BAB IV
1
Wawancara dengan Asril Hamid (Datuok Majo Lelo) mamak dari suku Domo
di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
2
Wawancara dengan Agussalim Tokoh Masyarakat di Sibiruang, tanggal 5 Juli
2017.
3
Penamaan terhadab kabupaten Kampar adalah disebabkan karena sebagian
besar wilayahnya dilalui oleh sebuah sungai yang bernama sungai Kampar, yang
berhulu di wilayah Sumatera Barat dan bermuara di Kuala Kampar, Riau ke selat
Malaka.
78
79
4
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Hukum Adat dan Modernisasi
Hukum, Cet, 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. v.
80
5
Biso Kowi adalah Istilah yang digunakan atau dipakai oleh masyarakat desa
Sibiruang untuk menyebutkan musibah yang menimpah orang-orang yang
melanggar larangan adat di desa tersebut.
6
Wawancawa dengan Asra, (Datuok Majo Indo) mamak dari suku melayu di
Sibiruang, tanggal 01 Juli 2017.
81
7
Wawancara dengan Hariyon (Datuok Kamajo/Paduko Simarajo) mamak dari
suku niliong di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
83
8
Wawancawa dengan Asra, (Datuok Majo Indo) mamak dari suku melayu
diSibiruang, tanggal 01 Juli 2015.
9
Wawancara dengan Hariyon (Datuok Kamajo/Paduko Simarajo) mamak dari
suku niliong di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
10
Wawancara dengan Pasmi (Cendekiawan Adat) di Sibiruang, tanggal 05 Juli
2017.
84
11
Wawancara dengan Inur (Pelanggar Larangan Menikah di antara Dua Khotbah
) di Sibiruang, tanggal 30 Juni 2017.
12
Wawancara dengan Junaidi (Sinaro Mudo) mamak dari suku Pitopang di
Sibiruang, tanggal 05 Juli 2017.
85
ndak bisa dibayiu ,doso ndak bisa disomba (hutang tidak bisa
dibayar, dosa tidak bisa disembah). Inilah yang biasa
dilakukan oleh ninik mamak, kalau sudah melanggar
larangan menikah sesuku, maka tidak ada yang yang bisa
dibayar kecuali diusir dari kampung itu sendiri, dan dosa
yang mereka lakukan karena melanggar adat istiadat tidak
bisa dijadikan contoh buat kedepannya.15
Menurut kepercayaan masyarakat Sibiruang bagi yang
melanggar larangan menikah sesuku ini, anggota keluarganya
akan selalu mengalami sakit-sakitan karena telah melanggar
larangan adat istiadat. H. Munir mengatakan orang yang
melanggar menikah sesuku keluarganya akan sering ditimpa
musibah, baik itu yang kecil maupun musibah besar. Bahkan,
menurutnya yang melanggar ada yang sampai menjadi gila.16
kemudian rumah tangganya akan sering terjadi pertengkaran
antara suami dan istri maupun dengan anak mereka, sampai
kepada percereian, dan kepercayaan lain masyarakat bahwa
orang-orang yang melanggarnya anak keturunannya akan
cacat baik cacat fisik maupun psikisnya.17
Perkawinan tidak boleh dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki suku yang sama, karna kepercayaan masyarakat
bahwa mereka adalah saudara, bahkan bisa dikatakan saudara
senasab. Dan menurut kepercayaan masyarakat juga kalau
ada yang melakukan perkawinan yang memiliki suku yang
sama, maka rumah tangga tersebut akan rusak baik dalam
waktu yang cepat maupun yang lama, dan yang melakukan
perkawinan tersebut juga tidak akan mendapatkan harta
warisan dan wasiat dari orang tua mereka.18
15
Wawancara dengan Hariyon (Datuok Kamajo/Paduko Simarajo) mamak dari
suku Niliong di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
16
Wawancara dengan H. Munir (Datuok Bandaro Sati) di Sibiruang, tanggal 01
juli 2017.
17
Wawancara dengan Hariyon (Datuok Kamajo/Paduko Simarajo) mamak dari
suku Niliong di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
18
Wawancara dengan Aziz (Datuok Ulak) mamak dari suku piliang di Sibiruang,
tanggal 28 Juni 2017
87
19
Wawancara dengan H. Suherman (Datuok Majo Kampar) di Sibiruang, tanggal
30 Juni 2017.
20
Wawancara dengan Aziz (Datuok Ulak) mamak dari suku piliang di Sibiruang,
tanggal 28 Juni 2017
88
21
Wawancara dengan H. Suherman (Datuok Majo Kampar) di Sibiruang, tanggal
30 Juni 2017.
22
Wawancara dengan Bustami (Datuok Ulak Samano/datuok paduko
besar/mamak kampuong) di Sibiruang, tanggal 05 juli 2017.
89
23
Roni Atori, “Larangan Memadu Dua Perempuan Sesuku di desa Bandur Picak
di tinjau menurut Hukum Islam, Skripsi, Pekanbaru: UIN Sultan Ssyarif Kasim
Riau, 2016, hlm. 64.
24
Wawancawa dengan Asra, (majo indo) mamak dari suku melayu di Sibiruang,
tanggal 01 Juli 2017.
90
25
Wawancawa dengan H. Suherman, (Datuok Majo Kampar) mamak dari suku
domo di Sibiruang, tanggal 30 Juni 2017.
91
26
Wawancara dengan Agussalim Tokoh Msyarakat di Sibiruang, tanggal 5 Juli
2017
27
Wawancara dengan Maskur Tokoh Msyarakat di Sibiruang, tanggal 03 Juli
2017
93
28
Wawancara dengan Nurasian (salah seorang yang melanggar larangan
menikahi dua perempuan yang sesuku), di Sibiruang, tanggal 02 Juli 2017.
94
30
Wawancara dengan Aziz (Datuok Ulak) mamak dari suku piliang di Sibiruang,
tanggal 28 Juni 2017.
31
Wawancara dengan Bustami (Datuok Ulak Samano/datuok paduko
besar/mamak kampuong) di Sibiruang, tanggal 05 juli 2017.
96
32
Bulan Hijriyah
33
Bulan Syawal, Zulkaedah dan 10 hari pada bulan Zulhijjar dilarang oleh adat
istiadat desa Sibiruang untuk melangsungkan perkawinan.
98
34
Umar Junus, Mitos..., hlm. 90.
101
35
Rogayah binti Chek dan Dainora Daud, “Doktrin Khurafat: Pemahaman
Menurut Perspektif Al-Qur‟ân dan Al-Hadist”, nternational Conference On
Aqidah, Dakwah and Syariah 2016, hlm. 946.
36
Sriputu rinjani, “Bid‟ah, Khurafat dan Tahayyul”, dikutip dari chingoo-
fib.blogspot.co.id/2015/04/aik-bidah-khurafat-dan-tahayul.html, diakses pada hari
Rabu tanggal 24 Januari 2018 jam 18.44 WIB.
37
Syaikh Syuaib al-Arnauth, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Juz 10, Cet. 1
(Beirut: Muassasah Risalah, 1992), hlm. 623.
103
38
Nasrun Harun, Uṣul..., hlm. 4.
39
Tim Penerjemah al-Qur‟ân UII, Qur’ân...,hlm. 746.
104
40
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih..., hlm. 731.
105
41
Tim Penerjemah Al-Qur‟ân UII, Qur’ân...,hlm. 213.
42
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fikhiyah, Cet. 3, (Jakarta: PT.
Raja Grapindo Persada, 1999), hlm.132.
106
43
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qowa’id
Fiqhiyyah,alih bahasa Wahyu Setiawan, Qowa‟id Fiqhiyyah, Cet. 1 (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 20-21.
44
Nasrun Haroen, Uṣul...,hlm. 137.
45
Hamdani, Uṣul...,hlm. 235.
46
Satria Effendi, M. Zein, Uṣul...,hlm. 153.
47
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus...,hlm. 335-336.
107
َٔاىؼادة ٍحن
Artinya; “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
ٍٔمو ٍا ٗردبٔ اىشرع ٍطيقا ٗال ضابظ ىٔ فٍٔ ٗال فً اىيغة ٌرجغ ف
إىى اىؼرف
Artinya: “Semua ketentuan syara‟ yang bersifat mutlak, dan
tidak ada pembatasan di dalamnya, bahkan juga tidak ada
pembatasan dari segi kebahasaan, maka berlakuannya
dirujukkan kepada „Urf”.50
50
Athiyyah „Adlaan „Athiyyah Ramadhan, Mawsu’ah...,hlm. 67.
51
Abd. Rahman Dahlan, Usul ...,hlm. 213.
109
52
M. Hasbi Al Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, Cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), hlm. 73.
53
Tim Penerjemah Al-Qur‟ân UII, Qur’ân...,hlm. 602.