SEKADAR IMAJINASI
Karya: Rangga Riantiarno
Pertunjukkan dibuka dengan sebuah pengadilan terhadap seseorang yang dituduh
telah mengakibatkan kemalangan terhadap banyak orang. Tapi, apakah pengadilan itu nyata?
Petugas 1: “Hakim Memasuki ruang sidang, hadirin harap berdiri.” (Peserta sidang berdiri)
(Petugas kebingungan melihat terdakwa yang tak kunjung duduk ke posisi semula hingga
pada akhirnya terdakwa mulai mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruang
persidangan dengan napas terengah-engah)
Petugas 2: "Yang mulia saya mohom izin untuk membacakan tata tertib persidangan."
Petugas 1: "Tolong terdakwa jangan banyak tingkah!" (Dua petugas maju dan secara paksa
membuat terdakwa duduk kembali ke kursinya)
Petugas 2; (Petugas 2 berdehem) Eheeeem! "Mohon maaf saya ulangi. Yang mulia saya
mohon izin untuk membacakaan tata tertib persidangan."
Hakim: BOLE LAH BOLE LAH …
Petugas 2: “Sesuai dengan peraturan persidangan nomor blablablabla tahun 3021 tentang tata
tertib menghadiri persidangan sebagai berikut "
1. Selama sidang berlangsung dilarang membuat kegaduhan
2. Hadirin diharapkan duduk dengan rapi dan sopan
3. Hadirin dilarang makan dan minum selama sidang berlangsung
4. Siapapun dilarang membawa senjata api. Sekian dan terima kasih.
Petugas 2: “Setiap tata tertib sidang pidana di pengadilan ini wajib untuk dipatuhi. Bagi pihak
yang melanggar akan langsung dikeluarkan dari ruang sidang. Silakan yang mulia hakim,
sidangnya bisa dimulai.”
Hakim: “Ehem! (Jeda selama beberapa saat sebelum akhirnya petugas 2 mengintrupsi)
Petugas 2: “Yang mulia sidangnya bisa dimulai.” (Ulang petugas 2 terhadap hakim)
Hakim: Ehem! Sidang pengadilan negeri blablabla yang memeriksa perkara pidana nomor
1...2..3...4...5...atas nama, bloblobloblo.. Pada hari minggu tanggal 32 bulan 13 dinyatakan
dibuka dan terbuka untuk Umum, Dok. dok. dok dok!” (Hakim meniru suara ketukan palu)
Hakim: “Hmm…”
Hakim: “Hoo... Maaf, maaf-maaf! Sidang dibuka dan terbuka untuk umum!” (Ketok palu
tiga kali)
Hakim: “Haa...oohohoooo, sudah disini rupanya. Terdakwa!!!, apakah anda sudah tahu apa
saja kesalahan anda?”
Terdakwa: (Bingung)
Mariati Ningsih (Saksi 1):“Setelah di PHK dari kantor, demi penghematan biaya operasional,
dalam masa pandemi, saya bingung bagaimana cara menghidupi keluarga. Akhirnya,
keputusan yang saya ambil, adalah bunuh diri, agar keluarga saya bisa mendapatkan uang
Asuuuransiiiiii.”
Terdakwa: (Dengan tubuh bergetar dan suara ketakutan) “Saya, tapi itu kan…” /
Terdakwa: (Masih dengan suara ketakutan) Saya tahu, Soalnya saya yang.../
Mariati Ningsih (saksi 1): Uang asuransi habis terpakai, anak saya tumbuh tanpa ibu, Jadi
remajanya nakal dan ikutan genk. Kerjaannya merampok, hhh (dengan suara terengah-
engah), hingga akhirnya mati tertembak aparat. Suami saya kehilangan istri dan anaknya.
Akhirnya…. tidak kuat lagi, bunuh diri juga.”
Mariati Ningsih (saksi 1): (Menunjuk - nunjuk ke arah terdakwa) “Dia, si bangsat itu!”
Hakim: “Baiklah, Kalau begitu kita lanjutkan. Apakah terdakwa kenal Surtiani Aminah?”
Terdakwa: “Ini apa-apaan sih, Itu bukan, bukannya orang yang sama, dengan orang yang
tadi?”
Surtiani Aminah (saksi 2): “Yang mana? Siapa? Siepertinya terdakwa sedang berimajinasi!”
Hakim: “Apa hubungannya Pekerjaan Anda dengan nasib yang menimpa saksi Mariati dan
Saksi Surti?”
Terdakwa: “Mereka...Mereka adalah tokoh-tokoh yang saya tulis dalam cerita saya. Mereka
bukan tokoh nyata. Mariati Ningsih, adalah tokoh yang saya tulis, dalam Novel saya, Laskar
Pelakor. Dan Surtiani Aminah, adalah tokoh yang saya tulis, dalam Novel saya juga, Bumi
Manuskrip. Masa saya harus bertanggung jawab atas nasib tokoh- tokoh fiktif karangan saya?
Ini Pengadilan macam apa?”
Terdakwa: “Mana Mungkin, tokoh-tokoh Fiktif bisa muncul dalam pengadilan dunia nyata.
(Hakim dan terdakwa saling bersautan mengatakan terdakwa harus dihukum (hakim),
pengadilan fiktif (terdakwa)).
Terdakwa: “Pengadilan fiktif.... Pengadilan fiktif.... Ini pengadilan fiktif... Pengadilan fiktif,
pengadilan fiktif, ini pengadilan fiktif, pengadilan fiktif, pengadilan fiktif……………”
LATAR TEMPAT DI RUANG TAMU
Kakak terdakwa : “Sudah 1 bulan ini dia tidak mau keluar rumah. Untungnya kalian berdua
masih mau datang ke sini.”
Kakak terdakwa: “Lima tahun lalu, pesta ulang tahunnya. Dua minggu sebelum dia
diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya di kementrian. Lalu dia ditangkap dan
diadili karena tindak pidana korupsi, dia mendapatkan hukuman penjara selama 3 bulan,
karena berkelakuan baik, akhirnya dikurangi menjadi 2 bulan.”
Kakak terdakwa: “Di pengadilan, dia mengaku mengambil dana bantuan sosial sebanyak 1
triliyun, padahal aku juga tahu dia hanya mendapatkan 100 miliyar. Coba, 900 miliarnya
kemana?”
Teman 2: “Kami semua yang di kantor, tidak akan pernah melupakan jasa adikmu, dia
bersedia menjadi tumbal untuk melindungi aku dan teman-teman yang lain dan lihat?
Sekarang adikmu dihantui rasa bersalah, dan sebenernya aku turut prihatin atas kejadian yang
menimpa adikmu, meskipun di sana aku juga mencicipi sedikit kenikmatan yang malah
membuat adikmu sengsara.
Kakak terdakwa: “Teman-teman? Teman-teman yang mana? Tidak pernah keliahatan selama
5 tahun ini, baru sekarang muncul, 2 orang.”
Teman 1: “Ya kamu kan tahu sendiri waktu itu rumah kalian masih diawasi. Kalo bergaul
sama koruptor nanti kita bisa dianggap koruptor juga, harus hati-hati.”
Kakak terdakwa: “Hatinya terlalu lembut, sebetulnya dia tidak mau ikut-ikutan kalian, tapi
mau bagaimana lagi, semua melakukan. Aku tahu batinnya tersiksa. Apalagi setelah kasus
korupsinya diulas besar-besaran di media. Banyak yang tidak mendapatkan bantuan sosial
itu. Banyak yang bunuh diri atau mati sakit. Dia baca satu-satu berita mereka. Dia hafalkan
nama-namanya. Setiap malam dia selalu mengigau.”
Teman 2: “Dia pernah menulis pesan kepadaku sebenernya. Dia bilang ... dia merasa
bersalah. Dia merasa bertanggung jawab, tapi kenapa sekarang dia merasa dirinya sebagaii
penulis novel? Atau jangan-jangan dia betulan menulis novel? Pakai nama samaran?
Kakak terdakwa: “Tidak.....aku juga tidak tahu. Mungkin karena dia hobi membaca novel.
Entah, barangkali itu cita-citanya dulu. Tapi yang jelas suatu hari, entah kapan, mendadak dia
merasa dirinya adalah seorang penulis novel. Dia menganggap orang-orang yang mati akibat
tindak pidana korupsinya di masa lalu, adalah tokoh-tokoh novel dalam karangannya.
Mungkin itu semacam bentuk pelarian dari rasa bersalah, cara dia menghadapinya. Dan sejak
itu pula dia tidak pernah mengigau lagi setiap malam. Tapi dua bulan lalu.....”
Teman 1: “Dia balik lagi jadi seperti orang yang dikejar-kejar setan penasaran?”
Kakak terdakwa: “Iya, aku juga tidak tidak paham Kenapa bisa begitu. Mungkin dalam
dunianya. Meskipun sudah dijadikan tokoh imajiner. Mereka masih bisa menuntut penulis,
kalau mendapat perlakuan yang tidak adil.”
Kakak terdakwa: “Kenapa tertawa? Kamu juga tahu dia bukan penulisnya, gugatan itu salah
alamat. Dia tidak punya kekuasaan untuk mengubah jalan nasib tokoh-tokoh itu, bahkan
kamu dan teman-temanmu di kantor tidak punya kekuasaan sebesar itu.”
Kakak terdawa: “Aku sendiri sudah bingung, Entah berapa dokter dan psikiater yang kami
datangi untuk konsultasi. Hasilnya kalian bisa lihat sendiri kan? Tidak tahu bagaimana cara
menyembuhkannya.”
Teman 1: “Tidak masalah, toh hidup mati mereka tidak ada hubungannya dengan kita, hanya
angka statistik saja, hitam di atas putih.”
Teman 1: “Sudah, nanti malam tetaplah tidur nyenyak, mimpi yang Indah-indah. Besok ajak
adikmu ke mall, dengan mobil mewah kalian. Makanlah sepuasnya di restoran paling mahal.
Belanja apa saja sesuka kalian. Kalau perlu sekalian saja pesan tiket pesawat ke luar negeri.
Terbang langsung, lupakan mereka.”
Teman 1: “Tiru saja adikmu, anggaplah mereka SEKADAR IMAJINASI. Tidak ada salahnya
membohongi diri sendiri yang penting hati kita damai.”
Teman 2: “kami pamit dulu, sudah malam” (Melangkah keluar kemudian menengok ke
belakang lagi), “mungkin, kalian memang bukan pemegang kekuasaan. Tapi, anggap saja,
kalian itu, penulis betulan, ehehhehe... Jadi sekali lagi, anggaplah mereka.. Sekadar
imajinasi,,, ahhahaha.”
(sekadar imajinasi, sekadar imajinasi, sekadar imajinasi, sekadar imajinasi, sekadar imajinasi,
sekadar imajinasi)