Anda di halaman 1dari 106

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA


DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA

SKRIPSI

Diajukan Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat


untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

OLEH

MOSES RITZ OWEN TARIGAN


NIM: 080200372
Departemen Hukum Administrasi Negara

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP
KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA

SKRIPSI

Diajukan Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk


mencapai gelar Sarjana Hukum

OLEH

MOSES RITZ OWEN TARIGAN


NIM: 080200372
Departemen Hukum Administrasi Negara

Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

Suria Ningsih, SH M.Hum


NIP. 196002141987032002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Pendastaren Tarigan, SH MS Suria Ningsih, SH M.Hum


NIP. 195409121984031001 NIP. 196002141987032002

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan karya ilmiah

yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

TERHADAP KEWENAGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA” Untuk Memeperoleh gelar

Sarjana Hukum, Universitas Sumatera Utara.

Penulisan Judul ini didasari atas ketertarikan terhadap Badan Permusyawaratan

Desa. Yang di mana Badan Permusyawaratan Desa di dalam Pemerintahan Desa

sering mendapat kendala-kendala dalam melaksananakan tugasnya sebagai Badan

Permusyawaratan Desa, Sehingga keberadaan Badan Permusyawaratan Desa yang

masuk dalam Struktur HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Kurang efektif

keberadaannya.

Dalam Penulisan Skripsi ini penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan

dan juga masukan sehingga penulis Skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan

lancar sehingga dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis dengan ketulusan hati

mengucapkan terima kasih Kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, Selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syarifudin Hasibuan, SH, MH, DFM, Selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

i
4. Muhammad Husni, SH, MH, Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Suria Ningsih, SH, M.Hum, Selaku ketua Departemen Hukum

Administrasi Negara Fakultas Hukum universitas Sumatera Utara dan

juga sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran dan

petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

7. Seluruh staf dosen pengajar fakultas hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang Hukum.

Penulis ingin juga mengucapkan terima kasih kepada yang teristimewa:

a. Para Orang Tua Penulis, Drs. Rasin Tarigan, SE, M.Sc, Maria Kaban, SH,

M.Hum, Sariaman Tarigan dan juga saudara kandung dari penulis yakni

Louis Eu Nico Tarigan dan Diana Lee Tarigan yang selalu mendukung

dalam doa dan memberikan motivasi bagi penulis dalam penulisan skripsi

ini.

b. Kepada keluarga besar dan saudara-saudaraku yakni: Misalina Br. Bukit,

SH, Enos Syahputra Sipahutar, SH, Agie Gama, Anthony Patam, Cok

Bernad, Dhani Bayuana, Efraim Antoni, Franky Tarumta, Friskana,

Hariman, Rezky Diapani, Prabowo, Rully Alfredo, Syamsir Amri,

Thimothy Ananta, Waspada Afrianto, dan lainnya yang tidak bisa

disebutkan satu persatu, atas doa, dukungan dan motivasi yang telah

diberikan.

ii
c. Kepada Teman-teman Royal Warrior and Company, Ikatan Mahasiswa

Karo, Super Patam X Grup, dan Master Forex Grup yang selalu

mendukung memberikan motivasi dan doa, serta menjadi teman yang

menghibur dan memberi dukungan secara materi selama pengerjaan

penulisan skripsi ini.

d. Kepada teman-teman dan senior-senior di kampus yang selalu mendukung

dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai

selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.

Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena

keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pembacanya walaupun disadari bahwa penulisan skripsi ini jauh

dari kesempurnaan.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada

kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkat dari Tuhan.

Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di

negara Republik Indonesia.

Medan, Oktober 2012


Hormat Saya

(Moses Ritz Owen Tarigan)

iii
ABSTRAK

Dr. Pendastaren Tarigan, SH MS*


Suria Ningsih, SH M.Hum**
Moses Ritz Owen Tarigan***

Adanya aturan hukum mengenai pemerintahan desa yang belum


membuahkan hasil atas apa yang semestinya diharapkan dari Peraturan Hukum
dan undang-undang. Sistem pemerintahan desa sering kali terabaiakan oleh
perangkat-perangkat desa yang terkait didalamnya, baik seketaris desa maupun
Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintahan desa yang tidak mengetahui tupoksi
dan wewenangnya secara jelas membuat tidak adanya keharmonisan dari
perangkat-perangkat desa. Kepala desa lebih dominan dalam menjalankan
pemerintahan desa yang dimana tata pemerintahannya terdapat perangkat-
perangkat desa dan Badan Permusyawaratan desa.
Permasalahan yang dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah TINJAUAN
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENAGAN BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA.
Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pengumpulan data
dengan cara penelusuran kepustakaan dan mengkaji bahan penelitian yang berupa
data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, dan buku-buku yang terkait
dalam sistem pemerintahan desa, yang kemudian di analisis secara kulitatif
dengan menguraikan dengan kata-kata.
Pada analisis yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan
peraturan pemerintah tentang otonomi, terdapat beberapa wewenang yang harus
diketahui oleh Badan Permusyawaratan Desa, sehingga dapat menjalankan
wewenangnya untuk memaksimalkan kinerjanya dan membangun keserasian
hubungan kerja yang saling membantu dan saling mengawasi dalam sistem
pemerintahan desa oleh kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Sehingga
tidak timbul rasa iri-irian dari masing-masing pihak yang menghambat
perkembangan pemerintahan desa dan masyarakat desa dalam desa tersebut.
Dengan demikian peraturan perundang-undagan yang dibuat tidak
diketahui secara menyeluruh oleh kamu masyarakat, terlebih didesa, sehingga
pengertian dan pemahaman terhadap aturan hukum tidak tersampaikan yang
membuat aturan hukum tersebut menjadi tidak efektif bagi daerah pedesaan.

Kata Kunci: Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Hukum


Administrasi Negara

________________________________
*Dosen Pembimbing I, Departemen HAN Fakultas Hukum USU
**Dosen Pembimbing II, Departemen HAN Fakultas Hukum USU
***Mahasiswa Departemen HAN Fakultas Hukum USU

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

ABSTRAK ...................................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................. 7

C. Tujuan dan Mamfaat penelitian ............................................... 7

D. Keaslian Penulis ....................................................................... 8

E. Tinjauan Kepustakaan .............................................................. 9

F. Metodologi Penulisan .............................................................. 10

G. Sistematika Penulisan .............................................................. 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA ................................................ 13

A. Latar belakang Berdirinya Badan Permusyaratan Desa dan

Pemerintahan Desa ................................................................... 13

B. Pengertian Badan Permusyaratan Desa dan

Pemerintahan Desa ................................................................... 14

C. Dasar Hukum Pembentukan Badan Permusyaratan Desa ........ 28

D. Tata Cara Pengangkatan Badan Permusyaratan Desa.............. 32

v
BAB III TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA........................... 35

A. Pengertian Hukum Administrasi Negara ................................. 35

B. Pengertian Dan Kedudukan Pemerintahan Desa Dalam Hukum

Administrasi Negara ................................................................ 40

C. Kewenangan Badan Permusyawaratan Desa Sebagai Unsur

Penyelenggara Pemerintahan Desa .......................................... 53

D. Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Badan

Permusyawaratan Desa Dalam Sistem Pemerintahan Desa ..... 56

BAB IV HUBUNGAN YURIDIS ANTARA BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN PEMERINTAHAN

DESA (PERANGKAT DESA) .................................................... 72

A. Hubungan Badan Permusyawaratan Desa Dengan Prangkat

Pemerintahan Desa ................................................................... 72

B. Kendala-kendala yang dihadapi Badan Pemerintahan Desa Dalam

Pelaksanaan Kewenangannya .................................................. 85

C. Upaya Mengatasi Kendala-kendala yang Dihadapi Badan

Permusyawaratan Desa Dalam Pelaksanaan Kewenangannya 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 94

A. Kesimpulan .............................................................................. 94

B. Saran......................................................................................... 95

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 96

vi
ABSTRAK

Dr. Pendastaren Tarigan, SH MS*


Suria Ningsih, SH M.Hum**
Moses Ritz Owen Tarigan***

Adanya aturan hukum mengenai pemerintahan desa yang belum


membuahkan hasil atas apa yang semestinya diharapkan dari Peraturan Hukum
dan undang-undang. Sistem pemerintahan desa sering kali terabaiakan oleh
perangkat-perangkat desa yang terkait didalamnya, baik seketaris desa maupun
Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintahan desa yang tidak mengetahui tupoksi
dan wewenangnya secara jelas membuat tidak adanya keharmonisan dari
perangkat-perangkat desa. Kepala desa lebih dominan dalam menjalankan
pemerintahan desa yang dimana tata pemerintahannya terdapat perangkat-
perangkat desa dan Badan Permusyawaratan desa.
Permasalahan yang dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah TINJAUAN
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENAGAN BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA.
Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pengumpulan data
dengan cara penelusuran kepustakaan dan mengkaji bahan penelitian yang berupa
data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, dan buku-buku yang terkait
dalam sistem pemerintahan desa, yang kemudian di analisis secara kulitatif
dengan menguraikan dengan kata-kata.
Pada analisis yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan
peraturan pemerintah tentang otonomi, terdapat beberapa wewenang yang harus
diketahui oleh Badan Permusyawaratan Desa, sehingga dapat menjalankan
wewenangnya untuk memaksimalkan kinerjanya dan membangun keserasian
hubungan kerja yang saling membantu dan saling mengawasi dalam sistem
pemerintahan desa oleh kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Sehingga
tidak timbul rasa iri-irian dari masing-masing pihak yang menghambat
perkembangan pemerintahan desa dan masyarakat desa dalam desa tersebut.
Dengan demikian peraturan perundang-undagan yang dibuat tidak
diketahui secara menyeluruh oleh kamu masyarakat, terlebih didesa, sehingga
pengertian dan pemahaman terhadap aturan hukum tidak tersampaikan yang
membuat aturan hukum tersebut menjadi tidak efektif bagi daerah pedesaan.

Kata Kunci: Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Hukum


Administrasi Negara

________________________________
*Dosen Pembimbing I, Departemen HAN Fakultas Hukum USU
**Dosen Pembimbing II, Departemen HAN Fakultas Hukum USU
***Mahasiswa Departemen HAN Fakultas Hukum USU

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak diundangkannya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan

Daerah yang didalamnya memuat pasal-pasal yang mengatur tentang

pemerintahan desa (Bab XI Pasal 200 s.d 216), banyak pihak yang

mempertanyakan mengenai arah dasar kebijakan tentang pemerintahan desa

berubah-ubah, tetapi tidak menyentuh substansi dasar pengolahan pemerintahan

desa secara proporsional.

Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah

sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maka Peraturan

Pemerintah No 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai

Desa harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tentang perubahan atas

Undang-Undang no 32 Tahun 2004. Walaupun terjadi pergantian Undang-Undang

namun prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenai Desa

masih tetap berlaku yaitu;

1. Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan

dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini

berarti pola penyelenggaraan pemerintah serta pelaksanaan pembangunan di

Desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat

namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini Undang-Undang Dasar Negara

1
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintah dan

pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar

masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap

perkembangan kehidupan bersama sebagai sesame warga desa.

3. Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam

mengatur dan mengurus masyarakat setempatdidasarkan pada hak asal usul

dan nilai-nilai social budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun

harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan negarayang

selalu mengikuti perkembangan jaman.

4. Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintah dan

pelaksanaan pembangunan di Desa harus mengakomodasi aspirasi

masyarakatyang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Permusyawaratan

Desa (BPD) dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintahan Desa.

5. Pmberdayaan Masyarakat, memiliki makn bahwa penyelenggaraan

pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa ditujukan untuk

meningkatkan taraf hidup dan kesejahtraan masyarakat melalui penetapan

kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan

prioritas kebutuhan masyarakat. 1

1
Penjelasan Peraturan Pemerintah RI Nomor 72, Fokusmedia, Bandung, 2012, Hlm. 85

2
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa

Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah

kesatuan masyarakat hokum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakui

adanya otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan

penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah

untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.

Ada 4 (empat) sumber hal mendasar yang banyak dipertanyakan orang

mengenai kebijakan pengaturan tentang desa.

1. Mengenai kerangka hokum dan kedudukan desa atas hasil Amandemen UUD

1945, ternyata pengelolaan pemerintahan desa tidak diatur secara eksplisit di

dalamnya tetapi disiapkan dalam kebijakan mengenai pemerintahan daerah.

Konsekuensinya, eksistensi desa berada di dalam wilayah yuridiksi dan

merupakan subsistem pemerintah daerah (kabupaten/kota). Akibatnya, desa

kehilangan kontak hubungan secara langsung dengan Propinsi dan Pemerintah

Pusat. 2

2. Mengenai kewenangan desa, kewenangan-kewenangan desa dinilai masih

belum jelas meskipun telah diatur dalam UU No. 32/2004 Pasal 206

2
Daeng Sudiro, Pembahasan Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah dan Pemerintahan
Desa, Angkasa, Bandung, 1985, hal. 35

3
kewenangan asal usul dan adat istiadat pada umumnya sudah hancur karena

masuknya intervensi Negara dan eksploitasi modal. Yang masih tersisa adalah

ritual adat di desa yang sama sekali tidak berkaitan dengan kewenangan

kepemerintahan. Hal ini karena desentralisasi dan otonomi daerah berhenti di

kabupaten/kota, maka kewenangan desa sangat bergantung pada “budi baik”

pimpinan daerah masing-masing.

3. Mengenai keuangan dan ekonomi desa. PP No. 72 Tahun 2005 cukup tegas

menyebutkan sumber-sumber pendapatan (keuangan) desa namun dalam

realisasinya pemerintah dan masyarakat desa tidak pernah jelas mengenai hal

ini. Keterbukaan informasi dan kebijakan keuangan pemerintah supradesa

tidak pernah sampai di desa. 3

Di pihak lain, banyak proyek pengembangan usaha kecil dan mikro kredit

(mislnya) tidak pernah berkaitan langsung dengan pemerintah desa kecuali

hanya dengan kepala desa secara individual. Proyek-proyek pengembangan

ekonomi pedesaan ini, dengan demikian tidak pernah memberikan kontribusi

yang signifikan terhadap upaya penguatan pemerintahan desa. 4

4. Mengenai demokrasi dalam system dan tata pemerintahan desa. Perubahan

UU No. 34 Tahun 2004 menjadi PP No. 72 Tahun 2005 mengubah system

pemilihan. 5

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara langsung menjadi system

pengangkatan Badan Permusyawaratan Desa (Bamusdes). Persoalan mengenai

3
Daeng Sudiro, Op.Cit. Hlm. 37
4
A.W Widjaja, Sumber pandapatan yang telah dimiliki atau dikelola oleh desa, PT. Raja
Grafindo Persada Bina Aksara, Jakarta, 2003, Hlm. 132
5
Ibid, hlm 38

4
Bamusdes sebenarnya bukan hanya pada system pengangkatannya, tetapi juga

pada fungsi (peran) yang harus dilakukan bersama dengna kepala desa yang

dipilih menyusun dan mengesahkan peraturan-peraturan desa. Akibatnya, secara

popular legitimasi aturan-aturan desa yang ditetapkan dapat dinilai tidak kuat.

Fungsi pengawasan Bamusdes terhadap kinerja kepala desa di dalam PP No. 72

Tahun 2005 tidak ada. Kepala desa dipilih secara langsung oleh rakyat desa tetapi

pertanggungjawabannya tidak kembali kepada rakyat desa sebagai konstituenya

melainkan kepada Bupati melalui Camat. Mekanisme pertanggungjawaban kepala

desa ini jelas mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas kepada desa yang

dapat berakibat pada responsivitas kepala desa terhadap kepentingan dan

kebutuhan rakyat desa rendah. 6

Selama ini, pembahasan mengenai desa dan pengaturan kebijakan

mengenai pemerintahan desa belum pernah dilakukan secara mendalam dan

menyeluruh melalui suatu proses kontrak social yang terbuka. Penyusunan

kebijakan pengaturan mengenai desa cenderung elitis dan tertutup sehingga

hasilnya hampir selalu menimbulkan “kejutan-kejutan” di kalangan masyarakat

luas. 7

Oleh adanya perubahan-perubahan, kebijakan pengaturan mengenai

pemerintah desa, pemerintahan kabupaten dan desa (termasuk masyarakat desa

sendiri) dituntut untuk terus melakukan penyesuaian-penyesuaian yang didalam

prosesnya tidak sedikit menimbulkan gesekan social dan politik yang berimplikasi

pada terganggunya proses pembangunan demokrasi dan ekonomi masyarakat desa

6
W. Widjaja, Pemerintah Desa/Marga, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2001, hlm. 13
7
Ibid, Hlm 29

5
itu sendiri. Berangkat dari 4 (empat) permasalahan dasar ini, muncul kebutuhan

untuk bersama untuk mempertajam konsep mengenai desa secara komprehensif

dan proporsional atas realitas kemajemukan kondisi desa-des di Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian penulisan dalam bentuk skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM

ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENANGAN BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN

DESA.”

6
B. Perumusan Masalah

Adapun Permasalahan yang akan diangkat penulis adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan Badan Permusyawaratan Desa dalam

melaksnakan pemerintahan desa?

2. Bagaimana hubungan Badan Permuswayaratan Desa dengan perangkat

pemerintahan desa?

3. Bagaimana Badan Permusyawaratan Desa menjalankan kewenanganya

4. Bagaimana kinerja Badan Permusyawaratan Desa.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

yang hendak dicapai dlam penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisa kewenangan Badan Permusyawaratan Desa

dalam melaksanakan pemerintahan desa.

b. Untuk menganalisa hubungan Badan Permusyawaratan Desa dengan

perangkat pemerintah desa.

c. Untuk menganalisa kendala-kendala yang dihadapi Badan

Permusyawaratan Desa dalam menjalankan kewenangannya

d. Untuk menganalisa upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam

meningkatkan kinerja Badan Permusyawaratan Desa.

7
2. Mamfaat Penulisan

Ada pun yang menjadi tujuan penulisan skripsi penulis yang berjudul:

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM

SISTEM PEMERINTAHAN DESA, sesuai dengan permasalahan yang

diajukan antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Secara teoritis diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

hokum pada umumnya dan secara khusus administrasi Negara yang

menyangkut mengenai masalah pelaksanaan pemerintahan desa.

b) Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai alat dalam

penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang kewenangan badan

Permusyaratan desa dalam melaksanakan pemerintah desa.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah asli (bukan jiplakan), sebab ide, gagasan

pemikiran dan usaha penulis sendiri bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil

penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak

tertentu. Dengan ini penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan

skripsi ini, belum pernah ada judul yang sama demikian juga dengan pembahasan

yang diuraikan. Dalam hal mendukung penulisan ini dipakai pendapat-pendapat

para sarjana yang diambil atua dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para

sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.

8
E. Tinjauan Kepustakaan

Penulis melakukan tinjauan kepustakaan berdasarkan refernsi dari buku-

buku. Badan Permusyawaraan Desa yang selanjutnya disingkat BPD adalah,

badan Permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat di desa

yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung

dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Salah satu tugas pokok yang dilaksanakan lembaga ini (BPD) adalah

berkewajiban dalam menyalurkan aspirasi dan meningkatkan kehidupan

masyarakat desa, sebagaimana juga diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang

Desa, BPD dituntut mampu menjadi aspirator dan articulator antara masyarakat

desa dengan pejabat atau instansi yang berwenang.

Sesuai dengan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pokok-pokok pemerintahan

di Daerah, program-program pendayagunan kelembagaan pemerintah daerah dan

desa terutama adala yang menyangkut rumusan tugas, fungsi, saling hubungan,

tanggun jawab dan kewenangan yang melekat pada struktur organisasi dalam

seluruh hirarki administrasi pemerintah daerah dan desa. Sehubungan dengan

upaya peningkatan kemapuan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah,

baik dalam rangka desentralisasi, dekontrasi dan pelaksanaan tugas pembantuan,

dalam Repelita V dilakukan perjanjian dan langkah-langkah penataan dan

pengatuan kembali pembagian dan batas-batas wewenang antara Pemerintah

Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Derah Tingkat II. Selanjutnya

9
unsure-unsur organisasi yang berperan dalam upaya peningkatan pendapatan asli

akan dimantapkan system dan kemampuan teknis dan manajemennya.

Pemilihan Anggota BPD dilaksanakan oleh penduduk desa dari dusun

dalam wilayah desa yang bersangkutan yang mempunyai hak pilih yang

pelaksanaanya dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Panitia pemilihan adalah, Panitia

pemilihan anggota Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan

Keputusan BPD.

Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditentukan berdasarkan

jumlah penduduk desa yang bersangkutan. Anggota BPD dipilih dari calon-calon

yang dijukan oleh kalangan adat, agama, organisasi sosial-politik, golongan

profesi dan unsur pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi persyaratan.

F. Metodologi Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Materi/Bahan Penelitian

Adapun materi atau bahan penelitian ini bersumber dari data sekunder.

Data sekunder tersebut terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hokum yang mengikat, yakni :

peraturan perundang-undangan yang terkait seperti PP No. 72 Tahun 2005

tentang Pemerintahan Daerah.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bhan perpustakaan, yakni buku-

buku bacaan yang berkaitan dengan masalah kewenangan Badan

Permusyaratan Desa dalam melaksanakan pemerintah desa.

10
2. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah studi dokumen, yaitu pengumpulan data dengan cara penelusuran

kepustakaan.

3. Analisis Hasil Penelitian

Keseluruhan data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan

menggunakan analisis kualitatif yaitu dengan cara menguraikan dengan kata-kata.

G. Sitematika Penulisan

Secara sistematis penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab dan tiap

bab dibagi atas sub bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab ini Mengemukakan tentang latar belakang, Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan Skripsi ini.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN

DESA

Dalam Bab ini Mengemukakan tentang tinjauan umum tentang latar

belakang berdirinya badan permusyawaraan desa, Pengertian Badan

Pemusyaratan Desa dan Pemerintah Desa, Dasar Hukum Pembentukan

Badan Permusyaratan Desa, Tata Cara Pengangkatan Badan

Permusyawaratan Desa

11
BAB III TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM

SISTEM PEMERINTAHAN DESA

Dalam Bab Ini Mengemukakan tentang Pengertian Hukum

Administrasi Negara, Pengertian Badan Pemusyaratan Desa dan

Pemerintah Desa, Kewenangan Badan Permusyaratan Desa Dalam

Melaksanakan Pemerintahan Desa.

BAB IV HUBUNGAN YURIDIS ANTARA BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DAN PERANGKAT DESA

Dalam Bab ini Mengemukakan tentang Hubungn Yuridis antara Badan

Permusyawaratan Desa dan perangkat Desa, Hubungan Badan

Permusyawaratan Desa Dengan Perangkat Pemerintahan Desa,

Kendala-Kendala Badan Permusyaratan Desa Dalam Menjalankan

Kewenangannya dan upaya penyelesaian kendala.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam Bab ini berisi tentang kesimpulan yang merupakan penutup

dariseluruh rangkaian bab-bab sebelumnya dan juga berisi saran dari

penulisan yang mungkin bermamfaat di masa mendatang.

12
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

A. Latar Belakang Berdirinya Badan Permusyawaratan Desa dan

Pemerintahan Desa

Badan Permusyawaratan Desa merupakan organisasi yang berfungsi

sebagai badan yang menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa,

menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggotanya adalah wakil dari

penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan

mufakat. BPD mempunyai peran yang besar dalam membantu Kepala Desa untuk

menyusun perencanaan desa dan pembangunan desa secara keseluruhan. Dalam

UU No. 32 dijelaskan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan

oleh kabupaten/ kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan

Badan Permusyawaratan Desa. Dalam rangka pemberdayaan dan penguatan desa,

pemerintah mendorong terbentuknya Badan Perwakilan Desa (BPD) yang dalam

UU.No.32 tahun 2004 , menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Dalam

melaksanakan kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakatnya, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai

lembaga legeslasi (menetapkan kebijakan desa) dan menampung serta

menyalurkan aspirasi masyarakat bersama Kepala Desa. Lembaga ini pada

hakikatnya adalah mitra kerja pemerintah desa yang memiliki kedudukan sejajar

dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan Desa, pembangunan dan

pemberdayaan masyarakat. Sebagai lembaga legislasi, Badan Permusyawaratan

13
Desa (BPD) memiliki hak untuk menyetujui atau tidak terhadap kebijakan desa

yang dibuat oleh Pemerintah Desa. Lembaga ini juga dapat membuat rancangan

peraturan desa untuk secara bersama-sama Pemerintah Desa ditetapkan menjadi

peraturan desa. Disini terjadi mekanisme check and balance system dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang lebih demokratis. Sebagai lembaga

pengawasan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki kewajiban untuk

melakukan kontrol terhadap implementasi kebijakan desa, Anggaran dan

Pendapatan Belanja Desa (APBDes) serta pelaksanaan keputusan Kepala Desa.

Selain itu, dapat juga dibentuk lembaga kemasyarakatan desa sesuai

kebutuhan desa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pembangunan.

B. Pengertian Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa

Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disingkat BPD adalah,

badan Permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat di desa

yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung

dan menyulurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan Pemerintahan Desa. 8

Salah satu tugas pokok yang dilaksanakan lembaga ini (BPD) adalah

berkewajiban dalam menyalurkan aspirasi dan meningkatkan kehidupan

masyarakat desa, sebagaimana juga diatur dalam PP. No. 72 Tahun 2005 tentang

8
A.W. Widjaja, Pemerintah Desa dan Adminitrasi Desa, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1993, hlm. 35

14
Desa, BPD dituntut mampu menjadi aspirator dan articulator antara masyarakat

desa dengan pejabat atua instansi yang berwenang.

Desa yang secara yuridis formal diakui keberadaanya memiliki otonomi

yang bersifat tradisional, kenyataanya menunjukkan selama diberlakukan UU No.

32 Tahun 2004 maupun PP No. 72 tahun 2005 kurang mengalami kemajuan yang

cukup signifikan, bahkan sebaliknya masyarakat desa sangat tergantung pada

bantuan pihak luar pada segi dana maupun kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. 9

Selama ini, pembahasan mengenai desa dan pengaturan kebijakan

mengenai pemerintahan desa belumpernah dilakukan secara mendalam dan

menyeluruh melalui suatu proses kontrak social yang terbuka. Penyusunan

kebujakan pengaturan mengenai desa cenderng elitis dan tertutup sehingga

hasilnya hamper selalu menimbulkan “kejutan-kejutan” di kalangan masyarakat

luas. 10

UU No. 32 Tahun 2004 yang diganti dengan PP No. 72 Tahun 2005 secara

normative didalamnya mengatur desa sebagai unit organisasi pemerintahan

terendah yang pada Undang-Undang sebelumnya diatur sendiri dengan UU No. 5

Tahun 2004 yang bercorak sentralistik, namun pergeseran perubahan yang

menonjol pada UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP No. 72 Tahun 2005 yaitu

filosofi yang digunakan adalah “keanekaragaman dalam kesatuan” sebagai kontra

konsep dari filosofi “keseragaman” yang digunakan dalam UU No. 5 Tahun 2004,

disamping itu upaya simplikasi pengaturan mengenai desa dan kelurahan karena

sebelumnya diatur dan Undang-undang tersendiri, oleh karenanya agar tidak


9
Ibid, Hlm 36
10
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 34

15
menyebabkan adanya desa-desa yang tidak terbina (aut of control) perlu dibuat

pedoman umum pengaturan desa melalui peraturan daerah masing-masing yang

mengacu pada peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 72

Tahun 2005.

Sedangkan sistem pemerintahan desa yang disebut dengan pemerintah

desa adalah Kepala Desa dan Lembaga Musayawarah Desa. Pemerintah desa

dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari

sekretaris desa dan kepala-kepala urusannya yang merupakan staf membantu

kepala desa dalam menjalankan hak wewenang dan kewajiban pemerintah desa. 11

Penyelenggara pemerintahan desa menurut PP No. 72 Tahun 2005

flfiarahkan agar mampu menggerakkan prakarsa dan partisipasi masyarakat.

Proses pembuatan peraturan desa akan berhasil baik apabila didukung oleh

partisipasi seluruh warga masyarakat dengan menyampaikan aspirasinya dan juga

kemampuan BPD di dalam menyerap aspirasi dari masyarakat dan dibantu oleh

seluruh perangkat pemerintah desa tersebut.

Sekretaris desa sekaligus menjalankan tugas dan wewenang kepala desa

sehari-hari apabila desa berhalangan. Pemerintah desa juga dilengkapi dengan

lembaga-lembaga musyawarah desa yang berfungsi menyalurkan pendapat

masyarakat di desa dengan masyawarah setiap rencana yang diajukan kepala desa

sebelum menetapkan menjadi ketetapan desa. 12

11
Ibid, Hlm. 34
12
Miftah Thoha, Op.Cit. hlm. 43

16
Sekretaris desa diangakat dan diberhentikan oleh Bupati Kepala Daerah

Tingkat II setelah mendengar pertimbangan Camat atas usul Kepala Desa sesudah

mendengar pertimbangan Lembaga Permusyawaratan Desa.

Sedangkan pengertian desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. 13

Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat degan memperhatikan asal usul

Desa dan persyaratan yang ditentukan sesuai dengan kondisi sosial budaya

masyarakat setempat. 14 Dengan berdasarkan pada adat istiadat dan asal usul Desa

dimungkinkan adanya pembagian wilayah yang merupakan lingkungan kerja

pelaksanaan Pemerintah Desa. 15

Kewenangan Desa mencakup: 16

a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa;

b. Kewenangan yang oleh Peraturan perundang-undangan yang berlaku belum

dilaksanakan Daerah dan Pusat;

c. Tugas pembantuan dari pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan

Pemerintah Kabupaten.

Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan

beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi pemerintah terendah guna

13
AW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 hlm. 65
14
Ibid, hlm. 30
15
Ibid, hlm. 43
16
Ibid, hlm. 73

17
inengemban tugas, misi dari seluruh Departemen/ Kementerian, sehingga idealnya

desa harus memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai

pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa. Keberhasilan pembangunan

desa sangat dipengaruhi adanya kemauan politik (political -will) dan tindakan

politik (political action) dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya untuk

dapat memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di desanya.

Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan

beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi pemerintah terendah guna

mengemban tugas, misi dari seluruh Departemen/ Kementerian, sehingga ideahiya

desa harus memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai

pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa. Keberhasilan pembangunan

desa sangat dipengaruhi adanya kemauan politik ((political will) dan tindakan

politik (political action) dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya untuk

dapat memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di desanya.

Pemerintah Desa berhaJc menolak pelaksanaan tugas perbatuan yang tidak

disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.

Kepala desa di dalam menjalankan tugas dan fungsinya bertanggungjawab

kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II melalui Camat Kepala Wilayah

Kecamatan yang bersangkutan, sedangkan Sekretaris desa dan Kepala-kepala

dusun bertanggungjawab kepada sekretaris desa.

Adapun hak dan kewajiban kepala desa adalah sebagai berikut: 17

1. Mengajukan pencalonan perangkat desa kepada pejabat yang berwenang.

17
Wajong. J. Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jembatan, Jakarta, 1973, hlm. 78

18
2. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan.

3. Menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakili desanya.

4. Mengatur penyelenggaraan pemerintah dan pembangungan desa.

5. Mewakili desanya dalam rangka kerjasama, Wewenang Kepala Desa adalah

sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan rapat lembaga masyawarah desa.

b. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam membangun.

c. Menumbuhkan dan mengembangkan serta membina jiwa gotong-royong

masyarakat.

d. Melaksanakan pembinaan dan pengembangan adat istiadat,

e. Menetapkan keputusan kepala desa sebagai pelaksana dari keputusan desa.


18
Sedangkan kewajiban dari kepala desa adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan tertib administrasi pemerintah di tingkat desa

2. Melaksanakan pembangunan dan pembinaan masyarakat.

3. Melaksanakan pembinaan terhadap organisasi-organisasi

kemasyarakatan.

4. Menggali dan memelihara sumber-sumber pendapatan.

5. Bertanggungjawab atas jalannya penyelenggara pemerintah,

pelaksanaan pembangunan dan pembinaan masyarakat.

6. Melaksanakan keputusan-keputusan desa.

7. Menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di desa.

18
Ibid 79

19
8. Menyusun rencara program kerja tahunan dan program kerja Jima

tahunan.

9. Menyusun APPKD (Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan

Desa)

10. Memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada lembaga

musyawarah desa. 19

Hak, wewenang dan kewajiban Kepala Desa sebagai penyelenggara urusan

dalam rangka urusan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Umum adalah

sama.

Sesuai PP No. 72 Tahun 2005 pasal 212 ayat (3) sumber pendapatan desa

teridiri atas :

a. Pendapatan Asli Desa;

b. Bagi hasil pajak daerah dan restribusi daerah Kabupaten/Kota;

c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh

Kabupaten/Kota;

d. Bantuan dari Pemermtah. Pemerintah Propinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota;

e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Pengamatan empirik sumber pendapatan desa menunjukkan fakta bahwa : 20

1. Pendapatan asli desa pada umumnya berasal dari tanah desa yang tidak

semua desa memiliki, kalaupun ada digunakan untuk penghasilan pamong

desa.
19
Ibid 79
20
Kusworo, Kajian Tentang Perubahan Pemerintahan Desa Berdasarkan Undang-Undang
No. 32 Tahun 1974, Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah, Volum I, Edisi Ke-3 2004, hlm. 22

20
Badan Usaha Desa yang berbentuk perusahaan desa yang menghasilkan

sebagaimana diatur dalam pasal 213 Undang-Undang ini, hampir

dipastikan belum ada, sedangkan hasil swadaya gotong royong dan

partisipasi masyarakat mampu.

2. Bantuan kepada desa dari Kabupaten/Kota baru sebatas melestarikan

kebijakan yang sudah ada dari Pemerintah Pusat, berupa program Bantuan

Desa.

3. Bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi lazimnya disebut

ganjaran, namun jumlahnya sangat terbatas hanya untuk tambahan

penghasilan bagi perangkat desa.

4. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga jarang terjadi.

Kenyataan dilapangan menunjukkan selama ini kebijakan pemerintah

berbentuk Program Bantuan Desa yang sifatnya berbentuk stimulant untuk

merangsang agar tumbuh partisipasi amsyarakat dalam menunjang pembangunan

desa, justru menjadi sumber utama yang diharapkan dalam pembiayaan

pembangunan di desa.

Salah satu peluang lain sumber pendapatan desa sesuai PP No. 72 Tahun

2005 adalah berupa bantuan dari pemerintah kabupaten/kota dan bagian dari dana

perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota dapat

diberikan secara proposional dalam arti setiap desa tidak hams sama nilai nominal

21
bantuannya, akan tetapi perlu diperhatikan juga dari aspek luas wilayah, jumlah

penduduk tingkat perkembangan desa maupun jarak lokasi desa. 21

Tercapainya tujuan organisasi pemerintahan desa yang dimanifestasikan

oleh kepala desa, hubungan kerja dengan kecamatan maupun Pemerintah

kabupaten/kota sangat diperlukan. Apalagi kalau menengok masa

diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 dimana kedudukan kepala desa dibuat

sedemikian rupa sehingga akan selalu lebih banyak berorientasi ke atas meskipun

kepala desa dipilih dan dibiayai oleh masyarakat, akan tetapi kepala desa tidak

bertanggung jawab kepada para pemilihnya baik secara langsung amupun tidak

langsung. Sesuai Undang-Undang ini, kepala desa bertanggung jawab sepenuhnya

kepada camat, ia hanya memberikan keterangan pertanggung jawaban kepada

Lembaga Musyawarah Desa (LMD). 22

Makna demokrasi adalah keterwakilan artinya pemerintahan yang

demokratis, keputusan-keputusan yang dibuat harus mencerminkan keterwakilan

rakyat melalui Permusyawaratan politik. Konsep Permusyawaratan adalah konsep

yang menunjukkan hubungan antara orang-orang, yakni pihak yang mewakili dan

diwakili, di mana orang yang mewakili memiliki sederet kewenangan sesuai

dengan kesepakatan antar keduanya.

Dalam PP No. 72 Tahun 2005 konsep keterwakilan sebagaimana tersebut

diatas tercermin dalam institusi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Desa

(BPD) yang berkedudukan sejajar dengan pemerintah desa. Adapun fungsi BPD

sesuai PP No. 72 Tahun 2005 Pasal 4 menyebutkan "Badan Permusyawaratan


21
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah : Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara
DPRD dengan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 41
22
Ibid Hlm. 42

22
Desa atau yang disebut dengan nama lain beriungsi mengayomi adat istiadat,

membuat peraturan desa,, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat,

serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa"

Secara konsepsional BPD yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra

pemerintah desa diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan prinsip "chek

and balance'" dan sangat dibutuhkan hubungan kemitraan (partnership) yang

didasarkan pada filosofi sebagai berikut : 23

a. Adanya kedudukan yang sejajar antara yang bermitra.

b. Adanya kepentingan bersama yang ingin dicapai.

c. Adanya sikap saling mengormati.

d. Adanya niat baik untuk saling membantu dan saling mengingatkan.

Pada tataran konsep, kedudukan BPD berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005

sangat ideal sebagai wahana untuk menjalankan demokrasi di tingkat desa, bahkan

berdasarkan pasal 105 ay at (1) "Anggota Badan Permusyawaratan Desa dipilih

dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan", akan tetapi pada

tataran implementasi dari wujud kemitraan antara pemerintah desa dengan BPD

menghadapi permasalahan yang menyebabkan tidak dapat mengarah kepada

pencapaian tujuan diselenggarakannya otonomi desa.

Didalam PP No. 72 Tahun 2005 sebutan Badan Permusyawaratan Desa

diubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa, yang sesuai dengan pasal 209

menyebutkan "Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan

desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat".

23
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Op.Cit. Hlm. 44

23
Sedangkan anggota, pimpinan, dan masa kerja syarat dan tata cara penetapannya

sesuai pasal 210 sebagai berikut:

1. Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa

bersangkutan yang ditetapkan dengan cara masyawarah dan mufakat;

2. Pimpinan Badan Permusyawatan Desa dipilih dari dan oleh anggota BPD;

3. Masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah 6 (enam) tahun

dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya;

4. Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan Badan Permusyawaratan

Desa diatur dalam Perda yang berpedoman pada peraturan pemerintah.

Pola kemitraan antara pemerintah desa dengan Badan Permusyawaratan

Desa sesuai Undang-Undang ini, tercermin untuk mengembalikan pada budaya

politik lokal yang sudah ada pada masyarakat pedesaan. Budaya olitik lokal yang

berbasis pada filosofi "musyawarah mufakat". Musyawarah berbicara tentang

proses, sedangkan mufakat berbicara tentang basil. Hasil yang baik diharapkan

diperoleh dari proses yang baik. Melalui musyawarah untuk mufakat, berbagai

konflik antara para elit politik dapat segera diselesaikan secara arif, sehingga tidak

samapi menimbulkan goncangan-goncangan yang merugikan masyarakat luas.

Pengalaman empiris memperlihatkan bahwa kemitraan yang diharapkan

dapat berjalan secara harmonis antara pemerintah desa dengan BPD ternyata

seringkali mengalami hambatan yang disebabkan antara lain :

a. Munculnya ego sektoral yang menimbulkan ketidakpercayaan antara kedua

belah pihak yang berdampak pada lingkungan kerja kurang kondusif;

b. Kualitas sumber daya manusia yang masih terbatas;

24
c. Kurang memahaminya tugas dan fungsi masing-masing, sehingga ada kesan

bahwa BPD selalu mencari kesalahan dari pemerintah desa;

d. Pengabdian sebagai anggota BPD hanya dijadikan sambilan, karena sebagian

besar anggota masyarakat mempunyai tugas pokok masing-masing;

e. Tunjangan anggota BPD kurang memadai, sekalipun pengaturan mengenai

tunjangan sebenamya sudah ada dalam PP No. 72 Tahun 2005.

Pemerintah Desa

Hakikat otonomi daerah adalah efisiensi dan efektivitas dalam

penyelenggaran pemerintahan, yang pada akhirnya bernuansa pada pemberian

pelayanan kepada masyarakat yang hakikatnya semakin lama semakin baik,

disamping untuk member peluang peran serta masyarakat dalam kegiatan

pemerintahan dan pembangunan secara luas dalam konteks demokrasi.

Mengantisipasi aspirasi masyarakat yang terus berkembang serta

menghadpai perkembangna yang terjadi, baik dalam lingkungan nasional maupun

internasional yang secara langsung akan berpengaruh terhadap roda atau

pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Negara kita, maka untuk

menjawab dan menghadapi tantangan dan sekaligus peluang diperlukan adanya

pemerintahan daerah yang tangguh, yang didukung oleh system dan mekanisme

kerja yang professional. 24

Kenyataan menunjukkan bahwa system dan mekanisme penyelenggaraan

pemerintah daerah berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005 kurang dapat menangkap

24
Sohartono, Desa digambarkan sebagai bentuk kesatuan masyarakat, Aditya Bakti,
2001, Hlm. 10

25
sinyal-sinyal tersebut. Hal ini tidak sja disebabkan oleh karena masih adnaya

beberapa peraturan pelaksanaan PP No. 72 Tahun 2005 yang belum diterbitkan,

akan tetapi lebih dikarenakan beberapa pengaturan dalam Undang-Undang

tersebut tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan yang terjadi.

Dikaitkan dengan pemerintahan desa yang keberadaanya adalah

berhadapan langsung dengan masyarakat, maka sejalan dengan otonomi daerah

tersebut, upaya untuk memberdayakan (empowering) pemerintahan desa harus

dilaksanakan. 25

Salah satu cirri yang baik adalah dapat memberikan kepuasan bagi yang

memerlukan karena cepat, mudah, tepat dan dapat terjangkau. Disamping itu,

pelayanan harus relati dekat yang memerlukannya. Posisi pemerintah yang paling

dekat dengan masyarakat adalah pemerintah desa. Sedangkan dari segi

pengembangan peran serta masyarakat, maka pemerinth desa selaku Pembina,

pengayom dan pelayan kepada masyarakat sangat berperan dalam menunjang

mudahnya masyarakat digerakkan untuk berpartisipasi.

Otonomi daerah yang akan terus digalakkan terus adalah otonomi daerah

yang mandiri yang dapat mewadahi dan memberikan respon secara aktif terhadap

kebutuhan, kehendak dan aspirasi masyarakat. Pengembangan dan pembangunan

otonomi daerah tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

diarahkan untuk memberikan kewenangna-kewenangan yang lebih luas kepada

pemerintah daerah yang langsung berhubungan dengan masyarakat dengan

maksud untuk lebih meningkatkan pelayanan dan partisipasi aktif masyarakat

25
Ibid Hlm. 11

26
terhadap pelaksanaan pembangunan disegala bidang didaerah khususnya maupun
26
nasional pada umumnya.

System struktur kelembagaan dan mekanisme kerja disemua tingkatan

pemerintah, khususnya pemerintahan daerah yang langsung berhubungan dengan

masyarakat diarahkan untuk dapat menciptakan pemerintahan yang peka terhadap

perkembangan dan perubahan yang terjadi. Penyelenggaraan pemerintahan desa

merupakan sub system dalam system penyelenggaraan pemerintahan desa

merupakan sub system dalam system penyelenggaraan pemerintahan nasional

sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakatnya.

Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan desa

adalah keaneka ragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdyaaan

masyarakat. Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan oleh peraturan

daerah Kabupaten (PERDA Kabupaten) sesuai pedoman umum yang ditetapkan

oleh pemerintah pusat.

Dalam menetapkan kebijakan tersebut sudah seyogyanya Perda yang

dibuat berdasarkan aspirasi masyarakat daerah setempat, sehingga tidak

menimbulkan kebijakan yang tumpung tindih dengan kebutuhan masyarakat. Hal

ini perlu diantisipasi kedepan. Sebab suatu kebijakan ang kurang tepat dapat

menimbulkan ekses yang tidak di inginkan. Dan bukan membuat suatu pola

kebijakan yang lebih baik tetapi tidak sebaliknya. Untuk itu diperlukan sebuah

perencanaan yang matang dan terpadu.

26
Rozali, Pemberdayaan Potensi Desa untuk meningkatkan Pendapatan Desa, Bina
Aksara, Jakarta, 2002, Hlm. 64

27
C. Dasar Hukum Pembentukan Badan Permusyaratan Desa

Sesuai dengan PP No. 72 Tahun 2005 tentang pokok-pokok pemerinthan

di Daerah, program-program pendayagunaan kelembagaan pemerintah daerah dan

desa terutama adalah yang menyangkut rumusan tugas, fungsi, saling hubungan,

tanggung jawab dan kewenangan yang melekat pada struktur organisasi dalam

seluruh hirarki administrasi pemerintah daera dan desa. Sehubungan dengan

upaya peningkatan kemampuan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah,

baik dalam rangka desentralisasi, dekontrasi dan pelaksanaan tugas pembantuan,

dalam Repelita V dilakukan pengkajian dan langkah-langkah penataan dan

pengaturan kembali pembagian dan batas-batas wewenang antara Pemerintah

Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II.

Selanjutnya unsure-unsur organisasi yang berperan dalam upaya peningkatan

pendapatan asli daerah akan dimantapkan system dan kemampuan teknis dan

manajemennya.

Lebih mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah,

ditempuh usaha untukmeningkatkan saling pengertian dan kerja sama antara

aparatur pemerinth yang ada di daerah, dan antara aparatur pemerintaha tersebut

dengan dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Hal ini dilakukan antara lain

dengan meluaskan informasi, memperlancar komunikasi, meningkatkan

28
kesempatan, dan mengkordinasikan serta menyerasikan berbagai langkah kegiatan

pembangunan di daerah. 27

Dalam PP No. 72 Tahun 2005 konsep keterwakilan sebagaimana tersebut

diatas tercermin dalam institusi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Desa

(BPD) yang berkedudukan sejajar dengan pemerintah desa. Adapun fungsi BPD

sesuai UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 4 menyebutkan “Badan Permusyaratan Desa

atau yang disebut dengan nama lain befungsi mengayomi adat istiadat, membuat

peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta

melakukan pengawasn terhadap penyelenggaraan pemerintah desa. 28

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara langsung menjadi system

pengangkatan Badan Permusyawaratan Desa (Bamusdes). Persoalan mengenai

Bamusdes sebenarnya bukan hanya pada system pengangkatannya, tetapi juga

pada fungsi (peran) yang harus dilakukan bersama dengan kepala desa yang

dipilih menyusun dan mengesahkan peraturan-peraturan desa. Akibatnya, secara

popular legitimasi aturan-aturan desa yang ditetapkan dapat dinilai tidak kuat.

Fungsi pengawasn Bamusdes terhadap kinerja kepala desa di dalam PP No. 72

Tahun 2005 tidak ada. Kepala des dipilih secara langsung oleh rakyat desa tetapi

pertanggungjawabannya tidak kembali kepada rakyat desa sebagai konstituenya

melainkan kepada Bupati melalui Camat. Mekanisme pertanggungjawaban kepala

desa ini jelas mencedarai prinsip transparansi dan akuntabilitas kepada desa yang

27
Muhyanto, Masalah dan Tantangan Pembangunan Pedesaan Jangka Panjang Tahap
Ke-II, APMD, Yogyakarta, 1991, hlm. 74
28
Syaukani HR, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Belajar, Jakarta,
2002, hlm. 31

29
dapat berakibat pada responsivitas kepala desa terhadap kepentingan dan

kebutuhan rakyat desa rendah. 29

Dalam PP No. 72 Tahun 2005 sebutan Badan Permusyawaratan Desa

diubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa, yang sesuai dengan Pasal 32

menyebutkan “Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan

desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalukan aspirasi masyarakat.

Anggota BPD terdiri dari tokoh-tokoh agama, adat, organisasi social

politik, golongan profesi dan unsure pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi

persyaratan yang dipilih dari dan oleh penduduk desa. Untuk melaksanakan

pemilihan anggota BPD tersebut di atas Kepala Desa membentuk Panitia

pemilihan yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa, keanggotannya

sebanyak-banyaknya 9 (Sembilan) orang yang terdiri dari 1 orang ketua

merangkap anggota, 1 orang Sekretaris merangkap anggota, dan 7 orang anggota.

Lebih mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah,

ditempuh usaha untuk meningkatkan saling pengertian dan kerja sama antara

aparatur pemerintah yang ada di daerah, dan antara aparatur pemerintah tersebut

tersebut dengan dunia usha dan masyarakat pada umumnya. Hal ini dilakukan

antara lain dengan melakukan informasi, memperlancar komunikasi,

meningkatkan kesempatan, dan mengkordinasikan serta menyerasikan berbagai

langkah kegiatan pembangunan di daerah. 30

Mendukung perwujudan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah

Tingkat II, program pendayagunaan aparatur pemerintah juga ditujukan pada


29
Abdul Ghafar Karim, Kompleksits Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 45
30
HA W Widjaja, Op.Cit, hal. 65

30
usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan teknis dan

manajemen aparatur pemerintah Daerah Tingkat II khususnya perangkat Dinas-

dinasnya. 31

Sedikitnya ada 108 desa di Kabupaten Semarang Jawa Tengah yang

bingung karena pada pertengahan awal tahun 2005 ini masa jabatna BPD yang

terpilih pada 5 (lima) tahun lalu telah habis masa jabatannya. Untuk membentuk

BPD yang baru, sesuai dengan UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005, Pemerintah

Kabupaten belum mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai BPD ayng

akan berganti nama menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Bagaimana pula

dengan desa-desa lain di Kabupaten yang lain diseluruh tanah air yang mengalami

hal serupa, termasuk masa jabatan Kepala Desa yang selesai pada pertengahan

tahun ini. Jika peraturan Daerah belum disyahkan oleh Pemda dan DPRD,

bagaimana nasib pemerintah desa. 32

Mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, agar tidak

menimbulkan persoalan yang berlarut-larut di tingkat pemerintah desa di seluruh

tanah air, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah menerbitkan Surat No.

140/2242/SJ tertanggal 6 September 2005 mengenai Penjelasan tentang

Pengangkatan Pejabat Kepala Desa, Pengisian Sekretaris Desa dan Penetapan

Anggota dan Pimpinan Badan Permusyaratan Desa (BPD). Surat ini terbit 4

(empat) bulan sebelum Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 tahun 2005 tentang

Desa ditanda tangani Presiden.

31
Bambang Yudyono, Otonomi Daerah Desentralissi dan Pengembangan SDM Aparatur
Daerah dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm. 45
32
Kusworo, Op.Cit, hlm. 23

31
Khusus mengenai BPD dalam Surat Mendagri No. 140/2242/SJ ini,

khususnya nomor 7 (tujuh) dinyatakan bahwa para anggota BPD yang diproses

melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

yang bersangkutan sebagai pelaksanaan dari PP No. 72 Tahun 2005. 33

D. Tata Cara Pengangkatan Badan Permusyawaratan Desa

Pemilihan Anggota BPD dilaksanakan oleh penduduk desa dari dusun

dalam wilayah desa yang bersangkutan yang mempunyai hak pilih yang

pelaksananaya dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Panitia pemilihan adalah, Panitia

Pemilihan anggota Badan Permusyaratan Desa yang ditetapkan dengan Keputusan


34
BPD.

Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditentukan berdasarkan

jumlah penduduk desa yang bersangkutan. Anggota DPRD dipilih dari calon-

calon yang diajukan oleh kalangan adat, agama, organisasi social-politik,

golongan profesi an unsure pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi

persyaratan.

Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi

anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah sebagai berikut :

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

33
Bambang Yudyono, Op.Cit, Hlm 46
34
A.W Widjaya, Op.Cit, hlm. 49

32
c. Tidak pernah terlihat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan yang

menghianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, G 30 S/PKI dan/atau

kegiatan organisasi terlarang lainnya 35

d. Berpendidikan sekurang-kurangnya SLTP atau berpengetahuan yang sederajat

e. Berumur sekurang-kurangnya 25 tahun/sudah kawin;

f. Nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya ;

g. Sehat jasmani dan rohani

h. Berkelakuan baik, jujur dan adil

i. Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan

j. Mengenali daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di desa setempat

k. Bersedia dicalonkan menjadi anggota DPRD

l. Tidak sedang dicabut hak pilihannya berdasarkan keputusan Pengadilanyang

telah mempunyai kekuatan hukum pasti ;

m. Memenuhi syarat-syarat lain yang sesuai dengan adat istiadat yang diatur

dalam Peraturan desa. 36

Pengesahan anggota BPD adalah selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah

Kepala Desa menyampaikan Berita Acara Hasil Pemilihan kepada Bupati melalui

Camat. Sebelum BPD melaksanakan tugas dan wewenangnya, Bupati atau pejabat

yang ditunjuk melakukan pelantikan dan mengambil sumpah/janji terhadap

Pimpinan dan Anggota BPD. Setelah pengambilan sumpah Anggota BPD Kepala

Desa dengan persetujuan BPD mengangkat Sekretaris BPD sebagai Kepala

35
Bambang Yudyono, Otonomi Daerah Desentralissi dan Pengembangan SDM Aparatur
Daerah dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm. 45
36
Ibid, hlm. 51

33
Sekretariat dan Star sesuai yang dibutuhkan. Sekretaris dan Staf BPD tersebut

bukan dari Perangkat Desa.

Badan Permusyawaratan Daerah mempunyai fungsi yakni :

Jumlah anggota Badan Permusyaratan Desa ditentukan berdasarkan

jumlah penduduk desa yang bersangkutan. Anggota BPD dipilih dari calon-calon

yang diajukan oleh kalangan adat, agama, organisasi social-politik, golongan

profesi dan unsure pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi persyaratan.

a. Mengayomi, yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan

berkembang di Desa yang bersangkutan, sepanjang menunjang

kelangsungan pembangunan.

b. Legalisis, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan Desa

bersama-sama Pemerintah Desa.

c. Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanana Peraturan

Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Keputusan Kepala

Desa.

d. Menampung aspirasi yang diterima dari masyarakat dan menyalurkan

kepada pejabat instansi yang berwenang. 37

37
A.W w. Widjaja, Op.Cit, hlm. 13

34
BAB III

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA, DALAM

SISTEM PEMERINTAHAN DESA

A. Pengertian dan Struktur Hukum Administrasi Negara

Pada dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk

dapat memberikan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak,

mengingat Ilmu Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang

mengikuti arah pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara.

Namun sebagai pegangan dapat diberikan beberapa definisi dari para Ahli

sebagai berikut :

1. Oppen Hein mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu

gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi

maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya yang

telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”

2. J.H.P. Beltefroid mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah

keseluruhan aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat pemerintahan

dan badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis pengadilan tata usaha

hendak memenuhi tugasnya.”

3. Logemann mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat

dari norma-norma yang menguji hubungan Hukum Istimewa yang diadakan

35
untuk memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas

mereka yang khusus.”

4. De La Bascecoir Anan mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah

himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab Negara

berfungsi/ bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-

hubungan antara warga Negara dengan pemerintah.”

5. L.J. Van Apeldoorn mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah

keseluruhan aturan yang hendaknya diperhatikan oleh para pendukung

kekuasaan penguasa yang diserahi tugas pemerintahan itu.”

6. A.A.H. Strungken mengatakan “ Hukum Administarsi Negara adalah

aturanaturan yang menguasai tiap-tiap cabang kegiatan penguasa sendiri.”

7. J.P. Hooykaas mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah ketentuan –

ketentuan mengenai campur tangan dan alat-alat perlengkapan Negara dalam

lingkungan swasta. ”

8. Sir. W. Ivor Jennings mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah

hukum yang berhubungan dengan Administrasi Negara, hukum ini

menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas dari pejabat-pejabat

administrasi.”

9. Marcel Waline mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah keseluruhan

aturan-aturan yang menguasai kegiataan-kegiatan alat-alat perlengkapan

Negara yang bukan alat perlengkapan perundang-undangan atau kekuasaan

kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan alat-alat

perlengkapan tersebut, baik terhadap warga masyarakat maupun antara alat-

36
alat perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang

menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha

negara/ administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan kewajiban-

kewajiban kepada para warga masyarakat dengan peraturan alat-alat

perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umum.”

10. E. Utrecht mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah menguji

hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan para pejabat

pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara khusus.”

11. Prajudi Atmosudirdjo mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah

hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan

administrasi atau pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi.”

12. Bachsan Mustofa mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah sebagai

gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat yang

diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintaha dalam arti

luas yang tidak diserahkan pada badan-badan pembuat undang-undang dan

badan – badan kehakiman.

Dari pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa bidang hukum

administrasi Negara sangatlah luas, banyak segi dan macam ragamnya. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Administarsi Negara adalah Hukum

mengenai pemerintah/Eksekutif didalam kedudukannya, tugas-tuganya, fungsi

dan wewenangnya sebagai Administrator Negara.

1. A. Pengertian Hukum Administrasi Negara

37
Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Pemerintahan itu meliputi

segala sesuatu mengenai pemerintahan, yakni seluruh aktifitas pemerintah yang

tidak termasuk perundangan dan peradilan.[1]

Untuk mendapatkan pemahaman yang dirasakan cukup memadai, berikut

ini akan dikemukakan batasan pengertian Hukum Administrasi Negara dari

beberapa pakar ilmu hukum.

Van Vollenhoven mengemukakan bahwa;

“Hukum Administrasi Negara adalah suatu gabungan ketentuan-ketentuan

yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun yang rendah apabila badan-

badan itu menggunakan wewenangnya yang telah diberikan kepadanya oleh

Hukum Tata Negara.”

De La Bassecour Laan mendefinisikan HAN sebagai berikut;

“Hukum Administrasi Negara adalah himpunan peraturan-peraturan

tertentu yang menjadi sebab negara berfungsi (beraksi), maka peraturan-

peraturan itu mengatur hubungan-hubungannya antara tiap-tiap warga negara

dengan pemerintahnya.”

Dalam bukunya yang telah disebutkan di atas E. Utrecht mengemukakan

bahwa Hukum Administrasi Negara adalah cabang ilmu pengetahuan hukum yang

menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para

pejabat (ambtsdrages, yakni administrasi negara) melakukan tugas istimewa

mereka.[2] Dan menurutnya HAN/ Hukum Tata Pemerintahan itu mempunyai

obyek :

38
1. Sebagian hukum mengenai hubungan hukum antara alat perlengkapan

negara yang satu dengan alat perengkapan negara yang lain.

2. Sebagian aturan hukum mengenai hubungan hukum, antara perlengkapan

negara dengan perseorangan. HAN juga disebut sebagai perhubungan-

perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga memungkinkan

para pejabat negara melakukan tugasnya yang istimewa. Dengan kata lain

bisa dikemukakan bahwa:

1. Obyek HAN adalah semua perbuatan yang tidak termasuk tugas

mengadili, meskipun mungkin tugas itu dilakukan oleh badan di

luar eksekutif, bagi HAN yang penting bukan siapa yang

menjalankan tugas itu, tetapi adalah masuk ke (bidang) manakah

tugas itu.

2. HAN merupakan himpunan peraturan-peraturan istimewa.

Istimewa dalam pengertian HAN di atas adalah kekuasaan istimewa

(khusus) yang dimiliki administrasi negara. Pada dasarnya administrasi negara

dalam melakukan hubungan hukum tunduk pada hukum biasa. Sebagai subyek

hukum dalam melakukan Hukum Administrasi Negara dapat menggunakan KUH

Perdata seperti subyek hukum lainnya. Tetapi agar dapat melaksanakan tugas

khususnya dengan baik (tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh subyek hukum

lain) dalam rangka menjamin kesejahteraan umum, maka administrasi negara

diberi kekuasaan istimewa agar semua masyarakat dapat tunduk pada perintahnya.

Adapun wujud dari kekuasaan istimewa ialah adanya kekuasaan “memaksa” agar

perintah administrasi negara dapat ditaati. Dalam perjanjian misalnya administrasi

39
negara dapat memaksa seseorang atau badan hukum untuk menjual tanahnya

kepada negara melalui lembaga Onteigening. Jadi dengan demikian HAN

merupakan hukum istimewa karena memberikan kekuasaan yang lebih bisa

memaksa, sedangkan hukum yang lain berlaku bagi subyek selain administrasi

negara adalah hukum biasa[3]

B. Pengertian Dan Kedudukan Pemerintahan Desa Dalam Hukum

Administrasi Negara

1. Penyelenggara Pemerintahan Dalam Hukum Administrasi Negara

Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh wakil presiden, dan

oleh menteri negara.Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah

daerah dan DPRD. Untuk pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas

pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi. Untuk pemerintahan daerah

kabupaten atau daerah kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten atau

kota dan DPRD kabupaten atau kota.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan

asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah,

pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas

40
pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari

pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah

kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi

vertikal di wilayah tertentu. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundangundangan.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak dan

kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja

pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan

pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah.

Pengelolaan keuangan daerah dimaksud dilakukan secara efisien, efektif,

transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-

undangan.

Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004

dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari

penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Hal ini tertuang dalam amanat UU No. 32 Tahun 2004, Pasal

200 ayat (1): “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan

desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa”. Dari

pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa pemerintahan desa bukanlah menjadi

41
bagian/perangkat pemerintah kabupaten/kota, karena sesungguhnya pemerintahan

desa memiliki hak otonomi tersendiri untuk mengelola pemerintahannya.

Dengan kondisi yang demikian, maka pemerintahan desa dituntut untuk

mampu menjalankan segala kewenangan yang menjadi tanggung jawabnya.

Menurut peraturan perundang-undangan terdapat 4 (empat) urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan pemerintahan desa, yaitu: 38

a. Uurusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. Ttugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau

pemerintah kabupaten/kota;

d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan

diserahkan kepada desa (Pasal 206 UU No. 32/2004).

2. Sistem Pemerintahan Desa

Penyelenggaraan pemerintahan desa tidak terpisahkan dari

penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan desa merupakan unit terdepan

(ujung tombak) dalampelayanan kepada masyarakat serta tombak strategis untuk

keberhasilan semua program.Karena itu, upaya untuk memperkuat desa

(Pemerintah Desa dan LembagaKemasyarakatan) merupakan langkah

mempercepat terwujudnya kesejahteraanmasyarakat sebagai tujuan otonomi

daerah. Sehingga penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan sub sistem dari

38
Daeng Sudiro, Pembahasan Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah dan Pemerintahan
Desa, Angkasa, Bandung, 1985, hal. 75

42
sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga Desa memiliki kewenangan

untuk mengaturdan mengurus kepentingan masyarakatnya. 39

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang

Desa yang ditetap kan pada tanggal 30 Desember 2005, pada pasal 1 menyebutkan

bahwa yang dimaksud Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan permusyawaratan Desa dalam

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul

dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.Seperti yang disebutkan dalam Undang-

undang bahwa dalam sebuah Pemerintah Kabupaten/Kota dibentuk Pemerintahan

Desa dan Badan permusyawaratan Desa. 40

Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa.Perangkat

Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya.Sedangkan yang

dimaksud Pemerintahan Desa adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan

yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa.Badan

Perwakilan Desa adalah lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan

peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa dan keputusan kepala

Desa.BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa.Sementara

kedudukan Sekretaris Desa menjadi sangat penting dalam membantu pelaksanaan

tugas Kepala Desa.Apa yang terjadi apabila Sekretaris Desa menjadi ganjalan

kepala Desa dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan kepemerintahan.

39
Wijaya, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Citra Aditya Bakti, Jakarta,
2003, Hlm 76
40
Ibid

43
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 45 Tahun 2007 tentang

persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi Pegawai Negeri

Sipil, pada pasal 1 yang disebut dengan Sekretaris Desa adalah Perangkat Desa

yang bertugas membantu Kepala Desa dalam bidang tertib administrasi

pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

Pada pasal 14 disebutkan bahwa Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS

berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dapat dimutasikan setelah menjalani masa

jabatan Sekretaris Desa sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun.

Hubungan antara Pemerintah Desa dan Badan perwakilan Desa. Pertama,

hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak pertama

menguasai pihak kedua; kedua, hubungan sub koordinasi artinya dalam

melaksanakan hubungan tersebut pihak kedua menguasai pihak pertama, atau

pihak kedua dengan sengaja menempatkan diri tunduk pada kemauan pihak

pertama, Ketiga, hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan kedua setingkat

dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.

Pemerintah Desa dalam melaksanakan tugas pembangunan dan

penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat harus benar-benar memperhatikan

hubungan kemitraan kerja dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa itu sendiri.

Kemitraan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa disini berarti bahwa dalam

melaksanakan tugas pembangunan maupun pemberian pelayanan kepada

masyarakat, semua aparatur Pemerintahan Desa, baik itu Kepala Desa, Sekretaris

Desa, dan Badan Perwakilan Desa harus benar-benar memahami kapasitas yang

menjadi kewenangan maupun tugasnyamasing-masing. Sehingga dalam

44
melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa semua aparatur pemerintah

desa dalam hubungannya dapat bersinergi dan bermitra dengan baik dan tepat

dalam meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang profesional dan

akuntabel.

3. Kedudukan Pemerintah Desa Dalam Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara mempunyai kekuasaan untuk mewajibkan

semua pihak mengimplementasikan prinsip Good Governance pada aktivitas

administrasi Negara sehari-hari, memberikan sanksi dan memberikan kriteria-

kriteria yang berkaitan dengan implementasi Good Governance bagi pejabat dan

petugas administrasi Negara. Good Governance di dalam HAN sudah merupakan

hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah.

Dengan demikian paradigma yang harus dipegang teguh adalah melayani

masyarakat (to serve people). 41

Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai

RUU Program Legislasi Nasional prioritas pada tahun 2007. RUU ini diharapkan

dapat menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang cukup revolusioner dan

menjadi instrument untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. RUU ini

juga akan menjadi hukum materiil bagi Hukum Administrasi Negara di Indoneisia

melengkapi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 Tahun 1986 jo

UU Nomor 9 Tahun 2004) yang lebih dulu ada. 42

41
Bachsan Mustafa, SH. Sistem Hukum Administrasi NegaraIndonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung 2012, Hlm 45
42
Ibid Hlm 46

45
Hukum administrasi materil terletak diantara hukum privat dan hukum

pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan

masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada

pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma-

norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak partikelir. Diantara

kedua bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Setelah reformasi dipilih

menjadi bagian dari bangsa Indonesia, ada beberapa Konsekwensi yang diterima

oleh bangsa Indonesia atau beberapa perubahan yang Fundamental bagi bangsa

Indonesia.

Mendefinisikan Desa

Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, Secara sosiologis, desa

merupakan sebuah gambaran dari suatu kesatuan masyarakat atau komunitas

penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka

(masyarakat) saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif

homogen serta banyak bergantung pada alam.

Komunitas masyarakat di atas kemudian berkembang menjadi satu

kesatuan hukum dimana kepentingan bersama penduduk menurut hukum adat

dilindungi dan dikembangkan Atau dalam bahasa Soetardjo Kartohadikoesoemo,

“suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang

mengadakan pemerintahan sendiri”. Ciri dari masyarakat hukum adat yang

otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri dengan batas yang sah, berhak

mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak

46
mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri, berhak

mempunyai sumber keuangan sendiri, serta berhak atas tanahnya sendiri (menurut

I Nyoman Beratha).

Dalam konteks inilah kemudian Desa menemukan identitasnya sebagai

sebuah kesatuan hukum yang memiliki hak untuk mengurus kepentingannya

sendiri, yang dalam bahasa lain disebut hak otonomi. Dengan demikian desa

secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini

terbentuk, dimana otonomi yang dimilikinya bukan pemberian pihak lain.

Desa di masa Orde Baru

Kemunculan Orde Baru ditandai dengan motif melakukan pemulihan

kehidupan ekonomi yang porak poranda pada masa Soekarno. Keinginan tersebut

membawa konsekuensi adanya jaminan stabilitas politik yang berwujud

terbentuknya sistem politik yang mendukung transformasi ekonomi serta jika

diperlukan mampu dan dapat mengendalikan akibat-akibatnya (terutama dengan

menjinakkan oposisi agar jangan sampai “menggangu” pemerintah). Sistem

kekuasaan Orde Baru kemudian dijalankan secara sentralistik-otoriter dengan

memberikan porsi yang sangat besar terhadap peran negara.

Khusus untuk menata desa, Orde Baru telah melakukan pengaturan-

pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa. Dengan mengeluarkan UU

No.5/1979 desa oleh Orde Baru dikonsepsikan sebagai “suatu wilayah yang

ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di

dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan

47
langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri

dalam ikatan Negara Kesatan Republik Indonesia “.

Jika kemudian ditinjau lebih jauh, konsepsi desa Orde Baru merupakan

suatu konsepsi desa dalam pengertian administratif. Desa dalam pengertian

administratif adalah satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu, suatu

satuan masyarakat, dan suatu satuan pemerintahan, yang berkedudukan langsung

di bawah kecamatan. Dengan diartikannya desa sebagai satuan ketatanegaraan

yang memiliki satuan pemerintahan memberikan kejelasan arti desa dalam

konteks di atas, yaitu desa merupakan bagian dari organisasi pemerintahan, baik

horizontal maupun vertikal, yang berada di daerah, baik berdasarkan asas

dekonsentrasi maupun desentralisasi. 43

Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif, UU No.5/1979 juga

telah melakukan perubahan-perubahan struktur desa, yaitu :

1. Penyeragaman struktur pemerintahan desa. Ini merupakan strategi dari Orde

Baru untuk memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa.

2. Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah nasional.

Menempatkan pemerintah desa sebagai rantai akhir dan terbawah dari sistem

birokrasi pemerintah yang sentralistik. Ini menjadikan desa hanya menjadi

kepanjangan tangan pemerintah pusat.

3. Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada

Kepala Desa.

43
Bachsan Mustafa, SH. Sistem Hukum Administrasi NegaraIndonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung 2012, Hlm 80

48
Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama Orde Baru atas desa,

yaitu pertama, mengarahkan pengertian desa pada sudut administrasi negara.

Kedua, menempatkan desa sebagai alat dari pemerintah pusat. Titik inilah yang

kemudian merubah arti desa yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan

kedudukannya sebagai satuan masyarakat hukum adat tertentu bergeser ke arah

pengertian/arti desa yang dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan-satuan

ketatanegaraan, atau satuan–satuan administratif pemerintahan. Dengan kalimat

lain kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom makin

lama makin turun karena menjadi subsistem terbawah dari birokrasi pemerintahan

nasional. Otonomi asli desa tidak bisa lagi dilaksanakan karena kedudukan desa

yang telah berubah menjadi subsistem dari negara.

Desa di Era Reformasi

Pada era reformasi, rezim yang baru diliputi persoalan lemahnya legitimasi

serta ancaman disintegrasi bangsa akibat adanya keinginan dari beberapa daerah

untuk memerdekakan diri, lepas dari Republik Indonesia. Hal di atas direspon

oleh pemerintah Habibie dengan mengeluarkan UU No. 22/1999 dan UU No.

25/1999 yang berisi tentang pemberian otonomi kepada daerah untuk mengurus

kepentingan dan rumah tangganya sendiri.

Pada UU No. 22/1999 terutama pasal 93-111, pasal-pasal yang mengatur tentang

desa, mengandung semangat mengakhiri sentralisasi serta mengembangkan desa

sebagai wilayah otonom. Desa dikembalikan statusnya sebagai lembaga yang

diharapkan demokratis dan otonom, hal ini terlihat dari pertama, adanya

49
‘keinginan’ untuk mendudukkan kembali desa terpisah dari jenjang birokrasi

pemerintah. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan

masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal usul, dan penghormatan terhadap

adat istiadat setempat. Kedua, memulihkan demokrasi di tingkat yang paling

rendah dengan pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD).

Berkaitan dengan struktur desa, ada beberapa perubahan yang dibawa oleh UU

No.22/1999, yaitu :

1. Penghapusan penyeragaman struktur pemerintahan desa.

2. Pembentukan struktur pemerintahan desa baru yang terdiri atas pemerintah desa

dan Badan Perwakilan Desa

3. Pembentukan lembaga perwakilan di tingkat desa dan penghapusan fungsi

kepala desa sebaga pusat kekuasaan di desa.

Jika ditinjau secara umum, apa yang telah dilakukan pemerintah pada era

reformasi berkaitan dengan regulasi-regulasi yang dibuat bagi desa, telah

membawa angin segar atas harapan akan adanya otonomi desa. Harapan bagi

terbukanya ruang-ruang pelaksanaan otonomi dan demokratisasi ditingkatan desa

telah dipupuk.

Namun demikian dalam UU No. 22/1999 masih juga menyisakan persoalan-

persoalan yang berkaitan dengan otonomi di tingkat desa. Pada beberapa pasal

dalam UU No. 22/1999 justru membuat orang ragu atas kesungguhan pemerintah

untuk benar-benar memberikan otonomi kepada desa. Hal ini didasarkan pada

pertama, desa masih dibuat tergantung pada dinamika pembentukan kebijakan

kabupaten (pasal 93). Kedua, desa masih harus melakukan tugas pembantuan dari

50
pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan kabupaten (pasal 99). Ketiga,

pemerintah desa masih ditempatkan sebagai subsistem dari sistem

penyelenggaraan pemerintahan (bagian Penjelasan Umum Pemerintah Desa).

Keempat, keluarnya Keputusan Mendagri No. 64/1999 tentang Pedoman Umum

Pengaturan Mengenai Desa.

Otonomi Desa sebagaimana yang dikonsepkan dalam UU No. 22/1999 adalah

otonomi yang berasal dari “niat baik” negara. Karena sifatnya pemberian maka

adanya pasal-pasal yang kontradiktif merupakan hal yang lumrah. Hadirnya UU

No. 22/1999 lebih didasarkan atas usaha untuk meredam potensi disintegarasi

bangsa dibandingkan sebagai usaha yang tulus dari negara untuk mengembalikan

otonomi kepada desa menjadikan otonomi desa yang dikonsepkan dalam UU

tersebut bukanlah otonomi desa sebagaimana konsep aslinya, yaitu desa sebagai

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengurusi kepentingannya

sendiri

Perangkat Pemerintahan Desa Dalam Hukum Administrasi Negara

Pengangkatan Sekdes menjadi PNS memang sedikit menimbulkan

persoalan. Tanggapan beragam yang tidak mendukung tentunya akan

menghambat jalannya kebijakan ini. Pemerintah diharapkan mampu menjadi

wadah dalam menampung aspirasi masyarakat dan melibatkan pendapat dan

partisipasi stakeholders diluar pemerintah dalam menjalankan peraturan tersebut.

Mulai dari tujuan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut sampai pada

proses pengangkatan Sekdes itu sendiri. Kebijakan tersebut harus lebih

51
dipertimbangkan sebab semakin kukuhnya posisi dan status sekdes sebagai

pegawai negeri atau bagian struktur formal pemerintahan, maka berimbas pada

jalannya roda pemerintahan desa yang mengacu karakter legal secara ketat. Sangat

mungkin nuansa sentralisasi pemerintahan kian kental, di mana dalam kondisi

tertentu orientasi pada (kebijakan) pemerintah tingkat atasnya lebih mendominasi.

Meski demikian, tidak bisa seratus persen dikatakan bahwa pergeseran posisi dan

status sekdes otomatis akan semakin “menjauhkannya” dari komunitas

masyarakat, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sekdes masih sebagai bagian

warga setempat. 44

Jika ditinjau dari jumlah desa di Indonesia yang mencapai 70.611 desa,

kebijakan pemerintah yang akan diimplementasikan tidak akan terwujud 100%.

Hal ini dikarenakan masih terdapat 5000an desa yang belum terdaftar dalam

kantor Departemen Dalam Negeri. Kendala terbesar lainnya yaitu jika kebijakan

pemerintah tersebut benar-benar terealisasikan akan menjadikan dana APBN

semakin membengkak. Hal ini akan memicu permasalahan baru dalam

pemerintahan. Dengan kata lain mangatasi masalah dengan memunculkan

masalah baru. 45

Adanya dukungan dan kesiapan dari para sekdes dalam melaksanakan

kebijakan ini pada kenyataanya belum disertai dukungan dari masyarakat.

Sebagian masyarakat menganggap kebijakan sekdes PNS seakan-akan terkesan

diskriminatif bagi kepala desa, perangkat desa dan juga Badan Permusyawaratan

Desa (BPD) yang berstatus sama sebagai unsur pemerintahan desa. Kebijakan ini

44
Widjaja, Pemerintah Desa/Marga, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2001, hlm. 13
45
Ibid

52
banyak memunculkan penafsiran, opini, dan tanda tanya yang hingga saat ini

belum menemukan titik terang. Bukan tidak mungkin berdampak resonansi

dimana semua Perangkat Desa lainnya juga mengharapkan atau menuntut untuk

menjadi PNS. Tuntutan ini secara praktikal dan realita lapangan tidak

memungkinkan mengingat bahwa definisi dari perangkat desa lainnya termasuk

didalamnya ialah Kepala Dusun/Dukuh atau RW dan sebagainya yang masih

belum memungkinkan dan belum pernah dikaji kemungkinan serta

kepentingannya untuk di PNS-kan. Seperti dimaklumi bahwa kepengurusan

Kepala Dusun/Kuwu/ Kepala Dukuh atau RW dan RT dll sebagai perangkat desa

masih bersifat volunteer seperti halnya terjadi di berbagai negara. Lahirnya PP

baru yang sudah disiapkan pemerintah untuk Sekdes adalah PNS tersebut semakin

membangun optimisme perbaikan birokrasi Indonesia.

C. Kewenangan Badan Permusyaratan Desa Sebagai Unsur Penyelengara

Pemerintahan Desa

Makna demokrasi adalah keterwakilan artinya pemerintahan yang

demokratis, keputusan-keputusan yang dibuat harus mencerminakn keterwakilan

rakyat melalui Permusyawaratan politik. Konsep permusyawaratan adalah konsep

yang menunjukkan hubungn antara orang-orang, yakni pihak yang mewakili

memiliki sederet kewenangan sesuai dengan kesepakatan antar keduanya. 46

46
Kusworo, Op.Cit, hlm.19

53
Secara konsepsional BPD yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra

pemerintah desa diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan prinsip “check

and balance” dan sangat dibutuhkan hubungan kemitraan (Partnership). 47

Tugas, fungsi dan wewenang Badan Permusyawaratan Desa yang

dimaksud adalah :

a. Mengayomi, yaitu menjaga kelestarian adat dan istiadat yang hidup dan

berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan

pembangunan.

b. Legalisasi, yaitu merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama

Pemerintah Desa.

c. Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa,

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Keputusan Kepala Desa

d. Menampung aspirasi yang diterima dari masyarakat dan menyalurkan kepada

pejabat instansi yang berwenang

e. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala Desa

f. Bersama-sama kepala Desa membentuk Keputusan Desa

g. Bersama-sama Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Desa

h. Memberikan pendapat dan pertimbangan Kepada Pemerintah Desa terhadap

rencana perjanjian antar Desa dengan pihak ketiga dan pembentukan Badan

Usaha Milik Desa (BUMD) 48

47
Ibid
48
A.W Widjaya, Op.Cit, hlm. 131

54
Namun, fakta empiris memperlihatkan tugas dan kewenangan BPD ini

mengalami hambatan antara lain :

1. Munculnya ego sektoral yang menimbulkan ketidak percayaan antara kedua

belah pihak yang berdampak pada lingkungan kerja kurang kondusif.

2. Kualitas sumber daya manusia yang ada masih terbatas

3. Kurang memahaminya tugas dan fungsi masing-masing, sehingga ada kesan

bahwa BPD selalu mencari kesalahan dari pemerintah desa.

4. Pengabdian sebagai anggota BPD hanya dijadikan sambilan, karena sebagian

besar anggota masyarakat mempunyai tugas pokok masing-masing.

5. Tunjangan anggota BPD kurang memadai, sekalipun pengaturan mengenai

tunjangan sudah ada dalam PP No. 72 Tahun 2005. 49

Dilihat dari proses perekruran anggota BPD sesuai dengan Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004, telah terjadi kemajuan dalam pelaksanaan demokrasi

di tingkat masyarakat pedesaan karena dipilih secara langsung, hanya saja dalam

pelaksanaan kegiatan setelah terpilih banyak mengalami kendala memaknai

hubungan kemitraan dengan pemerintah desa sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya. 50

Kekurang harmonisan antara pemerintah desa dengan BPD merupakan fakta

empiris dalam tataran implementasi pada Undang-Undang No.32 Tahun 2004,

sehingga dengan melihat pada ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 32

Tahun 2004 sekarang berupaya mengembalikan budaya politik lokal yang sudah

ada pada masyarakat pedesaan, yaitu dengan pendekatan filosofi, musyawarah dan

49
Ibid, hlm. 73
50
Ibid

55
mufakat. Dengan demikian kedepan, proses perekrutan anggota BPD tidak lagi

melalui pilihan langsung akan tetapi anggota BPD diwakili oleh penduduk yang

ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Selain itu penyelenggaraan

pemerintah desa diharapkan tidak saling menunjukkan egois sektoral masing-

masing dan dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi bersama dengan cara

musyawarah untuk mencari mufakat, semua ini dapat terwujud apabila didasari

hubungan kemitraan yang harmonis.

D. Tinjauan Hukum Administrasi Terhadap Badan Permusyawaratan Desa

Dalam Sistem Pemerintahan Desa.

Bentuk hukum peraturan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan

Desa, sama-sama merupakan bentuk peraturan yang proses pembentukannya

melibatkan peran wakil rakyat dan kepala pemerintahan yang bersangkutan.

Khusus untuk tingkat desa, meskipun tidak terdapat lembaga parlemen

sebagaimana mestinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 209 dan 210 UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dibentuk Badan Permusyawaratan

Desa, dimana ditegaskan bahwa “Badan Permusyawaratan Desa berfungsi

menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan

aspirasi masyarakat”.

Untuk melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran para

wakil rakyat tersebut, maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu

diberi wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan.

Karena itu selain UU, Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan

56
Pemerintah dan Peraturan Presiden. Demikian pula Gubernur, Bupati, Walikota,

dan Kepala Desa, selain bersama-sama para wakil rakyat membentuk peraturan

daerah dan peraturan desa, juga berwenang mengeluarkan peraturan kepala daerah

sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi tersebut. Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan perwujudan demokrasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsure penyelenggara desa.

Keberadaan BPD dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan masyarakat

dalam bidang penyelengaaraan pemerintahan. Pada masa orde baru pelibatan

masyarakat di dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di laksanakan melalui

pembentukan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan

Masyarakat Desa (LKMD). Namun lembaga tersebut kurang berfungsi secara

proporsional, hanya berfungsi sebagai tangan kanan dari Kepala Desa. Pada sisi

lainnya, hegemoni penguasa desa sangat dominan dalam segala hal. Akibatnya

masyarakat kurang bisa belajar berdemokrasi. Hal ini dibuktikan dengan

kekuasaan Kepala Desa yang dapat dikatakan analog dengan kekuasaan dictator

atau raja absolute, sehingga masyarakat kurang dapat secara leluasa menyalurkan

aspirasinya. Otonomi daerah telah memberikan ruang gerak bagi partisipasi

masyarakat dalam pembangunan, yang menjadikan masyarakat tidak hanya

sebagai objek pembangunan tetapi juga subjek pembangunan dan dengan tingkat

partisipasi tersebut diharapkan akselerasi hasil-hasil pembangunan dapat segera

diwujudkan dan berdayaguna dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

Partisipasi masyarakat tersebut disamping dilaksanakan oleh lembaga-lembaga

non formal seperti keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-

57
kelompok kepentingan lain melalui tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah atau

bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah, juga dilaksanakan oleh

lembaga-lembaga formal pada tingkat daerah melalui kewenangan lebih besar

pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan di tingkat desa dengan

pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Ruang gerak bagi demokratisasi dan peran serta masyarakat tersebut dalam

perjalanan belum berpihak secara sungguh-sungguh terhadap kepentingan

masyarakat. disadari bersama bahwa mengubah suatu sistem sosial politik

ekonomi serta kelembagaan dan budaya tidak dapat terjadi dalam waktu relatif

singkat (berlakunya sebuah UU tidak berarti secara otomatis mengubah sistem,

politik, dan budaya masyarakat). Diperlukan adanya konsistensi, kemauan baik

dari pelaksanaan UU, Kebijakan Pemerintah, kesiapan dari masyarakat dan

birokrasi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat. Dengan kata lain ide-ide

tentang otonomi daerah, demokratisasi dan penghargaan atas hak-hak asasi

manusia dalam pembangunan memiliki dinamika sendiri dalam implementasinya

baik dipusat, daerah, dan desa. Paradigma pembangunan yang sentralistik terbukti

telah gagal dan perlu dikembangkan paradigma baru yaitu paradigma

pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas melalui

peningkatan civil society sehingga pembangunan adalah dari masyarakat oleh

masyarakat dan untuk masyarakat yang pada akhirnya adalah Pembangunan

Bangsa secara keseluruhan, dan itu hanya dapat terjadi apabila pembangunan

dimulai dari “pembangunan masyarakat desa”. Saat ini, upaya untuk membangun

dan mengembangkan kehidupan masyarakat desa dirasakan semakin penting. Hal

58
ini disebabkan disamping karena sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan,

kini partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan juga sangat

diharapkan, sebagaimana tercantum dalam UU nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah sangat mensyaratkan keadaan sumber daya

manusia yang mumpuni, karena mereka inilah yang kelak akan lebih banyak

menentukan bergerak atau tidaknya suatu daerah di dalam menjalankan kegiatan

pembangunan dan pemerintahan pada umumnya. Daerah yang otonom sangat

mensyaratkan keberadaan masyarakat yang otonom pula. Masyarakat yang

otonom adalah masyarakat yang berdaya, yang antara lain ditandai dengan

besarnya partisipasi mereka di dalam kegiatan pembangunan. Karena itulah,

dalam era otonomi daerah yang kini mulai dilaksanakan, peningkatan partisipasi

masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya

sangat penting. Menurut Muchsan (dalam Suko Wiyono 2006: 48-59) Secara

teoritis dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat sendi-sendi sebagai pilar

penyangga otonomi, sendi-sendi tersebut meliputi:

(1) sharing of power (pembagian kewenangan);

(2) distribution of income (pembagian pendapatan);

(3) empowering (kemandirian/pemberdayaan pemerintah daerah).

Ketiga sendi tersebut sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah,

apabila sendi tersebut semakin kuat, maka pelaksanaan otonomi daerah semakin

kuat pula, dan sebaliknya apabila sendi-sendi tersebut lemah, maka pelaksanaan

otonomi semakin lemah pula. Ketiga sendi-sendi ini sebagai pilar-pilar otonomi

telah dijabarkan dalam prinsip-prinsip otonomi yang tertuang dalam UU No.22

59
Th.1999 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah maupun dalam

Undang-Undang penggantinya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintahan Pusat dan Daerah telah dijabarkan tentang ketiga sendi tersebut

yaitu dalam prinsip-prinsip otonomi. Upaya untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat daerah sebenarnya telah banyak dilakukan oleh

pemerintah melalui berbagai program pembangunan, antara lain: Dana

Pembangunan Desa, Bantuan Inpres Desa Tertinggal, bantuan bibit dan pupuk

bagi petani, Kredit Usaha Tani, Kukesra, Takesra, bantuan bergulir ternak sapi

dan lain sebagainya. Namun demikian berbagai program tersebut gagal

memberikan kesejahteraan warga masyarakat di daerah (desa). Upaya perwujudan

kesejahteraan melalui peningkatan peran serta masyarakat yang dilaksanakan

dengan melibatkan LSM, seperti dalam program jaring pengaman sosial, dan

berbagai macam program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan pada masa

pemerintahan reformasi. Namun hasilnya masih belum terealisasikan bahkan ada

dugaan adanya penimpangan penggunaan dana untuk program-program

pengentasan kemiskinan, bahkan laporan pertanggungjawaban kepala daerah

isinya hanya menginformasikan penyelenggaraan pemerintahan daerah tanpa

menyinggung laporan penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang

dipergunakan untuk membiayai berbagai program peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

60
Pelibatan masyarakat tidak hanya dalam bidang peningkatan kesejahteraan tetapi

juga dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keberadaan Badan Permusyawaratan

Desa (BPD) dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan masyarakat tersebut.

Badan Permusyawaratan Desa yang disingkat BPD pada dasarnya adalah

penjelmaan dari segenap warga masyarakat dan merupakan lembaga tertinggi

Desa. BPD juga merupakan pemegang dan pelaksanan sepenuhnya kedaulatan

masyarakat desa. Lembaga ini memiliki urgensi yang tidak jauh berbeda dengan

DPR. Karenanya agar otonomi di desa dapat berjalan secara proporsional.

Badan Permusyawaratan desa yang selanjutnya disebut BPD adalah

lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan

Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. BPD

berfungsi untuk menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa, dan

menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota BPD adalah wakil

dari penduduk Desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang

ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota BPD

adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk I (satu) kali masa

jabatan berikutnya, pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap

sebagai kepala desa dan perangkatnya. 51

1. Kedudukan BPD dalam pemerintahan Desa

BPD dengan Kepala Desa mempunyai kedudukan setara, karena kedua belah

pihak sama-sama dipilih oleh anggota masyarakat desa tetapi kalau dilihat dari

51
A.W Widjaya, Op.Cit, hlm. 131

61
proses pemberhentian, terkesan BPD berkedudukan lebih tinggi, dimana BPD

mempunyai kewenangan mengusulkan pemberhentian Kepala Desa kepada

Bupati. Sementara Kepala Desa tidak lebih dari pada itu, dalam proses penetapan

perangkat desa, Kepala Desa harus meminta persetujuan kepada BPD. Namun,

demikian kedua belah pihak tidak saling menjatuhkan karena sama-sama dilihat

oleh masyarakat dan mengemban amanah dari masyarakat.

Kedudukan BPD dan pemerintah desa sejajar, artinya Kepala Desa dan BPD sama

posisinya dan tidak ada yang berada lebih tinggi atau lebih rendah. Keduanya

dipilih oleh masyarakat dan mengemban amanah dari masyarakat.

2. Hubungan BPD dengan Pemerintah Desa

Hubungan antara BPD dengan pemerintah desa adalah mitra, artinya antara BPD

dan kepala Desa harus bisa bekerja sama dalam penetapan peraturan desa dan

APBDes. BPD mempunyai tugas konsultatif dengan kepala desa untuk

merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam melaksanakan pemerintahan dan

pembangunan desa, selain itu BPD juga berkewajiban untuk membantu

memperlancar pelaksanaan tugas kepala desa. Mengingat bahwa BPD dan Kepala

desa itu kedudukannya setara maka antara BPD dan kepala desa tidak boleh saling

menjatuhkan tetapi harus dapat meningkatkan pelaksanaan koordinasi guna

mewujudkan kerjasama yang mantap dalam proses pelaksanaan pembangunan

yang merupakan perwujudan dari peraturan desa.

Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari

desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal sebagai

62
persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan kepekaan lokal. Perspektif

desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi

penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah,

sebagai tujuan utama dari desentralisasi. Sedangkan desentralisasi politik ini pada

tingkat desa menekankan pada aspek kelembagaan desa, pembagian peran serta

berfungsi atau tidaknya kelembagaan desa.

Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat,

namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat

atasnya. Hal itu menyebabkan desa memiliki arti penting sebagai basis

penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik

rakyat lokal. Peran penting desa ini disadari oleh pemerintah Hindia Belanda pada

masa politik kolonial, melalui penerbitan Indlandsche Gemeente Ordonanntie

(IGO) Stbl. 1906 No. 83, yaitu aturan hukum yang memberikan ruang bagi desa

untuk menjalankan pemerintahan sendiri (self governing community) dalam

bentuk pengakuan hak-hak budaya desa, sistem pemilihan kepala desa,

desentralisasi pemerintahan pada tingkat desa, parlemen desa dan sebagainya.

Pada masa ini penduduk ‘pribumi’ diperintah secara langsung oleh

penguasa pribumi, dan secara tidak langsung oleh penguasa Belanda. Sistem

pemerintahan berdasarkan ras ini berlangsung hingga 1942, dengan penguasa

pribumi memegang jabatan mulai dari karesidenan, kawedanan hingga tingkat

kecamatan, dan membawahi kepala desa. Hal ini sesuai dengan skema dimana

pemerintah kolonial melakukan penguasaan sumberdaya dengan ‘memegang’ elite

politik lokal, meskipun demikian secara tradisional struktur pemerintahan ini

63
bersifat otonom. Proyek politik untuk menata pemerintahan negara Indonesia pada

kurun waktu paska kemerdekaan, dilakukan dalam konteks penataan institusi

pemerintahan di daerah, tetapi masih dalam bingkai negaraisasi, memperlakukan

desa dalam wawasan pemerintah pusat. Bagaimana hal ini direfleksikan dalam

praktek berlakunya UU tersebut, dan bagaimana pengaruhnya pada pemerintahan

asli desa?

Pada masa rejim Orde Baru yang berkarakter represif secara politik untuk

mendukung ‘pembangunan ekonomi’, aktivitas ekonomi desa terseret dalam

pusaran modernisasi sektoral, yang menyebabkan penciutan lahan pertanian untuk

pembangunan pabrik, ekploitasi hutan untuk kepentingan ekspor kayu, dan alih

profesi para petani tradisional menjadi buruh pabrik atau pekerja tambang.

Penekanan terhadap stabilitas politik untuk mendorong laju ekonomi ini dalam

penataan pemerintahan diwujudkan dalam UU No. 5/1979 yang berwawasan

‘kontrol’.

Dengan mengartikan desa sebagai konsep administratif, maka desa terletak

di bawah struktur pemerintahan kecamatan. Kepala desa dan dewan desa

bertanggungjawab kepada pemerintah supra desa, bukan kepada warga, sehingga

desa lebih merupakan kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintah pusat.

Akibatnya terjadi kecenderungan pemusatan kekuasaan di tangan kepala desa.

Desa tidak ubahnya sebagai mesin birokrasi kepanjangan dari birokrasi negara.

Pasal 3 UU No. 5/1979 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari kepala

desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), yang merupakan lembaga

64
musyawarah atau permufakatan antar elite pemerintahan desa dengan tokoh

masyarakat desa.

Secara praktis, UU tersebut mengesahkan posisi dan fungsi kepala desa

sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai ketua LMD. Selain LMD, terdapat

juga LKMD (lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) yang No. 28/ 1980 dan

dikukuhkan oleh Instruksi Mendagri No. 4/ 1981 yang berfungsi sebagai

koordinator pelaksanaan proyek pembangunan desa. Keanggotaan LKMD seperti

halnya LMD terdiri dari para elite desa yang cenderung dekat dengan kepala desa,

sementara pembentukan pengurus LKMD harus disetujui oleh kepala desa, camat,

dan bupati atau walikota untuk disahkan.Oleh karenanya baik LKMD maupun

LMD tidak bisa menyuarakan pandangan kritis terhadap kepala desa. Untuk

menjaga ‘loyalitas’ dari kalangan masyarakat desa, ‘pesta demokrasi’, yang

dikomandoi oleh para ‘klien negara’ di desa, diselenggarakan secara periodik

diadakan lima tahun sekali. Desa menjadi sumber untuk mobilisasi dukungan

terhadap partai-partai politik. Secara perlahan, dengan praktek ekonomi dan

politik seperti di atas, otonomi asli dan masyarakat hukum yang otonom semakin

menghilang. Pada masa reformasi, dalam kerangka desentralisasi politik dan

demokratisasi maka ketentuan tentang pemerintahan desa disesuaikan dengan

keanekaan kekhasan sosial, budaya dan ekonomi desa. Ruang politik yang

semakin terbuka juga ditandai oleh munculnya asosiasi-asosiasi kemasyarakatan

desa serta seruan dari berbagai pihak untuk menghidupan kembali struktur

pemerintahan adat. UUPA No. 11/ 2006 mengakomodasi kembalinya format

otonomi asli pemerintahan Aceh tersebut. Pada tataran implementasinya,

65
kabupaten-kabupaten di Aceh mengeluarkan qanun atau peraturan daerah untuk

menjadi dasar pembentukan lembaga daerah sampai tingkat gampong. Di

Kalimantan Tengah, pemerintah daerah mengakomodasi struktur pemerintah adat

‘kedemangan’ dalam struktur pemerintahan modern berdasarkan UU No. 22/1999.

Di Sumatra Barat, dikenal sebutan ‘nagari’ yang tingkatan sistem

pemerintahannya hampir serupa dengan Nanggroe, demikian juga dengan fungsi

perangkat pemerintahannya. Harus diakui bahwa satu keutamaan reformasi adalah

keberhasilan mengakomodasi dan ‘menyesuaikan’format pemerintahan asli ini ke

dalam penyelenggaraan negara, meskipun masih banyak kekurangannya di sana-

sini.

UU No. 22 Tahun 1999 pada intinya menerapkan kerangka desentralisasi

politik, yang ditandai oleh pembatasan kekuasaan pusat dan pemberian otoritas

yang lebih luas kepada pemerintah daerah UU No. 22/1999 menjadi prinsip utama

untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan keberadaan BPD, serta

adanya pemberdayaan peran dan fungsi parlemen daerah, untuk tujuan

meningkatkan demokratisasi lokal melalui perluasan ruang partisipasi politik

rakyat. Pemerintahan desa dalam UU No. 22/1979 diatur dalam pasal-pasal 93

hingga 111. Dalam pasal 95, pemerintah desa- atau disebut dengan nama lain-

terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Pasal 104 mencantumkan keberadaan

BPD (Badan Perwakilan Desa) yang befungsi sebagai pengayom adat istiadat,

pembuat peraturan desa (perdes), penampung dan penyalur aspirasi masyarakat,

serta pengawas penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal ini menandakan

perubahan signifikan dalam struktur dan fungsi kelembagaan desa, dimana kepala

66
desa harus bersama-sama BPD menjalankan fungsi administrasi, anggaran dan

pembuatan keputusan desa. Dari aspek keanggotaan, Pasal 105 mengatur bahwa

anggota BPD sebagai wakil rakyat desa dipilih dari dan oleh masyarakat desa.

Kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD, dan dalam Pasal 102

diatur bahwa kepala desa melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada bupati.

Namun demikian, tidak semudah itu menerapkan konsep-konsep ideal demokrasi

sesuai dengan UU No. 22/1979. Seperti disampaikan di muka, keberagaman latar

belakang sosial, budaya dan ekonomi di daerah-daerah di Indonesia menjadikan

corak kelembagaan pemerintah desa pun menjadi beragam. UU No. 22/1999, yang

substansinya mendukung keanekaragaman dalam masyarakat desa, ironisnya,

tetap ‘menyeragamkan’ struktur pemerintahan desa. Dalam prakteknya, konsep

pemerintahan desa yang diperbarui oleh UU ini ‘dipertemukan’ dengan sisa-sisa

pola patron-klien di kalangan masyarakat desa, yang terbentuk pada masa Orde

Baru. Belum lagi faktor-faktor keanekaragaman pola budaya yang terus berubah.

Secara khusus, idealnya para pembuat keputusan mengenai pemerintahan desa

harus mempertimbangkan pengaruh dari apa yang oleh kalangan pengamat politik

pedesaan disebut sebagai fenomena khas, yaitu bahwa masyarakat Indonesia

adalah ‘masyarakat transisi yang permanen’, karena tidak lagi tradisional

sepenuhnya, namun juga belum bergerak ke arah ‘masyarakat modern’ (dalam

pengertian modernisme Barat yang menekankan pada asas rasionalitas dan

individualisme). Sehingga, jika alasan tersebut di atas dapat dipahami oleh para

pembuat keputusan, maka solusi terhadap praktek demokrasi yang hanya terjadi di

tingkat prosedural artinya demokrasi hanya sebatas aspek prosedur, namun tidak

67
diikuti oleh proses politik yang mencerminkan perilaku atau budaya demokratis

tidak hanya sebatas dengan keluarnya peraturan baru yang dampaknya tambal

sulam. Para pengambil keputusan seharusnya memahami latar belakang sosial,

budaya dan ekonomi di pedesaan, dan kemudian menjadikan faktor-faktor

tersebut sebagai variabel penentu dalam penataan pemerintah desa, baik dari

aspek kelembagaan maupun pranata desa, yang sesuai dengan asas demokrasi.

Sebagai contoh, terdapat kasus di beberapa daerah dimana anggota BPD,

yang terpilih secara demokratis, menggunakan akses komunikasi politik langsung

ke Bupati untuk menjatuhkan kepala desa, yang tidak lagi memainkan peran

sentral dalam perpolitikan desa. Ada kalanya, untuk memuluskan pencapaian

tujuan kepentingan politik atau ekonomi, kades juga dapat berkolaborasi dengan

BPD (kolusi) sehingga tidak lagi mengawasinya. Pemilihan kepala desa dan BPD

juga seringkali diwarnai oleh isu politik uang atau intrik politik lainnya, yang

diikuti pula dengan kecenderungan anarkisme dari massa pendukung yang tidak

puas. Hal ini berarti bahwa suatu sistem demokrasi tidak bisa berlangsung tanpa

adanya jaminan penegakan hukum oleh Negara di satu pihak, dan kultur

demokratis (dari masyarakat dan elite politik ) di pihak lain. 52

Perbedaan budaya di antara warga juga seringkali disikapi dengan

kekerasan sebagaimana jaman penjajahan atas dalih ‘rust en orde’, dan

malangnya, ini dilakukan oleh sesama warga Negara. Meskipun terdapat

fenomena negatif dalam praktek politik seperti di atas, upaya demokratisasi di

desa-desa memang memerlukan proses yang panjang, sebab terjadi transformasi

52 52
A.W Widjaya, Op.Cit, hlm. 149

68
besar-besaran pada dua aras yaitu pertama, pola berpikir dan praktek politik para

elite desa, dan kedua, pada internal masyarakat desa sendiri, dalam konteks

transisi politik sejak 1998. BPD saja baru terbentuk kurang dari 5 tahun (terhitung

sejak 2004), sudah tentu memerlukan waktu untuk sepenuhnya menjalankan

fungsi sebagai Badan Perwakilan Desa. Masyarakat desa memerlukan

‘perenungan’ atau penyesuaian terhadap mekanisme pemilihan langsung wakil-

wakilnya, setelah sekian lama terbiasa dalam proses politik yang serba ditentukan

dari atas. Sesungguhnya kurun waktu antara 1999 hingga 2004 inilah periode

penting untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi (baik ‘asli’ maupun ‘demokrasi

Barat’) dalam praktek politik desa yang peluangnya ada di tangan organisasi non

pemerintah, masyarakat desa, serta pelbagai pemangku kepentingan di desa.

Maka, upaya untuk mengintrodusir demokrasi di tingkat desa, dengan

memperkuat kapasitas masyarakat akar rumput di desa menjadi percuma ketika

pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 32/2004 yang cenderung mengembalikan

kekuasaan di tangan kepala desa dan mencabut peran badan perwakilan desa, dan

sekali lagi, menyeragamkan struktur kelembagaan pemerintah desa. UU 32/2004

tersebut keluar dengan latar belakang dominannya perspektif resentralisasi

pemerintah pusat (depdagri), selain adanya anggapan bahwa kecenderungan

konfliktual antara BPD dan kepala desa sudah tidak dapat dikontrol lagi.

Tampaknya pemikiran bahwa desentralisasi politik hanya melahirkan konflik

politik dan akibat negatif lainnya masih mendominasi pemerintah pusat, padahal

yang perlu dipertimbangkan oleh mereka adalah bahwa reformasi politik

mengandung konsekuensi tampilnya diskursus-diskursus baru (pembaruan

69
diskursus) dalam politik desa, termasuk konsep demokrasi, yang memerlukan

proses penyesuaian dalam prakteknya oleh masyarakat desa dan elite politik desa.

Tak pelak lagi, ‘gerakan resentralisasi’ oleh pemerintah pusat menyebabkan desa

kembali dimaknai sekedar sebagai saluran administratif kewenangan negara lewat

kabupaten/kota, tanpa memiliki daya tawar terhadap berbagai kebijakan negara.

Sebagai peraturan pelaksanaan UU No.32/2004 diterbitkanlah PP No. 72

/2005 yang memuat beberapa perubahan penting berkaitan dengan peran ‘Badan

Permusyawaratan Desa’ sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan

terhadap kebijakan desa; serta tentang peran dan kedudukan kepala desa. Pasal 29

PP menegaskan bahwa ‘kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan

pemerintahan desa’ artinya posisi BPD berada di bawah eksekutif. Sementara

pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian ‘pemerintah desa

terdiri atas kepala desa dan perangkat desa’. BPD dikurangi kedudukan dan

perannya dari fungsi badan legislatif menjadi ‘badan permusyawaratan’;

disamping itu keanggotaan BPD yang awalnya dalam UU No. 22/1999 dipilih

secara demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara ‘musyawarah

dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah’. Kecenderungan ‘pemusatan

kembali ke atas’ dalam pertanggungjawaban kepala desa sangat tampak dalam

pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 yang menyebutkan bahwa kepala desa

berkewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa

kepada bupati atau walikota; sedangkan tanggung jawab kepala desa kepada BPD

hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan

mereka hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa

70
kepada rakyat. Tentu saja ini berarti tidak ada lagi fungsi check and balances

sebagai prinsip demokrasi dalam pola hubungan antara BPD dan kepala desa;

serta hubungan BPD dengan lembaga supra desa.

Bahkan, terdapat kontradiksi antara pasal 15 ayat (2) PP yang mengatur

bahwa ‘BPD memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan

terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa’, dengan pasal 35

(b) PP tentang desa. Meskipun pada pasal 35(c) PP tentang desa disebutkan

bahwa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan

pemberhentian kepala desa kepada bupati/walikota, namun jika mengacu pada

pasal 15 (2) PP Desa di atas, terlihat ambivalensi pengaturan kewenangan

pengawasan BPD.

Selain sentralisasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa,

perencanaan pembangunan desa pun disesuaikan dengan perencanaan

pembangunan nasional. Artinya, desa tidak lagi memiliki otonomi untuk mengatur

pembangunan ekonominya sendiri. Pasal 63 PP Desa menempatkan perencanaan

desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah

kabupaten/kota; sedangkan pasal 150 UU No. 32/2004 menegaskan bahwa sistem

perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan

nasional. Singkatnya, PP itu tidak menawarkan rumusan untuk memperkuat

demokrasi di desa, malahan melemahkannya dengan mengembalikan pemusatan

kekuasaan di tangan kepala desa, dan ‘mempreteli’ fungsi dan wewenang BPD,

selain melemahkan otonomi pembangunan desa. 53

53
Bachsan Mustafa, Op.Cit, Hlm 180

71
BAB IV

HUBUNGAN YURIDIS ANTARA BADAN PERMUSYAWARATAN

DESA DAN PERANGKAT DESA

A. Hubungan Badan Permusyawaratan Desa Dengan Perangkat

Pemerintahan Desa

Untuk tercapainya tujuan organisasi pemerintahan desa yang

dimanifestasikan oleh kepala desa hubungan kerja dengan kecamatan maupun

pemerintah kabupaten/kota sangat diperlukan. Apalagi kalau menengok masa

diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dimana kedudukan kepala

desa dibuat sedemikian rupa sehingga akan selalu lebih banyak berorientsi keatas,

meskipun kepala desa dipilih dan dibiayai oleh masyarkat akan tetpai kepala desa

tidak bertanggungjawab kepada pemilihknya baik secara langsung maupun tidak

langsung. Berkaitan dengan itu hubungan BPD dengan pemerintahan desa, BPD

sebagai badan legislasi yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat,

sedangkan pemerintahan desa selaku badan eksekutif yang berfungsi

melaksanakan kegiatan pemerintah desa.

Lahirnya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah, yang

merupakan pengganti UU No. 32 Tahun 2004 dapat dikatakan relative cepat

perubahannya, karena secara efektif implementasi dari UU No. 32 Tahun 2004

baru berjalan awal tahun 2001 di seluruh pemerintah Kabupaten dan Pemerintah

kota.

72
Latar belakang mengapa UU No. 32 Tahun 2004 yang relatif baru,

dirubah jadi PP No. 72 Tahun 2005, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah

diamandemen, terutama 14 (empat belas), pasal yang terkait dengan system

penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

2. Ketetapan MPR yang secara langsung mengamanatkan perubahan Undang-

Undang pemerintahan daerah yaitu Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000

tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

3. Penyerasian dan penyelarasan dengan Undang-Undang lainnya.

4. Hasil evaluasi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004, mendapatkan

permasalahan baik pada tataran konsep, instrument dan implementasi sehingga

tidak dapat mengarah kepada pencapaian tujuan diselenggarakannya otonomi

daerah.

5. Pengaruh lingkungan strategis, yaitu globalisasi ekonomi dan perdagangan

yang cenderung menuntut efisiensi dan daya saing masyarakat, bangsa dan

Negara yang lebih tinggi, memerlukan arahan normatif yang jelas pada

tingkatan Undang-Undang.

UU No. 32 Tahun 2004 yang diganti dengan PP No. 72 Tahun 2005 secara

normatif didalamnya mengatur desa sebagia unit organiasi pemerintahan terendah

yang pada Undang-Undang sebelumnya diatur sendiri dengan UU No. 23 Tahun

2004 yang bercorak sentralistik, namun pergeseran perubahan yang menonjol

pada UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP No. 72 Tahun 2005 yaitu filosofi yang

digunakan adalah “keanekaragaman dalam kesatuan” sebagai kontra konsep dari

73
filosofi “keseragaman” yang digunakan dalam UU No. 32 Tahun 2004, disamping

itu upaya simplikasi pengaturan mengenai desa dan kelurahan karena sebelumnya

diatur dalam Undang-Undang tersendiri, oleh karenanya agar tidak menyebabkan

adanya desa-desa yang tidak terbina (aut of control) perlu dibuat pedoman umum

pengaturan desa melalui peraturan daerah masing-masing yang mengacu pada

peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 72 Tahun 2005.

Desa seringkali digambarkan secara romantic sebagai suatu wilayah yang

masyarakatnya ramah tamah, terbuka serta memiliki ikatan kekerabatan yang

cukup kuat yang pada pemerintahan orde baru diseragamkan melalui UU No. 32

Tahun 2004 baik nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa

dengan corak nasional yang banyak diilhami oleh pola desa di Jawa dan Madura.

Pada PP No. 72 Tahun 2005 dikembalikan sesuai jiwa pasal 18 Undang-Undang

Dasar 1945 yang perlunya mengakui serta menghormati hak-hak, asal-usul daerah

yang bersifat istimewa. Penegasan desa tersebut terlihat pada pasal 1 angka 10

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan “Desa atau yang disebut

dengan nama lain, selanjutnya desa, adalah kesatuan masyarakat hokum yang

memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk berwenang untuk mengatur

dan menguru kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat

istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Apabila berbicara tentang penyelenggaraan pemerintahan desa, maka

sesuai PP No. 72 Tahun 2005 pemahamannya berangkat dari pasal 200 sampai

dengan pasal 216 atau dengan kata lain terdapat sejumlah 16 pasal yang mengatur

74
tentng desa. Pasal 200 ayat (1) PP No. 72 Tahun 2005 menyebutkan “Dalam

pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa dan Badan

Permusyawaratan Desa”. Untuk lebih terfokus pemahaman pasal ini, maka berikut

ini akan diuraikan mengenai pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa

sebagai berikut :

2. Pemerintah Desa

Pemerintahan desa terdiri dari kata pemerintah dan desa, pemerintah

berarti orang yang melaksanakan atau menjabat yang menjalankan kekuasaan

Negara. Sedangkan pengertian pemerintah desa sesuai pasal 201 ayat (1)

disebutkan “Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa”, pasal

ini mengandung makna bahwa kepala des sebagai unsur pimpinan melaksanakan

tugas dan kewajiban dibidang eksekutif yang dibantu oleh perangkat des yang

penjelasannya sebagai berikut :

a. Kepala Desa

Sebagai pencerminan otonomi desa, kepala desa dipilih langsung oleh dan

dari penduduk desa warga Negara Republik Indonesia. Adapun masa jabatan,

pelantikan dan kewajiban kepala desa sebagai berikut:

1. Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali

hanya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya (pasal 204);

2. Kepala desa terpilih dilantik oleh bupati/walikota paling lambat 30 (tiga

puluh) hari setelah pemilihan (pasal 205 ayat (1));

3. Sebelum memangku jabatannya kepala desa mengucapkan sumpah/janji

(pasal 205 ayat (2)0;

75
4. Tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin

penyelenggaraan pemerintahan desa diatur lebih lanjut dengan perda

berdasarkan peraturan pemerintahan (pasal 208). PP No. 72 Tahun 2005

memberikan koridor kewenangan desa menyangkut urusan pemerintahan

yang dijadikan pedoman dasar bagi pembuatan kebijakan, baik yang

dibuat oleh pemerintah pusat berbentuk peraturan daerah. Urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :

5. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.

6. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota

yang diserahkan pengaturannya kepada desa.

7. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah; provinsi, dan/atau

pemerintah kabupaten/kota.

8. Urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perUndang-

Undangan diserahkan kepada desa.

b. Perangkat Desa

Sesuai pasal (2) PP No. 72 Tahun 2005 menyebutkan "Perangkat desa

terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa", perubahan yang mendasar yang

belum pernah terjadi pada Undang-Undang sebelumnya adalah menempatkan

sekretaris desa harus diisi dari pegawai negeri sipil sebagaimana tercantum dalam

"pasal 202 ayat (3) yang menyebutkan "Sekretaris desa sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

76
c. Pola Struktur Organisasi Pemerintah Desa

Penjelasan pasal 202 ayat (2) "Yang dimaksud dengan perangkat desa

lainnya" dalam ketentuan ini adalah perangkat pembantu kepala desa yang terdiri

dari sekretari desa, pelaksanan teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur

kewilayahan seperti kepala dusun atau dengan sebutan lainnya", dari penjelasan

tersebut apabila dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang dijabarkan

dalam Peraruran Pemermtah No. 72 Tahun 2005 tentang Pedoman Umum

Pengaturan mengenai Desa, sebenamya dilihat dari susunan organisasinya tidak

jauh berbeda, di manan sesuai PP tersebut perangkat desa dapat terdiri dari:

1. Unsur pelayanan seperti sekretaris desa dan atau tata usaha.

2. Unsur pelaksana teknis lapangan.

3. Unsur pembantu kepala desa di wilayahnya seperti kepala dusun.

Adapun nama dan jumlah perangkat desa dapat disesuaikan dengan

kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, untuk lebih jelasnya

berikut ini contoh bagan organisasi pemerintahan desa mengacu PP No. 72 Tahun

2005.

77
Bagan Struktur Organisasi Pemerintahan Desa

(Berdasarkan PP No. 32 Tahun 2004)

Peraturan pemerintah tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa

sebagai penjabaran dari PP No. 33 Tahun 2005 belum dikeluarkan, akan tetapi

bila mencermati dari pasal 200 ayat (1), pasal 202 ayat (1), pasal 202 ayat (3),

maka bagan Struktur organisasi pemerintahan desa digambarkan sebagai berikut:

78
Kekurang harmonisan hubungan antara pemerintah desa dengan BPD

merupakan fakta empiris dalam tatanan implementasi pada UU No. 32 Tahun

2004, sehingga dengan melihat pada ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun

2005 sekarang berupaya mengembalikan budaya politi lokal yang sudah ada pada

masyarakat pedesaan, yaitu dengan pendekatan filosofi musyawarah dan mufakat.

Dengan demikian ke depan, proses perekrutan anggota BPD- tidak lagi melalui

pilihan langsung akan tetapi anggota BPD diwakili oleh penduduk yang

ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat, Selain itu pelaksanaan

penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan tidak saling menunjukkan egois

sektoral niasing-masing dan dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi

bersama dengan cara musyawarah untuk mencari mufakat, semua ini dapat

terwujud apabila didasari hubungan kemitraan yang harmonis.

Desa yang secara yuridis formal diakui keberadaannya memiliki otonomi

yang bersifat tradisional, kenyataannya menunjukkan selama diberlakukan UU

No. 32 Tahun 2004 maupun UU No. 32 Tahun 2004 kurang mengalanii kemajuan

yang cukup signifikan, bahkan sebaliknya masyarakat desa sangat tergantung

pada bantuan pihak luar pada segi dana maupun kebutuhan-kebutuhan dasar

lainnya.

Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan

beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi pemerintah terendah guna

mengemban tugas, misi dari seluruh Departemen/ Kementerian, sehingga idealnya

desa harus memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai

pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa. Keberhasilan pembangunan

79
desa sangat dipengaruhi adanya kemauan politik (political will) dan tindakan

politik (political action) dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya untuk

dapat memamkan peranan penting dalam proses pembangunan di desanya.

Sesuai PP No. 72 Tahun 2005 pasal 212 ayat (3) sumber pendapatan desa

teridiri atas :

a. Pendapatan Asli Desa;

b. Bagi hasil pajak daerah dan restribusi daerah Kabupaten/Kota;

c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterinia oleh

Kabupaten/Kota;

d. Bantuan dari Pemerintah. Pemerintah Propinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota;

e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Pengamatan empirik sumber pendapatan desa menunjukkan fakta bahwa :

Pertama : pendapatan asli desa pada umumnya berasal dari tanah desa yang tidak

semua desa memiliki, kalaupun ada digunakan untuk penghasilan pamong desa.

Badan Usaha Desa yang berbentuk perusahaan desa yang menghasilkan

sebagaimana diatur dalam pasal 213 Undang-Undang ini, hampir dipastikan

belum ada, sedangkan hasil swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat

mampu. Kedua : bantuan kepada desa dari Kabupaten/Kota baru sebatas

melestarikan kebijakan yang sudah ada dari Pemerintah Pusat, berupa program

Bantuan Desa. Ketiga : bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi

lazimnya disebut ganjaran, namun jumlahnya sangat terbatas hanya untuk

80
tambahan penghasilan bagi perangkat desa. Keempat: hibah dan sumbangan dari

pihak ketiga jarang terjadi.

Kenyataan dilapangan menunjukkan selama ini kebijakan pemerintah

berbentuk Program Bantuan Desa yang sifatnya berbentuk stimulant untuk

merangsang agar tumbuh partisipasi amsyarakat dalam menunjang pembangunan

desa, justru menjadi sumber utama yang diharapkan dalam pembiayaan

pembangunan di desa.

Salah satu peluang lain sumber pendapatan desa sesuai PP No. 72 Tahun

2005 adalah berupa bantuan dari pemerintah kabupaten/kota dan bagian dari dana

perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota dapat

diberikan secara proposional dalam arti setiap desa tidak hams sama nilai nominal

bantuannya, akan tetapi perlu diperhatikan juga dari aspek luas wilayah, jumlah

penduduk tingkat perkembangan desa maupun jarak lokasi desa.

Tercapainya tujuan organisasi pemerintahan desa yang dimanifestasikan

oleh kepala desa, hubungan kerja dengan keeamatan maupun Pemerintah

kabupaten/kota sangat diperlukan. Apalagi kalau menengok masa

diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 dimana kedudukan kepala desa dibuat

sedemikian rupa sehingga akan selalu lebih banyak berorientasi ke atas meskipun

kepala desa dipilih dan dibiayai oleh masyarakat, akan tetapi kepala desa tidak

bertanggung jawab kepada para pemilihnya baik secara langsung amupun tidak

langsung. Sesuai Undang-Undang ini, kepala desa bertanggung jawab sepenuhnya

kepada camat, ia hanya memberikan keterangan pertanggung jawaban kepada

Lembaga Musyawarah Desa (LMD).

81
Camat sebagai kepala wilayah pada masa PP No. 72 Tahun 2005 memiliki

kewenangan atributif dan kewenangan delegatif. Kewenangan atributif

menunjukkan camat sebagai kepala wilayah sedangkan kewenangan delegatif

yang dijalankan camat berasal dari kepala wilayah yang lebih tinggi

kedudukannya (gubemur, bupati, walikotamadya, walikota). Berbeda dengan PP

No. 72 Tahun 2005 hubungan kerja camat dengan pemerintah desa dan

pemerintah kelurahan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Camat tidak memiliki kewenangan atributif, melainkan hanya memiliki

kewenangan delegatif, hal ini tersirat dalam pasal 126 ayat (2) menyebutkan

"Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh camat yang

dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang

bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah".

2. Hubungan camat dengan pemerintah desa bersifat koordinatif dan fasilitatif,

hal ini sebagaimana terlihat pada pasal 126 ayat (3) menyebutkan "Selain

tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), camat juga menyelenggarakan

tugas umum pemerintahan meliputi:

a. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;

b. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban

umum;

c. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakkan peraturan perundang-

Undangan;

d. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan

umum;

82
e. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintah di tingkat

kecamatan;

f. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;

g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup

tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau

kelurahan.

3. Hubungan kerja camat dengan lurah bersifat hierarkhis, sebab lurah adalah

bawahan camat, pasal 127 ayat (5) "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), lurah bertanggung jawab kepada bupati/walikota

melalui camat".

4. Tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan desa

diatur lebih lanjut dengan perda berdasarkan peraturan pemerintah (pasal

208).

5. Desa dapat mengadakan kerjasama untuk kepentingan desa yang diatur

dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada bupati/walikota melalui

camat (pasal 213 ayat (1).

Kepala desa sesuai UU No. 32 Tahun 2004 bertanggung jawab kepada

rakyat melalui Badan Permusyawaratan Desa, dan menyampaikan laporan

mengenai pelaksanaan tugasnya kepada bupati. Pada PP No. 72 Tahun 2005

pengaturan mengenai pertanggung jawaban kepala desa belum terlihat dengan

jelas karena pasal ini perlu penjabaran lagi dengan perda yang mengacu pada

peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum dikeluarkan.

83
Hubungan camat dengan pemerintah desa dilihat dari pasal-pasal yang

telah dikemukakan, baik yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP

No. 72 Tahun 2005 hanya bersifat koordinatif dan fasilitatif tidak bersifat

hirarkhis.

Namun apabila dilihat dari kepentingannya, sebagai kesatuan masyarakat

yang memiliki kewenangan mengatur dirinya sendiri (self government society)

secara organisatoris desa dengan kabupaten/kota memiliki hubungan hirarkhis.

Hal ini dilandaskan pada prinsip umum pemerintahan yang dipakai bahwa pada

dasarnya kepentingan masyarakat yang lebih kecil tunduk kepada kepentingan

yang lebih luas.

Tugas camat diantaranya adalah membina penyelenggaraan pemerintahan

desa/ kelurahan sebagaimana diatur PP No. 72 Tahun 2005 tersebut memperkuat

prisip umum pemerintahan, sekalipun kepala desa berdasarkan Undang-Undang

ini tidak ada hubungan hirarkis dengan camat.

Bila dicermati arah pasal 202 ayat (3) tersebut diatas terlihat UU No 32

Tahun 2004 memandang perlu untuk meniperkuat kedudukan sekretaris desa

sebagai unsur staf yang dianggap tepat bertugas memberikan pelayanan

administratif dijabat oleh pegawai negeri sipil yang sudah berpengalaman.

Berbeda dengan otonomi desa sesuai UU No. 32 Tahun 2004 yang menonjol

dalam kelembagaan organisasi desa banyak mengadopsi dari lembaga adat,

konsekuensinya telah membawa pula sebutan/predikat yang menyangkut untuk

gelar jabatan kepala desa maupun perangkat desa berbeda, selain itu sekretaris

desa tidak dijabat dari pegawai negeri sipil.

84
B. Kendala-kendala Badan Permusyawaratan Desa Dalam Menjalankan

Kewenangannya

Badan Permusyawaratan desa sebagai salah satu lembaga perangkat desa

mempunyai peran sentral yang sangat penting dan strategis. Terlebih dalam

membantu kepala desa mengelola dan menyelenggarakan pemerinthan desa

mengelola dan menyelenggarakan pemerintahan desa yang baik. Sebagai partner

sekaligus sebagai badan yang mengawasi kepala desa dalam menjalankan

pemerintahan terdapat kendala-kendala yang berkaitan dengan badan

permusyawaratan desa menjalankan kewenangannya.

Faktor-faktor yang ikut menghambat badan Permusyawaratan desa dalam

menjalankan kewenangannya, seperti factor sarana dan prasarana yang kurang

memadai. Tingkat kesadaran masyarakat desa yang masih minim, atau bahkan

kurangnya hubungan yang kurang harmonis antara perangkat badan

Permusyawaratan desa dengan pemerintahan daerah. Serta diperburuk dengan

penegakkan hukum yang kurang komprehensif dalam penerapannya.

Factor sarana dan prasarana yang kuran memadai tersebut seperti fasilitas

jalan dipedesaan yang masih atau kurang tidak layak. Jalan sebagai transportasi

dan sarana perhubungan yang vital didarat, jelas merupakan sarana utama dalam

lintas perhubungan. Bagaimana mungkin badan Permusyawaratan desa bias

menjalankan aktivitasnya secara baik. Terutama dalam mengatasi kinerja dalam

pembangunan desa yang dalam hal ini dilakukan oleh kepala desa. Factor

geografis dalam pedesaan yang terkadang kurang bersahabat dibeberapa daerah

85
tertentu, ikut menghambat dan mempengaruhi kinerja para aparatur badan

Permusyawaratan desa.

Fasilitas lain seperti pembangunan fisik. Daerah pedesaan yang terkadang

jauh berada dipedalaman kurang mendapat perhatian pemerintah pusat dan

daerha. Sementara diketahui bersama, sarana fisik pembangunan merupakan

wadah atau tempat bagi Permusyawaratan desa dalam menjalankan program

kinerjanya.

Keadaan dan kultur kebudayaan masyarakat pedesaan yang boleh masih

dibilang rendah taraf kehidupan dan pendidikannya. Ikut mempengaruhi tingkat

kesadaran masyarakat terhadap peran dan fungsi badan Permusyawaratan desa.

Sementara kalu boleh dianalogikan badan permusyawaratan desa. Sementara hak

ubahnya seperti majelis permusyawaratan rakyat. (MPR) yang menampung

aspirasi dari masyarakat pedesaan. Untuk kemudian disalurkan kepada kepala

desa.

Sebagai kepala daerah dalam hal ini desa. Sikap acuh dan kurang

memperdulikan ekstensi (keberadaan) Badan Permusyawaratan Daerah jelas, akan

sangat merugikan kedua belah pihak, pertama, bagi masyarakat pedesaan tidak

akan dapat menyalurkan keluhan-keluhannya kepada lembaga yang mewakilinya.

Sehingga tidak akan terbangunnya komunikasi dua arah. Sementara kerugian yang

kedua, bagi badan Permusyawaratan desa, (BPD) tidak akan dapat berfungsi

secara efektif. Hanya sebagai lembaga formalitas yang tidak dapat

mengakomodasi aspirasi masyarakat.

86
Factor lain yang turut menjadi kendala bagi BPD dalam melaksanakan

kewenangannya yaitu, hubungan yang kurang harmonis antara BPD dengan pihak

pemerintah daerah. Hal ini bias terjadi disebabkan kesalah pahaman, atau

hubungan structural yang kurang jelas.

Terdapat Juga bebrapa Msalaah Dalam penyelenggaraan Pemerintahan

Desa di Indonesia memang seringkali mengalami persoalan-persoalan yang timbul

terkait dengan hubungan tersebut, seperti hubungan antara Kepala Desa dengan

BPD. Beberapa issu yang terjadi dalam hubungan antara pemerintah Desa (Kepala

Desa) dengan BPD.

1. Adanya arogansi BPD yang merasa kedudukannya lebih tinggi dari

Kepala Desa, karena Kepala Desa bertanggung jawab kepada BPD;

2. Dualisme kepemimpinan desa, yaitu kepala desa dengan perangkatnya

dan badan perwakilan desa, yang cenderung saling mencurigai;

3. Sering terjadi mis-persepsi sehingga BPD sebagai unsur legislatif desa

tetapi melakukan tugas dan fungsi eksekutif kepala desa;

4. Anggota BPD sering belum bisa memilah antara fungsi pemerintahan

desa dengan pemerintah desa;

5. Kondisi sumberdaya manusia BPD yang masih belum memadai;

6. Kinerja perangkat desa menjadi tidak efektif karena banyak mantan

calon Kepala Desa yang tidak jadi kepala Desa menjadi anggota BPD

dan cenderung mencari-cari kesalahan perangkat desa bahkan ada

kesan pula mereka berusaha untuk menjatuhkan Kepala Desa ;

87
7. Dalam hubungan kerja organisasional,

- Dalam pelantikannya BPD dibekali oleh DPRD;

- BPD melakukan hubungan langsung dengan DPRD;

- Terjadi kontradiksi perilaku kerja BPD, misalnya BPD tidak mau

berurusan dengan Camat.

Persoalan hubungan dalam penyelenggraan Pemerintahan Desa, tidak

hanya terjadi anatara hubungan Kepala Desa dengan BPD saja, namun antara

Kepala Desa dengan Sekdes juga sering menjadi kendala tersendiri. Hambatan

hubungan antara Sekdes dengan Kepala Desa biasa terjadi karena ada

ketidaksepahaman Sekdes dalam menunjang tugas-tugas Kepala Desa. Ada

anggapan bahwa Sekdes sudah mendapat tunjangan kompensasi yang dihitung

berdasarkan masa kerja selama yang bersangkutan menjadi Sekretaris

Desa.Penetapan besaran tunjangan kompensasi bagi setiap Sekretaris Desa

ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.Disamping tunjangan yang

diperoleh, pada pasal 14 disebutkan bahwa Sekretaris Desa dapat dimutasikan

setelah menjalani masa jabatan Sekretaris Desa sekurang-kurangnya 6 (enam)

tahun. Apabila selama Sekretaris Desa menjalankan tugas belum mencapai 6

tahun dan ada permasalahan kinerja Sekretaris Desa dianggap tidak memuaskan

Kepala desa, maka Sekretaris Desa tidak dapat dimutasi. Jadi persoalan antara

Sekretaris Desa dan kepala Desa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kadang terjadi dilapangan Sekretaris desa masih mendapat bagian dari kas

desa, misalnya bagian pendapatan dari tanah bengkok, padahal Sekdes sudah

mendapat tunjangan kompensasi;

88
b. Sekretaris Desa mendapat hak pensiun, sedang Kepala Desa tidak. Hal ini

membuat Kepala Desa ingin Sekretaris Desa mempunyai kinerja yang bagus;

c. Sekretaris Desa yang tidak disukai oleh Kepala Desa karena kinerja yang tidak

memuaskan Kepala desa, sulit untuk dimutasi ketempat lain sebelum memiliki

kinerja 6 tahun;

C. Upaya peningkatan Lembaga Pemerintahan Desa

Upaya pemerintah desa dalam peningkatan kelembagaan Pemerintahan

desa yaitu :

1. Pemberdayaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Badan Permusyawaratan Desa adalah unsur Pemerintahan Desa yang

berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah desa dalam

penyelenggaraan pemerintahan ditingkat desa. Keberadaan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) yang selama ini dikenal dengan sebutan Lembaga

Musyawarah Desa merupakan suatu wujud demokrasi yaitu peran serta

masyarakat di dalam sistem pemerintahan dan pembangunan desa. yang Badan

Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan Desa bersama Kepala

Desa, menampung dan meyalurkan aspirasi masyarakat serta pengawasan

terhadap penyelenggaraan pemerintah desa.

Sebagai unsur Pemerintahan Desa, maka Badan Permusyawaratan Desa juga

memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penanganan kemasyarakatan baik itu

penanganan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa serta partisipasi

masyarakat dalam kegiatan sosial gotong royong. Oleh karena itu pemerintah desa

89
khususnya kepala desa sebagai pemimpin pemerintahan yang tertinggi di tingkat

desa senantiasa memberdayakan dan memeberikan ruang bagi pelaksana tugas

dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa sesuai amanah dalam Undang-Undang

Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah

Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.

2. Pembinaan Perangkat Desa

Pembinaan Pemerintah Desa itu sendiri khususnya perangkat desa secara

struktural perangkat desa berada dibawah dan bertanggung jawab langsung

terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi kepada Kepala Desa. Perangkat Desa yang

terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa Lainnya. Salah satu perangkat

desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris Desa

diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota.

Perangkat Desa lainnya diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang

ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Dengan posisi yang demikian maka

akan memudahkan Kepala Desa dalam mengarahkan, menggerakkan dan

melakukan pembinaan terhadap perangkat desa.

Dalam melaksanakan pembinaan kepada para perangkat , Kepala Desa

khususnya telah ,melakukan berbagai cara untuk dapat membuat para perangkat

desanya mampu melaksanakan tugas kemasyarakatan dengan baik. Beberapa cara

yang dilakukan yaitu : Pertama, Kepala Desa memberikan pemahaman kepada

perangkat desa agar juga dapat mengawasi keadaan lingkungan sekitar terutama

dalam hal ketentraman dan ketertiban masyarakat desa namun dalam hal

ketertiban pemilu para perangkat desa sangat tidak diperbolehkan untuk terlibat

90
dalam berbagai kegiatan kampanye karena hal tersebut melanggar tata tertib dan

peka terhadapnya serta memberikan pemahaman dalam pentingnya meningkatkan

partisipasi masyarakat. Kedua, Memberi tugas perangkat desa untuk

berkoordinasi dan bekerjasama dengan Binmas/Babinsa dalam melakukan

pembinaan dan menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat desa. Ketiga,

mengadakan evaluasi dan rapat kerja terhadap perkembangan hasil tugas yang

telah dibebankan oleh kepala desa selaku pemimpin desa.Keempat, Perangkat

desa ikut turut serta dalam berbagai pelatihan yang dilaksanakan ditingkat

kabupaten atau kecamatan seperi halnya pelatihan madya yang diselenggarakan di

tingkat kabupaten untuk meningkatkan mendorong peningkatan kapasitas

masyarakat dan kapasitas aparatur desa.

3. Koordinasi dengan Instansi Terkait

Instansi terkait yang dimaksud adalah lembaga atau organisasi pemerintah

yang berada ditingkat desa diluar pemerintah desa yang bertugas mengurus dan

menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam wilayah tugasnya

yang terdiri dari Babinsa dan Binmas.

Babinsa dan Binmas merupakan personil TNI dan POLRI yang

ditugaskan sebagai Bintara Pembina masyarakat yang terkait dengan pemerintah

desa Sumare. TNI dan POLRI merupakan instansi yang memiliki jaringan luas

dari provinsi, kabupaten, hingga ke tingkat desa. institusi yang memiliki

kewenangan untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di masyakarat (fungsi

kamtibmas). Namun Babinsa dan Binmas sebagai aparat yang diberikan tugas

91
membantu kepala desa dalam memelihara dan melakukan pembinaan teknis dalam

menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat di wilayah desa. Untuk

menciptakan dan menjaga stabilitas ketentraman dan ketertiban msyarakat

terutama pada momen-momen tertentu, apalagi saat ini wilayah pelosok desa

sering dijadikan oleh para teroris sebagai tempat yang strategis untuk

bersembunyi.

Upaya Peningkatan Lembaga Kemasyarakatan

Upaya Pemerintah desa Dalam meningkatkan Lembaga Kemasyarakatan

yaitu :

1. Pendekatan Tokoh Masyarakat

Tokoh masyarakat Desa Sumare adalah orang terkemuka, orang-orang

yang dituakan, disegani karena kharismatiknya atau kecendikiawannya yang pada

umumnya berupa tokoh agama, pensiunan, Pegawai Negeri Sipil dan sbahagian

kecil anggota LSM. Kedudukan tokoh masyarakat sangat menentukan dalam

pembinaan sosial kehidupan masyarakat karena dengan posisi sebagai orang yang

dituakan, disegani, dan cendikiawan, setiap kata dan perbuatannya sangat di

dengar dan di ikuti oleh masyarakat. Oleh karena itu Pemerintah Desa dalam hal

ini Kepala Desa harus senantiasa melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat

agar mau terlibat dalam setiap kegiatan pemerintah desa.

Setiap kegiatan yang dilasanakan oleh Pemerintah Desa masyarakat, baru

akan dapat ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat , apabila kegiatan tersebut

benar-benar diketahui, dipahami dan dihayati oleh masyarakat itu sendiri. Oleh

92
karena itu agar setiap kegiatan dapat diketahui dan dilaksanakan oleh masyarakat,

maka perlu adanya penerangan dan penyuluhan dari tokoh-tokoh masyarakat.

Menjalin kerjasama dengan Tokoh Agama merupakan salah satu cara

pihak Pemerintah Desa dalam melaksanakan tujuannya untuk meningkatakan

partisipasi masyarakat.Tokoh masyarakat merupakan salah satu aktor yang dapat

mempengaruhi keterlibatan masyarakat desa.Baik itu melalui kegiatan keagamaan

yang biasanya dilaksanakan di Desa seperti yang dikemukakan diatas salah

satunya adalah pengajian atau majelis Ta’lim desa.

2. Pembinaan LKMD

LKMD merupakan suatu wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat

sebagai mitra pemerintah desa dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan

kebutuhan masyarakat dibidang kemasyarakatan dan pembangunan.Tugas pokok

dan fungsi LKMD antara lain menyusun rancangan pembangunan yang

partisipatif, menggerakkan swadaya masyarakat, melaksanakan dan

mengendalikan pembangunan, penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan

kesatuan masyarakat desa, pengoordinasian perencanaan pembangunan,

pengoordinasian perencanaan lembaga kemasyarakatan, dan perencanaan kegiatan

secara partisipatif dan terpadu.membantu Pemerintah Desa atau Kelurahan dalam

menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk

melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari kegiatan

Pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat serta menumbuhkan

kondisi dinamis masyarakat. Peranserta masyarakat itu diharapkan dapat

ditampung dalam suatu wadah yang dibina oleh Pemerintah yaitu LKMD.

93
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kewenangan badan Permusyawaratan desa dalam melaksanakan

pemerintahan desa yaitu sebagai badan legislatif yang menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintah desa yang

berdasarkan prinsip “Check and Balance” dan hubungan kemiteraan

(partnership)

2. Hubungan Badan Permusyawaratan Desa dengan perangkat

pemerintahan desa yaitu sangat erat terkait dimana bentuk dan pola

hubungan tersebut sejajar dan menjadi mitra didalam menjalankan

tugasnya untuk memajukan desa.

3. Kendala-kendala yang dialami badan Permusyawaratan desa dalam

menjalankan kewenangannya yaitu faktor sarana dan prasarana yang

kurang memadai atau bahkan minim, ditambah hubungan yang kurang

harmonis antara badan Permusyawaratan desa dengan perangkat desa

disebabkan munculnya ego sektoral yang menimbulkan ketidak

percayaan antara kedua belah pihak yang berdampak pada lingkungan

kerja kurang kondusif.

4. Untuk Meningkatkan Kinerja Badan Permusyawaratan Desa, Harus

Dimulai Dari Penigkatan SDM, Sehingga Seluruh Kendala-kendala

Dapat Diatasi, Ego Sektoral yang muncul dapat disingkirkan dengan

94
pemahaman-pemahaman yang lebih peka terhadap hak dan kewajiban

yang dipegang baik di Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan

Desa. Dengan Demikian Akan tercipta Pemerintahan Desa yang maju

dan bermutu dalam menjalankan Sistem Pemerintahan Desa yang saling

Mendukung.

B. Saran

1. Sebaiknya Untuk ke depanmya, kewenangan Badan Permusyawaratan

Desa dapat lebih diperbesar kewenangannya dalam mengawasi dan

menyelenggarakan Sistem Pemerintah Desa. Sehingga Dapat Dilihat jelas

bagaimana cakupan dan hasil kerja Badan Permusyawaratan Desa.

2. Diharapkan hubungan Badan Permusyawaratan Desa dengan Perangkat

Pemerintahan Desa dapat berjalan lebih harmonis dalam Menjalankan

Peraturan-peraturan Desa dan mengelola sistem pemerintahan Desa.

3. Pemerintah Perlu melakukan pengembangan pendidikan dan pengetahuan

dalam hal Keadministrasia Negara sampai ke Pedesaan. Sehingga Setia

Masyarakat Desa Dapat lebih memhami fungsi-fungsi struktural

kepemerintahan Desa.

4. Sebaiknya Peran serta pemerintah diharapkan lebih intens dalam

menanggulangi dan membantu dalam memecahkan kendala-kendala yang

dialami oleh Badan Permusyawaratan Desa.

95
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

W. Widjaja, 2001, Pemerintah Desa/Marga, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

A.W. Widjaja, 1993, Pemerintah Desa dan Administrasi Desa, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

AW Widjaja, 2001, Pemerintahan Desa/Marga, Berdasarkan UU No. 22 Tahun

1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Abdul Ghafar Karim, 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di

Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bambang Yudhoyono, 2000, Otonomi Daerah Desentrasalisasi dan

Pengembangan SDM Aparatur Daerah dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta.

Daeng Sudiro, 1985, Pembahasan Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah dan

Pemerintahan Desa, Angkasa, Bandung.

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah : Pasang Surut Hubungan

Kewenangan Antara DPRD dengan Kepala Daerah, Alumni, Bandung.

Miftah Thoha, 2002, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Muhyanto, 1991, Masalah dan Tantangan Pembangunan Pedesaan Jangka

Panjang Tahap Ke-II, APMD, Yogyakarta.

Bachsan Mustafa, 2003, Sumber pandapatan yang telah dimiliki atau dikelola

oleh desa, PT. Raja Grafindo Persada Bina Aksara, Jakarta.

96
B. Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah dan

Pemerintahan Desa Bab XI Pasal 200 s.d 216

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

C. Internet

http://www.ipdn.ac.id/wakilrektor/wpcontent/uploads/MAKALAH_TENTANG_

DESA.pdf

http://kevinevolution.wordpress.com/2011/11/02/kedudukan-kewenangan-dan-

tindakan-hukum-pemerintah/

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia

www.bappenas.go.id/get-file-server/node/82/

id.wikipedia.org/wiki/Desa

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19607/5/Chapter%20I.pdf

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29733/4/Chapter%20I.pdf

http://repository.fisip-untirta.ac.id/72/1/Skripsi_PHINANDITIA_061441.pdf

http://www.crayonpedia.org/mw/SISTEM_PEMERINTAHAN_DESA

jurnal.umy.ac.id/index.php/jsp/article/view/1472/206

97

Anda mungkin juga menyukai