Nim : N1D121078
Kelas :B
Matkl : Sosiolinguistik
CAMPUR CODE
"Bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu klausa suatu bahasa
ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila
di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan
terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan
masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri,
maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode."
Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa
lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di
dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb. Code Mixing
adalah pencampuran satu bahasa dalam bahasa lain oleh pembicara dalam
komunikasi.
Chaer & Agustina (2010: 116) berpendapat bahwa campur kode itu dapat berupa
pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa didalam bahasa lain
yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi didalamnya
terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Purba (2011: 98) memberi batasan
tentang campur kode yakni: tuturan hanya berupa serpihan-serpihan, telah
menggunakan satu kata atau frasa dan tidak ada situasi yang menuntut.
Menurut Nababan (1991: 32) campur kode terjadi tanpa ada sesuatu dalam situasi
berbahasa itu yang menuntutnya. Maksudnya, berbeda dengan alih kode yang
ditentukan oleh faktor situasi, campur kode tidak disebabkan faktor situasi. Dalam
keadaan demikian beliau membagi campur kode menjadi tiga bagian kesantaian
penutur, kebiasaan penutur, dan tidak adanya ungkapan yang tepat dalam bahasa
yang sedang dipakai. Ohoiwutun (2007: 71) menjelaskan bahwa penyebab campur
kode yaitu tidak adanya padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia serta
keinginan penutur menunjukkan prestise. Bounvillain (2003: 361) mengatakan
bahwa “di beberapa negara seperti India, alih kode dan campur kode digunakan
untuk alasan gengsi. Mereka menggunakan alih kode dan campur kode untuk
menunjukkan seberapa berpendidikan, canggih dan santunnya mereka”.
Selain faktor tersebut, campur kode juga dapat dipengaruhi oleh faktor
ketidaksengajaan dari penutur yang secara spontan dan alamiah menggunakan dua
variasi berbahasa sekaligus dalam situasi komunikasi tertentu. Namun, tidak
selamanya campur kode terjadi karena faktor kebiasaan dan ketidaksengajaan. Ada
kalanya campur kode terjadi secara disengaja dengan alasan yang berbeda, yaitu
karena penutur ingin menjalin hubungan akrab dalam berkomunikasi dengan lawan
tutur (mitra tuturnya).
A. Campur Kode Tataran Kata
Kridalaksana (dalam Rahardi, 2009: 12) menyatakan bahwa kata merupakan
satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau
gabungan morfem. Morfem atau kombinasi morfem yang oleh bangsawan
dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas.
Selanjutnya, Rahardi (2009: 12) menyatakan bahwa kata merupakan satuan
bahasa terkecil yang dapat dilafalkan secara bebas. Kata dapat berdiri sendiri
sebagai sebuah entitas kebahasaan dan dapat memiliki makna yang jelas,
baik kata itu merupakan kata dasar maupun sebagai kata jadian atau kata
bentukan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kata merupakan satuan terkecil yang bermakna, sebagai salah satu unsur
terpenting dalam menentukan kesatuan terkecil yang bermakna, sebagai
salah satu unsur terpenting dalam menentukan kalimat yang terbagi atau
beberapa kategori yaitu nomina, verba, dan adjektiva.
B. Campur Kode Tataran Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66) frasa merupakan gabungan dua kata atau
lebih yang sifatnya tidak predikatif. Dari definisi tersebut dapat dikatakan
bahwa frasa adalah gabungan kata nonpredikat yang berarti hubungan antara
kedua unsur yang membentuk frasa itu tidak berstruktur subjek-predikat atau
predikat-objek. Berbeda dengan kata yang tidak bisa diselipi apa-apa, maka
hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain dalam sebuah frase
cukup longgar, sehingga ada kemungkinan diselipi unsur lain.
C. Campur Kode Tataran Klausa
Kridalaksana (2008: 124) berpendapat bahwa klausa merupakan satuan
gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari
subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
https://educhannel.id/blog/artikel/campur-kode.html