Anda di halaman 1dari 26

TINGKAT PELAYANAN

DALAM KESEHATAN KEPERAWATAN JIWA

A. Mumtaz Tauba,S.Kep.,Ners.,M.Kep
Saat ini,
banyak masalah
kesehatan mental
yang terjadi.
Masalah-masalah
tersebut tidak
dapat ditangani
oleh satu pihak
saja, harus ada
kerja sama antar
pihak terkait untuk
menyelesaikannya
Tidak seperti
rindu yang dapat
ditanggung
sendiri,
Rasa sakit menuntut
untuk dirasakan.
Ada lima disiplin ilmu Setiap anggota tim secara konsisten
berkolaborasi untuk menyelesaikan
utama yang terlibat masalah klien (Schultz et al, 2014).
pada ranah kesehatan
mental,
Terapis Psikolog Pekerja
Okupasi Sosial

Psikiatri

Perawat
Interdisciplinary
atau dalam bahasa Indonesia
interdisiplin adalah
gabungan antara 2 atau lebih
disiplin ilmu yang membangun
sebuah tingkatan baru dan
terintergrasi dengan
pengetahuan, misalnya ketika
seorang ahli fisika berkerjasama
dengan petugas kesehatan
maka akan tercipta suatu terapi
baru untuk kanker (Choi & Anita, 2006).
Pelayanan kesehatan jiwa
adalah adalah pelayanan yang
berkesinambungan, yaitu :
1. Sepanjang hidup
2. Sepanjang rentang sehat-
sakit
3. Pada setiap konteks
keberadaan: di rumah, di
sekolah, di tempat kerja, di
rumah sakit (di mana saja)
PIRAMIDA
PELAYANAN
KESEHATAN JIWA
Jenjang pelayanan
kesehatan jiwa terdiri dari:

Perawatan mandiri individu dan lingkungan keluarga

Dukungan dari sektor formal dan informal diluar


sektor kesehatan

Pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan


kesehatan dasar.

Pelayanan kesehatan jiwa di RSU/RSUD.

Pelayanan kesehatan jiwa di RSJ.

(Ommeren, 2005)
Perawatan Mandiri
Individu dan Keluarga.
Kebutuhan pelayanan jiwa terbesar

1
adalah kebutuhan kesehatan jiwa yang
dapat dipenuhi oleh masing-masing
individu dan keluarga.

Individu maupun keluarga diharapkan


dapat secara mandiri memelihara
kesehatan jiwanya. Pada tingkat ini
sangat penting untuk mempeberdayakan
keluarga dengan melibatkan mereka
dalam memelihara kesehatan anggota
keluarganya.
Dukungan Masyarakat
Formal dan Informal diluar
sektor kesehatan
Apabila masalah kesehatan jiwa yang

2
dialami individu tidak mampu diatasi
secara mandiri di tingkat individu dan
keluarga, maka upaya solusi tingkat
berikutnya adalah Leader Formal dan
Informal yang ada di masyarakat, yaitu:
1. TOMA: tokoh agama, tokoh wanita,
kepala desa/dusun, lurah, ketua rukun
tetanggga atau rukun warga.
2. Pemberi pengobatan tradisional: orang
pintar
3. Guru
Pelayanan Kesehatan Jiwa
Melalui Pelayanan
Kesehatan Dasar.

Puskesmas memiliki pelayanan

3
kesehatan jiwa untuk rawat jalan dan
kunjungan ke masyarakat sesuai
wilayah kerja puskesmas.
Tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan jiwa adalah
perawat yang telah dilatih CMHN
(perawat plus CMHN) dan dokter
yang telah memperoleh pelatihan
mengenai kesehatan jiwa (dokter
plus kesehatan jiwa).
Pelayanan Kesehatan Jiwa
Masyarakat Kabupaten/Kota.

Tim kesehatan jiwa/kota terdiri dari


psikiater, psikolog klinik, perawat jiwa plus
CMHN dan psikolog plus (yang telah

4
mendapatkan pelatihan kesehatan jiwa).
Tim berkedudukan di tingkat dinas
kesehatan kabupaten/kota.

Tim akan bergerak secara periodik ke


tiap-tiap Puskesmas untuk memberi
konsultasi, supervisi, monitoring dan
evaluasi. Pada saat tim mengunjungi
puskesmas maka penanggung jawab
pelayanan kesehatan jiwa komunitas di
puskesmas akan mengkonsultasikan
kasus-kasus yang tidak berhasil.
Pelayanan Kesehatan Jiwa
di RSU
Rumah Sakit Umum Daerah pada tingkat
kabupaten/kota diharapkan menyediakan
pelayanan rawat jalan dan rawat inap bagi pasien

5
gangguan jiwa dengan jumlah tempat tidur
terbatas sesuai kemampuan.
Sistem rujukan dari puskesmas/tim kesehatan jiwa
masyrakat kabupaten/kota ke rumah sakit umum
dan sebaliknya harus jelas. Tim memberi
pelayanan kesehatan jiwa dapat terdiri dari
perawat plus CMHN dan dokterumum plus
kesehatan jiwa yang telah mendapat pelatihan
dari Psikiatrict Intensive Care Unit (PICU).
1
Pasien yang tidak berhasil
dirawat di keluarga oleh
perawat jiwa di puskesmas
dikonsultasikan dengan tim
Contoh KASUS : keswamas (kesehatan jiwa
masyarakat) kabupaten/kota
untuk di rujuk ke RSU.

3
Kondisi pasien yang
Jika terjadi pemulihan, pasien dirawat di RSU adalah
dikembalikan ke
masyarakat/keluarga melalaui pasien dengan
tim keswamas/puskesmas kondisi akut, bukan
untuk melanjutkan fungsi
asuhan keperawatan di pasien kronik. Jika

2
rumah. Cara ini akan RSU tidak berhasil
mewujudkan kontinuitas juga maka pasien
perawatan pasien.
dapat dirujuk ke RSJ.
Pelayanan Rumah Sakit Jiwa.

Rumah sakit jiwa merupakan


pelayanan spesialis kesehatan jiwa yang
difokuskan pada pasien gangguan jiwa yang
tidak berhasil dirawat

6
dikeluarga/puskesma/RSU.
Sistem rujukan dari RSU dan rujukan
kembali ke masyarakat yaitu puskesmas
harus jelas agar kesinambungan pelayanan
di keluarga dapat berjalan. Pasien yang
telah selesai dirawat di RSJ dirujuk kembali ke
puskesmas. Penanggungjawab pelayanan
kesehatan jiwa masyarakat di kesehatan jiwa
masyarakat (puskesmas) bertanggung jawab
terhadap lanjutan asuhan di keluarga.
Peran Dan Fungsi
Perawat 1 Pemberi asuhan
keperawatan secara
langsung (practitioner).
Kesehatan Jiwa
Komunitas
meliputi:
3
Koordinator
2Pendidik (coordianator).

(educator).
PENGORGANISASIAN
MASYARAKAT.
Masyarakat terdiri dari sekelompok orang dengan
kondisi kesehatan yang bervariasi.
Respons mereka terhadap perubahan kehidupan
dapat berada pada rentang sehat-sakit.
Secara umum dapat dibagi 3 yaitu:
 Respons Masyarakat yang sehat atau adaftif.
Misalnya, orang yang kehilangan anak telah
menerima kondisinya.
 Respons Masyarakat yang menunjukkan masalah
psikososial. Misalanya, orang yang bagian
tubuhnya tidak dapat berfungsi merasa tidak
berguna.
 Respons Masyarakat yang menunjukkan
gangguan jiwa. Misalnya, berbicara sendiri, tidak
peduli terhadap diri atau marah tanpa sebab.
MASALAH KESEHATAN JIWA
DI MASYARAKAT.
Kriminal/kekerasan

Individu
Anak jalanan/tawuran
Keluarga
STRES
Bunuh diri Masyarakat

Perceraian/masalah RT

Penganiayaan anak GGN Kesehatan Jiwa


Perjudian/sex bebas

Konflik/bencana PRODUKTIVITAS
EKONOMI SULIT
PENGORGANISASIAN SUMBER DAYA
KESEHATAN DALAM KOLABORASI
INTERDISIPLIN KESEHATAN MENTAL

Level perawatan mandiri individu dan


keluarga terdiri dari: Perawat kesehatan jiwa
komunitas (perawat CMHN) dan Kader
Kesehatan Jiwa.

Level dukungan masyarakat informal dan


formal di luar sektor kesehatan: Perawat
kesehatan jiwa komunitas (perawat CMHN)
dan Kader Kesehatan Jiwa.

Level pelayanan kesehatan jiwa melalui


pelayanan kesehatan dasar: Perawat
Kesehatan Jiwa Komunitas (perawat CMHN),
Dokter Umum, Kader Kesehatan Jiwa.
PENGORGANISASIAN SUMBER DAYA
KESEHATAN DALAM KOLABORASI
INTERDISIPLIN KESEHATAN MENTAL

Level tim kesehatan jiwa komunitas: Psikiater,


Psikolog klinis, dan Perawat CMHN.

Level RSU daerah kabupaten/kota: Psikiater,


Psikolog Klinis, Perawat Kesehatan Jiwa.
Perawat yang bekerja di unit rawat inap jiwa
RSU bertujuan untuk memulihkan kondisi
pasien pada fase akut dan memampukan
pasien dan keluarga/masyarakat untuk
mengatasi masalahnya.

Level RSJ: Psikiater, Psikolog Klinis, dan


Perawat Kesehatan Jiwa.
Hambatan Pelaksanaan
Interdiciplinary Collaborative

Hambatan dalam pelaksanaan


praktek interdisiplin kolaborasi menurut
penelitian Thuente & Friedrich (2008)
meliputi: waktu (time), jenis kelamin
(gender), budaya (culture), dan kurangnya
penjelasan peran (lack of role clarification).
Hambatan ini juga dapat menurunkan
kemampuan untuk menetapkan dan
mencapai tujuan bersama.
Hambatan Pertama,
Waktu (time)

Kolaborasi merupakan langkah


penting dalam mencapai tujuan, sehingga
dibutuhkan waktu untuk berkumpul
bersama mendiskusikan masalah yang
dialami klien dan menentukan tujuan
bersama apa yang akan dicapai. Namun
pada kenyatannya dokter mempunyai
waktu yang lebih sedikit, sehingga proses
kolaborasi tidak terjalin sebagaimana
mestinya dan akibatnya semua tenaga
kesehatan berjalan sendiri-sendiri sesuai
yang diarahkan dokter.
Hambatan Kedua,

Jenis kelamin (gender)

Jenis kelamin merupakan salah satu


penghambat dalam proses kolaborasi
interdisiplin, karena masih banyak tenaga
kesehatan yang berjanis kelamin wanita
masih takut ketika berkolaborasi dengan
tenanga kesehatan berjenis kelamin laki-
laki. Berdasarkan penelitian Wear et al
(2004), melalui survei kualitatif menunjukkan
bahwa perawat perempuan lebih sering
dan nyaman berkolaborasi dengan dokter
perempuan dibandingkan dengan dokter
laki-laki.
Hambatan Ketiga,

Budaya (culture)
Setiap negara atau daerah mempunyai
budaya yang berbeda, budaya dapat
memengaruhi pemahaman tenaga
kesehatan ataupun klien dalam memahami
setiap tujuan yang akan ditetapkan dalam
pelayanan. Selain itu, ketika penyedia dan
klien berasal dari budaya yang berbeda
atau berbicara bahasa yang berbeda,
banyak masalah dapat terjadi karena:
kurangnya penerjemah, perbedaan
ide dalam menetapkan tujuan, dan
kurangnya pemahaman mengenai
berbagai budaya.
Hambatan Terakhir,
Kurangnya penjelasan peran
(lack of role clarification)

Ketika kolaborasi terjadi di antara


perawat, klien, dan dokter, setiap orang
memahami tujuan dan proses yang
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Namun pada kenyatannya peran antar
disiplin ilmu kurang jelas bahkan banyak
yang tidak mengetahui tugas dan tangung
jawabnya.
Sehingga banyak tugas yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang tidak semestinya dilakukan
oleh orang tersebut. Selain itu, kurangnya penjelasan
peran dapat menyulitkan siapa yang bertanggung
jawab penuh dalam menentukan tujuan bersama.
Terimakasih,
Semoga Bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai