Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fadila

Nim : N1D121078

Kelas :B

Matkl : Sosiolinguistik

CAMPUR CODE

A. Pengertian Campur Code

Campur kode pada dasarnya merupakan suatu fenomena kebahasaan yang


secara alamiah terjadi pada masyarakat multilingual. Masyarakat multilingual
merupakan suatu kelompok masyarakat yang dalam berkomunikasi menggunakan
lebih dari satu bahasa. Satu bahasa dengan bahasa lain yang digunakan terjadi
karena adanya suatu tindakan campur kode dan alih kode. Tindakan campur kode
dan alih kode ini sangat sulit untuk dibedakan. Thelander (dalam Chaer &
Agustina, 2010: 115) menjelaskan perbedaan campur kode dan alih kode sebagai
berikut:

"Bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu klausa suatu bahasa
ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila
di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan
terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan
masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri,
maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode."

Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa
lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di
dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb. Code Mixing
adalah pencampuran satu bahasa dalam bahasa lain oleh pembicara dalam
komunikasi.

B. Pengertian Campur Kode Menurut Para Ahli

Gumperz (1977: 82) menyatakan bahwa pencampuran kode adalah bagian


dari satu bahasa oleh seorang pembicara sementara pada dasarnya menggunakan
bahasa lain.Adapun ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian
atau situasi informal. Misalnya ada seorang penutur yang dalam pemakaian bahasa
Indonesia banyak disisipi unsur-unsur bahasa Jawa/daerah atau sebaliknya bahasa
daerah yang disisipkan pada bahasa Indonesia. Maka seorang penutur tersebut
bercampur kode ke dalam peristiwa tersebut, sehingga akan menimbulkan apa
yang disebut bahasa Indonesia yang ke daerah-daerahan atau kejawa-jawaan.

Chaer & Agustina (2010: 116) berpendapat bahwa campur kode itu dapat berupa
pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa didalam bahasa lain
yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi didalamnya
terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Purba (2011: 98) memberi batasan
tentang campur kode yakni: tuturan hanya berupa serpihan-serpihan, telah
menggunakan satu kata atau frasa dan tidak ada situasi yang menuntut.

Menurut Nababan (1991: 32) campur kode terjadi tanpa ada sesuatu dalam situasi
berbahasa itu yang menuntutnya. Maksudnya, berbeda dengan alih kode yang
ditentukan oleh faktor situasi, campur kode tidak disebabkan faktor situasi. Dalam
keadaan demikian beliau membagi campur kode menjadi tiga bagian kesantaian
penutur, kebiasaan penutur, dan tidak adanya ungkapan yang tepat dalam bahasa
yang sedang dipakai. Ohoiwutun (2007: 71) menjelaskan bahwa penyebab campur
kode yaitu tidak adanya padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia serta
keinginan penutur menunjukkan prestise. Bounvillain (2003: 361) mengatakan
bahwa “di beberapa negara seperti India, alih kode dan campur kode digunakan
untuk alasan gengsi. Mereka menggunakan alih kode dan campur kode untuk
menunjukkan seberapa berpendidikan, canggih dan santunnya mereka”.

C. Faktor-Faktor Terjadinya Campur Kode

Berdasarkan faktor penyebab campur kode, campur kode tidak muncul


karena tuntutan situasi, tetapi ada hal lain yang menjadi faktor terjadinya campur
kode. Pada penjelasan sebelumnya telah dibahas mengenai ciri-ciri peristiwa
campur kode, yaitu tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan, adanya
ketergantungan bahasa yang mengutamakan peran dan fungsi kebahasaan yang
biasanya terjadi pada situasi yang santai. Berdasarkan hal tersebut, Suwito (1983)
memaparkan beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya campur kode
antara lain:
a. Faktor peran
Yang termasuk peran adalah status sosial, pendidikan, serta golongan dari
pesera bicara atau penutur bahasa tersebut.
b. Faktor ragam
Ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur pada waktu
melakukan campur kode, yang akan menempat pada hirarki status sosial.
c. Faktor keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
Yang termasuk faktor ini adalah tampak pada peristiwa campur kode yang
menadai sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan
orang lain terhadapnya. Jendra (1991) menjelaskan bahwa ketiga faktor
penyebab itu dapat dibagi lagi menjadi dua bagian pokok, umpamanya
peserta pembicaraan dapat disempitkan menjadi penutur, sedangkan dua
faktor yang lain (faktor media bahasa yang digunakan dan faktor tujuan
pembicaraan) dapat disempit lagi menjadi faktor kebahasaan:
d. Faktor penutur
Pembicara kadang-kadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasa
karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pembicara kadang-
kadang melakukan campur kode antara bahasa yang satu ke bahasa yang lain
karena kebiasaan dan kesantaian.
e. Faktor bahasa
Dalam proses belajar mengajar media yang digunakan dalam berkomunikasi
adalah bahasa lisan. Penutur dalam pemakaian bahasanya sering
mencampurkan bahasanya dengan bahasa lain sehingga terjadi campur kode.
Umpamanya hal itu ditempuh dengan jalan menjelaskan atau mengamati
istilah-istilah (kata-kata) yang sulit dipahami dengan istilah-istilah atau kata-
kata dari bahasa daerah maupun Bahasa Asing dapat lebih dipahami.
Selanjutnya, Andiopenta (2011: 96) berpendapat bahwa terjadinya campur
kode disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini:
f. Keinginan untuk memperlihatkan identitas atau kependudukan
Campur kode dapat terjadi jika seorang penutur ingin memperlihatkan
identitas atau kedudukannya karena penutur ingin melihat keterpelajarannya
dan kemahirannya dalam berbahasa kedua.
g. Kebiasaan penutur
Campur kode juga dapat terjadi karena kebiasaan penutur menggunakan
bahasa (B1) dan (B2), sehingga terjadi pencampuran bahasa.
h. Ketidaktepatan ungkapan
Campur kode terjadi apabila seorang penutur tidak tepat dalam
mengungkapkan suatu bahasa.

Selain faktor tersebut, campur kode juga dapat dipengaruhi oleh faktor
ketidaksengajaan dari penutur yang secara spontan dan alamiah menggunakan dua
variasi berbahasa sekaligus dalam situasi komunikasi tertentu. Namun, tidak
selamanya campur kode terjadi karena faktor kebiasaan dan ketidaksengajaan. Ada
kalanya campur kode terjadi secara disengaja dengan alasan yang berbeda, yaitu
karena penutur ingin menjalin hubungan akrab dalam berkomunikasi dengan lawan
tutur (mitra tuturnya).

D. Bentuk Campur Kode

Kridalaksana (1993: 35) menyatakan bahwa campur kode merupakan


penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya
bahasa atau ragam bahasa, termasuk didalamnya pemakaian kata, klausa, idiom
dan sapaan. Hal serupa juga disampaikan Saddhono (2011) bahwa wujud dari
komponen campur kode tidak pernah berwujud kalimat, melainkan hanya
berwujud kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan kata, dan klausa. Dari
pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuk campur kode dapat berupa (1)
kata, (2) frasa, dan (3) klausa.

A. Campur Kode Tataran Kata
Kridalaksana (dalam Rahardi, 2009: 12) menyatakan bahwa kata merupakan
satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau
gabungan morfem. Morfem atau kombinasi morfem yang oleh bangsawan
dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas.
Selanjutnya, Rahardi (2009: 12) menyatakan bahwa kata merupakan satuan
bahasa terkecil yang dapat dilafalkan secara bebas. Kata dapat berdiri sendiri
sebagai sebuah entitas kebahasaan dan dapat memiliki makna yang jelas,
baik kata itu merupakan kata dasar maupun sebagai kata jadian atau kata
bentukan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kata merupakan satuan terkecil yang bermakna, sebagai salah satu unsur
terpenting dalam menentukan kesatuan terkecil yang bermakna, sebagai
salah satu unsur terpenting dalam menentukan kalimat yang terbagi atau
beberapa kategori yaitu nomina, verba, dan adjektiva.
B. Campur Kode Tataran Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66) frasa merupakan gabungan dua kata atau
lebih yang sifatnya tidak predikatif. Dari definisi tersebut dapat dikatakan
bahwa frasa adalah gabungan kata nonpredikat yang berarti hubungan antara
kedua unsur yang membentuk frasa itu tidak berstruktur subjek-predikat atau
predikat-objek. Berbeda dengan kata yang tidak bisa diselipi apa-apa, maka
hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain dalam sebuah frase
cukup longgar, sehingga ada kemungkinan diselipi unsur lain.
C. Campur Kode Tataran Klausa
Kridalaksana (2008: 124) berpendapat bahwa klausa merupakan satuan
gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari
subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.

https://educhannel.id/blog/artikel/campur-kode.html

Anda mungkin juga menyukai