Anda di halaman 1dari 2

Masyarakat terbagi dua kelompok dilihat dari tutur bahasa yaitu masyarakat tutur yang

tertutup dan masyarakat tutur yang terbuka. Masyarakat tutur yang tertutup yaitu tutur yang tidak
tersentuh oleh tutur lain. Biasanya masyarakat ini berada di daerah terpencil sehingga
megakibatkan tidak tersentuhnya oleh tutur lain tetapi tidak menutup kemungkinan jika mereka
memang sengaja untuk tidak ingin berhubungan dengan tutur lain. Masyarakat tutur yang
tertutup ini juga disebut dengan monolingual. Berbeda halnya dengan masyarakat tutur yang
terbuka, karena masyarakat ini mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain sehingga
akan mengakibatkan munculnya kontak bahasa dengan berbagai peristiwa-peristiwa kebahasaan
yang diakibatkannya. Sebagaimana menurut Chaer dan Agustina (2010, hlm. 84) bahwa
“Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu
adalah apa yang di dalam sosiolinguistik disebut bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode,
interferensi, integrasi, konvergensi, dan pergeseran bahas “.

Pertama, penjelasan mengenai peristiwa-peristiwa kebahasaan yang terjadi akibat dari


kontak bahasa yaitu bilingualisme atau dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasaan.
Bilingualisme juga adapat diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
berinteraksi dengan orang lain. Penutur disini pastinya sudah menguasai kedua bahasa tersebut
dan bisa disebut juga bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan
kemampuan dalam menggunakan kedua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia
disebut juga kedwibahasaan).

Kedua, penjelasan mengenai diglosia diambil dari pendapatnya Ferguson (dalam Chaer dan
Agustina, 2010, hlm. 92) bahwa ‘istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di
mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu’. Di dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi yaitu variasi
pertama disebut dialek tinggi dan variasi yang kedua disebut dialek rendah. Penggunaan dialek
ini disesuaikan dengan situasi. Dialek tinggi biasa dignakan pada siatuasi resmi atau formal,
sedangkan dialek rendah digunakan hanya pada situasi informal dan santai.

Ketiga, penjelasan mengenai alih kode sebagaimana suatu situasi yang membuat seorang
penutur melakukan pergantian bahasa baik dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau
berubahnya dari ragam santai ke ragam resmi, atau pun ragam resmi ke ragam santai. Penyebab
terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indoonesia menurut Widjajakusumah (dalam
Chaer dan Agustina, 2010, hlm. 112) adalah sebagai berikut:

1. kehadiran orang ketiga,


2. perpindahan topic dari yang nonteknis ke yang teknis,
3. beralihnya suasana bicara,
4. ingin dianggap “terpelajar”,
5. ingin menjauhkan jarak,
6. menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda,
7. mengutip pembicaraan orang lain,
8. terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia,
9. mitra berbicaranya lebih mudah,
10. berada di tempat umum,
11. meenunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda,
12. beralih media/sara bicara.

Sedangkan penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda adalah kebalikan dari
diatas. Hal ini berdasarkan kesimpulan yang dipaparkan oleh Chaer dan Agustina (2010, hlm.
113) bahwa “Tampaknya penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda merupakan
kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia”.

Keempat, penjelasan mengenai peristiwa kebahasaan campur kode. Campur kode memliki
kesamaan dengan alih kode yaitu menggunakan dua bahasa atau lebih. Tetapi sangat jelas
perbedaan antara campur kode dengan alih kode. Dalam alih kode penutur mengubah bahasanya
dengan tujuan tertentu dan dilakukan dengan sadar, sedangkan di dalam campur kode
digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa. Penutur
akan mencampurkan bahasa keduanya dengan bahasa indungnya. Contohnya seperti kalimat
berikut “ ini teh apa?”, yang dimaksud dari kalimat tersebut adalah “ini itu apa?’. Dilihat dari
contoh maka terlihat jelas penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Sunda,
sehingga muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan.

Kelima, penjelasan mengenai interferensi. Menurut Chaer dan Agustina (2010, hlm. 120)
bahwa “Istilah interferensi digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan
system suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur
bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual”.

Anda mungkin juga menyukai