Anda di halaman 1dari 32

78

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bagaimana Implikasi Mitologi Perkawinan Adat


Masyarakat desa Sibiruang dalam Kehidupan Masyarakat
Desa Sibiruang

Desa Sibiruang Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten


Kampar Provinsi Riau memiliki adat yang dijadikan sebagai
aturan hidup yang di sebut dengan Osam Bosau. Yaitu
Pengangkatan pemimpin (mamak) secara besar-besaran yang
dihadiri oleh seluruh pemangku Adat Andiko 44 dalam
persukuan masing yang ada diambil dari kelompok-kelompok
(suku) yang ada dan suku yang pertama datang diangkatlah
menjadi Pucuk Adat yaitu sekarang suku Domo yang bermukim
di desa Sibiruang.1
Hukum adat masyarakat desa Sibiruang termasuk juga
kedalam hukum adat yang menganut prinsip “ Adat Basondi
Syara’, Syara’ Basondi Kitabullah” (adat bersendikan syara‟,
syara‟ bersendikan kitabullah).2 Ada juga istilah lain yang
dikenal di kabupaten Kampar, yaitu Kampar itu Islam dan Islam
itu kampar. Agama mayoritas penduduk yang ada dikabupaten
Kampar3 adalah Islam, khususnya di desa Sibiruang masyarakat
100% beragama Islam.
Aturan yang berlaku di desa Sibiruang bukan saja mengenai
aturan atau hukum berdasarkan agama, namun juga hukum adat.
Hal ini dilandasi bahwa hukum adat bersenyawa dengan
masyarakat dimana mereka lahir dan tumbuh sehingga tanpa

1
Wawancara dengan Asril Hamid (Datuok Majo Lelo) mamak dari suku Domo
di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
2
Wawancara dengan Agussalim Tokoh Masyarakat di Sibiruang, tanggal 5 Juli
2017.
3
Penamaan terhadab kabupaten Kampar adalah disebabkan karena sebagian
besar wilayahnya dilalui oleh sebuah sungai yang bernama sungai Kampar, yang
berhulu di wilayah Sumatera Barat dan bermuara di Kuala Kampar, Riau ke selat
Malaka.

78
79

disadari bahwa hukum adat ini merupakan perwujudan dari


masyarakat itu sendiri.4 Adat istiadat di desa Sibiruang sangat
kental, mulai dari adat istiadat memandikan anak bayi yang baru
lahir, adat istiadat kematian, adat istiadat yang berkaitan dengan
cocok tanam atau masalah pertanian, ada juga adat istiadat
tentang perkawinan dan lain-lainnya. Adat perkawinan sejak
dahulu tetap ditaati dan dipertahankan oleh masyarakat desa
Sibiruang.
Perkawinan yang diselenggarakan di desa Sibiruang mesti
harus mengikuti adat istiadat yang sudah turun temurun, jika
penyelengaraan perkawinan tidak mengikuti adat istiadat yang
telah mendarah daging di desa tersebut maka orang yang
menyelenggarakan perkawinan dianggap tidak menghormati
adat istiadat, sehingga masyarakat memiliki persepsi untuk
mempersiapkan perkawinan dengan harus mengikuti adat
istiadat.
Adat perkawinan di desa Sibiruang tergolong unik dan
menarik untuk dikaji, karena adat istiadat di desa ini berbeda
dengan adat istiadat di desa umumnya, walaupun berada pada
satu rumpun adat istiadat. Hal Ini disebabkan karena tokoh adat
istiadat (ninik mamak) yang berbeda, perbedaan ninik mamak
ini menyebabkan kebijakan yang berbeda di masing-masing
desa. Misalnya saja di desa Sibiruang jika melanggar adat
perkawinan, akan didenda satu ekor kambing, dan diusir dari
kampung. Sedangkan di desa Bandur Picak, yang berbatasan
langsung dengan desa Sibiruang, memiliki adat yang berbeda
dan hukum yang berbeda bagi pelanggar adat perkawinan yaitu
diberikan sanksi satu ekor kerbau dan apabila termasuk kategori
sanksi berat maka akan diusir dari kampung halaman.
Dalam wawancara penulis dengan beberapa orang tokoh adat
(Ninik Mamak) desa Sibiruang yaitu Asril Hamid, Asra,
Hariyon, Pasmi, dan Rismon mengatakan bahwa siapa yang

4
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Hukum Adat dan Modernisasi
Hukum, Cet, 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. v.
80

melanggar ketentuan adat istiadat akan dikenakan sanksi sesuai


dengan yang telah ditetapkan adat istiadat.
Masyarakat desa Sibiruang juga memiliki kepercayaan bahwa
perkawinan tidak dapat dilangsungkan kapan saja, hal ini di
karenakan masyarakat desa Sibiruang memiliki kepercayaan ada
waktu tertentu atau keadaan tertentu sehingga perkawinan itu
dapat berlangsung. Apabila ada masyarakat yang melanggar
kepercayaan tersebut maka orang yang melanggar diyakini akan
mendapatkan dampak buruk atau disebut Biso Kowi.5
Kepercayaan ini tetap diyakini hingga sekarang karena
masyarakat melihat dampak yang muncul baik itu dalam waktu
dekat maupun waktu yang cukup lama.
Beberapa mitos dalam perkawinan adat yang ada di desa
Sibiruang:
1. Larangan Menikah di antara Dua Khotbah
Larangan menikah di antara dua khotbah adalah larangan
menikah di antara khotbah Idulfitri dan khotbah Iduladha. ini
merupakan penamaan terhadap suatu perkawinan yang
dilarang oleh adat, yang mana tidak boleh melangsungkan
perkawinan, mulai dari tanggal 1 syawal setelah khotbah idul
fitri sampai 10 zulhijjah sebelum khotbah idul adha.6
Kapan dimulainya larangan menikah di antara dua khotbah
ini tidak ada satupun dari ninik mamak mengetahui secara
persis, karena ketika ditanya kapan? mereka menjawab
pituah nan den temo amanat nan di jawek (pesan yang saya
terimah dan amanah yang saya dapatkan). Jadi, larangan
perkawinan ini sudah ada sejak ninik mamak sebelum
mereka.
Alasan dilarangnya melakukan pernikahan di antara dua
khotbah Idulfitri dan khotbah Iduladha antara lain:

5
Biso Kowi adalah Istilah yang digunakan atau dipakai oleh masyarakat desa
Sibiruang untuk menyebutkan musibah yang menimpah orang-orang yang
melanggar larangan adat di desa tersebut.
6
Wawancawa dengan Asra, (Datuok Majo Indo) mamak dari suku melayu di
Sibiruang, tanggal 01 Juli 2017.
81

a. Adat istiadat dibuat bertujuan untuk mendatangkan


kemashalatan, ketentraman dan kebahagian hidup
masyarakat. Karena itu para pemuka adat membuat
peraturan larangan menikah di antara dua khotbah.
Karena mereka melihat bahwa menikah di antara dua
khotbah tersebut kurang baik, atau sering disebut
sebagai langka kidagh (langkah kiri). Oleh karena itu,
seandainya diperkenankan menikah di antara dua
khotbah, niscaya kemashalatan dan ketentraman dalam
rumah tangga tersebut tidak akan terwujud. Sebab
selama mereka berstatus suami istri maka mereka akan
merasa bersalah, dan rasa bersalah ini akan membuat
rumah tangga mereka tidak menjadi tentram atau
dihantui dengan rasa bersalah karena sudah melanggar
adat istiadat.
b. Pada dasarnya alasan dilarang dan pemberian sanksi
oleh adat sebagai mana yang dimaksudkan nenek
moyang dahulu adalah untuk menghindari
ketidaktahuan masyarakat bahwasanya mereka sudah
menikah, karena di antara dua khotbah tersebut,
masyarakat desa Sibiruang dahulunya mereka
menanam padi di ladang masing-masing, dan bisa
dikatakan ketika di antara dua khotbah desa Sibiruang
sedang sunyi-sunyinya karena mayoritas masyarakat
sedang menanam padi. Maka karena itulah dibuat
aturan seperti itu dengan salah satu sanksi dikeluarkan
dari sukunya karena pada waktu itu keluar dari suku
adalah sebuah penghinaan besar dan tidak akan ada
lagi orang/mamak yang akan melindungi dan
menolongnya apabila mereka ada permasalahan antar
sesama manusia atau permasalahan adat.
c. Alasan dilarangnya menikah di antara dua khotbah
menurut pemahaman ninik mamak Desa Sibiruang
adalah tidak bolehnya khotbah yang sangat sakral
diapit oleh khotbah yang suci. Khotbah yang sakral
82

adalah khotbah nikah sedangkan khotbah yang suci


adalah khotbah kedua hari raya.
d. Dengan dilarangnya serta diberikan sanksi bagi
pelanggar larangan menikahan di antara dua khotbah,
ini mengajarkan kepada calon suami maupun calon istri
agar berhati-hati menentukan hari perkawinan. Sebab
peraturan yang tidak ada hukuman atau sanksinya akan
selalu dilanggar, walaupun dilarang untuk
melakukannya.
e. Pemberian sanksi memberikan peringatan atau
pembelajaran kepada orang-orang yang telah
melakukan pelanggaran adat istiadat. Maka dalam hal
ini dapat diambil hikmah, bahwa dengan adanya
pemberian sanksi, maka bagi masyarakat yang akan
melansungkan pernikahan akan berhati-hati
7
menentukan hari pernikahannya.
Dalam hal ini terlihat jelas alasan dilarangnya dan peranan
pemberian sanksi bagi pelanggar larangan perkawinan,
sehingga dengan disertakan sanksi hubungan keluarga dalam
masyarakat khususnya dalam adat istiadat dapat dijalin
dengan sebaik-baiknya.
Adapun sanksi adat bagi yang melanggar larangan
menikah di antara dua khotbah Idulfitri dan khotbah
Iduladha adalah sebagai berikut:
a. Diusir dari kampung halamannya, artinya bagi yang
melanggar larangan menikah di antara dua khotbah
mereka tidak boleh pulang dan menetap dikampung
tersebut. Tapi apabila salah seorang dari suami istri
telah meninggal maka barulah ia boleh pulang dan
menetap di kampung kembali.
b. Keluar dari suku dia sendiri, artinya bagi yang
melanggar larangan menikah di antara dua khotbah

7
Wawancara dengan Hariyon (Datuok Kamajo/Paduko Simarajo) mamak dari
suku niliong di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
83

maka mamak dari suku mereka akan menganggap dia


sudah keluar dari sukunya dan tidak akan dipedulikan
lagi oleh mamak mereka.
c. Dikucilkan oleh masyarakat dan hubungan
silaturrahminya dengan keluarga, tokoh adat (ninik
mamak) dan masyarakatpun akan renggang.
d. Apabila dia mengadakan walimah atau acara hanya
sedikit masyarakat yang akan menghadirinya.8
Selain sanksi adat istiadat di atas, menurut kepercayaan
masyarakat atau mitos yang berkembang di desa Sibiruang
bagi yang melanggar larangan menikah di antara dua khotbah
keluarga dan keturunannya akan punah. Maksudnya adalah
apabila mereka tetap melanggar larangan menikah di antara
dua khotbah ini, maka keluarganya akan mati secara
mengenaskan atau hasil dari perkawinan itu akan
membuahkan keturunan yang cacat.9
Selain itu bagi yang melanggar larangan menikah di antara
dua khotbah ini dianggap keluarganya tidak baik. Maksudnya
adalah apabila terjadi sesuatu pada keluarga yang melanggar
larangan menikah di antara dua khotbah ini selalu dianggap
karena kutukan melanggar larangan adat.10
Larangan menikah di antara dua khotbah ini pernah di
langgar oleh pasangan Inur dan Milus, mereka menikah bulan
april 1995. Bulan april pada tahun 1995 merupakan bulan
yang terletak di antara dua khotbah Idulfitri dan khotbah
Iduladha. Dan secara adat istiadat itu dilarang untuk
melangsungkan perkawinan. Sebelum menikah ia dicegah
oleh pemuka adat (ninik mamak) untuk melakukan

8
Wawancawa dengan Asra, (Datuok Majo Indo) mamak dari suku melayu
diSibiruang, tanggal 01 Juli 2015.
9
Wawancara dengan Hariyon (Datuok Kamajo/Paduko Simarajo) mamak dari
suku niliong di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
10
Wawancara dengan Pasmi (Cendekiawan Adat) di Sibiruang, tanggal 05 Juli
2017.
84

perkawinan di antara dua khotbah. Namun mereka bersikeras


untuk melakukan pernikahan di antara dua khotbah.
Berdasarkan wawancara penulis dengan Inur mengatakan
sebagai berikut:

“Inur dan Suaminya Milun menikah pada bulan April


tahun 1995. Mereka telah melanggar larangan menikah
diantara dua khotbah, maka mereka diusir oleh pemuka adat
dan warga dari desa Sibiruang. Selain itu entah kebetulan
atau ada kaitannya dengan larangan menikah diantara dua
khotbah tidak lama setelah mereka menikah suami dari Inur
meninggal dunia dengan cara yang mengenaskan, yaitu
tenggelam di sungai dan jasadnya baru ditemukan empat hari
kemudian”.11
Selain sanksi di atas, sanksi lain yang diberikan bagi yang
melanggar larangan menikah di antara dua khotbah ini
adalah, hubungan mereka dengan ninik mamakpun terputus,
artinya apabila terjadi suatu persengketaan adat istiadat pada
keluarga mereka, ninik mamak tidak akan ikut campur, selain
itu apapun acara yang diadakan oleh keluarga tersebut tidak
akan pernah dihadiri oleh ninik mamak persukuan mereka.
Karena apabila mereka hadir sama saja mereka menyetujui
pernikahan di antara dua khotbah yang mereka langgar.
Sanksi larangan menikah di antara dua khotbah sangat
ditakuti oleh pemuka adat dan masyarakat desa Sibiruang,
bahkan karena takut akan mendapat bencana, ada di antara
ninik mamak yang tidak memperbolehkan dan tidak mau
menikahkan pasangan, meskipun sang perempuan telah
hamil dan lebih memilih anak yang dikandung oleh
perempuan itu lahir dalam keadaan tidak memiliki ayah dari
pada menikahkan pasangan tersebut.12

11
Wawancara dengan Inur (Pelanggar Larangan Menikah di antara Dua Khotbah
) di Sibiruang, tanggal 30 Juni 2017.
12
Wawancara dengan Junaidi (Sinaro Mudo) mamak dari suku Pitopang di
Sibiruang, tanggal 05 Juli 2017.
85

2. Larangan Menikah Sesuku


Merupakan larangan perkawinan yang tidak boleh menikah
apabila laki-laki dan perempuan berasal dari suku yang sama.
Sebelum dilangsungkannya perkawinan, di desa Sibiruang
sangat mewanti-wanti kalau ada masyarakat yang menikah
dengan suku yang sama, karena menurut kepercayaan
masyarakat orang yang sukunya sama berarti sudah
bersaudara dan tidak bisa menikah.13
Alasan di larangnya menikah dengan satu suku adalah
dialog antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan ketika
terjadinya lamaran, di desa Sibiruang sering disebut
Basiacuong, yang melakukan dialog adalah perwakilan ninik
mamak dari kedua belah pihak. Sementara, bila yang
menikah itu sukunya sama, maka tidak mungkin ninik
mamaknya orang yang sama itu yang saling Basiacuong
karena diangap satu rumpun keluarga sendiri, sama dengan
menikah dengan keluarga sendiri, yakni dalam satu suku
tersebut. Tetapi secara substansi hingga saat ini belum
ditemukan alasan jawaban yang sangat jelas. 14
Masyarakat Sibiruang sangat menganggap tabu bila terjadi
perkawinan satu persukuan hingga saat ini, dan ini masih
dipegang oleh masyarakat Sibiruang dengan kuat. Bahkan,
ada sanksi bila ada yang melangganya, pameo masyarakat
setempat mengatakan kami buang ka gunung ndak baangin,
kaluhgang ndak baayiu (kami usir ke gunung yang tidak ada
anginya, ke jurang yang tidak ada airnya). Ini menandakan
bahwa orang yang melakukan perkawinan dengan satu suku
akan di buang atau diusir dari kampungnya dan tidak akan
pernah bisa kembali lagi sampai mereka bercerai, baik itu
cerai hidup maupun cerai karena kematian.
Melanggar larangan menikah satu suku tidak bisa ditawar-
tawar sanksi yang diberikan oleh ninik mamak, karena utang
13
Wawancara dengan Aziz (Datuok Ulak) mamak dari suku Piliang, di
Sibiruang, tanggal 30 juni 2017.
14
M. Taufik Mandailing, Islam...,hlm. 251.
86

ndak bisa dibayiu ,doso ndak bisa disomba (hutang tidak bisa
dibayar, dosa tidak bisa disembah). Inilah yang biasa
dilakukan oleh ninik mamak, kalau sudah melanggar
larangan menikah sesuku, maka tidak ada yang yang bisa
dibayar kecuali diusir dari kampung itu sendiri, dan dosa
yang mereka lakukan karena melanggar adat istiadat tidak
bisa dijadikan contoh buat kedepannya.15
Menurut kepercayaan masyarakat Sibiruang bagi yang
melanggar larangan menikah sesuku ini, anggota keluarganya
akan selalu mengalami sakit-sakitan karena telah melanggar
larangan adat istiadat. H. Munir mengatakan orang yang
melanggar menikah sesuku keluarganya akan sering ditimpa
musibah, baik itu yang kecil maupun musibah besar. Bahkan,
menurutnya yang melanggar ada yang sampai menjadi gila.16
kemudian rumah tangganya akan sering terjadi pertengkaran
antara suami dan istri maupun dengan anak mereka, sampai
kepada percereian, dan kepercayaan lain masyarakat bahwa
orang-orang yang melanggarnya anak keturunannya akan
cacat baik cacat fisik maupun psikisnya.17
Perkawinan tidak boleh dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki suku yang sama, karna kepercayaan masyarakat
bahwa mereka adalah saudara, bahkan bisa dikatakan saudara
senasab. Dan menurut kepercayaan masyarakat juga kalau
ada yang melakukan perkawinan yang memiliki suku yang
sama, maka rumah tangga tersebut akan rusak baik dalam
waktu yang cepat maupun yang lama, dan yang melakukan
perkawinan tersebut juga tidak akan mendapatkan harta
warisan dan wasiat dari orang tua mereka.18

15
Wawancara dengan Hariyon (Datuok Kamajo/Paduko Simarajo) mamak dari
suku Niliong di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
16
Wawancara dengan H. Munir (Datuok Bandaro Sati) di Sibiruang, tanggal 01
juli 2017.
17
Wawancara dengan Hariyon (Datuok Kamajo/Paduko Simarajo) mamak dari
suku Niliong di Sibiruang, tanggal 03 Juli 2017.
18
Wawancara dengan Aziz (Datuok Ulak) mamak dari suku piliang di Sibiruang,
tanggal 28 Juni 2017
87

3. Larangan Menikah Ketika Bulan Turun


Menikah ketika bulan turun adalah perkawinan yang
dilakukan ketika bulan sedang turun, yaitu mulai dari tanggal
16 sampai dengan tanggal 30 di setiap bulan hijriyah.
Dikatakan dengan bulan turun, karena pada tanggal tersebut
merupakan dua minggu terakhir dari perbulannya. Sedangkan
tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 merupakan bulan naik,
atau sering disebut juga dengan awal bulan.19
Perkawinan hendaklah dilakukan pada bulan naiok (naik)
atau sering dikatakan oleh masyarakat ketika naiknya bulan
yaitu dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 disetiap bulan,
ini merupakan bulan hijiriyah bukan bukan masehi. Kalau
ada yang melangsungkan perkawinan ketika bulan sedang
turun atau pada tanggal 16-30 disetiap bulannya, maka
menurut masyarakat rumah tangganya tidak akan berkah, dan
reskinya akan sempit atau orang yang menikah disini tidak
akan pernah menjadi orang kaya, karena bulan naik sebagai
petanda naiknya atau banyaknya reski yang akan didapat,
sedangkan bulan turun itu menandakan akan menurutnya
atau sedikit reski yang akan didapat.20 Kepercayaan mereka
menikah di bukan naik akan menyebabkan kenaikan riski
yang didapat, apapun usaha yang akan dilakukan oleh
mereka pasti akan membawakan hasil yang lebih baik.
Hal yang serupa juga di ungkapkan oleh H. Suherman
(Datuok Majo Kampar), ia mengatakan bahwa ketika bulan
sedang turun merupakan waktu dimana wanita mengalami
haid atau datang bulan. Jadi lebih baik untuk tidak menikah
diwaktu itu karena ditakutkan tidak bisa menahan diri untuk
menggauli istri, sedangkan menggauli istri ketika haid tidak
diperbolehkan. Kepercayaan masyarakat kalau menikah di
waktu turunnya bulan maka apapun usaha yang mereka

19
Wawancara dengan H. Suherman (Datuok Majo Kampar) di Sibiruang, tanggal
30 Juni 2017.
20
Wawancara dengan Aziz (Datuok Ulak) mamak dari suku piliang di Sibiruang,
tanggal 28 Juni 2017
88

lakukan di dunia ini tidak akan pernah membawakan hasil


yang sesuai dengan keinginan mereka, dan dapat di pastikan
hasilnya akan lebih buruk.21

Larangan menikah dibulan turun pernah dilanggar oleh


masyarakat desa Sibiruang, yaitu Nasrullah dan Nurtini,
Sebelum melangsungkan perkawinan mereka sudah dilarang
oleh ayah Nasrullah, tetapi Nasrullah hanya mengatakan itu
hanya mitos. Beberapa bulan setalah perkawinannya,
Nasrullah meninggal mengenaskan. Yaitu, tenggelam di
sungai kampar ketika memanah ikan, tidak ada satupun yang
bisa menyelam untuk mengambil mayatnya, karna sungainya
dalam, dan yang bisa menyelamnya hanya ayahnya sendiri
yaitu bapak Bustami.22

Adapun tanggapan masyarakat mengenai meninggalnya


Nasrullah, mereka mengaitkan dengan larangan yang
dilanggar oleh Nasrullah, yaitu larangan menikah ketika
bulan turun. terhadap tradisi larangan menikah di turun ini
sangat menjadi perhatian, karena apabila ada bencana buruk
yang menimpa keluarga yang melanggar menikah bulan
turun ini selalu dianggap karena mereka melanggar ketentuan
adat istiadat yang telah dibuat oleh ninik mamak sebelum
mereka.

4. Larangan Memadu Dua Perempuan Sesuku


Larangan memadu dua perempuan sesuku merupakan
larangan yang mana seorang laki-laki dilarangannya untuk
mengumpulkan dua perempuan yang memiliki suku yang
sama dalam satu pernikahan, seorang laki-laki dilarang untuk

21
Wawancara dengan H. Suherman (Datuok Majo Kampar) di Sibiruang, tanggal
30 Juni 2017.
22
Wawancara dengan Bustami (Datuok Ulak Samano/datuok paduko
besar/mamak kampuong) di Sibiruang, tanggal 05 juli 2017.
89

menikah lagi dengan seorang perempuan sebagai istri


keduanya, yang mana perempuan tersebut sukunya sama
dengan istri pertama laki-laki yang akan menikahinya. Maka
pernikahan ini menurut ketentuan adat di Desa Sibiruang
dilarang, tidak perbolehkan, meskipun seorang laki-laki yang
akan menikahi memadu dua perempuan tersebut sanggup
memberikan nafkah dan berlaku adil terhadap istri-istrinya.23

Ketentuan ini adalah ketentuan yang sudah menjadi


kesepakatan ninik mamak beserta masyarakat desa Sibiruang
dari dahulu secara turun temurun, dalam adat istiadat disebut
juga dengan istilah “ adat yang disokiohkan (adat yang tidak
bisa dilampaui, tidak bisa diungkai dan tidak bisa dirobah ),
artinya ketentuan adat ini tetap berlaku sampai sekarang dan
tidak bisa dilanggar, dilampaui, dirubah oleh cucu kepanakan
walaupun dengan berkembangnya zaman dan kebudayaan.24

Dari hasil wawancara dengan pucuk adat dan beberapa


ninik mamak (Junaidi, H. Suherman, Heriyon, Bustami, H.
Asril Hamid, dan Asra) , penulis menemukan bahwa
permulaan atau awal diberlakukan larangan memadu dua
perempuan sesuku ini adalah mulai dari awal diberlakukan
adat istiadat di desa Sibiruang, yang mana adat istiadat
tersebut sudah diberlakukan di desa Sibiruang dari dahulu,
sudah lama, bahkan ninik mamak dan masyarakat desa
Sibiruang tidak mengetahui secara pasti kapan adat istiadat
itu diberlakukan.

Alasan dilarangnya memadu dua perempuan sesuku antara


lain:

23
Roni Atori, “Larangan Memadu Dua Perempuan Sesuku di desa Bandur Picak
di tinjau menurut Hukum Islam, Skripsi, Pekanbaru: UIN Sultan Ssyarif Kasim
Riau, 2016, hlm. 64.
24
Wawancawa dengan Asra, (majo indo) mamak dari suku melayu di Sibiruang,
tanggal 01 Juli 2017.
90

a. Dilarangnya memadu dua perempuan sesuku adalah


karena menurut adat desa Sibiruang bahwa dua
perempuan yang sesuku tersebut sudah dianggap sebagai
keluarga dekat dengan istilah adat saluluak sakandang,
saitiok saayam, diguyang kono dek obe, di takiok kono dek
gota. Dari ungkapan adat diatas jelas dapat kita lihat
sangat erat dan dekatnya hubungan seorang dengan orang
lainnya dalam suku.
b. Perkawinan memadu dua perempuan sesuku yang di
larang di desa ini, alasannya supaya tidak terjadi
perselisihan, percekcokan dan perpecahan dalam satu
suku, dan tidak merusak pergaulan antara seorang dengan
orang lainnya dalam satu suku tersebut dengan istilah adat
kok bajopuik indak badatangi, kok baimbau indak
basawikti, (di undang tidak akan dihadiri, kalau dipanggil
tidak akan menyaut). masyarakat yang melakukan
perkawinan di atas membuat acara dalam satu suku,
kemudian di undang orang-orang yang ada dalam suku
tersebut, maka mereka tidak akan mengahadiri
undangannya.25

Menghindari hal tersebut, ninik mamak dan masyarakat


membuat suatu larangan dalam adat istiadat yaitu larangan
memadu perempuan sesuku di desa Sibiruang.

Sanksi- sanksi yang diberlakukan di desa Sibiruang apabila


ada yang melanggar larangan memadu dua perempuan
sesuku adalah sebagai berikut:

a. Mereka diusir dari kampung halamannya, artinya bagi


yang melanggar larangan memadu dua perempuan
sesuku mereka tidak boleh pulang dan menetap

25
Wawancawa dengan H. Suherman, (Datuok Majo Kampar) mamak dari suku
domo di Sibiruang, tanggal 30 Juni 2017.
91

dikampung tersebut. Sanksi ini sudah tidak


diberlakukan lagi oleh ninik mamak di desa Sibiruang.
b. Jika mereka tetap bersikeras untuk menikah dan tidak
mau dilarang oleh ninik mamak, maka mereka tidak
dibolehkan menikah di kampung di desa Sibiruang,
mereka yang melanggar harus melakukan perkawinan
diluar desa Sibiruang.
c. Jika telah melanggar larangan memadu dua perempuan
sesuku, mereka dikenakan sanksi menyembelih seekor
Kambing. Kambing tersebut disembelih dan dimasak
dirumah orang yang melakukan larangan tersebut,
diundang ninik mamak , orang tua yang cerdik pandai,
tokoh agama. Pada acara tersebut pihak yang
melanggar larangan memadu dua perempuan sesuku
tersebut meminta maaf kepada ninik mamak dan
seluruh undangan yang hadir karena sudah melanggar
aturan adat yaitu melanggar larangan memadu dua
perempuan sesuku.
d. Menyembelih ayam dimakan salomak nasi samani
ayigh (seenak nasi semanis air), melakukan acara
mendoa dan syukuran. Pada saat acara medo‟a tersebut
pihak yang melakukan larangan memadu dua
perempuan sesuku kembali melakukan minta maaf
kepada ninik mamak mereka dan kepada seluruh
undangan yang hadir karena sudah melanggar larangan
adat istiadat yang ada di desa Sibiruang.
e. Jika pelanggar tidak mau membayar sanksi yang
diberikan adat maka sesuai dengan ketentuan adat
istiadat, ninik mamak tidak ikut serta terhadap apa
yang terjadi pada orang yang melakukan larangan
perkawinan tersebut, seperti tidak hadir dalam acara
mendo‟a yang dilakukan orang yang melakukan
perkawinan tersebut, tidak di ikut sertakan dalam acara
92

adat istiadat, dan orang yang melakukan larangan


tersebut dikucilkan di dalam masyarakat.26

Selain dari sanksi adat istiadat di atas, menurut


kepercayaan atau mitos yang beredar di masyarakat desa
Sibiruang bagi yang melanggar larangan memadu dua
perempuan yang sesuku, keluarga dan keturunannya akan
mendapat musibah yang dalam istilah adat istiadat disebut
kono biso kowi, kate indak bapucuok, kabawa indak bauhgek,
tonga-tonga gihgiok dek kumbang (di atas tidak ada pucuk, di
bawah tidak ada akar, di tengah-tengah dimakan kumbang),
seperti: perkawinan yang mereka lakukan tidak akan bertahan
lama, sakit seumur hidup, kalau mereka melahirkan anak
mereka melahirkan anak yang cacat, sering terjadi musibah di
dalam rumah tangganya. Karena hal itu merupakan kutukan
karena telah melanggar larangan adat istiadat yang sudah
disepakati oleh ninik mamak dan sudah berlaku secara turun
temurun.

Selain itu bagi yang melanggar larangan memadu dua


perempuan sesuku dianggap keluarganya tidak kekal.
Maksudnya adalah apabila terjadi sesuatu pada keluarga yang
melanggar larangan memadu dua perempuan sesuku ini
selalu dianggap karena kutukan melanggar larangan adat
istiadat, dan selalu menjadi bahan gunjingan, sehingga
keluarga ini jarang yang bertahan lama, ada yang karena
perceraian dan ada yang karena kematian.27

Larangan memadu dua perempuan yang sesuku pernah


dilanggar oleh Bapak Hibban dengan Buk Nurasian (Istri
kedua). Bapak Hibban suku Domo telah menikah dengan Buk
Nurasian (istri kedua) suku Piliang pada tahun 2003, dan

26
Wawancara dengan Agussalim Tokoh Msyarakat di Sibiruang, tanggal 5 Juli
2017
27
Wawancara dengan Maskur Tokoh Msyarakat di Sibiruang, tanggal 03 Juli
2017
93

sebelumnya Bapak Hibban sudah menikah dengan Buk Inun


(istri pertama) yang juga suku Piliang dan tidak
diceraikannya. Berdasarkan hasil wawancara penulis,
Nurasian menjelaskan :

“Sebelum Bapak Hibban dan Buk Nurasian menikah


mereka dicegah oleh ninik mamak untuk melakukan
perkawinan tersebut karena menurut ninik mamak
pernikahan yang akan mereka lakukan adalah perkawinan
yang dilarang oleh adat istiadat desa Sibiruang. Namun
mereka bersikeras untuk melanjutkan hubungan mereka ke
jenjang perkawinan. Karena mereka tidak mau dilarang maka
ninik mamak memberikan sanksi atau hukuman kepada
mereka yaitu menyembelih seekor kambing, namun Bapak
Hibban tidak mau membayarnya, sehingga ninik mamak
mengambil keputusan bahwa mereka tidak boleh menikah di
kampung, mereka harus melakukan perkawinan diluar desa
Sibiruang. Setelah mereka menikah diluar dan pulang ke desa
Sibiruang, ninik mamak memberikan sanksi lagi kepada
mereka dengan menyembelih beberapa ekor ayam dan
melakukan acara mendo‟a (salomak nasi dan samani ayigh),
dan pada acara medoa tersebut Bapak Hibban dan Buk
Nurasian meminta maaf kepada ninik mamak karena sudah
melanggar larangan nikah yang sudah berlaku secara turun
temurun.28

Penyelesaian yang dilakukan ninik mamak yaitu, menegur


dan melarang mereka untuk menikah, apabila mereka tetap
bersikeras menikah ninik mamak memberikan sanksi
menyembelih kambing, karena mereka tidak mau membayar
sanksi tersebut karena dianggap terlalu berat oleh mereka,
ninik mamak memberikan sanksi menyembelih ayam dan

28
Wawancara dengan Nurasian (salah seorang yang melanggar larangan
menikahi dua perempuan yang sesuku), di Sibiruang, tanggal 02 Juli 2017.
94

membuat acara kenduri, pada acara tersebut ninik mamak


menyuruh Bapak Hibban dan Buk Nurasian untuk
menyampaikan permohonan maaf kepada ninik mamak dan
seluruh undangan yang hadir atas kesalahan mereka.
5. Larangan Nikah Sasotio (Sumpah Setia)

Larangan menikah Sasotio adalah penamaan terhadap


perkawinan yang dilarang oleh adat istiadat, yang mana
antara suku calon suami dan suku calon istri telah disumpah
oleh nenek moyang mereka dahulu, dengan adanya sumpah
ini maka antara dua keluarga tersebut tidak boleh
melangsungkan perkawinan.29 Sumpah yang dilakukan oleh
nenek moyang dahulu sangatlah sakral menurut masyarakat
desa Sibiruang, karena sumpahnya menggunakan nama
tuhan, yaitu memakai lafadz Wallahi (Demi Allah). Untuk
mengikrarkan sumpah tersebut nenek moyang dahulu
menyembelih hewan berkaki empat yang halal untuk
dimakan, seperti Kerbau, Sapi maupun Kambing.

Larangan nikah Sasotio di desa Sibiruang tidaklah terdapat


pada semua suku, ini hanya terdapat pada suku Piliang dan
Suku Chaniago. Jadi, suku piliang dan suku chaniago tidak
boleh melangsungkan perkawinan, karena sudah di sumpah
oleh nenek moyang mereka dahulunya. Seluruh anak
keturunan dari suku piliang maupun suku Chaniago tidak
dibolehkan menikah.

Wawancara penulis dengan kedua suku yang terkait, ninik


mamak dari suku piliang yaitu Aziz dan Rismon ninik
mamak dari suku Chaniago mereka berdua memaparkan
alasan yang sama kenapa dilarangnya nikah Sasotio ini.
Mereka mengatakan bahwa suku Chaniago merupakan suku
yang berasal dari suku Piliang, jadi suku Chaniago sama
29
Susi Endayani, “Larangan Nikah Sasotio (Sumpah Setia) Pada Adat
Masyarakat Desa Ranah Ditinjau Menurut Hukum Islam”, Skipsi Sarjan, Riau: UIN
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014, hlm. 64.
95

dengan suku Piliang, sesama suku tidak diperbolehkan


menikah di desa Sibiruang.30

Penulis melihat larangan nikah Sasotio ini merupakan


bentuk kehati-hatian masyarakat terhadap pesan dari para
leluhurnya (perjanjian dan persumpahan) yang dilakukan
oleh nenek moyang mereka dahulu. Selain itu juga
menunjukkan bahwa masyarakat desa Sibiruang sangat tinggi
rasa kepercayaannya terhadap peraturan adat yang ada.

Adapun kepercayaan atau mitos masyarakat tentang


larangan nikah Sasotio, yaitu apabila ada yang melanggar
maka keluarganya akan sering sakit sakitan. Bahkan sakit
yang dideritanya tidak bisa dijelaskan oleh ilmu kedokteran.
Keluarga yang melanggar larangan nikah Sasotio ini tidak
akan kekal, yaitu anak keturunannya akan meninggal dengan
cara yang mengenaskan.

Beberapa contoh keluarga yang melanggar larangan nikah


Sasotio, di antaranya pasangan Sarudin dengan istrinya Isa,
Saruddin bersuku Chaniago sedangkan Isa istrinya bersuku
Piliang. Setelah beberapa tahun menikah Saruddin
mengalami penyakit yang aneh, seluruh tubuh Saruddin
berkudis atau bahasa setempat disebut batukak. Karena
penyakit ini masyarakat mengaitkan bahwa Saruddin dan Istri
telah melanggar sumpah adat.31

Hal yang sama juga terjadi pada keluagra Syaiful dan


istrinya Hasni. Syaiful yang suku Piliang dan Hasni istrinya
suku Chaniago. Selang tidak berapa lama dari perkawinan
mereka, Syaiful meninggal dunia dengan cara gantung diri.
Ini juga terjadi pada pasangan Capuok dan Istrinya Gadi

30
Wawancara dengan Aziz (Datuok Ulak) mamak dari suku piliang di Sibiruang,
tanggal 28 Juni 2017.
31
Wawancara dengan Bustami (Datuok Ulak Samano/datuok paduko
besar/mamak kampuong) di Sibiruang, tanggal 05 juli 2017.
96

Pandak. Capuok suku Chaniago sedangkan istrinya Gadi


Pandak suku Piliang, anak pertama dari pasangan ini
mengalami kecelakaan yang menyebabkan kedua matanya
pecah dan keluar. Beberapa hari setelah itu ia meninggal
dunia. Kejadian-kejadian seperti ini dikaitkan oleh
masyarakat bahwa mereka sudah melanggar adat istiadat,
Biso Kowipun tidak bisa mereka hindari.

Kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang berkembang di desa


Sibiruang yang menyangkut mitos dalam perkawinan adat sudah
lama ada, semenjak adat istiadat itu ada. Mitos-mitos yang dapat
merugikan sangat dihindari oleh masyarakat, karena takut akan Biso
Kowi, sampai sekarang mitos-mitos yang ada masih di percayai oleh
masyarakat untuk menghindari Biso Kowi.

Beberapa kejadian atau peristiwa di atas dapat memberikan


penjelasan bahwa akibat dari mitos yang ada dalam perkawinan adat
di desa Sibiruang menyebabkan adanya implikasi dalam kehidupan
masyarakat. Adapun beberapa implikasi dalam kehidupan
masyarakat desa Sibiruang, sebagai berikut:

1. Waktu Perkawinan Menjadi Berkurang atau Sempit

Mitos yang berkembang di desa Sibiruang tidak boleh


melangsungkan perkawinan di antara dua khotbah idulfitri dan
khotbah iduladha, yaitu mulai dari tanggal 1 syawal setelah
khotbah idulfitri sampai dengan tanggal 10 Zulhijjah sebelum
khotbah iduladha tidak diperbolehkan melangsungkan
perkawinan. Berarti sekitar 70 hari di dalam tahun hijriyah
tidak boleh melangsungkan perkawinan.

Selanjutnya di desa Sibiruang tidak boleh menikah ketika


bulan sedang turun. Maksudnya tidak boleh melangsungkan
perkawinan pada tanggal 16 keatas, dan perkawinan hanya
boleh dilakukan pada tanggal 1 sampai dengan tanggal 15
97

setiap bulannya.32 Berarti ini menyebabkan disetiap bulan


hanya ada 15 hari untuk melangsungkan perkawinan, itu tidak
termasuk bulan Syawal, Zulkaedah, Zulhijjah.33 Waktu
perkawinan disetiap bulan hanya ada 15 hari, kemudian
dikalikan dengan 9 bulan yang dibolehkan menikah, maka
waktu perkawinan hanya ada 135 dan ditambah 5 hari pada
bulan Zulkaedah dari tanggal 11 sampai 15, maka dalam
setahun hanya ada 140 hari yang diperbolehkan untuk
menikah, sedangkan 220 hari tidak dibolehkan menikah. Jadi,
lebih banyak waktu yang dilarang menikah dari pada waktu
yang bisa untuk melangsungkan perkawinan.

2. Mengurangi Calon Untuk Berumah Tangga


Desa Sibiruang melarang menikah sesuku, maksudnya tidak
diperbolehkan oleh adat istiadat melangsungkan perkawinan
apabila calon mempelainya sesuku. Apabila calon suaminya
dari suku Piliang, maka dia tidak diperbolehkan menikah
dengan wanita dari suku piliang tersebut, begitu juga dengan
suku-suku lainnya. Ada 6 suku yang ada di desa Sibiruang,
yaitu suku Piliang, Pitopang, Chaniago, Niliong, Melayu dan
Domo. Semua suku yang 6 ini melarang menikah dengan
sesuku. Berarti hanya ada 5 suku yang bisa dijadikan untuk
mencari Istri ataupun suami, kecuali suku Piliang.
Nikah Sasotio (Sumpah Setia) juga dilarang di desa
Sibiruang, maksudnya yaitu suku yang sejak dahulu atau sejak
nenek moyangnya melakukan sumpah, bahwa keturunan
mereka tidak diperbolehkan untuk menikah. Suku Piliang dan
suku Chaniago pernah melakukan sumpah Sasotio yang
menyebabkan kedua suku ini tidak diperbolehkan untuk
menikah. Jadi, suku Piliang dan Chaniago hanya memiliki 4
suku untuk dijadikan calon untuk menikah. Piliang hanya

32
Bulan Hijriyah
33
Bulan Syawal, Zulkaedah dan 10 hari pada bulan Zulhijjar dilarang oleh adat
istiadat desa Sibiruang untuk melangsungkan perkawinan.
98

boleh menikah dengan suku Domo, Niliong, Pitopang dan


Melayu, begitu juga dengan suku Chaniago.
Selanjutnya larangan memadu dua perempuan sesuku
merupakan larangan yang mana seorang laki-laki
dilarangannya untuk mengumpulkan dua perempuan yang
memiliki suku yang sama dalam satu perkawinan. Larangan
perkawinan ini menyebabkan bahwa seorang suami apabila
ingin berpoligami maka harus mencari istri yang kedua beda
sukunya dengan istri pertama. Implikasinya terhadap seseorang
yang ingin berpoligami yaitu berkurangnya calon yang ingin
dijadikan istri kedua, misalnya istri pertama sukunya Domo,
maka suaminya tidak boleh berpoligami dengan wanita yang
bersuku Domo, maka dia harus mencari selain Domo.
3. Masyarakat Menjadi lebih Hati-hati dalam Memilih Waktu
Melangsungkan Perkawinan
Mitos di desa Sibiruang sangat dipercaya oleh masyarakat
setempat, mereka sangat takut apabila melanggar ketentuan
atau larangan adat istiadat, karena bisa berdampak terhadap
kehidupan mereka. Dengan ketakutan ini mereka sangat
berhati-hati dalam bertindak dalam sehari –hari. Khusunya
dalam masalah perkawinan, mereka akan mencari hari yang
baik untuk menikah, hari yang baik dapat menentukan
keutuhan rumah tangga bahkan akan berdampak kepada anak
keturunan nantinya.

Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, dengan


sakralnya ini semua manusia yang ingin menikah akan berhati-
hati dalam menetukan calon pasangannya. Begitu juga dengan
masyarakat yang ada di desa Sibiruang, mereka akan berhati-
hati dalam menentukan calon mereka. Yang paling utama di
dalam adat istiadat masyarakat calon suami maupun calon istri
apakah sukunya sama dengan dia atau suku calonya memiliki
sumpah Sasotio, kalau sudah dilihat sukunya tidak sama
sumpah Sasotio tidak ada, maka barulah bisa untuk
melanjutkan ketahap selanjutnya. Tapi, kalau memiliki suku
99

yang sama, maka tidak akan bisa dilanjutkan untuk tahap


selanjutnya, karena kedua belah pihak takut terhadap Biso
Kowi. Penilaian yang lain yang harus dipenuhi adalah calon
tersebut harus maadok kamudiok (orang yang rajin menghadap
kiblat/sholat).

4. Masyarakat tidak mau menikah di waktu yang dilarang oleh


adat
Perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW,
setiap insan pasti ingin menikah, karena dengan menikah
pandangan akan terjaga. Di dalam Islam ada waktu-waktu
yang tidak diberbolehkan melangsungkan perkawinan,
misalnya saja ketika dalam keadaan Ihram, dalam masa iddah
dan lain sebagainya. Begitu juga dengan adat istiadat
masyarakat desa Sibiruang, memiliki waktu yang tidak
diperbolehkan oleh adat istiadat untuk melangsungkan
perkawinan. Misalnya di antara dua khotbah Idulfitri dan
khotbah Iduladha, nikah sesuku, nikah Sasotio, memadu dua
perempuan sesuku, dan menikah ketika bulan turun. Pada
waktu itu sangat dihindari oleh masyarakat untuk menikah,
karena takut akan mitos yang terjadi ketika melanggar larangan
perkawinan tersebut.

Masyarakat desa Sibiruang sangat taat kepada peraturan


adat istiadat yang telah turun temurun mereka terimah dari
nenek moyang. Kalau tidak di taati peraturan adat istiadat
maka akan ada dampak terhadap kehidupan mereka. Jadi,
masyarakat takut akan melanggar peraturan tersebut, supaya
biso kowi tidak menimpah mereka. Apalagi masalah
perkawinan, sebelum menikah masyarakat biasanya akan
memilih waktu yang tidak bertentangan dengan adat istiadat
setempat.

Waktu-waktu yang dilarang melangsungkan perkawinan


oleh adat istiadat tersebut, tidak akan dilanggar oleh
masyarakat. Dan pemuka adatpun akan melarang kalau ada
100

yang melangsungkan perkawinan pada waktu yang dilarang.


Hukum adat yang telah ada, untuk ditaati oleh setiap
masyarakat adat yang ada di desa Sibiruang.

Berdasarkan beberapa peristiwa di atas dan juga kepercayaan-


kepercayaan atau mitos-mitos yang dipercaya oleh masyarakat desa
Sibiruang sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Umar Junus di
dalam bukunya Mitos dan Komunikasi ia mengatakan bahwa
hubungan antara mitos dan realitas itu sangat dekat, bergantung pada
cara pandang seseorang. Beliau juga menambahkan bahwa mustahil
ada kehidupan tanpa mitos. Keberanian atau ketakutan ditentukan
oleh mitos-mitos yang kita hidupi.34

B. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam Terhadap Mitologi


dalam Perkawinan Adat Masyarakat Desa Sibiruang
Di sini akan memberikan analisis dari sudut pandang hukum
Islam terhadap mitologi dalam perkawinan adat masyarakat desa
Sibiruang. Perlu diketahui bahwa analisis ini di dasarkan pada
teori adat istiadat, dimana suatu peristiwa yang hidup dan
berkembang di tengah masyarakat sekurang-kurangnya dapat
diukur melalui dua sisi. 1) kesesuainnya dengan ketentuan
syariat Islam yang bermuara kepada Al-Qur‟ân dan Sunnah
Nabi. 2) kesesuain dengan kemashalatan yang mengacu kepada
manfaat dan mudharat yang ditimbulkan oleh mitologi dalam
perkawinan adat tersebut. Inilah yang akan menilai bahwa adat
istiadat itu baik atau buruknya.
Islam merupakan agama yang sempurna, di dalamnya semua
hal mengenai kehidupan diatur, mulai dari hal yang terkecil
sampai sesuatu yang besar. Ini bertujuan untuk mendatangkan
maslahah dan menghindari mudharat yang biasa disebut dengan
maqasid syariah.
Di dalam kehidupan masyarakat desa Sibiruang Kecamatan
Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar, adat istiadat merupakan

34
Umar Junus, Mitos..., hlm. 90.
101

norma-norma dan peraturan yang harus diikuti oleh masyarakat


setempat meskipun pada intinya adat istiadat itu tidak tertulis
tetapi terdapat terhadap simbol budaya. Adat istiadat yang telah
berkembang di desa Sibiruang tersebut mengandung prinsip-
prinsip yang berdasarkan pemikiran-pemikiran manusia yang
telah berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi, suatu
generasi yang mengikuti aturan adat istiadat tersebut
menganggap itulah yang baik dalam mengatur kehidupan
masyarakat dan itulah yang dilakukan oleh nenek moyang
mereka sebelumnya.
Aturan yang terdapat di dalam adat istiadat dianggap baik
oleh agama adalah apabila di dalam adat istiadat tersebut
terdapat unsur maslahat dan tidak ada di dalamnya unsur
mudharat, demikian juga sesuatu yang dianggap tidak baik bila
di dalamnya terdapat atau mengandung unsur tidak baik atau
mudharat.
Unsur manfaat dan mudharat inilah yang dijadikan dasar
pertimbangan dalam menyelesaikan suatu adat, artinya suatu
yang biasa dilakukan oleh masyarakat dan telah menyerap dalam
kehidupan sehari-hari. Manfaat karena suatu yang dianggap baik
oleh umat secara menyeluruh adalah baik juga menurut
pandangan Allah SWT, adat istiadat seperti inilah yang dapat
dijadikan sumber hukum.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa mitos-
mitos yang menjadi kepercayaan masyarakat desa Sibiruang
dalam perkawinan merupakan mitos-mitos yang telah dipercaya
oleh nenek moyang mereka. Kemudian diturunkan dari generasi
ke generasi , tanpa ada perubahan berarti terhadap mitos
tersebut, beberapa istilah yang digunakan oleh para ahli dalam
menjelaskan mitos terkait kepercayaan yang berada di tengah
masyarakat seperti istilah penggunaan kalimat kata khurafat
seperti yang didefenisikan oleh Rogayah binti Chek dan Zainora
Daud bahwa khurafat yang dikutip dari ensiklopedi Islam yaitu
cerita bohong, dongeng dan tahayyul atau sesuatu yang tidak
masuk akal. Semua kepercayaan, keyakinan atau kegiatan yang
102

tidak memiliki dasar atau bersumber dari ajaran agama tetapi


diyakini bahwa hal tersebut berasal dari agama.35kemudian ada
juga dengan istilah tahayyul. Tahayyul adalah kepercayaan
kepada yang ghoib, yang kepercayaan itu hanya di dasarkan
pada kecerdikan akal, bukan didasarkan kepada sumber Islam,
baik al-Qur‟ân maupun hadist.36
Berdasarkan pengertian di atas penulis memberikan analisa
bahwa tidak ada perbedaan secara konseptual dari pengertian
mitos, khurafat dan tahayyul, bila dicermati, tentang mitos-mitos
dalam perkawinan di desa Sibiruang, maka tidak sesuai dengan
hukum Islam, karena di dalam Islam tidak ada kepercayaan-
kepercayaan seperti yang di atas. Kemudian hukum Tahayyul di
dalam Islam adalah haram, karena akan berimplementasi
terhadap kenyakinan kepada Allah, dan bisa membuat orang
yang percaya kepada tahayyul menjadi syirik, ini terdapat di
dalam hadist nabi Muhammad SAW:
‫ ٍا مفارة‬,‫ قاى٘ا ٌا رس٘ه هللا‬,‫ فقذ أشرك‬,‫ٍِ ردتٔ اىطٍرة ٍِ حاجة‬
‫خٍر‬ ‫ال‬ ٌٖ‫اىي‬ :ٌٕ‫أحذ‬ ‫ٌق٘ه‬ ُ‫أ‬ :‫قاه‬ ‫رىل؟‬
37
)‫(رٗآ احَذ‬.‫ٗالإىٔ غٍرمز‬,‫ٗالطٍرإالخٍرك‬,‫إالخٍرك‬

Artinya:“Barangsiapa tidak melanjutkan aktivitas


kebutuhannya karena thiyarah (tahayul, beranggapan sial
karena melihat burung atau yang lainnya) maka sungguh
ia telah berbuat syirik.” Lalu para sahabat berkata: lalu
apa kafarah (tebusan/penghapus dosa)? Beliau menjawab:
hendaklah ia mengucapkan “ya Allah tidak ada kebaikan
kecuali kebaikan dari-Mu, tiadalah burung (kabar burung

35
Rogayah binti Chek dan Dainora Daud, “Doktrin Khurafat: Pemahaman
Menurut Perspektif Al-Qur‟ân dan Al-Hadist”, nternational Conference On
Aqidah, Dakwah and Syariah 2016, hlm. 946.
36
Sriputu rinjani, “Bid‟ah, Khurafat dan Tahayyul”, dikutip dari chingoo-
fib.blogspot.co.id/2015/04/aik-bidah-khurafat-dan-tahayul.html, diakses pada hari
Rabu tanggal 24 Januari 2018 jam 18.44 WIB.
37
Syaikh Syuaib al-Arnauth, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Juz 10, Cet. 1
(Beirut: Muassasah Risalah, 1992), hlm. 623.
103

yang menjadi objek tahayyul) melainkan dari-Mu, dan


tidak ada tuhan selain-Mu (HR. Ahmad).

Berdasarkan uraian hadist di atas, menurut pendapat penulis


bahwa tahayyul, khurafat maupun mitos itu tidak diperbolehkan
di dalam Islam, sesuatu yang dilarang adalah haram, sesuai
dengan kaedah ushulnya asal pada larangan itu adalah haram
(ً‫) االطو فً اىًْٖ ىيتحر‬38, dimana tahayyul yang membuat
masyarakat percaya terhadapnya dan tidak percaya lagi terhadap
apa yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT.
Terjadinya sesuatu di dalam rumah tangga atau di dalam
kehidupan sehari-hari dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia meliputi
kebaikan maupun keburukan merupakan takdir dari Allah SWT.
dengan Firman-N ya :

            

           

Artinya: katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu


dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu
atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-
orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka
pelindung dan penolong selain Allah ( QS. al Ahzab : 17
).39

Kemudian dengan adanya mitos tersebut masyarakat desa


Sibiruang tidak mau menikahkan anaknya di waktu yang
dilarang dengan mitos yang dipercayai tersebut. Miksalnya saja
di antara dua khotbah Idulfitri dan khotbah Iduladha atau dari
tanggal 1 Syawal setelah khotbah Idulfitri sampai dengan

38
Nasrun Harun, Uṣul..., hlm. 4.
39
Tim Penerjemah al-Qur‟ân UII, Qur’ân...,hlm. 746.
104

tanggal 10 Zulkaedah sebelum khotbah Iduladha. Karena takut


akan bencana atau musibah yang akan menimpah
perkawinannya. Ini jelas sesuai dengan apa yang telah dilakukan
oleh orang-orang Jahiliah yaitu mengharamkan untuk menikah
pada bulan Syawal. Padahal Raulullah SAW menikah dengan
Aisyah pada bulan Syawal, ini merupakan Sunnah dari Nabi
Muhammad SAW. Hadist Nabi SAW:
‫رس٘ه هللا طيى هللا ػئٍ ٗسيٌ فً ش٘اه ٗبْى بً فً ش٘اه فأي ّساء‬
‫رس٘ه هللا طيى هللا ػئٍ ٗسيٌ ماُ أحظى ػْذٓ ٍْى قاه ٗماّت‬
)ٌ‫(رٗآ ٍسي‬.‫ػائشة تستجب أُ تذخو ّساءٕا فً ش٘اه‬

Artinya: “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam


menikahiku pada bulan Syawal, tinggal bersamaku pada
bulan syawal. Isteri Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam mana yang lebih beruntung dariku. Dia berkata
“Aisyah menganjurkan beliau untuk menemui isteri-
isterinya pada bulan syawal.” (HR. Muslim).40

Ditinjau menurut hukum Islam mitos yang berkaitan dengan


larangan menikah di antara dua khotbah ini tidak sesuai dengan
hukum syara‟, karena pada dasarnya pada waktu itu halal
mereka untuk menikah. Dengan demikian ketentuan adat istiadat
yang melarang menikah di antara dua khotbah telah
mengharamkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan syara‟,
sebagai mana firman Allah surat al-Maidah ayat 87 yang
berbunyi:

          

      


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan

40
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih..., hlm. 731.
105

bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.


Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.”(QS. al-Maidah; 87).41

Selain itu dengan adanya mitos dalam perkawinan ini


membuat terbatasnya waktu pelaksaan nikah dan berkurangnya
calon yang ingin dinikahi di desa Sibiruang, hal ini tentu
menimbulkan kesulitan bagi masyarakat desa Sibiruang untuk
melangsungkan perkawinan dikarenakan adanya mitos yang
tidak baik dan ditakutkan tertimpa oleh biso kowi karena telah
melanggar adat, sedangkan dalam kaidah fiqh dijelaskan bahwa
segala sesuatu yang menyulitan itu harus dihilangkan, hal ini
sesuai dengan kaidah:
‫اىضر ر ٌزاه‬
Artinya: “kemudharatan itu harus dihilangkan”. 42

Kemudian ada kaidah-kaidah yang berkaitan dengan


kemudharatan yang mana kesemuanya menjelaskan bahwa
kemudharatannya itu harus dihilangkan, karena kemudharatan
dapat menyulitkan bukan untuk memudahkan dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari. Adapun kaidah-kaidahnya:
ًّّ ‫اىض ََّر ُر الَ ٌُزَ ا ُه باِىض ََّر ِر َس َ٘ا ٌء ماََُ ػأ َ ًٍّّاأَْٗ خَ ا‬
‫طا‬
Artinya: “Mudarat tidak dapat dihilangkan oleh mudarat
lainnya baik yang bersifat umum maupun terbatas”.
ًِّ ‫ٌَت ََح ََّ ُو اىض ََّر ُر ْاىخَ اصِّ ِالَجْ ِو َد ْف ِغ اىض ََّر ِر ْاى َؼا‬
Artinya: “Mudarat yang bersifat terbatas harus ditanggung
demi mencegah mudarat yang bersifat umum”.
ُّ َ‫ٌَرْ تَ ِنبُ أ‬
ِِ ٌْ ‫خَف اىض ََّر َر‬
Artinya: “Diambil mudarat yang lebih ringan di antara dua
mudarat”.
‫ح‬ َ ََ ‫ب ْاى‬
ِ ِ‫ظاى‬ ِ ‫اس ِذ ٍُقَ َّذ ًٌ َػيَى َج ْي‬
ِ َ‫َدرْ ُء ْاى ََف‬

41
Tim Penerjemah Al-Qur‟ân UII, Qur’ân...,hlm. 213.
42
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fikhiyah, Cet. 3, (Jakarta: PT.
Raja Grapindo Persada, 1999), hlm.132.
106

Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada


menarik kemashalatan”.
َّ ‫َت أَْٗ خَ ا‬
ًّ‫طة‬ َ ‫اَ ْى َح‬
َّ ‫اجةُ تَ ْْ ِز ُه ٍَ ْْ ِزىَةَ اى‬
ْ ّ‫ضرُْٗ َر ِة ػَا ٍَّةًّ َما‬
Artinya: “Kebutuhan dapat menempati posisi darurat, baik
yang bersifat umum maupun khusus”.43
Istilah tradisi di dalam Islam dikenal dengan nama ‘urf .
Secara etimologi ‘urf berarti baik.44 Sedangkan secara
terminology ‘urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh
manusia dan mereka telah menjalankannya (sebagai kebiasaan),
baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau
45
meningggalkannya.
Menurut Abdul karim Zaidan, istilah ‘urf berarti:
‫ٍا أىفٔ اىَجتَغ ٗاػتادٓ ٗسار ػئٍ فً حٍاتٔ ٍِ ق٘ه أٗ فؼو‬
Artinya: “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat
karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan
kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun
perkataan”.46
Mengenai adat yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat
antara lain yaitu:
1. Tidak bertentangan dengan nash baik Alqur‟an maupun
as-Sunnah.
2. Tidak menyebabkan kemudharatan dan tidak
menghilangkan kemashalatan termasuk memberi
kesempitan dan kesulitan.
3. Telah berlaku pada umumnya kepada kaum muslimin,
dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh
beberapa orang Islam saja.
4. Tidak berlaku di dalam masalah Ibadah Mahdlah.47

43
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qowa’id
Fiqhiyyah,alih bahasa Wahyu Setiawan, Qowa‟id Fiqhiyyah, Cet. 1 (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 20-21.
44
Nasrun Haroen, Uṣul...,hlm. 137.
45
Hamdani, Uṣul...,hlm. 235.
46
Satria Effendi, M. Zein, Uṣul...,hlm. 153.
47
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus...,hlm. 335-336.
107

Singkatnya menurut Mahmassani bahwa adat yang kebiasaan


yang dapat diterimah dan di ambil menjadi hukum Islam adalah
adat kebiasaan yang sesuai dengan dalil-dalil syara‟. Sebaliknya
adat kebiasaan yang bertentangan dengan syara‟ atau tujuan
syariat maka itu ditolak.48

Menurut Imam Malik ‘urf terbagi kepada 2 yaitu:

1. ‘Urf yang diakui dan ditetapkan tidak akan berubah


dengan perubahan masa dan tempat. Yaitu ‘urf yang
merupakan fitra manusia dan tabiat manusia. Seperti :
makan, minum, tidur dan sebagainya.
2. ‘Urf yang dapat berubah dengan perubahan masa dan
tempat.
Pandangan Imam Malik di atas, menunjukkan bahwa ‘urf
bukanlah sesuatu hal yang terdogma dan tidak dapat berubah
seiring dengan perubahan zaman, tempat dan kebudayaan. Dari
segi keabsahannya dalam pandangan syara‟, ‘urf terbagi kepada
dua macam, yaitu:
a. Al-urf al-ṣaḥîḥ adalah adat yang berulang-ulang
dilakukan, diterimah oleh orang banyak, tidak
bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya
yang luhur. Yang tidak menghilangkan kemashalatan
mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada
mereka.
b. Al-urf al-fasid adalah adat yang berlaku disuatu tempat
meskipun merata pelaksaannya, namun bertentangan
dengan agama, undang-undang Negara dan sopan
santun.49

Para ulama fiqh sepakat bahwa al-‘urf al-ṣaḥîḥ, adalah ‘urf


yang tidak bertentangan dengan syara‟ dan dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum syara‟. Sebaliknya al-‘urf al-
48
Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyrî’ fî al-Islâm, alih bahasa oleh Hmad
Sudjono, Cet. 1, (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1976), hlm. 264.
49
Amir Syarifuddin, Ushul...,hlm. 392.
108

fasid tidak boleh dijadikan hujjah dalam menjalankan hukum


syara‟.

Kehujjahan al-‘urf al-ṣaḥîḥ ini, ditetapkan oleh ulama usul


fiqh dalam kaidah fiqhiyah:

َٔ‫اىؼادة ٍحن‬
Artinya; “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

‫اىثابت باىؼرف ماىثابت باىْض‬


Artinya: “Yang berlaku berdasarkan „Urf seperti berlaku
berdasarkan nash”.

ٍٔ‫مو ٍا ٗردبٔ اىشرع ٍطيقا ٗال ضابظ ىٔ فٍٔ ٗال فً اىيغة ٌرجغ ف‬
‫إىى اىؼرف‬
Artinya: “Semua ketentuan syara‟ yang bersifat mutlak, dan
tidak ada pembatasan di dalamnya, bahkan juga tidak ada
pembatasan dari segi kebahasaan, maka berlakuannya
dirujukkan kepada „Urf”.50

ً‫اىثابت باىؼرف ثابت بذىٍيشرػ‬


Artinya: “Yang berlaku berdasarkan „Urf seperti berlaku
berdasarkan dalil Syara‟.51

Berpijak dari pandangan di atas, kemudian dihubungkan


dengan mitos-mitos dalam perkawinan adat masyarakat desa
Sibiruang dapat disimpulkan, bahwa mitos-mitos perkawinan
yang ada pada adat masyarakat desa Sibiruang Kecamatan Koto
Kampar Hulu Kabupaten Kampar adalah termasuk ke dalam Al-
urf al-fasid, karena adat tersebut tidak sesuai dengan ruh ajaran
Islam yang menghendaki kemudahan bukan kesulitan yang

50
Athiyyah „Adlaan „Athiyyah Ramadhan, Mawsu’ah...,hlm. 67.
51
Abd. Rahman Dahlan, Usul ...,hlm. 213.
109

diakibatkan oleh mitos tersebut bagi penganutnya. Disamping


itu, mitologi dalam adat perkawinan ini menimbulkan
kemudharatan serta mengakibatkan kepicikan dalam hukum
Islam dan adat ini dibangun tidak berdasarkan hujjah yang
sesuai dengan hukum Islam hanya berdasarkan kepada pendapat
dan pemahaman nenek moyang semata.52

Allah menjadikan agama bukanlah untuk membuat manusia


menjadi sulit, sebagaimana firmannya dalam surat Al-Haj ayat
78:

      

Artinya: “dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam


agama suatu kesempitan(QS.Al-Hajj; 78).53

52
M. Hasbi Al Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, Cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), hlm. 73.
53
Tim Penerjemah Al-Qur‟ân UII, Qur’ân...,hlm. 602.

Anda mungkin juga menyukai