Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pelayanan informasi obat merupakan suatu tindakan untuk pemberian jasa
informasi obat dengan tepat atau obyektif yang berkaitan dengan penyembuhan pasien.
Maka jasa informasi obat sangatlah krusial dalam usaha untuk menopang kebiasaan
penanganan atau pemakaian obat dengan baik. Pemberian informasi obat benar-benar
dibutuhkan, dimana cukup besar penderita yang tidak memperoleh informasi obat secara
lengkap mengenai obat yang dipakainya, karena pemakaian obat yang kurang baik dan
dapat berbahaya bagi penggunanya. Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat
merendah dampak dari ketidak disiplinan berkenaan rencana perawatan.
Sistem informasi obat sering dianggap sebagai bagian integral dari pelayanan
farmasi yang harus dikelola oleh seorang apoteker sebagai salah satu peran anggota tim
kesehatan, informasi obat sangat penting untuk keberhasilan operasi dari sistem
pelayanan kesehatan. Ide melibatkan apoteker dalam proses pengambilan keputusan
perawatan yang optimal berasal dari konsep informasi obat. Terutama berlaku di rumah
sakit tersebut atau masyarakat yang secara teratur memberikan informasi obat kepada
pasien selama konseling.
Pelayanan informasi obat yang akurat dan tepat waktu kepada para profesional
perawatan kesehatan merupakan mekanisme penting untuk menginformasikan tentang
keamanan dan keefektifan terapi obat kepada pasien, tetapi pelayanan tersebut sangat
kurang di Negara India. Peran apoteker klinis adalah memberikan informasi dengan baik
untuk penyediaan layanan kesehatan untuk perawatan pasien yang lebih baik. Seorang
apoteker memberikan pelayanan klinis mengenai informasi obat merupakan bagian
penting dari kegiatan praktik kefarmasian yang rutin memberikan informasi obat dan
evaluasi keterampilan yang efektif merupakan peran utamanya.

1.2. Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah yaitu:
Apakah penyampaian rincian informasi obat kepada pasien di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat telah sesuai
dengan prosedur Rumah Sakit dan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
No.72 tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pelayanan informasi
obat kepada pasien di Instalasi Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa
Barat.

1.3.2. Tujuan Khusus


Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi keutuhan informasi obat yang diberikan apoteker kepada
pasien di bagian Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat.
2. Mengidentifikasi permasalahan yang ditemukan dalam melakukan suatu
pelayanan kefarmasian di Instalasi Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi,
Jawa Barat.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Teoritis
Diharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan acuan atau rujukan untuk
menetapkan kebijakan dalam kinerja pengelolaan obat kepada pasien di Instalasi
Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat.

1.4.2. Manfaat Praktis


Penelitian ini dapat dijadikan sebagai petunjuk atau pertimbangan dalam
meningkatkan mutu pelayanan penyediaan obat yang dilaksanakan di Instalasi
Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pelayanan Informasi Obat


Kemenkes no 1197 tahun 2004 BAB VI mendefinisikan PIO sebagai kegiatan
pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak
bias, dan terkini baik kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan
pasien. Kegiatan yang dilakukan dalam PIO dapat berupa:
1. Pemberian informasi kepada konsumen secara aktif maupun pasif melalui surat,
telfon, atau tatap muka
2. Pembuatan leaflet, brosur, maupun poster terkait informasi kesehatan
3. Memberikan informasi pada Panitia Farmasi Terapi (PFT) dalam penyususnan
formularium Rumah Sakit
4. Penyuluhan
5. Penelitian
Informasi yang diberikan pada pasien dapat berupa waktu penggunaan, lama
penggunaan, cara penggunaan obat yang benar, efek yang timbul dari pengobatan, cara
penyimpanan obat, serta informasi penting lainnya seperti efek samping, interaksi obat,
kontra indikasi, atau kondisi tertentu seperti hamil dan menyusui.
Keputusan Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan No HK.00.DJ.II.924
menuliskan prosedur tetap dalam PIO:
1. Menyediakan dan memasang spanduk, poster, booklet, leaflet yang berisi informasi
obat pada tempat yang mudah dilihat oleh pasien.
2. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak langsung
dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan bijaksana melalui
penelusuran literatur secara sistematis untuk memberikan informasi yang dibutuhkan.
3. Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat secara sistematis.

2.2. Sumber Informasi Obat


Sumber informasi obat adalah Buku Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite
Obat Indonesia (ISO), Informasi Obat Nasianal Indonesia (IONI), Farmakologi dan
Terapi, serta buku-buku lainnya. Informasi obat juga dapat diperoleh dari setiap kemasan
atau brosur obat yang berisi:
1. Nama dagang obat jadi
2. Komposisi
3. Bobot, isi atau jumlah tiap wadah
4. Dosis pemakaian
5. Cara pemakaian
6. Khasiat atau kegunaan
7. Kontra indikasi (bila ada)
8. Tanggal kadaluarsa
9. Nomor ijin edar/nomor regristasi
10. Nomor kode produksi
11. Nama dan alamat industry

Sumber informasi obat mencakup dokumen, fasilitas, lembaga, dan manusia.


Dokumen mencakup pustaka farmasi dan kedokteran, terdiri atas majalaj ilmiah, buku
teks, laporan penelitian, dan farmakope. Fasilitas mencakup fasilitas ruangan, peralatan,
computer, internet, perpustakaan dan lain-lain. Lembaga mencakup industri farmasi,
Badan POM, pusat informasi obat, pendidikan tinggi farmasi, organisasi profesi dokter
dan apoteker. Manusia mencakup dokter, dokter gigi, perawat, apoteker, dan profesional
kesehatan lainnya di rumah sakit. Apoteker yang mengadakan pelayanan informasi obat
harus mempelajari juga cara terbaik menggunakan berbagai sumber tersebut. Pustaka
obat digolongkan dalam empat kategori, yaitu:
1. Pustaka primer
Sumber pustaka primer adalah artikel orisinil yang dipublikasikan atau yang
tidak dipublikasikan penulis atau peneliti, yang memperkenalkan pengetahuan baru
atau peningkatan pengetahuan yang telah ada tentang suatu persoalan. Sumber
pustaka primer ini termasuk hasil penelitian, laporan kasus, juga studi evaluatif, dan
laporan deskriptif. Pustaka primer memberikan dasar untuk pustaka sekunder dan
tersier. Artikel dalam majalah ilmiah adalah yang paling sering disebut sebagai
contoh sumber pustaka primer, walaupun semua artikel dalam majalah ilmiah bukan
merupakan sumber pustaka primer. Contoh pustaka primer lain termasuk prosiding
seminar, buku catatan laboratorium, korespondensi, seperti surat dan memo, tesis,
disertasi, dan laporan teknis (Siregar dan Lia, 2003).
Sumber pustaka primer memberikan informasi paling mutakhir tentang pokok
tertentu pada waktu tertentu karena karya itu merupakan refleksi pengamatan penulis
saja, hasilnya tidak diinterpretasikan. Keterbatasan utama dari sumber pustaka primer
adalah ketidakpraktisan. Dalam pustaka primer, seseorang tidak dapat secara efisien
mencari informasi khusus, kecuali orang itu memiliki pengetahuan yang dalam
tentang organisasi dan jenis pustaka. Dalam banyak situasi, apoteker harus menelusur
kembali pustaka primer untuk menjawab suatu pertanyaan spesifik penderita.
Kemampuan dalam hal penelusuran kembali dan interpretasi pustaka primer
memerlukan pengalaman melalui praktik yang terus-menerus. Satu cara agar apoteker
terbuka kepada pustaka primer adalah membaca sendiri. Semua apoteker harus
memenuhi suatu komitmen profesional, yaitu tetap mutakhir. Salah satu mekanisme
untuk untuk mencapai hal tersebut adalah membaca majalah ilmiah secara tetap. Ada
dua contoh pertanyaan informasi obat tertentu yang sering timbul di rumah sakit,
yaitu tentang penggunaan obat baru dari obat yang dipasarkan atau obat yang baru-
baru ini dilaporkan menimbulkan efek merugikan. Penggunaan pustaka primer sering
kali perlu untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut (Siregar dan Lia, 2003). Contoh
beberapa sumber informasi primer: Annals of Pharmacotherapy, British Medical
Journal, Journal of American Medical Association (JAMA), Journal of Pediatrics,
New England Journal of Medicine (Siregar dan Endang, 2006)
2. Pustaka sekunder
Pustaka sekunder memuat berbagi abstrak, yang merupakan sistem
penelusuran kembali untuk pustaka primer dan digunakan untuk menemukan artikel
pustaka primer. Informasi yang diperoleh dari pustaka sekunder tersendiri jarang
digunakan untuk keputusan klinik. Dengan pustaka sekunder, memungkinkan
paoteker memasuki multi sumber informasi secara cepat dan efisien. Informasi dalam
pustaka sekunder dikatagorikan atau diindekskan dan diabstrak dari sumber pustaka
primer. Dalam tahun-tahun akhir ini, sumber ini terutama telah dapat diperoleh
melalui penelusuran komputer. Sumber informasi sekunder adalah rumit dan sering
memerlukan pelatihan tambahan untuk penggunaannya (Siregar dan Lia, 2003).
Contoh beberapa sumber informasi sekunder: Inpharma, International Pharmaceutical
Abstract (IPA), Medline, Pharmline (Kurniawan dan Chabib, 2010)
3. Pustaka tersier
Pustaka tersier biasanya dikaitkan dengan buku teks atau acuan umum.
Sumber ini menyoroti data yang diterima secara luas dari pustaka primer;
mengevaluasi informasi ini dan menerbitkan hasilnya. Sumber pustaka tersier
termasuk buku teks atau “data base”, kajian artikel, kompendia, dan pedoman praktis.
Sumber pustaka tersier adalah acuan pustaka yang paling umum digunakan, mudah
dimasuki, dan biasanya dapat memenuhi kebanyakan permintaan informasi obat
spesifik penderita. Lagipula, sumber tersier memberikan informasi yang disusun dan
dievaluasi dari acuan pustaka yang banyak dan dinyatakan dalam suatu cara yang
praktis. Karena banyak ahli memberi kontribusi pada sumber ini, penggunaan dan
interpretasi informasi diperkaya (Siregar dan Lia, 2003).
Keterbatasan utama dari pustaka tersier adalah ketinggalan waktu beberapa
bulan bahkan sampai mungkin beberapa tahun. Apabila informasi atau pandangan
paling mutakhir dibutuhkan, diperlukan sumber pustaka sekunder dan primer. Seoran
penulis mempunyai hak prerogative untuk memasukkan atau mengeluarkan informasi
sehingga tidak semua bagian dari pustaka primer perlu menjadi bagian dari pustaka
tersier. Informasi dalam sumber pustaka tersier mencerminkan pandangan dari
penulis yang dapat menghasilkan salah interpretasi dari pustaka primer, dan melalui
ketidaksetujuan (Siregar dan Lia, 2003). Contoh beberapa sumber informasi tersier:
Textbook of Advers Reactions, Drug Information full text, Handbook of Clinical
Drug Data, Drug Facts and Comparison, dan AHFS DI (Siregar dan Endang, 2006).
Pada umumnya, sumber pustaka primer mengandung informasi yang paling
mutakhir, sedang pustaka sekunder dan tersier karena mengandung abstrak dan acuan
dari sumber primer, mempunyai informasi yang kurang mutakhir. Sumber pustaka
sekunder dan tersier, kemungkinan kurang akurat atau kurang dapat dipercaya karena
informasi dalam kedua sumber tersebut dibuat melalui transformasi oleh berbagai
penulis dan / atau penerbit, guna mencapai format yang diperlukan (Siregar dan Lia,
2003).
4. Sumber lain
Sumber informasi lain mencakup sumber yang tidak termasuk kategori
pustaka primer, sekunder, atau tersier; misalnya, komunikasi dengan tenaga ahli,
manufaktur, dan brosur penelitian. Komunikasi tenaga ahli terdiri atas informasi yang
tidak dipublikasikan yang diperoleh khusus dari seorang tenaga ahli. Komunikasi ini
dapat merupakan suatu pendapat didasarkan pada pengalaman tenaga ahli tersebut
atau berdasarkan data dari suatu studi evaluatif pendahuluan yang dipublikasikan
(Siregar dan Lia, 2003).
Brosur penelitili, kadang-kadang berhubungan dengan suatu monografi
penelitian, adalah informasi tentang obat investigasi. Industri farmasi tidak
diperkenankan memberikan informasi umum tentang obat investigasi, tetapi mereka
dapat memberikan monografi tentang zat aktif individu kepada peneliti yang
melakukan penelitian tentang zat itu. Brosur ini mengandung sejumlah besar
informasi tentang produk mencakup farmakologi, farmakokinetik, efek klinis yang
diketahui, kejadian merugikan yang diketahui, dosis yang direkomendasikan,
prosedur pemberian, persyaratan penyimpanan, stabilitas dan pustaka (Siregar dan
Endang, 2006).

2.3. Metode Pelayanan Informasi Obat


1. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.
2. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar iam
kerja dilayani oleh apoteker instalasi farmasi
3. yang sedang tugas jaga.
4. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada
pelayanan informasi obat diluar jam kerja.
5. Tidak ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun diluar jam kerja.
6. Tidak ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi di jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar jam kerja.
(Direktorat jendral pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan departemen kesehatan
RI : 2006)

2.4. Tujuan Dan Prioritas Pelayanan Informasi Obat


2.4.1. Tujuan Pelayanan Informasi Obat
1. Mendorong penggunaan obat secara:
a. Efektif
Efektif yaitu tercapainya tujuan terapi secara optimal, termasuk
juga efektivitas biaya, yang ditandai dengan keluaran positif lebih besar
dari pada keluaran negatif.
b. Aman
Aman berarti bahwa efek obat yang merugikan dapat
diminimalkan dan tidak membahayakan pasien.
c. Rasional
Rasional yaitu bahwa pengobatan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, sehingga dengan adanya pelaksanaan pelayanan informasi
obat diharapkan obat yang diberikan kepada pasien dapat memenuhi
kriteria, yaitu tepat pasien, tepat dosis, tepat rute pemberian, dan tepat cara
penggunaan.
2. Memberikan pelayanan terhadap kebutuhan informasi obat untuk setiap sektor
profesi tenaga kesehatan dan berkontribusi aktif dalam pertumbuhan
komunitas masyarakat yang membutuhkan informasi obat.

2.4.2. Prioritas Pelayanan Informasi Obat


Sasaran utama pelayanan informasi obat adalah penyempurnaan
perawatan pasien melalui terapi obat yang rasional. Oleh karena itu, prioritas
harus diberikan kepada permintaan informasi obat yang paling memoengaruhi
secara langsung pada perawatan pasien. prioritas untuk permintaan informasi obat
diurutkan sebagai berikut:
1. Penanganan/pengobatan darurat pasien dalam situasi hidup atau mati
2. Pengobatan pasien rawat tinggal dengan masalah terapi obat khusus
3. Pengobatan pasien ambulatori dengan masalah terapi obat khusus
4. Bantuan kepada staf profesiional kesehatan untuk penyelaesaian tanggung
jawab mereka
5. Keperluan dari berbagai fungsi PFT
6. Berbagai proyek penelitian yang melibatkan penggunaan obat.

2.5. FUNGSI-FUNGSI PELAYANAN INFORMASI OBAT


2.6. SASARAN INFORMASI OBAT
2.7. KATEGORI PELAYANAN INFORMASI OBAT
BAB III

METODE PENELITIAN
BAB IV

PEMBAHASAN
BAB V

KESMPULAN DAN SARAN


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai