Anda di halaman 1dari 77

Gambaran Variasi Gen CYP1A1 pada Pasien Laki-Laki Infertil

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk

Memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Ahmad Malik Ibrahim

NIM : 11171030000044

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H / 2021 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ciputat, 13 Januari 2021

Ahmad Malik Ibrahim

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Gambaran Variasi Gen CYP1A1 pada Pasien Laki-Laki Infertil

Laporan Penelitian

Diajukan kepada Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran untuk

Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh

Ahmad Malik Ibrahim


NIM : 11171030000044

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Zeti Harriyati, M.Biomed Chris Adhiyanto, M.Biomed., Ph.D


NIP : - NIP : 196905112003121001

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/2022 M

ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Laporan Penelitian berjudul Gambaran Variasi Gen CYP1A1 pada Pasien Laki-
Laki Infertil yang diajukan oleh Ahmad Malik Ibrahim (NIM 11171030000044), telah
diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran pada 13 Januari 2021. Laporan
penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter.

Ciputat, - Januari 2021


DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang

Dr. Zeti Harriyati, M.Biomed., Ph.D

NIP : -

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Zeti Harriyati, M.Biomed Chris Adhiyanto, M.Biomed., Ph.D

NIP : - NIP : 196905112003121001


Penguji I Penguji II

dr. Nouval Shahab, Sp.U., Ph.D., FICS., FACS dr. Muniroh, Sp.PK.

NIP : 197211032006041001 NIP : 197703262009012005

PIMPINAN FAKULTAS

Dekan Fakultas Kedokteran Kaprodi PSKed

dr. Hari Hendarto, Sp. PD-KEMD, Ph.D, FINASIM Dr. dr. Achmad Zaki, M. Epid, Sp. OT

NIP. 19651123 200312 1 003 NIP. 19780507 200501 1 005

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-NYA saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing
kita dari zaman zahiliyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Alhamdulillah saya mendapatkan banyak bimbingan dan dukungan dari


berbagai pihak sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, saya
ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Hari Hendarto, Sp. PD-KEMD, PhD, FINASIM selaku dekan Fakultas
Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh staf pengajar yang
telah memberikan saya banyak ilmu selama saya menempuh pendidikan di
Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter FK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dr. Zeti Harriyati, M.Biomed selaku pembimbing I dan Chris Adhiyanto,
M.Biomed., Ph.D selaku Pembimbing II saya yang selalu memberikan
bimbingan, ilmu, masukan, dan arahan kepada saya ditengah-tengah
kesibukannya.
3. Ibu dan Ayah saya yang selalu mendoakan saya serta memberi dukungan, kasih
sayang, dan perhatian sehingga saya selalu bersemangat untuk menempuh
pendidikan dokter.
4. Dr. Flori Ratnasari, PhD selaku penanggungjawab (PJ) modul riset PSPD 2021,
Pak Christ, M. Biomed selaku PJ laboratorium Riset, Ibu Endah Wulandari,
M.Biomed selaku PJ laboratorium Biokimia, dan Ibu Zeti Harriyati, M.Biomed
selaku PJ laboratorium MBI yang telah memberikan izin atas penggunaan
laboratorium pada penelitian ini.
5. Mba Ai selaku laboran Biokimia, Mba Suryani selaku laboran Biologi yang
telah membantu kami dalam penggunaan laboratorium

iv
6. Teman satu kelompok riset saya, Jihadin Rasyadi Mumtaz yang berjuang
bersama dalam menyelesaikan penelitian ini.
7. Teman angkatan saya, Yusran yang memberi bantuan secara tidak langsung.
8. Istri tercinta, Yasyfa Mutiara yang selalu mendoakan saya dalam penelitian ini.

Saya menyadari akan kekurangan yang ada pada laporan penelitian ini. Kritik dan saran
sangat saya harapkan agar laporan penelitian ini menjadi lebih baik. Demikian laporan
penelitian ini saya tulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis dan para
pembacanya.

Ciputat, 13 Januari 2021

Penulis

v
ABSTRAK

Ahmad Malik Ibrahim. Program Studi Kedokteran. Gambaran Variasi Gen


CYP1A1 pada Pasien Laki-Laki Infertil. 2020
Masalah Utama : Masalah reproduksi merupakan masalah kesehatan yang telah
berkembang di seluruh dunia. Penyebab terjadinya masalah reproduksi dapat
disebabkan dari pihak laki-laki maupun perempuan. Penelitian baru-baru ini
didapatkan mengenai gen CYP1A1 terhadap infertilitas yang telah dilakukan di
beberapa negara dengan hasil yang menjelaskan bahwa polimorfisme pada gen
CYP1A1 merupakan salah satu penyebab terjadinya infertilitas pada laki-laki.
Metode : Menggunakan sampel semen dari penelitian sebelumnya yang tersimpan
dengan baik dilaboratorium Biologi. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak lima
sampel sperma laki-laki fertil dan lima sampel sperma laki-laki infertil. Tiap sampel
akan dilakukan isolasi DNA, pemeriksaan konsentrasi dan kemurnian hasil isolasi
DNA, PCR, elektroforesis produk PCR, dan pengiriman produk PCR untuk
sekuensing.
Hasil : Ditemukannya variasi gen CYP1A1 pada sampel sperma fertil dan infertil
Kesimpulan : Didapatkan variasi yang sama pada 2 dari sampel infertil pada urutan
118 A > G dan 119 A > G/T, dan tidak didapatkan pada laki-laki fertil.

Kata kunci : Sperma, Infertil, variasi gen CYP1A1

vi
ABSTRACT

Ahmad Malik Ibrahim. Medicine Study Program. Description of CYP1A1 Gene


Variation in Infertile Male Patients. 2020
Main Problem : Problem problem is a health problem that has been growing all over
the world. The cause of the problem can be either male or female. New research was
obtained regarding the CYP1A1 gene against infertility that has been carried out in
several countries with the results explaining that the polymorphism in the CYP1A1
gene is one of the causes of infertility in men.
Methods : Using well-stored semen samples from previous studies in the Biology
laboratory. The number of samples used was five sperm samples from fertile men and
five samples from infertile men. Each sample will be carried out with DNA isolation,
examination of the concentration and purity of the isolated DNA, PCR, PCR product
electrophoresis, and PCR product delivery for sequencing.
Result : The discovery of CYP1A1 gene variation in fertile and infertile sperm
samples
Conclusion : The same variation was found in 2 of the infertile samples on the order
of 118 A> G and 119 A> G / T, and was not found in fertile men.

Keywords : Sperm, Infertile, CYP1A1 gene variation

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................... i


LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................iii
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. iv
ABSTRAK................................................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL .................................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................xiii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................................... 2
1.3. Hipotesis ......................................................................................................................... 2
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 2
1.4.1. Tujuan Umum .......................................................................................................... 2
1.4.2. Tujuan Khusus ......................................................................................................... 2
1.5. Manfaat Penelitian .......................................................................................................... 2
1.5.1. Manfaat bagi Peneliti ............................................................................................... 2
1.5.2. Manfaat bagi Institusi .............................................................................................. 3
1.5.3. Manfaat bagi Masyarakat ........................................................................................ 3
1.5.4 Manfaat bagi Klinis .................................................................................................. 3
BAB 2 ........................................................................................................................................ 4
2.1. Landasan Teori ............................................................................................................... 4
2.1.1. Sistem Reproduksi Pria ........................................................................................... 4
2.1.2. Spermatogenesis ...................................................................................................... 8
2.1.3. CYP1A1................................................................................................................. 10
2.1.4. Infertilitas Pada Laki-Laki ..................................................................................... 11
2.1.5. DNA....................................................................................................................... 14
2.1.6. Kerusakan DNA dan Mutasi DNA ........................................................................ 15
2.1.5. Isolasi DNA ........................................................................................................... 21
2.1.6. PCR ........................................................................................................................ 24
2.1.7. DNA Sequencing ................................................................................................... 25

viii
2.1.8. Metode Mendeteksi DNA ...................................................................................... 27
2.2. Definisi Operasional ..................................................................................................... 30
2.3. Kerangka Teori ............................................................................................................. 31
2.4 Kerangka Konsep........................................................................................................... 31
BAB 3 ...................................................................................................................................... 32
3.1. Desain Penelitian .......................................................................................................... 32
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................................ 32
3.3. Sampel .......................................................................................................................... 32
3.4. Cara Kerja Penelitian .................................................................................................... 32
3.4.1. Alur Penelitian ....................................................................................................... 33
3.4.2. Alat dan Bahan ...................................................................................................... 33
3.4.3. Isolasi DNA ........................................................................................................... 34
3.4.4. Spektrofotometri .................................................................................................... 35
3.4.5. Elektroforesis ......................................................................................................... 35
3.4.6. PCR ........................................................................................................................ 36
BAB IV .................................................................................................................................... 37
4.1. Hasil .............................................................................................................................. 37
4.1.1. Konsentrasi dan Kemurnian Isolasi DNA ............................................................. 37
4.1.2. Pengamatan Gen CYP1A1 dengan Elektroforesis ................................................ 38
4.1.3. Sekuensing isolasi DNA ........................................................................................ 39
4.2. Pembahasan .................................................................................................................. 41
4.2.1. Konsentrasi dan Kemurnian Isolasi DNA ............................................................. 41
4.2.2. Pengamatan Gen CYP1A1 dengan Elektroforesis ................................................ 42
4.2.3. Variasi Gen CYP1A1 ............................................................................................ 42
BAB V ..................................................................................................................................... 48
5.1. Kesimpulan ................................................................................................................... 48
5.2. Saran ............................................................................................................................. 48
Daftar Pustaka.......................................................................................................................... 49
Lampiran.................................................................................................................................. 52

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Nilai Referensi Analisis Semen ................................................................................ 13


Tabel 4.1. Konsentrasi dan Kemurnian Isolasi DNA................................................................. 37
Tabel 4.2. Urutan Basa Nitrogen Sampel Fertil dan Infertil .................................................... 40
Tabel 4.3. Variasi Urutan Basa Nitrogen Sperma Fertil dan Infertil ........................................ 40
Tabel 4.4. Perbedaan Urutan Nitrogen Basa Referensi dengan Sampel Fertil dan Infertil ..... 43

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Gambar Testis, Potongan Cross Section dari tubulus seminiferous, dan
Perkembangan Sperma .............................................................................................................. 6
Gambar 2.2.Organ Reproduksi Pria........................................................................................... 7
Gambar 2.3. Komponen dari Testis ........................................................................................... 8
Gambar 2.4. Spermatogenesis ................................................................................................... 9
Gambar 2.5. Spermatozoa........................................................................................................ 10
Gambar 2.6. Struktur DNA...................................................................................................... 15
Gambar 2.7. Peran dari Kerusakan DNA dan DNA Repair pada Kanker dan Penuaan.......... 16
Gambar 2.8. Metode Ekstraksi DNA....................................................................................... 23
Gambar 2.9. Elektroforesis Kapiler ......................................................................................... 27
Gambar 4.1. Hasil Elektroforesis Sampel A, B, C , D, E, F, G, H, dan I ................................ 38
Gambar 4.2. Variasi Gen Sampel A ( T > A di Urutan 37) ..................................................... 46
Gambar 4.3. Variasi Gen Sampel J ( T > A di Urutan 35) ...................................................... 46

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Urutan Basa Nitrogen dan Kromatogram ................................................................................ 52

xii
DAFTAR SINGKATAN

WHO World Health Organization


DNA Deoxyribonucleic acid
ABP Androgen Binding Protein
FSH Follicle Stimulating Hormone
CYP1A1 Sitokrom P450 1A1
PAH Polycyclic Aromatic Hydrocarbons
SNP Single Nucleotide Polymorphisms
OAT Oligoastenoteratozoospermia
A Adenine
T Thymine
G Guanine
C Cytosine
U Uracil
mRNA messenger RNA
SDS Sodium Deodesil Sulfat
PCR Polymerase Chain Reaction
TE Tris EDTA
Taq Thermus aquaticus
dNTP Deoxynucleotide Triphosphate
ddNTP Dideoxynucleotides Triphosphates
OD Optical Density
TAE Tris Acetate EDTA
UV Ultraviolet
PBS Phosphate Buffer Saline
PPS Protein Precipitate Solution
NLS Nuclei Lysis Solution

xiii
PK Proteinase K
bp base pair
BLAST Basic Local Alignment Search Tool

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infertilitas menurut WHO adalah suatu masalah sistem reproduksi yang


didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai kehamilan klinis setelah 12 bulan atau
lebih melakukan hubungan seksual tanpa alat kontrasepsi. Pasangan suami istri di
Indonesia mengalami infertilitas sebesar 10-12 %. Faktor yang menyebabkan
infertilitas terdiri dari wanita sebesar 41 %, pria 24 %, kedua pihak pria dan wanita 24
%, sedangkan 11 % tidak dapat dicari secara pasti penyebabnya . Kualitas sperma,
azoospermia dan cara bersenggama merupakan faktor yang berkontribusi dalam
pasangan infertilitas sebesar 50 %.1,2

Masalah reproduksi merupakan masalah kesehatan yang telah berkembang di


seluruh dunia. Penyebab terjadinya masalah reproduksi dapat disebabkan dari pihak
laki-laki maupun perempuan. Kebanyakan masyarakat hanya mempermasalahkan
masalah reproduksi dari pihak perempuan saja, namun dilihat dari pihak laki-laki dapat
menjadi sumber dari masalah reproduksi sehingga faktor laki-laki berperan penting
dalam diagnosis dan prognosis masalah reproduksi. Sel sperma memegang peran untuk
membawa komplemen genetik ayah ke oosit untuk berkontribusi pada zigot euploid
dengan integritas DNA yang tepat.

WHO memperkirakan bahwa ketidaksuburan terjadi di antara 7% dan 15%


pasangan di usia reproduksi. Dalam sejumlah besar kasus, faktor wanita adalah
penyebab paling penting dari infertilitas, namun faktor laki-laki juga dapat menjadi
penyebab infertilitas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel sperma dan DNA
sperma mungkin memiliki pengaruh besar dalam konsepsi alami dan juga dalam
perawatan kesuburan.3 Pada beberapa penelitian dilaporkan tentang pemeriksaan
fragmentasi DNA sperma telah digunakan selama beberapa dekade sebagai tes
kesuburan laki-laki, namun kegunaannya telah menimbulkan banyak perdebatan.3

1
Beberapa penelitian melaporkan permasalahan infertilitas laki-laki dipengaruhi
oleh gen-gen yang mengontrol dan terlibat dalam proses spermatogenesis baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penelitian baru-baru ini didapatkan mengenai gen
CYP1A1 terhadap infertilitas yang telah dilakukan di beberapa negara seperti India dan
Cina dengan hasil yang menjelaskan bahwa polimorfisme pada gen CYP1A1
merupakan salah satu penyebab terjadinya infertilitas pada laki-laki. Namun ada juga
penelitian yang memberi pernyataan bahwa hal ini hanya signifikan pada orang Asia
saja, tidak berlaku pada kaum Kaukasia (atau disebut orang berkulit putih).4–6

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran variasi gen CYP1A1 pada pasien laki-laki infertil ?

1.3. Hipotesis

1. Terdapat variasi gen CYP1A1 pada pasien laki-laki infertil berupa urutan basa
nitrogen yang khas

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

1. Melihat gambaran variasi gen CYP1A1 pada laki-laki.

2. Mengetahui urutan basa nitrogen gen CYP1A1 pada laki-laki.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran variasi gen CYP1A1 yang khas pada pasien laki-laki infertil.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat bagi Peneliti

Menambah ilmu mengenai gambaran variasi gen CYP1A1 yang terdapat pada pasien
laki-laki infertil.

2
1.5.2. Manfaat bagi Institusi

Memberikan wawasan mengenai gambaran variasi gen CYP1A1 pada pasien laki-laki
infertil. Selain itu, dapat juga diguakan sebagai referensi penelitian di Fakultas
Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah.

1.5.3. Manfaat bagi Masyarakat

Menambah ilmu tentang beberapa gambaran variasi gen CYP1A1 pada pasien laki-
laki infertil.

1.5.4 Manfaat bagi Klinis

Penelitian ini memberikan informasi mengenai gambaran variasi gen CYP1A1 pada
pasien laki-laki infertil.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Sistem Reproduksi Pria

Sistem reproduksi pria dimulai dari sepasang testis yang merupakan organ
reproduksi primer atau bisa disebut gonad yang memiliki dua fungsi, yaitu untuk
menghasilkan spermatozoa dari proses spermatogenesis dan mengeluarkan hormon
seks yaitu testosteron. Selain gonad, terdapat saluran reproduksi seperti sistem duktus
yang mengangkut dan menampung spermatozoa setelah dibentuk. Terdapat juga
kelenjar seks aksesorius yang mengsekresi cairan semen ke dalam saluran-saluran
tersebut.7

2.1.1.1. Testis

Testis manusia memiliki struktur berbentuk bulat telur yang berpasangan


sekitar 5 cm kali 2,5 cm. Testis memiliki kapsul berserat yang membungkus tubulus
seminiferus. Jaringan interstisial testis terdiri dari pembuluh darah dan sel leydig yang
menghasilkan testosteron terletak di antara tubulus. Tubulus seminiferus merupakan
hampir 80% bagian dari massa testis pada orang dewasa. Tubulus seminiferus
meninggalkan testis dan bergabung dengan epididimis yang merupakan saluran tunggal
yang membentuk tali pusar yang melingkar rapat pada permukaan kapsul testis.
Epididimis menjadi vas deferens yang juga dikenal sebagai duktus deferens. Duktus
ini akan menuju uretra, jalur dari kandung kemih ke lingkungan luar.7

Tubulus seminiferus adalah tempat produksi sperma yang mengandung dua


jenis sel, yaitu sel sertoli dan spermatogonia yang akan berkembang secara bertahap
menjadi sperma. Spermatogonia yang nantinya akan berkembang menjadi spermatosit
akan menumpuk dalam kolom dari tepi luar tubulus ke lumen. Di antara setiap kolom
ada satu sel Sertoli yang memanjang dari tepi luar tubulus ke lumen. Di sekitar bagian
luar tubulus adalah lamina basal yang berperan sebagai penghalang untuk mencegah

4
molekul besar tertentu dalam cairan interstisial memasuki tubulus tetapi
memungkinkan testosteron masuk dengan mudah. Sel sertoli yang berdekatan dalam
tubulus dihubungkan satu sama lain dengan sambungan rapat yang membentuk
penghalang tambahan antara lumen tubulus dan cairan interstisial di luar tubulus.
Karena adanya penghalang antara kompartemen ini, cairan luminal memiliki
komposisi yang berbeda dengan cairan interstitial, dengan konsentrasi glukosa yang
rendah dan konsentrasi K+ serta hormon steroid yang tinggi.8

Sel sertoli adalah sel mengatur perkembangan sperma. Sel Sertoli menyediakan
makanan untuk spermatogonia yang sedang berkembang. Sel Sertoli memproduksi
dan mengeluarkan protein yang berkisar dari hormon inhibin dan aktivin hingga faktor
pertumbuhan, enzim, dan Androgen Binding Protein (ABP). ABP disekresikan ke
dalam lumen tubulus seminiferus, di mana ABP mengikat testosteron. Testosteron
yang terikat pada protein kurang lipofilik dan tidak dapat berdifusi keluar dari lumen
tubulus.8

Sel leydig terletak di jaringan interstisial antara tubulus seminiferous dan


berperan untuk mengeluarkan testosteron. Mereka pertama kali menjadi aktif dalam
janin, saat testosteron dibutuhkan untuk mengarahkan perkembangan karakteristik
pria. Setelah lahir, sel menjadi tidak aktif. Saat pubertas mereka melanjutkan produksi
testosteron. Sel leydig juga mengubah beberapa testosteron menjadi estradiol.8

5
Gambar 2.1. Gambar Testis, Potongan Cross Section dari tubulus
seminiferous, dan Perkembangan Sperma.8

2.1.1.2. Kelenjar Seks Aksesorius

Saluran reproduksi pria memiliki tiga kelenjar aksesori, yaitu kelenjar


bulbourethral, vesikula seminalis, dan prostat yang fungsi utamanya adalah
mengeluarkan berbagai campuran cairan. Ketika sperma meninggalkan vas deferens
selama ejakulasi, mereka menghasilkan campuran cairan sperma yang dikenal sebagai
air mani. Sekitar 99% volume air mani ditambahkan dari kelenjar aksesori. Semen
menyediakan media cair untuk mengirim sperma. Kelenjar bulbourethral
menyumbangkan immunoglobulin untuk pelumasan dan buffer untuk menetralkan
lingkungan vagina yang biasanya bersifat asam. Vesikula seminalis menyumbangkan
prostaglandin yang tampaknya memengaruhi motilitas dan transportasi sperma di
saluran reproduksi pria dan wanita. Prostaglandin awalnya diyakini berasal dari
kelenjar prostat. Baik prostat dan vesikula seminalis menyumbangkan nutrisi untuk
immunoglobulin sperma. Selain menyediakan media untuk sperma, sekresi kelenjar

6
aksesori membantu melindungi saluran reproduksi pria dari immunoglobulin yang
mungkin naik ke uretra dari lingkungan luar. Salah satu komponen semen yang
menarik adalah seng. Perannya dalam reproduksi tidak jelas, tetapi konsentrasi seng di
bawah tingkat tertentu dikaitkan dengan infertilitas pria.7,8

Gambar 2.2.Organ Reproduksi Pria.8

7
2.1.2. Spermatogenesis

Spermatogensis adalah proses pembentukan sperma. Spermatogenesis terjadi


di testis. Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferosa yang menjadi tempat
berlangsungnya spermatogenesis. Spermatogenesis dipengaruhi oleh testosterone dan
FSH. Testosteron berfungsi dalam mitosis dan meiosis sel-sel germinativum. FSH
diperlukan untuk remodeling spermatid. Cara kerja testosterone adalah berikatan
dengan reseptor androgen di sitoplasma target, lalu kompleks reseptor androgen
tersebut akan bergerak ke nukleus, di mana kompleks tersebut terikat dengan elemen
respons androgen pada DNA, sehingga menyebabkan transkripsi gen yang
mengarahkan sintesis baru. Testosteron dihasilkan oleh sel leydig.7

Gambar 2.3. Komponen dari Testis.8

Spermatogenesis terdiri dari tiga tahap utama, yaitu proliferasi mitotik, meiosis,
dan remodeling. Proliferasi mitotik menghasilkan sel germinativum baru terus menerus
dengan cara pembelahan mitotik sebuah spermatogonium di tepi luar tubulus sebagai
spermatogonium tak berdiferensiasi. Beberapa spermatogonium dibebaskan ke lumen
dan akan mengalami mitosis dua kali untuk menghasilkan empat spermatosit primer
identik. Setelah mitosis terakhir, spermatosit primer akan masuk ke fase istirahat ketika
kromosom-kromosom terduplikasi dan untai-untai rangkap tersebut menyatu sebagai
persiapan untuk meiosis pertama.7

8
Pada proses pembelahan meiosis pertama, setiap spermatosit primer dengan
jumlah diploid 46 kromosom rangkap akan membentuk spermatosit sekunder dengan
jumlah haploid 23 kromosom rangkap. Lalu pada pembelahan meiosis kedua,
spermatosit sekunder akan menghasilkan empat spermatid dengan 23 kromosom
tunggal. Spermatid akan mengalami remodeling menjad spermatozoa, proses
remodelingnya dibantu oleh FSH. Apabila dihitung jumlah total spermatozoa yang
dihasilkan tiap spermatogonium adalah 16 spermatozoa.7

Gambar 2.4. Spermatogenesis.8

Spermatozoa memiliki tiga bagian yaitu kepala, yang dilindungi dengan


akrosom, bagian tengah, dan ekor. Kepala terdiri dari nukleus yang mengandung
informasi genetik sperma. Akrosom merupakan vesikel berisi enzim yang berada di
ujung kepala untuk menembus ovum. Akrosom adalah suatu modifikasi lisosom yang

9
dibentuk oleh agregasi vesikel-vesikel yang diproduksi oleh komplek golgiretikulum
endoplasma. Ekor pada sperma berfungsi sebagai mobilitas spermatozoa. Energi untuk
mobilitas dihasilkan oleh mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma.7,8

Gambar 2.5. Spermatozoa.8

2.1.3. CYP1A1

Sitokrom P450 1A1 (CYP1A1) adalah anggota penting yang merupakan bagian
dari keluarga CYP1A dan dipetakan pada kromosom 15q22-q24, mencakup 5810 bp
dan terdiri dari 7 ekson dan 6 intron. CYP1A1 merupakan enzim hati dan ekstra hati
yang aktivitasnya dimodulasi oleh logam berat (Pb, Cd, Cu, kromium, vanadium, dan
terutama Fe). CYP1A1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik prokarsinogen
menjadi metabolit reaktif. Ini juga berpartisipasi dalam metabolisme hormon steroid
termasuk estrogen. Meskipun beberapa polimorfisme sebelumnya telah diidentifikasi
untuk gen CYP1A1, banyak perhatian telah diberikan pada polimorfisme CYP1A1*2A
atau m1 (juga dikenal sebagai Msp1), CYP1A1*2C atau m2, CYP1A1*3 atau m3 dan
CYP1A1*4 atau m4. Polimorfisme genetik dari gen CYP1A1 mengubah aktivitas
enzim dan telah terbukti terkait dengan berbagai jenis kanker seperti karsinoma
payudara, usus besar, ovarium, paru-paru, rongga mulut, dan leukemia limfoblastik
akut (ALL).9,10

CYP1A1 diinduksi di hati dan banyak jaringan ekstrahepatik, termasuk paru-


paru. CYP1A1 dapat diinduksi oleh polisiklik aromatik hidrokarbon (PAHs),
polychlorinated biphenyls, dan halogenated dioxin yang dapat ditemukan dalam
makanan yang dipanggang dengan arang atau atmosfer. CYP1A1 mengkatalisis

10
bioaktivasi prokarsinogen dan proteratogen menjadi metabolit aktif yang mengikat
DNA.10

Selain untuk mengkatalisis bioaktivasi prokarsinogen dan proteratogen, gen


CYP1A1 juga penting dalam memetabolisme metabolit endogen seperti steroid,
prostaglandin, dan asam lemak serta metabolit eksogen seperti obat dan bahan kimia
yang mungkin beracun bagi sistem reproduksi pria. Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan infertilitas, beberapa penelitian memberikan hasil yang tidak meyakinkan
mengenai hubungan antara polimorfisme gen CYP1A1 dan infertilitas. CYP1A1*2A
dan CYP1A1*2C adalah dua SNP (Single Nucleotide Polymorphisms) yang umum dan
signifikan secara fungsional. Hasil meta analisis yang baru-baru ini dipublikasikan
menunjukkan peningkatan risiko infertilitas pria idiopatik pada individu dengan
genotipe CYP1A1*2A di antara orang Asia tetapi tidak pada orang Kaukasia.
Perbedaan dalam temuan laporan ini mungkin terkait dengan asal etnis dan geografis
dari populasi penelitian.11

Terdapat penelitian yang menjelaskan peran CYP1A1 terhadap infertilitas.


Penelitian ini mengatakan bahwa gen CYP1A1 adalah gen polimorfik dan mengkode
enzim CYP1A1 yang mengkatalisis bioaktivasi PAH. PAH adalah polutan yang
tersebar di mana-mana di lingkungan alam, yang mampu membentuk DNA adduct
yang bila diaktifkan dapat menghasilkan metabolit reaktif DNA. DNA adduct adalah
segmen DNA yang terikat pada bahan kimia penyebab kanker. DNA adduct dalam sel
sperma dapat dianggap sebagai tanda kerusakan DNA yang parah dan dapat
mempengaruhi pembelahan meiosis selama spermatogenesis sehingga dapat dikaitkan
dengan infertilitas. 5

2.1.4. Infertilitas Pada Laki-Laki

Menurut WHO, Infertilitas adalah ketidakmampuan pasangan non-kontrasepsi


yang aktif secara seksual untuk mencapai kehamilan spontan di satu tahun. Tidak
terjadinya kehamilan bukan saja akibat infertilitas pada pihak perempuan saja, namun
juga dapat terjadi infertilitas pada laki-laki juga. Sekitar 15% pasangan tidak hamil

11
dalam satu tahun dan mencari perawatan medis untuk infertilitas. Satu dari delapan
pasangan mengalami masalah saat mencoba mengandung anak pertama dan satu dari
enam saat mencoba untuk mengandung anak berikutnya.3,12

Pada 50% pasangan tanpa anak, pria yang mengalami infertilitas memiliki
parameter semen yang abnormal. Kesuburan pria bisa berkurang akibat kelainan
urogenital bawaan atau didapat, keganasan, infeksi saluran urogenital, peningkatan
suhu skrotum (misalnya sebagai akibat varikokel), gangguan endokrin, kelainan
genetic, faktor imunologi.3,12

Dalam 30-40% kasus, pria mengalami infertilitas meskipun tidak memiliki


riwayat penyakit yang mempengaruhi kesuburan dan memiliki hasil yang normal pada
pemeriksaan fisik dan pengujian laboratorium endokrin, genetik dan biokimia
(infertilitas pria idiopatik). Infertilitas pria idiopatik diduga disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain gangguan endokrin akibat pencemaran lingkungan, spesies oksigen
reaktif, atau kelainan genetik dan epigenetik.3,12

Infertilitas pada laki-laki juga dapat disebabkan oleh fragmentasi DNA.


Namun, ini masih belum dievaluasi dan masih diperdebatkan untuk dimasukkan ke
dalam analisis semen rutin. Fragmentasi DNA telah terbukti menjadi indikator kuat
dari terjadinya fertilitas. Pria dengan tingkat fragmentasi DNA yang tinggi memiliki
kemungkinan untuk terjadi pembuahan yang jauh lebih rendah.3,12

2.1.4.1 Diagnosis Infertilitas

1. Analisis Semen

Riwayat penyakit dahulu dan pemeriksaan fisik merupakan penilaian standar


pada semua pria, termasuk analisis semen. Pemeriksaan andrologi komprehensif
diindikasikan jika analisis semen menunjukkan kelainan dibandingkan dengan nilai
referensi. Keputusan pengobatan yang penting didasarkan pada hasil analisis air mani,
oleh karena itu pemeriksaan laboratorium lengkap harus distandarisasi. Analisis semen
telah dibakukan oleh WHO dan disebarluaskan melalui publikasi “Manual

12
Laboratorium WHO” untuk pemeriksaan dan pengolahan semen laki-laki. Berikut
parameter beserta nilai referensi dari analisis semen :

Tabel 2.1. Nilai Referensi Analisis Semen13

Jika hasil analisis semen normal menurut kriteria WHO, satu tes sudah cukup.
Jika hasil tidak normal dalam setidaknya dua tes, pemeriksaan andrologi lebih lanjut
diindikasikan. Penting untuk membedakan antara berikut ini13:

• oligozoospermia: spermatozoa <15 juta / mL;

• asthenozoospermia: <32% spermatozoa motil progresif;

• teratozoospermia: <4% bentuk normal.13

Seringkali, ketiga anomali tersebut terjadi secara bersamaan, yang didefinisikan


sebagai sindrom oligo-asteno-teratozoospermia (OAT). Seperti pada azoospermia,
pada kasus oligozoospermia ekstrim (spermatozoa <1 juta / mL), terjadi peningkatan
kejadian obstruksi saluran kelamin pria dan kelainan genetik.13

13
2.1.5. DNA

DNA merupakan singkatan dari deoxyribonucleic acid. DNA merupakan asam


nukleat dan merupakan molekul yang terdiri dari dua rantai polinukleotida yang saling
melingkar dan membentuk heliks ganda. DNA membawa informasi genetik untuk
fungsi pengembangan, pertumbuhan, dan reproduksi dari semua organisme. Dua rantai
DNA dikenal sebagai polinukleotida karena mereka memiliki komposisi yang terdiri
dari unit monomer sederhana yang disebut nukleotida. Tiap nukleotida terdiri dari satu
dari empat basa nitrogen yang mengandung nitrogen. Basa nitrogen tersebut terdiri dari
cytosine (C), guanine (G), adenine (A) dan thymine (T). Selain nitrogen basa,
nukleotida terdiri dari deoksiribosa dan gugus fosfat. Nukleotida bergabung satu sama
lain di dalam rantai yang diikat oleh ikatan kovalen antara deoksiribosa dari salah satu
nukleotida dan fosfat berikutnya, menghasilkan tulang punggung gula-fosfat
berikutnya dan bergantian. Basa nitrogen dari dua polinukleotida yang berbeda akan
saling berikatan, namun dalam aturan pasangan basa yaitu A dengan T dan C dengan
G. Basa nitrogen dibagi menjadi dua kelompok, yaitu purin dan pirimidin. Pirimidin
terdiri dari T dan C, sementara purin terdiri dari A dan G.14 Terdapat nitrogen basa
yang menggantikan posisi T pada RNA, yaitu uracil (U).15

Gula deoksiribosa yang terdapat di rantai DNA merupakan gula pentosa, yaitu
gula yang terdiri dari lima karbon. Gula yang bergabung bersama oleh grup fosfat yang
membentuk ikatan fosfodiester antara atom karbon ketiga dan kelima dari cincin gula
yang berdekatan. Atom karbon ketiga disebut sebagai karbon 3′-end dan atom karbon
kelima disebut sebagai karbon 5′-end. Oleh karena itu setiap rantai DNA hanya
memiliki satu ujung yang gugus fosfatnya terikat pada atom karbon kelima dan ujung
lainnya terikat pada atom karbon ketiga.16

14
Gambar 2.6. Struktur DNA 17

2.1.6. Kerusakan DNA dan Mutasi DNA

Kerusakan DNA adalah perubahan pada struktur dasar DNA yang tidak
direplikasi sendiri saat DNA direplikasi. Kerusakan DNA dapat berupa penambahan
kimiawi atau gangguan pada basa nitrogen DNA (menciptakan nukleotida atau
fragmen nukleotida yang tidak normal) atau putusnya satu atau kedua rantai untai
DNA. Ketika DNA membawa basa nitrogen yang rusak untuk direplikasi, basa
nitrogen yang salah seringkali dapat disisipkan di seberang lokasi basa nitrogen yang
rusak di untai komplementer, dan ini bisa menjadi mutasi pada putaran replikasi
berikutnya. Selain itu, putusnya untai ganda dapat menyebabkan penataan ulang
struktur kromosom (mungkin mengganggu gen, atau menyebabkan gen berada di
bawah kendali regulasi abnormal) dan perubahan seperti itu dapat diwariskan ke
generasi sel yang berurutan, ini juga merupakan bentuk mutasi. Namun, mutasi dapat
dihindari jika sistem perbaikan DNA yang akurat mengenali kerusakan DNA sebagai
struktur abnormal, dan memperbaiki kerusakan sebelum replikasi. Perbaikan DNA
adalah proses perlindungan penting yang menghalangi perubahan sel menjadi

15
karsinogenesis. Kerusakan DNA terjadi pada sel yang bereplikasi dan berkembang biak
(misalnya sel yang membentuk lapisan internal kolon atau darah yang membentuk sel
"hematopoietik"), dan pada sel yang tidak membelah dan berdiferensiasi (misalnya
neuron di otak atau miosit di otot) . Kanker terjadi terutama di jaringan proliferatif. Jika
kerusakan DNA pada sel yang berkembang biak tidak diperbaiki karena ekspresi gen
perbaikan DNA yang tidak memadai, hal ini meningkatkan risiko kanker. Sebaliknya,
ketika kerusakan DNA terjadi pada sel yang tidak berproliferasi dan tidak diperbaiki
karena ekspresi gen perbaikan DNA yang tidak memadai, kerusakan tersebut dapat
menumpuk dan menyebabkan penuaan dini.18

Gambar 2.7. Peran dari Kerusakan DNA dan DNA Repair pada Kanker dan
Penuaan.18

Mutasi adalah perubahan urutan DNA di mana pasangan basa nitrogen normal
diganti, ditambahkan, dihapus, atau diatur ulang. DNA yang mengandung mutasi
masih terdiri dari urutan pasangan basa nitrogen standar, dan urutan DNA yang diubah

16
dapat disalin ketika DNA direplikasi. Mutasi dapat mencegah gen menjalankan
fungsinya atau dapat menyebabkan gen diterjemahkan menjadi protein yang berfungsi
tidak normal. Mutasi dapat mengaktifkan onkogen, menonaktifkan gen penekan tumor,
atau menyebabkan ketidakstabilan genom dalam replikasi sel, dan kumpulan mutasi
tersebut bersama-sama dalam sel yang sama dapat menyebabkan kanker. Karena
mutasi memiliki struktur DNA normal, mutasi tidak dapat dikenali atau dihilangkan
dengan proses perbaikan DNA dalam sel hidup. Penghapusan mutasi hanya terjadi jika
mutasi cukup merugikan yang menyebabkan kematian sel. Bahan kimia yang
sebelumnya diidentifikasi sebagai agen perusak DNA, termasuk benzena, hidrokuinon,
stirena, karbon tetraklorida, dan trikloretilen, terbukti menyebabkan hipometilasi DNA
yang cukup besar, beberapa melalui aktivasi jalur stres oksidatif. Agen makanan juga
telah terbukti mempengaruhi metilasi DNA atau modifikasi histon dengan berbagai
jalur. Bukti terbaru menunjukkan bahwa epimutasi terjadi pada gen perbaikan DNA
yang mengurangi fungsinya. Epimutasi dalam gen perbaikan DNA memungkinkan
kerusakan DNA terakumulasi, dan merupakan penyebab perkembangan menjadi
kanker.18

2.1.6.1. Mutasi DNA

Mutasi adalah perubahan yang diwariskan dalam instruksi pengkodean genetik


DNA. Dalam organisme multisel, kita dapat membedakan antara dua kategori besar
mutasi: mutasi somatik dan mutasi germline. Mutasi somatik muncul di jaringan
somatik, yang tidak menghasilkan gamet. Mutasi ini diteruskan ke sel lain melalui
proses mitosis, yang mengarah pada populasi sel yang identik secara genetik. Efek
mutasi ini bergantung pada banyak faktor, termasuk jenis sel tempat terjadinya dan
tahap perkembangan munculnya. Banyak mutasi somatik tidak berpengaruh nyata pada
fenotipe organisme, karena fungsi sel mutan (bahkan sel itu sendiri) digantikan oleh
fungsi sel normal. Namun, sel dengan mutasi somatik yang merangsang pembelahan
sel dapat meningkat jumlahnya dan menyebar; jenis mutasi ini dapat memunculkan sel
dengan keunggulan selektif dan merupakan dasar dari semua kanker. Mutasi germline
muncul di sel yang pada akhirnya menghasilkan gamet. Mutasi ini dapat diturunkan ke

17
generasi mendatang, menghasilkan organisme individu yang membawa mutasi di
semua sel somatik dan germline mereka.19

2.1.6.2. Tipe Mutasi

Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan mutasi gen. Beberapa skema


klasifikasi didasarkan pada sifat efek fenotipik (mutasi mengubah urutan asam amino
protein). Skema lain didasarkan pada agen penyebab mutasi, dan skema lain berfokus
pada sifat molekuler dari kerusakan tersebut. Skema yang paling tepat tergantung pada
alasan mempelajari mutasi. Di sini mengkategorikan mutasi terutama berdasarkan sifat
molekulernya, tetapi juga akan menemukan beberapa istilah yang menghubungkan
penyebab dan efek fenotipik mutasi.19

1. Substitusi Dasar

Jenis mutasi gen yang paling sederhana adalah substitusi basa, pergantian
nukleotida tunggal dalam DNA. Substitusi basa ada dua jenis. Dalam transisi, purin
diganti dengan purin yang berbeda atau, sebagai alternatif, pirimidin diganti dengan
pirimidin yang berbeda. Dalam transversi, purin diganti dengan pirimidin atau
pirimidin diganti dengan purin.19

2. Insersi dan Delesi

Kelas utama kedua dari mutasi gen mengandung penambahan atau


penghapusan masing-masing dari satu atau lebih pasangan nukleotida. Penambahan
dan penghapusan dalam urutan basa nitrogen dapat menyebabkan mutasi pergeseran
untai dan perubahan dalam kerangka pembacaan gen.19

3. Mutasi Missense

Mutasi missense adalah substitusi basa yang mengubah kodon di mRNA,


menghasilkan asam amino yang berbeda dalam protein.19

18
4. Mutasi Nonsense

Mutasi nonsense mengubah kodon sense (yang menentukan asam amino)


menjadi kodon nonsense (yang menghentikan translasi). Jika mutasi nonsense terjadi
di awal rangkaian mRNA, protein akan sangat pendek dan biasanya tidak berfungsi.19

5. Silent Mutation

Silent mutation mengubah kodon tetapi kodon masih menentukan asam amino
yang sama.19

6. Mutasi suppressor

Mutasi suppressor adalah perubahan genetik yang menyembunyikan atau


menekan efek mutasi lain. Mutasi suppressor terjadi di situs yang berbeda dari situs
mutasi aslinya, dengan demikian organisme individu dengan mutasi suppressor adalah
mutan ganda yang memiliki mutasi asli dan mutasi suppressor tetapi menunjukkan
fenotipe dari jenis liar yang tidak dimutasi. Ahli genetika membedakan antara dua kelas
mutasi supresor: intragenik dan intergenik.19

A. Penekan intragenik ada di dalam gen yang sama dengan yang mengandung penekan
mutasi.

B. Penekan intergenik terjadi pada gen yang berbeda dari gen yang membawa mutasi
asli.

2.1.6.3. Penyebab Mutasi

Mutasi dihasilkan dari faktor internal dan eksternal. Yang merupakan hasil dari
perubahan alami dalam struktur DNA disebut mutasi spontan, sedangkan yang
dihasilkan dari perubahan yang disebabkan oleh bahan kimia lingkungan atau radiasi
disebut mutasi yang diinduksi.19

1. Perubahan Kimiawi Spontan

Salah satu perubahan tersebut adalah depurinasi, hilangnya basa purin dari
nukleotida. Hasil depurinasi ketika ikatan kovalen yang menghubungkan purin ke atom

19
karbon-1 dari gula deoksiribosa putus. Perubahan kimiawi lain yang terjadi secara
spontan yang terjadi dalam DNA adalah deaminasi, yaitu hilangnya gugus amino
(NH2) dari basa. Deaminasi dapat terjadi secara spontan atau disebabkan oleh bahan
kimia mutagenik.19

2. Mutasi yang Diinduksi Secara Kimiawi

Meskipun banyak mutasi muncul secara spontan, sejumlah agen lingkungan


mampu merusak DNA, termasuk bahan kimia dan radiasi tertentu. Agen lingkungan
apa pun yang secara signifikan meningkatkan laju mutasi di atas laju spontan disebut
mutagen.19

a. Analog basa

Satu kelas mutagen kimia terdiri dari analog basa, bahan kimia dengan struktur
yang mirip dengan salah satu dari empat basa standar DNA. DNA polimerase tidak
dapat membedakan analog ini dari basis standar; jadi, jika analog basa hadir selama
replikasi, analog basa dapat digabungkan ke dalam molekul DNA yang baru
disintesis.19

b. Agen alkilasi

Agen alkilasi adalah bahan kimia yang menyumbangkan gugus alkil. Agen ini
termasuk gugus metil (CH3) dan etil (CH3 – CH2), yang ditambahkan ke basa
nukleotida oleh beberapa bahan kimia.19

c. Deaminasi

Selain terjadinya secara spontan, deaminasi dapat disebabkan oleh beberapa


bahan kimia.19

d. Hidroksilamina

Hidroksilamina adalah mutagen pengubah basa yang sangat spesifik yang


menambahkan gugus hidroksil ke sitosin, mengubahnya menjadi
hidroksilaminositosin.19

20
e. Reaksi oksidatif

Bentuk oksigen reaktif (termasuk radikal superoksida, hidrogen peroksida, dan


radikal hidroksil) diproduksi selama metabolisme aerobik normal, serta oleh radiasi,
ozon, peroksida, dan obat-obatan tertentu. Bentuk reaktif oksigen merusak DNA dan
menyebabkan mutasi dengan membawa perubahan kimiawi pada DNA.19

f. Agen interkalasi

Agen interkalasi, seperti proflavin, acridine orange, ethidium bromide, dan


dioxin memiliki ukuran yang hampir sama dengan nukleotida. Mereka menghasilkan
mutasi dengan menyelipkan diri (menyela) di antara basa yang berdekatan dalam
DNA.19

3. Radiasi

Energi sinar-X yang tinggi, sinar gamma, dan sinar kosmik semuanya mampu
menembus jaringan dan merusak DNA. Sinar ultraviolet menyebabkan mutasi
terutama dengan menghasilkan dimer pirimidin yang mengganggu replikasi dan
transkripsi. 19

2.1.5. Isolasi DNA

Metode untuk ekstraksi DNA terdiri dari dua kategori dasar, yaitu “Solution-
based DNA extraction methods” dan “Solid-phase DNA extraction methods”.
Solution-based DNA extraction methods memiliki dua subkategori, yaitu salting out
methods dan organic solvent/chaotropes methods. Solid-phase DNA extraction
methods juga memiliki dua subkategori dalam ekstraksi DNA, yaitu glass milk/silica
resin methods, anion exchange methods, dan magnetic beads methods.20

Terdapat lima langkah dasar untuk ekstraksi DNA, yaitu disrupsi struktur sel,
pemisahan DNA dari protein, debris dan bahan lainnya, pengikatan DNA ke matriks
purifikasi, pencucian protein dan kontaminan lainnya, dan elusi DNA.20–22

21
2.1.5.1. Disrupsi Struktur Sel

Langkah pertama dalam pemurnian DNA adalah menghancurkan sel dan


melepaskan DNA dari sel. Penghancuran sel dapat dilakukan dengan teknik sonikasi,
grinding, atau dengan tekanan tinggi, namun cara ini kurang baik karena dapat
mengakibatkan DNA terpotong-potong sehingga kemurniannya akan menurun.
Penghancuran sel yang baik adalah menggunakan detergen atau teknik enzimatik.
Teknik detergen dan enzimatik merupakan Solution-based DNA extraction methods.
Pada penggunaan detergen, biasanya menggunakan pelarut lisis sel hewan yang
bersifat anionik seperti SDS (Sodium Deodesil Sulfat) atau Sarkosil (Sodium Deodesil
Sarkosinat).20–22

2.1.5.2. Pemisahan DNA dari Protein, Debris, dan Bahan Lainnya

Pemisahan DNA dari debris dapat dilakukan dengan cara sentrifugasi.


Sentrifugasi akan mengurangi bahan yang tidak diinginkan dan membuat bahan
tersebut mengendap pada dasar tabung. Selain dipisah dari debris, protein juga harus
dibuang, langkah ini disebut deproteinasi. Salah satu cara membuang protein adalah
dengan menggunakan enzim protease. Enzim ini akan memecah semua protein
sehingga protein dapat dibuang. Terdapat dua macam enzim protease, yaitu proteinase
K dan pronase.20–22

2.1.5.3. Pengikatan DNA ke Matriks Purifikasi

Setelah debris dan protein diendapkan dengan proteinase K dan dipisahkan dari
DNA dengan cara sentrifugasi, DNA akan diendapkan dengan cara dipindahkan ke
tabung yang berisi isopropanol. Isopropanol akan menarik DNA dari larutan sehingga
DNA menjadi tidak larut dan mengendap menjadi pelet setelah disentrifugasi.20–22

2.1.5.4. Pencucian Protein dan Kontaminan Lainnya

DNA yang mengendap tadi akan dicuci menggunakan etanol untuk membuang
sisa protein dan kontaminan lainnya. Setelah etanol diberikan ke pelet, sentrifugasi

22
akan dilakukan kembali agar DNA kembali megendap di dasar tabung dan sisa protein
dan debris lainnya akan menetap di larutan supernatan untuk dibuang.20–22

2.1.5.5. Elusi DNA

Biasanya DNA dielusi dan disimpan di dalam larutan buffer yang disebut buffer
TE. Setelah itu DNA yang telah dipurifikasi dapat digunakan untuk PCR dan untuk uji
lainnya.20–22

Gambar 2.8. Metode Ekstraksi DNA20

23
2.1.6. PCR

PCR digunakan untuk memperoleh banyak salinan DNA template. Ini adalah
teknik untuk mendapatkan sejumlah besar urutan DNA tertentu dari sampel DNA.
Amplifikasi ini didasarkan pada replikasi template DNA untai ganda. PCR dipecah
menjadi tiga fase: fase denaturasi, fase annealing dengan primer, dan fase ekstensi.
Tabung yang berisi reaksi campuran mengalami siklus suhu berulang beberapa puluh
kali. Mesin yang digunakan untuk memprogram suhu, durasi, dan jumlah siklus. Setiap
siklus mencakup tiga periode beberapa puluh detik. Proses PCR dibagi menjadi tiga
tahap sebagai berikut:
1. Denaturasi
Ini adalah pemisahan dua untai DNA, diperoleh dengan menaikkan suhu.
Periode pertama dilakukan pada temperatur 95 ° C yang disebut temperatur denaturasi.
Ikatan hidrogen tidak dapat dipertahankan pada suhu yang lebih tinggi dari 80 ° C dan
DNA untai ganda didenaturasi menjadi DNA beruntai tunggal (DNA untai tunggal). 23
2. Annealing
Annealing dilakukan pada suhu yang umumnya antara 40 dan 70° C, namun
terdapat juga yang menggunakan suhu di atas 70o C. Penurunan suhu memungkinkan
ikatan hidrogen terbentuk kembali, sehingga oligonukleotida pendek (primer DNA)
akan berikatan dengan DNA untai tunggal yang terpisah sebelumnya.23
3. Ekstensi
Periode ketiga dilakukan pada temperatur 72 ° C yang disebut temperatur
elongasi. Pada suhu 72 ° C, polimerase Taq berikatan dengan primer DNA pada DNA
untai tunggal primer dan mengkatalisis replikasi menggunakan nukelotida DNA
sebagai bahannya. Dengan demikian, daerah template DNA di bagian primer disintesis
secara selektif. Dibutuhkan 20–40 siklus untuk mensintesis sejumlah DNA yang dapat
dianalisis. Setiap siklus secara teoritis menggandakan jumlah DNA yang ada pada
siklus sebelumnya. Direkomendasikan untuk menambahkan siklus pemanjangan akhir
pada 72 ° C, terutama jika urutan yang diinginkan besar.23

24
2.1.6.7. Primer

Untuk mencapai amplifikasi selektif urutan nukleotida dari template DNA


dengan PCR, penting untuk memiliki setidaknya satu pasang oligonukleotida.
Oligonukleotida ini, yang akan berfungsi sebagai primer untuk replikasi, disintesis
secara kimiawi dan harus menjadi komplementaritas. Salah satu primer dirancang
untuk mengenali secara komplementer urutan yang terletak di ujung fragmen DNA
untai 5′-3′; yang lain mengenali, selalu dengan saling melengkapi, urutan yang terletak
di ujung untai komplementer (3′ – 5 ′) dari fragmen DNA yang sama. Ukuran primer
biasanya antara 10 dan 30 nukleotida untuk menjamin denaturasi yang cukup spesifik
pada urutan yang diinginkan dari matriks DNA.23

2.1.6.8 Taq polimerase

PCR menggunakan DNA polimerase yang dimurnikan dari bakteri


ekstremofilik yang disebut Thermus aquaticus (Taq) yang hidup di mata air panas
dan tahan suhu di atas 100 ° C. Taq polimerase memiliki karakteristik yang luar biasa
untuk menahan suhu. Taq polimerase ini digunakan untuk replikasi.23

2.1.7. DNA Sequencing

Penentuan urutan nukleotida yang tepat dalam molekul DNA dikenal sebagai
sekuensing DNA. Terdapat banyak metode dalam sekuensing DNA, diantaranya
Sanger Method, Maxam–Gilbert Method, dan Automated DNA Sequencing Method.
Sanger Method dan Automated DNA Sequencing Method memiliki prinsip yang
sama namun cara deteksi yang berbeda. Pada Automated DNA Sequencing Method,
setiap ddNTP diberi label dengan pewarna fluoresen. Pada Sanger Method, ddNTP
tidak diberi label dengan pewarna fluoresen. Hasil dari ddNTP yang dilabel pewarna
fluoresen akan dibaca dengan elektroforesis kapiler untuk dideteksi oleh laser dan
detektor fluoresen sehingga akan mengetahui basa nitrogennya dan menghasilkan
kromatogram, sedangkan ddNTP yang tidak dilabel pewarna fluoresen hanya akan
dibaca pada gel elektroforesis dan mengetahui urutan basa nitrogennya saja. Untuk

25
mengetahui variasi dari gen CYP1A1 ini, dibutuhkan kromatogram sehingga
digunakan metode sanger otomatis yang menggunakan elektroforesis kapiler. 24

Langkah Pengerjaan Metode Sanger

Sekuensing menggunakan metode sangar memiliki tiga langkah utama dalam


sekuensing DNA, yaitu PCR dengan ddNTP yang telah dilabel pewarna fluoresen,
perpindahan template DNA dengan elektroforesis kapiler, dan deteksi basa nitrogen
DNA dengan laser dan detektor fluoresen.24,25

1. PCR dengan ddNTP yang telah dilabel pewarna fluoresen

Dalam tahap ini, primer, DNA polimerase, dNTP, dan ddNTP yang telah
dilabel pewarna fluoresen akan dimasukkan kedalam tube yang berisi DNA template.
Selanjutnya akan di PCR suhu dan siklus tertentu. Langkah pertama dari PCR adalah
denaturasi pada suhu 95℃ agar DNA untai ganda terpisah menjadi dua DNA untai
tunggal. Selanjutnya adalah proses annealing dengan cara menurunkan suhu antara 40-
70℃ agar primer dapat berikatan dengan ujung fragmen DNA untai 5′-3′. Setelah itu
proses ekstensi dengan cara menaikkan suhu kembali sekitar 60℃ sehingga DNA
polimerase akan mereplikasi primer tersebut menggunakan dNTP dan diakhiri dengan
ddNTP.24,25

2. Perpindahan Template DNA dengan Elektroforesis Kapiler

Pada langkah kedua, DNA hasil PCR tadi akan dimasukkan ke dalam larutan
buffer negatif pada elektroforesis kapiler. Setelah itu, elektroforesis kapiler akan
membuat DNA berpindah dari buffer negatif ke buffer positif. Molekul DNA yang
lebih pendek dapat berpindah lebih cepat daripada molekul DNA yang panjang.24,25

3. Deteksi Basa Nitrogen DNA dengan Laser dan Detektor Fluoresen

Langkah terakhir hanya membaca gel untuk menentukan urutan basa nitrogen
DNA. Pembacaan urutan basa nitrogen dimulai dari yang terkecil hingga terbesar
karena molekul DNA yang kecil dapat berpindah lebih cepat, sehingga kita dapat
menentukan urutan 5' hingga 3 'dari untai DNA asli.24,25

26
Dalam pengurutan basa nitrogen, komputer membaca ddNTP yang dilabel
pewarna fluoresen secara berurutan menggunakan laser dan detektor fluoresen.
Singkatnya, laser mengeluarkan tanda fluoresen di setiap ddNTP dan detektor
fluoresen mendeteksi cahaya yang dihasilkan. Karena masing-masing dari empat
ddNTP ditandai dengan label fluoresen yang berbeda, cahaya yang dipancarkan dapat
langsung dikaitkan dengan identitas ddNTP. Keluarannya disebut kromatogram, yang
menunjukkan puncak fluoresen dari setiap nukleotida sepanjang DNA cetakan. 24,25

Gambar 2.9. Elektroforesis Kapiler24

Sekuensing pada penelitian ini lebih memilih untuk menggunakan metode


sanger karena metode ini lebih cepat dalam pembacaan basa nitrogen dan dapat
menghasilkan kromatogram sehingga dapat melihat peak dari tiap basa nitrogen dan
melihat kualitas dari tiap peak.

2.1.8. Metode Mendeteksi DNA

2.1.8.1. Spektrofotometer Nano Drop

Spektrofotometer menghitung konsentrasi DNA pada 260 nm. Perhitungan


dilakukan in duplo dengan OD 260 nm dan 280 nm agar dapat mengetahui indeks
purifikasi, yaitu OD 260/280. Kemurnian yang baik bernilai 1,75 – 1,80. Bila nilainya
kurang dari 1,75, maka proses ekstraksi harus diulang. Terdapat referensi lain yang

27
mengatakan bahwa kemurnian yang baik memiliki nilai perbandingan 260/280 nm
berkisar antara 1,8 – 2,1. Konsentrasi DNA dapat diperoleh dengan cara mengukur
nilai serapan cahaya (A) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang
260 nm. Terdapat rumus untuk menghitung nilai perkiraan konsentrasi DNA, yaitu21,26
:

DNAug/mL = A260 x 50µg/mL : C

Keterangan :

A260 = Serapan cahaya pada panjang gelombang 260 nm

50 = 50 µL/mL DNA untai ganda yang memiliki kerapatan optik (Optical Density OD
) 1,0 pada panjang gelombang 260 nm

C = Konsentrasi DNA yang ada di dalam kuvet

Tingkat kemurnian dapat diperoleh dengan cara melakukan pengukuran nilai


serapan cahaya protein pada panjang gelombang 280 nm. Rumus untuk mendapatkan
kemurnian DNA sebagai berikut26 :

Kemurnian DNA = A260 : A280

Keterangan :

A260 = Serapan cahaya pada panjang gelombang 260 nm

A280 = Serapan cahaya pada panjang gelombang 280 nm

2.1.8.2. Elektroforesis

Elektroforesis adalah tehnik yang digunakan untuk mengamati template DNA


dengan cara memisahkan fragmen DNA dari makromolekul lain. Prinsip dari
elektroforesis adalah berdasarkan dari perpindahan partikel bermuatan yang
dipengaruhi medan elektronik. Nukleotida yang ada pada molekul DNA memiliki

28
muatan negatif sehingga panjang suatu molekul DNA yang diteliti dapat diketahui
dengan cara membandingkannya dengan standar berat molekul DNA tertentu. 26

Teradapat dua gel yang digunakan dalam elektroforesis, yaitu gel poliakrilamid
dan gel agarose. Gel poliakrilamid digunakan untuk menganalisis pemisahan molekul
DNA yang memiliki ukuran kurang dari 500 nukleotida. Gel poliakrilamid digunakan
untuk DNA dengan ukuran tersebut karena pori-pori yang dimiliki gel poliakrilamid
lebih kecil dari molekul DNA yang melewatinya. Gel agarose digunakan untuk
menganalisis molekul DNA yang lebih besar karena memiliki pori-pori yang besar.26

Gel agarose dibuat dengan cara mencampurkan larutan elektroforesis TAE dan
bubuk gel agarose, setelah itu di panaskan dengan microwave. Setelah dipanaskan,
diberi zat pewarna kedalam campuran agarose agar DNA dapat terlihat di bawah sinar
UV setelah DNA bereaksi dengan zat warna tersebut. Zat warna yang biasa digunakan
adalah etidium bromida, namun dapat juga menggunakan GelRed.26

29
2.2. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Pengukuran Cara Ukur Hasil Skala


Ukur Ukur
1. Variasi CYP1A1 Peneliti Hasil PCR Urutan Nominal
urutan basa merupakan enzim dikirim ke basa
nitrogen gen hati dan ekstra lab untuk nitrogen
CYP1A1 hati fase I yang disekuensing
pada sperma bertanggung
fertil dan jawab atas
infertil aktivasi metabolik
prokarsinogen
menjadi metabolit
reaktif. dan
berpartisipasi
dalam
metabolisme
hormon steroid
termasuk estrogen

30
2.3. Kerangka Teori

Sperma

Radikal Bebas DNA

Paparan Zat Kimia Mempengaruhi Gen CYP1A1

Radiasi Perubahan Urutan Basa


Nitorgen Gen CYP1A1

Penurunan fungsi enzim CYP1A1

Penurunan katalisis
bioaktivasi PAH

PAH membentuk DNA


adduct

DNA adduct dalam sel sperma


mengganggu meiosis selama
spermatogenesis

Infertilitas

2.4 Kerangka Konsep

Gen CYP1A1 Infertilitas Analisis

31
BAB 3

METODELOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan melihat gambaran variasi


gen CYP1A1 pada pasien laki-laki Infertil.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober 2020 sampai selesai.
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Biologi dan Laboratorium Biokimia.

3.3. Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel pasien laki-laki
infertil yang diperoleh dari sisa pemeriksaan analisa semen di rumah sakit daerah
Depok. Sampel semen pasien infertil yang digunakan 5 dari penelitian sebelumnya dan
5 sampel semen laki-laki fertil diperoleh dari relawan di wilayah Ciputat yang bersedia
untuk ikut penelitian, sudah menikah, dan sudah memiliki anak.

3.4. Cara Kerja Penelitian

32
3.4.1. Alur Penelitian

Sampel semen dari penelitian


sebelumnya yang tersimpan dengan
baik di laboratorium Biologi

Pencucian dengan PBS

Isolasi DNA Cek kemurnian

PCR

Elektroforesis

Tidak terdapat pita DNA Terdapat pita DNA

Melihat perbedaan
urutan basa Pengiriman hasil
nitrogen sampel PCR untuk
sperma fertil dan sekuensing
infertil

3.4.2. Alat dan Bahan

3.4.2.1. Isolasi DNA

a) Alat
Tabung 1,5 ml, mikropipet ukuran 0,5-10 μl dan tips steril, 20-100 μl dan tips
steril, 100-1000 μl dan tips steril, mikrosentrifuge, vortex, waterbath, freezer,
sarung tangan, spidol, rak tabung 1,5 ml
b) Bahan
Sampel sperma dokumentasi yang tersimpan lama di laboratorium biologi,
PBS, NLS, PPS, Proteinase K (PK), Isopropanol, ethanol 70 %.

33
3.4.2.2. Spektrofotometri

a) Alat
Mikropipet ukuran 0,5-10 μl dan tips steril dan sarung tangan
b) Bahan
Sampel DNA, aquadest, dan DNA Rehydration Solution

3.4.2.3. Elektroforesis

a) Alat
Mupid-2plus submarine electrophoresis system, cetakan pembentuk gel, sisir
pembentuk sumur gel, dan WSE-5400Printgraph Classic dengan sinar UV
b) Bahan
Bubuk gel agarose, larutan GelRed, 100 bp DNA Ladder Load-Ready, larutan
elektroforesis TAE

3.4.2.4. PCR

a) Alat
Mesin PCR, Tabung 1,5 ml, tabung mikro, mikropipet ukuran 0,5-10 μl dan
tips steril, 20-100 μl dan tips steril, 100-1000 μl dan tips steril, mikrosentrifuge,
sarung tangan, spidol, rak tabung mikro dan tabung 1,5 ml
b) Bahan
Hasil isolasi DNA, Primer forward 5’TAGGAGTCTTGTCTCATGCCT dan
reverse 5’ CAGTGAAGAGGTGTAGCCGCT, NZYTaq II 2x Green Master
Mix, dH2O

3.4.3. Isolasi DNA

Sampel semen yang tersimpan lama di laboratorium biologi diambil sebanyak


100 μl dan dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml. Setelah itu ditambahkan PBS sebanyak
400 μl. Campuran sperma dan PBS disentrifuge dengan kecepatan 1900 rpm selama 20
menit. Setelah disentrifuge akan menghasilkan supernatan dan endapan. Supernatan
dibuang dan endapan diberi NLS sebanyak 400 μl dan PK sebanyak 0,5 μl, setelah itu

34
di inkubasi di waterbath dengan suhu 50o C selama 45 menit. Setelah diinkubasi, diberi
larutan PPS sebanyak 60 μl. Lalu disimpan di freezer dengan suhu -20o C selama 5
menit. Hasilnya akan disentrifuge kembali dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5
menit. Setelah sentrifuge selesai, supernatan akan dipindahkan ke tabung berisi
isopropanol 400 μl dingin. Lalu diup and down kembali dan disimpan di suhu -20o C
selama 30 menit. Hasilnya akan disentrifuge kembali dengan kecepatan 13.000 rpm
selama 5 menit. Hasil supernatan setelah sentrifuge akan dibuang dan endapan akan
diberi ethanol 70 % 400 μl dingin dan disentrifuge lagi dengan kecepatan 13.000 rpm
selama 5 menit. Supernatan dibuang kembali, namun meninggalkan sebagian kecil
supernatant agar hasil isolasi DNA tidak terbuang. Sisa supernatant yang sedikit ini
akan dikeringkan di dalam microwave 50o C sampai kering dan hanya tertingal endapan
saja. Endapan diberi DNA Rehydration Solution sebanyak 20 μl dan disimpan dalam
suhu -20o C semalaman.

3.4.4. Spektrofotometri

Mengambil aquadest dengan mikropipet sebanyak 1 mikroliter, letakkan ke


tempat deteksi, dan tutup secara perlahan. Setelah itu pilih “blank”. Setelah blank
selesai, ambil tissue dan keringkan dengan cara ditutup perlahan. Lalu ambil DNA
Rehydration Solution sebanyak 1 mikroliter, letakkan ke tempat deteksi, dan tutup
secara perlahan. Setelah itu pilih “Blank” kembali. Setelah blank selesai, ambil tissue
dan keringkan dengan cara ditutup perlahan kembali. Lalu mengambil sampel DNA
sebanyak 1 mikroliter, letakkan ke tempat deteksi, dan tutup secara perlahan. Setelah
itu pilih “Measure”.

3.4.5. Elektroforesis

Langkah awal yang dilakukan adalah membuat agarnya terlebih dahulu.


Caranya dengan menuangkan larutan elektroforesis TAE ke dalam tabung sebanyak 60
mL dan memasukkan bubuk gel agarose sebanyak 1,2 gram. Maka akan didapatkan
agar 2%. Setelah itu tabung dipanaskan di dalam microwave selama lima menit. Setelah
dipanaskan, diberi GelRed sebanyak 1,2 mikroliter. Lalu menuang larutan tersebut ke

35
dalam cetakan agar dan memasangkan sisir pembentuk sumur. Setelah agar mengeras,
cabut sisir dan angkat agar tersebut bersama tatakannya ke dalam Mupid-2plus
submarine electrophoresis system. Selanjutnya memasukkan 100 bp DNA Ladder
Load-Ready pada sumur pertama dan memasukkan sampel pada sumur lainnya untuk
dielektroforesis selama 30 menit. Setelah dielektroforesis, tatakan agar dilepas dan agar
tersebut dimasukkan ke dalam WSE-5400Printgraph Classic. Setelah itu nyalakan sinar
UV 312 nm 100 % untuk melihat pita template DNA.

3.4.6. PCR

Hasil isolasi DNA kemarin akan digunakan sebanyak 5 μl. Awal dari tahap
PCR adalah membuat campuran komponen PCR untuk 10 reaksi dalam satu tabung 1,5
ml yang terdiri dari NZYTaq II 2x Green Master Mix 150 μl, Primer Forward 12 μl,
Primer Reverse 12 μl, dan dH2O 66 μl. Hasil dari satu tabung akan terdiri dari 240 μl
campuran komponen PCR. Tahap selanjutnya adalah mengambil 24 μl campuran
komponen PCR ke dalam setiap tabung mikro. Sehingga dari 10 tabung mikro, tiap
tabung mikro mengandung 24 μl campuran komponen PCR. Tahap selanjutnya adalah
memasukkan 6 μl DNA hasil isolasi ke setiap tabung mikro. Jadi setiap tabung mikro
memiliki volume akhir 30 μl. Lalu 10 tabung mikro tersebut dimasukkan ke dalam
mesin PCR. Mesin PCR akan disetting dengan cycles sebanyak 40 kali dengan
settingan tahap preinkubasi 95℃ selama 2 menit 56 detik, denaturasi 95℃ selama 15
detik, annealing 65℃ selama 15 detik, dan elongasi 72℃ selama 20 detik, diikuti
dengan elongasi terakhir 72℃ selama 2 menit. Selanjutnya hasil PCR akan dikirim ke
1st base untuk sekuensing.

36
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Konsentrasi dan Kemurnian Isolasi DNA

Konsentrasi dan kemurnian isolasi DNA didapatkan dengan teknik


spektrofotometri nano drop. Didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4.1. Konsentrasi dan Kemurnian Isolasi DNA

Sampel Konsentrasi A260 260/280 260/230


(Kemurnian)
A 77,565 ng/µL 1,5513 1,42 0,89
B 56,324 ng/µL 1,1265 1,66 1,78
C 212,958 ng/µL 4,2592 1,41 0,51
D 20,923 ng/µL 0,4185 1,42 7,11
E 1,543 ng/µL 0,0309 1,33 -0,20
F 24,630 ng/µL 0,4926 1,78 1,38
G 11,908 ng/µL 0,2382 1,98 3,11
H 22,603 ng/µL 0,4521 1,07 0,56
I 4,825 ng/µL 0,0965 0,87 7,21
J 5,415 ng/µL 0,1083 1,35 -0,40

37
4.1.2. Pengamatan Gen CYP1A1 dengan Elektroforesis

Hasil dari elektroforesis produk PCR dengan menggunakan agarose 2% yang


diberi 1 mikroliter GelRed dan akan dibaca menggunakan sinar UV pada ruang Gel
Doc. Berikut hasil elektroforesis tiap sampel :

D E J H
A B C

280 bp 280 bp
Dimer

Dimer

F G I

280 bp 280 bp
Dimer Dimer

Gambar 4.1. Hasil Elektroforesis Sampel A, B, C , D, E, F, G, H, dan I

Hasil elektroforesis sampel A, B, dan C memiliki pita yang tebal dan terdapat
dimer di bawahnya. Sampel D dan E memiliki pita yang tebal dan dimer yang tidak
tegas. Sampel J dan H memiliki pita yang tebal dan dimer yang tipis. Sampel F dan G
memiliki pita yang tebal, namun memiliki dimer yang tebal. Sampel I memiliki pita
yang tipis dan dimer yang sangat tebal. Dimer merupakan sisa bahan dari master mix
(NZYTaq II 2x Green Master Mix) yang tidak digunakan saat proses annealing PCR.
Ukuran pita dari seluruh sampel diukur dengan 100 bp DNA Ladder Load-Ready.
Ukuran pita sampel A, B, C, D, E, F, G, H, dan I adalah 280 bp.

38
4.1.3. Sekuensing isolasi DNA

Hasil sekuensing didapatkan dengan cara mengirimkan produk PCR pada 1st
base. Sampel setelah sekuensing dilanjutkan dengan melakukan analisis sekuen gen
CYP1A1. Setelah hasil sekuensing didapatkan, selanjutnya akan diolah menggunakan
program BioEdit Sequence Alignment Editor versi 7.2.5 dan ApE – A plasmid Editor
untuk mengetahui urutan basa nitrogen dan kromatogram.

Urutan basa nitrogen tersebut digunakan untuk pencarian BLAST dengan


website NCBI agar mendapatkan referensi sekuen DNA gen CYP1A1. Referensi
sekuen DNA gen CYP1A1 dengan primer PCR 5’TAGGAGTCTTGTCTCATGCCT
yang didapat adalah sebagai berikut :

a. Query ID : 13215
b. Accession number
I. NG 061374.1
II. NG 008431.2
III. EF 094025.1
IV. AF 253322.1

Dari keempat referensi sekuen DNA untuk gen CYP1A1, referensi yang
dipakai adalah referensi dengan accession number AF 253322.1 dikarenakan
memiliki identities yang paling tinggi, Gaps 0% dan kemiripan urutan nitrogen basa.

Penelitian ini memiliki sepuluh sampel yang terdiri dari lima sampel fertil dan
lima sampel infertil. Masing-masing sampel memiliki kodenya masing-masing.
Sampel A, B, C, D, dan E merupakan sampel fertil. Sampel F, G, H, I, dan J merupakan
sampel infertil. Terdapat perbedaan pola urutan basa nitrogen pada sperma laki-laki
fertil dan infertil. Beberapa perbedaan itu diakibatkan mutasi yang berupa insersi,
delesi, transisi, dan transfersi.

39
Tabel 4.2. Urutan Basa Nitrogen Sampel Fertil dan Infertil

Masing-masing sampel fertil dan infertil akan dianalisis kromatogramnya agar


didapatkan variasi urutan basa nitrogen pada tiap sampel. Ditemukannya variasi dalam
bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 4.3. Variasi Urutan Basa Nitrogen Sperma Fertil dan Infertil
Sampel Variasi Urutan
A T>A 37
A > G/T 120
B A > T/C 121
A > T/G 122
G>T 123
C A>G 113
A > T/G 114
A > G/T 115
G > T/C 116
D A>C 115
A > T/C 116
G > T/C 117
E A > T/C 112
G > T/G 113
F A>G 113
A > T/C 114
G > T/G 115
G A>C 115
A > G/C 116

40
H A>C 118
G > C/T 119
I A>G 113
A>G 114
A>G 115
J T>A 35
A>G 118
A > G/T 119
Catatan : Sampel Fertil : A, B, C, D, dan E
Sampel Infertil : F, G, H, I, dan J
Dari tabel diatas terdapat variasi basa nitrogen baik pada laki-laki fertil maupun
infertil. Dari tabel juga didapatkan variasi yang sama pada laki-laki infertil tapi tidak
ditemukan pada laki-laki fertil yaitu A > G pada urutan 118 dan A > G/T pada urutan
119 pada sampel H dan J.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Konsentrasi dan Kemurnian Isolasi DNA

Pada penelitian ini didapatkan konsentrasi DNA 1,543 ng/µL sampai 212,958
ng/µL. DNA dinyatakan konsentrasi rendah jika berkisar antara 0,5 – 2,0
ng/µL.21Kemurnian sampel yang baik jika dilihat dari nilai perbandingan 260/280 nm
berkisar dari 1,75 – 2,1. Sampel pada penelitian ini didapatkan kemurnian 0,87 sampai
1,98. Pada sampel F memiliki nilai perbandingan 260/280 nm sebesar 1,78 dan sampel
G memiliki nilai perbandingan 260/280 nm sebesar 1,98. Kedua sampel ini memiliki
kemurnian yang baik.21

Kemurnian sampel yang kurang memiliki nilai perbandingan 260/280 nm


kurang dari 1,75. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada senyawa organik atau garam
yang terdapat dalam sampel DNA setelah diisolasi. Terdapat dua saran bagi sampel
yang memiliki kemurnian kurang baik. Pertama adalah melakukan isolasi kembali.
Kedua adalah melakukan pengenceran agar senyawa organik atau garam dapat
diperkecil, namun pengenceran dapat mengakibatkan konsentrasi sampel DNA

41
menjadi berkurang. Apabila ingin dilakukan pengenceran, disarankan untuk
meningkatkan jumlah template DNA saat ingin melakukan PCR. Sampel yang
memiliki kemurnian rendah adalah sampel A, B, C, D, E, H, I, dan J.21

4.2.2. Pengamatan Gen CYP1A1 dengan Elektroforesis

Pengamatan hasil PCR dengan elektroforesis akan memperlihatkan pita pada


ukuran tertentu. Hasil yang didapatkan dari pengamatan elektroforesis memperlihatkan
semua sampel teramplifikasi dengan baik yang terlihat dari pita yang terbentuk pada
semua sampel. Sampel A, B, C, F, dan G memperlihatkan pita dan pola yang tegas/utuh
pada ukuran 280 bp, dan ukuran yang sama juga pada sampel D, E, H, dan J dengan
pita yang agak tipis dibandingkan sampel A, B, C, F dan G. Sedangkan untuk sampel
I memiliki pita dengan pola utuh, namun pita tersebut sangat tipis. Perbedaan pita yang
terbentuk pada I karena sampel I memiliki kemurnian yang paling rendah dibandingkan
dengan semua sampel dan memiliki konsentrasi yang rendah. Pita DNA akan dikatakan
bagus kalau mempunyai bentuk yang tegas, ketebalan yang sesuai, dan tidak terdapat
dimer.

4.2.3. Variasi Gen CYP1A1

Berdasarkan hasil sekuensing dengan primer


5’TAGGAGTCTTGTCTCATGCCT yang telah dilakukan, diperoleh urutan basa
nitrogen gen CYP1A1 dari tiap sampel.. Analisis data menggunakan program BioEdit
Sequence Alignment Editor versi 7.2.5 dan ApE – A plasmid Editor untuk mengetahui
urutan basa nitrogen dan kromatogram.

Hasil yang didapatkan dari penggunaan program BioEdit Sequence Alignment


Editor versi 7.2.5 dan ApE – A plasmid Editor berupa urutan basa nitrogen dan
kromatogram dari masing-masing sampel. Secara umum, pembacaan urutan basa
nitrogen berdasarkan kromatogram masih dapat terbaca meskipun masih terdapat -N
(noise). Penggunaan program BioEdit ini dilakukan untuk meminimalkan noise yang
ada pada kromatogram dengan cara menganalisis peak yang jelas dan tertinggi.
Terdapat ciri-ciri dari kromatogram yang baik, yaitu :

42
1. Memiliki peak tunggal dengan satu warna saja
2. Jarak antar peak harus sama
3. Besar noise kurang dari setengah tinggi peak

Setelah dilakukan analisis terhadap kromatogram, terpilihlah urutan basa


nitrogen pada masing-masing sampel berdasarkan kromatogram yang baik. Namun
ditemukannya variasi urutan basa nitrogen pada tiap sampel, baik sampel dari sperma
fertil maupun infertil. Berdasarkan hasil kromatogram, variasi ini dapat terjadi karena
beberapa hal yang ada pada kromatogram seperti :

1. Terdapat peak tambahan


2. Terdapat peak yang bertumpuk dan ambigu
3. Terdapat gap antar peak
4. Terdapat peak yang tidak terbaca dengan baik

Urutan basa nitrogen ini digunakan untuk mencari referensi sekuens yang ada
pada GeneBank NCBI menggunakan BLAST. Referensi yang ditemukan yaitu Homo
sapiens cytochrome P450 (CYP1A1) and cytochrome P450 (CYP1A2) genes,
complete cds (accession number AF 253322.1). Setelah itu, urutan basa nitrogen
sampel sperma fertil dan infertil dibandingkan dengan referensi yang didapat untuk
mencari variasi yang ada menggunakan program BioEdit. Hasil yang didapat yaitu :

Tabel 4.4. Perbedaan Urutan Nitrogen Basa Referensi dengan Sampel Fertil dan
Infertil
Sampel Referensi : Sampel Urutan
A -:G 4342
A:G 4428
A:- 4429
G:- 4430
B -:G 4342
-:A 4352
A:T 4428
A:T 4429
G:T 4430
C A:T 4428

43
A:G 4429
G:T 4430
D A:T 4429
G:T 4430
E A:- 4346
A:T 4429
G:T 4430
F A:- 4346
A:T 4429
G:T 4430
G A:- 4346
A:G 4429
H -:G 4342
G:C 4430
I A:N 4428
A:G 4429
G:- 4430
J A:G 4429
G:- 4430
Catatan : Sampel Fertil : A, B, C, D, dan E
Sampel Infertil : F, G, H, I, dan J

Setelah kromatogram dianalisis lebih lanjut, ditemukan adanya Overlapping


peaks setelah rangkaian urutan poly(A) pada seluruh sampel. Daerah dengan satu basa
nitrogen yang panjang sangat sulit untuk diurutkan secara akurat. Penyebab terjadinya
overlapping ini adalah produk PCR yang bermasalah. Hasil isolasi DNA yang memiliki
kemurnian yang kurang baik seperti pada sampel A, B, C, D, E, H, I, dan J dapat
mempengaruhi hasil dari PCR. Selain produk PCR yang bermasalah, hal ini dapat
terjadi akibat tidak dilakukannya purifikasi terhadap sampel ketika ingin melakukan
sekuensing, sehingga enzim yang terselip ketika untai yang sedang mengalami
ekstsensi tidak berikatan dengan benar dengan template DNA. Yang disarankan ketika
terjadi overlapping seperti ini adalah melakukan sekuensing pada untai reverse.27,28

44
Selain terjadinya overlapping, jika sampel dibandingkan dengan referensi,
terdapat penambahan basa nitrogen pada sampel A, B, dan H. Penjelasan dari
penambahan basa nitrogen pada tiap sampel sebagai berikut :

1. Sampel A
Jika dibandingkan dengan referensi, Sampel A memiliki tambahan basa nitrogen G
pada urutan 4342. Hal ini diduga akibat salah satu dari empat kemungkinan, yaitu : (1)
kesalahan pembacaan pada mesin, (2) tidak dilakukannya purifikasi, (3) kemurnian
sampel A yang kurang baik, (4) atau terjadi mutasi.
2. Sampel B
Jika dibandingkan dengan referensi, Sampel B memiliki tambahan basa nitrogen G
pada urutan 4342 dan tambahan basa nitrogen A pada 4352. Hal ini diduga akibat salah
satu dari empat kemungkinan, yaitu : (1) kesalahan pembacaan pada mesin, (2) tidak
dilakukannya purifikasi, (3) kemurnian sampel B yang kurang baik, (4) atau terjadi
mutasi.
3. Sampel H
Jika dibandingkan dengan referensi, Sampel H memiliki tambahan basa nitrogen G
pada urutan 4342. Hal ini diduga akibat satu dari empat kemungkinan, yaitu : (1)
kesalahan pembacaan pada mesin, (2) tidak dilakukannya purifikasi, (3) kemurnian
sampel H yang kurang baik, (4) atau terjadi mutasi.

Selain terdapat penambahan basa nitrogen pada sampel, terjadi pengurangan


basa nitrogen pada sampel. Sampel yang mengalami pengurangan basa nitrogen adalah
sampel E, F, dan G. Diduga pengurangan basa nitrogen pada sampel E akibat salah satu
dari empat kemungkinan, yaitu (1) kesalahan pembacaan pada mesin, (2) tidak
dilakukannya purifikasi, (3) konsentrasi dan kemurnian sampel E yang kurang baik, (4)
atau terjadi mutasi. Berbeda dengan sampel E, sampel F dan G memiliki konsentrasi
dan kemurnian yang baik, sehingga diduga pengurangan basa nitrogen pada sampel F
dan G akibat salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu (1) kesalahan pembacaan pada
mesin, (2) tidak dilakukannya purifikasi, (3) atau terjadi mutasi.

45
Variasi lain yang dapat ditemukan pada sampel adalah adanya peak tambahan
pada salah satu peak. Apabila dilihat dari urutan referensi, terdapat tambahan peak A
pada peak T di urutan 4344. Hal ini dapat di temukan pada sampel A dan J.
Kemungkinan peak ini terbentuk diduga akibat kemurnian sampel A dan J yang kurang
baik, terjadi kesalahan pembacaan pada mesin, tidak dilakukan purifikasi, atau mutasi
heterogen.

Gambar 4.2. Variasi Gen Sampel A ( T > A di Urutan 37)

Gambar 4.3. Variasi Gen Sampel J ( T > A di Urutan 35)

Variasi yang khas dan hanya terdapat pada infertil dapat ditemukan pada urutan
118 dan 119 pada sampel H dan J. Pada sampel H, A berubah menjadi C pada urutan
118 dan G berubah menjadi C/T pada urutan 119. Pada sampel J, A berubah menjadi
G pada urutan 118 dan A berubah menjadi G/T pada urutan 119. Variasi pada urutan

46
118 dan 119 tidak dapat ditemukan pada sampel fertil. Variasi khas pada infertil ini
belum bisa menyatakan perubahan pada fenotipe karena tidak dapat diketahui variasi
ini terjadi di intron atau ekson dan tidak dapat diketahui asam amino apa yang diganti,
sehingga dibutuhkannya pemeriksaan molekular proteinnya.

Saran untuk mendapatkan hasil urutan basa nitrogen dan kromatogram dengan
kualitas yang baik adalah dengan memastikan regulasi mesin sekuensing dengan baik,
melakukan purifikasi, dan menggunakan sampel yang memiliki konsentrasi dan
kemurnian yang baik.

47
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Didapatkannya urutan basa nitrogen dari gen CYP1A1 dan kromatogram dari
masing-masing sampel sperma fertil dan infertil manusia.
2. Didapatkan variasi yang sama pada 2 dari sampel infertil, yaitu A > G pada
urutan 118 dan A > G/T pada urutan 119, dan tidak didapatkan pada laki-laki fertil.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan pada penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih besar untuk
melihat apakah variasi itu khas pada laki-laki infertil.

5.3. Keterbatasan Penelitian

1. Terbatasnya dana
2. Terbatasnya sumber daya penelitian

48
Daftar Pustaka

1. Rusman K. Pengaruh Aktivitas Merokok Terhadap Hasil Analisa Sperma Pada


Kasus Infertilitas Pria di Makassar. UMI Med J. 2019;4(2):50–62.

2. Ningsih YJS, Farich A, Meneng PG, Bawang T, Pasca P, Kesehatan S, et al.


Determinan Kejadian Infertilitas Pria Di Kabupaten Tulang Bawang. 2013;242–
9.

3. Ribas-Maynou J, Benet J. Single and double strand sperm DNA damage:


Different reproductive effects on male fertility. Genes (Basel). 2019;10(2).

4. Jianzheng Fang, Shangqian Wang, Hainan Wang, Shengli Zhang, Shifeng Su,
Zhen Song, Yunfei Deng, Jian Qian, Jinbao Gu, Bianjiang Liu, Jingyi Cao ZW.
The Cytochrome P4501A1 Gene Polymorphisms and Idiopathic Male Infertility
Risk. 2014;535(2):93–6.

5. Vani GT, Mukesh N, Siva Prasad B, Rama Devi P, Hema Prasad M, Usha Rani
P, et al. Association of CYP1A1*2A polymorphism with male infertility in
Indian population. Clin Chim Acta [Internet]. 2009;410(1–2):43–7. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.cca.2009.09.019

6. Ramgir SS, Sekar N, Jindam D, Abilash VG. Association of CYP1A1*2A


polymorphism with idiopathic non-obstructive azoospermia in a south Indian
cohort. Int J Fertil Steril. 2017;11(3):142–7.

7. Sherwood L. Human Physiology : from Cells to Systems. 9th ed. Belmont,


CA :Brooks/Cole: Cengage Learning; 2016.

8. Silverthorn DU. Human Physiology: An Integrated Approach. Vol. 53,


Pearson/Benjamin Cummings. San Francisco; 2013. 1689–1699 p.

9. Ronald R Watson. Handbook of fertility : nutrition, diet, lifestyle and


reproductive health. Amsterdam: Elsevier : Academic Press; 2015.

10. Padmanabhan S. Handbook of Pharmacogenomics and Stratified Medicine.

49
London: Academic Press; 2014.

11. Gunes S. Reproductomics. Elsevier Inc.; 2018.

12. Wright C, Milne S, Leeson H. Sperm DNA damage caused by oxidative stress:
Modifiable clinical, lifestyle and nutritional factors in male infertility. Reprod
Biomed Online [Internet]. 2014;28(6):684–703. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.rbmo.2014.02.004

13. Jungwirth A, Diemer T, Dohle GR, Giwercman A, Kopa Z, Krausz C, et al.


Guidelines on Male Infertility [Internet]. European Association of Urology;
2015. Available from: https://www.dropbox.com/s/aesnqqpvrrl065r/bcg
fail.pdf?dl=0

14. Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K WP. Molecular Biology of


the Cell. 6th ed. New York; 2014.

15. Verma S, Eckstein F. Modified Oligonucleotides : Synthesis and Strategy for


Users. 1998;99–134.

16. Ghosh A BM. A Glossary of DNA Structures From A to Z. Int Union


Crystallogr. 2003;

17. Austin C. Deoxyribonucleic Acid (DNA) [Internet]. [cited 2020 Dec 9].
Available from: https://www.genome.gov/genetics-glossary/Deoxyribonucleic-
Acid

18. Bernstein C. DNA Damage, DNA Repair and Cancer. Intech [Internet].
2016;(tourism):13. Available from:
https://www.intechopen.com/books/advanced-biometric-technologies/liveness-
detection-in-biometrics

19. Al-nuaimi BN. Gene Mutations. Diagnostic Pathol Mol Oncol. 2016;(March):1-
10-1–13.

20. Griffiths L, Chacon-Cortes D. Methods for extracting genomic DNA from

50
whole blood samples: current perspectives. J Biorepository Sci Appl Med.
2014;1.

21. Adhiyanto, Chris, Laifa Hendarmin and RP. Pengenalan Dasar Teknik Bio-
Molekuler. Jakarta: Deepublish; 2020.

22. DNA Purification | DNA Extraction Methods | Promega [Internet]. [cited 2021
Jan 1]. Available from:
https://worldwide.promega.com/resources/guides/nucleic-acid-analysis/dna-
purification/

23. Kadri K. Polymerase Chain Reaction (PCR): Principle and Applications.


IntechOpen; 2019.

24. Ravi I. Advances in Biotechnology. New Delhi: Springer; 2014.

25. Sanger Sequencing Steps | DNA Sequencing | Sigma-Aldrich [Internet]. [cited


2020 Dec 23]. Available from: https://www.sigmaaldrich.com/technical-
documents/articles/biology/sanger-sequencing.html

26. Puspitanungrum R, Adhiyanto C, Solihin. Genetika Molekuler dan Aplikasinya.


Dr. Siti Gomo Attas MH, editor. 2018. 75 p.

27. AGRF Sequencing. Sanger Sequencing Troubleshooting Guide. 2014;11.


Available from: https://www.agrf.org.au/docs/sanger-sequencing-
troubleshooting-guide[1].pdf

28. Troubleshooting Your Data | Roswell Park Comprehensive Cancer Center


[Internet]. [cited 2021 Jan 3]. Available from:
https://www.roswellpark.org/shared-resources/genomics/services-and-
fees/sanger-sequencing/troubleshooting-your-data

51
Lampiran 1 LAMPIRAN

Urutan Basa Nitrogen dan Kromatogram

Gambar 7.1. Hasil Sequencing Sampel A

Gambar 7.2. Hasil Sequencing Sampel B

52
Gambar 7.3. Hasil Sequencing Sampel C

Gambar 7.4. Hasil Sequencing Sampel D

53
Gambar 7.5. Hasil Sequencing Sampel E

Gambar 7.6. Hasil Sequencing Sampel F

54
Gambar 7.7. Hasil Sequencing Sampel G

Gambar 7.8. Hasil Sequencing Sampel H

55
Gambar 7.9. Hasil Sequencing Sampel I

Gambar 7.10. Hasil Sequencing Sampel J

56
Gambar 7.11. Perbedaan Urutan Basa Nitrogen Sampel dengan Referensi

Gambar 7.13. Variasi Gen Sampel A ( A > G/T di Urutan


120)

57
Gambar 7.15. Variasi Gen Sampel B ( T > C di Urutan 121, T > G di 122, T > G di 123)

58
Gambar 7.16. Variasi Gen Sampel C ( A > G di 113, T > G di 114, G > T di 115, T > C di 116)
)

Gambar 7.18. Variasi Gen Sampel D ( A > C di 115, T > C di 116, T > C di 117)
)

59
Gambar 7.20. Variasi Gen Sampel E ( T > C di 112, T > G di 113)
)

Gambar 7.21. Variasi Gen Sampel F ( A > C di 113, T > G di 114, T > C di 115)
)

60
Gambar 7.23. Variasi Gen Sampel G ( A > C di 115, G > C di 116)
)

Gambar 7.25. Variasi Gen Sampel H ( A > C di 118, C > T di 119)


)

61
Gambar 7.26. Variasi Gen Sampel I ( A > G di 113, N(G) > A di 114)
)

Gambar 7.28. Variasi Gen Sampel J ( A > G di 118, G > T di 119)


)

62

Anda mungkin juga menyukai