Anda di halaman 1dari 10

NASKAH DRAMA BAHASA INDONESIA

Dewi (Yura) : Hakim


Arsy (Jihan) : Hakim pembantu
Kezia (Aurin) : Penuntut (Jaksa)
Della (Viola) : Pihak Pembela (Pengacara)
Anisah (Sabrina) : Saksi mata
Mega (Rhea) : Ketua Yayasan (Terdakwa)
Dea (Ruza) : Presiden
Upi (Callista) : Reporter
Nasha (Alena) : Sekretaris

Sinopsis

Mengisahkan seorang hakim yang mengubah pengadilan ‘menjadi’ suatu reality show dan
menghukum pelaku kejahatan tanpa ampun. Persidangan diadakan melalui siaran langsung
dan ditayangkan di stasiun televisi nasional.

Isi cerita

Suasana pengadilan begitu ramai dengan banyaknya masyarakat yang berkumpul disana
untuk menyaksikan pengadilan yang akan segera berlangsung. Masyarakat sedang ramai
membicarakan hakim yang baru tenar belakangan ini. Banyak desas-desus yang berkata jika
hakim tersebut memiliki peluang yang besar untuk menyelamatkan negara yang kondisinya
sedang tidak baik.

Hakim tersebut dikenal karena kekejamannya saat berada di kursi pengadilan. Keputusan nya
yang cekatan dalam menilai masalah para korban dan terdakwa, tidak memihak siapapun dan
tidak tanggung-tanggung dalam memberikan hukuman.

--

Deandra : “Ini adalah takdir!”

Semua pandangan tertuju kepada seseorang yang sedang berbicara di atas podium yang besar
itu. Disekitarnya banyak orang-orang penting dan juga petinggi negara yang sedang hadir di
dalam aula itu. Suasana yang meriah, pakaian yang berkilauan dan juga riasan yang sangat
memanjakan mata.
Deandra : “Takdir yang bahkan tidak ingin kupikirkan! Walau wabah belum pernah
terdengar menyebar ke seluruh negeri, banyak perusahaan yang jatuh dan rakyat
menjadi gelandangan.”

Pidato dari sang Presiden disiarkan di seluruh penjuru negeri. Mulai dari televisi, radio,
bahkan beberapa layar yang ada di gedung-gedung besar kota. Semua masyarakat
mendengarkan pidato dari sang presiden, bahkan yang sedang berkendara juga ikut
mendengarkan. Seolah-olah seluruh negeri sedang melihat kearahnya.

Deandra : “Penghasutan yang tidak berdasar terhadap yang lebih beruntung


menyebabkan pembakaran dan aksi terorisme. Pada akhirnya itu hanya akan
mengarahkan kepada kerusuhan yang tidak berujung!”

Nasha : “Reaksinya berlebihan saat kamera merekam. Dia tidak bisa menghilangkan
kebiasaan itu,” kata sang Sekretaris Alena sambil tersenyum mencemooh.

Mega : “Badut dalam dirinya tidak pernah hilang,” balas Rhea, si ketua yayasan

Deandra : “Untuk memulihkan negara, pertama kita harus memperbaiki hukum dan
ketertiban. Aku meloloskan RUU reformasi yudisial yang kuat. Dimulai pada hari ini!
Untuk pertama kali dalam sejarah, seluruh negeri bisa berpatisipasi sebagai juri,”

Presiden masih terus melanjutkan pidato nya itu dengan semangat yang menggebu-gebu,
seolah itu adalah hari terakhir nya di dunia.

Deandra : “Kita mempunyai hakim yang terkenal kejam. Hakim Yura yang akan
memimpin persidangan dan memberikan hukuman yang ingin kalian lihat. Aku yang
akan mewujudkannya! Aku! Ruza yang akan mewujudkannya! Perubahan total di
Zavegas!!” Semua orang disana mulai tertawa sambil bertepuk tangan dengan meriah
melihat tingkah sang Presiden.

Kemudian pandangan semua orang diruangan itu tertuju kepada seseorang yang baru saja
memasuki area perjamuan itu. Berjalan dengan pakaian nya yang elegan, terlihat sangat
berwibawa. Semua wartawan yang ada disana mulai menyorotkan kamera mereka kearah
orang tersebut.

Dia menaiki podium sembari memamerkan senyuman yang menambah kesan menawan pada
dirinya. Mulai banyak wartawan yang terburu-buru menghampiri dirinya, beberapa juga
mulai menanyakan apa yang akan dia lakukan tentang musibah yang sedang menimpa rakyat
Zavegas.

Dewi : “Halo, saya Yura,” semua pandangan kini tertuju kepada Yura yang sedang
berbicara di atas podium.

Upi : “Hakim Yura, ada kekhawatiran siaran itu tidak konstitusional, bagaimana
menurut anda?” tanya wartawan yang ada disana.

Upi : “Ada juga kekhawatiran anda menghukum terlalu berat dan mengabaikan yang
lemah-”
Dewi : “Siapa yang lemah?” sela Yura.

Upi : “Maaf?” balas wartawan tersebut.

Dewi : “Dari semua orang yang aku hukum, siapa yang dirugikan secara sosial?” Yura
bertanya dengan suara yang tegas.

Upi : “O-oh, ada pelanggar muda. Beberapa sangat miskin dan tunawisma, atau-”

Dewi : “Pemerkosa teman sekelas, pencuri yang senang merekan penyerangan, dan
pembunuhan korban acak. Apa mereka dirugikan secara sosial?” tanya Yura.

Upi : “Tetap saja, yang kurang beruntung layak mendapatkannya-”

Dewi : “Mereka terdakwa. Aku tidak peduli seseorang berkuasa atau tidak.”

Upi : “Bisakah anda jatuhkan hukuman berat kepada terdakwa di siaran langsung?”

Upi : “Ketua Yayasan dikenal memilki banyak koneksi dan reputasi nya yang besar,
jika grupnya atau pihak berwajib menyudutkan anda-“

Dewi : “Aku melaksanakan kekuatan yudisial yang diberikan kepadaku oleh rakyat
teyvat yang berdaulat. Siapa yang melebihi rakyat? Rakyat adalah kekuatan. Sampai
jumpa dipersidangan,” hakim Yura langsung pergi meninggalkan tempat itu.

Banyak wartawan dan reporter yang mengejarnya meminta penjelasan lebih lanjut dan hal-
hal lain menyangkut pengadilan yang akan berlangsung. Namun, hakim Yura hanya pergi
melengos meninggalkan mereka dibelakang.

--

Dilain tempat, sang Ketua Yayasan sedang memikirkan cara untuk menyelamatkan hidup dan
jabatan dirinya.

Mega : "Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" teriak Ketua Yayasan frustasi.

Nasha : "Ketua Yayasan, anda harus tenang. Jika tidak dihadapi dengan kepala dingin,
itu semua tidak ada gunanya," suara Sekretaris Alena mengalun dengan tenang.

Mega : “Sekretaris Alena, apa anda buta?! Aku sangat panik sekarang!! Bagaimana
bisa kita menghadapi Hakim itu dengan tenang?!”

Sekretaris Alena tidak memperdulikan ucapan Rhea, sang Ketua Yayasan. Dia hanya sibuk
memainkan kuku-buku jarinya.

Nasha : “Serahkan semuanya kepadaku, saya akan mengurusnya,” ucap Sekretaris


Alena sembari membungkuk lalu pergi meninggalkan ruangan, menyisakan Ketua yayasan
yang sedang depresi mengenai persidangan yang akan tiba.
--

Tidak terasa sampai akhirnya hari persidangan tiba. Ruang pengadilan sudah dipenuhi oleh
pihak korban yang berada disisi kanan, dan pihak saksi berada disisi kiri. Ketua yayasan
sudah berada di kursi yang disiapkan untuk terdakwa beserta dengan pengacaranya.

Para hakim memasuki ruang persidangan, seketika ruangan terasa mencekam. Orang-orang
yang berada diruangan persidangan tidak ada yang berani mengangkat suara sedikitpun.
Setelah para hakim menempati kursi masing-masing, mereka mulai mengeluarkan berkas-
berkas yang berisikan bukti-bukti yang ada.

Dewi : “Persidangan dimulai,”

Dewi : “Seluruh proses persidangan akan dibuat transparan, dan kami akan
mendengarkan publik. Kami akan mempertimbangkan opini rakyat, juga hukum.”

Dewi : “Pertama, mari kita dengar kasus yang akan kita tangani hari ini. Pihak
penuntut, silahkan.”

Jaksa penuntut berdiri dari kursi nya dan berjalan menuju ke tengah ruangan. Kemudian ia
membungkuk kepada keluarga korban yang tepat berada di tribun sebelah kanan.

Kezia : “Ada kota yang ditinggalkan anak muda. Populasi 47 orang, rata-rata usia
penghuninya 72 tahun.”

Kezia : “11 orang meninggal, 23 orang masih berada di ICU, 13 orang sudah
dipulangkan, tapi mereka menderita efek jangka panjang serius termasuk gangguan
pernapasan dan saraf parah.”

Kezia : “Salah satu korban tewas baru berusia 3 tahun, korban lain adalah neneknya.
Setelah kehilangan cucu tercintanya, dia bunuh diri.”

Semua orang diruangan tibak bisa menahan rasa terkejut mereka, sungguh hal yang sangat
menyedihkan.

Kezia : “Orang yang bertanggung jawab atas tragedi ini duduk disana,” Jaksa menunjuk
tepat kearah Ketua Yayasan

Kezia : “Pabriknya membuang bahan kimia beracun ke sungai tanpa pengolahan. Para
warga menggunakan airnya untuk minum, mencuci, dan bertani. Hadirin, ini adalah
pembunuhan.”

Kalimat yang baru saja diucapkan jaksa terdengar mantap seolah-olah dia sudah yakin 100%
dengan dugaannya tersebut. Kemudian, jaksa kembali duduk dikursinya. Layar diruang
pengadilan sekarang menunjukkan jumlah suara sementara, yang mana menunjukkan 70%
“bersalah” dan 30% “tidak bersalah”.
Ketua Yayasan dengan tenang menatap layer yang ada didepan, tidak ada sedikitpun raut
panik di wajahnya. Kemudian ia menengok kearah pengacara yang duduk tepat
disampingnya. Pengacara mengangguk paham, kemudian ia berdiri dan pergi ke tengah
ruangan.

Della : “Kita sudah mendengar pembelaan pihak penuntut. Lebih tepatnya, ini hasutan,
bukan pembelaan,” pengacara berkata dengan ringan dan santai sembari memasukkan
kedua tangannya kedalam saku.

Kezia : “Jaga ucapan anda,” jaksa berkata sambal berdiri dari tempat duduknya, raut muka
nya berubah kesal.

Della : “Yang baru kita saksikan adalah bahaya persidangan media, persidangan
bukan film, apalagi pertunjukkan. Persidangan, seharusnya hanya berdasarkan bukti
objektif,”

Kata-kata pengacara terdengar sangat mantap, kemudian pengacara berbalik untuk


menghadap kearah penuntut.

Della : “Pihak penuntut baru saja menuduh terdakwa membunuh, pengusaha macam
apa yang sengaja membunuh warga?”

Kezia : “Mengetahui itu bisa membunuh orang, dia membuang limbah racun ke sungai.
Itu pembunuhan akibat kelalaian,”

Della : “Anda punya bukti?”

Kezia : “Sekarang anda meminta bukti dari saya?” Jaksa menatap wajah pihak pembela
dengan raut heran.

Della : “Hmm, jadi anda tidak punya bukti. Baiklah,” pembela berkata sambil bersedekap
dada.

Della : “Satu-satunya limbah kimia yang terbukti sejauh ini tdiak bisa dihindari dan
hanya berlangsung sebentar. Tidak ada bukti bahwa ini juga pernah terjadi.”

Kezia : “Menurut perkiraan pihak berwenang, satu jam kebocoran tidak mugkin
menyebabkan-” belum selesai berbicara, pihak pembela langsung momotong uacapak jaksa.

Della : “Perkiraan? Apa perkiraan itu bukti objektif?”

Mega : “Dia benar,” kini Ketua Yayasan mengangkat suaranya.

Ia berdiri ditempat duduknya dan pandangannya tepat kearah jaksa.

Mega : “Jika anda tidak punya bukti, bagaimana bisa anda menuduh seorang
pengusaha membunuh? Dalam kirisi ekonomi ini, anda tahu berapa banyak nyawa
orang yang bergantung pada perusahaanku?”
Mega : “Lebih dari 100.000 nyawa bergantung pada perusahaan saya. Sidang media
ini-”

Kezia : “Tolong jaga ucapan anda!”

Mega : “Saya berhak bicara.”

Dewi : “Terdakwa!”

Suara hakim Yura barusan membuat perdebatan yang sedang berlangsung itu terputus begitu
saja. Ruangan kembali menjadi sepi dan mencekam. Baik terdakwa, pembela maupun
penuntut tidak ada yang berani bergerak sedikitpun.

Dewi : “Pihak pembela, silahkan kembali ke kursi anda,”

Della : “Baik, Yang Mulia,”

Kini semua sudah kembali ketempat masing-masing, persidangan pun dilanjutkan.

Arsy : “Yang Mulia, bolehkah saya bertanya?”

Dewi : “Silahkan,”

Arsy : “Menurut laporan, tanggul yang runtuh terjadi diawal kasus ini di malam hari
setelah orang pertama meninggal. Apa ini benar?”

Della : “Ya, itu benar,”

Arsy : “Sepertinya itu kebetulan. Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi begitu
seseorang meninggal dan menyingkirkan semua bukti?”

Della : “Maaf Yang Mulia, tapi penyebab kematian orang pertama yang meninggal
tidak pasti. Jadi, kami yakin itu tidak berkaitan dengan kasus ini,”

Arsy : “Meski menurut laporan medis, mereka menderita vertigo, migrain, kejang-
kejang dan kehilangan kesadaran, sama seperti korban lain dalam kasus ini?”

Della : “Ini hanya asumsi. Mendiang bahkan tidak di otopsi. Tidak ada bukti mereka
menemukan jejak bahan kimia beracun,”

Pembelaan yang terus-terus disampaikan oleh pihak pembela membuat jumlah suara
menurun, kini jumlah suara untuk sementara 55% “bersalah” dan 45% “tidak bersalah”.

Della : “Yang Mulia, izinkan saya menghadirkan saksi. Dia adalah Sabrina, pengurus
pabrik dalam kasus ini.”

Della : “Anda bekerja dipabrik selalam 10 tahun. Sebelum tanggul runtuh, apa ada
malasah dengan fasilitas permunian air limbah?”

Saksi tidak mengeluarkan sepatah kata, dia hanya diam seperti orang kebingungan.
Della : “Saksi? Bukankah anda sudah bersaksi selama penyelidikan? Kenapa anda
tidak menjawab?”

Anisah : “Begini… masalahnya… saya sedang banyak pikiran.”

Della : “Saksi-”

Mega : “Nona Sabrina!” Ketua Yayasan berseru sambil memukul meja didepannya.

Dewi : “Terdakwa?”

Mega : “Ya?”

Dewi : “Silahkan duduk,”

Mega : “Maafkan saya,”

Dewi : “Silahkan lanjutkan,”

Anisah : “Baik, Yang Mulia,”

Anisah : “Sejujurnya, ada sesuatu yang ingin saya katakan,”

Seperti disiram oleh seember air berisi es, seketika setelah mendengarkan ucapan saksi, raut
wajah pembela serta Ketua Yayasan terlihat pucat pasi

Della : “Apa maksud anda-”

Anisah : “Limbah yang bococr sejak saat itu. Saya masih tidak mengerti bagaimana
bisa ada tanggul, tiba-tiba runtuh malam itu. Tapi satu hal yang pasti, limbah yang
keluar bocor sebelum saat itu.”

Anisah : “Karen ini masalah penting, saya melaporkan ini kepada Ketua Yayasan,”

Della : “Saksi!”

Dewi : “Pembela, silahkan kembali ke tempat duduk anda,” Pembela kemudian dengan
perlahan berjalan kembali ke tempat duduknya.

Dewi : “Saksi, anda bisa bicara dengan nyaman,” Saksi hanya mengangguk sebagai
jawaban.

Anisah : “Saya bilang kepadanya fasilitas sudah sangat using dan jika tidak segera
ditangani itu akan serius. Namun, Ketua Yayasan bilang pabrik itu akan pindah tahun
depan ke negara tetangga jadi, kenapa membuang-buang uang?”

Orang-orang yang ada diruangan terkejut dengan kalimat yang baru saja diutarakan oleh
saksi, mereka benar-benar terkejut dengan kebenaran bahwa Ketua Yayasan bisa bersikap
sangat jahat.
Mega : “Nona Sabrina!”

Dewi : “Apa yang anda katakana saat mendengar itu?”

Anisah : “Saya bilang padanya bagaimana jika sesuatu terjadi pada orang tua desa.
Lalu… pimpinan bilang…” saksi ragu untuk mengucapkan kata-kata berikutnya, sesekali ia
mencuri pandangan kearah Ketua Yayasan.

Dewi : “Lalu? Apa yang dia katakana?”

Anisah : “Siapa yang peduli yang sudah hidup cukup lama? Itu yang dia bilang,”

Mega : “Nona Sabrina! Kapan saya bilang begitu?!” Ketua Yayasan memandang
langsung kearah hakim Yura.

Mega : “Yang Mulia, saya merasa difitnah. Itu tidak benar. Saya tidak pernah
mengatakan hal itu,”

Dewi : “Anda tidak pernah mengatakan hal itu? Lalu apa yang anda katakan?”

Mega : “Maaf?”

Dewi : “Amda tidak menyangkal pernah bertemu dengan saksi. Apa yang anda
katakan kepada dia yang bertanggung jawab di pabrik?”

Mega : “Begini… saya mengatakan…”

Dewi : “Terdakwa, tolong jawab. Seluruh negeri menyaksikan,”

Kemudian layar menunjukkan jumlah suara yang kini 90% “bersalah dan 10% “tidak
bersalah”.

Mega : “Maafkan saya… itu benar. Saya mendapatkan laporannya.”

Dewi : “Anda mengaku menerima laporan kebocoran? Anda masih tidak peduli jika
penduduk lokal mati?”

Mega : “Sejujurnya itu tidak benar… aku hanya tidak mengira itu akan sangat buruk.
Kebocorannya tidak separah itu. Saya tidak mengira akan seburuk ini. Pembunuhan?
Itu tidak masuk akal,”

Dewi : “Lalu anda menyangkal pembunuhan akibat kelalaian besar, tapi mengakui
kelalaian professional yang mengakibatkan kematian?”

Mega : “Itu salah saya. Saya bodoh. Saya sangat bodoh tidak menganggapnya serius.”
Ucap Ketua Yayasan sembari menundukkan kepalanya.

Della : “Jika kita mengakui pembunuhan bedasarkan kebohongan saksi, pengadilan ini
akan dinilai jelek. Tolong berikan hukuman hanya bedasarkan konstitusi.”
Dewi : “Saya akan mengingat nasihat pihak pembela, saya akan memberikan putusan
setelah berunding singkat,”

--

Setelah waktu perundingan yang cukup lama, akhirnya para hakim kembali ke ruangan
persidangan. Hakim Yura berjalan menuju tengah ruangan persidangan. Pandangan serius
terpantri diwajahnya.

Dewi : “Akan saya umumkan keputusannya. Saya mendengarkan opini publik dan
menganggapnya serius,”

Dewi : “Saya berpikir baik-baik, tapi hanya berdasarkan bukti yang diserahkan, saya
mencapai kesimpulan. Sulit untuk mengatakan ada niat untuk membunuh,”

Mendengar apa yang baru dikatakan oleh hakim barusan, orang-orang yang berada diruang
pengadilan terkejut tidak percaya. Gumaman protes terdengar diseluruh ruangan.

Dewi : “Namun, seperti yang diakui terdakwa, saya mengakui dakwaan cadangan. Itu
kelalaian professional yang menyebabkan kematian dan cedera.,”

Dewi : “Lima tahun adalah hukuman maksimal kelalaian professional yang


menyebabkan kematian.”

Dewi : “Namun, RUU reformasi yudisial yang disetujui tahun lalu menyatakan saya
bisa memberikan sejumlah hukuman demi semua korban,”

Seketika lampu ruangan diredupkan, semua orang disana seketika bingung. Kemudian, layer
menampilkan satu persatu wajah korban.

Dewi : “Syafira Ananda, Septian Aidan, Rayan Agaspati, Taniya, Firmansyah, Kanaya
Belva, Saga Baskara, Bima Derwangga, Nino Agrana, Bella Andira, Susanti Pujiastuti.”

Pihak keluarga yang hadir disana langsung menangis tersedu-sedu saat wajah dari keluarga
mereka dipaparkan di layer satu persatu.

Dewi : “Karena keserakahan anda yang bodoh, anda merenggut nyawa orang tidak
berdosa dan yang selamat akan menjalani sisa hidup mereka dalam penderitaan. Saya
memjumlahkan hukuman untuk ke-47 korban dan keputusannya….”

Semua orang diruangan tegang, rasa penasaran membuncah didalam diri mereka. Bahkan
para penonton yang tidak bisa hadir langsung ditempat ikut tegang menanti apa yang akan
dikatan oleh hakim Yura.

Dewi : “… Total 235 tahun,”

Semua orang yang mendengar hal itu tercengang tidak percaya, seketika ruangan dipenuhi
oleh sorakan dan tepuk tangan yang meriah. Semua orang disana merasa senang dan puas
dengan keputusan yang baru saja ditetapkan oleh Hakim Yura.
Berbeda dengan orang-orang yang kini merasa puas dan senang dengan apa yang baru terjadi,
wajah Ketua Yayasan benar-benar pucat pasi. Dirinya bahkan tidak bergerak seinci-pun.
Kemudian, Hakim Yura berjalan perlahan kearah Ketua Yayasan.

Dewi : “Semoga anda berumur panjang,” lalu Hakim yura pergi meninggalkan Ketua
Yayasan yang masih terbatu ditempat.

Kemudian para hakim membungkuk kearah penonton dan pergi meninggalkan ruang
persidangan yang masih diepnuhi oleh tangis Bahagia keluarga koreban serta seruan
kepuasan atas hukuman yang hakim berikan kepada terdakwa.

--

Kondisi jalan itu sangat sepi, lampu jalan yang remang-remang menambahkan kesan
menyeramkan disana. Tepat dibawah lampu jalanan, berdiri seseorang mengggunakan jaket
hitam beserta dengan penutup kepalanya, wajah nya tertutup masker menambah kesan
misterius.

Kemudian, terlihat hakim Yura yang menghampiri sosok misterius itu, setelah memastikan di
sekitar tidak ada orang selain mereka, ia memberikan amplop yang cukup tebal kepada sosok
misterius tersebut

Dewi : “Terima kasih atas bukti tambahan yang sudah anda berikan.”

“Sama-sama hakim Yura, senang berkerja sama dengan anda,” Jawab sosok misterius
tersebut dengan membalikan tubuh serta menampilkan wajahnya yang terbebas dari masker
yang ia pakai. Betapa mengejutkannya, sosok misterius tersebut merupakan pengacara Viola,
pengacara kepercayaan ketua Yayasan.

Kemudian baik pengacara Viola maupun hakim Yura mereka berbalik badan dan segera pergi
meninggalkan tempat tersebut.

TAMATT~

Anda mungkin juga menyukai