Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa merupakan wahana komunikasi yang sangat penting keberadaanya di tengahtengah masyarakat. Tanpak adanya bahasa, maka tidak akan terjadi interaksi dalam kehidupan.
Dalam proses komunkasi harus ada tiga komponen, yaitu (1) pihak berkomunikasi yakni
penerima dan pengirim pesan yang lazim disebut partisipan, (2) informasi yang
dikomunikasikan, dan (3) alat komunikasi yang digunakan dalam komunikasi, (Chaer dan
Agustina, 2004: 17).
Bahasa sebagai media komunikasi bersumber dari komunikasi pemakainnya, kemudian
dipelihara dan dikembangkannya. Di Indonesia, komunitas pemakai bahasa sangatlah banyak
dan beraneka ragam karena teridiri dari suku-suku bangsa yang berbeda-beda. Sehingga dapat
dikatakan bahwa selain mampu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, juga
mampu menggunakan bahasa ibunya/bahasa kedua dengan baik. Selain itu, faktor sejarah dan
perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa
Indoensia (Alwi, 2003:3).
Kemampuan menggunakan dua bahasa atau yang disebut blingual dapat mendorong
pemakain bahasa yang berbeda secara bersamaan. Suatu keadaan berbahasa seperti ini, bilamana
orang mencampur bahasa dua atau lebih tanpak ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang
menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam hal demikian, hanya kesantain penutur dan/atau
kebiasaanya yang dituruti. Tindakan bahasa yang demikian kita sebut campur kode (Nabban,
1991: 32).
1.2. Rumusan Masalah
1 Apakah itu Campur kode?
2 Apa saja tipe campur kode?

3 Apa yang melatar belakangi campur kode?


4 Bagaimana wujud campur kode?
1.3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah.
1. Untuk mengetahui campur kode.
2. Untuk mengetahui tipe-tipe dari campur kode.
3. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya campur kode.
4. Untuk mengetahui wujud dari campur kode.
1.4 Manfaaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam review adalah:
1. Makalah ini diharapkan memberikan manfaat yaitu menambah wawasan dibidang ilmu
pengetahuan dalam hal ini adalah campur kode.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Campur Kode


Nababan (1984:32) berpendapat bahwa seseorang dikatakan melakukan campur kode
bilamana dia mencampurkan bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa
adanya

sesuatu

dalam

situasi

berbahasa

itu

yang menuntut pencampuran

bahasa.

Selanjutnya Kachru (dalam Suwito, 1985:76) memberi batasan campur kode sebagai
pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang
satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Sementara itu, istilah campur kode oleh
Kridalaksana (1984:32) dikatakan mempunyai dua pengertian. Pertama, campur kode
diartikan sebagai interferensi, sedang pengertian kedua campur kode diartikan sebagai
penggunaan satu bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau
ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom dan sapaan. Thealander
(dalam Chaer, 1995:151-152) mengatakan bahwa campur kode terjadi apabila di dalam suatu
peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri atas klausa dan frase
campuran dan masing-masing klausa, frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. Seorang
penutur misalnya yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan
bahasa daerahnya dapat dikatakan telah melakukan campur kode.
Campur kode menurut Suwito (1985:75) merupakan aspek saling ketergantungan
bahasa, yang ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi
kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi
kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya. Jika seorang
penutur dalam tuturannya bercampur kode, maka harus dipertanyakan lebih dahulu siapakah
dia. Dalam hal ini sifat-sifat khusus penutur (misalnya latar belakang sosial, tingkat
pendidikan, rasa keagamaan dan sebagainya) sangatlah penting.

Di pihak lain, fungsi dan peranan menentukan sejauh mana bahasa yang dipakai oleh
penutur memberi kesempatan untk bercampur kode. Seorang penutur yang menguasai banyak
bahasa akan mempunyai kesempatan bercampur kode lebih banyak daripada penutur lain
yang hanya menguasai satu atau dua bahasa. Tapi tidak berarti bahwa penutur yang
menguasai banyak bahasa selalu lebih banyak bercampur kode, sebab apa yang hendak
dicapai oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan pilihan bahasanya. Campur kode
terjadi bilamana seseorang menggunakan dua atau lebih bahasa dalam situasi berbahasa.
Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan
memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peistiwa
tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi/keotonomian sebuah kode
(Chaer, 1995:151).
Elisabeth Marasigan (melalui Suyanto, 1993:34) dalam bukunya Code Switching and
Code mixing in Multilingual Societies mengungkap kasus campur kode yang terjadi di Filipina,
antara bahasa Filipina dengan bahasa Inggris. Istilah yang digunakan olehnya untuk menyebut
campur kode adalah mix-mix. Menurutnya campur kode merupakan hasil kombinasi
secara sistematis antara bahasa Inggris dan bahasa Filipina yang terkontrol secara baik
yang berdiri sebagai varian bahasa secara tersendiri dan dipergunakan oleh orang-orang yang
terdidik, khususnya di Metro Manila.

Elisabeth Marasigan (sebagaimana dikutip Suyanto,

1993:35-36) menulis :
As observed, mix-mix is a result of a systematic combination of English and
philipino which only those with a good control of both language can make. The
speakers then of this variety are educated Filipino students, professionals and non
professional who study in filipina school.
Dari pendapat di atas, wujud tuturan campur kode merupakan fenomena tutur yang
cukup mapan keberadaannya. Tuturan campur kode umumnya terjadi di Metro Manila oleh
para penutur yang terdidik (educated people) untuk menunjukan kelas elitnya.

Menurut Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode
adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara
santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi
formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merajuk pada
konsep yang dimaksud.

Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek,

register, tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat
berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri.

Kemampuan komunikatif penutur dalam

suatu masyarakat bahasa akan sangat mempengaruhi hasil yang diharapkan penutur
tersebut. Yang dimaksud kemampuan komunikatif menurut Nababan (1984:10) adalah
kemampuan untuk memilih dan menggunakan satuan-satuan bahasa itu disertai dengan aturanaturan penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bahasa.
Dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah
penggunaan dua bahasa (varian) atau lebih dalam tindak tutur dengan penyusupan unsurunsur bahasa yang satu kedalam yang lain dalam batas-batas
2.2 Tipe Campur Kode
Suwito (1985:76) membagi campur kode menjadi dua macam, yaitu
1.

Campur kode ke dalam (innercode-mixing): campur kode yang bersumber dari


bahasa asli (intern) dengan segala variasinya Dikatakan campur kode kedalam
(intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai
hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan
antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode intern
umumnya masih dalam satu wilayah politis yang tidak berbeda

2. Campur kode ke luar/ ekstern (outer code-mixing)


Dikatakan campur kode ekstern apabila antara bahasa sumber dengan bahasa
secara politis. Campur kode ekstern ini terjadi diantaranya karena kemampuan
sasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan, secara geografis, geanologis

ataupun

intelektualitas

yang

tinggi,

memancarkan

nilai

moderat.

Dengan

demikian hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antar bahasa yang
terlibat.
Contoh campur kode ekstern dalam dialog :
(1) Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang seperti nomernomer telepon, pesan, kalender dan catatan.
Kata phone memory dalam teks (2) berasal dari bahasa Inggris, bahasa Inggris
tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara kedua bahasa
tersebut juga tidak ada hubungan genetis oleh sebab itu maka tipe campur kode
pada kata tersebut adalah tipe campur kode keluar atau ekstern.
2.3 Latar Belakang Terjadinya Campur Kode
Latar belakang terjadinya campur kode menurut Suwito (1985:77) dikategorikan menjadi
dua tipe, yaitu
1.

tipe yang berlatar belakang pada sikap penutur (attitudinal type)


Tipe yang berlatar belakang pada sikap meliputi (1) untuk memperhalus
ungkapan; (2) untuk menunjukkan kemampuannya; (3) perkembangan dan
perkenalan dengan budaya baru.

2.

tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan (linguistic type)


Tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan meliputi (1) lebih mudah
diingat; (2) tidak menimbulkan kehomoniman; (3) keterbatasan kata; (4)
akibat atau hasil yang dikehendaki.

Sedangkan menurut Nababan (1984:32) campur kode terjadi karena (1) pembica ingin
memamerkan keterpelajarannya, (2) kesantaian, (3) tidak ada ungkapan yang tepat dalam
bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa
asing.
6

Faktor-faktor

yang mempengaruhi penggunaan bahasa adalah faktor-faktor

yang

diungkapkan Dell Hymes (melalui Nababan, 1993:7) dengan akronim SPEAKING yang bila
dijabarkan berarti :
1. Setting dan Scene, dalam bagian ini unsur-unsur yang dimaksud yaitu
keadaan,

suasana, serta situasi penggunaan bahasa tersebut pada waktu

dilakukan, hal ini akan mempengaruhi tuturan seseorang dalam suatu


komunikasi.
2. Participant, yaitu siapa-siapa yang terlibat dalam peristiwa berbahasa, hal ini
berkaitan antara penutur dan lawan tutur. Keputusan tindak bahasa penutur
pada bagian ini dipengaruhi olek kedudukan dan permasalahan yang melatari
suatu komunikasi.
3. End (purpose and goal ), dalam unsur ini yang dibicarakan adalah akibat atau
hasil dan tujuan apa yang dikehendaki oleh pembicara, hal ini akan
berpengaruh pada bentuk bahasa serta tuturan pembicara.
4. Act Sequence,dalam unsur ini yang dibicarakan adalah bentuk, isi pesan dan
topik yang akan dibicarakan dalam komunikasi. Hal ini juga berpengaruh pada
bentuk bahasa serta tuturan pembicara.
5. Key / tone of spirit of art, unsur nada suara yang bagaimana serta
ragam bahasa yang digunakan dalam komunikasi akan berpengaruh pada
bentuk tuturan.
6. Instrumentalis, yaitu tuturan akan dipakai dalam komunikasi . Jalur ini
bisa berupa tuturan melalui media cetak, media dengar, dan sebagainya.
7. Norm of intersection and interpretation, unsur norma atau tuturan yang harus
dimengerti dan ditaati dalam suatu komunikasi. Norma yang dimaksud dapat

berupa norma bahasa yang mengatur bagaimana agar bahasa

tersebut

mudahdipahami.
8. Genres, yaitu unsur berupa jenis penyampaian pesan. Jenis penyampaian
pesan ini berwujud puisi, dialog, cerita dan lain-lain. Hal ini juga dipengaruhi
oleh bentuk bahasa yang digunakan.
Menurut Weinreich (1963) menjelaskan mengapa seseorang harus meminjam katakata dari bahasa lain. Hal ini pada dasarnya memiliki dua faktor yaitu faktor internal dan
faktor eksternal.
a. Faktor Internal
Faktor ini menunjukan bahwa sesorang meminjam kata dari bahasa lain karena
dorongan yang ada dalam dirinya. Adapun faktor tersebut meliputi tiga macam yaitu:
1. Low frequency of word
Seseorang

melakukan campur kode karena kata-kata yang sering digunakan

biasanya mudah diingat dan lebih stabil maknanya. Hal ini dapat dianalogikan
ketika ketika seorang Customer Service terlibat pembicaraan dengan calon
pelanggan tentang permasalahan dan keistimewaan handphone yang banyak
mengandung istilah dari bahasa Inggris. Dengan demikian peminjaman kata dari
bahasa lain bertujuan untuk menghindari pemakaian kata yang jarang didengar
orang. Atau dengan kata lain menggunakan kata yang biasanya dipakai sehingga
lawan tutur mudah memahami makna yang ingin disampikan penutur.
2. Pernicious Homonymy
Kata-kata yang dipinjam dari bahasa lain juga digunakan untuk memecahkan
masalah homonim yang ada dalam bahasa penutur. Maksudnya adakalanya jika
penutur menggunakan kata daam bahasanya sendiri, maka kata tersebut dapat
menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu. Sehingga untuk menghindari
keambiguan makna penutur menggunakan kata dari bahasa lain.
8

3. Need for Synonim


Penutur sengaja menggunkan kata dari bahasa lain yang bersinonim dengan
bahasa penutur dengan tujuan untuk menyelamatkan muka lawan tutur.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah suatu dorongan yang berasal dari luar penutur, yang
menyebabkan penutur meminjam kata dari bahasa lain. Terdapat

empat faktor

eksternal yaitu:
1. Perkembangan atau perkenalan dengan budaya baru.
Faktor

ini

terjadi

karena

adanya

perkembangan

budaya

baru

misalnya

perkembangan teknologi di Indonesia, mau tidak mau orang Indonesia banyak


menggunakan bahasa Inggris karena banyak sekali alat-alat teknologi yang
berasal dari negara asing. Atau pemakaian bahasa Jawa oleh para mahasiswa yang
notabene tidak berasal dari Jawa.
2. Social Value
Penutur mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor
sosial,

sehingga diharapkan dengan penggunaan kata-kata

tersebut dapat

menunjukan status sosial dari penutur.


3. Oversight
Maksudnya ada keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur dalam
kaitannya dengan topik yang disampaikan sehingga penutur harus mengambil kata
dari bahasa lain. Contohnya terbatasnya kata dalam bidang kedokteran dalam
bahasa Indonesia maka banyak istilah kedokteran yang diambil dari bahasa
latin yang mempunyai istilah yang tepat dalam bidang kedokteran.

2.4 Beberapa Wujud Campur Kode

1 penyisipan kata,
Contoh :
(1) Kalau perlu, bikin list kelebihan dan kekurangannya
(2) Jadi si dia pasti bisa kita andalkan untuk bantuin ngerjain paper Sejarah atau
IPS yang njelimet banget.
(3) Saatnya jadi auntie teladan yang asyik menjaga keponakannya dengan penuh
rasa sayang.
(4) Tukang speak, murah banget ngejual kata-kata pujian ke cewek dan bikin cewek
tersebut melayang tinggi.
(5)

Jangan flirting, CCP-an (curi-curi pandang), atau ber-TTM ria (teman tapi
mesra) dengan orang lain!

(6)

Jadi, sobat kita tetap bisa survive dari depresi.

2. penyisipan frasa
Contoh :
(1) Lagi asyik-asyiknya beresin barang di lemari, tanpa sengaja kita nemuin bendabenda penuh memori akan someone spesial di masa lalu.
(2) Tapi gimana jadinya kalau bad mood-nya ternyata nggak hilang-hilang dan sobat
kita malah jadi makin stres dan so lame?
(3) Ini jelek. Itu nggak keren. Berabe nih kalau punya ortu fashion police!
(4) Jangan langsung negative thinking.
(5) Say thanks setiap kali dia memuji kita.
(6) Capek, deh! Soalnya, nggak cuma bersikap over-exaggerating, kadang drama king

10

juga suka berpikir negatif.


(7) Pergi bareng keluarga memang suka bingung nyamain keinginan, ada yang mau
shopping, sight-seeing bahkan leyeh-leyeh di kolam renang hotel.
(8) Seringkali kita juga suka berantem over small things sama dia.
(9) Biasanya para senior ngegencet adik kelas for some reasons. \

3. penyisipan / berunsur klausa


Klausa adalah Satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya
terdiri atas subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk berdiri sendiri
(Kridalaksana, 1984 : 100).
Contoh :
(1) Jadi mendingan lupain aja! They dont worth it.
Pada contoh di atas terlihat adanya campur kode bahasa Inggris berupa klausa yaitu
they dont worth it yang berarti mereka tidak menghargainya. Klausa ini terdiri atas
S(ubjek) yaitu they, P(redikat) yaitu dont worth dan O(bjek) yaitu it. Ramlan
mengatakan bahwa Unsur inti klausa adalah S dan P. Namun demikian, S sering
dihilangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat penggabungan klausa dan dalam
kalimat jawaban (1987 : 89). Contoh :
(2) Think like a man, act like a lady. Imbangi posisi kita dengan punya pola pikir ala
cowok.
Satuan kebahasaan think like a man, act like a lady pada kalimat (2), merupakan
campur kode berupa klausa yang berarti berpikir seperti laki-laki, bertindak seperti
perempuan. Satuan bahasa di atas terdiri atas dua klausa yaitu think like a man dan act
like a lady. Klausa pertama terdiri atas P(redikat) yaitu think berpikir dan O(bjek) yaitu
like a man seperti laki-laki. Sedangkan klausa kedua terdiri atas P(redikat) act
bertindak danO(bjek) like a lady seperti perempuan. Subjek dalam kalimat
tersebut dihilangkan karena merupakan jawaban dari pertanyaan bagaimana menghadapi
buaya darat? Jawaban lengkap klausa tersebut seharusnya berbunyi kita harus berpikir
11

seperti laki-laki dan bertindak seperti perempuan. Kalimat ini sebenarnya benar, tetapi
karena terlalu panjang maka menjadi tidak efektif. Untuk itu digunakan pelesapan subjek
agar kalimat menjadi efektif.
4. penyisipan ungkapan atau idiom
Idiom adalah Pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang
umum, sedangkan artinya tidak dapat diterangkan secara logis atau secara gramatikal,
dengan bertumpu pada makna kata yang membentuknya (Keraf, 1996 : 109).
Contoh :
(1) Kita dan sahabat kita punya waktu-waktu tertentu untuk melakukan kegiatan-kegiatan
cewek (seperti window-shopping atau luluran bareng).

Satuan lingual window-shopping pada kalimat (1), merupakan ungkapan idiomatik karena
ungkapan itu tidak dapat diartikan berdasarkan unsur pembentuknya, yaitu window
jendela dan shopping belanja. Ungkapan tersebut mempunyai makna melihat-lihat
pajangan di etalase toko. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh para wanita di kota besar.
(2) Nah, kalau cowok atau gebetan kita punya semua gejala di atas, itu tandanya ia
termasuk orang yang berani speak out, punya rasa ingin tahu tinggi, kritis dan selalu
ingin bikin perubahan.
Speak out pada contoh (2) jika diartikan kata demi kata berarti berbicara keluar. Namun
speak out disini merupakan satuan lingual yang diartikan secara keseluruhan. Ungkapan
yang berasal dari bahasa Inggris ini berarti bicara bebas. Biasanya ungkapan ini digunakan
untuk menyebut seseorang yang berjiwa kritis dan berani.
(3)Selalu menawarkan bantuan dan stand by buat kita kapan pun kita butuhkan.
Stand by dalam kalimat (3) merupakan ungkapan karena tidak dapat diartikan
berdasarkan unsur pembentuknya yaitu stand berdiri dan by denganStand

by
12

merupakan ungkapan dari bahasa Inggris yang berarti siap. Dalam bahasa Indonesia
ungkapan ini berpadanan kata dengan cadang siaga.
(4) Tutup kuping, bersikap cuek atau berikan dia tangan kita sambil bilang Talk To
The Hand, sampai akhirnya dia bisa menyadari permasalahan sebenarnya.
Talk To The Hand merupakan ungkapan dari bahasa Inggris yang berarti bicaralah
dengan tanganku. Kalimat di atas bukan berarti bahwa kita menyuruh orang untuk
berbicara dengan tangan kita, melainkan ungkapan bahwa kita tidak mau diganggu.
Ungkapan ini sering digunakan oleh para artis muda ketika sedang diserbu wartawan.
5. Penyisipan bentuk baster
Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda, membentuk satu
makna

(Suwito, 1985:76). Baster adalah bentuk yang tidak asli, artinya bentuk ini

terjadi karena perpaduan antara afiksasi bahasa Indonesia dengan unsur-unsur bahasa
dari bahasa lain, atau sebaliknya afiksasi dari bahasa lain yang dipadukan dengan unsurunsur bahasa dari bahasa Indonesia.
5.1 Unsur Baster Berwujud Prefiks
Prefiks adalah imbuhan yang diletakkan di bagian muka kata dasar (Alwi dkk, 2003 :
31).
Contoh :
(1) Sobat dekat yang sudah kita kenal sejak baru masuk sekolah, yang selalu kompak diajak
seru bareng, yang sama-sama nge-fans sama Mike Shinoda, dan paling nyambung
diajak ngegosip, sekarang menghilang.
Contoh (1) di atas terdapat unsur baster yaitu nge-fans yang berarti menggemari.
Bentuk nge-fans terdiri atas dua unsur bahasa yaitu imbuhan nge- yang berasal dari bahasa
Indonesia dan kata fans yang berasal dari bahasa Inggris. Nge-fans berasal dari bentuk
dasar fans yang merupakan kata benda lalu bergabung dengan awalan nge- menjadi kata
13

kerja nge-fans. Imbuhan nge- sering digunakan dalam bahasa Indonesia ragam non
formal, seperti ngelap, nge-gank, ngecat, ngebom, dan sebagainya.
(2) Rasa sayang yang sudah mulai menipis dan sekarat, bisa di-re-charge atau diisi
ulang lewat break.
Bentuk baster yang ditemukan pada data (15) yaitu di-re-charge berartidiisi ulang.
Bentuk di-re-charge merupakan penggabungan dua unsur dari dua bahasa. Unsur yang
pertama adalah awalan di- yang berasal dari bahasa Indonesia dan unsur yang kedua
adalah kata re-charge yang berasal dari bahasa Inggris. Afiks di- hanya memiliki satu
fungsi, yaitu membentuk kata kerja pasif, sedangkan maknanya ialah menyatakan suatu
perbuatan yang pasif (Ramlan, 1987 : 116-117). Artinya bahwa pelaku hanya dikenai
perbuatan sehingga kadang tidak disebutkan dalam konstruksi kalimat. Recharge yang berarti
isi ulang berkategori kata benda dan setelah mendapat imbuhan di- berubah menjadi kata
kerja bentuk pasif.
(3) Begitu waktunya tiba, kita nggak sendirian datang tapi ramai-ramai bareng sobat segank.
Unsur bahasa Inggris yang terjadi dalam data (30) merupakan bentuk baster, sebab
bentuk dasarnya adalah dari bahasa Inggris gank yang berarti kelompok, sedang
awalannya dari bahasa Indonesia se- yang berarti satu. Afiks se- yang melekat pada nomina
gank membentuk kata benda se-gank yang berarti satu kelompok.
5.2 Unsur Baster Berwujud Sufiks
Sufiks adalah imbuhan yang diletakkan di bagian belakang kata dasar (Alwi, dkk., 2003 :
31). Contoh :
(1) Bukan bermaksud ber-KKN ria tapi nggak ada salahnya kita pergunakan kakak
kelas tersebut sebagai backing-an buat ngebela kita!

14

Contoh (1) terlihat adanya bentuk baster yaitu backing-an. Bentuk backing-an terdiri
atas dua unsur bahasa, yaitu kata dasar backing yang berasal dari bahasa Inggris berarti
membantu dan akhiran an yang berasal dari bahasa Indonesia. Afiks an hanya
mempunyai satu fungsi, yaitu sebagai pembentuk kata benda (Ramlan, 1987 : 154). Kata
backing-an terdiri atas kata kerja backing dan setelah mendapat akhiran an menjadi
kata benda yang berarti orang yang membantu di belakang kita.
(2) Good news-nya depresi bisa disembuhkan kok.
Pada kalimat di atas ditemukan unsur baster yaitu good news-nya. Bentuk good news-nya
terdiri atas frasa good news berarti berita baik dan akhiran dari bahasa Indonesia nya
Frasa good news merupakan frasa nominal dan dapat disisipi kata yang, sedangkan akhiran
nya merupakan partikel penegas.

15

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1 dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah penggunaan dua bahasa (varian)
atau lebih dalam tindak tutur dengan penyusupan unsur-unsur bahasa yang satu
kedalam yang lain dalam batas-batas.
2 Campur kode dapat dibagi menjadi dua yaitu: campur kode ke dalam (innercode-mixing)
dan campur kode ke luar / ekstern (outer code-mixing)
3 Ada dua tipe yang metar belakangi campur kode yaitu: tipe yang berlatar belakang pada
sikap penutur (adittidutional type) dan tipe yang berlatar belakang pada bahasa
(linguistic type). Faktor yang mempengaruhi campur kode ini adalah SPEAKING.
4 Wujud campur kode yaitu: penyisipan kata, penyisispan frasa, penyisipan unsur klausa,
penyisipan ungkapan, penyisipan bentuk baster.

3.1 Saran
1.

Dalam makalah ini mungkin masih banyak terdapat kesalahan. Hal ini dikarenakan
karena terbatasnya pengetahuan penulis dan sumber yang digunakan. Setelah membaca
makalah ini diharapkan nantinya makalah ini akan dapat disempurnakan lagi.

16

Daftar Pustaka
Santoso, Tanadi. 2006. Customer Service. (http//www.tanadisantoso.com/)
Sumarsono, 2010. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.

17

Anda mungkin juga menyukai