Anda di halaman 1dari 4

BUNGKIL PARING KELAPA SEBAGAI PAKAN TERNAK

Paulus Paat dan Payung Layuk


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara
Jl. Kampus Pertanian Kalasey, Kotak Pos 1345 Manado 19013

ABSTRAK
Prosesing daging buah kelapa menjadi tepung kelapa memunculkan limbah paring sebanyak sekitar
3-5% dari bobot daging kelapa. Paring berasal dari daging kelapa bagian luar yang berwarna coklat.
Limbah ini belum layak dijadikan pakan ternak lantaran kandungan lemaknya sangat tinggi yaitu sekitar
60%. Pengolahan paring kelapa menjadi minyak memunculkan bungkil paring kelapa. Komposisi kimia
bungkil paring kelapa berbeda dengan bungkil kelapa yang sudah lama dikenal bungkil kopra. Bungkil
paring lebih rendah kandungan protein kasar (21,0Vs14,43%) dan lemaknya ((18,0vs14,36%), namum
lebih tinggi serat kasarnya (22,48vs10,0%) dibandingkan bungkil kopra. Kajian lebih mendalam tentang
pemanfaatan bungkil paring kelapa masih perlu dikembangkan baik untuk ternak ruminansia maupun
ruminansia.
Kata Kunci: Bungkil paring kelapa, Pakan ternak

PENDAHULUAN
Faktor pembatas utama peningkatan produksi peternakan di Indonesia saat ini adalah pakan
(Nulik dkk, 2015; Rachman, 2013, dan Paat dkk, 2013). Hal ini disebabkan antara lain oleh semakin
meningkatnya populasi ternak yang digerakkan oleh semakin naiknya kebutuhan pangan hewani
dalam negeri. Peningkatan konsumsi pangan hewani diungkit oleh pertambahan jumlah penduduk
dan meningkatnya kesejahteraan penduduk (Simatupang, 2004).
Harga pakan ternak yang terus bergerak keatas terutama berlaku untuk pakan ternak
monogastrik yang bahan pakan utamanya dari biji-bijian, ikan dan limbah industry pertanian. Bahan-
bahan ini juga banyak dibutuhkan manusia. Akan tetapi persaingan untuk mendapatkan bahan
pakan dari biji-bijian, ikan dan limbah industry pertanian tidak hanya terjadi antara ternak
monogastrik dan kebutuhan manusia tetapi juga antar ternak-ternak monogastrik sendiri.
Pangsa ternak-ternak monogastrik untuk menyumbang peroduk ternak di Indonesia berkisar
60% (Ditjen PKH, 2015). Itulah sebabnya pemanfaatan bahan pakan konvensional sumber protein
dan karbohidrat mudah tercerna dari biji-bijian dan limbah agroindustri menjadi cukup besar. Untuk
mengantisipasi semakin terbatasnya sumberdaya pakan konvensional seperti yang disebutkan di
atas maka perlu mengantisipasi melalui eksplorasi sumberdaya pakan baru (non-konvensional).
Makalah ini menyajikan salah satu limbah agriindustri turunan kelapa yang relative baru yaitu
bungkil paring kelapa yang mulai banyak tersedia di Sulawesi Utara. Dipaparkan juga hasil studi
awal, potensi dan prospek penelitian dan pengembangan bungkil paring kelapa baik untuk pakan
ternak monogastrik maupun ruminansia. Informasi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
bagi penelitian dan pengembangan peternakan terutama di bidang pakan dan nutrisi ternak demi
untuk memecahkan permasalahan pakan yang persediaaannya semakin terbatas.

PARING KELAPA
Prosesing daging buah kelapa menjadi tepung kelapa memunculkan limbah paring sebanyak
sekitar 3 sampai dengan 5% dari bobot daging kelapa. Paring berasal dari daging kelapa segar
bagian luar yang berwarna coklat yang sering disebut kulit ari kelapa. Akan tetapi limbah ini belum
layak dijadikan pakan ternak langsung lantaran kandungan lemaknya masih sangat tinggi yaitu
sekitar 60-65%.
Paring kelapa diproduksi dalam bentuk segar sehingga limbah ini mudah rusak. Jika tidak diolah
maka paring ini mudah menimbulkan pencemaran lingkungan. Pabrik-pabrik desiccated coconut
yang memproduksi tepung kelapa di Sulut kenyataannya tidak memanfaatkan lagi paring kelapa

Seminar Nasional Gorontalo


“Membangun Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan”| 691
sehingga menjadi bahan yang tidak berguna lagi. Gambar 1 adalah foto tepung kelapa dan paring
kelapa.

Tepung kelapa Paring kelapa

Gambar 1. Paring kelapa sudah kering

BUNGKIL PARING KELAPA


Di Kabupaten Minahasa Tenggara Sulawesi Utara terdapat sebuah perusahan milik Koperasi Mitra
Tani yang mengolah paring kelapa menjadi minyak paring kelapa. Dari hasil analisis laboratorium
menyimpulkan bahwa minyak paring kelapa tidak layak untuk minyak goreng atau minyak konsumsi
(Tumiwa, 2014) sehingga hanya dijual sebagai minyak industry (oleokimia).
Pengolahan paring kelapa menjadi minyak industri paring kelapa menghasilkan limbah industry
yang dinamakan bungkil paring kelapa. Menurut data dari pabrik bahwa kandungan bungkil paring
kelapa dari paring kelapa adalah 35-40%. Sebagai bukti bahwa produksi bungkil paring kelapa dari
pengolahan 4500 kg paring kelapa oleh pabrik per hari adalah 1800 kg.
Dari segi tekstur nampak bahwa bungkil paring kelapa menyerupai bungkil kopra wapaupun
bungkil paring kelapa sedikit lebih keras. Dari segi warna dan aroma nampak tidak berbeda dengan
bungkil kelapa. Olek karena itu jika tidak diinformasikan maka hampir pasti konsumen tidak mampu
membedakan mana bungkil kelapa dan mana bungkil paring kelapa. Gambar 2 menyajikan bungkil
paring kelapa.

Bungkil kelapa Bungkil paring kelapa

Gambar 2. Bungkil paring kelapa

Seminar Nasional Gorontalo


“Membangun Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan”| 692
NILAI NUTRISI BUNGKIL PARING KELAPA

Tabel 1. Komposisi zat-zat makanan bungkil paring kelapa (BPK)*)


Uraian %
Bahan Kering 95,50
Abu 4,67
Lemak 14,36
Serat Kasar 22,38
Protein Kasar 14,83
Karbohidrat 39,26
Energi Bruto, kcal/kg 2758
*) Data primer Laboratorium Balai Industri Manado SNI 01-2891-1992 Point,November 2014.

Tabel 1 adalah hasil analisis komposisi zat makanan bungkil paring kelapa yang sampelnya
diambil secara komposit di Pabrik Minyak Paring Kelapa – Mitra Tani di Desa Kuyanga Tombatu
Kabupaten Minahasa Tenggara – Sulawesi Utara. Komposisi zat makanan bungkil paring kelapa
agak berbeda jika dibandingkan dengan bungkil kopra, walaupun keduanya dari komoditi yang
sama.
Menurut Agus (2012) bahwa hasil analisis proksimat bungkil kopra adalah: BK 90,1%; Abu 5%;
Lemak 18%, Serat Kasar 10%, Protein Kasar 21%, Karbohidrat 49%. Menurut Hartadi dkk (1997)
bahwa Protein Kasar dan Serat Kasar bungkil kelapa adalah berturut-turut 12,1 dan 21,6%. Pada
Tabel 1 menerangkan bahwa Protein Kasar jauh lebih rendah dan Serat Kasar malahan jauh lebih
tinggi yaitu berturut-turut 14,83 dan 22,38%.
Perbedaan bahan baku kemungkinan menyebabkan perbedaan komposisi kimia dari bungkil
paring kelapa dengan bungkil kelapa sekalipun kedua produk ini adalah merupakan by-product dari
daging buah kelapa. Bahan baku bungkil kopra adalah kopra yang merupakan daging buah kelapa
utuh yang dikeringkan menjadi kopra. Sementara itu bahan baku BPK adalah bagian luar daging
buah kelapa yang terdiri dari campuran kulit ari buah kelapa dengan daging buah kelapa bagian luar
dimana terdapat kulit ari, dinamakan Paring Kelapa.
Rendahnya kandungan protein kasar serta tingginya kandungan serat kasar dan abu pada
bungkil paring kelapa dibandingkan dengan bungkil kopra. Jika bungkil kopra selama ini dijadikan
salah satu bahan pakan sumber protein bagi ternak ruminansia dan non ruminansia maka ternyata
tidaklah demikan untuk bungkil paring kelapa jika dilihat dari komposisi kimia hasil analisis
proksimat. Bungkil paring kelapa nampak hampir menyamai dedak padi. Hartadi dkk (1997), Agus
(2012) ; dan Soedomo, (1984) melaporkan bahwa kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar dedak
padi adalah berturut-turut 11,6-13,8 dan 11,6-13,8%.
Keunggulan bungkil paring kelapa dibandingkan bahan pakan lainnya terletak pada rendahnya
kadar air yaitu hanya 4,5%. Ketahanan bahan pakan yang kadar airnya lebih kecil 5% tergolong
tinggi dan aman dari serangan jamur dan bakteri bila disimpan pada tempat yang tepat. Kelebihan
lainnya bungkil paring kelapa dibandingkan dengan bungkil kopra adalah pada kadar lemak. Lemak
kasar yang terkandung pada bungkil kelapa adalah 14,83% edangkan bungkil kopra masih diatas
18% (Hartadi dkk, 1997 dan Agus, 2012). Kadar lemak yang tinggi pada bungkil kopra selama ini
menjadi salah satu pembatas penggunaannya dalam formulasi pakan, jadi walaupun kandungan
protein kasar bungkil kopra cukup tinggi.
Sehubungan dengan hai di atas maka penelitian secara lengkap perlu diperluas dan diperdalam
untuk mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya baik mineral makro dan mikro. Untuk
kepentingan ternak-ternak non ruminansia tentu saja membutuhkan informasi kandungan asam-
asam amino esensial maupun non-esensial. Untuk kepentingan ternak ruminansia perlu dilanjutkan
dengan analisis fraksi serat berupa kandungan ADF dan NDF.
Menurut Lebdosukoyo dan Soedomo (1982) melaporkan bahwa takaran maksimum pemberian
bungkil kopra kepada ternak non ruminansia mencapai 40-50% sedangkan untuk ruminansia sampai
60% (Soedomo, 1984 dan Paat dkk, 2011). Percobaan-percobaan pemanfaatan bungkil paring pada
Seminar Nasional Gorontalo
“Membangun Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan”| 693
pakan ternak non ruminansia dan rumiansia secara feeding trial perlu terus dikembangkan. Di Sulut
beberapa peternak non ruminansia seperti babi dan unggas mulai menggunakan bungkil paring
sebagai pengganti bungkil kopra yang ketersediaanya langka dan lebih mahal.
Informasi yang masih belum diketahui adalah data keunggulan dan keterbatasan penggunaan
bungkil paring kelapa pada berbagai status fisiologis ternak termasuk informasi takaran maksimum
dalam pakan. Bagi keperluan nutrisi dan pakan ruminansia perlu studi solubilitas zat-zat makanan
dalam percernaan fermentative rumen dari bungkil paring kelapa untuk mendapatkan pengetahuan
tentang by-pass nutrients yang terkandung dari bungkil paring kelapa. Protein dari umumnya pakan
hijauan segar jauh lebih tinggi solubilitas dalam rumen dibandingkan protein biji-bijian
(Prawirokusomo, 1994). Masalahnya harga biji-bijian sangat mahal.

KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa BPK dapat digunakan sebagai bahan pakan yang cukup baik untuk
ternak babi, baik dilihat dari komposisi kimia maupun dari renspon pertumbuhan ternak babi fase
pembesaran dan palatabilitas. Hasil penelitian awal ini berpeluang besar menjadi pintu masuk untuk
memanfaatkannya baik untuk ternak non ruminansia maupun ruminansia. Oleh karena itu
disarankan melakukan penelitian lanjut untuk mendalami nilai nutrisi baik secara laboratorium
maupun feeding trial untuk berbagai jenis dan fase hidup ternak.

DAFTAR PUSTAKA
DITJEN PHK. 2015. Road Map PSDSK 2014. Makalah pada : Workshop Pendampingan
Pengembangan Kawasan Peternakan, Bogor, 23-25 Maret 2015. BBP2TP dan Puslitbangnak -
Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian
Hartadi, H., Soedomo, R, dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah
Mada University Press
Manado Post. 2015. Tepung Kelapa Sulut Masuk Brasil. Surat Kabar Harian Manado Post 16 Maret
2015.
Nulik,J. 2015. Kinerja hasil pendampingan PSDSK di NTT tahun 2014. Makalah pada: Workshop
Pendampingan Kawasan Sapi Potong, BBP2TP Bogor.
Rachman, R. 2013. Laporan Perkembangan Pendampingan PSDSK di Sulsel tahun 2013. Makalah
pada: Rakor Pendampingan PSDSK Sulut 2013. Rakor PSDSK di Jambi, Puslitbangnak Bogor.
Paat,P.C. 2013. Laporan Perkembangan Pendampingan PSDSK di Sulut tahun 2013. Makalah pada:
Rakor Pendampingan PSDSK Sulut 2013. Rakor PSDSK di Jambi, Puslitbangnak Bogor.
Prawirokusumo, S. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. BPFE, Yogyakarta.
Simatupang. P. dan J. Hestina. 2004. Dukungan kebijakan dalam pengembangan agribisnis
peternakan memasuki perdagangan bebas. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi
Tanaman Ternak. Puslitbangnak dan BPTP Bali. P:53-62
Soedomo, R. 1984. Bahan Makanan Ternak Limbah Pertanian dan Industri. Cetakan I. BPFE,
Yogyakarta.
Tumiwa, J. 2015. Laporan Progress Pabrik Minyak Paring Kelapa Koperasi Mitra Tani, Kuyanga
Minahasa Tenggara.

Seminar Nasional Gorontalo


“Membangun Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan”| 694

Anda mungkin juga menyukai