Di zaman Rasulullah SAW terdapat seorang wanita tua sholehah yang hidup dengan
penuh kesederhanaan. Dialah Ummu Rubayyi’ bint Bara’. Wanita paruh baya tersebut
tinggal bersama putra satu-satunya yang masih belia bernama Haritsah. Seorang pemuda
berusia 17 tahun yang memiliki sifat pemberani, tegas, dan berhati mulia. Suatu pagi
Haritsah berpapasan dengan Rasulullah SAW.
Haritsah : “ أصبحت مؤمنا حقا يا رسول هللاPagi ini aku memiliki iman yang sempurna, Wahai
Rasulullah.”
Rasulullah takjub dan terkejut mendengar jawaban yang luar biasa itu.
Rasulullah : “ فما حقيقة ايمانك، لكل شيئ حقيقةSegala sesuatu membutuhkan bukti wahai
Haritsah. Apakah bukti keimananmu?.”
Haritsah : “Ya Rasulullah… hatiku tidak memiliki rasa cinta kepada dunia sama sekali.
Bagiku emas dan debu nilainya sama saja. Tiap hari ketika bangun tidur, aku melihat
seakan-akan arsy Allah ada di depanku. Aku juga menyaksikan penghuni surga sedang
bergelimang kenikmatan di dalamnya dan penghuni neraka di adzab sangat pedih. Di
malam hari kuhabiskan waktuku untuk bermunajat dan di siang hari aku senantiasa
berpuasa. ”
Luar biasa. Dalam usia yang sangat belia, Haritsah telah memiliki kedudukan yang tinggi di
sisi Allah dan keimanan yang nyaris sempurna. Rasulullah mengusap dadanya dan
mendoakannya.
Rasulullah : “ ) لقد عرفت فالزم يا حارثة3 ( نوّر هللا قلبكSemoga Allah menerangi hatimu wahai
Haritsah. Karena kau telah memahami hakikat hidup ini, maka istiqomahlah.”
Saat itu doa terasa mustajab. Lalu Haritsah meminta doa pada Rasulullah agar impiannya
tercapai.
Haritsah : “Ya Rasulullah, selama ini aku bercita-cita untuk mati syahid di jalan Allah.
Tetapi, kiranya hal itu mustahil tercapai bagiku. Doakanlah aku agar kelak meninggal dalam
keadaan syahid…”
Suatu hari terdengar berita bahwa pasukan kafir Quraisy bersiap-siap menyerang orang
Islam di Madinah. Perang pertama kali dalam sejarah Nabi Muhammad yang kita kenal
sebagai perang Badar.
(suara kentongan)
Haritsah : ”Wahai ibu, saat ini Rasulullah mengajak para sahabat untuk menyertai
beliau ke Badar. Aku ingin ikut bersama mereka….”
Ibu : “Demi Allah, amat berat rasanya berpisah denganmu. Wahai anakku,
tetaplah bersamaku dan janganlah pergi!” (sang ibu memelas)
Ummu Haritsah keberatan untuk mengizinkan anaknya pergi berperang . Namun Haritsah
tak putus asa. Ia terus menerus membujuk ibunya sambil menciumi kening serta kedua
tangan dan kakinya. Hingga akhirnya sang ibu merelakan keberangkatannya.
Haritsah : “Aku mohon padamu wahai ibu, izinkan aku untuk pergi berjihad.”
Ibu : “Pergilah anakku. Nampaknya aku tak akan merasakan nikmatnya makan,
minum, dan tidur hingga engkau kembali kepadaku.”
17 Ramadhan tahun 2 H merupakan hari yang bersejarah dalam islam. Saat itulah terjadi
perang badar. Pasukan muslim hanya berjumlah 313 orang berhadapan dengan 1000
pasukan kafir quraisy. Walaupun kekuatan jauh lebih kecil, kaum muslim tidak patah
semangat, termasuk Haritsah. Ia berjuang dengan perkasa menyerang kaum kafir Quraisy
yang jauh lebih banyak jumlahnya. Rasulullah pun mendapat banyak serangan yang
menyebabkan beliau terluka.
Di tengah berkecamuknya perang badar, tak disangka terdapat sebuah anak panah, tak
diketahui siapa yang melepaskannya, mengenai tubuh Haritsah. Ia pun tewas menemui
syahid seperti yang didoakan Nabi SAW. Di sinilah haritsah meraih impiannya.
Haritsah : ”Allahu Akbar 3x, Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhamadar
rasulullah.” (Haritsah tersenyum bahagia di nafas terakhirnya)
Usai peperangan, Rasulullah dan para sahabat kembali ke Madinah. Kaum muslim
berbondong-bondong menyambut kedatangan mereka. Wanita, anak-anak, dan orang tua
sama-sama menunggu di gerbang kota, di tengah teriknya matahari dan gersangnya
padang pasir.
Para wanita menunggu kedatangan suami mereka, anak-anak menanti kedatangan ayah
mereka, dan orang tua tak sabar melihat wajah anak mereka. Di antara mereka terdapat
Ummu Haritsah bin Suraqah yang jantungnya berdegup kencang menanti kedatangan anak
tersayang.
Namun, Haritsah tak kunjung tiba. Ia bertanya ke sana kemari perihal anaknya.
Ibu : “Aku adalah ibunya, aku ibunda Haritsah.” (penuh harap dan cemas)
Sahabat : “Jika anda benar ibunya, maka tabahkanlah hatimu. Sesunggunya Haritsah
telah terbunuh.”
Mendengar kata-kata itu dalam benak ibu Haritsah terbayang akan surga.
Sahabat : “Syahid..? Kukira tidak… Ia terkena panah yang tak jelas asalnya. Yah
semoga saja Allah memasukkannya ke dalam surga.”
Wajah ibu Haritsah menjadi pucat. Ia menjadi panik. Tak terasa air mata membanjiri
wajahnya…
Ibu bergumam : Tak ada gunanya aku meratapi diriku. Aku harus menemui Rasulullah.
Tak lama kemudian Rasulullah lewat. Langsung dihadang oleh Ibu Haritsah.
Ibu : “ يا رسول هللا أين ابني حارثةYa Rasulullah dimanakah anakku Haritsah??”
Rasulullah : “ لقد اشتهد في سبيل هللاTenanglah wahai Ummu Haritsah! Dia sudah syahid di
jalan Allah.”
(nada tinggi)
Rasulullah :“ لقد قتل في سبيل هللاIa telah terbunuh di medan peperangan! Inilah ketentuan
Allah.”
Ibu :“ ولكني أسألك هل هو في الجنة ام في النار، ما أسأل عن هذا يا رسول هللاAku tahu jika
anakku sudah mati. Pertanyaanku adalah dimana dia sekarang, di neraka ataukah di surga?
Jika dia berada di surga, sungguh aku sangat bahagia dan meridhoinya. Namun… jika dia
berada di neraka… aku merasa putus asa dan menganggap diriku telah gagal mendidiknya
selama ini.”
Panah salah sasaran yang mengenai tubuh Haritsah, membuat hati sang ibu ragu akan
kesyahidannya. Perkataan itu membuat Rasulullah kagum dengannya. Rasulullah pun
tersenyum dan berkata :
Rasulullah :“ و هو يختار الفردوس األعلى. بل جنات، إنها ليست جنة واحدة،بخير بخير يا أم حارثة
Tenanglah wahai Ummu Haritsah! Anakmu saat ini berada di surga. Bukan hanya satu
surga, namun Allah membuka semua pintu surga untuknya. Dan Haritsah memilih surga
tertinggi, surga firdaus bersama para nabi dan syuhada.”
Jawaban ini membuat Ummu Haritsah sangat gembira. Wajahnya berseri-seri disertai
senyuman lebar. Ummu Haritsah merasa bangga dan menganggap dirinya sukses mendidik
anaknya hingga mengantarkan Haritsah ke pintu surga….
Ibu :“ اآلن قرة عيني، اآلن فرحت يا رسول هللاSekarang aku bahagia ya Rasulullah.
Haritsah telah menjadi penyejuk hatiku…” (3x).
(Narasi Penutup)
Setiap ibu pasti memiliki harapan dan ingin anaknya sukses. Namun konsep sukses bagi
tiap orang tentulah tak sama. Ada yang menganggap dirinya sukses mendidik anak ketika
anaknya meraih gelar sarjana atau menjadi pedagang kaya raya ataupun menjadi tokoh
terkenal dan disegani masyarakat.
Namun sadarkah kita, tidakkah ada cita-cita yang lebih mulia dibandingkan itu semua?
Yaitu ketika anak-anak kita sukses meraih ridho Allah dan Rasulullah.
Harta yang banyak tak ada gunanya jika tak dibarengi dengan keridhoan Allah. Ketenaran
anak kita di dunia menjadi percuma jika ia lalai dengan sholat 5 waktu hingga mengakhiri
hidupnya suul khotimah.
Banyak sahabat yang mendapat kabar gembira dari Nabi Muhammad untuk menjadi
penghuni surga. Namun jika dijanjikan menempati surga Firdaus, cukup langka. Dan
Haritsah telah meraihnya… Bahkan menginginkan surga dan merindukannya. Tentulah ini
semua hasil dari tarbiyah sang ibu yang luar biasa…