aspek lingkungan perlu diinternalisasikan ke dalam pembangunan ekonomi. Dengan terjadinya
hal tersebut, maka pembangunan ekonomi tidak akan membuat kesenjangan dalam masyarakat
sehingga terjadi pemerataan dan kestabilan.

3. Perubahan Kebijakan
Perubahan kebijakan seringkali disamakan dengan reformasi kebijakan, padahal ada
perbedaan definisi, dimanaa, perubahan kebijakan mengacu pada perubahan bertahap dalam
struktur yang ada, atau kebijakan baru dan inovatif (Bennett dan Howlett 1992). Sedangkan
reformasi biasanya mengacu pada perubahan kebijakan utama. Reformasi sebagai intervensi
yang disengaja melalui kebijakan dapat atau tidak dapat menghasilkan perubahan (Fullan,
2000).
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan perubahan kebijakan diantaranya adalah:
1. Policy learning
Perubahan kebijakan berjalan seiring dengan implementasi kebijakan. Policy Learning
adalah konsep penting dalam teori literatur perubahan - ini adalah bagian dari beberapa
teori dan menyoroti bahwa negara, wilayah dan sistem dapat mengubah kebijakan
dengan belajar dari orang lain dan karenanya mengubah keyakinan mereka. Namun, sulit
untuk mengoperasionalkan dan mengukur konsep pembelajaran secara umum.
2. Policy diffusion
Policy diffusion adalah proses di mana inovasi kebijakan menyebar dari satu pemerintah
ke pemerintah lainnya (Shipan dan Volden 2008). Pembuat kebijakan dapat belajar dari
pengalaman pemerintah lain: jika kebijakan yang diadopsi di tempat lain dianggap
berhasil, maka negara / sistem lain mungkin juga menerapkannya.
Meseguer dan Gilardi (2009) menyebutkan bahwa beberapa faktor dapat menyebabkan
difusi kebijakan, seperti politik dalam negeri (termasuk kendala politik dan preferensi
ideologis politisi)
3. Institutional change
Teori perubahan institusional dapat menjadi teori perubahan kebijakan, ketika kebijakan
menetapkan aturan yang memberikan hak dan tanggung jawab yang didukung secara
normatif kepada para aktor dan stakeholders lainnya, yaitu penetapan aturan kepada
pihak ketiga (Streeck dan Thelen 2005: 12).
Streeck dan Thelen (2005) memperkenalkan lima jenis perubahan, yaitu :
a. Displacement, konfigurasi kelembagaan rentan terhadap perubahan karena
pengaturan tradisional yang didorong ke pihak yang mendukung institusi baru dan
logika perilaku terkait. Perubahan seperti itu sering terjadi melalui penemuan
kembali atau aktivasi dan penanaman bentuk kelembagaan alternatif (Streeck dan
Thelen 2005: 20).
b. Layering, perubahan terjadi melalui pertumbuhan diferensial: pengenalan elemen-
elemen baru memicu pergerakan dinamika yang secara aktif keluar atau
menggantikan sistem yang lama yang domainnya menurun relatif terhadap
sebelumnya (Streeck dan Thelen 2005: 24).
c. Drift, lembaga menjadi sasaran erosi jika mereka tidak beradaptasi dengan
perubahan lingkungan politik dan ekonomi. Ini bisa disebabkan oleh kesenjangan
dalam aturan (Streeck dan Thelen 2005: 24).
d. Convertion, lembaga diarahkan ke tujuan, fungsi, atau tujuan baru.
e. Exhaustion, adalah suatu proses yang mengarah pada kehancuran, yang terjadi secara
bertahap dan tidak tiba-tiba. Exhaustion dapat terjadi ketika kerja normal suatu
institusi merusak prasyarat eksternal dan ada erosi sumber daya (Streeck dan Thelen
2005: 31).
4. Multi-level governance
Teori ini menekankan bahwa perubahan merupakan proses multi-aktor dan multi-
dimensi. Multi-level governance terkait dengan transisi dari perubahan kebijakan ke
implementasi kebijakan karena pendekatan top-down versus bottom-up yang telah
digunakan untuk kedua bagian proses. Proses top-down berarti bahwa keputusan
kebijakan dari tingkat nasional diteruskan ke tingkat yang lebih rendah, sedangkan
proses bottom-up mengacu pada keterlibatan tingkat lokal dalam pembuatan kebijakan
dan dampak selanjutnya pada tingkat yang lebih tinggi.
5. Policy networks
Policy networks adalah ‘sekelompok atau kompleks organisasi yang terhubung satu
sama lain oleh dependensi sumber daya dan dibedakan dari kelompok atau kompleks
lain dengan jeda dalam struktur dependensi sumber daya’ (Rhodes dan Marsh 1992:
182). Menurut John (2003: 486), struktur koalisi lintas sektor kebijakan yang kompleks
menentukan keluaran kebijakan (hubungan jangka panjang antara kelompok
kepentingan dan lembaga eksekutif) berkembang menjadi jaringan yang lebih kompleks
antara organisasi publik dan swasta karena jumlah lembaga dan peserta tumbuh. Teori
jaringan kebijakan berguna dalam menyoroti interaksi kompleks antara para pemangku
kepentingan (baik di sektor publik dan swasta) yang dapat menjangkau sejumlah besar
aktor.

C. METODE PENELITIAN
Metode kajian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah analisis deskriptif yang
menggunakan data sekunder dari studi literatur serta peraturan perundangundangan yang berlaku.

D. PEMBAHASAN
D.1 Profil Singkat Sentra Industri
Kabupaten Garut yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai Ibukota Provinsi
Jawa Barat, merupakan daerah penyangga dan hinterland bagi pengembangan wilayah Bandung
Raya. Posisi Garut secara geografis menjadi cukup
strategis apalagi Garut mempunyai potensi daya
tarik yang sudah dikenal luas, salah satunya yang
sangat terkenal adalah industri penyamakan kulit
di Sukaregang. Sukaregang merupakan kawasan
sentra industri penyamakan kulit yang terletak di
Kecamatan Garut Kota.
Sentra industri penyamakan kulit Sukaregang,
tumbuh sejak tahun 1920-an. Sentra industri
penyamakan kulit ini menempati kawasan seluas
kurang lebih 790.000 m2 atau sekitar 79 Ha.
Menurut data BPS 2018, di kawasan Sukaregang
ini terdapat industri penyamakan kulit sebanyak
395 pengrajin yang tumbuh secara alami dan Gbr 1 Peta Orientasi Kabupaten Garut
berada di lingkungan permukiman penduduk.
Menurut Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) Garut jumlah pengrajin kemudian menurun
di tahun 2019 menjadi 220 pengrajin, terutama pengrajin tingkat menengah ke bawah. Penurunan ini
salah satunya diakibatkan maraknya protes warga yang terdampak limbah hasil kerajinan kulit

D.2 Kesesuaian Lahan


Secara normatif kawasan sentra industri penyamakan kulit Sukaregang sudah sesuai dengan
peruntukan ruang sebagaimana diamanatkan dalam Perda RTRW No. 29 Tahun 2011 pasal 36 yang
menyebutkan dalam ayat (1) bahwa kawasan peruntukan industri terletak di seluruh kecamatan
meliputi industri menengah dan industri kecil dan mikro. Selanjutnya dalam ayat (2) ditekankan
bahwa industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyamakan kulit terletak
di Kecamatan Garut Kota dan Kecamatan Karangpawitan, serta kerajinan kulit tersebar di seluruh
kecamatan.
Berdasarkan pasal tersebut ada beberapa hal yang dapat menimbulkan kerancuan dalam arahan
peruntukan ruang sebagai berikut:
 Lokasi kawasan peruntukan industri (KPI) terletak di seluruh kecamatan, termasuk kerajinan
kulit dan Kecamatan Garut Kota diarahkan sebagai industri menengah. Hal ini tidak
mengakomodir Keputusan Bupati Garut Nomor 536/Kep-370-BPLH/2001 tentang Penetapan
Areal Penyamakan Kulit di Kelurahan Kota Wetan, Kelurahan Kota Kulon, Kelurahan Regol,
Kelurahan Cimuncang dan Desa Suci Kabupaten Garut yang merupakan bagian dari
Kecamatan Garut Kota dan Kecamatan Karangpawitan
 peruntukan ruang untuk KPI tidak disertai dengan pembatasan atau deliniasi yang jelas,
sehingga memungkinkan seluruh Kecamatan Garut Kota dijadikan sebagai kawasan
peruntukan industri.
 Peta rencana pola ruang untuk kabupaten seharusnya skala1:50000, sedangkan dalam peta
rencana pola ruang RTRW Kab. Garut berskala 1:375.000, sehingga terlalu kecil dan
mengakibatkan arahan pola ruang menjadi kurang optimal.

Gbr 2 Peta Rencana Pola Ruang RTRW Kab. Garut

D.3 Pengendalian dalam Arahan Peraturan Zonasi


Dalam Pasal 77 mengenai ketentuan umum peraturan zonasi disebutkan bahwa kawasan peruntukan
industri disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan industri di kawasan lindung, sepanjang tidak berdampak kerusakan dan
mengubah fungsi lindungnya;
b. diperbolehkan kegiatan industri memiliki sumber air baku memadai dan menjaga kelestariannya;
c. diperbolehkan penyediaan zona penyangga;
d. diperbolehkan pemanfaatan ruang kegiatan industri baik sesuai dengan kemampuan penggunaan
teknologi, potensi sumberdaya alam dan SDM di sekitarnya;
e. diperbolehkan kegiatan industri hemat dalam penggunaan air dan non-polutif;
f. diperbolehkan pengaturan pengelolaan limbah B3;
g. diperbolehkan pengelolaan limbah terpadu sesuai standar keselamatan internasional bagi industri
berdekatan;
h. diperbolehkan kegiatan industri memiliki sarana prasarana pengelolaan sampah;
i. diperbolekan kegiatan industri memiliki sistem drainase memadai;
j. diperbolehkan kegiatan industri memiliki sumber energi; dan
k. diperbolehkan dengan syarat industri memiliki sistem pengolahan limbah.
Penggunaan kata “diperbolehkan” selain tidak ditemukan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) juga mengandung pengertian yang tidak tegas seolah-olah merupakan pilihan bukan suatu
keharusan.
Dalam ketentuan peraturan zonasi kawasan peruntukan industri (KPI) pendirian industri tidak ada
pembatasan, baik yang berkaitan dengan luasan maupun banyaknya industri. Kondisi tersebut
berimplikasi terhadap aspek pengendalian pemanfaatan ruang yang seharusnya dijalankan oleh
Pemerintah Daerah menjadi tidak efektif.

D.4 Pembangunan Berkelanjutan


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penataan ruang merupakan satu proses
pembangunan yang perlu mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan. Dalam kenyataannya hal
tersebut sukar untuk dilaksanakan, apalagi jika sudah terjadi berpuluh-puluh tahun, seperti halnya
yang terjadi di Sukaregang. Adanya RTRW No. 29 Tahun 2011 yang diharapkan dapat mengatur
pemanfaatan ruang yang ada ternyata belum mampu mengatasinya. Kondisi Sukaregang sepertinya
sama antara ada RTRW ataupun tidak. Keberadaan industri penyamakan kulit dengan buangan
limbah kimianya semakin hari semakin mengganggu masyarakat Kawasan Sukaregang dan
sekitarnya.
Menurut DLHKP (Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan dan Pertamanan) Kabupaten Garut, dari 54
pabrik penyamakan kulit yang memiliki mesin penyamak besar (molen), hanya ada satu perusahaan
yang telah mengantongi izin lingkungan dari Pemkab Garut, 8 pabrik lainnya telah memiliki dokumen
lingkungan berupa UPL/UKL, namun belum mengantongi izin karena tidak memiliki fasilitas IPAL
sebagaimana disyaratkan dalam dokumen lingkungannya. Sedangkan industri-industri penyamakan
yang lebih kecil yang jumlahnya lebih banyak hampir semuanya belum mempunyai ijin.
Selain itu tidak adanya IPAL atau belum efektifnya IPAL yang ada menyebabkan kegiatan
penyamakan kulit setiap harinya mengeluarkan air limbah yang dialirkan langsung ke sungai.
Tingginya volume air limbah yang harus diolah yaitu ± 7.250 m 3 per hari tidak sebanding dengan
kapasitas IPAL eksisting hanya ± 700 m 3 per hari. Sungai yang terdampak langsung limbah industri
penyamakan kulit yakni Sungai Ciwalen, Sungai Cigulampeng, Cikaengan, dan Sungai Cikendi yang
bermuara di Sungai Cimanuk.
Hasil Penelitian Universitas Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan karakteristik limbah cair
Sukaregang yang mengandung (rata-rata) 1,8 kg/ton BOD, 3,5 kg/ton COD, 0,56 kg/ton TSS, 0,04
kg/ton krom total, dan 0.03 kg/ton amoniak serta debit limbah cair rata-rata sebesar 30 m 3 /hari yang
berarti jauh melampaui baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga dapat mencemari
lingkungan jika dibuang langsung tanpa pengolahan terlebih dulu.
Banyaknya bukti dilapangan yang menunjukkan pelanggaran dalam bidang lingkungan, tetapi sampai
saat ini belum ada sanksi yang diterapkan oleh Pemerintah Daerah setempat kepada industri
penyamakan kulit yang melanggar.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
a. peranan kebijakan rencana tata ruang sebagaimana diarahakan dalam UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang belum sepenuhnya diterapkan dalam Perda No. 29 Tahun 2011
tentang RTRW Kabupaten Garut, terutama berkaitan dengan pengendalian pemanfaatan
ruang di Kawasan Peruntukan Industri Kecamatan Garut Kota dimana terdapat Sentra
Industri Kecil Penyamakan Kulit Sukaregang.
b. Belum diterapkannya sepenuhnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam
Perda RTRW mengakibatkan pembangunan, khususnya di SIK Sukaregang menjadi tidak
terkendali. Hal ini dapat dilihat dari tidak berfungsinya sistem pengendalian pemanfaatan
ruang, baik yang berkaitan dengan perijinan, insentif dan disinsentif, maupun pengenaan
sanksi.
c. Kebijakan penataan ruang yang ada perlu dilakukan perubahan dengan melakukan studi
banding terlebih dahulu ke daerah yang mempunyai kondisi yang sama dengan di Sukaregang
Garut tetapi kebijakan sudah dianggap lebih mapan.

F. SARAN
• Kebijakan yang ada perlu dilakukan perubahan dengan selain menitikberatkan kepada
pengembangan wilayah, juga penyelesaian isu-isu strategis yang ada di Kabupaten Garut,
terutama yang berkaitan dengan isu limbah industri penyamakan kulit.
• Kawasan Industri Kecil Sukaregang perlu dilakukan penataan, baik yang berkaitan dengan
penataan ruang, lingkungan, dan perijinan.
• Perlu pembentukan kelembagaan yang bersifat independen sebagai mitra Asosiasi
Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) Garut agar Kawasan Industri Kecil Sukaregang dapat
dikelola secara professional dengan tetap berwawasan lingkungan.

Daftar Pustaka
Ardiansyah, A. dan Sudi, Fahmi. 2018. The Implementation of the Law on Spatial Planning
in Pekanbaru, Indonesia. Jurnal Eksekutif Universitas Lancang Kuning,
Pekanbaru, Volume 175 (2018), 1-8.
Dudley, G And Richardson, J. 2005. Why Does Policy Change ? : Lesson From British
Transport Policy. New York. Taylor & Francis Library.
Cerna, L. 2013. The Nature of Policy Change and Implementation : A Review of Different
Theoritical Approaches. Organisation For Economic Co-Operation And
Development.
Nadin, Vincent. 2006. The Role and Scope of Spatial Planning. Bristol. OTB Research
Institute, Delft University of Technology.
Pemerintah Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007, No. 68. Sekretaria Negara. Jakarta
Pemerintah Daerah Kabupaten Garut. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Garut No. 29 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut. Lembaran Daerah Kabupaten
Garut Tahun 2011 No. 29. Sekretarian Daerah. Garut
Taufiqurakhman, 2014. Kebijakan Publik : Pendelegasian Tanggungjawab Negara Kepada
Presiden Selaku Penyelenggara Pemerintahan. Jakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Moestopo Beragama.

Anda mungkin juga menyukai