Pelayanan informasi obat merupakan suatu tindakan untuk pemberian jasa informasi obat dengan tepat atau obyektif yang berkaitan dengan penyembuhan pasien. Maka jasa informasi obat sangatlah krusial dalam usaha untuk menopang kebiasaan penanganan atau pemakaian obat dengan baik. Pemberian informasi obat benar-benar dibutuhkan, dimana cukup besar penderita yang tidak memperoleh informasi obat secara lengkap mengenai obat yang dipakainya, karena pemakaian obat yang kurang baik dan dapat berbahaya bagi penggunanya. Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat merendah dampak dari ketidak disiplinan berkenaan rencana perawatan. Sistem informasi obat sering dianggap sebagai bagian integral dari pelayanan farmasi yang harus dikelola oleh seorang apoteker sebagai salah satu peran anggota tim kesehatan, informasi obat sangat penting untuk keberhasilan operasi dari sistem pelayanan kesehatan. Ide melibatkan apoteker dalam proses pengambilan keputusan perawatan yang optimal berasal dari konsep informasi obat. Terutama berlaku di rumah sakit tersebut atau masyarakat yang secara teratur memberikan informasi obat kepada pasien selama konseling. Pelayanan informasi obat yang akurat dan tepat waktu kepada para profesional perawatan kesehatan merupakan mekanisme penting untuk menginformasikan tentang keamanan dan keefektifan terapi obat kepada pasien, tetapi pelayanan tersebut sangat kurang di Negara India. Peran apoteker klinis adalah memberikan informasi dengan baik untuk penyediaan layanan kesehatan untuk perawatan pasien yang lebih baik. Seorang apoteker memberikan pelayanan klinis mengenai informasi obat merupakan bagian penting dari kegiatan praktik kefarmasian yang rutin memberikan informasi obat dan evaluasi keterampilan yang efektif merupakan peran utamanya.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah yaitu: Apakah penyampaian rincian informasi obat kepada pasien di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat telah sesuai dengan prosedur Rumah Sakit dan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.72 tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pelayanan informasi obat kepada pasien di Instalasi Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat.
1.3.2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi keutuhan informasi obat yang diberikan apoteker kepada pasien di bagian Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat. 2. Mengidentifikasi permasalahan yang ditemukan dalam melakukan suatu pelayanan kefarmasian di Instalasi Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis Diharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan acuan atau rujukan untuk menetapkan kebijakan dalam kinerja pengelolaan obat kepada pasien di Instalasi Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai petunjuk atau pertimbangan dalam meningkatkan mutu pelayanan penyediaan obat yang dilaksanakan di Instalasi Farmasi RSUD Jampangkulon, Sukabumi, Jawa Barat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Pelayanan Informasi Obat
Kemenkes no 1197 tahun 2004 BAB VI mendefinisikan PIO sebagai kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini baik kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Kegiatan yang dilakukan dalam PIO dapat berupa: 1. Pemberian informasi kepada konsumen secara aktif maupun pasif melalui surat, telfon, atau tatap muka 2. Pembuatan leaflet, brosur, maupun poster terkait informasi kesehatan 3. Memberikan informasi pada Panitia Farmasi Terapi (PFT) dalam penyususnan formularium Rumah Sakit 4. Penyuluhan 5. Penelitian Informasi yang diberikan pada pasien dapat berupa waktu penggunaan, lama penggunaan, cara penggunaan obat yang benar, efek yang timbul dari pengobatan, cara penyimpanan obat, serta informasi penting lainnya seperti efek samping, interaksi obat, kontra indikasi, atau kondisi tertentu seperti hamil dan menyusui. Keputusan Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan No HK.00.DJ.II.924 menuliskan prosedur tetap dalam PIO: 1. Menyediakan dan memasang spanduk, poster, booklet, leaflet yang berisi informasi obat pada tempat yang mudah dilihat oleh pasien. 2. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak langsung dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan bijaksana melalui penelusuran literatur secara sistematis untuk memberikan informasi yang dibutuhkan. 3. Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat secara sistematis.
2.2. Sumber Informasi Obat
Sumber informasi obat adalah Buku Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), Informasi Obat Nasianal Indonesia (IONI), Farmakologi dan Terapi, serta buku-buku lainnya. Informasi obat juga dapat diperoleh dari setiap kemasan atau brosur obat yang berisi: 1. Nama dagang obat jadi 2. Komposisi 3. Bobot, isi atau jumlah tiap wadah 4. Dosis pemakaian 5. Cara pemakaian 6. Khasiat atau kegunaan 7. Kontra indikasi (bila ada) 8. Tanggal kadaluarsa 9. Nomor ijin edar/nomor regristasi 10. Nomor kode produksi 11. Nama dan alamat industry
Sumber informasi obat mencakup dokumen, fasilitas, lembaga, dan manusia.
Dokumen mencakup pustaka farmasi dan kedokteran, terdiri atas majalaj ilmiah, buku teks, laporan penelitian, dan farmakope. Fasilitas mencakup fasilitas ruangan, peralatan, computer, internet, perpustakaan dan lain-lain. Lembaga mencakup industri farmasi, Badan POM, pusat informasi obat, pendidikan tinggi farmasi, organisasi profesi dokter dan apoteker. Manusia mencakup dokter, dokter gigi, perawat, apoteker, dan profesional kesehatan lainnya di rumah sakit. Apoteker yang mengadakan pelayanan informasi obat harus mempelajari juga cara terbaik menggunakan berbagai sumber tersebut. Pustaka obat digolongkan dalam empat kategori, yaitu: 1. Pustaka primer Sumber pustaka primer adalah artikel orisinil yang dipublikasikan atau yang tidak dipublikasikan penulis atau peneliti, yang memperkenalkan pengetahuan baru atau peningkatan pengetahuan yang telah ada tentang suatu persoalan. Sumber pustaka primer ini termasuk hasil penelitian, laporan kasus, juga studi evaluatif, dan laporan deskriptif. Pustaka primer memberikan dasar untuk pustaka sekunder dan tersier. Artikel dalam majalah ilmiah adalah yang paling sering disebut sebagai contoh sumber pustaka primer, walaupun semua artikel dalam majalah ilmiah bukan merupakan sumber pustaka primer. Contoh pustaka primer lain termasuk prosiding seminar, buku catatan laboratorium, korespondensi, seperti surat dan memo, tesis, disertasi, dan laporan teknis (Siregar dan Lia, 2003). Sumber pustaka primer memberikan informasi paling mutakhir tentang pokok tertentu pada waktu tertentu karena karya itu merupakan refleksi pengamatan penulis saja, hasilnya tidak diinterpretasikan. Keterbatasan utama dari sumber pustaka primer adalah ketidakpraktisan. Dalam pustaka primer, seseorang tidak dapat secara efisien mencari informasi khusus, kecuali orang itu memiliki pengetahuan yang dalam tentang organisasi dan jenis pustaka. Dalam banyak situasi, apoteker harus menelusur kembali pustaka primer untuk menjawab suatu pertanyaan spesifik penderita. Kemampuan dalam hal penelusuran kembali dan interpretasi pustaka primer memerlukan pengalaman melalui praktik yang terus-menerus. Satu cara agar apoteker terbuka kepada pustaka primer adalah membaca sendiri. Semua apoteker harus memenuhi suatu komitmen profesional, yaitu tetap mutakhir. Salah satu mekanisme untuk untuk mencapai hal tersebut adalah membaca majalah ilmiah secara tetap. Ada dua contoh pertanyaan informasi obat tertentu yang sering timbul di rumah sakit, yaitu tentang penggunaan obat baru dari obat yang dipasarkan atau obat yang baru- baru ini dilaporkan menimbulkan efek merugikan. Penggunaan pustaka primer sering kali perlu untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut (Siregar dan Lia, 2003). Contoh beberapa sumber informasi primer: Annals of Pharmacotherapy, British Medical Journal, Journal of American Medical Association (JAMA), Journal of Pediatrics, New England Journal of Medicine (Siregar dan Endang, 2006) 2. Pustaka sekunder Pustaka sekunder memuat berbagi abstrak, yang merupakan sistem penelusuran kembali untuk pustaka primer dan digunakan untuk menemukan artikel pustaka primer. Informasi yang diperoleh dari pustaka sekunder tersendiri jarang digunakan untuk keputusan klinik. Dengan pustaka sekunder, memungkinkan paoteker memasuki multi sumber informasi secara cepat dan efisien. Informasi dalam pustaka sekunder dikatagorikan atau diindekskan dan diabstrak dari sumber pustaka primer. Dalam tahun-tahun akhir ini, sumber ini terutama telah dapat diperoleh melalui penelusuran komputer. Sumber informasi sekunder adalah rumit dan sering memerlukan pelatihan tambahan untuk penggunaannya (Siregar dan Lia, 2003). Contoh beberapa sumber informasi sekunder: Inpharma, International Pharmaceutical Abstract (IPA), Medline, Pharmline (Kurniawan dan Chabib, 2010) 3. Pustaka tersier Pustaka tersier biasanya dikaitkan dengan buku teks atau acuan umum. Sumber ini menyoroti data yang diterima secara luas dari pustaka primer; mengevaluasi informasi ini dan menerbitkan hasilnya. Sumber pustaka tersier termasuk buku teks atau “data base”, kajian artikel, kompendia, dan pedoman praktis. Sumber pustaka tersier adalah acuan pustaka yang paling umum digunakan, mudah dimasuki, dan biasanya dapat memenuhi kebanyakan permintaan informasi obat spesifik penderita. Lagipula, sumber tersier memberikan informasi yang disusun dan dievaluasi dari acuan pustaka yang banyak dan dinyatakan dalam suatu cara yang praktis. Karena banyak ahli memberi kontribusi pada sumber ini, penggunaan dan interpretasi informasi diperkaya (Siregar dan Lia, 2003). Keterbatasan utama dari pustaka tersier adalah ketinggalan waktu beberapa bulan bahkan sampai mungkin beberapa tahun. Apabila informasi atau pandangan paling mutakhir dibutuhkan, diperlukan sumber pustaka sekunder dan primer. Seoran penulis mempunyai hak prerogative untuk memasukkan atau mengeluarkan informasi sehingga tidak semua bagian dari pustaka primer perlu menjadi bagian dari pustaka tersier. Informasi dalam sumber pustaka tersier mencerminkan pandangan dari penulis yang dapat menghasilkan salah interpretasi dari pustaka primer, dan melalui ketidaksetujuan (Siregar dan Lia, 2003). Contoh beberapa sumber informasi tersier: Textbook of Advers Reactions, Drug Information full text, Handbook of Clinical Drug Data, Drug Facts and Comparison, dan AHFS DI (Siregar dan Endang, 2006). Pada umumnya, sumber pustaka primer mengandung informasi yang paling mutakhir, sedang pustaka sekunder dan tersier karena mengandung abstrak dan acuan dari sumber primer, mempunyai informasi yang kurang mutakhir. Sumber pustaka sekunder dan tersier, kemungkinan kurang akurat atau kurang dapat dipercaya karena informasi dalam kedua sumber tersebut dibuat melalui transformasi oleh berbagai penulis dan / atau penerbit, guna mencapai format yang diperlukan (Siregar dan Lia, 2003). 4. Sumber lain Sumber informasi lain mencakup sumber yang tidak termasuk kategori pustaka primer, sekunder, atau tersier; misalnya, komunikasi dengan tenaga ahli, manufaktur, dan brosur penelitian. Komunikasi tenaga ahli terdiri atas informasi yang tidak dipublikasikan yang diperoleh khusus dari seorang tenaga ahli. Komunikasi ini dapat merupakan suatu pendapat didasarkan pada pengalaman tenaga ahli tersebut atau berdasarkan data dari suatu studi evaluatif pendahuluan yang dipublikasikan (Siregar dan Lia, 2003). Brosur penelitili, kadang-kadang berhubungan dengan suatu monografi penelitian, adalah informasi tentang obat investigasi. Industri farmasi tidak diperkenankan memberikan informasi umum tentang obat investigasi, tetapi mereka dapat memberikan monografi tentang zat aktif individu kepada peneliti yang melakukan penelitian tentang zat itu. Brosur ini mengandung sejumlah besar informasi tentang produk mencakup farmakologi, farmakokinetik, efek klinis yang diketahui, kejadian merugikan yang diketahui, dosis yang direkomendasikan, prosedur pemberian, persyaratan penyimpanan, stabilitas dan pustaka (Siregar dan Endang, 2006).
2.3. Metode Pelayanan Informasi Obat
1. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. 2. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar iam kerja dilayani oleh apoteker instalasi farmasi 3. yang sedang tugas jaga. 4. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar jam kerja. 5. Tidak ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun diluar jam kerja. 6. Tidak ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi di jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar jam kerja. (Direktorat jendral pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan departemen kesehatan RI : 2006)
2.4. Tujuan Dan Prioritas Pelayanan Informasi Obat
2.4.1. Tujuan Pelayanan Informasi Obat 1. Mendorong penggunaan obat secara: a. Efektif Efektif yaitu tercapainya tujuan terapi secara optimal, termasuk juga efektivitas biaya, yang ditandai dengan keluaran positif lebih besar dari pada keluaran negatif. b. Aman Aman berarti bahwa efek obat yang merugikan dapat diminimalkan dan tidak membahayakan pasien. c. Rasional Rasional yaitu bahwa pengobatan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga dengan adanya pelaksanaan pelayanan informasi obat diharapkan obat yang diberikan kepada pasien dapat memenuhi kriteria, yaitu tepat pasien, tepat dosis, tepat rute pemberian, dan tepat cara penggunaan. 2. Memberikan pelayanan terhadap kebutuhan informasi obat untuk setiap sektor profesi tenaga kesehatan dan berkontribusi aktif dalam pertumbuhan komunitas masyarakat yang membutuhkan informasi obat.
2.4.2. Prioritas Pelayanan Informasi Obat
Sasaran utama pelayanan informasi obat adalah penyempurnaan perawatan pasien melalui terapi obat yang rasional. Oleh karena itu, prioritas harus diberikan kepada permintaan informasi obat yang paling memoengaruhi secara langsung pada perawatan pasien. prioritas untuk permintaan informasi obat diurutkan sebagai berikut: 1. Penanganan/pengobatan darurat pasien dalam situasi hidup atau mati 2. Pengobatan pasien rawat tinggal dengan masalah terapi obat khusus 3. Pengobatan pasien ambulatori dengan masalah terapi obat khusus 4. Bantuan kepada staf profesiional kesehatan untuk penyelaesaian tanggung jawab mereka 5. Keperluan dari berbagai fungsi PFT 6. Berbagai proyek penelitian yang melibatkan penggunaan obat.
2.5. FUNGSI-FUNGSI PELAYANAN INFORMASI OBAT
2.6. SASARAN INFORMASI OBAT 2.7. KATEGORI PELAYANAN INFORMASI OBAT BAB III