Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Escherichia Coli


Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk
batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 µm, diameter 0,7 µm, lebar
0,4-0,7µm dan bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang
bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata (Smith-Keary, 1988 ;
Jawetz et al., 1995). E. coli dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. E. Coli (Smith-Keary,1988)

2. Morfologi

Escherichia coli termasuk pada family Enterobacteriaceae. E. coli

merupakan bakteri gram negative yang berbentuk batang pendek atau sering

disebut kokobasil. Bakteri (Gambar 2.1) ini mempunyai flagel, yang

mempunyai ukuran 0,4-0,7 µm x 1,4 µm dan memiliki simpai (Radji, 2011).

E. coli memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7 μm, dan

bersifat anaerob fakultatif. Dan membentuk koloni yang bundar, cembung, dan

halus dengan tepi yang nyata.

E. coli merupakan bakteri yang memilik 150 tipe antigen O, 50 tipe

antigen H, dan 90 tipe antigen K. Beberapa antigen O dapat dibawa oleh

1
mikroorganisme lain, sehingga sama seperti yang dimiliki oleh Shigella.

Terkadang p enyakit yang spesifik berhubungan dengan antigen O, dapat

ditemukan pada penyakit infeksi saluran kemih dan diare (Karsinah, 2011).

E. coli merupakan bakteri anaerob fakultatif yang dapat hidup pada keadaan

aerob maupun anaerob. Oksigen digunakan untuk sumber karbon dari luar

yang berfungsi sebagai tenaga untuk tumbuh baik secara oksidatif.

Hidup anaerob dengan menggunakan cara fermentasi sebagai penghasilkan

energi untuk kelangsungan hidup.

3. Manfaat dan Patogenesitas

E. coli adalah anggota flora normal usus. E. coli berperan penting dalam

sintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu dan

penyerapan zat-zat makanan. E. coli termasuk ke dalam bakteri heterotrof yang

memperoleh makanan berupa zat oganik dari lingkungannya karena tidak dapat

menyusun sendiri zat organik yang dibutuhkannya. Zat organik diperoleh dari

sisa organisme lain. Bakteri ini menguraikan zat organik dalam makanan

menjadi zat anorganik, yaitu CO2, H2O, energi, dan mineral. Di dalam

lingkungan, bakteri pembusuk ini berfungsi sebagai pengurai dan penyedia

nutrisi bagi tumbuhan (Ganiswarna, 1995).

2
E. coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran

pencernaan meningkat atau berada di luar usus. E. coli menghasilkan

enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. E. coli berasosiasi

dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel (jawetz et al.,

1995).

Manifestasi klinik infeksi oleh E. coli bergantung pada tempat infeksi

dan tidak dapat dibedakan dengan gejala infeksi yang disebabkan oleh

bakteri lain (jawetz et al., 1995). Penyakit yang disebabkan oleh E. coli yaitu :

1. Infeksi saluran kemih

E. coli merupakan penyebab infeksi saluran kemih pada kira-kira 90 %

wanita muda. Gejala dan tanda-tandanya antara lain sering kencing,

disuria, hematuria, dan piuria. Nyeri pinggang berhubungan dengan

infeksi saluran kemih bagian atas.

2. Diare

E. coli yang menyebabkan diare banyak ditemukan di seluruh dunia. E. coli

diklasifikasikan oleh ciri khas sifat-sifat virulensinya, dan setiap

kelompok menimbulkan penyakit melalui mekanisme yang berbeda. Ada

lima kelompok galur E. coli yang patogen, yaitu :

a. E. coli Enteropatogenik (EPEC)

EPEC penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara berkembang.

EPEC sebelumnya dikaitkan dengan wabah diare pada anak-anak di negara

maju. EPEC melekat pada sel mukosa usus kecil.

3
b. E. coli Enterotoksigenik
(ETEC)

ETEC penyebab yang sering dari “diare wisatawan” dan penyebab diare

pada bayi di negara berkembang. Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik

untuk manusia menimbulkan pelekatan ETEC pada sel epitel usus kecil.

c. E. coli Enteroinvasif (EIEC)

EIEC menimbulkan penyakit yang sangat mirip dengan shigelosis. Penyakit

yang paling sering pada anak-anak di negara berkembang dan para

wisatawan yang menuju negara tersebut. Galur EIEC bersifat non-laktosa

atau melakukan fermentasi laktosa dengan lambat serta bersifat tidak

dapat bergerak. EIEC menimbulkan penyakit melalui invasinya ke sel epitel

mukosa usus.

d. E. coli Enterohemoragik
(EHEK)

EHEK menghasilkan verotoksin, dinamai sesuai efek sitotoksisnya pada


sel

Vero, suatu ginjal dari monyet hijau

Afrika. e. E. coli Enteroagregatif (EAEC)

EAEC menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di negara

berkembang.

3. Sepsis

Bila pertahanan inang normal tidak mencukupi, E. coli dapat memasuki

aliran darah dan menyebabkan sepsis.

4. Meningitis

E. coli dan Streptokokus adalah penyebab utama meningitis pada bayi. E. coli

merupakan penyebab pada sekitar 40% kasus meningitis neonatal (Jawetz


4
et al., 1996).

5
4. Sifat Biakan
E.coli Dapat tumbuh berlebih apabila seseorang mengkonsumsi
makanan yang sudah terkontaminasi dengan bakteri tersebut seperti susu,
makanan yang tidak diolah dengan sempurna, ataupun makanan dan minuman
yang tercemar oleh feses (Jawetz, 2005). Bakteri ini dapat menjadi pathogen
apabila terdapat banyak sekali didalam tubuh manusia. E.coli dapat tumbuh
pada suhu tinggi maupun rendah, dengan suhu rendah 7°C dan suhu tinggi
hingga 44°C. Namun bakteri E.coli tumbuh optimal pada suhu antara 35-
37°C dengan pH 7-7,5. Hidup dilingkungan lembab dan akan mati saat
terjadinya proses pemanasan makanan (Sofiana, 2012).

5. Media pertumbuhan Bakteri


Escherichia coli dapat tumbuh pada media Endo agar, MacConkay agar,
dan Eosin Methylen Blue (EMB), bakteri ini mempunyai strain yang
bersifat mikroaerofilik yang membutuhkan oksigen untuk hidup namun tanpa
oksigen pun beberapa dari Escherichia coli masih bias bertahan hidup (Sari,
2015). Selain itu juga memiliki strain aerofilik yang dapat menghemolisis,
pada media Blood Agar Plate (BAP) bakteri ini dapat menghemolisa dengan
hemolisa ß (hemolysis total).

Gambar 2.2 Media Eosin Methylen Blue (EMB) dengan pertumbuhan E.


coli
(Zuhrotul, 2016)

Pada media Eosin Methylen Blue (EMB) (Gambar 2.2) bakteri ini

6
akan memfermentasi laktosa sehingga berwarna hijau dengan kilap-kilap

(Sari, 2015). Bakteri yang memfermentasi laktosa yang cepat lalu menghasilkan

asam lalu menurunkan pH. Hal ini menyebabkan koloni dalam media tersebut

akan berwarna hijau mengkilap seperti Escherichia coli. Bakteri yang tidak

memfermentasi laktosa dapat meningkatkan pH dengan protein. Maka koloni

tidak akan terwarnai (Bachoon, 2008).

6. Pengobatan

Infeksi oleh E. coli dapat diobati menggunakan sulfonamida, ampisilin,

sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin dan aminoglikosida.

Aminoglikosida kurang baik diserap oleh gastrointestinal, dan mempunyai

efek beracun pada ginjal. Jenis antibiotik yang paling sering digunakan adalah

ampisilin.

Ampisilin adalah asam organik yang terdiri dari satu inti siklik

dengan satu rantai samping. Inti siklik terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin

betalaktam, sedangkan rantai sampingnya merupakan gugus amino bebas yang

mengikat satu atom H (Ganiswarna, 1995). Struktur ampisilin dapat dilihat pada

gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia ampisilin (Farmakope IV, 1995)

Ampisilin memiliki spektrum kerja yang luas terhadap bakteri Gram

negatif, misalnya E. coli, H. Influenzae, Salmonella, dan beberapa genus Proteus.

Namun ampisilin tidak aktif terhadap Pseudomonas, Klebsiella, dan Enterococci


7
(Setiabudy dalam Ganiswarna, 1995). Ampisilin banyak digunakan

untuk mengatasi berbagai infeksi saluran pernafasan, saluran cerna dan saluran

kemih (Tan Hoan Tjay dan Raharja, 2002).

3.1. Mekanisme Kerja Ampisilin

Mekanisme kerja dari antibiotik ampisilin adalah dengan menghambat


pembentukan ikatan silang pada biosintesis peptidoglikan yang melibatkan\
penicillin-binding protein (PBP). Pada E. coli, PBP1-3 merupakan enzim bifungsi
yang mengkatalisis reaksi transglikosilase dan transpeptidase serta PBP3-6
mengkatalisis reaksi karboksipeptidasi (Chopra dalam D. S. Retnoningrum, 1998).
Mekanisme kerja ampisilin dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme kerja ampisilin (Salyers et al., 1994)

8
3.2. Resistensi Terhadap Ampisilin

Salah satu obat pilihan yang digunakan untuk mengobati infeksi

saluran urin yang disebabkan oleh E. coli adalah ampisilin. Namun E. coli

dilaporkan telah resisten terhadap ampisilin sehingga tidak digunakan lagi. Untuk

menanggulangi terjadinya resistensi pada ampisilin maka diperlukan pengobatan

antimikroba yang lain seperti trimethoprim-sulfamethoxazol (TMP-

SMZ), siprofloxacin, norfloxacin, nitrofurantoin, dan fluoroquinolon.

Dilaporkan pada

tahun 1995 sampai 2001 terjadi kecenderungan resistensi antimikroba

terhadap isolat E. coli dalam infeksi saluran urin pada pasien wanita di

Amerika Serikat,14,8-17% pertahun resisten terhadap trimethoprim-

sulfametoxazol, 0,7-2,5% pertahun resisten terhadap siprofloxacin, 0,4-0,8%

pertahun resisten terhadap nitrofurantoin, dan 36–37,4% per tahun resisten

terhadap ampisilin, nilai presentase tersebut bervariasi dalam setiap tahunnya

(Karlowsky et al., 2002).

Resistensi intrinsik pada ampisilin disebabkan oleh ekspresi gen, yaitu

gen pengkode betalaktamase yang berlokasi pada kromosom bakteri gram

negatif. Gen ini mengkode enzim betalaktamase yang menginaktivasi cincin

betalaktam ampisilin dengan cara menghidrolisis cincin betalaktam

tersebut, sehingga menjadi resisten terhadap ampisilin (Russel and Chopra,

1990).

9
Resistensi ampisilin dapat juga disebabkan oleh ekspresi gen pengkode

betalaktamase yang terdapat pada plasmid. Plasmid adalah elemen

genetik ekstrakromosom yang bereplikasi secara otonom. Plasmid

membawa gen pengkode resisten antibiotik, salah satunya adalah ampisilin.

Resistensi yang diperantai oleh plasmid adalah resistensi yang umum

ditemukan pada isolat klinik. Gen yang berlokasi pada plasmid lebih mudah

pindah jika dibandingkan dengan gen yang berlokasi pada kromosom,

sehingga gen resiset nsi yang berlokasi pada plasmid dapat ditransfer dari

satu bakteri ke bakteri yang lain

(Ganiswarna, 1995 ; Tjay dan Rahardja,


2002).

Resistensi menghasilkan perubahan bentuk pada gen ayng


bakteri

disebabkan oleh 2 proses genetik dalam bakteri :

1. Mutasi dan seleksi (evolusi vertikal)

Evolusi vertikal didorong oleh prinsip seleksi alam. Mutasi spontan pada
kromosom bakteri memberikan resistensi terhadap suatu populasi bakteri. Pada
lingkungan tertentu bakteri yang tidak termutasi (nonmutan) mati, sedangkan
bakteri yang termutasi (mutan) menjadi resisten, kemudian tumbuh dan
berkembang biak.
2. Perubahan gen antar galur dan spesies (evolusi horizontal)

Evolusi horizontal yaitu pengambilalihan gen resistensi dari organisme lain.

Contohnya, streptomices mempunyai gen resistensi terhadap

streptomisin. Tetapi kemudian gen ini lepas dan masuk ke dalam E. coli atau

Shighella sp. Beberapa bakteri mengembangkan resistensi genetik melalui

proses mutasi dan seleksi, kemudian memberikan gen ini kepada beberapa

bakteri lain melalui salah satu proses perubahan genetik pada bakteri.

10
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen merupkaan

permasalahan kesehatan yang pernah dihadapi oleh hampir setiap orang. Hingga

saat ini, cara yang dilakukan untuk pengobatan berbagai jenis penyakit

infeksi adalah dengan pemberian antiboi tik. Jenis antibiotik yang

paling banyak digunakan adalah betalaktam. Antibiotik ini dipilih karena

tingkat selektivitasnya tinggi, mudah diperoleh, dan analog sintetiknya tersedia

dalam jumlah banyak.

Meningkatnya penggunaan antibiotik betalaktam, memacu meningkatnya

resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut. Mekanisme utama resistensi

bakteri Gram-positif dan Gram-negatif terhadap antibiotik betalaktam yakni

dengan menghasilkan enzim betalaktamase, yang berperan memotong cincin

betalaktam, sehingga aktivitas antibakterinya hilang. Enzim betalaktamase

merupakan enzim perusak penisilin yang dihasilkan oleh sejumlah bakteri gram

negatif. Enzim ini membuka cincin betalaktam dari pensilin dan sefalosporin

serta menghilangkan daya antimikrobanya. Klasifikasi betalaktamase sangat

kompleks, didasarkan atas sifat genetik, sifat-sifat biokimia, dan substrat yang

berafinitas terhadap inhibitor betalaktamase (Jawet et al., 1995).


7. Inhibitor Betalaktamase

Inhibitor betalaktamase adalah suatu zat yang dapat menghambat kerja

enzim betalaktamase. Inhibitor betalaktamase dalam ut nggal tidak


keadaan

memberikan aktivitas antibakteri sehingga perlu adanya kombinasi

dengan antibiotik betalaktam (Ganiswarna, 1995).

Inhibitor betalaktamase yang telah digunakan dalam pengobatan adalah

asam klavulanat, tazobaktam sulbaktam. Inhibitor tersebut


dna tidak

memperlihatkan aktivitas antibakteri, sehingga tidak dapat digunakan sebagai obat

tunggal untuk menanggulangi penyakit infeksi. Bila dikombinasi dengan

antibiotik betalaktam, inhibitor ini akan mengikat enzim betalaktamase, sehingga

antibiotika pasangannya bebas dari pengrusakan oleh enzim betalaktamase dan

dapat menghambat sintesis dinding sel bakteri yang dituju. Sifat ikatan

betalaktamase dengan penghambatnya umumnya menetap, penghambatnya

seringkali bekerja sebagai suicide inhibitor, karena ikut hancur di dalam

betalaktamase yang diikatnya (Ganiswarna,1995).

Enzim betalaktamase dalam bakteri gram negatif terdiri dari empat kelas,

enzim kelas A (TEM dan SHV), enzim kelas B, enzim kelas C biasanya disebut

AmpC resisten, dan enzim kelas D yaitu enzim OXA. Enzim kelas A

merupakan enzim betalaktamase yang banyak ditemukan, enzim kelas B

merupakan enzim yang mengandung zink, enzim kelas C mengandung

betalaktamase yang terletak pada kromosom dari bakteri famili

Enterobacteriacea termasuk bakteri E. coli, dan enzim kelas D merupakan

enzim yang belum banyak diketahui (Teale, 1995).


Dilaporkan 90% patogen saluran urin menghasilkan betalaktamase,

sebanyak 94,8% adalah E. coli (Orrett and Shurland., 1996). Dilaporkan pula

bahwa sampel urin pada pasien wanita penderita sistitis mengandung E. coli

yang telah resisten terhadap trimehtoprim-sulfamethoxazole, ampisilin, dan

siprofloxacin (Johnson et al., 2005).


DAFTAR PUSTAKA

Brown Alfred, E., 2005, Laboratory Manual in General Microbiology


:
Microbiological Applications, McGraw-Hill Comp., US, p. 395-
401

Cappucino, J.G., and N. Sherman. 1983. Microbiology A


Laboratorium
th
Manual. 6 ed. USA: Pearson Education
Inc.
Debbie S. Retnoningrum, 1998, Mekanisme dan Deteksi Molekul
Resistensi
Antibiotik pada Bakteri, Jurusan Farmasi-ITB, Bandung, h. 1-5, 16-
21
Ganiswarna S. G, 1995, Farmakologi dan Terapi, ed. 4, UI-
Fakultas
Kedokteran, Jakarta.
Holtj.G., Kreig, N.R., Sneath, P.H.A., Stanley, J.T. and Williams, S.T, 1994.
Bergeys Manual Determinative Bacteriology. Baltimore: Williamn and Wilkins
Baltimore.
Innis, M.A., D.H. Gelfand, J.J. Sninsky, and T.J. White. 1990. PCR
Protocols. San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo,
Toronto: Academic Press, Inc.
Jawetz E., J. L. Melnick, E. A. Adelberg, G. F. Brooks, J. S. Butel, L. N.
Ornston,
1995, Mikrobiologi Kedokteran, ed. 20, University of California, San
Francisco.
Karlowsky J. A., L. J. Kelly, C. Thornsberry, M. E. Jones, and D. F. Sahm, 2002,
Trends in Antimicrobial Resistance among Urinary Tract Infection Isolates
of Escherichia coli from Female Outpatient in the United States,
Antimicrob. Agents Chemother., 46(8), 2540-2545.
Johnson J. R., M. A. Kuskowsky, T. T. O’Bryan, R. Colodner, and R. Raz,
2005, Virulence Genotype an Phylogenetic Origin in Relation to Antibiotic
Resistence Profile among Escherichia coli Urine Sample Isolates from Israeli
Woman with Acute Uncomplicated Cystitis, Antimicrob. Agents Chemother.,
49(1), 26-31.
Manges A. R., J. R. Johnson, B. Foxman, T. T. O’Bryan, K. E. Fullerton, and
L. W. Riley, 2001, Widespread Distribution of Urinary Tract Infections Caused
by A Multridrug Resistance Escherichia coli Clonal Group, N. Engl. J. Med.,
345(14),
1007-1009.
Maxam A.M. et al.,1977 . A New Metod For Sequensing DNA, Proc.Nalt.
Acad. Sci.USA.74 (2),560-564
Madigan M.T. et al., 1997. Biology of Microorganisms, Eighth Edition.
New
Jersey, Prentice Hall
International.
Mutschler E., 1991, Dinamika Obat, ed.5, Penerbit ITB,
Bandung.

Oliver A., M. Perez-Vazquez, M. Martinez-Ferrer, F. Baquero, L. de Rafael,


and
R. Canton, 1999, Ampicillin-Sulbactam and Amoxicillin-
Clavulanate
Susceptibility Testing on Escherichia coli of Isolates with Different Beta-
Lactam
Resistance Phenotypes, Antimicrob Agents Chemother., 43, 862-
867.

Orrett F. and S. M. Shurland, 1996, Production of Betalactamase in Trinidad


an Association with Multiple Resistance to Betalactam Antibiotics, Med
Science Research., 24(8), 519-522.
Pelczar M. J. dan E. C. S. Chan, 1988, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Jilid
2, Terjemahan Ratna Sri Hadioetomo, dkk., Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta

Smith-Keary P. F., 1988, Genetic Elements in Escherichia coli,


Macmillan
Molecular biology series, London, p. 1-9, 49-
54
Teale C. J., 2005, Detection and Characterisation of Betalactamase Resistance in
Gram Negatif Bacteria of Veterinary Significance, UK National Guidelines for
Laboratories, 102, 1-5.
Tjay T. H. dan R. Kirana, 2002, Obat-Obat Penting, ed. 5, PT. Elex
Media
Komputindo, Jakarta.
Widjojoatmodjo Myra N., Fluit AD C., and Verhoef Jan, 1995,
Molecular Identification of bacteria by Fluorescence-Based PCR-Single-
Strand Conformation Polymorphism Analysis of the 16S rRNA Gene,
Journal of Clinical Microbiology. p 2601-2606

Anda mungkin juga menyukai