Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peristiwa komunikasi merupakan peristiwa yang dialami oleh setiap orang
dengan berbagai bahasa.Peristiwa komunikasi merupakan suatu peristiwa yang
sangat majemuk.Komunikasi merupakan peristiwa penyampaian pesan dari
komunikator (pengirim pesan) kepada komunikan (penerima pesan). Agar pesan
tersebut sampai kepada komunikan, seorang komunikator harus menggunakan
bahasa yang juga dipahami oleh komunikan. Ketika seorang komunikator
menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh komunikan maka pesan yang
disampaikan oleh komunikator tidak akan sampai pada komunikan. Dalam hal ini
bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting.
Namun, tidak semua penutur dan lawan tutur memiliki penguasaan bahasa
yang sama. Sering sekali terjadi penutur harus berganti bahasa ketika akan
berbicara dengan lawan tuturnya yang tidak menguasai bahasa penutur. Peralihan
bahasa inilah yang disebut dengan alih kode. Peristiwa alih kode sering kali
terjadi pada komunikasi dalam masyarakat Indonesia. Peristiwa alih kode tersebut
bisa terjadi di pasar, di sekolah, di kampus, di kantor, bahkan alih kode sering
digunakan dalam dialog film. Hal ini dikarenakan kemajemukan bahasa yang ada
di Indonesia. Bahkan masih banyak lagi penyebab terjadinya alih kode.
Tidak hanya pergantian bahasa saja yang terjadi dalam peristiwa komunikasi,
tetapi pencampuran antara dua bahasa pun sering kali terjadi. Pencampuran
bahasa ini dilakukan karena antara penutur dan lawan tutur memiliki penguasan
yang sama pada dua bahasa. Masyarakat sering kali tidak sadar ketika mereka
melakukan campur kode. Sama halnya dengan alih kode, campur kode pun sering
kali digunakan pada dialog film.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini memberikan batasan masalah yang akan dibahas,yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode?
2. Bagaimana terjadinya alih kode dan campur kode pada masyarakat Sunda?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode
2. Untuk terjadinya alih kode dan campur kode pada masyarakat Sunda
BABII
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki
kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa
Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti
varian regional (bahasa Sunda, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial
disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Sunda halus dan kasar), varian ragam
dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya
santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa,
dan bahasa lawak). Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki
kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan
kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.

B. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode
yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan
bahasa Sunda. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa
(language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat
multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa.
Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi
masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel
memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena
perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu:
1. Alih kode ekstern, bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke
bahasa Inggris atau sebaliknya
2. Alih kode intern, bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa
ngoko merubah ke krama.

C. Faktor Penyebab Alih Kode


Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1. Penutur
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur
karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi
atau sebaliknya.
2. Mitra
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya
beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang
kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. HadirnyaKetiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga,
biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang
kebahasaan mereka berbeda.
4. PokokPembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam
menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal
biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan
pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku,
gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya
5. Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan dengan alih varian,
alih ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan
faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode,
sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak
komunikatif.
Contoh alih kode sebagai berikut:
Mahasiswa : Pak, punten mau minjem kunci gerbang.
Satpam : bentar de, saya lupa.
Mahasiswa : ohiya pak, mangga.
Satpam : ieu de, engké uihkeun deui nya.
Proses alih kode yang terjadi dalam percakapan mahasiswa dan satpam di
lingkungan Kampus di atas, seorang mahasiswa meminjam kunci gerbang kepada
satpam penjaga di pos satpam. Pada data berikutnya masih dalam percakapan
mahasiswa dan satpam di lingkungan Kampus ketika salah seorang satpam
menegur kegiatan kemahasiswaan yang melewati jadwal yang sudah disusun.
Satpam : de ini udah jam berapa?
Mahasiswa : iya pak biasanya kita make sampai jam 11
Satpam : ini liat jadwalnya de!
Mahasiswa : oh enya pa, punten teu terang.
Satpam : matak bapa negor ogé pan tos puguh jadwalna, da nu ditegor
mah bapa deui bapa deui.
Mahasiswa : oh muhun pa, punten pisan

D. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan
suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur
bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti
latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena
keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya,
sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya
mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan
(linguistic convergence).

Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
2. Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari
bahasa asing.

Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
1. Sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur
2. Kebahasaan(linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada
alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik
antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.

Beberapa wujud campur kode,


a. penyisipan kata,
b. menyisipan frasa,
c. penyisipan klausa,
d. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
e. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing

Conto percakapan campur kode berdasarkan data yang ditemukan dalam


percakapan antara mahasiswa dan satpam di lingkungan Kampus wujud campur
kode antara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Adapun data dan pembahasannya
sebagai berikut:
Mahasiswa : Pak, punten mau minjem kunci gerbang.
Satpam : bentar de, saya lupa.
Mahasiswa : ohiya pak, mangga.
Satpam : siap de, sami-sami.

Percakapan antara mahasiswa dan satpam pada tuturan di atas terjadi di pos
satpam. Adapun wujud campur kode yang ada dalam tuturan di atas adalah
penggunaan kata “punten”. Dari awal, seorang mahasiswa sudah menggunakan
bahasa Sunda ketika berkomunikasi melakukan campur kode frasa dalam bahasa
Indonesia. Selanjutnya, wujud campur kode dalam percakapan mahasiswa dan
satpam ketika mencari mahasiswa yang hendak bunuh diri, dapat dikemukakan
pada data berikut:
Satpam : kumaha de? Ketemu belum orangnya?
Mahasiswa : belum euy pak
Satpam : biasanya mah ke arah atas de
Mahasiswa : ayo atuh pak kita cari ke atas.
Satpam : bentar atuh, bapak hubungi dulu yang jaga di atas.
Wujud campur kode yang terjadi adalah penggunaan frasa posposisi yakni euy;
mah; dan atuh. Frasa posposisi terletak dibelakang unsur lain.

E. Faktor Penyebab Campur Kode


Campur kode tidak muncul karena tuntutan situasi, tetapi ada hal lain yang
menjadi faktor terjadinya campur kode itu. Pada penjelasan sbelumnya telah
dibahas menganai ciri-ciri peristiwa campur kode,yaitu tidak dituntut oleh situasi
dan konteks pembicaraan, adanya ketergantungan bahasa yang mengutamakan
peran dan fungsi kebahasaan yang biasanya terjadi pada situasi yang santai.
Berdasarkan hal tersebut, Suwito (1983) memaparkan beberapa faktor yang
melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut.
1. Faktor peran
Yang termasuk peran adalah status sosial, pendidikan, serta golongan dari
peserta bicara atau penutur bahasa tersebut.
2. Faktor ragam
Ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oeh penutur pada waktu
melakukan campur kode, yang akan menempat pada hirarki status sosial.
3. Faktor keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
Yang termasuk faktor ini adalah tampak pada peristiwa campur kode yang
menandai sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang
lain terhadapnya.

Jendra (1991: 134-135) mengatakan bahwa “setiap peristiwa wicara (speech


event) yang mungkin terjadi atas beberapa tindak tutur (speech act) akan
melibatkan unsur: pembicara dan pembicara lainnya (penutur dan petutur), media
bahasa yang digunakan, dan tujuan pembicaraan”. Lebih lanjut, Jendra (1991)
menjelaskan bahwa ketiga faktor penyebab itu dapat dibagi lagi menjadi dua
bagian pokok, umpamanya peserta pembicaraan dapat disempitkan menjadi
penutur, sedangkan dua faktor yang lain (factor media bahasa yang digunakan dan
faktor tujuan pembicaraan) dapat disempit lagi menjadi faktor kebahasaan.
1. Faktor Penutur
Pembicara kadang-kadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasa
karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pembicara kadang-kadang
melakukan campur kode antara bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena
kebiasaan dan kesantaian.
Contoh: “Ok, kita tungguan weh”
2. Faktor Bahasa
Dalam proses belajar mengajar media yang digunakan dalam berkomunikasi
adalah bahasa lisan. Penutur dalam pemakaian bahasanya sering
mencampurkannya bahasanya denan bahasa lain sehingga terjadi campur kode.
Umpanya hal itu ditempuh dengan jalan menjelaskan atau mengamati istilah-
istilah (kata-kata) yang sulit dipahami dengan istilah-istilah atau kata-kata dari
bahasa daerah maupun Bahasa Asing sehingga dapat lebih dipahami.
Contoh: Kita harus enjoy dalam bekerja
Uraian tentang faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode yang dipaparkan di
atas sangat terkait dengan penelitian yang dilakukan. Keterkaitan ini disebabkan
oleh adanya alasan atau pertimbangan dari peserta rapat Senat Mahasiswa
Fakultas Bahasa dan Seni melakukan campur kode bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Bali, campur kode bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, campur kode
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jepang dalam proses rapat.

F. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode


Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi
dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih.
Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan
masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing,
dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan
campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki
fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan
bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi
sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau
kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur
menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-
jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu
peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa
lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa
atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid
cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi
mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang
bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung
mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching) dan campur kode
(code-mixing). Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu
kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Alih kode terjadi untuk
menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan tertentu. Campur kode
(code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara
dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Campur
kode dapat terjadi tanpa adanya sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut
adanya pencampuran bahasa, tetapi dapat juga disebabkan faktor kesantaian,
kebiasaan atau tidak adanya padanan yang tepat.
Dalam suatu peristiwa tutur, alih kode dan campur kode terjadi karena
beberapa faktor yaitu,(1) penutur dan pribadi penutur, (2) mitra penutur,(3)
hadirnya penutur ketiga, (4) tempat dan waktu tuturan berlangsung, (5) modus
pembicaraan, dan (6) topik pembicaraan. Alih kode dan campur kode memiliki
fungsi terkait dengan tujuan berkomunikasi. Dalam kegiatan komunikasi pada
masyarakat multilingual, alih kode dan campur kode pada umumnya dilakukan
antara lain untuk tujuan (1) mengakrabkan suasana, (2) menghormati lawan
bicara, (3) meyakinkan topik pembicaraan, (4) menyajikan humor untuk
menghibur, dan (5) menimbulkan gaya atau gengsi penutur.

B. Saran
Alih kode dan campur kode seharusnya digunakan pada kondisi dan situasi
yang tepat. Campur kode seharusnya hanya digunakan pada situasi informal saja
sementara pada situasi formal seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang
baku.
DAFTAR PUSTAKA

Agsjatmiko.blogspot.com/.../penggunaan-alih-kode-dan-campur-kode.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.


Jakarta: Rineka Cipta.

Marcopangngewa.blogspot.com/.../alih-kode-dan-campur-kode.
http://milamizalia.blogspot.com/2013/05/makalah-alih-kode-dan-campur-kode.html

Anda mungkin juga menyukai