Anda di halaman 1dari 36

2.1.

Diagnostik Laboratorium untuk Dislipidemia


Selama berpuluh-puluh tahun, assessment untuk penyakit kardiovaskular
berdasarkan serum kolesterol total dan perhitungan LDL-C menggunakan formula
Friedewald. Setelah guideline NCEP (National Cholesterol Education Program)
memperkenalkan HDL-C sebagai target terapi sekunder, uji pengendapan untuk
HDL-C telah diganti dengan metode yang lebih akurat. Untuk pengukuran
kolesterol, HDL-C, dan trigliserida yang lebih akurat, NCEP memberikan
performance goals untuk laboratorium. Untuk mencapai performance goals ini,
laboratorium klinik harus menggunakan metode yang dapat ditelusuri oleh
referensi metode CDC (Center for Disease Control and Preventing) (Leiviskä,
2013).
Tabel 1. Performance Goals Berdasarkan Rekomendasi NCEP.
Lipid Biasa CVb Total Kesalahan
Kolesterol 3% 3% 9%
HDL-C 5% 4%c 13%
LDL-C 4% 4% 12%
Trigliserida 5% 5% 15%
a
Bias dari nilai referensi; Correlation of variation; HDL-C ≥ 1,1 mmol/L, SD
b c

< 0,044 mmol/L


[Sumber: Warnick et al., 2002 dalam Leiviskä, 2013]
2.2. Orang-Orang yang Wajib Melakukan Skrining terhadap Dislipidemia
Semua orang disarankan untuk melakukan skrining kesehatan sekurang-
kurangnya 2x dalam setahun, akan tetapi untuk orang-orang dengan kondisi
sebagai berikut diwajibkan untuk melakukan skrining terhadap dislipidemia
karena memiliki faktor risiko besar untuk menderita dislipidemia (Anderson et al.,
2013):
 Pria berusia ≥ 40 tahun.
 Wanita berusia ≥ 50 tahun atau wanita yang telah mengalami menopause.
 Pasien yang memiliki kondisi sebagai berikut (tidak terkait usia):
 Merokok.
 Diabetes.
 Hipertensi arterial.
 Memiliki riwayat keluarga premature CVD.
 Memiliki riwayat keluarga hiperlipidemia.
 Disfungsi ereksi.
 Penyakit ginjal kronik.
 Penyakit inflamatori.
 Infeksi HIV.
 Penyakit obstruktif paru kronik.
 Clinical evidence dari aterosklerosis atau aneurisma abdominal.
 Manifestasi klinik dari hiperlipidemia.
 Obesitas (BMI > 27) [Sumber: Anderson et al., 2013]
2.3. Proses Skrining Dislipidemia (Anderson et al., 2013):
 Melakukan semua pemeriksaan tanda-tanda vital dan menelusuri riwayat
keluarga.
 Mengukur nilai LDL, HDL, TG, non-HDL, glukosa, dan eGFR.
 Optional: apoB, rasio albumin dan kreatinin dalam urin (jika eGFR < 60,
hipertensi, diabetes).
 Jika Framingham Risk Score (FRS) dari hasil skrining < 5%
pemeriksaan diulang setiap 3-5 tahun sekali.
 Jika Framingham Risk Score (FRS) dari hasil skrining ≥ 5%
pemeriksaan diulang setiap tahun.
Gambar 1. Framingham Risk Score (FRS).
2.4. Penilaian Tingkat Risiko dengan Menggunakan Framingham Risk
Score (FRS)
Dengan menggunakan FRS, kita dapat menentukan tingkat risiko dari
dislipidemia yang diderita oleh seorang pasien sehingga dapat ditentukan terapi
yang sesuai, tingkatan risiko dislipidemia terbagi tiga, yaitu low risk, intermediate
risk, dan high risk (Anderson et al., 2013).
Gambar 2. Penilaian Tingkat Risiko dengan Menggunakan Framingham Risk
Score (FRS). [Sumber: Anderson et al., 2013]

Gambar 3. Tingkat Risiko untuk Pasien Intermediate Risk.


[Sumber: Anderson et al., 2013]
2.5. Kolesterol Total
Kolesterol total atau TC adalah jumlah keseluruhan dari kolesterol LDL,
kolesterol HDL, dan komponen lipid/lemak lainnya dalam tubuh. Tujuan
pengukuran TC adalah membantu pasien dalam menentukan status risiko dan
terapi untuk menurunkan konsentrasi total dalam serum. Dalam proses skrining,
pengukuran kolesterol total direkomendasikan untuk memprediksi risiko
kardiovaskular. Pada kasus individual, pengukuran kolesterol total dapat terjadi
misleading. Misleading ini terutama terjadi pada pasien wanita yang sering
memiliki nilai HDL-C yang lebih tinggi dan pada beberapa pasien diabetes atau
sindrom metabolik (MetS) yang sering memiliki nilai HDL-C yang rendah. Agar
analisis kolesterol total dapat lebih akurat, minimal kedua nilai HDL-C dan LDL-
C perlu dianalisis. Assessment ini tidak termasuk pasien yang mengalami
hiperlipidemia familial (termasuk FH dan FCH) atau subjek yang kolesterol
totalnya > 8 mmol/L (~ 310 mg/dl). Pasien ini umumnya memiliki risiko yang
tinggi terhadap penyakit kardiovaskular dan perlu mendapat perhatian penuh
(Reiner et al., 2011).
2.6. Prinsip Penetapan Kadar Kolesterol Total di Dalam Laboratorium
Kolesterol diukur scr enzimatik di dalam serum atau plasma dengan
sejumlah reaksi yang dapat menghidrolisis ester kolesterol dan mengoksidasi 3-
OH kolesterol. Salah satu byproduct dari reaksi, H2O2 diukur secara kuantitatif di
dalam peroxidase catalyzed reaction yang dapat menghasilkan warna. Absorbansi
diukur pada 500 nm. Intensitas warna yang dihasilkan proporsional dengan
konsentrasi kolesterol. Berikut adalah reaksi yang terjadi dalam pengujian (Lipid
Laboratory Johns Hopkins, University School of Medicine, & Lipoprotein
Analytical Laboratory, 2004):

Gambar 4. Reaksi yang Terjadi dalam Penetapan Kadar Kolesterol Total.


[Sumber: Lipid Laboratory Johns Hopkins, University School of Medicine, & Lipoprotein
Analytical Laboratory, 2004]
Meningkatnya level kolesterol total mengakibatkan meningkatnya risiko
terhadap penyakit jantung koroner (CHD). Kolesterol total diukur untuk
membantu pasien dalam menentukan status risiko dan terapi untuk menurunkan
konsentrasi kolesterol total dalam serum. Tingkat kolesterol total desirable adalah
< 200 mg/dl pada orang dewasa dan < 170 mg/dl pada anak-anak (Lipid
Laboratory Johns Hopkins et al., 2004).

Tabel 1. Kategori Kadar Total Kolesterol


2.7. Low-Density Liproprotein-Cholesterol (LDL-C)
Dalam kebanyakan studi klinik, perhitungan LDL-C menggunakan
formula Friedewald (formula ini tidak berlaku apabila TG meningkat hingga > 4,5
mmol/L atau lebih dari ~ 400 mg/dl) (Reiner et al., 2011).
Formula Friedewald adalah sebagai berikut (Reiner et al., 2011):
Dalam mmol/L: LDL-C = TC – HDL-C – TG/2,2
Dalam mg/dl: LDL-C = TC – HDL-C – TG/5

2.8. Penetapan Kadar LDL-C di Dalam Laboratorium


Homogenous assay untuk LDL-C telah dikembangkan dan dapat
digunakan dengan keadaan konsentrasi TG > 4,5 mmol/L (Warnick et al., 2002
dalam Leiviskä, 2013). Akhir-akhir ini, beberapa homogenous assay mulai
dikembangkan berdasarkan metode separasi dalam memisahkan kilomikron,
VLDL, dan HDL dari LDL (Contois et al., 2011 dalam Leiviskä, 2013).
Kelemahan dari homogenous assay adalah kesalahan klasifikasi tingkat risiko
pada pasien (Miller et al., 2010 dalam Leiviskä, 2013).
2.9. Klasifikasi Kolesterol Total dan LDL-C
Tabel 2. Klasifikasi Kolesterol Total dan LDL-C oleh ATP III.
Kolesterol Total (mg/dl) LDL-C (mg/dl)
< 200 Desirable < 100 Optimal
200-239 Borderline high 100-129 Mendekati optimal/di atas optimal
≥ 240 Tinggi 130-159 Borderline high
160-189 Tinggi
≥ 190 Sangat tinggi
[Sumber: National Cholesterol Education Program, 2002]

2.10. Penetapan Kadar Trigliserida


Trigliserida merupakan lipid tidak larut air yang terdiri dari tiga molekul
asam lemak bebas yang mengalami esterifikasi dengan gliserol sebagai rantai
utama. Trigliserida dibawa dalam darah sebagai konstituen inti dalam semua
lipoprotein namun paling banyak ditemukan pada kilomikron dan very low-
density lipoprotein (VLDL). Sumber utama trigliserida adalah diet kaya lemak.
Makanan-makanan mengandung lemak akan dihidrolisis di saluran cerna menjadi
asam lemak bebas serta mono- dan di-gliserida yang akan diabsorpsi dan
disintesis menjadi trigliserida lalu berkumpul ke dalam kilomikron.
Trigliserida secara cepat dihidrolisis oleh lipoprotein lipase sehingga
melepas gliserol dan asam lemak bebas yang kemudian akan diabsorbsi ke dalam
jaringan adiposa sebagai penyimpanan lipid di jaringan adiposa. Ketika
dibutuhkan, lipase akan menghidrolisis trigliserida dari jaringan adiposa menjadi
asam lemak bebas dan gliserol yang akan masuk ke dalam aliran darah. Asam
lemak bebas akan dioksidasi di mitokondria dan peroksisom untuk memproduksi
energi.
Trigliserida berkontribusi terhadap risiko coronary arterial disease
(CAD). Kadar TG 200 mg/dl atau lebih mengindikasikan peningkatan risiko
CAD. Pengukuran trigliserida dalam penetapan kadar lipid berguna untuk
mendiagnosis hiperlipoproteinemia primer maupun sekunder, dislipidemia, dan
trigliseridemia. Konsentrasi trigliserida juga berguna untuk diagnosis dan
pengobatan DM, nefrosis, obstruksi hati, dan penyakit lain yang berhubungan
dengan metabolisme lipid serta berbagai kelainan endokrin. Selain itu, penentuan
kadar trigliserida juga dibutuhkan untuk penetapan kadar low-density lipoprotein
(LDL).
Metode pengukuran yang paling umum adalah dengan menghidrolisis
trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas lalu dilanjutkan dengan
pengukuran fluorometri atau kolorimetri terhadap gliserol yang dilepas.
Pengukuran trigliserida didasari prinsip reaksi enzimatik sebagai berikut:

1. Trigliserida dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas oleh


lipoprotein lipase.
2. Gliserol yang dihasilkan difosforilasi dengan ATP dan bantuan gliserol
kinase menjadi gliserol-3-fosfat (G3P) dan adenosin-5-difosfat (ADP).
3. G3P kemudian dioksidasi oleh gliserol fosfat oksidase menghasilkan
dihidroksiaseton fosfat dan hidrogen peroksida.
4. H2O2 dengan aminofenazon (seperti 4-aminotipirin) dan klorofenol (seperti
N-Etil-N-(3-sulfopropil)-m-anisidin (ESPA)) dengan bantuan peroksidase
membentuk kompleks kuinonimin.
5. Kuinonimin yang terbentuk merupakan kompleks berwarna yang
menunjukkan absorbansi pada panjang gelombang 500 nm.
6. Intensitas warna yang terbentuk berbanding lurus dengan konsentrasi
trigliserida.
Penetapan kadar trigliserida harus dilakukan setelah puasa setidaknya 12
jam atau lebih, dikarenakan kadar TG yang bersifat fluktuatif dan tertinggi 1-4
jam setelah makan. Keberadaan kilomikron setelah diet kaya lemak akan
menyebabkan peningkatan kadar trigliserida dalam plasma. Sehingga untuk
mendapatkan hasil yang paling akurat, pasien disarankan untuk puasa sebelum
melakukan penetapan kadar.

Tabel 3 . Kategori Kadar Trigliserida

2.11. Penetapan Kadar HDL-C


High-density lipoprotein (HDL) seringkali disebut kolesterol “baik” karena
membantu membawa pergi LDL dari aliran darah untuk disimpan sebagai
cadangan di dalam sel sehingga kadar lipid dalam darah tetap terkontrol dan aliran
darah menjadi lancar. Pengukuran kadar high-density lipoprotein cholesterol
(HDL-C) merupakan salah satu screening test pada dislipidemia. Kadar HDL-C
yang rendah dapat bertindak sinergis dengan faktor risiko lipid lain dalam
meningkatkan risiko CAD. Penentuan kadar HDL-C dibutuhkan untuk penetapan
kadar LDL.
Prinsip pengukuran kadar HDL-C dalam serum adalah dengan membuang
terlebih dahulu lipoprotein selain HDL seperti kilomikron, LDL, dan VLDL
dengan membentuk senyawa kompleks tidak larut dengan bantuan beberapa
reagen. Reaksi enzimatik pada penetapan kadar HDL-C adalah sebagai berikut:

1. Lipoprotein yang mengandung apo B direaksikan dengan beberapa reagen


(MgCl2, α-siklodekstrin, dan dekstran sulfat) membentuk kompleks tidak
larut (terdiri atas kilomikron, LDL, dan VLDL).
2. HDL-ester kolesterol dengan bantuan PEG kolesterol esterase menjadi
HDL-kolesterol unesterified + asam lemak bebas.
3. Kolesterol unesterified dioksidasi oleh PEG kolesterol oksidase
membentuk kolestenon dan hidrogen peroksida.
4. H2O2 dengan aminofenazon (seperti 4-aminotipirin) dan klorofenol (seperti
N-Etil-N-(3-sulfopropil)-m-anisidin (ESPA)) dengan bantuan peroksidase
membentuk kompleks kuinonimin.
5. Kuinonimin yang terbentuk merupakan kompleks berwarna yang
menunjukkan absorbansi pada panjang gelombang 600 nm.
6. Intensitas warna yang terbentuk berbanding lurus dengan konsentrasi
HDL-C.
2.12. Penetapan Kadar Non-HDL-C
Kadar non-HDL-C adalah total kadar VLDL dan LDL namun lebih sering
dinyatakan sebagai kadar kolesterol total minus kadar HDL-C. Banyak pasien
yang menunjukkan kadar LDL yang normal namun trigliserida meningkat serta
HDL menurun. Lebih lanjut pada pasien dengan kadar trigliserida 200 mg/dl atau
lebih, VLDL meningkat, dan risiko CAD tidak dapat ditentukan hanya dengan
penentuan kadar LDL-C saja. Ketika kadar TG ≥ 200 mg/dl dan < 500 mg/dl,
penghitungan non-HDL-C dapat memberikan penilaian risiko yang lebih akurat
dibandingkan LDL-C. Penentuan kadar non-HDL-C dilakukan pasien diabetes
melitus, dan/atau pengidap penyakit jantung koroner. Jika dicurigai ada resistensi
insulin, evaluasi terhadap non-HDL-C dapat digunakan untuk mendapatkan
jumlah total lipoprotein aterogenik pasien. Non-HDL-C memiliki target 30 mg/dl
lebih tinggi dari tingkatan risiko LDL-C.

Tabel 4. Kategori Kadar HDL-C

Tabel 5. Perbandingan Target LDL-C dan Non-HDL-C untuk Tiga Kategori


Risiko.

Tabel 3. Kategori Risiko dan Level Target untuk TC/HDL-C, LDL-C/HDL-C,


dan Rasio ApoB/ApoA-1, dalam Prevensi Primer dan Sekunder, Dibedakan
Berdasarkan Jenis Kelamin.

[Sumber: Millan et al., 2009]

2.13. Pengukuran Apolipoprotein


Gugus protein pada lipoprotein dikenal sebagai apolipoprotein atau
apoprotein. Pada saat ini dikenal sembilan jenis apoprotein yang diberi nama
secara alfabetis, yaitu apoA, apoB, apoC dan apoE. Setiap jenis lipoprotein
mempunyai apo tersendiri, sebagai contoh untuk VLDL, IDL, dan LDL
mengandung apoB-100, sedangkan apoB-48 ditemukan pada kilomikron, apoA-1
dan apoA-2 ditemukan terutama pada lipoprotein HDL dan kilomikron.
Apolipoprotein A-1 (apoA-1) merupakan protein struktural yang utama
dan terbesar dari fraksi HDL dan mencerminkan sisi ateroprotektif metabolisme
lipid. Apolipoprotein B (apoB) merupakan apoprotein yang terbesar dalam fraksi
VLDL dan dapat dikatakan bahwa seluruh apoprotein dalam LDL adalah apoB.
ApoB menunjukkan struktural protein untuk partikel aterogenik lipoprotein
VLDL, IDL, LDL, dan small dense LDL, dan bertanggung jawab untuk transpor
lipid dari hati dan usus ke jaringan perifer.
Jika kita mengukur baik apoB dan apoA-1 dan mengekspresikan mereka
sebagai rasio apoB/apoA-1, kita akan mendapatkan penanda risiko kardiovaskular
yang kuat. Pasien dengan rasio yang lebih tinggi berarti apoB (LDL) meningkat
dan/atau apoA-1 (HDL) rendah dan dengan demikian meningkatkan risiko
kardiovaskular. Dengan menggabungkan kedua penanda dalam rasio, kita
mendapatkan sinergi dan peningkatan daya prediksi kardiovaskular.
Pengukuran kadar apolipoprotein B dan apolipoprotein A-1 banyak
menggunakan imunoturbidimetri dan imunonefelometri, yang terjadi pada
konsentrasi yang relatif tinggi. Menurut College of American Pathologists
Proficiency Testing Survey, semua laboratorium klinik di Amerika yang terlibat
pada pengukuran apoA-1 dan apoB-100, menggunakan salah satu dari dua metode
ini. Teknik lainnya yg lebih sensitif, seperti ELISA dan RIA mungkin lebih cocok
untuk konsentrasi apolipoprotein yg jauh lebih rendah, seperti apoC-1 dan apoC-
2.
Imunoturbidimetri dan imunonefelometri baik dalam mengukur kekeruhan
sampel untuk menentukan tingkat dari suatu analit. Setelah penambahan reagen,
antibodi dan cluster antigen membentuk kompleks imun yang mengendap dan
meningkatkan kekeruhan sampel. Ketika cahaya dilewatkan melalui larutan reaksi
cahaya, sebagian diserap oleh sampel dan sisanya melewati sampel.
Imunoturbidimetri mengukur absorbansi cahaya oleh sampel, sedangkan
nefelometri mengukur cahaya yang tersebar pada sudut tetap. Tingkat analit
ditentukan oleh perbandingan dengan kalibrator dari konsentrasi yang diketahui.
Imunoturbidimetri sangat ideal untuk mendeteksi protein, dimana
konsentrasi analit berbanding terbalik dengan sinar cahaya yang ditransmisikan.
Nefelometri lebih sensitif dibandingkan dengan imunoturbidimetri. Nefelometri
adalah alat analisa yang khusus hanya mampu melakukan jenis pemeriksaan ini.
Pengaruh penyimpanan spesimen untuk apoB stabil setidaknya 4 minggu
dalam lemari pendingin, tetapi untuk apoA-1 dapat meningkat sampai 10%.
Pembekuan dan pencairan berulang mungkin memiliki efek yang berbahaya,
terutama pada apoB. Oleh karena itu, penggunaan spesimen serum yang segar
dianjurkan untuk kedua tes.
Sampel darah diperoleh dengan memasukkan jarum ke pembuluh darah di
lengan. Sebagai alternatif, terutama dalam perawatan anak, sampel darah
diperoleh dengan menusuk tumit atau jari. Tidak ada persiapan tes yang
diperlukan. Namun karena tes ini dapat dilakukan pada saat yang sama sebagai
profil lipid lengkap, puasa selama setidaknya 12 jam mungkin diperlukan. Kadar
normal apoA-1:
 Pria: > 120 mg/dl (1,2 g/L).
 Wanita: > 140 mg/dl (1,4 g/L).
Tabel 4. Kadar ApoB yang Diinginkan.

2.14. Pendahuluan Elektroforesis Lipoprotein dalam Gel Agarosa


Berikut menunjukkan klasifikasi hiperlipidemia menurut Fredrickson yang
membagi hiperlipidemia berdasarkan fenotip plasma. Fenotip-fenotip Fredrickson
dapat memberi petunjuk untuk etiologi hiperlipidemia.
Tabel 5. Klasifikasi Hiperlipidemia Familial Menurut WHO.
Peningkatan Serum Serum
Tipe Sinonim Wujud Serum Gangguan Klinis Gejala Utama
Lipoprotein TC TG
Nyeri perut (dari
pankreatitis),
Putih lipemia retinalis,
Hiperkilomikronemia Defisiensi LPL,
I kekuningan di xanthoma Kilomikron N ++
familial defisiensi apoC-2
bagian atas eruptive,
hepatosplenomega
li
Hiperkolesterolemia Defisiensi reseptor
IIa Jernih LDL ++ N
familial LDL Xantelasma, arkus
Penurunan reseptor senilis, xantoma
Hiperlipidemia LDL &
IIb Jernih LDL dan tendon ++ +
familial kombinasi VLDL
peningkatan apoB
Xanthoma tubo-
Disbetalipoproteinem Gangguan pada
III Keruh eruptive & IDL + +
ia familial sintesis apoE-2
xantoma palmar
Peningkatan
Hipertrigliseridemia produksi VLDL &
IV Keruh VLDL N+ ++
familial penurunan
eliminasi
Putih
kekuningan di Peningkatan
VLDL &
V bagian atas & produksi VLDL & + ++
kilomikron
keruh di bagian penurunan LPL
bawah
IDL = intermediate-density lipoproteins; LDL = low-density lipoproteins; TC =
kolesterol total; TG = trigliserida; VLDL = very low-density lipoproteins.
+ = meningkat; ++ = sangat meningkat; N = normal; N+ =normal atau meningkat.
[Sumber: Harikumar, Althaf, Kumar, Ramunaik, & Suvarna, 2013]
Terdapat tiga metode penentuan fenotip lipoprotein yang ketiganya
memerlukan pengukuran kuantitatif kolesterol total dan TG plasma, diantaranya:
Refrigerator test: uji menggunakan suatu nomogram bersama dengan pemeriksaan
fisik serum yang telah dibiarkan semalam pada suhu 4℃ dalam lemari pendingin.
Elektroforesis lipoprotein (gel agarosa dan kertas filter): uji menggunakan
spesimen berupa plasma atau serum darah.
Ultrasentrifugasi.
2.15. Elektroforesis Lipoprotein dalam Gel Agarosa
Uji elektroforesis lipoprotein dalam gel agarosa digunakan untuk
menentukan jenis/kelas lipoprotein (α -lipoprotein, pre- β -lipoprotein, β-
lipoprotein) yang kadarnya tinggi di dalam plasma (Wells, DiPiro,
Schwinghammer, & DiPiro, 2015). Keberadaan LDL dalam tubuh juga dapat
diketahui dengan melakukan elektroforesis pada serum darah. Jenis media gel
yang digunakan adalah agarosa, karena agarosa dapat digunakan dalam pemisahan
protein. Larutan pendapar yang digunakan adalah dapar Na-barbital pada pH 8,6
(Noble, 1968). Larutan pendapar dalam elektroforesis berfungsi untuk melindungi
molekul fraksi lipoprotein dari kerusakan selama proses elektroforesis. Kelebihan
dapar Na-barbital dalam elektroforesis lipoprotein ini terletak pada kekuatan
ionnya yang berefek memberikan resolusi tinggi dan ketajaman bentuk pita
daripada dapar-dapar lainnya yang biasa digunakan dalam pemisahan lipoprotein
(Monthony et al, 1978). Dapar jenis ini mampu mendeterminasi bentuk-bentuk
lipoprotein lebih spesifik yang sangat bermanfaat dalam fenotifikasi penyakit
hiperlipoproteinemia (Papadopoulos, 1978).
Spesimen yang digunakan adalah serum atau plasma dalam larutan EDTA.
Jangan menggunakan plasma dalam heparin karena heparin dapat menyebabkan
aktivasi lipoprotein lipase yang meningkatkan laju migrasi relatif dari fraksi
lipoprotein terutama β -lipoprotein (LDL). Serum dapat disimpan pada 2-6℃
selama tidak lebih dari 5 hari. Sebelum pengujian, pasien harus menghentikan
semua obat yang sedang dikonsumsi, bila mungkin untuk 3-4 minggu dan puasa
selama 12 jam (semalam). Hal ini karena kilomikron biasanya berada dalam darah
selama 2-10 jam setelah makan, sehingga lebih dari itu, keberadaannya dalam
darah terbatas. Adanya kilomikron pada saat itu menunjukkan keadaan
hiperlipoproteinemia.
Penyiapan sampel plasma dapat dilakukan dengan mengambil darah
pasien dan ditampung dalam tabung reaksi yang berisi EDTA kemudian dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 7000 rpm selama 15 menit pada suhu 37 ℃ , akan
diperoleh supernatan yang berisi plasma dan endapan yang berisi debris/sel darah.
Lapisan yang diambil untuk sampel pengujian adalah bagian supernatan yang
berisi plasma (Noble, 1968).
Prinsip uji lipoprotein melalui elektroforesis dalam gel agarosa yaitu
spesimen (serum/plasma) diinjeksikan ke dalam media gel agarosa yang
sebelumnya telah ditambahkan larutan dapar Na-barbital pada pH 8,6. Gel berisi
sampel kemudian dielektroforesis dengan tegangan listrik sebesar 110 V selama 6
menit. Fraksi lipoprotein akan terelusi dan terpisah berdasarkan muatan dan
ukuran molekul proteinnya secara elektroforesis. Kemudian hasil elektroforesis
diwarnai dengan larutan Sudan Black B dalam etanol 60% (Noble, 1968).
Analisa kualitatif dilakukan dengan membandingkan di bawah UV
terhadap bercak pita yang muncul dalam gel agarosa dengan gel agarosa standar.
Gel agarosa standar merupakan gel agarosa yang berisi ketiga jenis lipoprotein
dengan kadar yang normal. Sedangkan analisa kuantitatif dapat dilakukan
menggunakan densitometer (Noble, 1968).
Jika pada hasil skrining gel agarosa dari pasien, terdapat 1 atau lebih pita
yang lebih gelap daripada pita yang terdapat pada gel agarosa standar, maka jenis
lipoprotein yang diwakili oleh pita tersebut memiliki kadar yang tinggi dalam
plasma. Berdasarkan muatan dan ukuran molekul proteinnya, LDL akan
bermigrasi paling dekat dari kutub negatif (katoda) karena muatannya bersifat
kurang negatif daripada VLDL. Hal ini karena LDL mengandung sedikit protein.
Sebaliknya, HDL akan bersifat sangat negatif dan bermigrasi paling jauh dari
katoda dan mendekati anoda (kutub positif). Oleh karena itu, pada gel agarosa,
pita yang muncul berturut-turut dari atas adalah α-lipoprotein (HDL), pre-β-
lipoprotein (VLDL), dan β-lipoprotein (LDL). Elektroforesis lipoprotein
menggunakan kertas filter dapat digunakan untuk analisis kualitatif fenotip
lipoprotein (Noble, 1968).

[Sumber: Noble, 1968]


Keterangan gambar: Hasil visualisasi elektroforesis serum dari subjek laki-laki
normal dan subjek dengan hiperlipidemia tipe II, III, IV, dan V. a menunjukkan
hasil elektroforesis menggunakan gel agarosa, sedangkan p menunjukkan hasil
elektroforesis menggunakan kertas filter.
2.16. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner adalah penyempitan pembuluh darah kecil yang
memasok darah dan oksigen ke jantung. Penyakit jantung koroner juga disebut
penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner biasanya disebabkan oleh
kondisi yang disebut aterosklerosis, yang terjadi ketika bahan lemak dan zat-zat
lainnya membentuk plak pada dinding arteri. Hal ini menyebabkan arteri yang
dialiri darah menjadi sempit. Karena aliran sempit pada arteri koroner, darah ke
jantung menjadi lambat bahkan berhenti. Penyakit jantung koroner dapat
diketahui melalui berbagai macam diagnosis, berikut tes yang dapat dilakukan:
 Pemeriksaan high sensitivity-CRP
Suatu jenis protein yang dihasilkan oleh hati ketika terjadi cedera akut,
peradangan atau infeksi. HS-CRP (high sensitivity C-reactive protein) merupakan
pemeriksaan untuk mengukur konsentrasi CRP yang sangat sedikit sehingga
bersifat lebih sensitif. Pemeriksaan CRP yang sangat sensitif ini diperlukan untuk
memperkirakan risiko penyakit jantung koroner.
Pemeriksaan HS-CRP menggunakan sampel darah. Nilai rujukan HS-CRP
untuk menilai risiko terjadinya PJK adalah < 10 mg/L. Apabila nilai HS-CRP > 10
mg/L maka nilai tersebut lebih menunjukkan terjadinya peradangan yang bersifat
akut dan tidak menggambarkan risiko terjadinya PJK. 
Prinsip pemeriksaan CRP: CRP (sebagai antigen) ditambah dengan R1
(bufer) kemudian ditambah R2 (lateks antibodi anti-CRP) dan dimulai reaksi
dimana antibodi anti-CRP yang berikatan dengan mikropartikel lateks akan
bereaksi dengan antigen dalam sampel untuk membentuk kompleks Ag-Ab.
Berikut ini nilai rujukan HS-CRP yaitu: jika konsentrasi HS-CRP < 1,0 mg/L,
maka risiko terkena PJK rendah. Jika konsentrasi HS-CRP 1,0-3,0 mg/L, maka
risiko terkena PJK rata-rata (moderate). Jika konsentrasi HS-CRP > 3,0 mg/L
(tetapi < 10 mg/L), maka risiko terkena PJK tinggi.
 Radiologi (pemeriksaan radiologi COR)
Pemeriksaan secara radiologi dari jantung dengan menggunakan media
kontras positif. Dengan cara memasukkan media kontras positif ke dalam
esofagus. Tujuan pemeriksaan untuk mendapatkan informasi pengaruh jantung
terhadap esofagus, misalnya pada kasus kardiomegali, melihat pembuluh darah
besar.
Prosedur pemeriksaan:
 Persiapan pasien.
 Penjelasan umum tentang prosedur pemeriksaan.
 Puasa ± 4 jam sebelum pemeriksaan.
Kriteria pemeriksaan:
 Tampak gambaran esofagus terisi barium berada di pertengahan lapangan
paru.
 Seluruh thorax ter-cover pada film.
 Eksposi cukup mampu menunjukkan struktur esofagus dan jantung.
 Gambaran tajam pada tepi menunjukkan tidak ada pergerakan objek.

2.17. Hipertensi
Hipertensi adalah kelainan pada sistem kardiovaskular dimana terjadi
peningkatan tekanan darah. Hiperlipidemia merupakan salah satu faktor yang
dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi dapat didiagnosis melalui pengukuran
tekanan darah (sistol dan diastol). Sistol terjadi saat jantung berkontraksi,
sedangkan diastol terjadi saat jantung selesai berkontraksi dan mulai terisi dengan
darah kembali. Diagnosis hipertensi dapat diketahui dari pemeriksaan tekanan
darah.
Tabel 6. Kriteria Hipertensi.

2.18. Strok
Strok adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan dapat
menimbulkan cacat atau kematian. Diperlukan pemeriksaan bagi pasien yang
terkena strok seperti:
 Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab strok secara
spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ruptur.
 CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya
infark.
 Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada
trombosis, emboli serebral, dan TIA (transient ischaemia attack) atau
serangan iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subaraknoid atau
perdarahan intrakranial. Kadar protein total meningkat pada kasus
trombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
 MRI (magnetic resonance imaging): menunjukkan daerah yang
mengalami infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.
 EEG (electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan
pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik.
 Sinar-X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat
pada trombosis serebral.
2.19. Elektrokardiogram (EKG)
Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu alat pencatat grafis aktivitas listrik
jantung. Pada EKG terlihat bentuk gelombang khas yang disebut sebagai
gelombang P, QRS, dan T, sesuai dengan penyebaran eksitasi listrik dan
pemulihannya melalui sistem hantaran dan miokardium.
Karena aktivitas listrik memicu aktivitas mekanis, kelainan pola listrik
biasanya disertai oleh kelainan aktivitas kontraktil jantung. Evaluasi terhadap
EKG dapat memberikan informasi yang berguna mengenai status jantung,
termasuk kecepatan denyut, irama dan kesehatan otot-ototnya.
 Kelainan kecepatan
Jarak antara dua kompleks QRS yang berurutan di sebuah rekaman
EKG dikalibrasikan ke kecepatan jantung. Kecepatan denyut jantung yang
melebihi 100 denyut per menit dikenal sebagai takikardia (cepat),
sedangkan denyut yang lambat yang kurang dari 60 kali per menit disebut
bradikardi (lambat).
 Kelainan irama
Irama mengacu pada keteraturan gelombang EKG. Setiap variasi
irama normal dan urutan eksitasi jangtung disebut aritmia.
o Flutter atrium ditandai oleh urutan depolarisasi atrium yang reguler
tetapi cepat dengan kecepatan antara 200 sampai 300 denyut per
menit.
o Fibrilasi atrium ditandai oleh depolarisasi atrium yang cepat,
ireguler, dan tidak terkoordinasi tanpa gelombang P yang jelas.
o Fibrilasi ventrikel adalah kelainan irama yang sangat serius dengan
otot-otot ventrikel memperlihatkan kontraksi yang kacau dan tidak
terkoordinasi.
 Miopati jantung
Gelombang EKG abnormal juga penting dalam mengenali dan
menilai miopati jantung (kerusakan otot jantung).
Kegunaan EKG adalah:
 Mengetahui kelainan-kelainan irama jantung (aritmia).
 Mengetahui kelainan-kelainan miokardium (infark, hipertrofi atrial, dan
ventrikel).
 Mengetahui adanya pengaruh atau efek obat-obat jantung.
 Mengetahui adanya gangguan elektrolit.
 Mengetahui adanya gangguan perikarditis.
Pada umumnya pemeriksaan EKG berguna untuk mengetahui: aritmia,
fungsi alat pacu jantung, gangguan konduksi interventrikuler, pembesaran
ruangan-ruangan jantung, IMA, iskemik miokard, penyakit perikard, gangguan
elektrolit, pengaruh obat-obatan seperti digitalis, kinidin, kinin, dan berbagai
kelainan lain seperti penyakit jantung bawaan, korpulmonal, emboli paru,
miksedema.
Gambar 5. Pola Elektrokardiogram Normal.
Suatu pulsa jantung normal manusia memiliki nilai magnitud sebesar 1,1
mV, hal ini dapat dilihat dengan menghitung jumlah kotak dari titik Q ke titik R,
dimana jumlah kotak tersebut ada 11 kotak. Masing-masing kotak sama dengan
0,1 mV, sehingga 11 kotak sama dengan 1,1 mV.
Defleksi Deskripsi
Gelombang yang timbul karena depolarisasi atrium dari
Gelombang P
nodus sinoatrial ke nodus atrioventrikular.
Defleksi negatif pertama sesudah gelombang P dan yang
Gelombang Q mendahului defleksi R, dibangkitkan oleh depolarisasi
permulaan ventrikel.
Defleksi positif pertama sesudah gelombang P dan yang
Gelombang R
ditimbulkan oleh depolarisasi utama ventrikel.
Defleksi negatif sesudah defleksi R. Keseluruhan
Gelombang S depolarisasi ventrikel ini membangkitkan gelombang QRS
kompleks.
Gelombang T Gelombang yang timbul oleh repolarisasi ventrikel.
Tabel 7. Ciri-Ciri EKG Normal.
Gelombang EKG Amplitudo Interval EKG Durasi
P < 0,3 mV P-R 0,12-0,20 detik
R 1,6-3 mV Q-T 0,35-0,44 detik
Q 25% dari R S-T 0,05-0,15 detik
T 0,1-0,5 mV Q-R-S 0,06-0,10 detik
2.20. Exercise Stressed Test (ETT)
Exercise stressed test atau tes treadmill atau uji beban jantung merupakan
tes noninvasif yang digunakan untuk mengevaluasi respon klinis dan
kardiovaskular terhadap olahraga. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi
apakah jantung memiliki asupan darah dan oksigen dari sirkulasi saat terjadi stres
fisik yang mungkin tidak muncul pada EKG saat istirahat. Pemeriksaan ini juga
dapat memberikan informasi penting apabila ada kelainan dari irama jantung dan
tekanan darah. Berikut ini merupakan beberapa kondisi yang membutuhkan tes
treadmill, yaitu:
 Apabila dicurigai memiliki penyakit jantung koroner (PJK), yang
terkadang tidak muncul pada EKG saat istirahat.
o Pasien yang risiko tinggi memiliki PJK.
o Untuk mengevaluasi toleransi saat beraktivitas saat pasien
mengeluhkan kelelahan yang tidak diketahui penyebabnya dan
napas pendek.
o Untuk mengevaluasi respon tekanan darah pasien yang memiliki
kecenderungan hipertensi saat beraktivitas.
o Untuk mencari adanya irama jantung yang tidak teratur (ireguler)
yang dipicu oleh aktivitas.
 Akan tetapi, tes treadmill sebaiknya tidak dilakukan pada beberapa kasus
seperti pasien yang baru saja mengalami serangan jantung, atau saat pasien
baru saja mengalami nyeri dada, dengan kecurigaan atau kemungkinan
serangan jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol,
gagal jantung yang belum diobati, gangguan irama jantung yang tidak
terkontrol.
Proses tes treadmill memakan waktu sekitar 20-40 menit tergantung dari
kapasitas latihan dan waktu munculnya gejala. The Bruce Protocol memakan
waktu total 21 menit, periode pemulihan 10 menit, dan persiapan 10 menit.
 Pasien dibawa ke ruang treadmill dimana nadi dan tekanan darah saat
istirahat akan direkam. Elektroda ditempelkan pada dada dan dihubungkan
dengan EKG pada mesin pemeriksaan.
 Tes ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yaitu exercise stress test,
pasien akan diminta untuk berjalan di atas treadmill dengan prosedur
latihan spesifik, dimulai dari langkah lambat. The Bruce Protocol,
protokol yang paling sering digunakan, memiliki total 7 tahapan dengan
peningkatan kecepatan secara periodik dan inklinasi kecuraman setiap 3
menit. Tekanan darah, denyut jantung, dan EKG akan dipantau dan
direkam secara bersamaan, pada saat istirahat, dan setiap 3 menit dalam
setiap tahapan latihan. Dokter akan bertanya kepada pasien sebelum suatu
tahapan berakhir, apakah pasien masih sanggup untuk melanjutkan ke
tahapan berikutnya.
 Ada beberapa pertimbangan yang harus diikuti apabila tes ini akan
dihentikan dan pasien tidak perlu menyelesaikan 7 tahapan. Tahapan 4-6
sudah memerlukan usaha yang intens, dan tahapan 7 memerlukan usaha
maksimal. Tes ini akan dihentikan apabila target denyut nadi telah
tercapai, atau apabila pasien mengalami gejala seperti nyeri dada, pusing,
kenaikan tekanan darah yang berlebihan, atau kelelahan yang ekstrim.
 Bagian kedua dari tes ini adalah periode pemulihan atau fase slowing
down. Kecepatan akan diturunkan secara bertahap dalam 10 menit.
Tekanan darah, denyut jantung, dan EKG pasien akan tetap dipantau
selama bagian kedua ini berlangsung.
Persiapan sebelum menjalani tes treadmill:
 Puasa makan dan minum selama 2-3 jam sebelum prosedur dilakukan. Hal
ini akan menurunkan risiko mual yang dapat terjadi pada kelelahan akibat
latihan berat setelah makan. Pada penderita diabetes yang mendapat terapi
insulin, akan ada instruksi khusus dari dokter.
 Konsumsi beberapa obat jantung spesifik mungkin perlu dihentikan oleh
dokter selama 1-2 hari sebelum tes dilakukan. Instruksi ini biasanya
diberikan saat tes dijadwalkan.
 Kenakan pakaian yang nyaman dan sepatu yang sesuai untuk latihan
(olahraga).
 Penjelasan mengenai tes ini akan diberikan oleh dokter dan pasien akan
diminta untuk menandatangani surat persetujuan tindakan.
 Bagian dada dibersihkan dengan kasa dan alkohol untuk memastikan
kualitas sadapan EKG yang baik. Bulu dada sebaiknya dicukur agar stiker
sadapan dapat melekat dengan sempurna di dada.
 Bagi wanita sebaiknya menggunakan bra dengan kait yang mudah dibuka,
dan apabila memungkinkan, kenakan kaos atau kemeja dengan kancing
depan.

Gambar 6. Delapan Tipe Hasil EKG pada Tes Treadmill.


Keterangan gambar:
1. Normal.
2. Rapid upsloping: respon depresi ST upsloping yang khas dan cepat adalah
respon latihan yang normal. Depresi J point dengan upsloping segmen ST
yang cepat biasanya merupakan respon pada lanjut usia yang sehat.
3. Minor ST depression: depresi minor ST kadang-kadang dapat timbul pada
beban latihan submaksimal pada pasien dengan penyakit koroner, yaitu
depresi 0,9 mm atau kurang selama minimal 80 milidetik setelah J point.
4. Slow upsloping: bentuk depresi segmen ST upsloping yang lambat
menunjukkan adanya respon iskemik pada pasien dengan penyakit koroner
atau pasien dengan risiko tinggi penyakit koroner. Kriteria untuk depresi
segmen ST upsloping yang lambat adalah depresi J point dan ST-80
minimal 1,5 mm dengan ST segment slope lebih dari 1,0 mV/detik.
5. Horizontal: depresi segmen ST tipe horizontal dan downsloping
merupakan kriteria gambaran EKG untuk iskemik miokard. Dikatakan
depresi segmen ST horizontal bila J point dan ST-80 keduanya mengalami
depresi antara 0 sampai 1 mV/detik.
6. Downsloping: depresi segmen ST downsloping tampak bila terjadi depresi
1 mm dari J point dan ST-80 dan ST segmen slope adalah -1,0 mV/detik.
7. Elevation (non-Q lead): elevasi segmen ST pada infark miokard non-Q
wave terjadi bila J point dan ST-60 naik 1 mm atau lebih. ST elevasi pada
sadapan non-Q wave menunjukkan adanya respon iskemik yang berat.
8. Elevation (Q wave lead): ST elevasi pada area Q wave saat tes treadmill
menujukkan adanya gangguan pergerakan dinding ventrikel yang berat
jarang diakibatkan oleh iskemik mikokard.
2.21. Lactate Dehidrogenase (LDH)
LDH didapatkan pada semua sel yang bermetabolisme, dan jika sel rusak
maka ditemukan peningkatan kadar LDH dalam serum. LDH serum total tidak
spesifik terhadap suatu jaringan. Yang spesifik terhadap jaringan tertentu adalah
isoenzimnya yang dikenal sebagai LDH1 sampai LDH5. LDH1 dan LDH2
ditemukan pada jantung, ginjal, otak, dan sel darah merah. Isoenzim LDH3
ditemukan pada tiroid, kelenjar adrenal, kelenjar getah bening, pankreas, limpa,
timus, dan leukosit. Isoenzim LDH4 dan LDH5 ditemukan pada hati dan otot
skeletal. Serum biasanya mengandung sejumlah kecil LDH1 dan sedikit lebih
banyak LDH2. Setelah IMA (infark miokard akut), kadar LDH1 serum
meningkat. Peningkatan terjadi 12 sampai 24 jam setelah IMA dan mungkin
persisten selama 12 hari. Dari 5 subunit LDH yang ada, dua isoenzim jantung,
yaitu LDH1 dan LDH2, tidak spesifik otot jantung, karena keduanya juga
meningkat pada anemia pernisiosa, kerusakan ginjal akut dan hemolisis. Nilai
normal LDH total adalah 110-210 IU/L yang terdiri dari berbagai persentase
isoenzimnya, yaitu:
 LDH 1: 17%-27%.
 LDH 2: 27%-37%.
 LDH 3: 18%-25%.
 LDH 4: 3%-8%.
 LDH 5: 0%-5%.
Pada saat ini pemeriksaan isoenzim LDH sudah jarang digunakan.
2.22. Kreatinin Kinase (CK)
Kreatinin kinase merupakan enzim intraselular yang banyak ditemukan
pada otot rangka, jantung dan otak. Adanya kerusakan membran sel karena
hipoksia atau cedera lain akan melepaskan CK dari sitosol selular ke sirkulasi
sistemik. Oleh sebab itu, peningkatan nilai CK pada darah dapat digunakan
sebagai uji sensitif namun tidak spesifik untuk penyakit infark miokard akut
(Daniel, 1990).
Kreatinin kinase serum meningkat seiring dengan mulainya infark
miokard dalam 6 jam dan memuncak pada 24 jam dan kembali ke normal dalam
2-3 hari. Namun, keberadaan kreatin kinase dalam jumlah besar pada otot rangka
dan adanya peningkatan nilai CK pada distrofi otot, hipotiroid, hipotermia dan
miopati membuat CK menjadi tidak spesifik untuk infark miokard (Nigam 2007).
Kreatinin kinase memiliki 3 isoenzim, yaitu CKBB, CKMB, dan CKMM yang
masing-masing terdiri dari 2 subunit sesuai dengan kemunculannya di jaringan, B
(brain/otak) dan M (muscle/otot). Otot jantung memiliki 40% CKMB dan 60%
CKMM. CKMB serum memberikan informasi yang berguna mengenai tingkatan
dan waktu infark miokard. CKMB serum mulai meningkat antara 3-5 jam setelah
onset infark dan memuncak pada 16-20 jam. Hal ini telah dipertimbangkan
menjadi “gold standard” untuk mengkonfirmasi infark miokard (Nigam, 2007).
2.23. Pemeriksaan Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan pengerasan pembuluh darah arteri yang ditandai
dengan penimbunan ateroma (endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit, dan
makrofag) dalam lapisan sel endotel (tunika intima) dan akhirnya ke lapisan otot
polos (tunika media). Arteri yang paling sering terkena aterosklerosis adalah arteri
koroner, aorta, dan arteri serebral (Corwin, 2007). Abnormalitas dari lipoprotein
plasma dapat menyebabkan aterosklerosis koroner (Dipiro et al, 2005).
Tabel 8. Gangguan dan Abnormalitas Lipoprotein, Kadar Kolesterol dan
Trigliserida, serta Clinical Presentation dan Risiko Aterosklerosis.
Abnormalit Kolester Risiko
Gangguan Trigliserid Clinical
as ol Ateroskleros
Lipoprotein a (mg/dl) Presentation
Lipoprotein (mg/dl) is
Tidak ada Tidak ada < 200 < 165 Tidak ada -
Family Xantelasma,
Peningkatan 300-600
hypercholesterole Normal xantoma, ↑↑
LDL atau lebih
mia aterosklerosis
Aterosklerosi
s,
Peningkatan
Familial combined berhubungan
LDL atau 250-600 200-600 ↑↑
hyperlipidemia dengan
VLDL
obesitas atau
diabetes
Familial
Peningkatan
hypertryglicerydem Normal 200-5000 Xantomas Tidak ada
VLDL
ia

2.24. Pemeriksaan Ginjal


 Pemeriksaan laju filtrasi glomerulus
Laju filtrasi darah dapat dihitung dengan menggunakan beberapa cara.
Cara pertama adalah dengan menggunakan inulin yang dikonsumsi oleh pasien.
Inulin akan diekskresi melalui urin sepenuhnya sehingga laju filtrasi ginjal dapat
ditentukan. Cara menghitung laju filtrasi ginjal menggunakan inulin adalah
sebagai berikut:
GFR = (Uin x V) : Pin
GFR adalah laju filtrasi glomerulus (ml/menit), Uin adalah konsentrasi
inulin dalam urin, Pin adalah konsentrasi inulin dalam darah, dan V adalah
volume ekskresi per unit waktu. Namun, inulin merupakan senyawa yang mahal
sehingga jarang digunakan untuk menentukan laju filtrasi ginjal.
Cara kedua adalah dengan klirens kreatinin. Pemeriksaan terhadap klirens
kreatinin dilakukan untuk mengetahui kemampuan penyaringan dari ginjal.
Pemeriksaan klirens kreatinin menggambarkan fungsi ginjal lebih akurat
dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin. Pada pemeriksaan ini,
dibutuhkan sampel urin 24 jam. Pemeriksaan hasil akan terpengaruh jika
pengumpulan sampel urin tidak akurat.
Pemeriksaan klirens kreatinin dapat dihitung dengan persamaan Cockroft
Gault (1992):
( 140−umur ) BB
Clcr =
72 x serum kreatinin
Nilai normal dari klirens kreatinin pada perempuan adalah 88-128
ml/menit dan pada laki-laki yaitu 97-137 ml/menit (Verdiansah, 2016). Nilai
rujukan untuk penggolongan gangguan fungsi ginjal berdasarkan klirens kreatinin.
 eGFR
eGFR adalah singkatan dari estimation glomerulus filtration rate.
Merupakan pemeriksaan untuk mengetahui kemampuan filtrasi dari glomerulus
ginjal. eGFR dinyatakan dalam satuan ml/menit/1,73 m 2. eGFR dihitung
berdasarkan hasil serum kreatinin.
GFR = 186 x (SCr) - 1,154 x (umur) - 0,203 x (0,742, jika wanita) x (1,210, jika
Afrika-Amerika)
GFR adalah laju filtrasi glomerulus (ml/menit/1,73 m 2) dan SCr adalah
serum kreatinin (mg/dl).
Tabel 9. Kategori Rentang Nilai eGFR.
Nilai GFR Kategori
≥ 90 ml/menit/1,73 m2 Normal
60-89 ml/menit/1,73 m2 Gangguan ginjal ringan
30-59 ml/menit/1,73 m2 Gangguan ginjal sedang
15-29 ml/menit/1,73 m2 Gangguan ginjal berat
< 15 ml/menit/1,73 m2 Gagal ginjal/renal failure
[Sumber: Dipiro et al, 2008]
 Pemeriksaan kreatinin serum
Kreatinin serum merupakan standar marker untuk pemeriksaan penyakit
ginjal. Kadar serum kreatinin seseorang akan meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Kadar kreatinin di dalam serum adalah fungsi produksi
kreatinin dan ekskresi ginjal. Kreatinin merupakan hasil metabolisme kreatin
fosfat dalam otot. Kerusakan ginjal akan menyebabkan peningkatan kreatinin di
dalam darah karena ginjal tidak mampu mengekskresikannya ke urin. Akan tetapi
kadar kreatinin yang tinggi belum tentu mengindikasikan adanya kerusakan
tersebut sebab kadar kreatinin dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor yang
mempengaruhi kadar kreatinin serum, yaitu:
 Massa otot.
 Protein dalam makanan.
 Vegetarian menunjukkan kadar kreatinin yang lebih rendah di darah.
Oleh sebab itu, pemeriksaan dari serum kreatinin perlu disertai dengan
estimasi laju filtrasi glomerulus/estimated glomerulus filtration rate (eGFR). Pada
kondisi normal, rentang serum kreatinin untuk perempuan dan laki-laki berada
pada 0,5-1,5 mg/dl (Dipiro et al, 2008).
Tabel 10. Nilai Rujukan Kadar Kreatinin Menurut Edmund, 2010.
Populasi Sampel Kadar
Pria dewasa Plasma atau serum 0,9-1,3 mg/dl
Wanita dewasa Plasma atau serum 0,6-1,1 mg/dl
Anak Plasma atau serum 0,3-0,7 mg/dl
Pria dewasa Urin 24 jam 800-2000 mg/hari
Wanita dewasa Urin 24 jam mg/hari
 Pemeriksaan kadar ureum
Ureum adalah produk akhir katabolisme protein dan asam amino yang
diproduksi oleh hati dan didistribusi melalui cairan intraseluler dan ekstraseluler
ke dalam darah kemudian difiltrasi oleh glomerulus (Gouda, 2010). Pengukuran
ureum serum dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal, status hidrasi,
menilai keseimbangan nitrogen, menilai progresivitas penyakit ginjal dan menilai
hasil hemodialisis (Edmund, 2010). Ureum dapat diukur dari bahan pemeriksaan
plasma, serum, ataupun urin. Kadar normal nitrogen urea dalam darah yaitu 5-20
mg/dl. Adanya peningkatan kadar nitrogen urea dalam darah mengindikasikan
adanya kelainan fungsi ginjal. Peningkatan ureum dikelompokkan menjadi 3
kelompok, yaitu pra-renal, renal, dan pasca renal (Myer, 2012).
 Kadar albumin
Kadar albumin diperiksa untuk melihat adanya protein yang terkandung di
dalam urin. Seharusnya jika fungsi ginjal dari seseorang normal, protein tidak
akan lolos dan berada dalam urin. Keadaan mikroalbuminuria memberikan tanda
awal dari penyakit ginjal.
Tabel 11. Kriteria Kadar Albumin.
Rentang Kadar Albumin Kategori
< 30 mg/hari Normal
30-300 mg/hari Mikroalbuminuria
> 300 mg/hari Albuminuria
[Sumber: Koda-Kimble et al., 2009]
2.25. Pemeriksaan Pankreatitis
 Uji laboratorium
Menunjukkan adanya peningkatan leukosit karena adanya inflamasi
sistemik. Peningkatan kadar aspartat aminotransferase (AST) dan alanin
aminotransferase (ALT). Nilai ALT yang lebih dari 150 IU/L menunjukkan
prediksi yang positif terjadinya pankreatitis (Capell, 2008).
 Lipase serum
Kadar lipase serum umumnya digunakan sebagai marker untuk
pankreatitis akut karena spesifisitas dan sensitifitasnya yang tinggi. Kadar lipase
serum dapat meningkat hingga dua kali lipat pada pasien gagal ginjal akibat
peningkatan inflamasi pada usus atau perforasi.
 Amilase serum
Kadar amilase serum meningkat pada pankreatitis akut karena kebocoran
dari pankreas yang terkena inflamasi menuju aliran darah dan penurunan ekskresi
ginjal.
 Uji lain
o CT-scan menemukan penyebab dari nyeri perut, apakah jaringan
mengalami kematian (nekrosis pankreas) dan melihat komplikasi seperti
terdapatnya cairan di sekitar pankreas, penghambatan vena, dan obstruksi
usus.
o Abdominal USG menemukan lokasi batu empedu dan juga dapat
memperlihatkan pembesaran saluran empedu.
o ERCP (endoscopic retrograde cholangio pancreatoram) melihat
struktur saluran empedu dan saluran pankreas.
o MRCP (magnetic resonance cholangio pancreatogram) mendeteksi batu
empedu di saluran empedu.
o Endoscopy ultrasound.
o MRI.
2.26. Xantoma
Xantoma merupakan suatu kelainan kulit yang biasanya terdapat pada
jaringan subkutan berupa plak atau nodul berwarna kuning yang disebabkan
adanya pengendapan lemak. Kelainan kulit pada xantoma disebabkan adanya
kelainan metabolisme lipoprotein dan/atau kenaikan kadar lipid dalam darah. Di
Amerika Serikat, xantoma merupakan suatu manifestasi yang umum dijumpai
pada orang dengan kelainan metabolisme lipid. Gambaran klinis terkait dengan
klasifikasi xantoma adalah sebagai berikut:
 Xanthoma eruptive ditandai dengan munculnya papul multipel pada kulit
yang berwarna kekuningan dengan tebal 1,4 mm. Biasanya muncul pada
tempat siku, paha bagian belakang, dimana pada papul tersebut terdapat
deposit sel lipid di lapisan retikuler dari dermis serta ditemukan sel
limfoid, histiosit, neutrofil. Foam cell pada xanthoma eruptive relatif lebih
sedikit dari pada xantoma jenis lain. Munculnya xanthoma eruptive
biasanya terkait dengan hasil laboratorium TG > 11,2 mmol/L dan dapat
dikenali dengan sindrom chylomicronemic. Papul multipel ini biasanya
muncul dalam waktu 3 minggu setelah kenaikan kadar trigliserida dalam
darah.
 Xanthoma tendinous adalah nodul subkutan yang padat/keras yang sering
ditemukan pada fascia, ligamentum, tendon achilles, dan tendon extensor
tangan, kaki, dan siku.
 Xanthoma plane berbentuk makula (datar) ataupun papul berwarna kuning
atau plak yang sering ditemukan pada palpebra (xanthelasma
palpebrarum) pada telapak tangan (xantoma striatum palmare).

Xanthoma eruptive yang Xanthoma tendinous yang Xanthelasma yang muncul


muncul pada bagian paha muncul pada siku. pada palpebra.
posterior.
Gangguan xantoma disebabkan adanya gangguan metabolisme lipid. Lipid
yang tidak larut dalam air akan bergabung dengan protein membentuk senyawa
lipoprotein, lipoprotein diklasifikasikan sebagai kilomikron, very-low-density
lipoprotein (VLDL), low-density lipoprotein (LDL), dan high-density lipoprotein
(HDL), dimana masing-masing lipoprotein memiliki peran dan fungsi dalam
menjaga fungsi metabolisme tubuh. Adanya penyakit yang menyebabkan
peningkatan kadar lipid dan lipoprotein tertentu, dimanifestasikan xantoma yang
terdapat pada kulit.
Tabel 12. Klasifikasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium Berdasarkan Fredrickson.
Klasifikasi Penyebab Data Laboratorium Xantoma
Genetik
Trigliserida > 10 mmol/L
Hipertrigliseridemia DM
Total kolesterol ↑ Xanthoma
berat Defisiensi familial
Kilomikron ↑ eruptive
(Tipe I dan V) LPL (lipoprotein
VLDL kolesterol ↑
lipase)
Xanthoma
LDL ↑ tendinous
Monogenik Total kolesterol Xanthoma
hiperkolesterolemia Mutasi dalam heterozigot 9-14 mmol/L eruptive
familial reseptor LDL Total kolesterol Xanthoma
(Tipe IIA) homozigot 15-30 tuberous
mmol/L Xanthoma
plane
Trigliserida ↑
HDL kolesterol ↓
Polygenic familial VLDL kolesterol ↑
kombinasi Genetik dan gaya LDL dalam level normal Xanthoma
hiperlipidemia hidup akan tetapi pada eruptive
(Tipe IIB) konsistensi padat hingga
lebih dapat menyebabkan
ateroma
Xanthoma
tendinous
Xanthoma
Broad beta Mutasi gen Trigliserida 5-20 mmol/L
eruptive
hyperlipoproteinaemia apolipoprotein Total kolesterol 7-12
Xanthoma
(Tipe III) (jarang terjadi) mmol/L
tuberous
Xanthoma
plane
Hipertrigliseridemia Hipertensi Trigliserida 2-10 mmol/L Xanthoma
Moderat Obesitas Kadar HDL ↓ eruptive
DM
Kadar asam urat
tinggi
Pemakaian alkohol
Penggunaan obat-
obatan steroid
sistemik
(isotretinoin)
2.27. Fatty Liver (Perlemakan Hati)
Penyakit perlemakan hati adalah stadium pertama dari sirosis alkohol yang
relatif jinak. Kelainan ini bersifat reversibel dan ditandai adanya penimbunan
trigliserida di hepatosit dan dipercaya terjadi pada 90% pecandu alkohol kronis.
Alkohol dapat menyebabkan penimbunan trigliserida di hati dengan bekerja
sebagai bahan bakar untuk pembentukan energi sehingga asam lemak tidak lagi
dibutuhkan. Produk akhir dari alkohol terutama asetaldehid juga dapat
mengganggu fosforilasi oksidatif oleh asam lemak oleh mitokondria hepatosit
sehingga asam lemak tersebut terperangkap di dalam hepatosit.
Hepatosit adalah sel parenkimal utama pada hati yang berperan dalam
banyak lintasan metabolisme, dengan bobot sekitar 80% dari massa hati, dan inti
sel baik tunggal maupun ganda. Hepatosit sangat aktif mensintesis protein dan
lipid untuk disekresi, dan memiliki banyak retikulum endoplasma dan badan
golgi. Sejumlah populasi hepatosit juga memiliki inti sel ganda, selain inti sel
tunggal seperti sel pada umumnya.
Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan suatu keadaan
terjadinya akumulasi lemak pada orang-orang yang tidak mengkonsumsi alkohol.
Penyakit hati nonalkoholik berhubungan erat dengan resistensi insulin, maka
sering ditemukan pada pasien obesitas dan juga hipertensi yang merupakan
komponen sindrom metabolik. Tahapan pada jenis ini adalah:
 Nonalcoholic steatosis (perlemakan hati).
 Nonalcoholic steatohepatitis NASH (perlemakan hati yang disertai dengan
inflamasi).
 Nonalcoholic fatty liver disease-associated cirrhosis (sirosis hati).
Sebagian penyakit perlemakan hati nonalkoholik 58-100% tidak
ditemukan gejala. Penyakit hati sering diketahui setelah pasien melakukan uji tes
fungsi hati dengan mengetahui ALT. Gejala yang timbul pun tidak spesifik seperti
sakit perut bagian kanan atas, kelelahan, anoreksia dan penyakit kuning, pruritis
malaise.
Tanda yang umumnya terjadi pada pasien dengan perlemakan hati adalah
adanya obesitas, hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa penelitian.
Berdasarkan penelitian dilaporkan bahwa sebesar 95% pasien mengalami
hepatomegali (penyakit yang diakibatkan oleh terjadinya pembesaran ukuran
organ hati yang melebihi ukuran normalnya. Kondisi ini dapat dipicu oleh
penyakit di hati ataupun di luar hati) dan 25% mengalami splenomegali
(pembesaran limpa, keadaaan ini biasanya terjadi akibat proliferasi limfosit dalam
limpa karena infeksi di tempat lain di tubuh). Tanda lainnya dapat muncul adalah
palmar eritema (kemerahan pada telapak tangan), edema dan adanya riwayat
obesitas, hipertensi, hiperlipidemia.
Diagnosis berdasarkan gambaran hasil laboratorium:
1. Ditunjukkan dengan adanya peningkatan aktivitas transaminase yaitu:
 Aktivitas enzim alanin transaminase (ALT) atau nama lama serum
glutamate pyruvate transferase (SGPT) digunakan sebagai diagnosis dini
penyakit hepatoselular (lebih spesifik dibandingkan dengan AST).
 Aktivitas enzim aspartate transaminase (AST) atau nama lama serum
glutamate oxaloacetate transferase (SGOT) digunakan sebagai diagnosis
dini penyakit hepatoselular, pemantauan, pada alkoholisme AST > ALT.
Pada pasien perlemakan hati nonalkoholik ditemukan hasil ALT dan AST
dengan rasio sama yaitu < 1. Kedua rasio tersebut (ALT/AST) cenderung
meningkat seiring dengan diagnosisnya menjadi sirosis hati. Hasil berbeda
ditunjukkan oleh pasien perlemakan hati alkoholik dimana terjadi perbedaan rasio
antara hasil ALT dan AST. Hasil AST mengalami sedikit peningkatan
dibandingkan dengan ALT. Pada orang yang mengalami kerusakan pada hepar,
nilai ALT akan lebih tinggi daripada AST.
2. Aktivitas enzim fosfatase alkali (alkaline phosphatase), ALP digunakan
sebagai diagnosis kolestasis, infiltrasi hepatik, diagnosis kelainan
metabolisme.
Pada pasien perlemakan hati nonalkoholik sepertiga ditemukan
peningkatan pada aktivitas enzim fosfatase alkali (ALP). Data hasil pemeriksaan
menunjukkan 2 kali batas atas pada rentang normal, selain itu terdapat enzim
gamma-glutamil transferase (GGT) digunakan sebagai penanda kolestasis
biliar dan alkoholisme menunjukkan kenaikan pada data laboratorium.
3. Terjadi perubahan yang tidak signifikan pada hasil laboratorium dibawah
ini:
 Bilirubinemia mengalami peningkatan (diagnosis ikterus, menilai
beratnya penyakit, penyakit Gilbert, hemolisis, diagnosis kolestasis).
 Albuminemia mengalami penurunan (menilai beratnya penyakit dan
kronis).
 Protrombin tidak mengalami masa perpanjangan (menilai beratnya
penyakit dan beratnya kolestasis).
4. Kenaikan hasil laboratorium pada profil lipid dan glukosa mencapai 25
hingga 75% pada pasien perlemakan hati nonalkoholik.
Namun gambaran dari data laboratorium ini kurang sensitif sehingga
kurang spesifik untuk diagnosa. Diagnosis perlemakan hati nonalkoholik
ditegakkan dengan anamnesis yang teliti, yang dibagi menjadi 2 komponen:
 Adanya bukti perlemakan hati dan steatohepatitis.
 Eksklusi penyebab lain perlemakan hati, seperti alkoholisme.
5. Diagnosis yang paling banyak dilakukan adalah dengan metode USG yang
bersifat noninvasif yang berguna pada penelitian kualitatif. Memiliki
spesifisitas dan sensitivitas 82-94%. Adanya gambaran tekstur hepar yang
terang (bright liver) dan deep attenuation menunjukkan perlemakan hati.
Keterbatasan USG ini diantaranya:
 Tidak dapat divisualisasikan dengan baik pada pasien obesitas.
 Tidak cukup sensitif untuk mendeteksi steatosis ringan, misalnya (< 33%
dari hepatosit tidak mampu membedakan subtipe dari perlemakan hati
nonalkoholik).
 Ditemukan hepatomegali dan visualisasi yang berkurang dari vena porta
dan vena hepatika sulit membedakan steatosis dan fibrosis.
6. Diagnosis yang lebih pasti dapat digunakan menggunakan biopsi hati,
namun tidak mudah dilakukan terkait dengan pengambilan sampel
jaringan yang tidak tepat dan teknis lainnya. Diagnosis biopsi hati lebih
akurat untuk NASH (steatohepatitis nonalkoholik) yaitu perlemakan hati
yang disertai dengan peradangan atau inflamasi. Biopsi hati mampu
menegakkan diagnosis dari NASH serta menentukan stadium fibrosis dari
hati dan juga mampu memberikan informasi pada prognosis. Tindakan
biopsi hati mahal dan invasif dengan mortalitas 0,01% dan komplikasi
0,3%. Selain itu kebanyakan pasien perlemakan hati nonalkoholik adalah
asimptomatik dan tidak mau untuk melakukan uji biopsi hati.

Berikut ini adalah gambar hasil pemeriksaan laboratorium mikroskopik


pasien dengan nonalkoholik steatohepatitis (NASH) pada:
 Panah P dan C menunjukkan portal (zona 1) dan vena sentral (zona 3)
dimana masing-masing terdapat adanya globul lemak.
 Pada gambar kanan atas: terdapat saluran berbentuk portal yang berisi
peradangan mononuklear dan lipogranuloma.
 Pada gambar bawah kiri: panah H menunjukkan pembesaran dari
hepatosit.
 Panah B pembengkakan sel binucleated yang berdekatan dengan sel balon.
 Pada gambar tengah bagian bawah merupakan leukosit polimornuklear
dalam lobulus hati.
 Pada gambar kanan bagian bawah terdapat asidofil.
Tabel 13. Uji Fungsi Hepar Secara Klinik.
[Sumber: Thapa & Walia, 2007]

Anda mungkin juga menyukai